Dewi Maut Jilid 54

Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan walau pun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.

"Aduhhh...!" Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, "Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya..."

Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.

"Hayo kau ikut bersamaku!" Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.

"Baik, lihiap!" Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itu pun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.

"Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!" bentaknya.

"Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han."

Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu. Dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi bungkusan sumbangannya itu lalu ditukar oleh seorang maling tua, dan inilah orangnya!

"Ahhh...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku!"

Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat. "Sampai sekarang saya menyesal sekali bila teringat akan kelancangan saya yang hanya dimaksudkan untuk main-main itu, lihiap, hingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong lihiap," Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah, sinar matanya berapi-api.

Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan memakai topi, maling yang jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti sudah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta yang diselenggarakan oleh Phoa Lee It.

Akan tetapi kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di tempat itulah untuk pertama kalinya dia bentrok dengan In Hong hingga menimbulkan kemarahannya yang berakibat hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya sendiri.

Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu, bahwa sebetulnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya kembali biasa.

Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikan dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar sana untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu?

"Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan..."

"Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kau curi itu dan di mana pula kau sembunyikan gadis-gadis yang kau culik!" Tiba-tiba saja Giok Keng membentak dan…

"Sratttt...!" tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya!

Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya, hanya tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dadanya. Terasa olehnya ujung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini, lari pun akan percuma saja.

"Ehh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu..."

"Hemmm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?"

Kini ujung pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Ya ampunnnn... lihiap, ada kesalah fahaman di sini! Sungguh lihiap sudah salah sangka. Apa bila lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saya melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah tujuh turunan..."

Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu. "Ceritakan yang jelas!" bentak Giok Keng sambil memandang tajam karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang sangat pandai bicara ini.

"Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan tetapi, lihiap, Can Pouw adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya untuk menculik orang, apa lagi perawan-perawan cantik! Coba lihiap periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Walau pun saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya mampu membaca susi ngo-keng!"

Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan juga lucu. Betapa pun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.

"Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!"

"Begini, lihiap. Saya juga mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah karena perbuatan siluman itu benar-benar melanggar kehormatan serta kesopanan dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Kalau maling ya maling saja, masa pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan nama baik maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima begitu saja lantas mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial dangkalan, hingga seminggu saya setiap malam menyelidiki, tapi maling siluman itu tidak pernah muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya kemudian mengambil keputusan untuk memancing siluman itu agar keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentulah siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya sehingga dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa sangka bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat."

Dia cepat menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulailah dia percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam.

"Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu saja? Bagaimana kalau kau membohong?"

Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. "Lihiap, di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak pernah sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap ini, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya seorang pembohong rendah, mana mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya? Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baikku itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya."

Giok Keng menjadi makin tertarik. "Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap In Hong?"

Can Pouw mengerutkan alisnya. "Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan mendengar bahwa Yap-lihiap sudah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?" Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura.

Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi dia pun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat sesuatu, apa lagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang dianggapnya jauh lebih penting dari pada urusan In Hong.

"Can Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu."

"Kalau begitu, mari kita bersama-sama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya buktikan bahwa saya bukan siluman penculik perawan, melainkan seorang maling yang terhormat!"

"Hemmm, bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang curianmu itu!" dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.

"Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah mendengar ada orang menyaingi dia dan mencuri sejumlah uang yang banyak sekali." Can Pouw lalu menepuk-nepuk kantong itu sehingga terdengarlah suara berkerincingnya uang emas di dalamnya.

"Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan."

Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Sesudah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian dia pun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!

Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tak mampu bergerak dan akhirnya dia pun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka pun keluar untuk mencari keterangan mengenai perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan persis seperti yang mereka harapkan, tentu saja yang dituduh adalah ‘siluman’ itu.

Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa sebuah kamar lagi di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka.

Seperti malam yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan amat hati-hati dan secara diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang dianggapnya lebih berpengalaman dalam hal mencari jejak maling!

Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa hingga tengah malam, tak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!

"Aku akan pancing dia!" pikir Giok Keng.

Mulailah pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw. Sikapnya seakan-akan menyelidik ke sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata,

"Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik."

Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng sengaja menjauh agar dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw dengan lebih baik dan memberinya kesempatan untuk ‘melakukan sesuatu’. Dan saat yang dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendengar maling itu mengeluh dan tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu.

Nah, kini si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa kagetnya pada saat dia mendengar Can Pouw berteriak. "Tolong, lihiap...!" dan Giok Keng melihat sosok bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas genteng!

Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam lantas meloncat ke arah bayangan hitam itu. Sambil meloncat dia terus menikam dengan gerakan cepat bukan main karena pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya.

"Ehhh...?" Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya, dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.

"Tranggg...!"

Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.

"Ahhh...!" Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan kembali menyerang lagi.

"Cring-trang-triinggg...!"

Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat bukan main, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jeri.

"Siluman, hendak lari ke mana kau?" Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.

Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar.

Akan tetapi dia telah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.

Ke mana perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi, pendekar wanita ini pun cepat menggunakan ginkang-nya terus melakukan pengejaran. Lawannya itu agaknya sudah hafal dengan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, pada saat bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap.

Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan dia pun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, segera terdengar teriakan. "Tangkap siluman!" maka muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!

"Aku bukan siluman, bahkan aku sedang mengejar dan mencarinya!" bentak Giok Keng sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.

"Omitohud, wanita pembohong!" tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampaklah kepalanya yang gundul. "Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini sudah mengeruhkan kota Heng-tung!"

Giok Keng tak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Hwesio yang bertubuh tinggi besar itu, yang ilmu pedangnya sangat kuat dan tampaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, tiba-tiba membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan sapu tangan merah kemudian nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.

Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebenarnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus.

Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan sangat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia segera mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau balau dan tiba-tiba pundaknya kena ditotok. Maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.

Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itu pun harum dengan dupa wangi.

Giok Keng membuka matanya kemudian memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lainnya, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.

"Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, lagi pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji. Semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!" Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

"Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukan siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung." Giok Keng lalu berkata. "Harap losuhu suka membebaskan aku."

Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. "Sudah semenjak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Dari pada kau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik kau mengaku kepada pinceng di mana kau sembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kau curi malam kemarin."

"Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing agar siluman yang selama ini mengganggu kota ini mau keluar. Aku sungguh bukan maling, losuhu."

"Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?" Sepasang mata yang besar itu menatap tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.

"Losuhu, kalau kau tak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Namaku Cia Giok Keng, dan aku adalah puteri dari ketua Cin-ling-pai..."

"Ohhhhh...!"

Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak mengeluarkan seruan kaget dan bangkit berdiri. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, hingga beberapa lama mereka tak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras. Kedua matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.

"Omitohud...!" Akhirnya dia pun menarik napas panjang. "Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!"

"Aku tidak bohong, losuhu!" Giok Keng berkata marah.

"Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengan nama Thian Hwa Cinjin?"

"Ah, pendeta terkutuk itu?" Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pai. "Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, dan orangnya pesolek!"

"Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai..."

"Losuhu, akulah yang sudah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang mengantar nyawanya ke neraka!" Giok Keng berkata penuh semangat.

Memang pengakuannya ini benar. Di dalam cerita Petualang Asmara dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.

Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati.

Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan juga seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang ‘hwesio’ bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sute-nya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula!

Bersama belasan orang anak-anak buahnya, Kim Hwa Cinjin ingin meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman hingga tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak-anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia.

Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberi tahukan bahwa mereka merupakan hwesio-hwesto pangganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat!

Dan bersama dengan kedatangan rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, maka mulailah kota itu diganggu ‘siluman’. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk ‘makanan’ mereka yang telah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka gunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw.

Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, maka kawanan Pek-lian-kauw ini tentu saja dapat beroperasi dengan aman, kerena siapakah yang akan mengira bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledah, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali.

Ketika Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu melihat Giok Keng, birahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah, wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya bisa menangis dan minta ampun.

Kini, melihat seorang wanita seperti Giok Keng, yang ‘matang’ bentuk badannya, yang selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sinkang kuat dan ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat dia mendengar bahwa wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya langsung meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu birahinya!

Bergidik mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini. Untung dia lebih dahulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak!

Dia harus membalaskan kematian rekannya Thian Hwa Cinjin dan biar pun dia tidak akan memperkosa mau pun membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih bagus, bahkan sangat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia hendak menyerahkan wanita ini kepada yang berwajib sebagai ‘siluman’ yang selama ini mengacau Heng-tung!

Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia pun berkata, "Omitohud... agaknya keteranganmu itu benar. Akan tetapi, sebelum ada bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum bisa membebaskanmu begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti serta saksi, yaitu harta dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang menculik wanita-wanita."

"Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang sudah mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman itu sudah tertangkap."

"Baik, kami akan membuktikan semua keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!"

"Baik, suheng," jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi meninggalkan kamar itu.

"Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani membebaskan toanio. Tunggulah kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng," Kim Hwa Cinjin berkata dengan sikap sopan dan alim, lalu dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu di atas pembaringan.

Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu, ada pun Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan penasaran pada ‘siluman’ itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu…..

********************

Baru sekali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, di malam itu, dia kelihatan termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu kini menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari gedung hartawan Ciong malam kemarin.

"Sialan!" gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan. "Uang sialan!" Dia menonjok ke arah kantung itu.

Dia sudah mengatur akal, dan memang siluman itu pun telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga turut hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagaimana jika sampai pendekar wanita itu tertimpa mala petaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka. Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai.

"Uang sialan! Siluman sialan!" dia berkata agak keras dan kembali dia menonjok ke arah kantung uang.

"Hemm, kiranya di sini kau sembunyi!" Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap tenang sekali.

Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang maju menggunakan ginkang-nya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia langsung menerkam bagaikan seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci.

Akan tetapi sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai!

Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi mendadak tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar lelaki itu menghardik,

"Manusia busuk! Ternyata engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan di mana kau sembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!"

"Sialan...!" Can Pouw memaki gemas. "Siluman sial dangkalan!" Siapa yang tidak menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu!

"Ehh, apa maksudmu?" Laki-laki itu menghardik. "Hayo jekas mengaku, siluman keji!"

"Bagaimana saya harus mengaku jika bukan saya silumannya?" dia balas bertanya penuh kemendongkolan.

"Hemmm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di meja itu hasil curianmu?"

"Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang asli! Sudahlah, siapa pun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang asli, bila tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, jika kepada puteri ketua Cin-ling-pai kau masih juga tak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!"

Orang itu kelihatan terkejut bukan main. "Apa?! Siapa?! Puteri ketua Cin-ling-pai? Apa maksudmu? Di mana dia?"

Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan dan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua tulangnya rontok. "Eh-eehhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan pertanyaan itu kalau aku kau goncang-goncang seperti ini?"

"Brukkk!"

Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata, "Cepat kau ceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua Cin-ling-pai?"

Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak dipicingkan.

Dia melihat bahwa pria itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka pada kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin lelaki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman.

"Hemm, kalau awak lagi sial!" dia menggerutu. "Sudah dua kali berturut-turut aku dikira jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai, kedua oleh kau!"

"Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!"

"Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, lalu mengambil keputusan hendak memancing siluman itu keluar dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya, perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai sehingga hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dia dan kemudian malam ini kami berdua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui pula oleh Cia-lihiap. Siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan pada waktu aku sedang termenung bingung menanti di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!"

"Ahh, ke mana perginya Cia-lihiap...?" Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir.

"Bagaimana saya tahu?" Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.

"Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri dan dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku kembali ke sini dan menunggu kembalinya Cia... ehhh, apa ini?" Can Pouw terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja, kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia telah menyambar tubuh Can Pouw lalu dibawanya meloncat keluar dari jendela, kemudian mendekam tak jauh dari situ.

"Ssstttt, ada orang datang...!" bisik laki-laki itu kepada Can Pouw.

Mereka menanti dan jantung Can Pouw berdebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah!

Tidak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul. Hwesio! Mereka itu mempunyai gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu kedua bayangan itu kembali berkelebat keluar terus melayang ke atas genteng. Can Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan sesudah dia menoleh, ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula.

Can Pouw membanting-banting kakinya. "Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang tadi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula!”

Akan tetapi dia segera berpikir bahwa tak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi. Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta. Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong!

Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa tentu ada apa-apanya di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio di sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu lagi, cepat dia pun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong!

Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia Giok Keng tadi? Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong!

Seperti sudah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera Cia Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng.

Namun, Kun Liong lebih mementingkan penyelidikannya mengenai Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itu pun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah ditolong oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama.

Sesudah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar mengenai siluman yang sudah mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok. Maka dengan hati penasaran pendekar ini segera menyelidikinya dan kebetulan malam itu dia melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan pada saat Can Pouw dengan jalan tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng!

Sekarang dengan perasaan terheran-heran Kun Liong mengikuti dua orang hwesio yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua kakinya di tiang melintang.

Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas.

"Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, karena itu kami hanya dapat membawa karung ini saja."

"Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?" terdengar Giok Keng berkata.

"Nanti dulu, toanio. Memang benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya ditipu saja! Betapa pun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semuanya ini kepada yang berwajib. Kami masih merasa ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?"

"Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan seorang laki-laki berdiri di dalam kamar itu.

Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sute-nya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, sekaligus merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka!

"Yap-suheng...!"

"Cia-sumoi, tenanglah," kata Kun Liong.

Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sute-nya yang bermuka bopeng sudah mengeluarkan teriakan keras maka berbondong-bondong datanglah belasan orang hwesio mengepung kamar itu.

Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang pernah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat supaya anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata,

"Omitohud... banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu di sini?"

Kun Liong cepat menjura, kemudian berkata dengan sikap hormat. "Saya bernama Yap Kun Liong, tinggal di kota Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya menyelidiki dan tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emas ke sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng juga ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu sudah salah tangkap dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!"

"Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung," Kim Hwa Cinjin berkata. "Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, namun kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap Cia-toanio yang perbuatannya amat mencurigakan itu. Akan tetapi, sesudah sicu muncul, ada saksi bahwa dia adalah benar puteri ketua Cin-ling-pai, maka tidak ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!"

"Biarkan saya yang melepaskannya!" kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan.

Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah. 

"Maaf, toanio," Kim Hwa Cinjin menjura. "Kami hanya menjalankan kewajiban kami, dan bagaimana pun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat bersama Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tak enak dan kekagetan Cia-toanio."

Si muka bopeng itu mengangguk lantas keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar suaranya dari kamar belakang, "Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh? Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?"

Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri, menangkis dan mengelak.

"Cia-lihiap, awas, mereka itu bukan hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka semua adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw!" Terdengar suara teriakan keras kemudian muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong!

Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti yang telah kita ketahui, Can Pouw merasa curiga melihat bahwa yang mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, saat dia tiba di situ, semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul dan mengurung kamar besar atas isyarat sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong.

Karena kuil itu sepi akibat ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang hingga mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu kelihatannya takut sekali!

Can Pouw tidak berani masuk karena melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya dalam sebuah kamar gudang dia melihat hwesio-hwesio asli Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan mulut mereka disumbat!

Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, lalu bersama dengan ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang telah menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepat pergi ke kamar yang terkurung dan membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata rahasia.

Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat bahwa rahasia mereka kini sudah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio palsu itu lantas mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar