Dewi Maut Jilid 55

Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali ketika melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw yang menyamar. Can Pouw juga mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lainnya membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya mengeroyok Kun Liong dan Giok Keng.

Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak berimbang. Belasan orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya itu sama sekali bukanlah lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Memang harus diakui bahwa kepandaian ketiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu dan bukan apa-apa. Oleh karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya!

Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang bergerak-gerak, lalu tiba-tiba dia membentak, "Lihat ini!" Dan dia sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-jari tangannya.

"Heiiiii, itu punyaku!" teriak seorang di antara dua orang pengeroyoknya yang bermata juling.

Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana sudah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya!

"Nah, ambillah!" kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak dari bawah menendang.

"Dessss...!”

“Auwwwww...!" Si juling terkejut dan berteriak, lantas berloncatan dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya itu kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum.

"Heh-heh-heh, dan ini punya siapa?" Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dihias mutiara, yang dicopetnya dari saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu langsung kembang kempis ketika orangnya sudah mengenali barangnya.

"Si copet busuk! Kembalikan barangku!" hardiknya.

"Boleh, mari ambillah!" Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil memperhatikan kaki Can Pouw.

"Plokkk!”

“Aduhhh...!" Kiranya sekali ini Can Pouw bukannya mempergunakan kakinya, melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan ujungnya runcing keras untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu langsung menjadi remuk dan darah mengucur deras.

Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika itu pertempuran sudah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin beserta dua orang sute-nya berhasil meloloskan diri dengan mempergunakan selampe merah yang mengeluarkan debu merah beracun.

Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian. Dengan girang Giok Keng dapat menemukan kembali pedangnya dan setelah mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun Liong serta Giok Keng cepat pergi meninggalkan kuil itu di waktu itu juga, yaitu lewat tengah malam menjelang pagi!

Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, kemudian mengumpulkan gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik dari para hwesio dan dari para pembesar mau pun dari semua penghuni kota Heng-tung.

Berkat jasanya yang besar, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di kota Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai penasehat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong. Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat.

Tentu saja dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-ci Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya yang seribu sekarang bukan lagi digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri…..

********************

Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan yang indah di langit timur, mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng,

"Terima kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku."

"Ahhh, hal itu tidak perlu disebut lagi, sumoi. Aku malah mempunyai berita yang jauh lebih menyenangkan bagimu."

"Lie Seng?" Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan.

Kun Liong mengangguk.

"Bagaimana dengan dia, suheng? Dan di mana dia?"

"Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku..."

"Kok Beng Lama...?" Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar.

Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri dan dia pun mengatakan bahwa racun yang jahat itu sudah berhasil dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari Giok-hong-pang.

Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar-debar, dengan perasaan bercampur aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai dulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan penyebab yang menimbulkan keributan dan mala petaka, malah menjadi penyelamat puteranya.

Teringatlah dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa saja terjadi perubahan pada orang itu!

"Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?"

"Yang menculik puteramu memang jelas Bi Kiok, akan tetapi yang membunuh Hong Khi Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa."

"Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!" Giok Keng berkata geram.

"Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh isteriku?"

Giok Keng terkejut sekali. "Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?"

Kun Liong mengangguk. "Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah."

"Bukankah dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng," kata Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini.

Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang sakti sesudah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan dia pun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.

"Apa? Karena cinta kepadamu, suheng?"

Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu muda dulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang.

"Karena aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku sudah menikah dengan Hong Ing, lalu dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia hampir mati." Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di benteng Raja Sabutai.

Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang. "Ternyata bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan mala petaka belaka..."

"Memang, kalau cinta hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi..."

"Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng sudah selamat, akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kau ceritakan. Bagaimana dengan dia?"

Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Aku belum menemukan jejaknya, sumoi."

"Aku justru sedang menyelidikinya, mulai dari Leng-kok di mana dia menghilang dan saat aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini."

"Aku sendiri pun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar tentang siluman itu lalu kebetulan dapat bertemu denganmu di sini, sumoi."

Tiba-tiba Giok Keng berkata, "Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong adikmu?"

Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu. "Apa maksudmu, sumoi? Apa yang terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana kaisar?"

"Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?"

"Penculikan? Apa? Siapa...?"

"Aku pun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dialah yang baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja Sabutai dan dibawa keluar tembok besar..."

"Ehhh...?" Kun Liong terkejut sekali mendengar berita ini. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?"

"Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, walau pun maling, ternyata dapat dan boleh dipercaya, suheng."

"Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!"

"Aku akan membantumu, suheng."

"Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar..."

"Suheng, apakah kau masih meragukan perasaanku yang sangat menyesal dan berdosa terhadap dirimu? Apakah kau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Andai kata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong."

Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya satu wanita inilah yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk, berkata lirih, "Baiklah, sumoi. Mari kita pergi."

Mereka berdua tidak berbicara apa-apa lagi, melainkan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara…..

********************

Biar pun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati, akan tetapi tidak membuat kedua orang pemuda itu menjadi takut. Sesudah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng langsung melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat dari Si Kwi.

Tentu saja mereka maklum bahwa memasuki Lembah Naga sama artinya dengan masuk ke goa naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja tentu mereka tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw supaya mereka dapat menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek dan nenek iblis seperti yang telah mereka ketahui dari Ratu Khamila.

Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi dan semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh fihak musuh!

Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!

Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan waspada dalam tiap perbuatannya.

Melihat bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas menunjukkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya, "Kami mohon maaf apa bila mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah Naga?"

"Huah-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. "Sudah berada di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?" setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng.

Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu menghindar dan masih kecipratan arak pada lehernya, terasa panas dan sakit seperti jarum. Hal ini membuat dia marah sekali, tangan kirinya bergerak dan nampak sinar kilat berkelebat lantas sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher Ang-bin Ciu-kwi.

"Tranggg…!"

Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata,

"Ciu-kwi, tahan dahulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!"

Ang-bin Ciu-kwi mau menurut dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena nafsu birahi wanita cabul ini sudah terbangkit ketika dia melihat seorang pemuda yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!

"Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?" Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus.

Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai ini, biar pun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan.

"Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja datang ke Lembah Naga untuk mencari keterangan mengenai nona Yap In Hong yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga."

"Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!" Bouw Thaisu berseru kagum juga. "Apakah kalian ini utusan kaisar?"

"Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biar pun kami bukan langsung menjadi utusan kaisar, akan tetapi saya adalah putera dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The Hoo. Oleh karena itu..."

Mendadak terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek, "Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka berdua merupakan keturunan musuh-musuh kami!"

Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biar pun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti hingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula.

Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu sudah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I Siankouw sudah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap menghadapi segala bahaya. Oleh karena itu, begitu melihat kakek dan nenek itu bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.

"Dukkk!"

Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut sekali. Tadi, karena telah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang memiliki ilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk menangkis. Akan tetapi ujung lengan baju kakek itu ternyata mengandung tenaga yang bukan main kuatnya hingga dia tergetar dan terhuyung.

Karena maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang pada tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia langsung menerjang maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan seperti biasanya, kakek ini hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.

Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga meski pun Kwi Beng sudah mengamuk, mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya, tetapi belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun.

Tentu saja pemuda ini menjadi semakin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai dari pada dia.

Pemuda perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw Thaisu lantas sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai lututnya hingga membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus.

Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki dan tangannya itu diseret ke dalam sebuah rumah besar, lalu dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi Beng duduk di atas lantai menghadapi kakek dan nenek yang duduk di atas kursi itu.

"Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?" Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun.

Pemuda ini mengangguk.

"Hemm, mengapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Mengapa mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?" tanya pula Pek-hiat Mo-ko.

Tio Sun memandang dengan sikap tenang. "Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong."

"Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?"

"Tentu saja aku tahu. Pada saat engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua Cin-ling-pai, aku sudah melihat kalian."

Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang semenjak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada pemuda itu. "Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana engkau tadi berani mengaku bahwa engkau adalah cucu murid The Hoo?"

Kwi Beng balas memandang dengan dua mata melotot, "Nenek gila! Dengarlah baik-baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!"

"Heh-heh-heh-hi-hik!" Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kanannya bersinar-sinar aneh. "Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!"

"Benar! Bawa mereka keluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu akan datang orang-orang yang lebih penting untuk menolong mereka dan menghadapi kita, tapi kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!" kata Pek-hiat Mo-ko.

Para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa terlindung apa pun.

Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas sehingga nampak darah di pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata,

"Tenanglah, Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan tak mungkin bisa kita putuskan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga dan lebih tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik perhatian burung-burung di sana-sini."

Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan bangkai yang liar dan buas!

Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya, hatinya penuh iba. "Engkau takut, Beng-te?"

Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk.

"Tidak aneh, aku pun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi engkau jangan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebenarnya adalah binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-taihiap atau nona Yap."

Kwi Beng kelihatan termenung, tak lagi mempedulikan burung-burung itu. "Ah, bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh..."

"Nona Yap? Kiranya tidak mungkin. Apa bila mereka itu hendak membunuh nona Yap In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek bersama nenek gila itu tentu menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan agar memancing datangnya orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai dan lain-lain."

Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia takkan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong dengan taruhan nyawa.

In Hong! Dara yang sudah membetot semangatnya, yang merampas hatinya, dara yang dicintanya, namun... bagaimana kalau ternyata gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa dari pada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam semedhi.

Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya hingga membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak mempedulikan dia, apa lagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.

"Tio-twako...!"

Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.

"Ehhh, kau menangis, Beng-te?" tanyanya kaget dan kecewa karena tidak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.

"Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku..."

Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. "Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati."

"Twako, aku menderita sekali..."

Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan. "Aku mengerti, Beng-te, aku pun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?"

"Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku."

"Maksudmu?"

"Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako."

Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia dengan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan semakin menebal dugaannya bahwa besar kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.

"Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan engkau tidak bernasib seperti aku..."

"Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?" 

Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun bagaikan orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?

"Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?"

Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.

"Ahh, maaf, twako... sungguh kasihan kau...," Kwi Beng berkata dengan hati terharu.

Akan tetapi Tio Sun sudah berhasil menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, kemudian memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. "Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andai kata begitu, andai kata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiaan dia."

Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang kala dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.

"Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali memiliki seorang ipar seperti engkau, Tio-twako."

"Terima kasih, Beng-te."

Sekarang mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi angkasa di atas kepala mereka, seakan-akan mereka itu hendak memeriksa apakah sudah tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba!

Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya sehingga seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.

"Twako... lihat...," dia berbisik.

"Sstttt...!" Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar ini pun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat mendatangi ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka.

Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak, yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!

Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat pada tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.

Pada waktu mengenali dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Ternyata kedua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itu pun bukan orang Lembah Naga!

Betapa pun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang memiliki ilmu yang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah.

Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. "Nona, lekas kau tinggalkan kami... harap kau bantu kami menyelundup ke dalam... dan kau cari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!"

Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apa lagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini?

Dia mengangguk kemudian cepat pergi dari situ, berlari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga.

Sedangkan Lie Seng terus melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak-anak buah Lembah Naga yang memang bertugas menjaga ‘umpan’ itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.

"Tangkap bocah itu!"

"Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!"

Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Salah seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil ‘dipancing’ hanyalah dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri!

"Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!" bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa lebih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasar anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!

Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.

"Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nanti!"

Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu sangat mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.

"Ehh, adik kecil. Kau tidak takut?"

Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, bibirnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar. "Takut? Takut apa?"

"Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian."

"Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?" Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.

"Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dengan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula."

Bocah ini mempunyai watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan padat.

"Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?" tanyanya.

"Bukan. Aku pun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian."

"Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas semua usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal sekali..."

"Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan."

Tio Sun kembali tertegun. "Kau tidak menyesal? Dan juga tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?"

Lie Seng menjawab singkat, "Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andai kata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?"

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.

"Adik kecil, engkau sungguh luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari keluarga mana?" Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik.

Lie Seng menatap bergantian pada mereka berdua. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apa lagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat.

"Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku."

"Ohhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai…..!

********************

Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

Dua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah sering kali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga.

Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupakan padang ilalang yang seperti lautan, seolah-olah tidak ada batasnya. Dan lorong yang kecil dan berupa jalan setapak itu sudah membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembali ke lorong yang sama!

"Ini tentunya merupakan jalan rahasia yang menyesatkan," akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. "Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!" Sambil berkata begitu, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

"Ihhhh...!" Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan.

Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk maka belitannya pun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa yang datang dan menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

"Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!" kata Kun Liong.

Biar pun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.

Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

"Aihhhh... indah sekali!" Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. "Kita dapat melakukan perjalanan cepat jika begini," katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

"Clupp...!”

“Aihhh...! Suheng...!" Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak hingga sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapa pun dia telah mengerahkan ginkang-nya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

"Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikit pun juga!" Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia pun akan ikut terjeblos pula. "Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!"

Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan. Pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengarlah wanita itu berseru. "Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kau sambut ini...!"

Tangan Giok Keng telah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggangnya sebab benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan lantas ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar