Menggunakan hio-hio biting sekaligus membunuh enam orang yang tidak lemah, hanya dengan sekali serang, benar-benar membayangkan tenaga dan kepandaian seperti iblis! Dan wanita cantik itu sama sekali tidak pernah berkedip menyaksikan hasil perbuatannya yang mengerikan. Dia hanya mencibirkan bibirnya dan memandang ketika enam orang itu berkelojotan dan mati, kemudian dengan tenangnya dia menyimpan salib yang bertuliskan nama she tiga macam itu, diselipkannya di punggung dengan terbalik sehingga huruf-huruf itu tidak nampak lagi.
Tentu saja kawan-kawan dari enam orang yang dibunuh secara mengerikan itu menjadi marah. Mereka meloncat dan mencabut senjata mereka. Ada delapan orang laki-laki yang meloncat dan menerjang wanita cantik itu dengan senjata mereka.
"Siluman betina...!"
"Bunuh iblis keji ini!"
Mereka lalu menyerbu dengan senjata pedang, golok dan sebagainya. Tapi dengan bibir masih tetap mencibir dan bersikap tenang saja wanita itu membiarkan mereka menerjang. Ketika mereka sudah datang dekat, tiba-tiba tangan kanannya yang sudah mengeluarkan sehelai sabuk merah itu bergerak, dan nampaklah sinar bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuhnya.
Terdengar delapan kali bunyi ledakan-ledakan seperti pecut, dan delapan orang itu lantas terhuyung ke belakang, senjata mereka terlepas dan mereka pun mengaduh-aduh sambil memegangi lengan tangan yang tersambar sinar merah itu, bahkan ada yang terbanting roboh dan ada pula yang lengannya berdarah, ada yang lepas sambungan tulang sikunya atau pergelangan tangannya! Delapan orang itu mundur semua dan memandang dengan mata terbelalak.
Wanita itu kini tersenyum mengejek. Senyuman itu dimaksudkan untuk mengejek, akan tetapi tahi lalat hitam di dagu itu betul-betul membuat dia nampak manis sekali pada saat tersenyum, sungguh pun senyum itu dibuat-buat untuk mengejek.
"Untung bahwa kalian bukan orang-orang she Cia, Yap atau Tio, sehingga tidak perlu aku membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, dengan langkah ringan dia lalu melangkah ke depan, hendak menghampiri sepasang mempelai.
"Omitohud, dari mana datangnya wanita yang begini kejam?"
Seruan itu keluar dari mulut Lan Kong Hwesio dan kakek pendeta besar bermuka hitam tokoh Go-bi-pai itu sudah berdiri menghadang di hadapan wanita itu. Lan Kong Hwesio adalah seorang tokoh Go-bi-pai dan sebagai hwesio, juga seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja dia selalu menentang segala bentuk kejahatan dan kekejaman, apa lagi melihat wanita yang seperti iblis ini agaknya mengancam keselamatan sepasang mempelai.
Melihat hwesio tinggi besar itu menghadang dan menggerakkan ujung lengan baju yang menyambar dahsyat ke arah pinggangnya, ujung lengan baju yang dapat digunakan untuk menotok sehingga serangan itu dahsyat dan hebat bukan main, wanita itu mengeluarkan seruan marah dan ujung sabuk merahnya menyambar ke depan.
"Pratttt…!"
Sabuk merah itu membalik keras, akan tetapi ujung lengan baju Lan Kong Hwesio juga pecah-pecah! Hwesio tinggi besar itu terkejut bukan main. Kiranya wanita yang masih sangat muda ini telah memiliki tingkat tenaga sinkang yang amat hebat, dan ujung sabuk itu merupakan senjata maut. Kalau tadi wanita itu menghendaki, tentu delapan orang itu sudah menjadi mayat semua!
Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar yang tentu saja tidak mau mendiamkan fihak yang jahat merajalela, Lan Kong Hwesio sudah kembali menubruk ke depan. Sekali ini dia menggunakan jurus pukulan tangan kosong yang amat lihai dari Go-bi-pai, yang bernama jurus Siang-liong Pai-hud (Sepasang Naga Memuja Buddha).
Dua tangannya menyambar dari luar, dari kanan kiri dan menyambarlah angin yang amat dahsyat dari dua jurusan. Gerakan ini membuat dua buah ujung lengan baju yang panjang itu laksana dua ekor ular menotok ke arah leher dan pinggang, atas dan bawah dengan kecepatan yang sukar diduga mana lebih dulu.
"Plakk-plakk!”
“Aihhhhh...!" Wanita itu berhasil menangkis dua serangan itu dan meloncat ke belakang sambil melengking. "Losuhu adalah seorang tokoh Go-bi-pai yang berjubah pendeta, tapi kenapa begitu kejam sudah mempergunakan jurus Siang-liong Pai-hud untuk membunuh orang?"
Ketika tertangkis tadi, Lan Kong Hwesio merasakan betapa kedua lengannya tergetar. Dia kaget bukan main, apa lagi ketika mendengar ucapan itu. Gadis muda ini mengenal ilmu silatnya! Padahal, jurus itu merupakan jurus simpanan dan hanya dikenal oleh para tokoh Go-bi-pai yang sudah tinggi ilmunya. Seorang murid dengan tingkat seperti Kui Hok Boan itu pun tentu belum dapat mengenalnya!
Dan melihat betapa wanita itu dapat menangkis dengan tepat, dia tidak akan heran kalau wanita itu bukan hanya mengenal melainkan juga dapat memainkan jurus itu! Akan tetapi, mendengar teguran itu, Lan Kong Hwesio menjadi makin penasaran.
"Omitohud...! Gadis muda yang kejam, engkau sendiri tanpa sebab apa pun membunuh enam orang yang tidak berdosa, sekarang engkau berani menegur pinceng yang hendak menentang kejahatanmu?"
Sementara itu, para tamu sudah bangkit semuanya dan kini mengurung gadis itu sambil meraba gagang senjata masing-masing. Jumlah tamu ada kurang lebih dua ratus orang dan mereka kelihatan sudah marah semua, baik golongan putih mau pun golongan hitam karena di antara mereka tidak ada yang mengenal wanita muda ini! Mereka itu, kedua golongan yang biasanya saling bertentangan, sekali ini mempunyai niat yang sama, yaitu menentang wanita yang telah mengganggu kesenangan mereka berpesta.
"Losuhu, aku bukanlah orang gila yang membunuh orang tanpa sebab. Urusanku dengan semua orang she Cia, Yap dan Tio adalah urusan pribadi, merupakan permusuhan dan dendam turun-menurun yang seluas bumi, sedalam lautan dan setinggi langit. Apakah engkau hendak mencampuri urusan pribadi?"
Mendengar kata-kata ini, hwesio itu tercengang. Dia menjadi ragu-ragu hingga berkali-kali mengucapkan kata-kata memuji untuk memohon kekuatan batin dari Sang Buddha yang dipujanya. "Omitohud... omitohud..."
Sementara itu, para tamu berbeda pendapat dengan Lan Kong Hwesio. Mereka semua tidak ragu-ragu lagi dan karena itu mereka mulai berteriak-teriak.
"Bunuh siluman ini!"
"Tangkap iblis betina ini!"
"Kurung!"
"Serbu...!"
Akan tetapi tiba-tiba saja wanita itu mengangkat kedua tangannya dan terdengarlah bunyi ledakan keras bertubi-tubi empat kali dan terdengar suara berisik dari banyak sekali orang di empat penjuru mengurung gedung besar tempat pesta itu. Semua orang terkejut dan menengok keluar dan nampaklah banyak sekali prajurit berpakaian seragam dan bersikap gagah telah mengurung tempat itu dengan rapat seperti tembok benteng yang kokoh kuat!
"Hemm, kalian adalah orang-orang yang telah memasuki wilayah yang mulia Sri Baginda Raja Sabutai tanpa ijin, dan kini masih ingin berlagak? Tempat ini telah dikepung oleh tiga ratus orang prajurit-prajurit sri baginda, dan kalian masih berani hendak mengurung aku? Aku adalah utusan sri baginda, hayo kalian semua mundur! Ataukah kalian ingin dibasmi semua sebagai pelanggar-pelanggar wilayah kami?"
Semua orang terkejut sekali. Tentu saja mereka telah mendengar akan raja liar yang dulu pernah menggemparkan Tiong-goan dengan serbuan-serbuannya itu. Ternyata wanita ini adalah utusan raja itu untuk membasmi mereka!
Para tamu yang berhati kecil menjadi panik, akan tetapi mendadak Si Kwi bangkit berdiri, mengangkat tangan kanannya ke atas kemudian berkata dengan suaranya yang lantang, "Cu-wi, sekalian, silakan duduk kembali dan harap tenang! Cu-wi adalah tamu-tamu kami dan kalau ada sesuatu, kamilah yang harus bertanggung jawab karena kedatangan cu-wi adalah atas undangan kami!"
Kui Hok Boan merasa terkejut dan kagum menyaksikan keberanian isterinya. Dia sendiri sudah gemetar saking jerinya menyaksikan kelihaian wanita itu yang mampu menandingi susiok-nya dan yang telah membunuh enam orang secara begitu mudah dan mengerikan.
Tentu saja dia tidak pernah menyangka, karena memang isterinya belum pernah bercerita kepadanya, betapa isterinya itu pernah membantu suhu dan subo-nya yang menjadi kaki tangan Raja Sabutai! Karena itu, Si Kwi juga mengenal raja liar itu, dan melihat tiga huruf yang menjadi tiga nama keturunan itu, Si Kwi segera mengerti siapa yang dimaksudkan dengan tiga huruf she itu. Karena itu dia berani bertindak menenangkan semua tamu dan hendak menghadapi sendiri wanita yang mengaku utusan Raja Sabutai.
Kini wanita cantik itu telah melangkah maju, berhadapan dengan Si Kwi. Pengantin wanita ini segera menjura dan membungkuk rendah sambil berkata,
"Kami tidak tahu akan kunjungan utusan Sri Baginda Sabutai yang terhormat, maka tidak cepat-cepat menyambut. Harap sudi memaafkan kami."
Wanita itu tersenyum, dan kini senyumnya sangat ramah, membuat wajahnya nampak makin manis saja. Dia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar masuklah seorang prajurit Mongol yang tinggi besar memanggul sebuah peti hitam berukir indah. Atas isyarat wanita utusan Raja Sabutai itu, prajurit ini menurunkan peti di depan kaki sepasang mempelai, lalu mundur lagi dan keluar setelah memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki.
Wanita itu berkata lagi, "Liong-kouwnio, kami diutus oleh Sri Baginda Raja Sabutai untuk menyampaikan ucapan selamat beliau dan mengirimkan hadiah bagi sepasang mempelai, harap diterima dengan baik." Dia menuding ke arah peti itu.
Wajah di balik tirai pengantin itu berseri saking girangnya. Sungguh tidak pernah disangka oleh Si Kwi bahwa Raja Sabutai masih ingat kepadanya, bahkan masih ingat pula untuk mengirimkan hadiah pernikahan. Hal ini selain menggirangkan hatinya, juga mengejutkan karena menjadi bukti bahwa daerah yang ditempatinya bersama suaminya ini bukanlah daerah bebas, melainkan milik Raja Sabutai dan bahwa raja itu agaknya tahu akan segala gerak-geriknya di Lembah Naga dan Padang Bangkai!
"Ahh...!" Dia cepat memberi hormat. "Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang sri baginda. Karena itu, harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk sebagai tamu agung kami."
Akan tetapi wanita itu menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. "Tugas saya hanya menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu."
Sepasang mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi mereka telah mendengarkan lagi suara wanita itu. "Tadinya, sri baginda sudah akan turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan dari beliau. Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami istana yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan setelah melihat usaha Kui-sicu memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi ampun, apa lagi sesudah beliau mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan Liong-kouwnio, maka beliau malah memberikan ucapan selamat dan hadiah, dengan pesan agar ji-wi dapat hidup bahagia di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini masih termasuk daerah kekuasaan sri baginda, jadi sewaktu-waktu apa bila diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik kepada sri baginda."
Si Kwi lalu memegang tangan suaminya dan cepat menariknya sehingga mereka berdua berlutut. "Harap sampaikan ucapan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu kami akan selalu mentaati perintah beliau."
Wanita itu menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri lagi. "Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan Liong-kouwnio."
Tanpa menanti jawaban dia segera membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu sambil berkata, suaranya nyaring seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman.
"Jika cu-wi sebagai orang-orang kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah bahwa aku adalah Kim Hong Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan Tio bahwa mereka harus menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba saatnya Kim Hong Liu-nio akan datang mengambil kepala mereka sampai di dunia ini tidak tersisa lagi keturunan she Cia, Yap, dan Tio!" Setelah berkata demikian, wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio itu melangkah pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu sampai akhirnya dia lenyap di tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi.
Kini sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat itu, membersihkan tempat pesta kemudian melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana pesta sudah berubah dan para tamu tidak bisa bergembira lagi. Mereka semua menjadi tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita yang demikian lihainya, seorang wanita yang tidak saja mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja Sabutai sehingga tentu saja kedudukan wanita itu amat kuat.
Wanita itu telah memperlihatkan kepandaian di depan hidung mereka tanpa mereka dapat menentangnya, karena wanita itu dilindungi oleh ratusan orang prajurit Mongol. Peristiwa ini merupakan pukulan bagi orang-orang kang-ouw ini, baik golongan putih mau pun hitam sehingga suasana pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum pesta selesai, sudah banyak yang berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum lewat hari itu, semua tamu telah meninggalkan Padang Bangkai!
Malam itu, setelah sepasang mempelai itu berada berdua saja di kamar, barulah Si Kwi memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa terheran-heran. Dia lalu bercerita bahwa suhu dan subo-nya, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw pernah membantu Raja Sabutai, bahkan membantu kakek dan nenek iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan pada waktu itu dia sendiri pun ikut dengan subo-nya tinggal di Lembah Naga sampai tempat itu diserbu oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pendekar sakti.
Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggota pasukan kerajaan pada saat dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sesungguhnya, maka dia merasa tertarik sekali.
"Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap tempat ini sebagai daerahnya," katanya.
"Tentu saja," isterinya menjawab. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku juga tak mengira bahwa beliau masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini."
"Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?"
Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang pendekar yang mempunyai kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barang kali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu?"
"Tiga pendekar? Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?"
"Pendekar she Cia itu ialah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong..."
"Ahhh...!" Kui Hok Boan terkejut bukan kepalang sehingga dia tidak melihat betapa terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi.
"Kenapa kau terkejut?" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya. "Apakah kau kenal kau dengan nama itu?"
"Kenal? Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw."
Si Kwi menggangguk kemudian menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw, terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah, dia yang duduk di tingkat rendah sekarang bertemu dengan suaminya yang juga mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya menjadi gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman.
"Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang lainnya. She Yap dan Tio? Siapa mereka itu?"
"Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong..."
"Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong ini, akan tetapi nama Yap Kun Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, kenapa orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu? Dan yang she Tio?"
"Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan."
"Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itu pun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka dimusuhi orang?"
"Merekalah yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw yang membantu Raja Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga."
"Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?"
Si Kwi mengangguk.
"Jadi termasuk musuh-musuhmu juga?"
Si Kwi menghela napas panjang. "Sudah semenjak dahulu aku tidak setuju dengan sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka... karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang berada di fihak yang benar."
"Ahh, syukurlah, isteriku! Apa bila engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu mereka pun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?"
"Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-nio pun baru sekarang aku mendengarnya."
Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biar pun siang tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup bagi mereka, cukup kuat untuk bersama-sama menghadapi segala bahaya, senasib sependeritaan, sehidup semati.
Mulai malam itu, kedua orang itu menemukan kebahagiaan. Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal bila dia teringat akan segala petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya.
Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tiada kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu kejahatannya menonjol, tetapi ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian?
Karena sesungguhnya pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai dan membanding-bandingkan, semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan.
Oleh karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebalikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebalikan ini pula yang menimbulkan adanya kebalikan tunggal, kebalikan abadi yang lalu menguasai serta menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Karena itu terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang!
Apakah kita bisa terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin bisa jika kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apa pun juga, adalah hal yang MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG!
Betapa pun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, baik dalam bentuk apa pun juga, pasti akan mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, maka timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini.
Contohnya, seorang pendeta bertapa hendak mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini maka terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itu pun hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini!
Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, apa bila perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian lagi? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu!
Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tetapi dalam keadaan perang tadi. Apa bila kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini akan menyadarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi?
Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, atau sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak pernah mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.
Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya.
Maukah kita menyadari semuanya ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA! HAYO…!
Karena sesungguhnya pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai dan membanding-bandingkan, semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan.
Oleh karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebalikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebalikan ini pula yang menimbulkan adanya kebalikan tunggal, kebalikan abadi yang lalu menguasai serta menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Karena itu terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang!
Apakah kita bisa terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin bisa jika kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apa pun juga, adalah hal yang MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG!
Betapa pun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, baik dalam bentuk apa pun juga, pasti akan mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, maka timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini.
Contohnya, seorang pendeta bertapa hendak mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini maka terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itu pun hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini!
Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, apa bila perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian lagi? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu!
Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tetapi dalam keadaan perang tadi. Apa bila kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini akan menyadarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi?
Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, atau sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak pernah mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.
Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya.
Maukah kita menyadari semuanya ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA! HAYO…!
Sang waktu berlalu terus tanpa mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa mempedulikan segala yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apa pun yang terjadi atas dirinya, ada mau pun tiada, begini mau pun begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!
Tanpa terasa karena tidak diingat-ingat, sepuluh tahun telah lewat sejak hari pernikahan antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan di Padang Bangkai itu. Sepuluh tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa menggegerkan di dalam pesta pernikahan itu.
Dan selama sepuluh tahun itu, Liong Si Kwi dengan Kui Hok Boan hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta. Hidup rukun dan damai, menikmati kebahagiaan hidup suami isteri yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan.
Dan selama sepuluh tahun itu, terjadi perubahan hebat di tempat itu. Tempat yang dulu bernama Padang Bangkai dan merupakan tempat yang berbahaya serta menyeramkan, kini sudah menjadi sebuah perkampungan besar. Sudah banyak dibuka toko dan pasar di tempat itu. Kui Hok Boan sendiri bersama isteri dan keluarganya sudah pindah ke Istana Lembah Naga, dan kini Padang Bangkai hanya tinggal dongengnya saja. Sekarang telah menjadi dusun-dusun yang makmur karena tanah di daerah itu memang subur.
Sekarang Kui Hok Boan dan isterinya telah mempunyai dua orang puteri. Dua orang anak perempuan kembar yang kini sudah berusia sembilan tahun. Dua orang anak kembar itu diberi nama Lan dan Lin.
Sulit sekali bagi orang lain untuk membedakan antara Kui Lan dan Kui Lin. Wajah mereka sama benar. Bahkan ayah bunda mereka sendiri kadang-kadang suka keliru memanggil dan hanya sesudah melihat leher sebelah kiri dari seorang di antara mereka saja maka ayah bunda ini tahu mana yang Kui Lan dan mana yang Kui Lin.
Di leher kiri Kui Lan terdapat sebuah titik berwarna merah, tanda semenjak lahir. Selain tanda itu, tidak ada lagi tanda lahiriah yang dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu. Segala-galanya sama dari ujung kaki sampai ke ujung rambut!
Akan tetapi kalau dua orang anak itu berbicara atau bergerak, terdapat perbedaan antara mereka. Sejak kecil, Kui Lan atau yang biasa dipanggil Lan Lan selalu cerewet dan nakal, sedangkan Lin Lin lebih pendiam. Lan Lan agak bandel dan pemberani, sebaliknya Lin Lin agak penakut dan cengeng. Akan tetapi kalau keduanya duduk diam dan Lan Lan tidak memperilhatkan tanda titik merah pada leher kirinya, biar ayah bundanya sendiri pun tidak akan dapat mengenal dan membedakan mereka.
Selain Lan Lan dan Lin Lin, di dalam Istana Lembah Naga yang menjadi tempat tinggal sasterawan Kui Hok Boan dan isterinya itu, terdapat pula dua orang anak laki-laki yang sebaya, berusia kurang lebih dua belas tahun. Mereka ini adalah keponakan-keponakan dari Kui Hok Boan, yang oleh sasterawan itu diambil dari selatan untuk menjadi teman dua orang anak kembarnya.
Yang seorang bersikap gagah dan berwajah tampan dan angkuh, bernama Kwan Siong Bu. Anak ini memang tampan dan biar pun usianya baru dua belas tahun, namun dalam segala hal dia meniru pamannya sehingga seperti juga pamannya, dia selalu berpakaian bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi pula, muka, leher dan tangannya tak pernah kotor.
Wajahnya tampan, membayangkan keangkuhan, keangkuhan yang timbul dari kesadaran bahwa dia adalah keponakan penghuni Istana Lembah Naga yang sangat disegani, kaya raya dan ilmu silatnya pun lihai. Sikapnya halus meniru pamannya, sikap seorang kongcu hartawan
Sedangkan anak ke dua sungguh jauh bedanya dengan Kwan Siong Bu. Anak ini juga keponakan dari Kui Hok Boan, akan tetapi meski pun wajahnya juga tidak buruk, bahkan boleh dibilang tampan, tapi wajahnya bulat dengan sepasang pipi yang gendut. Matanya lebar penuh kejujuran, mulutnya selalu menyeringai lucu, tersenyum bukan untuk melucu, akan tetapi memang wajahnya memiliki garis-garis yang lucu. Tubuhnya juga kegemuk-gemukan sehingga cocok benar dengan wajahnya yang bulat dan bundar itu. Anak ini bernama Tee Beng Sin, seorang anak yang tidak bisa membohong dan terlampau jujur sehingga menyenangkan hati siapa pun juga yang berhadapan dengan dia.
Sejak berusia lima tahun, Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin dibawa oleh paman mereka ke Istana Lembah Naga, menjadi teman bermain Lan Lan dan Lin Lin. Karena suaminya sangat mencintai dua orang keponakan itu, dan karena dia sendiri pun tidak mempunyai anak laki-laki dari suaminya, maka Si Kwi juga menyayangi mereka. Tentu saja Si Kwi sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedua anak laki-laki itu sebetulnya sama sekali bukan keponakan dari Kui Hok Boan, melainkan anak-anak kandungnya sendiri!
Seperti diketahui, pada waktu mudanya Kui Hok Boan adalah seorang petualang asmara, seorang yang gila perempuan dan entah sudah berapa ratus orang wanita yang dirayunya dan dijatuhkannya, menjadi kekasihnya. Baik wanita itu sudah bersuami, janda mau pun perawan, jarang ada yang sanggup bertahan terhadap rayuan petualang asmara ini. Dan tanpa dapat dihindarkan lagi, di antara wanita-wanita yang sudah dijatuhkannya itu, ada pula yang mengandung dan melahirkan anak keturunannya!
Kwan Siok Bu adalah anak keturunannya sendiri dari seorang janda bernama Kwan Sian Li, dan Tee Beng Sin adalah anak keturunannya dari seorang gadis yatim piatu bernama Tee Cui Hwa yang sekarang telah menjadi seorang nikouw. Tentu saja Kui Hok Boan tak berani mengakui mereka sebagai putera-puteranya sendiri, maka dia memakai she dari ibu anak masing-masing ketika dia mengajak Siong Bu dan Beng Sin ke Lembah Naga.
Dan bagaimanakah dengan keadaan Sin Liong? Anak dari Si Kwi yang semenjak lahirnya dipelihara oleh monyet betina? Kini Sin Liong sudah besar pula, sudah berusia kurang lebih dua belas tahun. Tubuhnya tegap dan kuat karena semenjak kecil anak ini sering kali bergaul dengan monyet-monyet, berloncatan dari pohon ke pohon.
Ketika anak itu sudah berusia lima tahun, Kui Hok Boan mendesak kepada isterinya agar Sin Liong tidak lagi diperkenankan untuk hidup liar di hutan-hutan bersama para monyet. "Anak itu bukan monyet, melainkan manusia," kata sasterawan ini. "Dan dia adalah anak angkat kita, maka sudah sepatutnya kita didik menjadi calon manusia yang baik. Paling tidak, dia harus diajar baca tulis agar kelak menjadi manusia yang berguna."
Si Kwi yang masih merasa yakin bahwa anak itu adalah anak kandungnya, melihat betapa wajah anak itu mirip dengan pendekar sakti Cia Bun Houw, tidak membantah. Memang dia setuju dengan pendapat suaminya.
Akan tetapi, melihat betapa suaminya amat mencintanya, amat baik terhadap dirinya dan dia menemukan kebahagiaan di samping suaminya dan dua orang anak kembarnya, Si Kwi sama sekali tidak berani menceritakan kepada suaminya bahwa Sin Liong adalah puteranya sendiri! Maka, sungguh pun dalam hatinya dia kadang-kadang merasa kasihan, rindu dan prihatin melihat putera kandungnya ini, namun pada lahirnya dia tidak pernah memperlihatkan sesuatu yang melebihi sikap seorang ibu angkat!
Sin Liong amat taat kepada ibu angkatnya. Maka ketika Si Kwi melarang dia berkeliaran di hutan lagi, dia menurut biar pun merasa berduka. Hanya kalau semua orang sudah tidur saja, anak berusia lima enam tahun itu masih suka keluar dari kamarnya untuk menemani para monyet itu bergembira di bawah sinar bulan.
Dan dia pun tidak pernah menolak apa bila Kui Hok Boan memberi dia pekerjaan, yaitu membersihkan rumah, menyapu halaman, dan menggembalakan sapi dan kuda. Bahkan dia sayang sekali kepada kuda dan sapi yang dipelihara oleh ayah angkatnya sehingga pekerjaannya amat memuaskan.
Akan tetapi, karena sudah menjadi kebiasaan, Sin Liong tak pernah dapat menjaga bersih pakaiannya sehingga pakaiannya selalu kotor. Akhirnya, untuk menanamkan kebersihan dan kerapian kepada anak itu, Kui Hok Boan menyuruh isterinya mengajarkan anak itu menjahit serta menambal sendiri pakaiannya yang mudah robek karena dia tidak pernah menjaganya.
Demikianlah, pada waktu berusia dua belas tahun, Sin Liong bekerja di istana itu sebagai seorang jongos atau pelayan, berpakaian cukup bersih namun ada tambal-tambalannya, dan mempelajari, membaca dan menulis huruf di bawah pimpinan Kui Hok Boan sendiri, bersama-sama dengan Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin.
Walau pun pada waktu sama-sama mempelajari ilmu bun (sastera) ini dia duduk di sudut terpisah, namun ternyata bahwa Sin Liong amat cerdas dan dapat lebih cepat menghafal dibandingkan dengan empat orang anak yang lain itu. Juga dia sudah mempunyai bakat menulis baik, coretan-coretan tangannya ketika menulis huruf amat kuat dan mengandung keindahan serta gaya tersendiri yang mengagumkan. Dia pandai pula menggambar dan suka membaca kitab-kitab kuno.
Anak ini berwatak sederhana, pendiam dan lebih suka menyendiri. Wajahnya tampan dan matanya mempunyai sinar yang tajam. Dia lebih banyak mendengarkan dari pada bicara, dan memiliki kekerasan hati yang amat luar biasa. Anak ini tidak pernah menangis! Atau setidaknya, tak pernah kelihatan menangis oleh orang lain. Agaknya anak ini mempunyai pantangan menangis di depan orang lain!
Kecuali pakaian dan pelajaran ilmu silat, di dalam segala hal Kui Hok Boan tidak pernah membedakan sikapnya terhadap Sin Liong mau pun terhadap dua orang ‘keponakannya’ itu. Dia selalu bersikap baik dan manis terhadap anak angkatnya ini.
Hal ini kadang-kadang membuat Si Kwi merasa tidak puas. Dia mengerti bahwa dalam hal pakaian, memang Sin Liong yang sembarangan itu patut memelihara pakaiannya sendiri, dan memang tidak mengapalah memakai pakaian sederhana karena seingatnya, ayah kandung anak ini, pendekar sakti Cia Bun Houw juga seorang pria berjiwa sederhana. Akan tetapi dia tidak setuju kalau Sin Liong tidak diberi latihan ilmu silat. Anak pendekar sakti Cia Bun Houw namun tidak belajar ilmu silat!
Akan tetapi suaminya membantah, "Isteriku, kita harus mencegah Sin Liong nanti menjadi seorang manusia yang mudah menyeleweng ke dalam kejahatan. Ingatlah, anak itu sejak kecil dipelihara monyet dan sampai sekarang pun dia masih memiliki watak aneh, penuh rahasia dan pendiam sekali, kadang-kadang seperti masih mengandung watak atau sifat liar. Bayangkan saja, anak sebesar itu sejak kecil belum pernah menangis! Aku khawatir sekali, apa bila dia diberi pelajaran ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, kelak akan muncul sifat liarnya dan dia tentu sukar untuk dikendalikan lagi. Lebih baik kita jejali dia dengan pelajaran bun dan kebudayaan, karena pelajaran ini tentu akan dapat menahan keliarannya. Dan aku melihat dia sangat tekun dan berbakat mempelajari sastera. Kalau kelak dia sudah pandai kemudian menempuh ujian di kota raja sampai berhasil, alangkah baiknya."
Seperti biasa, Si Kwi tidak berani membantah lagi. Dia amat tunduk kepada suaminya yang telah mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupannya itu. Dia tidak pernah dapat melupakan kebaikan suaminya, tidak ada habisnya dia berterima kasih kepada suaminya yang telah menuntunnya kembali ke dalam kehidupan yang bahagia, setelah dia hampir kehilangan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di dalam istana kuno yang sunyi itu. Apa lagi, dia tahu bahwa suaminya amat baik hati dan menyayangi Sin Liong.
Dan memang sesungguhnyalah. Sama sekali tidak ada rasa benci dalam hati Kui Hok Boan terhadap anak itu. Dia menganggap anak itu sebagai anak angkat isterinya, dan dia pun merasa kasihan kepada anak yang aneh sekali riwayatnya ini, anak yang tak pernah mengenal siapa ayah bundanya, anak yang ditemukan isterinya dalam rawatan monyet-monyet.
Dia malah pernah mencoba untuk menyelidiki asal usul anak ini dengan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun, akan tetapi tidak pernah dapat menemukan jejak orang tua anak itu. Sebab itu dia juga tidak keberatan memberikan she Kui kepada anak yang tidak mempunyai nama keturunan itu. Hanya dia menekankan supaya diketahui oleh Sin Liong bahwa she Kui hanyalah she ‘pinjaman’ saja.
"Sin Liong, engkau tahu bahwa meski pun engkau memakai nama Kui Sin Liong, namun she-mu itu bukanlah she-mu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajarlah yang tekun supaya kelak engkau dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan engkau mendapat kesempatan untuk menyelidiki siapa orang tuamu yang sesungguhnya, atau kalau engkau memperoleh kedudukan, maka engkau tentu akan dihadiahi she oleh kaisar." Memang pada masa itu terdapat kebiasaan aneh bahwa orang yang sudah berjasa dan membuat pahala, dihadiahi she yang terhormat oleh kaisar!
Semenjak kecil sudah tertanam dalam hati Sin Liong bahwa dia bukanlah anak dari ayah dan ibu angkatnya. Dia tahu diri dan tidak banyak minta. Hanya satu hal yang membuat hati Sin Liong kadang-kadang merasa tidak senang, yaitu bahwa dia tidak pernah diajar ilmu silat! Hanya satu kali saja dia pernah mengajukan permintaan dan pertanyaan ini kepada Hok Boan.
"Gihu (ayah angkat), mengapa saya tidak diberikan pelajaran ilmu silat seperti yang gihu ajarkan kepada kedua siocia dan kedua kongcu?"
Sin Liong menyebut siocia (nona) kepada Lan Lan dan Lin Lin, sedangkan kepada dua orang ‘keponakan’ dari Kui Hok Boan itu dia menyebut kongcu (tuan muda). Hal ini adalah atas perintah dari Hok Boan dan ditaati oleh Sin Liong, juga tidak dibantah oleh Si Kwi.
Bagaimana pun juga, Hok Boan menganggap bahwa Sin Liong bukan darah dagingnya, juga bukan keluarga dari isterinya. Sin Liong adalah seorang anak berdarah lain, karena itu sudah semestinya menyebut nona dan tuan muda kepada anak-anak kandungnya!
"Sin Liong, ilmu silat tidaklah tepat untuk kau pelajari. Bakatmu lebih baik dalam ilmu bun saja, oleh karena itu maka kau tekunlah menghafal kitab dan memperdalam pelajaranmu dalam kesusasteraan agar supaya kelak engkau dapat menjadi seorang sasterawan yang berkedudukan tinggi."
Sekali saja bertanya dan meminta, sekali ditolak, Sin Liong tidak mau meminta lagi. Akan tetapi, kadang kala dia termenung dan ingin sekali mempelajari ilmu silat, bahkan secara diam-diam dia selalu memperhatikan bila mana empat orang anak itu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Kui Hok Boan. Dan kadang-kadang juga dipimpin sendiri oleh Liong Si Kwi.
Kini wanita ini tidak lagi prihatin melihat anak kandungnya, Sin Liong, tidak diperbolehkan belajar ilmu silat, karena dia menganggap suaminya benar. Lebih baik melihat Sin Liong kelak menjadi seorang sasterawan yang lemah lembut dan berhasil menjadi seorang yang berpangkat dari pada anak itu terancam bahaya tersesat karena memiliki sifat keras dan liar setelah mempelajari ilmu silat.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah menyapu pekarangan belakang. Tidak banyak kotoran di pekarangan ini karena musim rontok telah tiba, pohon-pohon banyak yang gundul tak berdaun. Maka sebentar saja dia telah selesai menyapu.
Pada pagi hari itu, Kui Hok Boan melatih ilmu silat di pekarangan belakang ini kepada empat orang anaknya.
"Kalian kurang giat berlatih," terdengar dia mengomel. "Masa sudah hampir satu bulan berlatih, jurus itu belum juga kalian kuasai dengan baik."
"Ayah, jurus Heng-pai-hud (Memuja Sang Buddha dengan Tangan Miring) itu memang sukar sekali, terutama perubahan dari tangan memukul kemudian menangkis dalam satu gerakan sukar sekali, ayah," kata seorang di antara dua anak kembar itu.
Baik ayah mereka sendiri mau pun Siong Bu dan Beng Sin, tidak mungkin dapat yakin siapa yang berbicara itu. Lan Lan ataukah Lin Lin. Akan tetapi Sin Liong yang berdiri di belakang dua orang anak kembar itu sambil memegang gagang sapunya, diam-diam bisa mengenal dan tahu bahwa yang bicara adalah Lan Lan.
Bagi anak ini, dia bukan hanya mengenal dan dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu dari tahi lalat merah di leher atau sifat mereka, akan tetapi dari gerak-gerik mereka dia dapat membedakan mereka. Kepekaan atau naluri ini didapatnya dari monyet-monyet itu.
Tadi dia melihat betapa kepala anak perempuan yang bicara itu agak bergoyang, maka tahulah dia bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Biar pun tidak diketahui orang lain, namun kewaspadaan Sin Liong yang diperoleh ketika dia hidup di antara monyet-monyet, dapat membuat dia mengenal kebiasaan dari gerakan yang sekecil-kecilnya.
Lan Lan biasa menggoyang-goyangkan kepala tanpa disadarinya, mungkin dari perasaan yang menggerakkan syarafnya kalau bicara, sedangkan kebiasaan Lin Lin kalau berbicara adalah agak menundukkan muka.
"Memang benar, paman. Agak sukarlah gerakan jurus itu, harap paman suka mengulang lagi dan memberi contoh," kata Siong Bu.
"Saya sudah melatih diri setiap hari, akan tetapi belum juga dapat bergerak dengan baik!" Beng Sin juga berkata, matanya terbelalak dan sikapnya lucu.
Kui Hok Boan menarik napas panjang. "Ilmu silat bukan hanya membutuhkan ketekunan, akan tetapi juga membutuhkan bakat. Bagi yang berbakat, setiap gerakan akan terasa sampai di tulang sumsum, gerakan seperti menjadi berirama dan otomatis saja sehingga setiap jurus yang baru bisa dikuasai dengan mudah, seperti pada gerakan menari. Kalian jangan hanya menguasainya secara lahiriah saja, melainkan harus dapat menjiwai ilmu itu! Ah, memang tidak mudah! Ilmu kesusasteraan hanya pekerjaan otak, akan tetapi ilmu silat adalah pekerjaan seluruh tubuh, lahir batin, harus ada keserasian antara otak, otot, tulang dan syaraf. Nah, kalian lihat baik-baik, aku akan memberi contoh lagi bagaimana harus bergerak dalam jurus Heng-pai-hud."
Kui Hok Boan segera bersilat, memainkan jurus itu. Jurus ini adalah jurus serangan yang sekaligus juga merupakan jurus pertahanan. Jadi, dengan menggunakan jurus ini dapat saja orang menyerang atau menangkis serangan lawan.
Kedua tangan itu berganti gerakan, dari memukul ditarik ke depan dada dengan tangan miring untuk menghalau serangan lawan, dan dari menangkis ditarik ke pinggang lantas memukul lagi. Memang harus ada keseimbangan antara memukul dan menangkis dengan tangan miring di depan dada ini agar dapat menjadi otomatis dan tidak kaku. Jurus ini amat llhai, dalam keadaan diserang dapat membalas serangan dengan cepat, dan dalam keadaan menyerang selalu terjaga dan tidak terbuka.
"Nah, sekarang coba kau lakukan jurus itu lebih dahulu, Beng Sin!" berkata Kui Hok Boan kepada si gendut itu.
Siong Bu menonton penuh perhatian dan dia duduk setengah berlutut di atas batu sambil menunjang dagunya, ada pun dua orang anak perempuan kembar berdiri berdampingan sambil memperhatikan dengan kedua mata terbuka lebar.
Sin Liong masih berdiri di belakang mereka, memegang gagang sapunya dan menonton pula dengan hati tertarik. Dia tadi memperhatikan gerakan ayah angkatnya dan mencatat di dalam ingatannya semua gerakan itu hingga yang sekecil-kecilnya. Apa sih sukarnya bergerak seperti itu, pikirnya. Di dalam benaknya dia menirukan gerakan itu dan merasa sudah dapat meniru dengan sempurna.....!