Dewi Maut Jilid 45

Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di tempat itu tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dahulu dia diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh keluar masuk di seluruh bagian istana maka dia boleh pula memasuki gedung perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.

Karena selama tinggal di istana In Hong memang kurang pekerjaan, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati serta pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia sudah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan kemudian menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya.

Sekarang dia melihat betapa kakaknya sudah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh dari pada manis kepadanya. Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia sudah memperlihatkan sikap manis.

Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana!

Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, lalu sekali tangannya bergerak dia telah memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan segera menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak peduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar!

Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tak mempedulikan para anggota pasukan Kim-i-wi yang berserabutan dengan panik. Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar.

Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat-mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan sedang dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu sudah menerjang pintu kamar kaisar!

"Sing-singg-singgg...!"

Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang masih duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!

"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar kaisar melarikan diri.

"Heh-heh-heh, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong.

Cengkeraman ini cepat dan kuat bukan kepalang, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang sangat berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!

"Desssss...!"

Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.

"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru lagi.

Akan tetapi kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, masih enak-enak saja sehingga In Hong semakin bingung dan cepat dia meloncat ke hadapan kaisar lalu menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.

"Dukkkk!"

Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itu pun roboh bergulingan. Ternyata bahwa bila melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek dan nenek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu.

Selagi In Hong meloncat bangun, dia sudah diserang lagi oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.

"Lari...! Lari...!" teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar.

"Celaka...!" In Hong berteriak ngeri.

"Krakkkk…!"

Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, yaitu si nenek itu.

"Aihhhh...!" Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali!

Kiranya ‘kaisar’ itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan semenjak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri.

Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di dalam kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biar pun orangnya sudah meninggal dunia, tetapi ciptaannya masih demikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian panglima yang kesaktiannya disohorkan orang seperti dewa itu!

"Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!" Terdengar suara kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri, dan mereka mengenal suara kaisar ini!

In Hong girang bukan main ketika melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, "Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!"

Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biar pun dia sudah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta. "Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!"

"Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemmm, kita tangkap saja dia!" Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.

"Dessss…!"

In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biar pun nenek itu sudah mencoba menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.

In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan meski pun dia sendiri menguasai ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), akan tetapi ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang.

Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tak merasakan sesuatu dan telah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini mempunyai kekebalan yang luar biasa dan andai kata tadi jarum dari dalam kepala arca itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.

"Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!" nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong.

Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat-cepat mengerahkan seluruh tenaganya kemudian menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu.

"Dukkk! Dessss…!"

Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai lambung dan dada. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, bahkan cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tidak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.

"Plakkk!"

Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya telah disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li hingga tubuhnya seketika menjadi lemas tak mampu bergerak.

Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi sedang berserabutan masuk dari pintu dan jendela.

"Mo-ko, kau pondong dia!" Hek-hiat Mo-li berteriak sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya.

Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan segera memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.

"Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!" teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu.

Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan karena terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.

"Kejar...!" Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Akan tetapi gerakan kakek dan nenek itu memang hebat bukan main, ginkang mereka jauh lebih sempurna dari pada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.

"Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!"

"Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!"

Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panah pun tak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang memiliki kepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu. Akan tetapi, dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka, bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali!

Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong lalu memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dengan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorang pun pengawal yang berani menyerang mereka!

Dengan ‘perisai’ hidup yang istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara ini pun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap.

Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan pengawal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk segera mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat!

"Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!" kata kaisar yang marah itu. "Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Apa bila dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!"

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang bagaikan iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga serta dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan bisa menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai? Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu juga penjagaan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja…..

********************

Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan.

Kamar tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter dan seluruhnya terbuat dari dinding baja yang sangat kuat. Pintunya juga terbuat dari baja tebal yang kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri andai kata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekali pun. Seekor gajah pun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini.

"Mo-ko, mengapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?" Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sebenarnya nenek berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin.

Pek-hiat Mo-ko tertawa. "Banyak sekali sebab-sebabnya kenapa kami belum membunuh dia, Siankouw. Coba kami hendak menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab itu?"

"Karena dia sudah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak menyiksa dia dulu sebelum membunuhnya!" jawab Hek I Siankouw.

"Ha-ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja," kini Hek-hiat Mo-li yang berkata.

Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang, "Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di sini."

"Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!" kata Pek-hiat Mo-ko.

"Aha, setan tua," Hek I Siankouw berkata, "Tentu kau hendak menjadikan dia semacam sandera supaya kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain kalau mereka muncul."

"Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sandera pun! Akan tetapi pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau perlu."

Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya tidaklah akan begitu mudah jika saja mereka tidak ‘dilindungi’ oleh keselamatan In Hong. Andai kata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu.

"Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak."

"Pinto (aku) mengerti sekarang," tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak. "Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tidak dapat disangsikan lagi bahwa dialah yang dahulu telah berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang diperebutkan itu. Karena itu sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk mendapatkan pusaka itu!"

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya merasa terkejut dan kagum mendengar tebakan yang memang amat tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan menggerak-gerakkan tangannya.

"Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain mempunyai ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?"

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang konon katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

"Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!"

Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang sejak tadi sudah siuman itu turut mendengarkan dan menjadi kaget dan heran. Dia diam saja dan tetap rebah terlentang di atas lantai namun dia ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena meski pun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, akan tetapi dia pun tidak pernah mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiri pun tidak mengetahuinya, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang lalu diperebutkan dan akhirnya berkat kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.

"Milik kalian?" Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu adalah milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-orang asing dari Sailan ini?

"Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!"

"Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu, bukan? Dia merampasnya dari kami!"

"Manusia pengecut dan pembohong besar!" Tiba-tiba saja In Hong tidak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan itu. "Kalian berdua selain pengecut, juga pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!"

Mendengar ucapan In Hong yang kini sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw membenarkan. "Memang demikian, Mo-ko!" kata Bouw Thaisu.

"Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Ehh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang dulu terjatuh ke tangan mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya."

Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu sudah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka mempunyai kekuasaan yang besar.

Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua akhirnya dapat menguasai sebuah bokor emas yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Dahulu, ratusan tahun yang lalu, bokor emas ini ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio sakti yang turut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh kaisar dari Kerajaan Goan-tiauw atau Kerajaan Mongol yang ketika itu menguasai Tiongkok, bahkan yang sudah menaklukkan Sailan dan semua negara di selatan dan barat.

Ketika hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan pada suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan, dia kemudian menyuruh membuat bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu.

Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa, akan tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang juga mengadakan perjalanan ekspedisi tiba pula di Sailan.

Raja Sailan yang sadar akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana sambil membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor emas itu!

Saat mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran. Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka dan terjadilah pertandingan hebat.

Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok, lalu seorang diri dia menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh dari Sailan yang mempunyai banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri.

Mereka melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas itu. Panglima The Hoo tidak mengejar mereka, melainkan menyuruh para pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan.

Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang mengandung rahasia, maka dia pun membawa bokor emas itu pulang ke Tiongkok. Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu lenyap di dasar sungai.

Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw lantas mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu jatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Sampai meninggal dunia, Panglima The Hoo sendiri belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan Sailan itu.

Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit dan dikatakannya bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!

"Demikianlah," Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. "Memang pada waktu itu kami kalah oleh The Hoo dan dia dapat merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepatnya, menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!"

"Memang milik kalian kalau begitu riwayatnya," Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi Bouw Thaisu diam saja.

"Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!" Tiba-tiba In Hong berkata. "Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukannya milikmu, juga bukan milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah orang yang berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka mendiang subo yang berhak."

"Hemm, dan sekarang subo-mu sudah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada kami," kata Hek-hiat Mo-li. "Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang kini berhak merampas pusaka itu."

"Sungguh tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana berani bilang bahwa kalian menang dariku?"

"Ehh, ehh, bocah sombong! Kau kira aku tidak mampu mengalahkanmu?" Hek-hiat Mo-li membentak marah.

In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki dia hidup telah memberinya makan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang,

"Hek-hiat Mo-li, kalau benar engkau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan menggunakan kecurangan."

"Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!" Hek-hiat Mo-li sudah meloncat bangun.

"Hati-hatilah Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?" kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya dara itu.

Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini sudah menguasai ilmu yang sangat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata yang bagai mana ampuh sekali pun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati!

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, "Boleh kau coba ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai kau bunuh dia. Kita masih amat memerlukannya."

"Aku tahu!" jawab Hek-hiat Mo-li.

Kemudian dia menekan sebuah tombol yang terhubungkan dengan sebuah alat. Kuncinya lalu terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka.

"Keluarlah, bocah sombong!"

In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia mengalahkan keempat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau dikatakan takut!

Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan ke tengah ruangan itu, lantas membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata, "Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!"

Hek-hiat Mo-li meloncat ke hadapan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak, "Jaga seranganku ini!"

Cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya sangat dahsyat dan cepat, mendatangkan angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat.

Namun dengan tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir kuat.

"Desssss...!"

Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang sangat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai.

Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, tapi Pek-hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya.

In Hong kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini mempunyai kekebalan tubuh yang sangat hebat sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak berkurang!

Melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, dia pun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang pernah dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh.

Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong menjadi amat kagum. Dalam gerakan silat In Hong ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai, tetapi sudah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu itu.

Seorang gadis semuda itu sanggup menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya.

"Plakkk! Dukkk!"

Tubuh nenek itu terhuyung-huyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi!

Kini In Hong mulai merasa seram! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apa lagi menyaksikannya!

Karena ternyata bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong itu lebih lihai sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering berhasil memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu menjadi semakin kagum.

Pek-hiat Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Walau pun sekarang dia memiliki kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga tidak mudah merobohkan lawan.

Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat!

In Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!

"Aihhhhh…!" Nenek itu menjerit marah.

Sekarang Pek-hiat Mo-ko mengepal tinjunya. Agaknya dia pun terkejut sehingga siap-siap untuk membantu kawannya. Betapa pun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji mata mereka kebal!

Oleh karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk menusuk mata itu dengan jari tangannya pun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya hanya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itu pun kebal! Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang terbuka.

"Desss...! Plakkk...!"

Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas lalu dia pun roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu mengandung racun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.

"Heh-he-he-heh!" Nenek itu meloncat dekat.

"Dessss…!" Tubuh dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.

"Cukup, Mo-li!" Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutup pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening.

"Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalaskan kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kau ingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!" Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko lalu mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum.

"Kita harus bersiap-siap," kata Pek-hiat Mo-ko. "Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini memiliki hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya adalah putera ketua Cin-ling-pai, maka tak mustahil bila sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini."

"Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap," sambung Hek-hiat Mo-li. "Akan tetapi jalan yang menuju ke lembah ini hanya satu, yaitu melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini."

"Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai," kata Hek I Siankouw. "Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku."

"Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh."

"Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kau serahkan gadis keparat itu padaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!" kata nenek berpakaian hitam ini gemas.

"Ha-ha-ha-ha, jangan khawatir. Sesudah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu," jawab Pek-hiat Mo-ko.

"Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku," kata Bouw Thaisu.

Hek I Siankouw segera mengeluarkan suara melengking tinggi dan tidak lama kemudian terdengar suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya sesosok bayangan merah. Kiranya dia adalah seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali.

Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah. Gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang lelaki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan!

Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biar pun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, dia pun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak!

"Subo…!" kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah.

Sepasang pedang yang bersarung dan bergagang terukir indah tergantung di punggung, gagangnya tampak di atas kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana akan tetapi terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata, "Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya."

"Hemm," Hek I Siankouw mendongkol. "Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi mampu menjaga diri sendiri." Kemudian nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, "Ehhh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?"

Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu senang menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya, dan dia pun meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, "Tentu saja teecu berani, subo."

"Ha-ha-ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!" kata Hek-hiat Mo-li. "Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!"

"Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!" kata Pek-hiat Mo-ko. "Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh akan mulai berdatangan, karena itu mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andai kata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!"

"Baik, locianpwe," jawab Si Kwi.

Nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa gadis yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (semedhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, malah sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiri pun dahulunya adalah seorang tokouw, yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai.

Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak ke dalam perangkap nafsu birahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, lalu mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih. Karena Hwa Hwa Cinjin ialah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang terbunuh di tangan The Hoo, maka dia pun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoatsu.

Ke mana pun Hwa Hwa Cinjin pergi, apa lagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya semenjak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya.

Sungguh pun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak pernah menganggap bahwa subo-nya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subo-nya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subo-nya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan yang jahat.

Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supek-nya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, begitu menurut keterangan subo-nya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itu pun menjadi pengganti orang tuanya.

"Subo, kenapa dia itu tidak dibunuh saja?"

"Justru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita," jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. "Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!"

Gadis itu mengangguk, lantas memberi hormat dan meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. "Ginkang muridmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!"

"Memang betul, Thaisu. Si Kwi pernah menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin hingga ginkang-nya menjadi matang dan lumayan. Karena ginkang-nya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya sehingga orang menjuluki dia Ang-yan-cu (Si Walet Merah)," jawab Hek I Siankouw dengan bangga.

********************

Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu.

Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan bagaikan seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga.

Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, juga hutan-hutan lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diselingi oleh gurun-gurun pasir yang tandus.

Bila didatangi dari barat, timur dan selatan, jalan menuju ke Lembah Naga itu hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar