Pendekar Lembah Naga Jilid 17

Sebetulnya kita tidak perlu khawatir sehingga harus tergesa-gesa, pikir Sin Liong, karena Jeng-hwa-pang sudah dibasmi oleh Kim Hong Liu-nio, dan mungkin tiga orang tadi hanya sisanya saja. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu, hanya diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia dapat bertemu dengan kakek ini karena kalau dia harus melakukan perjalanan seorang diri, mungkin dia akan sesat jalan dan akan makan waktu lebih lama untuk melewati Tembok Besar. Sebaliknya Na Ceng Han melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa dan dengan hati diliputi kekhawatiran besar.

Seperti juga orang-orang lain yang sudah banyak merantau dan banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, tentu saja Na Ceng Han sudah pernah mendengar nama perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu, maka ketika mendengar tiga orang penyerangnya tadi adalah orang-orang Jeng-hwa-pang, dia terkejut sekali dan ingin cepat meninggalkan tempat itu karena takut kalau-kalau orang-orang Jeng-hwa-pang akan mengejarnya.

Dia masih merasa sangat heran dan tidak mengerti kenapa secara tiba-tiba orang-orang Jeng-hwa-pang memusuhinya tanpa bertanya-tanya, padahal tadinya dia menyangka tiga orang itu hanya perampok-perampok biasa saja. Pantas kepandaian mereka begitu hebat! Dan diam-diam dia pun dapat menduga bahwa di dalam diri anak yang berjalan dengan gagahnya di sampingnya itu tentu tersembunyi rahasia yang amat hebat.

Tak mungkin ada anak biasa saja seperti Sin Liong ini. Mengakunya hidup sebatang kara di dalam hutan, akan tetapi memiliki pakaian yang cukup baik, mengenal tata susila dan sopan santun seperti anak kota yang terpelajar, dan jelas memiliki kepandaian silat yang aneh, keberanian luar biasa dan pandai memerintah monyet-monyet. Yang paling aneh, anak ini mengenal orang-orang Jeng-hwa-pang dan tahu tentang jarum-jarum beracun!

Diam-diam hatinya girang juga bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini, apa lagi sesudah mendapat kenyataan betapa selama melakukan perjalanan dari pagi sampai sore ini anak itu tidak pernah mengeluh, meski pun keringatnya telah membasahi seluruh badan dan napasnya agak memburu. Tidak minta minum, tidak mengeluh sama sekali. Benar-benar anak ajaib!

Na Ceng Han adalah seorang piauwsu yang cukup terkenal di kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia bukan saja terkenal sebagai seorang yang pandai ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali terkenal sebagai seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) yang amat jujur, setia dan boleh dipercaya.

Sudah puluhan tahun Na-piauwsu ini bekerja sebagai piauwsu dan belum pernah barang yang dikawalnya itu tidak sampai ke tempatnya dengan selamat. Dia melindungi barang kiriman yang dipercayakan kepadanya dengan taruhan nyawanya.

Tetapi penyebab utama yang membuat dia selalu berhasil dalam melaksanakan tugasnya adalah karena hubungannya yang amat luas, baik dengan golongan para pendekar, mau pun dengan golongan hitam. Dia tidak segan-segan untuk membagi hasil jerih payahnya mengawal barang itu dengan fihak-fihak kaum sesat yang berkuasa di sepanjang jalan sehingga fihak kaum sesat juga merasa segan mengingat Na-piauwsu ini lihai dan banyak sekali sahabatnya di antara para pendekar ternama, juga karena Na-piauwsu bersahabat baik dengan banyak tokoh kaum sesat.

Seperti pernah diceriterakan di bagian depan, pandai besi ahli pembuat pedang Bhe Coan yang tinggal di dusun di kaki Pegunungan Khing-an-san, juga termasuk seorang sahabat baik Na Ceng Han. Sebelum Bhe Coan menikah dengan janda Leng Ci yang genit, dia sudah kematian isterinya ketika melahirkan seorang anak perempuan. Sesudah menikah dengan janda genit dan cantik itu, si janda membujuknya untuk menyingkirkan anaknya, maka dia teringat kepada sahabatnya itu dan dia lalu memberikan anaknya perempuan itu kepada Na Ceng Han.

Na-piauwsu menerima anak itu dengan senang, bukan hanya karena Bhe Coan adalah seorang sahabat baiknya, akan tetapi juga karena dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja dan mereka berdua memang ingin sekali mempunyai seorang anak perempuan.

Pada hari itu, pada saat pekerjaannya agak sepi, yang ada hanya barang-barang kiriman yang tak begitu penting sehingga cukup diantar dan dikawal oleh para pembantunya saja, Na-piauwsu teringat akan sahabat baiknya itu. Dia ingin mengunjunginya, bukan hanya karena sudah merasa rindu dan ingin tahu bagaimana keadaan sahabatnya yang dia tahu amat jujur dan agak bodoh, akan tetapi sangat ahli dalam pembuatan pedang itu, akan tetapi juga untuk mengabarkan tentang keadaan Bi Cu, yaitu puteri dari sahabatnya itu, dan untuk minta dibuatkan sebatang pedang yang baik untuk Bi Cu!

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan dukanya ketika dia mendengar bahwa Bhe Coan sahabatnya itu telah tewas bersama isteri barunya, tewas dibunuh orang tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya! Bahkan dia mendengar dari para tetangga betapa banyak orang gagah yang datang untuk memesan pedang, juga terkejut dan marah, ingin tahu siapa pembunuhnya. Akan tetapi sampai sekian lamanya tak ada pula yang pernah mengetahuinya karena memang tidak ada orang yang menyaksikan pembunuhan atas diri suami isteri itu.

Demikianlah, dalam perjalanan pulang dari tempat tinggal sahabatnya, tanpa disangka-sangkanya Na Ceng Han bertemu dengan Sin Liong dan kini dia melakukan perjalanan pulang bersama Sin Liong. Di tengah perjalanan, beberapa kali Na Ceng Han memancing kepada anak itu untuk menceritakan riwayatnya.

Akan tetapi Sin Liong lebih banyak tutup mulut dari pada berbicara dan bagaimana pun didesak, tetap saja Sin Liong mengatakan bahwa namanya Sin Liong dan dia tidak tahu siapa nama ayahnya dan siapa ibunya. Dia mengatakan bahwa semenjak kecil dia hidup di antara monyet-monyet yang merawatnya.

"Akan tetapi engkau memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya. Dari siapa engkau mempelajari kepandaian itu, Sin Liong?" tanya Na Ceng Han ketika pada suatu malam mereka berhenti melewatkan malam di Tembok Besar.

"Saya hanya ikut-ikut latihan bersama anak-anak dusun, paman. Saya juga meniru-niru gerakan monyet-monyet kalau berkelahi," jawab Sin Liong secara singkat. Melihat anak itu memang sifatnya pendiam dan kelihatannya amat keras hati, Na Ceng Han tidak mau mendesak lagi, sungguh pun keterangan itu tidak dipercaya sepenuhnya.

"Maafkan aku kalau aku cerewet, Sin Liong. Akan tetapi aku amat tertarik kepadamu, dan sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi harap kau suka jawab sejujurnya. Engkau yang hidup di dalam hutan, tanpa sanak kadang tanpa keluarga, kenapa engkau secara tiba-tiba saja hendak pergi ke selatan? Engkau tahu akan sopan santun, agaknya engkau tahu pula baca tulis, siapakah yang mengajarkan itu semua dan dari siapa kau tahu bahwa di sebelah sana Tembok Besar terdapat dunia yang amat luas?"

"Ahh, paman. Di dusun banyak juga orang yang pandai baca tulis dan saya juga ikut-ikut belajar. Tentang maksudku berkunjung ke selatan Tembok Besar... ahh, saya hanya ingin meluaskan pengetahuan, paman..." Sesudah berkata demikian, Sin Liong menunduk dan jelas nampak dari wajahnya bahwa dia tidak ingin banyak bicara tentang dirinya sendiri lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah melanjutkan perjalanan mereka, menyeberang Tembok Besar menuju ke selatan. Jantung Sin Liong berdebar-debar penuh ketegangan ketika dia memasuki dusun pertama dari daerah selatan ini. Alangkah jauh bedanya keadaan di selatan dengan di utara.

Di sini mulai tampak padat dengan penduduk, dan ingatan bahwa dia makin dekat dengan ayah kandungnya, membuat dia merasa tegang dan gembira. Dia tidak tahu atau belum dapat membayangkan bahwa dunia selatan ini amat luasnya, lebih luas dari pada langit yang dapat nampak olehnya, dan betapa mencari satu orang di antara ratusan juta orang bukan merupakan hal yang mudah!

Akan tetapi dia mempunyai sebuah keuntungan, yaitu bahwa yang dicarinya itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang pendekar yang namanya pernah menjulang tinggi sekali di dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Bahkan pada waktu itu juga, tidak ada seorang pun kang-ouw yang tidak mengenal nama Cin-ling-pai di mana kakeknya, yaitu ayah dari Cia Bun Houw, menjadi ketuanya!

Melihat kegembiraan anak itu, diam-diam Na Ceng Han merasa terharu sekali. Anak ini sungguh patut dikasihani, pikirnya. Sesudah melakukan perjalanan selama beberapa hari ini bersama Sin Liong, dia semakin terkesan dan tertarik oleh anak ini yang benar-benar amat luar biasa. Pendiam, keras hati, tabah, sopan, dan sangat cerdik. Apa lagi anak ini telah menolongnya, bahkan kini luka di betisnya telah sembuh berkat perawatan Sin Liong yang membawa banyak daun obat untuk mengganti obat di luka itu setiap hari.

Na Ceng Han merasa berhutang budi kepada anak ini maka dia mengambil keputusan untuk melakukan apa saja bagi anak ini. Dia lalu mengajak Sin Liong singgah di kota raja, tak lain hanya untuk menyenangkan hati anak ini.

Dan Sin Liong memang senang bukan main. Dia merasa takjub melihat gedung-gedung indah, jembatan-jembatan besar yang indah, taman-taman yang seperti dalam dongeng saja di kota raja! Tiada habisnya dia mengagumi segala apa yang dilihatnya dan dia amat berterima kasih kepada Na Ceng Han.

Akhirnya sampailah mereka di kota Kun-ting. Ternyata rumah Na-piauwau cukup besar, merupakan sebuah gedung yang meski pun tidak amat mewah, akan tetapi cukup bagus karena selama bekerja puluhan tahun sebagai piawsu, Na Ceng Han bisa mengumpulkan kekayaan sekedarnya. Kantor piauwkiok-nya (perusahaan ekspedisi) diberi nama Ui-eng Piauwkiok.

Nama Ui-eng (Garuda Kuning) berasal dari nama julukan ayah dari Na Ceng Han yang kini sudah meninggal dunia. Ayah dari Na Ceng Han juga seorang piauwsu dan karena ayahnya itu suka sekali memakai pakaian kuning dan sepak terjangnya laksana seekor garuda, maka dia mendapatkan julukan Garuda Kuning. Maka pada waktu ayahnya itu membuka piauwkiok, julukan ini lalu dipakai.

Karena itu terkenallah Ui-eng Piauwkiok sampai menurun kepada Na Ceng Han. Bendera berlatar belakang merah dengan gambar seekor garuda kuning amat dikenal oleh seluruh kaum liok-lim dan kalangan kang-ouw sehingga baru benderanya itu saja yang berkibar di atas gerobak pengangkut burang yang dikawal oleh Ui-eng Piauwkiok, sudah merupakan jaminan keamanan gerobak itu.

Kedatangan Na Ceng Han disambut oleh isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh lima tahun, bersikap lemah lembut dan ramah, lalu nampak seorang anak laki-laki sebaya dengan Sin Liong. Anak ini adalah Na Tiong Pek, putera tunggal dari keluarga Na. Dan di belakang Tiong Pek ini muncul seorang anak perempuan yang manis sekali, yang mengingatkan Sin Liong kepada Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi anak perempuan ini sifatnya lemah lembut dan pendiam, bahkan agak malu-malu tidak seperti Lan Lan dan Lin Lin.

Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, memandang kepada Sin Liong dengan mata terbuka lebar keheranan. Anak ini adalah Bi Cu, puteri dari Bhe Coan yang sejak bayi dititipkan kepada Na Ceng Han. Bhe Bi Cu tidak diaku anak oleh Na Ceng Han, maka masih memakai she Bhe, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, anak ini tidak dianggap orang lain oleh suami isteri Na, dianggap anak sendiri, bahkan amat disayang oleh mereka. Betapa pun juga, Bhe Bi Cu selalu ‘tahu diri’, merasa dia bukanlah anak mereka dan hanya seorang yang menumpang hidup! Inilah agaknya yang membuat Bi Cu selalu bersikap pendiam dan malu-malu.

Keluarga Na menyambut kedatangan Na Ceng Han dengan penuh kegembiraan. Apa lagi setelah piauwsu itu mengeluarkan oleh-olehnya. Kain sutera halus untuk isterinya, hiasan rambut dari emas untuk Bi Cu, dan gendewa beserta anak panahnya yang terukir dan dicat indah untuk Tiong Pek. Semua benda ini dibelinya di kota raja dan hanya di kota raja sajalah ada yang menjual benda-benda seindah itu. Tentu saja anak-anak dan isterinya itu gembira sekali dan barulah isterinya bertanya siapa adanya anak laki-laki yang ikut bersama suaminya.

Sejak tadi Sin Liong memandang pertemuan itu dengan hati perih dan penuh rasa iri di dalam hatinya. Belum pernah dia mengalami pertemuan seperti itu, demikian asyik dan mesra! Belum pernah dia merasakan betapa akan gembira hatinya ketika menyambut pulangnya seorang ayah yang membawa oleh-oleh! Akan tetapi dia hanya menunduk dan membiarkan ayah bersama keluarganya itu bertemu dan melepaskan rindu tanpa berani mengganggu, bahkan dia mundur di sudut.

"Siapakah anak itu?" tanya nyonya Na dan kini dua orang anak itu pun yang tadinya bergembira dengan barang-barang mereka menoleh dan memandang kepada Sin Liong.

Karena semua mata kini memandang kepadanya, Sin Liong yang tadinya menunduk kini malah mengangkat mukanya dan membalas pandang mata mereka dengan tenang. Dia melihat betapa wajah nyonya itu peramah sekali, betapa sepasang mata anak laki-laki itu memandangnya penuh curiga dan anak perempuan yang manis itu memandang padanya dengan sepasang mata terbuka lebar, agaknya terheran-heran.

Na Ceng Han tertawa, kemudian menghampiri Sin Liong dan menaruh tangannya di atas pundak anak itu dan berkatalah dia kepada keluarganya. "Anak ini bernama Sin Liong dan ketahuilah, kalau tidak ada anak ini, aku sudah tidak akan berjumpa lagi dengan kalian. Aku tentu telah tewas di utara sana tanpa ada yang mengetahui."

"Ihhh...?" Nyonya Na berseru dengan muka berubah pucat.

"Ahh...!" Bi Cu juga berseru dan matanya makin terbelalak memandang kepada Sin Liong.

"Ayah, apakah yang telah terjadi?" Tiong Pek juga berseru kaget.

Na Ceng Han menarik napas panjang, lantas dengan halus mendorong Sin Liong maju menghampiri keluarganya. "Marilah kuperkenalkan dulu. Sin Liong, dia ini adalah bibimu, dan ini adalah anakku, Na Tiong Pek dan ini adalah keponakanku, Bhe Bi Cu."

Sin Liong yang sejak kecil sudah diajar sopan santun oleh ibunya, cepat memberi hormat kepada nyonya itu sambil menyebut. "Bibi..."

Nyonya Na segera mengulurkan tangan memegang pundak anak itu dan berkata, "Anak baik, duduklah."

Kini mereka semua duduk mengelilingi meja, dan mulailah Na Ceng Han menceritakan pengalamannya ketika dia dihadang oleh tiga orang perampok lihai dan dia sudah terluka kakinya, kemudian Sin Liong muncul bersama rombongan monyet dan menyelamatkan dirinya dari bahaya maut.

"Dia tidak hanya membantuku mengusir tiga orang itu, tetapi bersama teman-temannya, rombongan kera itu, dia telah mengobati luka pada kakiku sampai sembuh!" Na-piauwsu mengakhiri ceritanya tanpa menyebut-nyebut tentang kematian Bhe Coan.

Nyonya bersama kedua orang anak itu mendengarkan dengan mata terbuka lebar, penuh perhatian dan penuh keheranan.

"Luar biasa sekali...!" seru nyonya itu sambil memandang kepada Sin Liong. "Seolah-olah Thian sendiri yang mengutus dia turun dari kahyangan untuk menolongmu, suamiku!"

Na Ceng Han tertawa. "Ha-ha-ha-ha, memang tadinya aku sendiri pun terheran-heran dan mengira dia seorang dewa sebangsa Lo-cia! Akan tetapi dia seorang manusia biasa yang ingin ke selatan, maka aku membawanya sampai ke sini."

"Muncul bersama serombongan monyet?" Tiong Pek berseru heran sambil memandang kepada Sin Liong. "Apakah... apakah dia mengenal monyet-monyet itu...?"

"Ha-ha-ha, mengenal mereka? Tiong Pek, sayang kau tidak melihat sendiri betapa dia ini sudah memerintahkan monyet-monyet untuk mundur ketika mereka itu salah sangka dan hendak mengeroyokku, kemudian betapa dia menyuruh monyet-monyet itu mencarikan daun obat untuk mengobati luka di betisku!"

"Ahh...! Benarkah itu? Kalau begitu engkau bisa bercakap-cakap dengan monyet!" Tiong Pek bertanya kepada Sin Liong, sinar matanya penuh kekaguman dan Sin Liong melihat betapa anak ini memiliki watak yang jujur. Maka dia mengangguk tanpa menjawab.

"Bagus, kau harus ajari aku bicara monyet!" Tiong Pek berseru sambil memegang tangan Sin Liong. "Dan kau boleh memilih benda-benda mainanku, mana yang kau suka boleh kau ambil!" Tiong Pek kemudian menarik tangan Sin Liong. "Marilah. Sin Liong, mari kita bermain di belakang!"

Sin Liong hanyut oleh kegembiraan anak itu. Anak ini berbeda dengan Siong Bu, dan biar pun tidak selucu Beng Sin, akan tetapi anak ini jujur dan terbuka, tidak seperti Beng Sin yang tidak berani terang-terangan bersikap manis kepadanya. Akan tetapi dia tidak mau bersikap kurang hormat dan dia memandang kepada Na Ceng Han.

Na-piauwsu tersenyum dan mengangguk. "Kau bermainlah bersama Tiong Pek dulu, Sin Liong, aku hendak bicara dengan bibimu dan dengan Bi Cu."

Maka pergilah Sin Liong, setengah ditarik oleh Tiong Pek, menuju ke ruangan belakang dari rumah yang besar itu. Bi Cu mengikuti mereka dengan pandang matanya. Agaknya dia pun ingin bicara dengan Sin Liong, ingin bertanya mengenai kehidupan anak itu yang sangat aneh, yang pandai memerintah monyet-monyet, dan terutama sekali, yang datang dari utara, dari mana dia pun datang ketika masih bayi.

Akan tetapi sebagai seorang anak perempuan, dia tidak mau menyatakan keinginannya itu, apa lagi dia tadi mendengar bahwa pamannya hendak berbicara dengan dia. Dia tahu bahwa pamannya baru saja pergi ke utara untuk mengunjungi ayahnya, yang kabarnya menjadi pandai besi, ahli pembuat pedang di utara sana, maka kini dia ingin mendengar tentang ayahnya itu dari Na-piauwsu.

"Lalu sudahkah kau berjumpa dengan Saudara Bhe Coan?" Na-hujin bertanya.

Hatinya sudah merasa tidak enak karena kepergian suaminya ke utara itu adalah untuk mengunjungi sahabat suaminya itu, akan tetapi semenjak tadi suaminya tak pernah bicara tentang orang she Bhe yang menjadi ayah kandung Bi Cu itu.

Kini Bi Cu memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar mengenai satu-satunya orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi pada saat berpisah dari ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dia.

Na-piauwsu menarik napas panjang dan menatap kepada Bi Cu dengan penuh perasaan kasihan. Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, begitu pula isterinya mencinta Bi Cu seperti anak sendiri. Biar pun Bi Cu tak pernah berdekatan dengan ayah kandungnya sehingga tentu saja tak ada pertalian rasa kasih sayang, akan tetapi untuk menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu dia merasa ragu-ragu dan tak enak juga. Betapa pun, dia tidak boleh merahasiakan hal itu dan harus dia ceritakan kepada Bi Cu.

"Ahh, berita yang kubawa mengenai saudara Bhe Coan amatlah buruknya...," kembali dia menarik napas panjang "...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun yang lalu, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu...bahkan belum lama setelah Bi Cu berada di sini..."

"Apa yang terjadi dengan dia?" tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut.

"Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang..."

"Ahhhh...!" Nyonya Na menjerit.

Melihat Bi Cu memandang suaminya dengan wajah yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, nyonya ini lalu merangkul Bi Cu dan menangislah nyonya Na karena dia merasa kasihan sekali terhadap Bi Cu. Akan tetapi, Bi Cu sendiri tidak menangis, dia hanya memandang dengan muka pucat kepada Na Ceng Han! Anak ini sama sekali tidak merasa berduka!

Hal ini tidaklah aneh. Dia tak pernah melihat wajah ayah kandungnya, hanya tahu bahwa dia mempunyai seorang ayah kandung. Karena tidak pernah bertemu, tentu saja tidak ada ikatan di dalam hatinya, tidak ada dia merasa kehilangan ketika mendengar bahwa ayah kandungnya meninggal dunia. Memang ada perasaan nyeri mendengar ayah kandungnya dibunuh orang, akan tetapi duka sama sekali tidak dirasakannya.

"Paman, siapakah yang membunuh ayahku?" tanyanya dengan suara lirih.

Na Ceng Han menarik napas panjang. "Dia tewas bersama isterinya, yaitu ibu tirimu, di dalam kamar. Begitulah menurut cerita para tetangganya. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang melihat pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh Bhe Coan beserta isterinya. Bahkan sebelum aku datang ke sana, selama beberapa tahun ini para pendekar yang datang ke sana untuk memesan pedang, yang juga telah mengenal baik ayahmu, merasa penasaran dan juga menyelidiki, akan tetapi sampai sekarang agaknya tidak ada orang yang dapat menemukan siapa pembunuh Bhe Coan dan isterinya itu."

Bi Cu melepaskan rangkulan bibinya. "Aku... aku mau mengaso ke kamarku...," katanya.

Paman dan bibinya mengangguk dan memandang kepada anak yang pergi dengan kepala tunduk itu dengan hati kasihan. Mereka merasa kasihan sekali dan merasa makin sayang kepada Bi Cu.

"Kasihan dia...," nyonya itu terisak.

"Baiknya dia tidak sampai terpukul oleh berita ini," kata Na Ceng Han.

"Sebaiknya dia kita jadikan anak kita saja..."

Isterinya menggeleng dan berkata lirih, "Lebih baik begini saja. Bukankah kita juga sudah memperlakukan dia tiada bedanya dengan anak sendiri? Biarlah dia menyebut kita paman dan bibi, karena aku... aku mempunyai niat... dia dan Tiong Pek..."

Wajah Na Ceng Han berseri-seri. "Ahh, begitukah? Baik sekali pikiran itu, dan aku setuju sepenuhnya!"

Suami isteri itu membayangkan betapa akan bahagia mereka kalau Bi Cu kelak menjadi isteri Tiong Pek. Tidak akan keliru lagi pilihan ini karena merekalah yang mendidik Bi Cu semenjak kecil! Dan mereka berdua membayangkan betapa mereka akan sayang sekali kepada cucu yang terlahir dari Bi Cu dan Tiong Pek!

Sementara itu, Sin Liong mengagumi mainan-mainan yang dimiliki oleh Tiong Pek. Anak ini memang amat ramah setelah berkenalan, bahkan Tiong Pek lalu memamerkan ilmu silatnya yang dia latih bersama Bi Cu di bawah pimpinan ayahnya sendiri.

"Kau tahu, Sin Liong. Kepandaian kami adalah kepandaian warisan. Ilmu silat keluarga Na sangat terkenal di daerah ini dan ayah sudah turun-temurun menjadi piauwsu. Kelak aku pun ingin menjadi seorang piauwsu yang baik. Semenjak kakek masih hidup nama Ui-eng Piauwkiok telah terkenal!"

Sin Liong memandang kagum ketika melihat Tiong Pek bersilat dengan sangat cekatan. Dia melihat betapa Tiong Pek sungguh tak kalah bila dibandingkan dengan Siong Bu atau Beng Sin. Bahkan Tiong Pek yang hendak memamerkan kepandaiannya kepada sahabat barunya ini dapat pula mainkan bermacam-macam senjata! Terutama pedang dapat dia mainkan dengan indah karena memang senjata utama dari keluarga Na adalah sebatang pedang.

"Sin Liong, kau tinggallah saja di sini! Kau menjadi murid ayah sehingga kita bisa berlatih bersama-sama!"

Sin Liong hanya tersenyum.

"Ehh, mana sumoi?"

"Siapakah sumoi-mu?"

"Tadi engkau telah melihatnya. Bi Cu adalah sumoi-ku. Murid ayah hanya dua orang, aku sendiri dan Bi Cu."

"Akan tetapi bukankah dia itu keponakan ayahmu?"

"Hanya keponakan luar belaka, bukan keluarga Na. Dia adalah puteri dari paman Bhe Coan. Ibu kandungnya, adik ayahku, meninggal ketika melahirkan dia. Ayahnya kawin lagi maka semenjak bayi dia dirawat oleh ayah dan ibuku. Mari kita cari dia. Dia juga harus memperlihatkan ilmu silatnya kepadamu. Wah, dia juga lihai sekali. Dalam hal kecepatan, aku tidak pernah dapat menandinginya!"

Tiong Pek lalu mengajak Sin Liong mencari Bi Cu. Akan tetapi anak itu tidak berada di dalam kamarnya. Pada saat mereka mencari ke dalam taman, ternyata Bi Cu menangis di atas bangku yang terpencil di dekat empang ikan. Melihat ini, Tiong Pek terkejut bukan main.

"Sumoi tidak pernah kulihat menangis! Ada apakah?" Dia segera berlari-lari menghampiri sumoi-nya, diikuti oleh Sin Liong dari belakang.

Di dalam hatinya, Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap Bi Cu. Dia sudah mendengar dari Na-piauwsu bahwa ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu sudah dibunuh orang. Agaknya tentu anak yang sudah tidak beribu lagi itu sudah mendengar mengenai kematian ayahnya. Kini Bi Cu sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu!

Setelah sampai di hadapan Bi Cu yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya, Tiong Pek cepat duduk di samping sumoi-nya, memegang lengan sumoi-nya dan berkata dengan sikap cemas, "Sumoi, ada apakah? Kenapa kau menangis?"

Melihat sikap ini Sin Liong berdiri agak jauh dan memandang saja. Dia kini tahu bahwa Tiong Pek adalah seorang anak yang baik dan jelas nampak bahwa Tiong Pek sayang sekali kepada sumoi-nya itu. Hal ini memang tidaklah aneh. Semenjak mereka berdua masih anak-anak yang kecil, keduanya telah bermain bersama-sama sehingga tentu saja timbul rasa sayang di dalam hati masing-masing.

Bi Cu mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Tiong Pek yang memandang kepadanya penuh kegelisahan itu, tangisnya makin mengguguk!

"Sumoi, katakanlah, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?" tanya Tiong Pek makin gugup dan gelisah.

"Suheng... ibu... ibuku sudah mati semenjak melahirkan aku... dan sekarang... sekarang ayahku..."

"Ayahmu kenapa?"

"Ayahku telah mati pula dibunuh orang sepuluh tahun yang lalu..." Dan anak perempuan itu menangis makin sedih.

"Ahhh!" Tiong Pek bangkit berdiri, mengepal tinju, matanya berapi-api, akan tetapi dia lalu duduk kembali. "Siapa bilang? Ayah?"

Dara cilik itu mengangguk.

"Siapa yang membunuhnya?"

"Paman... paman juga tidak tahu, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayahku sepuluh tahun yang lalu..."

"Sudahlah, sumoi, jangan berduka. Hal itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi percayalah, kelak aku yang akan membantumu mencari siapa pembunuh ayahmu itu!" Tiong Pek bicara penuh semangat sehingga terhibur juga hati Bi Cu. Ketika dilihatnya bahwa Sin Liong juga berada di situ, tangisnya segera terhenti karena dia merasa malu untuk menangis di depan anak yang baru datang ini.

Ketika dibujuk oleh keluarga Na, dan melihat betapa keluarga itu amat baik kepadanya, akhirnya Sin Liong menerima juga untuk tinggal di situ dan mempelajari ilmu silat dari Na Ceng Han.

Na-piauwsu maklum bahwa di dalam diri Sin Liong terdapat rahasia yang luar biasa, dan bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, maka dia tidak berani menjadi guru anak itu. Dalam bujukannya yang meyakinkan hati Sin Liong sehingga anak itu mau menerima tawarannya, dia berkata,

"Sin Liong, ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekaii orang-orang yang sangat pandai akan tetapi juga sangat jahat. Oleh karena itu, mengandalkan perantauan seorang diri di dunia ramai ini seharusnya membawa bekal sedikit ilmu untuk melindungi diri sendiri dari mara bahaya. Aku tidak berani menjadi gurumu, akan tetapi berilah kesempatan padaku untuk membalas budimu dengan menurunkan sedikit ilmu pembelaan diri kepadamu. Kau mempelajari ilmu dan mengenal keadaan dunia kang-ouw, sehingga satu atau dua tahun kemudian engkau boleh melanjutkan perantauanmu tanpa meninggalkan rasa khawatir di dalam hati kami."

Demikianlah, mulai hari itu, Sin Liong tinggal di rumah Na-piauwsu dan setiap hari anak ini dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han. Diam-diam Na Ceng Han terkejut karena ternyata olehnya bahwa anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang aneh. Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang ibu kandung anak ini sudah mengajarkan dasar ilmu silat tinggi, dan ibu anak ini adalah murid terkasih mendiang Hek I Siankouw, karena itu tidak mengherankan kalau Sin Liong telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi!

Karena tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu silat pada saat dia tinggal di Istana Lembah Naga, maka ketika dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, gerakan-gerakannya sangat kaku sehingga Tiong Pek dan Bi Cu yang menonton kadang-kadang tertawa. Akan tetapi mereka bukanlah mentertawakan untuk mengejek, hanya karena hati mereka terasa geli melihat gerakan yang kaku itu.

Betapa pun, ketika mereka mengadakan latihan bersama, segera nampak jelas oleh Na Ceng Han betapa dalam hal kecepatan, Sin Liong memiliki kecepatan yang wajar dan luar biasa sekali, kecepatan yang diperoleh dari kehidupannya bersama para monyet sehingga Bi Cu yang memiliki bakat baik sekali untuk ilmu ginkang sehingga tidak dapat ditandingi oleh suheng-nya itu pun masih kalah cepat dibandingkan dengan Sin Liong yang sudah sejak kecil mengandalkan tenaga untuk melindungi diri di hutan, dengan berayun-ayun, bahkan masih mengatasi Tiong Pek.

Dengan demikian, kalau anak ini sudah dilatih ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, sudah pasti bahwa dia akan lebih cepat dari Bi Cu dan lebih kuat dari Tiong Pek, berarti lebih lihai dari pada mereka!

Pergaulannya dengan Tiong Pek dan Bi Cu akrab sekali karena dalam pergaulan itu tidak ada sesuatu yang menghalangi seperti pergaulannya dengan anak-anak di Istana Lembah Naga. Dan ternyata bahwa Na Ceng Han dan isterinya benar-benar merupakan suami isteri yang berbudi dan ramah sehingga Sin Liong merasa suka sekali kepada keluarga ini dan betah tinggal di rumah mereka.

Dia bahkan kadang-kadang ikut dengan rombongan piauwsu mengawal barang. Hal ini memang atas anjuran Na Ceng Han yang ingin agar anak ini dapat memiliki pandangan luas dan pengalaman sebagal bekal niatnya untuk merantau. Dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang mendorong anak ini untuk merantau, akan tetapi dia tahu bahwa membujuk anak itu untuk mengaku akan percuma belaka, karena itu dia pun tidak pernah bertanya.

Sin Liong berlatih rajin. Dia tidak memanggil suheng atau sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, dan juga sebaliknya dua orang anak itu tidak menyebutnya saudara seperguruan. Hal ini memang kehendak dari Na-piauwsu yang tidak berani menerima anak ajaib itu sebagai muridnya. Dia tidak mau mengikat Sin Liong, dan tentu saja kalau anak itu sendiri yang mengangkat dia sebagai guru, maka dia tentu akan menerimanya.

Akan tetapi karena dia tidak tahu betul siapa adanya anak itu, maka dia pun tidak berani mengambil anak itu menjadi muridnya. Dan ternyata agaknya Sin Liong juga tidak mau terikat, maka anak itu pun diam saja, tetap memanggil ‘paman Na’ kepada piauwsu itu, walau pun dia berlatih silat dengan amat tekun sehingga dua orang anak itu pun terseret dan ikut pula menjadi tekun. Hal ini amat menggirangkan hati Na-piauwsu…..

********************

Istana kaisar sedang dalam keadaan prihatin karena Kaisar Ceng Tung sedang menderita sakit keras. Tidak nampak senyum pada wajah semua orang yang berada di istana, dari penjaga sampai pelayan dalam istana, dari pengawal sampai para panglima yang keluar masuk untuk menjenguk keadaan kaisar.

Semua ahli pengobatan istana dikerahkan, bahkan juga didatangkan ahli-ahli pengobatan dari luar, tidak ketinggalan pula para ahli ‘mengusir setan’ untuk membuat persembahan dan memasang benda-benda yang dinamakan ‘hu’ yang dianggap sebagai tumbal atau jimat penolak bahaya! Akan tetapi, penyakit yang diderita oleh kaisar tidak menjadi makin ringan, bahkan makin hari makin berat saja.

Pada suatu hari, ketika kota raja mulai sibuk dengan arus manusia yang berlalu-lalang dan kesibukan para pedagang yang mulai dengan perlombaan mereka mencari untung hari itu, nampak dua orang yang mau tak mau menarik perhatian banyak orang dari pintu gerbang sebelah utara kota raja. Di antara banyak pintu gerbang kota raja, pintu gerbang sebelah utara merupakan pintu yang terbesar dan dijaga paling kuat.

Dua orang ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Ceng Han How, putera dari Raja Sabutai yang memasuki kota raja bersama dengan Kim Hong Liu-nio. Tentu saja banyak orang tertarik melihat seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah, tata rambutnya seperti seorang puteri, akan tetapi langkahnya begitu tegap dan tenang seperti langkah seorang ahli silat yang biasa melakukan perantauan. Dan keadaan Ceng Han Houw juga menarik perhatian orang karena pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tampan dan halus gerak-geriknya sedangkan sepasang matanya memiliki sinar yang tajam penuh wibawa.

Akan tetapi karena banyaknya bermacam-macam orang memasuki kota raja, keadaaan mereka itu tidak menimbulkan kecurigaan, terlebih lagi karena Kim Hong Liu-nio bersikap hati-hati sekali sesudah memasuki daerah kota raja yang diketahuinya terdapat banyak orang pandai itu. Dia tak lagi menonjolkan papan kayu salib yang bertuliskan nama-nama marga musuh besar gurunya seperti biasa, bahkan dia pun lebih banyak berdiam dan tidak melayani pandang mata banyak pria yang memandangnya dengan penuh kagum.

Ceng Han Houw tiada henti-hentinya mengagumi keadaan kota raja. Wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar pada saat dia menyaksikan jalan-jalan raya yang rata dan bersih, rumah-rumah besar serta istana-istana yang indah dan megah.

Dia pun merasa sekali betapa suci-nya mendadak menjadi ‘alim’ dan pendiam semenjak memasuki wilayah kota raja, padahal sebelum itu, semenjak di penyeberangan Tembok Besar, ketika melalui dusun dan kota, sudah belasan orang menjadi korban suci-nya itu yang tidak mau mengampuni setiap orang yang kebetulan memiliki nama keturunan atau marga Cia, Yap dan Tio.

Tentu saja perbuatannya itu amat menggemparkan dan sebentar saja nama Kim Hong Liu-nio dikenal orang sebagai nama yang amat ditakuti seperti iblis. Akan tetapi, setelah tiba di perbatasan kota raja, Ceng Han Houw melihat betapa suci-nya itu tidak pernah lagi bertanya-tanya kepada orang, apakah di situ ada orang-orang yang memiliki tiga macam nama marga itu.

"Suci, benarkah banyak orang lihai di sini?" bisiknya kepada suci-nya pada waktu mereka sedang berjalan di sepanjang jalan raya di kota raja. Pertanyaan itu diajukannya dengan menggunakan bahasa Mongol.

"Ssttt, jangan bicara yang bukan-bukan, sute," wanita itu menjawab dalam bahasa Han. "Bericaralah dengan bahasa Han supaya kita tidak menarik perhatian orang, dan mari kita langsung saja pergi ke istana."

Sejak dia berusia sepuluh tahun, Han Houw sudah mendengar dari ibunya bahwa kaisar yang maha besar di selatan itu adalah ayah kandungnya! Rahasia ini dibuka oleh ibunya karena dia dianggap sudah cukup besar untuk dapat menyimpan rahasia dan diam-diam Han Houw mempunyai rasa bangga yang amat besar.

Ayahnya sendiri adalah seorang raja di utara, akan tetapi bila dibandingkan dengan kaisar, maka kedudukan ayahnya itu sama sekali tidak ada artinya. Ayahnya hanya menguasai tanah-tanah yang masih liar, dan mempunyai pasukan yang banyaknya hanyalah ribuan orang, sedangkan menurut buku-buku yang dibacanya, kaisar di selatan adalah seorang yang amat berkuasa, menguasai daerah yang tak terukur luasnya dan orang-orang serta pasukan yang tak terhitung banyaknya. Bahkan banyak sekali raja-raja kecil yang tunduk kepada kekuasaan kaisar. Dan orang ini adalah ayah kandungnya!

Maka mendengar ucapan suci-nya, dia mengerutkan alisnya sambil memandang kepada pakaiannya. Pakaian yang dikenakannya memang cukup baik, namun sudah agak kotor berdebu akibat perjalanan terakhir memasuki kota raja. Dan dia tidak ingin menghadap ayahnya yang amat berkuasa itu dalam pakaian kotor!
"Aku harus berganti pakaian lebih dulu, suci."

Pada waktu dia hendak berangkat, ibunya sendiri yang memesan kepadanya agar kalau menghadap kaisar dia mengenakan pakaian terbaik yang telah sengaja dipersiapkan oleh ibunya, dan bahkan ibunya mengajarkannya pula bagaimana dia harus bersopan santun di dalam istana sebagai seorang pangeran putera kaisar!

Kim Hong Liu-nio menoleh dan memandang wajah sute-nya. Tidak biasanya sute-nya ini membantah kata-katanya, karena sute-nya menganggap dia seperti guru juga. Meski pun sute-nya ini murid dari Hek-hiat Mo-li juga, akan tetapi selama ini dialah yang lebih banyak membimbing sute-nya ini dalam berlatih ilmu silat.

Han Houw tahu bahwa suci-nya memandang kepadanya, maka dia berkata, "Untuk pergi menghadap kaisar, aku harus mengenakan pakaian bersih, begitu pesan ibu kepadaku."

Kim Hong Liu-nio mengangguk. Dia tahu bahwa bagaimana pun juga, sute-nya ini adalah seorang junjungannya yang harus ditaatinya, karena itu dalam hal-hal tertentu, dia sama sekali tidak boleh dan tidak berani membantah.

"Kalau begitu, terlebih dahulu kita mencari sebuah rumah penginapan," katanya singkat. Mereka lalu pergi mencari rumah penginapan dan tentu saja amat mudah mencari rumah penginapan di kota raja yang besar dan ramai itu.

Setelah tiba di rumah penginapan dan memesan dua buah kamar besar, Kim Hong Liu-nio mempersilakan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw untuk mandi kemudian bertukar pakaian sedangkan dia sendiri juga membersihkan diri dan menukar pakaian yang bersih. Setelah selesai, Han Houw mengajak wanita itu untuk makan dulu.

"Siapa tahu, di istana kita harus menanti sampai lama," kata Han Houw. "Menurut cerita ibu, di istana kita harus sopan dan sama sekali tidak boleh bergerak, berkata atau berbuat apa saja sebelum diperintah. Kalau di sana kita harus menunggu lama dan perutku lapar tanpa berani minta makan atau pergi mencari makan, wah, bisa kelaparan aku! Mari kita makan dulu sekenyangnya, baru kita pergi menghadap ke istana, suci. Dan menurut ibu, kabarnya di kota raja ini kita bisa makan apa pun juga! Bahkan segala macam daging pun bisa pesan. Kata ayah di sini orang-orangnya pandai sekali memasak, seperti dewa, bisa menyulap daging-daging ular, buaya, harimau, biruang, dan lain-lain menjadi masakan-masakan sedap. Bahkan kalau mau memesan daging paha burung hong, atau lidah naga laut, kabarnya bisa juga."

Kim Hong Liu-nio tersenyum mendengar omongan sute-nya itu, dan begitu dia tersenyum, lenyaplah sifat dingin menyeramkan dari wanita ini. Sebenarnya Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan manis sekali, apa lagi kalau tersenyum seperti itu, karena selain dia memiliki bentuk bibir yang indah, juga giginya putih dan rapi.

"Sute, di jaman sekarang ini, mana ada segala macam burung hong, naga atau pun kilin? Itu hanya pandainya para pemilik restoran saja. Yang dimaksudkan dengan paha burung hong bukan lain adalah paha burung dara, dan lidah naga adalah lidah ular tertentu yang memang lezat dimasak, kalau yang masaknya pandai. Harimau itu paling-paling daging kucing, dan biruang itu tak salah lagi tentu daging anjing. Tidak salah bahwa memang di sini banyak terdapat ahli masak yang pandai dan memang segala macam daging itu yang enak apanya sih? Tanpa bumbu, mana bisa enak? Yang enak adalah bumbunya!"

Mereka segera pergi ke sebuah restoran yang besar dan banyak tamunya. Karena Han Houw ingin melihat keadaan di luar restoran di mana terdapat arus lalu lintas yang cukup ramai, maka dia memilih tempat duduk paling pinggir, di sebelah luar menghadapi pintu dan jendela terbuka. Selain di sini tidak begitu panas karena jauh dari api dapur dan juga memperoleh hawa langsung dari luar yang terbuka, juga dia dapat melihat-lihat keadaan di luar restoran.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar