Benar saja, pada saat mereka membaca menu masakan, terdapat istilah-istilah masakan yang amat hebat dan muluk-muluk seperti sop jantung harimau, jari kaki biruang masak kecap, goreng otak kilin, ca jamur dewa, dan sebagainya sehingga Han Houw tertawa geli membacanya.
Sebagai seorang pangeran tentu saja dia berwatak royal dan dia memesan hampir semua masakan yang namanya aneh-aneh itu sehingga lebih dari dua belas macam masakan! Tentu saja pelayan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa hanya dua orang saja memesan masakan sedemikian banyaknya, yang cukup banyak untuk dimakan oleh enam orang!
"Ramai sekali di sini!" kata Han Houw ketika suci-nya menuliskan pesanan di atas kertas.
Pelayan yang melayani mereka itu membungkuk-bungkuk. Dari pakaian dua orang tamu ini saja dia bisa menduga bahwa mereka ini tentulah keluarga bangsawan atau hartawan dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja, maka dia bersikap menghormat.
"Biasanya jauh lebih ramai lagi, kongcu. Sebetulnya, biasanya pada bulan seperti ini tentu ada pesta di lapangan belakang pasar, di kuil besar dan di jembatan kuning. Akan tetapi semenjak sri baginda kaisar yang mulia menderita sakit, semua pesta untuk sementara dibatalkan..."
"Sri baginda kaisar sakit...?" Han Houw bertanya, terkejut.
"Ehh, kongcu belum tahu? Seluruh penduduk kota raja berprihatin karena sakit beliau itu agak berat..." Pelayan lalu menerima catatan pesanan dan tidak berani lagi lebih banyak membicarakan kaisar yang pada masa itu masih dianggap sebagai seorang manusia yang setingkat dengan utusan atau wakil Tuhan sehingga tidak boleh banyak disebut-sebut!
Han Houw saling berpandangan dengan suci-nya. Kaisar sakit?
"Ahh, kalau begitu kita terpaksa menunda sampai beberapa hari, sampai beliau sembuh, sute. Kalau beliau sakit, mana mungkin kita diperbolehkan menghadap?" bisik Kim Hong Liu-nio kepada sute-nya.
Han Houw hanya mengangguk, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Memang ibunya sudah mendengar berita bahwa kaisar sakit, akan tetapi tidak disangkanya bahwa penyakitnya berat sehingga sampai sekarang pun masih sakit sehingga semua penghuni kota raja pun sampai berprihatin dan segala macam pesta ditiadakan!
Berita itu mengurangi kegembiraan Han Houw, sungguh pun dia masih dapat menikmati hidangan masakan yang memang betul-betul lezat dan yang belum pernah dirasakannya itu. Ketika mereka sedang asyik makan minum, tiba-tiba pandang mata Han Houw tertarik oleh tiga orang kakek pengemis yang berpakaian menyolok sekali.
Tiga orang kakek itu usianya tentu kurang lebih lima puluh tahun, namun tubuh mereka masih tegap dan sehat kuat. Yang menyolok adalah pakaian mereka, karena ketiga orang kakek pengemis itu memakai pakaian tambal-tambalan yang terbuat dari macam-macam kain berkembang yang beraneka warna, sehingga dari jauh mereka itu tampak seperti tiga orang yang aneh sekali, pakaian mereka dari baju sampai ke celana semua berkembang-kembang dan bertotol-totol dengan warna-warna menyolok.
Mereka itu dapat dikenal sebagai pengemis-pengemis karena mereka memegang tongkat dan tempat makanan dari kayu, dan sepatu mereka berlubang-lubang, juga pakaian yang aneh itu walau pun warnanya menyolok sekali akan tetapi tambal-tambalan! Di punggung mereka nampak tumpukan buntalan, entah buntalan apa, warnanya kuning.
"Suci, orang-orang apakah mereka bertiga itu?" tanya Han Houw sambil menunjuk dengan gerakan dagunya.
Kim Hong Liu-nio yang duduknya saling berhadapan dengan Han Houw, kini menoleh dan sejenak matanya menyambar sambil memandang kepada tiga orang kakek yang berjalan mendatangi itu dengan tajam dan penuh perhatian. Diam-diam dia terkejut juga melihat cara tiga orang kakek itu melangkahkan kaki mereka. Begitu ringan dan penuh tenaga! Jelaslah bahwa mereka itu bukan orang-orang sembarangan dan pakaian mereka itu jelas pula merupakan tanda golongan mereka!
Dia mengingat-ingat. Apakah mereka itu yang disebut-sebut sebagai orang-orang Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang menurut cerita amat berkuasa di daerah kota raja ini? Agaknya tidak salah lagi. Akan tetapi melihat lima tumpuk buntalan kuning di punggung tiga orang kakek itu, Kim Hong Liu-nio memandang tak acuh karena dia tahu bahwa mereka itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat rendahan saja, tingkat lima!
"Sute, jangan pedulikan mereka. Agaknya mereka adalah tokoh-tokoh kaipang," bisiknya kepada sute-nya.
"Haii, Sam-wi Lo-sin-kai (Tiga Orang Pengemis Tua Sakti)! Sam-wi hendak ke manakah?" tiba-tiba terdengar teriakan orang yang duduk di dalam restoran itu, yaitu seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tegap dan sedang menghadapi meja penuh dengan masakan bersama tiga orang lainnya yang juga memandang gembira melihat tiga orang pengemis itu.
"Ahh, kiranya Yu-kamsu (guru silat Yu) dari Cin-an dan tiga orang saudara dari Sin-houw Piauwkiok!" kata seorang di antara tiga kakek pengemis itu sambil berhenti melangkah di depan restoran, di luar jendela di mana empat orang itu duduk.
"Mari silakan duduk makan minum bersama kami!" kata pula guru silat she Yu itu dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kawan-kawan baiknya.
"Terima kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti saja kalau urusan kami sudah selesai, kami tergesa-gesa!"
"Ha-ha-ha-ha, kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan arak!" Sesudah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga orang piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh masakan dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua itu!
Han Houw memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek itu, benar seperti yang sudah diduga suci-nya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan tinggi. Masing-masing sudah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke arah mereka, dan kakek pertama bahkan mampu menerima guci arak dengan sundulan kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya. Semua ini mereka lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah.
Sambil tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit, kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong itu ke dalam jendela. Mangkok-mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja di depan kauwsu itu tanpa menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Begitu pula guci arak setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis.
Tiga orang kakek pengemis itu kelihatan gembira sekali karena banyak orang menonton demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kaipang memang sudah amat terkenal dan di mana pun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang menarik karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Wah, terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tak perlu lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang tamu yang datang dari tempat jauh." Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian melangkah maju menghampiri meja Han Houw!
Pangeran dari utara ini, biar pun masih muda, namun dia telah memiliki kepandaian tinggi, maka pertunjukan tadi biar pun membuatnya kagum, akan tetapi dianggapnya bukanlah ilmu yang aneh. Sedangkan Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mempedulikan mereka, dan ketika tiga orang pengemis itu tiba-tiba berhenti melangkah di depan jendela mereka dan mereka bertiga memandang kepadanya dengan mata tidak pernah berkedip, dengan sinar mata yang tajam dan mengandung kemarahan, Kim Hong Liu-nio masih mengambil sikap tidak peduli!
"Toanio, kasihanilah kami tiga orang pengemis tua...," kata yang seorang.
"Kami bertiga mohon dermaan dari toanio...," sambung yang ke dua.
"Semoga Thian memberkahi kebaikan toanio...," sambung pula yang ke tiga.
Melihat suci-nya bersikap acuh tak acuh, Han Houw cepat mengeluarkan tiga keping uang perak dan menyerahkan tiga keping uang itu kepada mereka sambil berkata, "Ini sedikit sumbangan dari kami, harap diterima dengan senang."
Tiga orang kakek pengemis itu menerima tiga keping uang perak itu, masing-masing satu keping, akan tetapi mata mereka mendelik dan salah seorang di antara mereka berkata, "Kongcu menganggap kami ini orang apa maka memberi sumbangan uang perak?" Dan tiba-tiba mereka melemparkan tiga keping uang perak itu di atas meja depan Han How.
"Cep! Cep! Cepp!" Tiga keping uang perak itu menancap ke dalam papan meja sampai hampir rata dengan permukaan meja.
Ketiga orang pengemis tua itu mengira bahwa tentu pemuda cilik yang tanpa disengaja telah menghina tiga orang tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kaipang akan menjadi terkejut, setidak-tidaknya tentu akan pucat mukanya karena lontaran uang perak itu saja sudah menunjukkan kehebatan mereka. Akan tetapi, ketiga orang kakek pengemis itu saling lirik ketika melihat pemuda yang berpakaian mewah itu sama sekali tidak terkejut, bahkan lalu tersenyum!
"Ahh, kiranya sam-wi tidak membutuhkan uang perak lagi. Terpaksa kusimpan kembali!" Setelah berkata demikian, Han Houw menggerakkan tangan kanannya ke arah tiga keping uang perak yang menancap dan berjajar di atas meja itu, menjepit tiga keping uang perak itu di antara jari-jari tangannya, mengerahkan sinkang lantas dengan enak saja dia sudah mencabut keluar tiga uang perak itu kemudian mengantonginya! Pemuda itu kemudian melanjutkan makan tanpa mempedulikan lagi kepada mereka!
"Waspadalah, sute. Di kota raja ini banyak sekali srigala bertopeng domba, dan di depan restoran ini terlalu banyak lalat hijau! Sungguh menjijikkan!" kata Kim Hong Liu-nio.
Merahlah wajah tiga orang kakek itu. Tadi mereka kaget bukan main menyaksikan betapa anak laki-laki itu sedemikian mudahnya mencabut uang perak dari atas meja. Maklumlah mereka bahwa anak laki-laki itu lihai sekali. Maka kini mereka tidak mau berpura-pura lagi, dan yang tertua di antara mereka segera berkata,
"Toanio, kami mohon sumbangan untuk menyembahyangi arwah dari seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai sebelah utara yang mati beberapa hari yang lalu. Perkabungan dengan sebatang hio saja masih belum mencukupi!"
Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut sekali. Ahh, kiranya pengemis yang dibunuhnya di kota Huai-lai itu juga merupakan anggota Hwa-i Kaipang? Akan tetapi kenapa pakaiannya tidak berkembang?
Dia tidak tahu bahwa Hwa-i Kaipang merupakan perkumpulan pengemis yang amat besar kekuasaannya sehingga seluruh pengemis, baik yang berkelompok di dalam perkumpulan lain mau pun yang tidak memasuki perkumpulan, semuanya menganggap Hwa-i Kaipang sebagai induk perkumpulan yang bisa mereka andalkan untuk membela kaum pengemis, dan sebaliknya Hwa-i Kaipang juga menganggap seluruh pengemis dari mana pun juga sebagai ‘umat’ mereka!
Itulah sebabnya pada saat pengemis she Tio yang kebetulan berjumpa dengan Kim Hong Liu-nio di Huai-lai dan dibunuh oleh wanita ini, maka hal itu terdengar oleh para anggota Hwa-i Kaipang sehingga tiga orang pengemis tokoh Hwa-i Kaipang tingkat lima itu segera melakukan pengejaran dan pengintaian sampai ke kota raja.
Kim Hong Liu-nio segera maklum bahwa tidak mungkin lagi dia dapat menghindarkan diri dari bentrokan. Akan tetapi dia pun tidak ingin mendapat gangguan, dan tidak ingin pula mengikat tali permusuhan dengan Hwa-i Kaipang, maka dia mengambil keputusan untuk menghajar tiga orang kakek pengemis ini tanpa membunuh mereka, hanya ingin sekedar memperingatkan mereka supaya tidak main-main dengan dia.
Diambilnya sekeping uang emas dari dalam saku bajunya, karena dia bermaksud hendak menyumbang sekeping uang emas, sebuah sumbangan yang luar biasa besarnya, untuk membuat para pengemis puas dan tidak mengganggunya lagi.
"Pengemis itu sial karena dia memiliki she Tio," katanya. "Akan tetapi jika kalian hendak berkabung, biarlah aku menyumbang ini!" Dia lalu melemparkan sekeping uang emas tadi ke arah pengemis tertua.
Pengemis itu menyambar kepingan uang emas itu dengan tangannya, lalu dipandangnya uang emas di atas telapak tangannya sambil menyeringai, "He-heh-heh, selembar nyawa dibeli dengan sekeping uang emas! Betapa murahnya engkau menghargai selembar jiwa pengemis, toanio. Tidak, tidak cukup!"
Dan pengemis itu mengepalkan tangan, mengerahkan tenaga lalu mengembalikan uang itu dengan melemparkannya ke atas meja di hadapan Kim Hong Liu-nio. Terdengar suara berdencing dan kepingan uang emas itu kini telah menjadi gepeng!
Kim Hong Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Tidak cukup? Apa yang kalian kehendaki, orang-orang yang tamak?" tanyanya, mulai kehilangan kesabarannya.
"Jiwa seorang pengemis memang tidak ada harganya, akan tetapi kiranya sangat pantas untuk ditukar dengan sebatang jari tangan pembunuhnya. Serahkan jari telunjuk atau jari tengahmu dan kami akan pergi tanpa banyak tingkah lagi."
Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Disambarnya uang emas itu dan dia berkata, "Sekali bicara tidak biasa menarik kembali, sekali menyerahkan sumbangan tidak akan diambil kembali. Terimalah sumbangan ini kemudian pergilah!" Dan wanita itu melontarkan kepingan emas kepada si pengemis tua yang cepat menyambutnya karena lontaran itu kuat sekali.
"Crottt...!”
“Ahhh...!" Pengemis tua itu segera menyeringai kesakitan ketika telapak tangannya yang menyambut kepingan emas itu ditembusi oleh kepingan emas yang kini telah gepeng itu sehingga menembus ke punggung tangannya! Darah mengalir dari telapak dan punggung tangan, sedangkan kepingan uang emas itu terjatuh ke atas tanah!
Dapat dibayangkan betapa nyerinya tangan yang ditembusi benda seperti itu, akan tetapi pengemis tua itu menahan rasa nyerinya lantas memandang kepada Kim Hong Liu-nio dengan melotot. Dua orang pengemis yang lainnya menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu menggerakkan tongkat mereka hendak menyerang ke dalam.
Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang setelah melontarkan uang emas tadi lalu mengambil tim ikan emas dan makan ikan itu dengan enaknya, ketika melihat dua orang pengemis lainnya mulai menggerakkan tongkat, dia telah menoleh dan mulutnya menghardik, "Tidak lekas pergi?!"
Ketika dia membentak itu, dari mulutnya yang kecil meluncur beberapa batang duri ikan emas yang menyambar dengan luar biasa cepatnya ke arah dua orang pengemis yang sedang menggerakkan tongkatnya itu.
Dua orang kakek itu kaget bukan main, dan cepat berusaha untuk mengelak. Akan tetapi, jarak antara mereka dan wanita itu terlalu dekat, dan duri-duri itu merupakan benda ringan yang bergerak cepat bukan main tanpa suara, maka yang nampak hanya sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka berdua merasakan wajah mereka sakit bukan main seperti ditusuk jarum, terutama di tepi mata mereka.
Saat mereka meraba, ternyata bahwa beberapa batang duri ikan telah menancap sampai dalam di bawah bola mata, di pipi dan di hidung mereka sehingga terasa nyeri dan tidak dapat dicabut karena sudah masuk semua! Kedua orang kakek itu menggunakan tangan kiri menutupi mata mereka dan darah mulai menetes keluar dari beberapa tempat pada wajah mereka yang terkena duri ikan.
Melihat hal ini, kakek yang tangannya ditembus uang emas itu maklum bahwa wanita itu terlampau lihai bagi mereka. Sejenak dia memandang tajam, kemudian menghela napas, memungut uang emas yang menembus lengannya tadi, memasukkannya di dalam saku, kemudian membalikkan tubuh dan menyentuh tangan seorang temannya dengan tongkat.
Teman ini memegang tongkat itu, lalu dia juga menyentuh teman di belakangnya dengan tongkat. Kakek ke tiga juga memegang tongkat itu dan dengan saling tuntun karena yang dua orang tidak dapat membuka mata, mereka meninggalkan tempat itu dengan berjalan terseok-seok seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan mereka.
Tidak banyak orang menyaksikan peristiwa aneh dan hebat ini. Akan tetapi, guru silat dan tiga orang piauwsu yang tadi menyapa kakek-kakek pengemis itu dapat melihat karena selain kebetulan mereka juga duduk di luar, juga mereka sejak tadi memperhatikan tiga orang kakek itu dan agaknya mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat maka mereka dapat menyaksikan semua itu.
Setelah tiga orang kakek pengemis itu tak nampak lagi, laki-laki yang berpakaian seperti guru silat itu cepat bangkit dan menghampiri meja Han Houw dan Kim Hong Liu-nio. Sute dan suci ini bersiap-siap akan tetapi bersikap tenang-tenang saja.
"Lihiap, kepandaian lihiap sungguh sangat tinggi. Akan tetapi sebaiknya lihiap cepat-cepat meninggalkan tempat ini karena mereka tadi merupakan tokoh-tokoh ke lima dari Hwa-i Kaipang dan sesudah peristiwa tadi, tentu tokoh-tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatnya akan datang. Jumlah mereka banyak sekali, mereka berpengaruh besar dan dipimpin oleh orang-orang yang amat pandai, maka bila lihiap tak segera pergi, tentu akan menghadapi bencana!"
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berhati keras, pemberani, dan tidak biasa dinasehati orang. Mendengar kata-kata orang itu, dia lalu mengangkat muka memandang. Orang itu terkejut bukan main menyaksikan wajah cantik itu dingin bukan main dan kedua mata wanita itu seperti ujung dua batang pedang yang hendak menusuknya, sehingga dia mundur selangkah.
"Kami datang atau pergi sesuka hati kami, tidak ada setan pun yang boleh memaksa atau mencegah kami!"
"Ahhh, maaf...!" Guru silat itu menjadi merah mukanya.
"Kulihat tadi engkau adalah sahabat-sahabat dari tiga orang kakek pengemis itu, kenapa sekarang tiba-tiba saja memberi nasehat kepada kami?" tanya Kim Hong Liu-nio dengan suara yang nadanya menegur atau sebagai alasan akan sikapnya yang ketus tadi.
"Ah, lihiap tidak tahu rupanya. Siapakah yang tak akan bersikap bersahabat dengan para tokoh Hwa-i Kaipang? Tadi menyaksikan kelihaian lihiap, maka saya merasa khawatir dan lancang bicara, akan tetapi saya telah cukup banyak berbicara dan maafkan kalau saya lancang menasehati lihiap."
Guru silat itu lalu menjura dan kembali ke mejanya. Tak lama kemudian empat orang yang tidak terdengar bicara lagi itu meninggalkan restoran, agaknya mereka berempat merasa jeri setelah tadi guru silat itu menasehati Kim Hong Liu-nio.
Wanita cantik ini tak mempedulikan mereka. Wataknya memang aneh dan hatinya keras dan dingin sekali, karena itu sikap guru silat tadi pun tak membuatnya merasa menyesal sama sekali. Dia beserta sute-nya melanjutkan makan minum seenaknya hingga mereka selesai.
"Sute, kau lihat betapa banyak bahaya di kota raja dan betapa banyaknya orang pandai. Oleh karena itu, lebih baik kita sekarang juga pergi menghadap ke istana."
"Akan tetapi, suci, mana bisa... kalau kaisar sedang menderita sakit..."
"Kurasa malah lebih baik lagi, kita dapat menggunakan alasan untuk menengok. Biar pun kaisar, tetap saja beliau seorang manusia dan menengok orang yang sedang sakit adalah perbuatan yang layak, tentu lebih mudah bagi kita untuk memasuki istana."
Han Houw tidak membantah lagi dan mereka lalu meninggalkan restoran, berkemas lalu berangkatlah mereka menuju ke istana kaisar yang tentu saja dapat mudah mereka cari di kota raja itu.
Gentar juga rasa hati Kim Hong Liu-nio melihat keagungan dan kemegahan istana yang dikurung pagar tembok, dijaga ketat oleh pasukan pengawal yang sangat kuat. Dari balik pintu gerbang sudah nampak bangunan istana yang amat besar, megah dan indah, yang membayangkan keindahan, keagungan dan kekuasaan besar itu.
Bukan hanya di pintu gerbang istana itu saja yang penuh dengan pasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan melakukan penjagaan ketat, namun juga nampak berkilauannya senjata dan pakaian penjaga yang melakukan penjagaan di atas tembok, dan Kim Hong Liu-nio maklum bahwa makin ke dalam tentu istana itu makin dijaga dengan ketat oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi.
Oleh karena itu, hanya orang gila sajalah kiranya yang akan berani memasuki istana itu tanpa ijin. Betapa pun pandainya seseorang, kiranya tak mungkin akan dapat menembus penjagaan-penjagaan yang amat ketat itu, apa lagi kalau diingat bahwa di sebelah dalam lingkungan tembok istana itu tentu terdapat pengawal-pengawal yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya.
Ketika para penjaga melihat ada seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung, keduanya berpakaian mewah serta indah berhenti di pintu gerbang, tentu saja mereka menaruh perhatian dan sebentar saja suci dan sute itu telah dikurung oleh para penjaga! Pada waktu dengan sikap tenang dan suara halus Kim Hong Liu-nio menyatakan bahwa mereka hendak menghadap kaisar, tentu saja para penjaga itu menjadi curiga sekali dan juga terheran-heran sehingga keinginan itu ditolak dengan keras.
"Ahhh, apakah dikira mudah saja hendak pergi menghadap kaisar?" kata kepala penjaga sambil memandang wajah cantik itu dengan tajam dan penuh selidik.
"Jangankan selagi sri baginda menderita kaisar sakit dan tak boleh diganggu sama sekali, sedangkan andai kata beliau sedang sehat sekali pun, tak akan mudah memasuki istana menghadap beliau begitu saja tanpa tanda-tanda khusus untuk itu."
"Kami adalah utusan dari utara, dari Sri Baginda Raja Sabutai!" berkata Kim Hong Liu-nio yang mulai merasa tidak sabar.
Semua penjaga tertegun. Tentu saja mereka telah mendengar nama Raja Sabutai di utara yang pernah menggegerkan kota raja dengan penyerbuan-penyerbuannya itu. Akan tetapi tentu saja mereka pun tidak percaya bahwa raja besar yang ditakuti atau pernah ditakuti itu mengirim utusan berupa seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung!
"Toanio, tentu saja engkau boleh mengaku utusan dari mana pun, akan tetapi apa tanda-tandanya dan bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian adalah utusan raja? Apakah kalian memiliki kenalan seorang pembesar di kota raja? Hanya dengan perantaraan pembesar yang memang mempunyai kekuasaan saja kami dapat mempercaya."
"Suci, perlihatkan benda pemberian ibu itu," mendadak Han Houw berkata dalam bahasa Mongol kepada suci-nya. Dia pun merasa terhina dan tak senang. Katanya kaisar adalah ayah kandungnya, jadi dia adalah seorang pangeran, namun kini penjaga-penjaga biasa saja melarangnya untuk memasuki istana ayah kandungnya!
Kim Hong Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Harap kalian suka memanggil komandan pengawal agar kami dapat bicara dengan dia sendiri!"
Pada waktu itu kaisar sedang sakit, semua penjaga mengalami suasana yang sunyi dan tertekan karena mereka tidak diperkenankan untuk bergembira seperti biasa. Suasana ini sangat menegangkan dan mencekam hati, membuat mereka menjadi muram dan mudah bercuriga.
Akan tetapi melihat pakaian wanita dan pemuda tanggung itu, mereka menduga bahwa dua orang ini tentu bukan orang kang-ouw yang hendak menyelundup sebagai mata-mata atau hendak melakukan sesuatu yang tak baik terhadap kaisar. Betapa pun juga, mereka tidak kehilangan kewaspadaan dan setelah sekarang wanita cantik itu minta dihadapkan kepada komandan, salah seorang di antara mereka segera lari ke sebelah dalam untuk melaporkan kepada komandan jaga yang berada di dalam kantor.
Komandan jaga itu adalah seorang perwira gemuk pendek dan amat galak, akan tetapi di samping kegalakannya ini, dia juga mempunyai watak mata keranjang. Ketika mendengar laporan bahwa ada seorang wanita cantik yang minta untuk menghadap kaisar, maka dia langsung menghampiri cermin, mengurut kumisnya lalu membereskan pakaiannya, baru kemudian bergegas keluar menuju ke pintu gerbang di mana dua orang tamu itu masih dikepung oleh anak buahnya.
Cuping hidung perwira gemuk itu kembang-kempis ketika dia melihat bahwa wanita yang datang dan hendak bertemu dengan dia benar-benar adalah seorang wanita yang cantik manis sekali! Dia menyeringai, kemudian dengan suaranya yang sudah biasa menghardik dan membentak bawahannya dia berkata,
"Minggir semua! Biarlah aku memeriksanya!"
Para anak buah pasukan penjaga lalu minggir dan mundur menjauh. Perwira gendut itu menghampiri Kim Hong Liu-nio, matanya yang berminyak itu mengamati wajah wanita itu, kemudian sinar matanya meraba-raba dari atas ke bawah seperti hendak menggerayangi wajah dan tubuh yang padat di balik pakaian yang mewah itu.
Menyaksikan sikap ini saja, diam-diam Kim Hong Liu-nio telah merasa mendongkol bukan main. Akan tetapi dia segera maklum bahwa di tempat ini dia harus sanggup menahan kesabarannya dan tidak boleh menimbulkan keributan. Maka dia segera berkata,
"Ciangkun, kami berdua adalah utusan dari utara, dari Raja Sabutai untuk menghadap sri baginda kaisar."
Perwira itu agaknya baru sadar bahwa wanita itu baru saja mengajak dia bicara. Tadi dia memandang seperti orang terpesona karena memang dia tertarik sekali oleh kecantikan wanita itu.
"Apa? Ahh, menghadap sri baginda kaisar? Mana bisa, beliau sedang sakit dan..."
"Justru karena mendengar beliau sedang sakit maka Sri Baginda Raja Sabutai mengutus kami untuk menengok dan melihat keadaan sri baginda kaisar," jawab Kim Hong Liu-nio cepat-cepat.
Perwira itu berpikir sejenak, lalu dia berkata, "Hal ini tidak dapat dilakukan secara begitu mudah dan sembarangan. Akan saya laporkan dulu ke dalam, kepada kepala pengawal dan sementara itu kalian harus menunggu di dalam kantorku untuk pemeriksaan. Kalian harus diperiksa."
"Diperiksa?" Kim Hong Liu-nio bertanya.
"Ya, diperiksa kalau-kalau kalian membawa senjata. Aku sendiri yang harus memeriksa, karena setiap orang yang ingin memasuki istana tanpa ada surat ijin atau surat perintah resmi, harus dicurigai dan diperiksa."
"Akan tetapi, aku tidak membawa senjata dan dia ini... tentu saja dia membawa pedang karena dia adalah seorang pangeran, dia putera Sri Baginda Raja Sabutai!"
Agaknya perwira itu tidak percaya dengan keterangan ini, akan tetapi karena pikirannya sudah membayangkan betapa dia akan ‘memeriksa’ atau menggeledah tubuh wanita ini untuk mencari senjata, padahal tentu saja maksudnya supaya memperoleh kesempatan untuk menggerayangi tubuhnya dengan kedua tangannya dan kalau mungkin, siapa tahu, membujuk wanita itu agar suka melayaninya di kamar kantornya, maka dia tidak begitu menaruh perhatian.
"Pangeran atau bukan, harus diperiksa dulu. Marilah, nona, mari ikut bersamaku ke dalam kantorku untuk digeledah, baru aku akan melaporkan ke dalam untuk melihat keputusan apakah kalian bisa diperkenankan masuk ataukah tidak." Sambil berkata demikian, tanpa ragu-ragu lagi perwira itu lalu mengulurkan tangan hendak menggandeng tangan yang kecil halus berkulit putih itu.
Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang selama hidupnya belum pernah bermesraan dengan pria, belum pernah disentuh oleh pria, maka melihat dia mengulurkan tangan hendak menggandeng, hampir saja tangannya bergerak membunuh perwira itu dengan sekali pukul. Untung bahwa dia masih teringat dan cepat dia menarik tangannya sehingga pegangan perwita itu luput dan Kim Hong Liu-nio cepat melangkah mundur sambil mengerutkan alisnya.
"Ciangkun, kami adalah orang-orang terhormat yang tidak selayaknya digeledah. Kalau memang engkau hendak melaporkan keadaan kami ke dalam istana, silakan, kami akan menunggu di sini!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara tegas.
"Hemm, tidak bisa! Kalian harus kugeledah. Mari, kalian ikutlah aku memasuki kantorku."
Melihat sikap keras ini, Kim Hong Liu-nio menjadi semakin marah. "Kalau kami tidak sudi digeledah?"
"Hemm, kalau begitu kalian harus ditahan!"
"Bagus! Dengan tuduhan apa pula?"
"Tuduhan bahwa kalian mungkin sekali mata-mata musuh!"
Hampir saja Kini Hong Liu-nio tidak dapat menahan lagi kesabarannya, akan tetapi pada saat itu pula muncul seorang laki-laki berpakaian panglima yang datang dari dalam istana dengan langkah kaki tergesa-gesa. Panglima ini adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian sebagai panglima yang gagah, sikapnya gagah dan berwajah jantan. Kedua matanya yang lebar itu berpandangan tajam dan jujur, tubuhnya tinggi besar tegap dan kelihatan jelas bahwa dia memiliki tenaga yang besar. Seorang panglima yang benar-benar gagah perkasa, perutnya kecil, dadanya bidang, tidak seperti kebanyakan panglima yang perutnya besar-besar.
Semua orang, juga termasuk perwira pendek gemuk, cepat bersiap dan memberi hormat kepada panglima yang baru keluar ini. Panglima itu membalas penghormatan mereka dan ketika dia melihat wanita cantik berpakaian indah dan seorang pemuda tanggung berdiri di situ, dia lantas tercengang. Apa lagi ketika dia menatap wajah Han Houw, dia kelihatan terkejut dan cepat dia bertanya, "Apakah yang terjadi di sini? Siapakah adanya nona dan orang muda ini?"
Si perwira tadi cepat-cepat menjawab, "Mereka ini adalah orang-orang mencurigakan yang katanya hendak mohon menghadap sri baginda kaisar."
Panglima itu kelihatan kaget dan sekarang kembali dia memandang dua orang itu penuh perhatian, sambil dia bertanya kepada perwira gendut. "Dan kau sudah melaporkannya ke kantor pengawal di dalam?"
"Be... belum..."
"Kenapa belum?!" panglima itu menghardik.
"Karena... karena... saya curiga dan hendak menggeledah mereka dulu..."
Panglima itu tampak marah. Dia pernah mendengar dan sudah tahu praktek-praktek kotor yang dilaksanakan oleh para penjaga pintu gerbang, gangguan-gangguan terhadap wanita cantik, uang-uang sogokan bagi mereka yang ingin masuk, dan sebagainya. Akan tetapi sebelum dia memperlihatkan kemarahannya kepada perwira gendut itu, Kim Hong Liu-nio yang melihat sikap panglima ini segera melangkah maju.
"Ciangkun, kami berdua datang dari utara, saya adalah utusan dari Sri Baginda Sabutai..."
"Ahhh...!" Panglima itu terkejut sekali.
"Dan dia ini adalah pangeran dari kerajaan kami."
Makin kagetlah panglima itu dan cepat dia menjura. "Maafkan kami dan maafkan sikap para penjaga kami," dia mengerling penuh kemarahan kepada perwira gendut yang cepat melangkah mundur dengan sikap jeri. "Akan tetapi, hendaknya nona dapat memahami peraturan kami bahwa yang hendak memasuki istana harus memiliki tanda pengenal diri yang sah. Nona sebagai utusan tentu saja membawa tanda kuasa atau surat perintah dari Raja Sabutai sebagai utusan beliau."
"Ciangkun, kami berdua hanya membawa ini, yang memberikan adalah sang permaisuri dari kerajaan kami sendiri."
Kim Hong Liu-nio mengeluarkan kotak kecil dan membuka tutupnya dengan sikap hormat. Ketika panglima itu melihat sebuah kalung di dalamnya serta sesampul surat, dia makin terkejut. Tentu saja dia mengenal benda pusaka kerajaan itu, kalung kaisar yang tak ada ke duanya! Dan pembawa atau pemegang benda pusaka ini berarti sudah mendapatkan kekuasaan dari sri baginda kaisar sendiri!
Maka dia cepat-cepat memberi hormat, kemudian untuk kedua kalinya dia melirik penuh kemarahan kepada perwira gendut yang menjadi pucat mukanya.
"Saya panglima pengawal Lee Siang menghaturkan selamat datang dan memohon maaf sebesarnya atas penyambutan yang tidak layak ini karena kami tidak tahu sebelumnya akan kedatangan paduka. Silakan masuk bersama saya untuk melapor kepada pengawal dalam istana."
Kim Hong Liu-nio tersenyum dan Ceng Han Houw juga bernapas lega. Dengan muka manis wanita itu menghaturkan terima kasih kepada panglima yang gagah itu, kemudian bersama sute-nya dia melangkah masuk diiringkan oleh panglima itu.
Panglima itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang kepercayaan kaisar karena dia bersama kakaknya yang bernama Lee Cin, semenjak muda sudah menjadi panglima pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas). Dalam usia empat puluh tahun itu, Panglima Lee Siang telah menjadi duda, kematian isterinya tanpa meninggalkan seorang pun anak keturunan. Dan biar pun isterinya telah meninggal lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga mau beristeri lagi.
Kim Hong Liu-nio melihat betapa penjagaan amat ketat, makin ke dalam istana, semakin hebat dan kuatlah penjagaannya sehingga sepasukan besar musuh pun tentu akan sukar menembus istana yang dijaga kuat ini. Dia tidak tahu bahwa hal ini berbeda dari biasanya.
Dia tidak tahu pula bahwa di dalam istana terjadi ketegangan-ketegangan, bukan hanya karena kaisar menderita penyakit yang cukup berat, akan tetapi terutama sekali karena adanya desas-desus bahwa akan timbul pemberontakan di dalam istana! Karena itulah, maka para panglima pengawal, juga termasuk Lee Siang dan kakaknya, Lee Cin, selalu kelihatan sibuk mengatur penjagaan untuk mencegah terlaksananya desas-desus tentang pemberotakan itu.
Panglima Lee Siang mengajak mereka berhenti sebentar di ruangan dalam yang luas, di mana berkumpul beberapa orang berpakaian panglima yang sudah berusia tua, dan ada pula yang berpakaian sebagai pembesar sipil. Akan tetapi semuanya menunjukkan bahwa mereka itu adalah pembesar-pembesar tinggi.
Kim Hong Liu-nio dan Han Houw hanya berdiri di tempat agak jauh ketika mereka melihat betapa Panglima Lee Siang bercakap-cakap lirih dengan mereka itu, memperlihatkan isi kotak kecil dan mereka itu pun kelihatan terkejut dan tegang. Mereka semua memandang kepada Han Houw dan akhirnya Panglima Lee Siang mengajak mereka berdua untuk melanjutkan lagi perjalanan melewati lorong-lorong dan ruangan-ruangan indah, agaknya telah memperoleh persetujuan para pembesar itu.
Ceng Han Houw menjadi kagum bukan main melihat kemewahan dan keindahan di dalam istana ini. Bukan main besarnya istana itu, dan di setiap ruangan terdapat perabot-perabot ruangan yang sangat indah dan megah. Pada setiap ruangan atau lorong tentu terdapat pengawal-pengawal yang berjaga dengan berdiri tegak dan sikap waspada, dan di sana sini terdapat pula dayang-dayang istana yang cantik-cantik, sutera-sutera beraneka warna bergantungan di mana-mana dan tak nampak sedikit pun debu di dalam ruangan-ruangan itu.
Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah kamar besar dan kembali di depan kamar ini terdapat sepasukan pengawal yang sangat gagah karena pakaian mereka semua terdiri dari baju bersulam benang emas. Inilah pasukan Kim-i-wi yang sangat terkenal, pasukan pengawal pribadi kaisar yang terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa.
Pada saat melihat dua orang ini dikawal oleh panglima mereka sendiri, para pengawal itu cepat memberi hormat dan memberi jalan. Dua orang dayang cantik membukakan pintu dan Panglima Lee mengawal dua orang tamu itu memasuki kamar.
Kamar itu indah sekali dan sangat luas. Kaisar nampak rebah terlentang dengan bantal tinggi mengganjal kepala dan punggungnya, wajahnya pucat akan tetapi sikapnya tenang. Banyak orang berlutut di atas lantai menghadap ke pembaringan sri baginda, terdapat beberapa orang laki-laki tua berpakaian sipil, ada juga yang berpakaian panglima, dan ada pula seorang laki-laki muda berpakaian mewah.
Pemuda ini adalah Pangeran Ceng Su Liat, salah seorang di antara pangeran-pangeran yang ada di kerajaan itu. Juga di dalam kamar besar ini ada sembilan orang pengawal yang selalu memegang tombak di tangan, siap untuk melindungi kaisar bila mana terjadi sesuatu. Dayang-dayang cantik dan muda berkumpul di sudut, siap melaksanakan segala perintah kaisar.
Suasana dalam ruangan itu sunyi dan agaknya semua orang tidak berani bergerak karena kaisar sedang beristirahat. Akan tetapi kaisar tidak tidur karena ketika melihat masuknya Kim Hong Liu-nio bersama Ceng Han Houw yang dikawal oleh Panglima Lee Siang, sri baginda kaisar mengangkat muka memandang.
Begitu memasuki pintu, Lee Siang langsung mengajak dua orang itu berlutut, kemudian menggeser kaki mendekat ke pembaringan. Akan tetapi sejak tadi, perhatian kaisar telah tercurah kepada Han Houw yang beberapa kali mengangkat muka dan memandang, akan tetapi begitu bertemu dengan pandangan kaisar, dia segera menunduk kembali. Keadaan yang sangat angker di dalam kamar itu membuat jantung berdebar tegang juga. Segala sesuatu di dalam kamar itu penuh wibawa yang menakutkan!
"Mohon beribu ampun dari paduka sri baginda kaisar atas kelancangan hamba mengawal masuk dua orang utusan dari Sri Baginda Sabutai yang mohon menghadap," Panglima Lee Siang berkata dengan suara halus agar tidak mengejutkan kaisar.
Akan tetapi kaisar yang semenjak tadi memperhatikan Han Houw, menjadi tertarik sekali mendengar disebutnya nama Sabutai, dan kaisar segera miringkan tubuhnya menghadapi Han Houw yang masih berlutut.
"Utusan Sabutai...?"
Kim Hong Liu-nio cepat memberi hormat lalu mengeluarkan kotak itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata dengan kepala menunduk. "Hamba Kim Hong Liu-nio diutus oleh yang mulia Permasuri Khamila agar menghaturkan isi kotak ini kepada paduka yang mulia sri baginda kaisar!"
"Kha... Khamila...?" Kaisar terbelalak dan wajahnya berseri sejenak, lalu dia mengangguk kepada panglima pengawal lain yang sudah berusia enam puluh tahun dan yang berlutut di dekat pembaringan.
Panglima ini adalah panglima pengawal Lee Cin yang setia. Panglima ini lalu melangkah menghampiri Kim Hong Liu-nio, menerima kotak itu lantas membukanya untuk meneliti bahwa isinya tidak mengandung sesuatu yang membahayakan kaisar. Sesudah melihat bahwa kalung dan sampul surat itu tidak mengadung sesuatu dan yang mencurigakan, dia baru menyerahkan kotak yang sudah dibukanya itu kepada kaisar. Kaisar mengambil kalung dan sampul surat itu.
Kaisar Ceng Tung yang oleh dua orang dayang dibantu duduk sambil bersandar dengan bantal pada punggungnya, sejenak memandang kalung itu. Wajahnya termenung karena memang kaisar ini terkenang akan Khamila, permaisuri Sabutai yang menjadi kekasihnya, wanita yang sesungguhnya berkenan merampas hatinya dan amat dicintanya. Dia teringat bahwa dia telah memberikan kalung itu kepada Khamila pada waktu mereka harus saling berpisah.
Dibelainya kalung itu di antara jari-jemari tangannya, kalung yang dia percaya selama ini tentu telah tergantung di leher yang panjang, berkulit putih halus dan amat dikenalnya itu. Kemudian kaisar teringat bahwa dia tidak berada seorang diri di dalam kamar itu, maka kalung itu pun digenggamnya erat-erat dan dia lalu membuka sampul surat dan dibacanya huruf-huruf tulisan Khamila!
Sri Baginda Kaisar Ceng Tung pujaan hamba!
Perkenankanlah hamba untuk memperkenalkan anak Ceng Han Houw kepada paduka, dan sudilah paduka memberkahi anak yang haus akan doa restu serta kasih sayang ayahandanya itu.
Hamba yang rendah,
Khamila
Perkenankanlah hamba untuk memperkenalkan anak Ceng Han Houw kepada paduka, dan sudilah paduka memberkahi anak yang haus akan doa restu serta kasih sayang ayahandanya itu.
Hamba yang rendah,
Khamila
Kaisar Ceng Tung memejamkan matanya dan surat itu terlepas dari jari-jari tangannya, melayang turun ke atas dadanya. Untuk sejenak terbayang wajah yang cantik jelita dan lembut, terngiang-ngiang di telinganya suara yang merdu halus itu. Kemudian dia kembali membuka mata dan menoleh. Sepasang mata kaisar itu agak basah saat dia memandang kepada Han Houw.
"Namamu Han Houw...?" tanyanya.
Ceng Han Houw terkejut, cepat dia memberi hormat sampai dahinya membentur lantai.
"Kau angkat mukamu dan pandang padaku!" kata kaisar dengan halus.
Han Houw mengangkat mukanya memandang dan dia melihat wajah seorang yang amat tampan dan pucat, yang memandang kepadanya dengan penuh perasaan haru.
"Majulah ke sini!" perintah kaisar.
Ceng Han Houw merasa takut, akan tetapi dari belakangnya, suci-nya segera berbisik, "Majulah...!"
Dia lalu menggeser kakinya maju menghampiri pembaringan. Kaisar lalu menggerakkan tangannya, menyentuh kepala anak laki-laki yang usianya sudah hampir dewasa itu, lalu dia mengambil kalung pusaka kerajaan itu dan mengalungkan ke leher Han Houw. Semua orang terkejut melihat ini, karena kalung itu adalah benda yang biasanya hanya dipakai oleh para pangeran sebagai tanda bahwa dia adalah keturunan darah keluarga kaisar!
"Ketahuilah kalian semua yang hadir di sini. Ini adalah Ceng Han Houw, Pangeran Ceng Han Houw, seorang puteraku! Ibunya adalah puteri yang mulia dari utara, hendaknya dia diperlakukan sebagai seorang pangeran, sebagai puteraku!"
Semua orang menyatakan setuju dan memberi hormat dengan berlutut. Pada waktu itu, dari pintu muncul pula seorang pemuda dan ketika Kim Hong Liu-nio menoleh, dia terkejut bukan kepalang. Pemuda yang baru muncul ini bagaikan pinang dibelah dua saja apa bila dibandingkan dengan sute-nya. Wajah mereka begitu mirip!
"Pangeran mahkota datang menghadap sri baginda!" seorang dayang memberi tahukan dengan suara halus.
Kaisar mengangkat muka dan Panglima Lee Siang lalu menarik tangan Han Houw agar mundur dan bersama Kim Hong Liu-nio berlutut di pinggir untuk memberi jalan kepada pangeran mahkota yang baru tiba. Pangeran muda ini bukan lain adalah Pangeran Ceng Hwa, yaitu pangeran yang telah dipilih untuk menjadi pangeran mahkota, calon pengganti kaisar! Tentu saja semua orang menghormat calon kaisar ini.
Dengan sikap tenang Pangeran Ceng Hwa melangkah maju menghampiri pembaringan ayahnya setelah dia melempar kerling ke kanan kiri dan tersenyum kepada semua orang yang amat dikenalnya dengan baik sebagai orang-orang yang dekat dengan ayahnya itu. Hanya dia agak heran ketika melihat Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, akan tetapi dia tidak menyatakan keheranannya dan langsung menghampiri pembaringan ayahnya, lalu duduk di tepi pembaringan.
"Semoga Thian senantiasa memberkahi ayahanda kaisar dengan kebahagiaan dan usia panjang hingga selaksa tahun," kata pangeran itu dengan ucapan yang sungguh-sungguh dan penuh hormat, ucapan yang menjadi kebiasaan atau kesopanan di dalam istana.
Kaisar tersenyum mendengar kata-kata ini dan dengan tangannya dia menyentuh pundak puteranya yang disayangnya itu seolah-olah menjadi pengganti rasa terima kasihnya.
"Bagaimanakah keadaan paduka? Semoga sudah lebih baik," kata sang pangeran.
"Aku gembira hari ini!" sang kaisar berkata. "Lihat, dia itu adalah saudaramu! Dia adalah Ceng Han Houw, ibunya adalah seorang puteri di utara!"
Ceng Hwa bangkit berdiri dan memandang. Pada saat itu, Han Houw juga mengangkat muka memandang sehingga kini semua orang dapat melihat betapa miripnya dua orang pangeran ini! Agaknya sri baginda sendiri melihat kemiripan ini, maka dia tersenyum lebar dan berseru dengan girang,
"Betapa miripnya kalian! Ahhh... sungguh mirip seperti kembar...!" Agaknya kegembiraan itu sedemikian besarnya sehingga tidak dapat tertahan oleh jantung yang telah lemah itu. Sri baginda kaisar terguling dan dari keadaan duduk itu dia terguling.
Cepat Pangeran Mahkota Ceng Hwa merangkul ayahnya dan pada saat itu pula terjadilah hal-hal luar biasa yang mengejutkan semua orang. Pada saat kaisar terguling dan dipeluk oleh Pangeran Ceng Hwa itu, melompatlah seorang yang berpakaian panglima, berusia lima puluh tahun, dengan muka penuh brewok. Panglima itu berseru, "Sekarang...!"
Dan dengan pedang yang sudah dicabutnya dia segera menubruk ke depan, menyerang Pangeran Mahkota Ceng Hwa dengan tusukan pedangnya dari belakang! Semua orang terperanjat dan saking kagetnya sampai tidak mampu berbuat sesuatu. Akan tetapi pada saat itu, Ceng Han Houw sudah berteriak nyaring dan tubuhnya langsung mencelat ke depan, menerjang kepada panglima yang menyerang pangeran mahkota itu!
Dengan tangkisan nekat, Han Houw mengejutkan panglima tua itu sehingga pedangnya menyeleweng dan melukai lengan kiri Han Houw lalu terus meluncur dan melukai pundak kanan pangeran mahkota! Dan pada saat itu pula, Kim Hong Liu-nio telah bergerak dan nampaklah sinar merah meluncur dan menyerang panglima itu ketika dia menggerakkan sabuk merahnya.....!