Pendekar Lembah Naga Jilid 01

Betapa indahnya alam! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Alangkah indah dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan tetapi sayangnya kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka mata menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang jauh, menginginkan hal-hal yang tak terjangkau oleh kita.

Kalau kita tinggal di tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan di gunung-gunung. Sebaliknya bila kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah.

Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh perhatian akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang akan melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dan dialah yang akan menyaksikan kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan keindahan, dengan keajaiban, dengan mukjijat, dengan CINTA KASIH…..

********************

Di kaki Pegunungan Khing-an-san, di tikungan Sungai Luan-ho, di luar tembok besar dan termasuk wilayah Mongol, terdapat Lembah Naga. Lembah yang sangat liar dan penuh dengan hutan lebat, binatang-binatang buas dan amat jarang didatangi manusia. Memang sekali waktu ada para pemburu yang menyusup-nyusup memasuki hutan, namun mereka tidak berani sampai Lembah Naga karena lembah itu terkenal sebagai tempat keramat yang amat berbahaya.

Kabar angin mengatakan bahwa pada lembah itu terdapat sebuah istana yang dihuni oleh iblis-ibils dan siluman-siluman. Dan karena sudah ada beberapa orang yang tewas ketika berani mendekati istana itu, maka akhirnya tidak ada seorang pun pemburu yang berani memasuki daerah Lembah Naga, betapa pun gagah dan beraninya pemburu itu.

Pemandangan di lembah ini sungguh sangat mentakjubkan. Jauh di bawah kaki lembah membentang luas sebuah padang rumput dan karena keadaan padang ini pulalah yang terutama membuat orang makin segan mendekati Lembah Naga.

Padang itu dinamakan orang Padang Bangkai, oleh karena di sekitar padang itu terdapat banyak rangka-rangka manusia dan binatang, bahkan ada suatu bagian yang berlumpur di mana terdapat mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang tidak dapat membusuk, sehingga sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terbungkus lumpur.

Namun, dipandang dari atas, semua kengerian itu sungguh tidak kelihatan, yang nampak hanyalah keindahan yang sangat mentakjubkan. Apa lagi pada waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, pada waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan indah.

Memang tidak mengherankan bila orang mendekati lembah itu, apa lagi mendekati Istana Lembah Naga yang nampak angker itu. Sebuah istana yang besar dan kokoh kuat, penuh dengan ukiran dan arca-arca indah. Sayang istana itu tidak terawat dengan baik sehingga tembok-temboknya yang tadinya putih itu sekarang penuh dengan lumut hijau, begitu pula arca-arca itu.

Istana ini dibangun oleh Raja Sabutai, raja liar dari Suku Bangsa Mongol bercampur suku bangsa lain yang menguasai daerah tak bertuan di utara. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan siapa adanya Raja Sabutai ini. Dia adalah keturunan seorang jenderal besar di jaman Dinasti Goan, pada waktu bangsa Mongol menguasai seluruh daerah Tiongkok.

Sebagai keturunan seorang jenderal yang gagah perkasa, Sabutai ini pun memiliki ambisi yang amat besar. Cita-citanya setinggi langit dan dia mengangkat diri sendiri menjadi raja di antara suku bangsa Mongol yang sudah terpecah-pecah dan lemah itu, dan dia pemah bercita-cita untuk menyerbu ke selatan dan ingin menegakkan kembali kebesaran bangsa Goan seperti pada ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi cita-citanya itu gagal dan kandas di tengah jalan sehingga kini dia hanya puas dengan menjadi raja kecil di utara, jauh dari perbatasan.

Istana Lembah Naga itu dahulunya di bangun oleh Raja Sabutai, dijadikan sebagai istana dan markasnya. Kemudian, setelah dia melakukan gerakan ke selatan dan gagal, dia lalu memperbaiki istana itu dan memberikan istananya itu kepada kedua orang gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, nenek dan kakek iblis dari Sailan yang sangat sakti.

Di dalam pertempuran melawan orang-orang gagah yang dipimpin oleh kakek Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, tewaslah Pek-hiat Mo-ko dan kalau saja tidak cepat muncul Raja Sabutai yang menyelamatkannya, tentu Hek-hiat Mo-li yang sudah terluka parah itu akan tewas pula. Pek-hiat Mo-ko telah tewas dan Hek-hiat Mo-li yang terluka itu dibawa pergi oleh Raja Sabutai, semua orang gagah juga telah pergi meninggalkan Lembah Naga, dan istana itu menjadi sepi, sunyi dan menyeramkan. Semenjak itu, tidak ada lagi seorang pun manusia dari luar yang berani mendekati istana itu.

Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah istana itu kosong tidak ada penghuninya lagi? Sebetulnya tidak demikian. Setelah semua orang meninggalkan istana itu dalam keadaan sunyi dan menyeramkan, masih nampak bekas-bekas pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang perajurit dan anak buah kedua fihak, pada malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah ini, sambil menundukkan mukanya dan menangis. Dia lalu menghampiri istana, memasuki istana itu seperti bayangan setan yang bangkit dari kuburan, langkahnya ringan namun terhuyung-huyung dan dia langsung memasuki sebuah kamar di dalam istana itu kemudian melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu!

Terbayang dalam benaknya saat dia menyerahkan dirinya, menyerahkan kehormatannya kepada seorang pemuda yang amat dicintainya, seorang pemuda yang sama sekali tidak mau mengakui dirinya, tidak mau menerimanya, seorang pemuda yang dijunjung tinggi, dikaguminya dan dicintainya. Pemuda gagah perkasa yang sekarang telah pergi pula dan meninggalkannya seorang diri di tempat itu, padahal dia sudah menyerahkan kehormatan tubuhnya, menyerahkan cinta di hatinya, bahkan pula tangan kirinya!

Tangan kirinya, sebatas pergelangan tangan telah putus, dibabat putus sebagai hukuman karena dia berani menolong pemuda itu yang tadinya menjadi tawanan di sana, ketika tempat itu masih dikuasai oleh kakek dan nenek iblis Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan kini, Cia Bun Houw, pemuda itu, telah meninggalkannya dan tak mau menerimanya!

Wanita itu masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali, dan pakaiannya serba merah berpotongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping padat. Dia bernama Liong Si Kwi dan dia bukanlah wanita sembarangan.

Dia adalah murid tunggal dari seorang nenek yang sakti berjuluk Hek I Siankouw, seorang nenek yang selalu berpakaiain serba hitam dan amat terkenal di dunia kang-ouw. Sebagai seorang wanita muda yang berilmu tinggi Liong Si Kwi juga terkenal di dunia kang-ouw dan karena dia mempunyai keistimewaan dan gerakan ringan dalam ilmu ginkang, seperti burung terbang saja kalau dia bergerak, maka di dunia kang-ouw dia pun terkenal dengan julukan Ang-yan-cu (Burung Walet Merah). 

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Si Kwi menolong pemuda Cia Bun Houw yang tertawan, dan karena sebelumnya pemuda itu diberi makanan yang dicampur racun pembangkit nafsu birahi, maka dalam keadaan seperti orang mabok itu Bun Houw lalu melakukan hubungan kelamin dengan Si Kwi. Wanita muda ini memang menaruh hati dan cinta kepada Bun Houw, maka dia tidak menolak, bahkan dia membantu pemuda itu semakin tenggelam ke dalam amukan nafsu sehingga terjadilah hubungan itu.

Setelah sadar, tentu saja Bun Houw merasa menyesal sekali dan tentu saja dia tidak mau menerima Si Kwi sebagai kekasih atau jodohnya, lantas pemuda ini meninggalkan Si Kwi yang menjadi hancur hatinya. Dia kehilangan sebelah tangan, kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis perawan, dan kehilangan pria yang dicintanya pula! Dia kehilangan segala-galanya.

Gurunya pun sudah tewas dalam pertempuran itu ketika gurunya membantu kakek dan nenek iblis. Keluarga dia sudah tidak punya. Dia hanya sebatang kara saja di dunia ini dan harapannya untuk hidup bahagia sudah terbawa pergi oleh pemuda yang dicintainya itu.

Demikianlah, Liong Si Kwi menjadi penghuni tunggal istana Lembah Naga. Mula-mula dia memang hendak menghibur diri dengan bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh dari dunia ramai, dengan harapan akan dapat melupakan Bun Houw, bisa melupakan kedukaannya.

Kegairahannya untuk melanjutkan hidup mulai timbul sehingga dia mulai memperhatikan dirinya, mulai membuat pakaian-pakaian dari bahan-bahan kain yang banyak terdapat di dalam istana itu, mulai menyulam. Namun, semangat hidup ini akhirnya malah merupakan tekanan hebat bagi batinnya saat dia mendapat kenyataan bahwa dia telah mengandung!

Dia seorang perawan dan kini dia mengandung tanpa suami. Kiranya, hubungan kelamin yang dilakukannya dengan Bun Houw, di dalam keadaan mabok dilanda nafsu itu, sudah menghasilkan kandungan di dalam perutnya!

Makin tua kandungannya, makin tertekan pula rasa hati wanita yang bernasib malang itu. Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu? Benarkah NASIB yang membuat lengannya buntung, hidupnya terasa merana, dan perutnya terisi kandungan anak tanpa ayah?

Betapa mudahnya kita melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik, nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata, pikiran dan sebagainya.

Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita terletak di dalam diri kita sendiri! Akan tetapi, kita tidak pernah mau memandang diri sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam pada diri orang lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan calon kambing hitam, kita lantas meraih NASIB dan menjadikannya sebagai kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata memandang diri sendiri di mana terdapat sumber segala rahasia hidup ini?

Sesudah tahu bahwa dirinya mengandung, mulai terjadi perubahan dalam kehidupan Si Kwi. Mulailah dia merana dan tidak mempedulikan pakaiannya sehingga dia berkeliaran di sekitar Lembah Naga dengan pakaian yang kotor dan butut, dan sikapnya laksana orang yang sudah miring otaknya! Makin tua kandungannya, semakin tersiksa rasa hatinya dan hampir setiap malam, di waktu tubuhnya mengaso dan tak ada hiburan yang membuatnya terlupa, dia menangis mengguguk seorang diri di dalam kamarnya di istana yang besar itu.

Ada terpikir oleh Si Kwi untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan membunuh diri saja. Akan tetapi, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu. Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih mengharapkan untuk kelak menemui kebahagiaan? Apa pun juga alasannya, Si Kwi tidak sampai hati untuk bunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh kebingungan.

Dia tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi kelahiran anak dalam kandungannya. Untuk pergi ke dusun-dusun di sekitar kaki pegunungan itu, dia merasa malu sekali. Kalau ada orang bertanya mana suaminya, mana ayah dari anak yang dikandungnya, apa yang akan dijawabnya? Tidak, dia lebih baik mati dari pada harus menderita aib seperti itu di mata orang-orang lain. Tentang melahirkan, dia menyerahkan diri kepada Tuhan saja.

Di dalam kesengsaraan ini, satu-satunya yang menjadi pegangan Si Kwi hanyalah Thian. Kesengsaraannya itu lebih mempertebal kepercayaannya kepada Thian yang diharapkan sebagai penolongnya yang tunggal.

Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan selalu mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, tapi di antaranya yang terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri!

Ada orang yang bersembunyi di balik hiburan-hiburan atau kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau menggantungkan kepercayaan terhadap sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua bentuk pelarian itu adalah hal sia-sia belaka. Mengapa sia-sia? Karena apa yang kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah permainan pikiran kita sendiri!

Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu, kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal, duka, dan khawatir. Kita tidak pernah mau menghadapi setiap peristiwa sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi langsung dan mempelajarinya setiap saat, dengan penuh perhatian tanpa menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri sendiri.

Kita baru dapat bebas dari semua penderitaan bila kita menghadapinya secara langsung apa yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya langsung, memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya, kewajarannya sebagai sebuah fakta, maka sudah pasti penderitaannya akan lenyap. Kita akan bebas dari penderitaan karena penderitaan itu hanyalah PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewaan, iba diri dan sebagainya.

Setelah Si Kwi menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya sudah tiba, dia segera keluar dari istana itu. Istana itu dianggapnya sebagai tempat yang keramat, karena di tempat itulah dia menyerahkan kehormatannya, juga di tempat itulah adanya kenang-kenangan manis dan penuh babagia ketika dia menyerahkan diri, bermain cinta dengan Cia Bun How, ingatan yang tidak pernah dapat dilupakannya selama ini. Dia tidak mau mengotori istana yang keramat itu dengan kelahiran anak dalam kandungannya!

Anak inilah yang menjadi penyebab penderitaannya! Anak ini merupakan anak yang tidak diharap-harapkan dan karena itu sangat dibencinya sebelum dia terlahir. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa mesra dan memaafkan semua akibat kehadiran anak dalam kandungannya itu, yaitu kenyataan bahwa anak itu keturunan Bun Houw, pria yang dicintanya, dan masih dicintanya biar pun Bun Houw sudah menolak dan menghinanya.

Dia tidak ingin melahirkan di dalam Istana Lembah Naga. Seolah-olah istana yang pernah dihuni banyak orang itu mempunyai mata untuk memandangnya dan dia merasa malu! Tidak, dia tidak mau mengotori istana itu dan seperti orang gila, Si Kwi kemudian pergi meninggalkan istana itu dan tinggal di dalam sebuah goa, tidak jauh dari istana itu.

Di dalam hutan sekitar Istana Lembah Naga itu terdapat banyak sekali kera dan monyet besar semacan orang hutan. Mereka itu tadinya menjauhkan diri dari istana ketika tempat itu dihuni oleh Pek-hiat Mo-ko, Hek-hiat Mo-li dan anak buah mereka yang seratus orang banyaknya, karena mereka itu senang mengganggu monyet-monyet, bahkan membunuh untuk dimakan dagingnya.

Akan tetapi sesudah kini istana itu sunyi dan yang tinggal di situ hanya Si Kwi seorang yang tak pernah mau mempedulikan monyet-monyet itu, maka mulai berdatangan pulalah binatang-binatang itu karena di sekitar istana itu terdapat banyak pohon-pohon buah yang tadinya ditanam oleh anak buah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Si Kwi tidak pernah mengganggu mereka karena dia sendiri pun tidak pernah kekurangan makanan. Di sana terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman sayur dan binatang yang dapat dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan lain-lainnya. Maka tidak mengherankan apa bila binatang-binatang itu menjadi makin jinak, bahkan mereka tidak lari melihat munculnya Si Kwi. Apa lagi monyet-monyet yang besar, mereka tidak merasa takut sungguh pun mereka juga tidak pernah mengganggu Si Kwi.

Beberapa ekor monyet besar malah mempergunakan sebatang pohon besar di belakang istana sebagai sarang mereka atau tempat berteduh di siang hari. Kalau malam mereka bersembunyi dan tidur di dalam goa-goa yang hanyak terdapat di sekitar tempat itu.

Pada siang hari itu, terdengar suara hiruk-pikuk di atas pohon besar itu. Seekor monyet betina yang besar sedang berkelahi dengan seekor ular yang telah membunuh anaknya. Anak monyet yang masih bayi itu mati dengan kepala berdarah bekas gigitan ular, dan induk monyet menjadi marah, dengan nekat menangkap ular itu dan menggigit lehernya.

Ular itu melawan, membelit-belit tubuh monyet betina, akan tetapi dengan kedua tangan atau kaki depannya, monyet besar itu menarik-narik dengan sekuat tenaganya sehingga akhirnya tubuh ular itu tercabik-cabik dan lehernya hampir putus oleh gigitan mulut yang penuh dengan gigi yang kuat terhias beberapa buah gigi taring yang runcing itu. Monyet betina itu lalu memondong anaknya yang telah mati, mengeluarkan suara merintih seperti sedang menangis dan menjauhkan diri dari teman-temannya sambil memondong bangkai anaknya itu.

Sementara itu, dari dalam sebuah goa yang besar dan gelap terdengar rintihan pula yang hampir sama suaranya dengan rintihan induk monyet yang kematian anaknya. Rintihan ini keluar dari mulut Liong Si Kwi.

Wanita muda ini rebah terlentang di atas tanah di dalam goa dan punggungnya bersandar pada batu-batuan di dinding goa. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan ketakutan, tubuhnya hanya tertutup dengan jubah panjang karena dia sudah melepaskan celananya.

Rintihan dan keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan. Pada saat-saat tertentu Liong Si Kwi menyebut-nyebut ibu serta ayahnya yang telah tiada! Air matanya bercucuran, bercampur dengan keringat yang memenuhi kening dan lehernya, membuat mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil, napasnya terdengar sesak dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat.

Kelahiran merupakan suatu peristiwa yang amat suci, merupakan suatu keajaiban yang amat hebat, merupakan kekuasaan Tuhan yang sangat mengharukan. Dalam peristiwa ini terjadilah pengorbanan yang tiada taranya yang dapat dilakukan oleh seorang manusia.

Ibu! Betapa luhurnya sebutan ini! Derita kenyerian yang ditanggung seorang ibu dalam melahirkan anaknya saja sudah cukuplah merupakan suatu alasan yang sangat kuat bagi seorang anak agar mencintai ibunya, dan bagi seorang suami agar menghormati isterinya.

Seorang ibu yang melahirkan menghadapi suatu rasa kenyerian yang sukar dilukiskan, bahkan menghadapi pula ancaman bahaya yang bukan tak mungkin merenggut jiwanya. Namun betapa kejam dan kejinya, banyak sekali manusia yang melupakan pengorbanan ibunya sendiri ketika mengandung, melahirkan dan menyusuinya ketika dia masih kecil, betapa banyak sekali manusia yang melupakan penderitaan isterinya ketika melahirkan anaknya!

Ibu, betapa pun manusia melupakan jasa dan pengorbananmu, namun kenyataan tidak akan dapat disangkal bahwa di waktu melahirkan, engkaulah manusia suci!

Malam mulai tiba. Dalam goa itu gelap sekali. Rintihan dari goa masih terdengar, kadang-kadang mulai lagi, sesuai dengan rasa nyeri yang kadang-kadang terasa oleh Si Kwi dan kadang-kadang lenyap lagi. Tanda-tanda dari seorang yang akan melahirkan. Perlahan-lahan, sinar bulan merayap mendekati goa dan akhirnya ada sinar bulan yang memasuki goa sampai menerangi bagian bawah tubuh Si Kwi.

Si Kwi yang masih tersandar dengan tubuh lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, lidahnya menjilat-jilat bibirnya yang kering dan dia berusaha menelan ludah yang terasa kering, kemudian dengan mata yang masih terpejam dan alis berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya,

"Air... air... aku haus... air...!"

Akan tetapi tentu saja tidak ada yang mendengar bisikannya.

"Air... aku ingin minum...!" Dia kini berseru nyaring. "Ibu... ayah... aku ingin minum...! Cia Bun Houw, tolong ambilkan air...!"

Yang menjawab hanya gema suaranya yang membalik keluar dari goa. Anehnya, yang terdengar olehnya hanyalah gema suara yang memanggil, "Cia Bun Houw...!"

Suara ini membuat dia sadar dan membuka matanya. Ketika dia melihat sinar bulan, dia menoleh ke kiri, lalu dia merangkak menuju ke sebuah poci air yang disediakannya di situ. Diminumnya air jernih itu dengan lahapnya. Dan segarlah rasa tubuhnya. Kemudian dia meletakkan kembali poci air di sudut goa dan matanya memandang ke luar.

Ketika melihat bulan di angkasa, Si Kwi merangkak keluar dari dalam goa. Dia hanya bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri karena kedua kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar goa, memandang bulan dan dilihatnya bulan seperti wajah Bun Houw. Diangkatnya kedua tangannya ke atas, tangan kanan dan lengan kiri yang buntung menghadap bulan.

"Bun Houw... Bun Houw... tidak kasihankah kau kepadaku...? Anakmu... anakmu... akan terlahir... ohhh!"

Dia cepat-cepat merangkak kembali ke dalam goa karena merasa betapa perutnya sakit sekali. Dengan terengah-engah dia segera merebahkan diri terlentang lagi di tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu pada batu-batu dinding goa.

Mulailah lagi datang rasa nyeri yang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya menggigil, wajahnya semakin pucat dan dia memejamkan mata, sambil mengerahkan tenaga untuk mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan merintih-rintih.

Dia tidak tahu bahwa kemunculannya di luar goa tadi menarik perhatian beberapa ekor monyet yang ketika melihat dia merangkak masuk goa diam-diam lalu berdatangan dan memasuki goa. Melihat Si Kwi terengah-engah itu, monyet-monyet yang mengikutinya masuk ke dalam goa, berjongkok dan memandang dengan sikap seperti menaruh kasihan dan ada yang menyeringai. Mereka sedah-olah mengerti apa yang sedang terjadi dengan manusia wanita ini. Dan di antara monyet-monyet itu terdapat pula monyet betina besar yang masih memondong bangkai anaknya yang mati digigit ular tadi!

Kegelisahan mendesak di hati Si Kwi. Gelisah kalau-kalau anak di dalam kandungannya itu tidak akan dapat keluar. Demikian sukar agaknya. Demikian menyakitkan. Dia tidak peduli lagi bagaimana jika anak itu sudah keluar nanti. Pikirannya tak sempat memikirkan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh pikirannya dan keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang menyiksanya itu!

Akhirnya, setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya pingsan, menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan memecahkan kesunyian di dalam goa. Si Kwi merasa kelegaan yang amat luar biasa menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua pahanya, Si Kwi mengeluh dan pingsan.

Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang sudah mempunyai ketertiban sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, namun ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak dengan tertib seolah-olah diatur oleh tenaga yang tak nampak.

Lihatlah ke luar, awan berarak di angkasa, berlapis-lapis, gerakan mereka ada yang ke kiri ada yang ke kanan, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan angin besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan matahari serta kegunaan sinarnya.

Tumbuhnya pepohonan dengan batangnya, akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah. Kemudian lihatlah ke dalam, lihatlah diri kita sendiri. Tiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati dan segala ini yang membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang, mendengar dan sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau membara dalam diri kita pada waktu kita masih hidup.

Segala keajaiban ini terlewat begitu saja bagi mata kita yang seperti buta, tidak pernah memperhatikannya, tak mempedulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata pada hal-hal ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan sebagainya!

Kekuasaan alam memang amat luar biasa, tak terukur oleh hati dan pikiran kita. Kelahiran yang terjadi dalam goa itu, yang dialami oleh Liong Si Kwi, tanpa pembantu sama sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap saat di dunia ini, namun yang tidak nampak oleh orang-orang yang memang tidak memperhatikannya.

Si Kwi pingsan dan segala sesuatunya tergantung sepenuhnya kepada ketertiban alamiah itu. Pemulihan segala yang rusak karena kelahiran itu, datang dengan sendirinya. Dalam keadaan pingsan itu, pulih kembali kenormalan di dalam diri Si Kwi, napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi merah lagi, dan darah pun berhenti mengalir.

Himpitan perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi pingsannya Si Kwi sehingga membuat dia tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam goa yang amat sunyi itu. Tidak ada seekor pun monyet yang berada di situ lagi ketika Si Kwi menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda datangnya kesadaran pertama.

Pelupuk mata yang tergetar dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka. Sinar mata yang lesu menerawang ke langit-langit goa, kemudian dia mengeluh dan rasa nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali. Teringatlah dia akan yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi.

"Ahhh...!" Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari ke bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya.

Dia melihat sebuah benda kecil di antara kedua pahanya itu, tidak begitu jelas karena sinar matahari masih sangat muda. Dengan tangan gemetar Si Kwi mengambil benda itu, dibantu oleh lengan kirinya yang buntung, mengangkat benda itu dekat dengan matanya, memandang dan tiba-tiba dia menjerit dengan mata terbelalak, melemparkan benda itu dan dia sendiri lalu terkulai dan pingsan lagi! Benda yang dilemparkan itu adalah bangkai seekor monyet kecil yang kepalanya masih berdarah!

Sementara itu, jauh dari tempat itu, di atas cabang pohon tertinggi, induk monyet besar menyusui seorang bayi. Bayi yang tadinya menangis teroek-oek itu berhenti menangis ketika mulutnya disumbat puting susu yang besar dari mana mengalir air susu yang cukup banyak.

Dengan penuh sikap sayang monyet betina itu mendekap tubuh bayi manusia itu. Dialah yang tadi sudah menukarkan bangkai bayinya dengan bayi manusia yang baru dilahirkan ini. Perbuatannya ini entah digerakkan oleh apa, karena pada umumnya, binatang tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Mungkin karena tangis bayi itulah maka dia tergerak, atau oleh naluri yang memberi tahu dia bahwa anaknya telah mati.

Setiap ada seekor monyet lain yang mencoba mendekatinya untuk melihat bayi manusia itu, induk monyet ini meringis dan mengeluarkan bunyi geraman, matanya memandang penuh ancaman dan siap mempertahankan bayinya dengan nyawa. Bahkan ketika seekor monyet jantan besar sekali berani mendekat, tangan kirinya mencakar dan monyet jantan itu terpaksa lari menjauhkan diri pula. Induk monyet itu menjadi curiga dan tidak percaya kepada siapa pun juga setelah dia kehilangan bayinya yang digigit ular namun sekarang sudah memperoleh penggantinya.

Demikianlah, bayi manusia anak Si Kwi itu semenjak lahir dibawa ke atas puncak pohon oleh monyet betina itu. Biar pun tidak secepat bayi-bayi monyet lainnya, namun beberapa hari kemudian bayi itu sudah pula pandai bergantung pada rambut-rambut dada dan leher induknya dan enak saja dibawa berloncatan dari cabang ke cabang, disusui diberi makan buah dan kadang-kadang juga ulat dan cacing!

Entah apa pula yang menyebabkan monyet betina itu kini menjauhi Istana Lembah Naga, menjauhi tempat di mana wanita yang melahirkan bayi itu tinggal. Mungkin juga hanya nalurinya, karena dia tak ingin manusia itu melihat anak yang kini dirawatnya, yang telah menjadi anaknya sendiri. Dia membawa anak itu jauh dari istana, ke dalam hutan-hutan yang paling lebat dan liar, dan dia jarang sekali turun ke tanah kecuali untuk mencari makan.

Setelah anak itu berusia enam bulan dan sudah pandai berayun-ayun, tubuhnya sudah kuat, barulah induk kera ini membawanya turun. Anak itu belum dapat berjalan seperti manusia, akan tetapi sudah pandai merangkak dan berloncatan dari cabang ke cabang. Seorang anak lelaki yang sehat dan berwajah tampan, rambutnya lebat dan hitam sekali, mukanya bundar dan matanya bersinar tajam dan liar seperti mata monyet-monyet.

Pada suatu pagi, ketika anak yang baru berusia enam bulan itu mencokel-cokel batu di bawah pohon mencari cacing, tiba-tiba terdengar suara mengaum. Anak itu mengangkat muka dan memandang terbelalak ketakutan kepada seekor harimau yang tahu-tahu telah berada di depannya! Harimau itu besar sekali, sudah tua dan tubuhnya agak kurus seperti harimau kurang makan! Akan tetapi justru hal ini membuat dia menjadi lebih buas dari pada biasanya. Kelaparan membuat binatang menjadi buas dan galak!

"Aaauuughhhmmm!"

Harimau itu menggereng melangkah maju. Agaknya dia merasa terheran-heran melihat makhluk yang tidak berbulu ini. Dia sudah terbiasa menubruk dan menjadikan mangsanya binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah, namun hampir semua binatang itu berbulu, tidak seperti makhluk ini. Seperti segumpal daging yang lunak dan tinggal menelan saja! Air liur membusa keluar dari mulut harimau itu.

Pada saat itu, dengan kecepatan yang amat luar biasa bagi seorang anak berusia enam bulan, anak itu meloncat dan menggunakan kedua tangan dan kaki menangkap batang pohon. Akan tetapi lompatannya tidak begitu tinggi dan harimau itu pun dengan cepatnya meloncat dan menerkam ke arah batang pohon itu sambil berdiri. Cakar yang amat tajam meruncing dari kaki kirinya menancap d pundak kiri anak itu.

Anak itu mengeluarkan pekik mengerikan dan terbanting lagi ke bawah. Pundaknya robek dan nampak darah mengalir keluar dari luka memanjang pada pundaknya, dari pundak hingga ke punggung.

Sebelum harimau itu menubruk lagi, tiba-tiba saja terdengar pekik dan gerengan dahsyat. Induk monyet itu sudah melayang turun, cepat menyambar tubuh anak itu dengan lengan kanannya dan dengan taring nampak mengancam dia lalu menghadapi harimau, tangan kirinya bergerak-gerak dan mengeluarkan pekik berkali-kali. Monyet betina itu siap untuk melindungi anaknya dengan taruhan nyawanya.

Padahal biasanya, kalau melihat harimau ini dia tentu akan lari dan mengamankan diri di cabang tertinggi dari pohon-pohon besar. Akan tetapi, ketika melihat anaknya terluka dan terancam, dia lupa rasa takut dan menghadapi harimau itu dengan memperlihatkan taring sambil memberi tanda kepada kawan-kawannya!

Di antara para binatang liar, rombongan monyet memang memiliki naluri untuk bersetia kawan. Meski pun mereka semua takut dan ngeri menghadapi harimau yang sudah biasa makan seekor di antara kawan-kawan mereka yang lengah, akan tetapi kini melihat induk monyet itu terancam, dan juga melihat anak manusia yang telah mereka terima sebagai satu di antara kawan-kawan mereka sendiri itu terluka, mereka langsung berlompatan dan berdatangan ke bawah, menggereng dan menghadapi harimau itu dengan marah!

Harimau itu mengaum, akan tetapi monyet-monyet itu menggereng. Sang harimau kalah gertak agaknya, maka dia lalu menggereng dan menyambar ke kanan di mana terdapat seekor monyet jantan yang masih muda. Monyet ini memekik, akan tetapi sekali sambar saja sang harimau sudah menggigit tengkuknya dan binatang buas itu lalu melarikan diri sambil membawa korbannya yang sudah digigit patah batang lehernya dan sudah tidak berkutik lagi itu.

Anak kecil itu menangis dan monyet betina itu lalu merawat luka anaknya dengan penuh kasih sayang, menjilati luka itu sampai bersih. Setiap hari dijilatinya luka di pundak anak pungutnya itu dan agaknya karena ini maka luka itu cepat sekali sembuh. Belum sebulan lamanya, luka itu sudah sembuh sama sekali, hanya nampak bekas luka memanjang dari pundak ke punggung. Kini anak itu sudah bermain-main dan mencari makan lagi seperti biasa, berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon dengan cekatan sekali.

Kehidupan di dalam hutan liar memang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, binatang-binatang hutan, terutama golongan monyet yang lebih cerdik di antara binatang-binatang itu, memiliki naluri tajam sekali dan pertumbuhannya cepat. Sayang bahwa anak manusia itu sesuai dengan hukum alam, tidak sama pertumbuhannya dengan monyet, maka oleh para monyet lain dianggap sebagai monyet aneh yang lemah.

Monyet-monyet lain, dalam usia setahun telah menjadi monyet yang dapat berdiri sendiri, tidak lagi mengandalkan induknya. Akan tetapi anak yang tidak berbulu itu tidak mungkin hidup tanpa pengawasan dan penjagaan induknya. Agaknya monyet betina itu maklum pula akan keadaan anaknya yang lemah ini. Dia tak mau lagi didekati monyet jantan dan seluruh waktunya hanya dipergunakan untuk mengasuh anak itu, diasuh dan diikutinya ke mana pun anak itu pergi.

Setahun kemudian, anak itu sudah mulai dapat berdiri akan tetapi jalannya membungkuk setengah merayap, meniru gerakan monyet, hanya dia makin pandai memanjat pohon, pandai meloncat dari dahan ke dahan. Bagi seorang manusia, atau bagi ukuran manusia tentu saja gerakannya sangat mentakjubkan, cepat bukan main. Akan tetapi bagi ukuran monyet, tentu saja dia amat lamban dan lemah!

Betapa pun juga, agaknya karena dia jauh lebih cerdik dari pada monyet, memiliki daya tangkap lebih tajam dengan pikirannya, maka di dalam banyak hal anak itu mengalahkan monyet-monyet itu dan dia pun tidak sebuas monyet-monyet itu sehingga dia disukai oleh semua monyet dari yang kecil sampai yang besar.

Pada suatu hari, pada waktu anak itu sedang bermain-main dengan monyet-monyet kecil setelah kenyang makan buah, tiba-tiba terdengar pekik seekor monyet kecil yang bermain agak jauh dari teman-temannya. Semua monyet cepat meloncat ke pohon dan mencari tempat sembunyi yang aman.

Akan tetapi anak itu sebaliknya malah cepat menghampiri tempat temannya itu menjerit dan dia melihat bahwa seekor monyet kecil sedang berhadapan dengan seekor ular. Ular itu kecil saja, sebesar lengan kanak-kanak dan panjangnya hanya kurang lebih tiga kaki, kulitnya belang-belang dan lehernya berkembang lebar. Ular itu mengangkat kepalanya, mengeluarkan suara mendesis hingga monyet kecil itu ketakutan, seperti lumpuh saking takutnya dan hanya dapat menjerit-jerit.

Anak manusia itu tiba-tiba meloncat sambil menyambar sebatang ranting, lalu dipukulnya kepala ular itu. Ular yang marah itu mengelak, lalu kepalanya meluncur dan tiba-tiba anak itu berteriak keras saat betis kakinya tergigit oleh ular. Dia roboh dan berusaha menggigit leher ular. Mereka bergumul dan monyet kecil tadi segera berlari dan naik ke atas pohon sambil memekik-mekik.

Terdengar gerengan keras dan monyet betina besar yang sudah cepat datang ke tempat itu, kini melayang turun diikuti kawan-kawannya. Melihat anaknya bergumul dengan ular yang menggigit betis anak itu, monyet betina menjadi marah sekali, Demikian pula teman-temannya. Mereka menubruk ular itu, menggigit leher dan seluruh tubuhnya, mencabik-cabiknya sehingga sebentar saja ular itu sudah putus-putus tubuhnya. Akan tetapi anak itu menggeletak dalam keadaan pingsan dan kaki yang tergigit ular itu membengkak dan berwarna biru!

Bagi monyet-monyet itu, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh racun ular. Mungkin dari perbedaan susunan di dalam tubuh, entah bagaimana, akan tetapi racun ular tidak mudah mencelakakan mereka sehingga gigitan seekor ular berbisa itu kiranya tidak akan membuat mereka tewas. Akan tetapi berbeda dengan anak manusia itu. Anak itu pingsan dan kalau tidak memperoleh pengobatan yang tepat, tentu dia akan tewas dalam waktu sehari dua hari saja.

Dengan nalurinya monyet betina besar itu tahu bahwa anaknya terancam bahaya maut. Dia memondong tubuh anak itu seperti tubuh bangkai anaknya dahulu, dibawanya lari ke sana-sini dan berloncatan dari dahan ke dahan, menjauhi teman-temannya dan akhirnya dia sampai di dekat goa di mana dulu dia mengambil anak itu yang baru terlahir, setahun yang lalu.

Dengan suara menguik-nguik seperti orang menangis, monyet betina itu memasuki goa. Ada tiga ekor temannya mengikutinya dengan takut-takut. Monyet betina itu memandang ke kanan kiri, namun goa itu kosong. Bahkan bangkai anak monyet atau pun rangkanya tidak nampak lagi di situ.

Ke manakah perginya Liong Si Kwi? Seperti kita ketahui, satu tahun yang lalu, wanita ini kembali roboh pingsan sesudah dia siuman pada waktu paginya dan melihat bahwa yang menggeletak di antara pahanya adalah bangkai seekor anak monyet. Rasa terkejut dan ngeri membuatnya pingsan kembali.

Akan tetapi kali ini, karena tubuhnya telah mulai pulih kekuatannya, dia tidak lama dalam keadaan tidak sadar itu. Sesudah dia siuman kembali, dia lebih tenang dan pikirannya bekerja sambil dia duduk dan memandang ke arah bangkai monyet itu.

Diambilnya bangkai itu dan diperiksanya. Benar-benar bangkai seekor monyet kecil. Jelas dia tidak melahirkan anak monyet! Tentu anaknya telah terlahir dan ada yang mengambil anaknya itu, menukarnya dengan seekor monyet kecil yang mati dengan kepala terluka. Ini bukan anak monyet yang baru saja terlahir, pikirnya.

Hatinya lega. Tidak, dia tidak melahirkan monyet! Tidak mungkin keturunan Cia Bun Houw berupa monyet! Akan tetapi timbullah kekhawatiran lain di dalam hatinya. Siapakah yang menculik anaknya?

Jantungnya berdebar kencang. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambil anaknya? Mudah-mudahan demikian, pikirnya penuh harap. Akan tetapi kalau Bun Houw yang datang, mengapa pemuda itu membiarkan saja dia pingsan tanpa menolong dirinya? Bukan demikian watak pendekar sakti itu. Dan mengapa pula menukar anaknya dengan bangkai seekor monyet kecil? Ini pun tidak masuk akal!

Yang sanggup melakukan hal sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi siapakah yang akan melakukan hat seperti itu kepada anaknya? Di antara tokoh sesat yang tadinya membantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Istana Lembah Naga, semuanya telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan para pendekar sakti.

Hanya Hek-hiat Mo-li seorang yang tidak tewas dan nenek iblis itu sudah pergi bersama muridnya, yaitu Raja Sabutai. Nenek itukah yang melakukan hal ini? Dia bergidik kalau teringat kepada nenek bermuka hitam yang mengerikan itu. Akan tetapi mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang baru terlahir.

Si Kwi bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar goa. "Hek-hiat Mo-li, agaknya engkaulah yang melakukan hal ini. Nenek jahanam, iblis laknat, sungguh engkau bukan manusia, melainkan iblis betina yang keji!"

Dia lalu menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri, Hek I Siankouw, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apa lagi dia. Andai kata benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apakah yang mampu dia lakukan terhadap nenek itu?

Kepandaian nenek itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Dan dia teringat bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat yang hanya baru dapat dikuasai dengan syarat makan dan minum darah bayi yang baru terlahir. Dia bergidik dan menangis lagi.

"Bun Houw... Cia Bun Houw... hanya engkau seoranglah yang sanggup melawan nenek itu, hanya engkau seoranglah yang akan dapat menyelamatkan anak itu, anakmu, darah dagingmu... akan tetapi mana engkau sudi melakukannya...?" Si Kwi kembali menangis sesenggukan.

Sesudah reda tangisnya, dia lalu keluar dari dalam goa, membawa bangkai anak monyet itu. Entah bagaimana, melihat bangkai anak monyet itu, dia merasa kasihan. Seolah-olah dia teringat bahwa anaknya sendiri pun berada di dalam bahaya, dan mungkin saja mati seperti anak monyet ini. Membayangkan betapa anak yang dikandungnya itu mati tanpa ada yang menolong, timbul rasa iba di hatinya terhadap anak monyet itu dan meski pun tubuhnya masih lemah, dia memaksa diri mengubur bangkai itu baik-baik.

Semenjak melahirkan dan anaknya hilang, Si Kwi hidup makin tak peduli lagi. Pakaiannya jarang digantinya, tubuhnya kurus, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan dia lebih sering tidur di dalam kamarnya di Istana Lembah Naga, bermalas-malasan dan hanya kalau rasa lapar di dalam perutnya sudah terlalu hebat saja dia terpaksa keluar mencari bahan makanan. Hidupnya terasa kosong dan hampa dan dia seperti mayat hidup saja.

Kecewa menimbulkan iba diri, dan iba diri menimbulkan duka. Duka semakin mendalam karena dorongan ingatan, dan sengsaralah manusia yang telah menjadi korban dari duka. Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan serta kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh.

Padahal, sebelum terjadinya peristiwa dengan Bun Houw di Lembah Naga, sebelum dia bertemu dengan pemuda yang sangat dikaguminya itu, Liong Si Kwi adalah seorang dara cantik manis dan angkuh, yang selalu mengandalkan kepandaian dan merasa tak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya!

Sebetulnya Liong Si Kwi bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula menjadi murid orang jahat. Mendiang ayahnya adalah seorang piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) yang terkenal gagah dan jujur. Akan tetapi ayahnya tewas di tangan penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal.

Dia dirawat dan dididik oleh Hek I Siankouw. Gurunya itu, Hek I Siankouw, sesungguhnya juga bukan seorang jahat. Sebaliknya malah, Hek I Siankouw adalah seorang pendeta wanita, seorang penganut Agama To dan selain mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali, juga tokouw ini tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan selalu menentang para penjahat yang mengganggu ketentraman.

Akan tetapi sayang, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia seperti para manusia lain, tetap memiliki kelemahan. Semenjak masih mudanya, Hek I Siankouw telah menjadi pendeta, menguasai segala macam nafsunya, terutama nafsu birahi.

Akan tetapi, ketika dia bertemu dengan seorang pendeta Agama To lain, yaitu Hwa Hwa Cinjin, seorang tosu yang sangat sakti, yang bersikap lemah-lembut, yang pada waktu mudanya memang tampan sekali, dia tidak kuat menahan gelora hatinya yang tertarik!

Demikian pula Hwa Hwa Cinjin, ketika bertemu dengan Hek I Siankouw yang ketika itu sudah berusia lima puluh tahun, dia tertarik sekali dan terjadilah hal yang aneh di antara kedua orang pendeta ini! Mereka tidak dapat menahan nafsu birahi mereka dan terjadilah hubungan cinta gelap di antara mereka.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar