Dewi Maut Jilid 39

Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju kota raja untuk memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali ke benteng Sabutai.

Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan dihibur oleh In Hong. "Paduka sudah melakukan hal yang baik sekali dengan membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?"

Khamila menarik napas panjang. "Enci Hong, engkau benar. Aku sudah membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi... ahh, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku. Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi negara terpaksa aku pun harus berpisah darinya... yang ada hanya ini..." Dia mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya itu dari siapa pun juga, karena itu tangannya yang mengusap perut itu terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat. "Hanya ini yang diserahkan padaku...," katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.

"Untuk siapa?" tanyanya.

"Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai." Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Aihhh, tiap kali aku memandangmu, sering timbul rasa iri di dalam hatiku, enci Hong."

"Iri hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia pengembara." 

"Justru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke mana pun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama sekali bebas memilih kawan hidupmu sendiri. Aku? Ahhh, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tak pernah mengenal cinta kasih sebelum berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang sangat terlambat, yang hanya mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang hanya akan mendatangkan duka saja."

Kata-kata itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang benar akan tetapi dia yang semenjak dahulu bebas tidak lagi dapat menikmati kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang-orang yang tidak bebas seperti Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri?

Otomatis tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw. Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada pemuda itu?

Tanpa disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh. Kini dia tidak lagi marah terhadap pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak secara sembarangan saja menuduhnya membunuh orang, bukan fitnah kosong belaka, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subo-nya yang mungkin saja oleh Bun Houw disangka dia.

Namun, Bun Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan kaisar, yang menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri bersama pasukannya tidak pernah berhasil menolong kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu kemudian melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya sesudah mendengar tentang jasanya terhadap kaisar itu!

Oleh karena keinginan yang timbul dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya, "Hong-moi...!"

In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu sangat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia masih menyimpan kemarahannya dahulu.

"Hong-moi...!"

In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak marah lagi seperti dulu, pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang terakhir.

"Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?"

Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapi pada saat dia melihat Khamila, dia cepat menjura dan berkata, "Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?"

Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian kemudian dia mengangguk. "Enci Hong, siapakah dia ini?"

"Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya," jawab In Hong sederhana. Lalu dia bertanya lagi, "Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?"

"Aku... aku sudah mendengar semua perbuatanmu yang sangat gagah berani dan mulia, engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu, Hong-moi!"

In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali.

"Hemm, kalau sudah begitu mengapa?" tanyanya, dingin dan angkuh.

Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata, "Perbuatanmu itu hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apa lagi aku pun mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!"

"Bun-taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?" Tiba-tiba saja Khamila bertanya.

Bun Houw mengangguk membenarkan.

"Bagaimana kesehatan beliau?" tanya pula ratu itu.

Bun Houw terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan oleh suaminya! Dia memang sudah berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya belum menceritakan secara lengkap, apa lagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan kaisar.

"Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja."

"Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?" kini In Hong bertanya.

"Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini untuk membantumu apa bila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe juga yang telah mengutus aku karena beliau sedang tergesa-gesa berangkat ke kota raja bersama semua pengawal."

"Perlu apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku. Lupakah engkau?"

Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. "Akan tetapi... sebagai penyelamat kaisar... engkau harus dibantu..."

"Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?"

"Hemm... tentang itu... ehh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan... sudahlah, Hong-moi, aku tak mau membicarakan hal itu lagi. Yang penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe."

In Hong menjadi marah. "Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku adalah seorang pembunuh. Nih, kau terima kembali pedangmu, bisa kotor bila terjatuh ke tangan seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!"

Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dulu dia terima dari gadis itu selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisahkan. "Tidak akan kukembalikan. Tidak boleh!"

"Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!"

"Tidak, aku pun tidak mau menerimanya kembali."

Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sebenarnya amat disayangnya itu.

"Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kau katakan?" Dada gadis itu makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya.

"Mari kita pergi saja!" Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw.

Pemuda ini masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia kini memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa?

Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak membentak, tiba-tiba terdengarlah suara berisik dan tahu-tahu tempat itu sudah dikurung oleh ratusan orang prajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang berdiri tegak memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan sekali. Mereka berdua tak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata,

"Hamba diutus oleh sri baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng."

Puteri Khamila mengerutkan alisnya. "Kini aku pun sedang hendak kembali ke benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini." Puteri Khamila memandang kepada In Hong dan Bun Houw dengan sinar mata melindungi, kemudian mengangguk kepada mereka. "Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, marilah ikut bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai sehingga semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan."

Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah bersiap untuk melawan, akan tetapi diam-diam In Hong amat khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apa lagi di situ masih ada ratusan orang prajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka dia pun mengangguk.

Bun Houw juga tak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biar pun disuruh memasuki neraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang prajurit yang seakan-akan ‘mengawal’ mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti.

Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri-seri sesudah dia melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia segera bangkit berdiri dan memegang tangan isterinya, kemudian menuntunnya duduk di atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata,

"Engkau harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin."

Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu berbisik, "...hamba... kaisar..."

Raja Sabutai tersenyum kemudian menyentuh tangan isterinya. "Aku memang bermaksud membebaskannya..." Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila.

Sementara itu, In Hong melirik ke seluruh ruangan. Dia tidak melihat Bouw Taisu dan Hek I Siankouw. Akan tetapi subo-nya sudah berada di situ, duduk di atas kursi dengan muka dingin dan mata membayangkan kemarahan. Tentu saja subo-nya marah kepadanya, dan masih merasa penasaran dan malu karena dikalahkan oleh ketua Cin-ling-pai!

Dua orang kakek dan nenek guru Sabutai kini telah mengambil tempat duduk di belakang raja itu. Ada pun pembesar Wang Cin juga hadir di situ, bersama anak buahnya yang kini hanya tinggal tiga orang yang masih bisa dia andalkan, yaitu tiga orang Bayangan Dewa. Mereka itu agaknya belum tahu apa yang telah menimpa diri empat orang undangan yang membantu mereka, tidak tahu akan kematian Go-bi Sin-kouw dan Hwa Hwa Cinjin yang jenazah-jenazahnya dibawa pergi oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.

Komandan pasukan pengawal tadi melaporkan kepada rajanya mengenai sang ratu yang ditemukan di dalam hutan bersama In Hong dan pemuda yang sekarang ikut pula dibawa menghadap dan menyerahkan keputusannya kepada raja. Karena laporan itu dilakukan dalam bahasa mereka sendiri, baik In Hong mau pun Bun Houw tidak tahu artinya, akan tetapi melihat wajah Khamila yang tenang-tenang saja bahkan kelihatan lega, hati mereka pun tidak khawatir.

Sesudah mendengarkan pelaporan komandan pasukan itu, Sabutai lalu memberi isyarat menyuruh mundur semua pasukan sehingga ruangan ini sekarang menjadi sunyi, hanya ada mereka dan Wang Cin bersama tiga orang Bayangan Dewa, Raja Sabutai, isterinya dan dua orang gurunya saja. Raja Sabutai kini menghadapi In Hong, memandang kagum kemudian dia berkata,

"Nona Hong, engkau sungguh menepati janji, terus mengawal isteri kami sampai ke mana pun sehingga telah kembali pula ke sini dengan selamat. Sayang engkau menggunakan akal untuk meloloskan kaisar keluar dari benteng. Kenapa engkau tidak terang-terangan saja minta ijin dariku? Apakah engkau tidak tahu bahwa memang kami tidak mempunyai niat untuk membunuhnya? Kalau memang kami bermaksud membunuhnya, maka sudah sejak lama dia kami bunuh!"

In Hong melirik ke arah Khamila, kemudian dia menjura dan berkata dengan gagah, "Saya sudah melakukan hal itu, dan memang saya menyelundupkan kaisar keluar dari tempat tahanan. Sesudah saya mengaku, maka terserah kepada kebijaksanaan paduka!" Ucapan gagah ini sekaligus juga menyatakan bahwa dia tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu.

Mendengar ini tentu saja Bun Houw merasa khawatir sekali. Dia salah duga, menyangka bahwa In Hong hendak menyerahkan diri dan menerima segala hukuman, maka cepat dia berkata, "Harap paduka maafkan kelancangan saya. Akan tetapi sepanjang pengetahuan saya, bukanlah nona Hong yang meloloskan kaisar, melainkan isteri paduka, sang ratu! Sebagai seorang pengawal yang setia, tentu saja nona Hong menyertai sang ratu ketika beliau meloloskan tawanan keluar dari benteng, maka tidak semestinya kalau kesalahan ditimpakan kepada nona Hong."

Semua orang memandang kepada pemuda itu, dan Raja Sabutai memandang dengan mata menyelidik. Sementara itu, Khamila langsung berbisik kepada suaminya bahwa dia sudah menanggung keselamatan mereka dan agar pemuda yang menjadi sahabat baik nona Hong itu jangan diganggu.

"Mereka saling mencinta...," bisik ratu itu akhirnya.

Sabutai tersenyum dan mengertilah dia sekarang kenapa pemuda itu secara mati-matian mempertahankan dan membela nona Hong. Juga In Hong terheran-heran bagaimana Bun Houw dapat menduga demikian tepat tentang larinya kaisar bersama Ratu Khamila. Dia tidak mengira bahwa pemuda ini adalah putera pendekar sakti Cia Keng Hong dan telah mendengar penuturan dari ayahnya tentang kaisar yang melarikan diri dibantu oleh Ratu Khamila itu.

"Orang muda, siapakah engkau?" Raja Sabutai bertanya, diam-diam dia menaksir apakah pemuda itu pantas menjadi kekasih seorang pendekar wanita seperti In Hong.

"Nama saya... Bun Houw." Bun Houw masih tetap menyembunyikan she-nya, karena dia teringat betapa In Hong sendiri pun mengira dia she Bun.

Lagi pula, di tempat seperti ini, perlu apa memperkenalkan diri yang sesungguhnya? Yang terpenting, kaisar telah lolos dan dia hanya berada di situ untuk melindungi In Hong dan juga untuk mencari ketiga orang musuh besarnya, yaitu tiga orang Bayangan Dewa yang kabarnya berada di situ.

Sejak tadi pun dia sudah memandang-mandang ke arah tiga orang kakek yang duduk di belakang seorang pembesar Han yang dia kira tentulah Wang Cin, dan tiga orang kakek itu agaknya adalah orang-orang yang selama ini dicarinya, maka dia memandang penuh perhatian sampai dia ditanya oleh Raja Sabutai.

Tiba-tiba Wang Cin berkata, "Sri baginda, harap sri baginda berhati-hati. Tidak salah lagi bahwa nona Hong tentulah seorang mata-mata dari kerajaan, dan pemuda ini tidak syak lagi juga seorang mata-mata. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau mereka berdua ditangkap dan dihukum mati karena mereka terang-terangan telah meloloskan kaisar itu dari tahanan!"

"Apa yang dikatakan oleh Wang-taijin benar sekali" Tiba-tiba Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berkata sambil bangkit berdiri. "Sudah sejak dahulu hamba semua tahu bahwa nona In Hong itu adalah mata-mata musuh dan tentu sekali waktu akan mengkhianati paduka. Juga pemuda ini adalah orang jahat yang masih mempunyai perhitungan dengan hamba karena dia bersama nona Hong telah membunuh dua orang saudara hamba."

Melihat betapa para pembantu Wang Cin agaknya memusuhi In Hong dan Bun Houw, hati Raja Sabutai tertarik sekali. Memang di samping ambisinya untuk menjadi raja besar yang akan membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Mongol, raja ini juga merupakan seorang yang keranjingan ilmu silat, gemar sekali menyaksikan pertandingan silat. Maka, melihat sikap kedua fihak ini yang agaknya bermusuhan, dia lalu bertanya kepada pemuda yang baru datang itu.

"Orang muda, benarkah engkau membunuh saudara mereka? Kalau benar, mengapa?"

"Maaf sri baginda. Mereka itu adalah orang-orang jahat yang tadinya berlima, menamakan diri Lima Bayangan Dewa yang dengan cara amat curang sudah menyerbu Cin-ling-pai di waktu ketuanya tidak ada, membunuh anak-anak murid Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai. Selain itu juga bersekutu dengan orang-orang jahat, dan kini bahkan menjadi kaki tangan pengkhianat ini!" Dengan berani Bun Houw menuding ke arah Wang Cin. "maka sudah sepatutnyalah kalau saya, sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, menentang mereka dan dalam pertandingan saya berhasil merobohkan saudara mereka termuda yang bernama Toat-beng-kauw Bu Sit ketika orang itu hendak melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis yang tidak berdosa."

"Bohong kau!" Pat-pi Lo-sian membentak marah.

"Dan aku yang membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim ketika nenek cabul itu berbuat tidak patut terhadap seorang pemuda." In Hong kini juga bersikap berani.

"Sri baginda, harap tangkap mereka dan hukum mampus! Mereka berdua sudah berani menghina saya dan menentang sri baginda!" Wang Cin menuding dengan marah.

In Hong melirik pada subo-nya yang hanya memandang ke kanan dan kiri dengan wajah dingin. Diam-diam gadis ini merasa ngeri. Subo-nya adalah seorang yang aneh luar biasa, sukar diketahui isi hatinya. Kalau subo-nya berfihak kepada Wang Cin celakalah, pikirnya.

Sementara itu, Bun Houw juga sudah siap-siap untuk mengamuk dan melindungi In Hong. Sebaliknya, In Hong tidak mengerti apa yang akan dilakukannya andai kata Raja Sabutai hendak menangkap Bun Houw saja. Apakah dia akan melindungi pemuda ini? Dia tidak dapat menjawab saat itu. Betapa pun juga, kedua orang muda ini sudah merasa tegang dan mereka menanti saat-saat yang menentukan sambil memandang wajah Sabutai yang tersenyum-senyum misterius.

In Hong menaksir keadaan. Kakek dan nenek di belakang raja itu amat lihai dan kiranya Bun Houw bukanlah lawan seorang di antara mereka. Apa lagi ditambah tiga Bayangan Dewa, para perwira dan begitu banyak prajurit, tentu mereka berdua tidak akan mampu menyelamatkan diri. Kecuali kalau gurunya berada di fihaknya, kalau memang demikian masih mending, walau pun agaknya dengan kekuatan mereka bertiga sekali pun masih amat sukar lolos dari benteng yang kuat ini.

Agaknya keputusan itu juga merupakan hal yang amat sulit bagi Raja Sabutai. Dia tadi mendengar bisikan isterinya bahwa di antara In Hong dan Bun Houw terdapat hubungan cinta kasih, maka kalau dia menyuruh tangkap dan bunuh pemuda itu, tentu berarti dara perkasa yang sangat dikaguminya itu akan membela mati-matian. Akan tetapi kalau tidak ditangkap, seolah-olah dia tidak menghargai bantuan Wang Cin beserta kawan-kawannya dalam penyerbuannya ke selatan yang hampir berhasil akan tetapi sekarang mengalami kemunduran hebat itu.

Pada saat dia meragu, tiba-tiba Khamila menyentuh tangannya. Dia menoleh dan ternyata isterinya menyerahkan sesampul surat. "Harap paduka baca ini dulu...," bisik Khamila.

Sabutai tertarik sekali dan hatinya tegang ketika mengenal surat yang datang dari Kaisar Ceng Tung itu. Dia membuka sampulnya, mengangkat tangan kiri sebagai isyarat supaya semua orang diam dan menunda pembicaraan, kemudian dia mulai membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf halus dan indah itu.

Raja Sabutai yang saya hormati,

Anda mengetahui betapa Wang Cin yang khianat telah melemahkan saya dengan racun berupa Azisha yang seperti ular itu, sehingga saya sampai terjebak dan menjadi tawanan anda. Akan tetapi saya kagum kepada anda yang berbahagia dan yang memiliki seorang ratu yang amat mulia. Semoga anda hidup berbahagia dengan keluarga anda.

Kini saya telah bebas. Saya akan menemui bala tentara saya dan menghentikan perang antara kita. Mengingat akan kebaikan anda dan ratu, maka bila anda suka mundur dan menarik pasukan, anda akan tetap menjadi sahabat kami dan saya akan menjadi wali dari putera anda kelak. Sebaliknya, apa bila anda melanjutkan penyerbuan ke selatan, kami akan membasmi semua pasukan anda dan akan mempersilakan ratu untuk hidup terhormat dan terpuji di dalam istana kami.

Sekian dan kemudian terserah kebijaksanaan anda.

Tertanda,
Kaisar Ceng Tung

Sabutai menyimpan surat itu kemudian tersenyum lebar sambil melirik ke arah isterinya. Dia memandang mereka semua seorang demi seorang, kemudian yang terakhir kepada Wang Cin, dan berkatalah dia dengan suara lantang. "Kami memutuskan agar urusan ini ditunda dulu. Nona Hong dan pemuda ini tetap menjadi tamu-tamu kami yang diawasi dan tidak diperkenankan keluar dari benteng. Juga harap Wang-taijin dan para pembantunya tidak sembarangan turun tangan sehingga menimbulkan keributan. Kami hendak melihat perkembangannya dulu. Hendak kulihat apakah kaisar muda itu betul-betul berkepandaian begitu hebat untuk merampas kembali kedudukannya kemudian menarik mundur pasukan seperti yang dijanjikannya. Ha-ha-ha!" Sabutai tertawa, lalu mengajak isterinya memasuki ruangan sebelah dalam.

Persidangan itu bubar dan sepasukan pengawal lalu mengantarkan Bun Houw ke dalam sebuah kamar tamu dan selanjutnya pemuda ini terus dikawal dan diawasi. Demikian pula In Hong dan Yo Bi Kiok, maklum bahwa mereka diam-diam diawasi oleh kakek dan nenek guru Sabutai.

Semenjak peristiwa kekalahan Yo Bi Kiok dari Cia Keng Hong, guru ini bersikap dingin terhadap muridnya dan tidak pernah menegur. Akan tetapi In Hong pun diam saja karena makin lama semakin terbukalah matanya betapa subo-nya itu memiliki watak yang aneh, tidak lumrah, kadang-kadang ganas dan amat kejam sehingga dia merasa tidak senang dan juga berduka, karena sesungguhnya, subo-nya itulah yang selama ini dianggapnya sebagai orang yang paling baik baginya…..

********************

Sementara itu, atas bantuan Cia Keng Hong, kaisar Ceng Tung cepat mengadakan kontak dengan para menteri dan jenderal yang setia padanya. Untung baginya, kebetulan sekali bala tentara yang dikerahkan ke utara untuk menghalau pasukan Sabutai dipimpin oleh Jenderal Bao Ciang, seorang jenderal yang setia kepadanya dan menjadi sahabat baik pendekar Cia Keng Hong.

Mula-mula kaisar disembunyikan lebih dahulu oleh Cia Keng Hong, dan dia sendiri pergi menghadap Jenderal Bao Ciang. Di tempat ini, Cia Keng Hong berjumpa dengan Yap Kun Liong yang seperti banyak orang-orang gagah dari seluruh penjuru beramai-ramai menjadi suka relawan membantu bala tentara pemerintah untuk menghadapi kaum pemberontak dari utara.

Sebelum berbicara dengan Jenderal Bao Ciang, Cia Keng Hong menemui Kun Liong lebih dulu dan dari Yap Kun Liong inilah dia menyelidiki keadaan jenderal itu sekarang hingga dia merasa yakin bahwa Jenderal Bao ini pun tidak setuju akan pengangkatan Ceng Ti yang dipaksa menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan pemberontak.

Dengan singkat Cia Keng Hong lalu bercerita kepada Yap Kun Liong betapa adik kandung Kun Liong yang bernama In Hong sudah berhasil menyelamatkan dan meloloskan kaisar dari dalam tahanan pemberontak.

Kun Liong terkejut dan girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa kehilangan adiknya yang dianggapnya telah menyeleweng dan menjadi seorang yang kejam seperti gurunya, Yo Bi Kiok. Akan tetapi siapa tahu kini malah berjasa besar!

"Supek, di manakah dia sekarang?"

"Dia menjadi pengawal ratu, isteri Sabutai. Kini dia kembali ke benteng Sabutai, dan aku sudah menyuruh Bun Houw untuk menyusul dan melindunginya kalau-kalau ada bahaya yang mengancamnya, karena aku sendiri harus cepat-cepat membantu sri baginda kaisar menghubungi para jenderal..."

"Kalau begitu saya akan menyusul ke sana, supek."

"Sebaiknya begitulah."

Kun Liong memberi hormat dan berkelebat pergi, diikuti pandang mata Cia Keng Hong yang merasa kasihan sekali kepada pendekar itu. Dia pun tahu bahwa sampai sekarang, kematian isteri Kun Liong yang mengakibatkan banyak mala petaka itu masih juga belum terbongkar rahasianya dan tentu semua usaha penyelidikan terhenti oleh adanya perang melawan pemberontakan. Bahkan penyelidikan puteranya dan dia sendiri tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiampun terhenti.

Memang semua kepentingan pribadi terpaksa harus dikesampingkan untuk mendahulukan kepentingan negara dan bangsa. Apa lagi menghadapi ancaman dari orang-orang Mongol yang pernah menjajah tanah air selama hampir satu abad lamanya itu.

Kemudian Cia Keng Hong pergi menghadap Jenderal Bao dan dalam pertemuan antara dua sahabat lama, karena keduanya dahulu merupakan pembantu-pembantu Panglima Besar The Hoo, terdapat kegembiraan besar dan di sini Cia Keng Hong menjajagi isi hati Jenderal Bao, karena biar pun dia sudah mendengar keterangan dari Kun Liong, namun dalam urusan diri kaisar dia harus berhati-hati. Setelah dia yakin benar bahwa jenderal ini benar-benar masih setia kepada Kaisar Ceng Tung, Cia Keng Hong lalu memancing.

"Akan tetapi, Bao-goanswe, bukankah Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang amat lemah, yang mudah saja dipermainkan oleh thaikam yang khianat, dan mudah pula tunduk oleh selirnya yang bernama Azisha?"

Jenderal Bao mengerutkan alisnya yang tebal. "Memang benar, namun saya mengenal betul watak beliau semenjak kecil, Cia-taihiap! Beliau adalah seorang yang sesungguhnya memiliki budi baik, dan seorang yang memiliki kecerdasan dan kemampuan besar untuk menjadi seorang kaisar yang baik. Pribadinya baik, dia gagah berani menentang segala kesukaran. Kalau dia berubah lemah, hal itu adalah karena pengaruh si laknat Wang Cin, si kebiri pengkhianat itu. Betapa pun juga, pengangkatan Kaisar Ceng Ti hanya terpaksa karena Kaisar Ceng Tung tak ada beritanya, mungkin sudah tewas di dalam tahanan dan untuk itu, kami telah bersumpah untuk membalas dendam, untuk membasmi Sabutai dan semua anak buahnya!" Dia memukulkan tinjunya yang besar ke atas meja.

"Seandainya Kaisar Ceng Tung ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan diri dari tawanan, bagaimana, Bao-goanswe?"

Mata yang lebar itu memandang tajam. "Tidak mungkin! Sudah terlambat. Mereka yang berambisi mencari kedudukan tinggi telah memperjuangkan agar selama ini Kaisar Ceng Tung tidak ditolong dan agar mereka dapat mengangkat kaisar lain yang dapat mereka permainkan. Kelompok pengganti orang-orang semacam Wang Cin ini memang banyak terdapat di dalam istana dan tidak lama lagi kaisar baru akan jauh lebih lemah lagi dari pada Kaisar Ceng Tung."

"Akan tetapi seandainya Kaisar Ceng Tung masih hidup dan lolos?"

"Tidak mungkin! Harapan kosong belaka!"

"Goanswe, sudah lupakah goanswe pada ajaran Panglima The Hoo bahwa dalam setiap keadaan kita tidak boleh sekali-kali berputus asa? Apa bila belum ada bukti-bukti bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia, mengapa goanswe mengatakan tidak mungkin dan harapan kosong belaka? Kini jawablah, andai kata beliau masih hidup dan sekarang dapat muncul di sini, apa yang akan kau lakukan?"

Jenderal itu bangkit berdiri, menatap wajah pendekar itu penuh selidik. Tiba-tiba saja dia memegang dan menekan tangan pendekar itu dengan tangannya yang besar dan kuat, kemudian matanya menjadi basah. "Cia-taihiap! Engkau satu-satunya orang yang paling kuhormat karena kegagahanmu dan kupercaya karena kesetiaanmu. Katakanlah, apakah benar beliau masih hidup?"

"Duduklah, goanswe. Lebih baik kau jawab dahulu pertanyaanku tadi. Apa yang akan kau lakukan kalau beliau masih hidup dan muncul di sini?"

"Demi Tuhan! Aku akan membantu beliau memperoleh kembali singgasana beliau karena itu adalah haknya! Kalau Sri Baginda Kaisar Ceng Tung masih hidup, maka kaisar yang baru itu tidak sah!"

"Hemm, bagaimana akan kau lakukan hal itu begitu mudahnya? Kaisar baru itu memiliki banyak pendukung dan tentu akan terjadi perang saudara."

"Tidak! Sebagian besar bala tentara berada di bawah komandoku. Dan sisa pasukan di dalam pun dipimpin oleh sahabat-sahabatku yang setia kepada Kaisar Ceng Tung. Hanya ada beberapa orang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan pengawal dan pasukan-pasukan pinggiran yang kekuatannya tidak berarti. Terlebih dahulu aku akan mengadakan pembersihan, menekan mereka atau menyingkirkan mereka kalau memang perlu. Akan tetapi betulkah...?" Dia memandang penuh harap.

Sekarang Cia Keng Hong sudah merasa yakin. Dia mengangguk lantas berkata, "Lekas sediakan pasukan penjemput dan kereta."

Jenderal Bao merangkul Cia Keng Hong dan kepalan tangannya yang besar menghapus dua titik air matanya. "Kau hebat, taihiap! Kau hebat sekali telah menyelamatkan kaisar! Usaha puluhan ribu prajurit tidak berhasil, akan tetapi engkau seorang diri dapat..."

"Ssssstt... jangan tergesa-gesa memuji. Engkau akan mendengar sendiri dari beliau siapa yang menyelamatkan beliau. Mari!"

Malam itu juga, Jenderal Bao Ciang sendiri bersama Cia Keng Hong memimpin pasukan menjemput Kaisar Ceng Tung. Setelah berhadapan dengan kaisar, Jenderal Bao segera menjatuhkan diri berlutut sambil meruntuhkan beberapa titik air mata! Akan tetapi, dengan manis budi dan tenang kaisar itu berkata,

"Bangkitlah, jenderalku yang setia! Dan mulai saat ini, perintahkan untuk menarik mundur semua pasukan, jangan lagi mengejar pasukan Sabutai."

Jenderal itu bangkit dan memberi hormat, terkejut menerima perintah pertama yang aneh itu.

"Siap, sri baginda. Akan tetapi, bolehkah hamba menerima penjelasan?"

Kaisar tersenyum angkuh. "Apa bila dia diserang, dia akan mempertahankan mati-matian dan mungkin akan mengorbankan banyak pasukan kita yang kini perlu kita kerahkan ke selatan. Dan aku menjamin bahwa kalau dia tidak diserang, dia akan mundur. Kini dia telah tahu akan kekuatan kita dan kekalahannya merupakan pelajaran baginya. Dia kelak dapat menjadi sahabat yang baik."

Kaisar tersenyum lagi, sebab teringat akan suratnya dan akan pengaruh Khamila atas diri suaminya. Cia Keng Hong yang tidak tahu akan urusan sedalam-dalamnya, diam-diam juga merasa heran sekali.

Kaisar lalu diiringkan ke dalam benteng. Karena taat akan perintah kaisar, Jenderal Bao menarik kembali semua pasukan yang mengurung benteng Sabutai, hanya meninggalkan sedikit pasukan untuk melakukan pengintaian. Hal ini pun segera diketahui oleh Sabutai yang tertawa dan mengangguk-angguk.

"Hebat...!" Raja Mongol ini berkata. "Memang dia hebat, jauh hebat dari pada aku, dalam banyak hal... dalam banyak hal..." Dia teringat akan kandungan di dalam perut istrinya dan tersenyum lebar penuh kebanggaan bahwa kelak dia akan menjadi ayah dari seorang anak keturunan kaisar yang demikian hebat!

Sesudah berunding dengan kaisar, Jenderal Bao yang dibantu oleh Cia Keng Hong yang kini untuk sementara bertindak sebagai pengawal kaisar pribadi, langsung melaksanakan rencananya. Tentang kembalinya Kaisar Ceng Tung masih dirahasiakan dan jenderal itu menyusun kekuatan untuk mengembalikan singgasana kepada Kaisar Ceng Tung.

Para menteri dan jenderal yang setia terhadap Kaisar Ceng Tung tentu saja menyambut dengan penuh kegembiraan, namun di fihak para pengejar ambisi yang telah mengangkat Kaisar Ceng Ti secara paksa, tentu saja dengan mati-matian mempertahankan Kaisar Ceng Ti, karena turunnya kaisar baru dari tahta serta kembalinya kaisar lama ke istana berarti hilangnya kedudukan baru mereka yang mulia!

Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang, semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai akibat dari pada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan mau pun kelompok yang sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah merupakan sekumpulan orang-orang lemah yang tidak percaya kepada dirinya sendiri lalu menggantungkan kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir orang dan mengoper ambisi beberapa gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita mereka sendiri.

Betapa banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja lain yang pada gilirannya selalu terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan lain yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita atau ambisi.

Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang lain dari pada yang ada sekarang, yang lain dari pada apa yang berada di tangan kita, lain dari pada apa yang kita miliki, yang kita anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan dari pada yang ada sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak sama sekali.

Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran pada kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya bahagia. Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya dirasakan sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh, bercita-cita yang lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap lebih dari pada yang telah diperolehnya itu.

Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang akibatnya hanya dua, yaitu bila tak tercapai menjadikan kecewa dan putus asa, bila tercapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih celaka lagi, pengejaran-pengejaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang pada hakekatnya hanya merupakan kesenangan terselubung itu, sering kali dilakukan dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main, demi untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya.

Betapa pun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak menyeleweng dari pada kebenaran, tetap saja di dalamnya terkandung unsur untuk kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginannya masing-masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa yang diinginkan.

Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus talinya. Apa pun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu. Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah, timbul perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul pegangan kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan kalau sudah begitu, celakalah manusia.

Demikian pula dengan kerajaan di mana terjadi perebutan tahta itu. Fihak menteri dan jenderal yang bersimpati kepada Ceng Tung, yang masih setia kepada kaisar lama ini, mempergunakan segala daya upaya dan kekuatan mereka untuk menggeser kaisar baru dan mendudukkan kembali Kaisar Ceng Tung ke singgasana. Sedangkan mereka yang berkedudukan tinggi, para pendukung atau pengangkat Kaisar Ceng Ti, mempertahankan kedudukan kaisar baru ini yang sesungguhnya hanya dipergunakan sebagai ‘alat’ untuk mencapai keinginan mereka sendiri, yaitu memperoleh pangkat dan kemuliaan, maka terjadilah ketegangan dan kekacauan di dalam istana kaisar.

Oleh karena maklum bahwa tentu akan timbul usaha fihak lawan untuk membunuh Kaisar Ceng Tung, maka kaisar ini disembunyikan di dalam rumah gedung seorang pembesar bernama Liang Kun Ong, seorang pembesar berdarah bangsawan dan masih terhitung keluarga biar pun agak jauh dengan Kaisar Ceng Tung dan yang termasuk seorang yang setia kepada kaisar ini. Dan tentu saja pendekar sakti Cia Keng Hong selalu mengawal kaisar karena pendekar ini juga maklum bahwa sebelum kaisar itu menduduki kembali singgasananya, maka keselamatannya tidak terjamin. Sementara itu, Jenderal Bao cepat memperjuangkan kembalinya Kaisar Ceng Tung melalui saluran-saluran yang resmi.

Malam itu sunyi sekali dan Kaisar Ceng Tung sudah beristirahat. Seperti biasa selama tinggal di dalam gedung itu yang telah berjalan belasan hari, Cia Keng Hong tidur di sudut kamar, hanya teraling tirai dari pembaringan yang menjadi tempat tidur Kaisar Ceng Tung.

Akan tetapi, tentu saja Cia Keng Hong hanya menidurkan tubuhnya belaka, sedangkan kewaspadaannya tidak pernah tidur nyenyak sehingga andai kata ada sedikit suara saja, suara yang tidak wajar, tentu dia sudah meloncat dan tahu-tahu sudah berada di dekat pembaringan kaisar untuk melindunginya.

Hal seperti ini tidak mengherankan bagi seorang ahli ilmu silat tinggi, sebab kewaspadaan seakan-akan sudah mendarah daging pada seluruh urat syarafnya seperti sudah menjadi semacam naluri yang biasanya hanya dimiliki oleh binatang-binatang yang perasaannya sangat peka.

Tentu saja bukan hanya Cia Keng Hong seorang diri yang menjadi pengawal menjaga keselamatan Kaisar Ceng Tung. Cia Keng Hong merupakan pengawal pribadi yang selalu berdekatan dengan kaisar, akan tetapi masih ada lagi sepasukan istimewa, yaitu pasukan pengawal Kuku Garuda yang dulu pun menjadi pengawal-pengawal dalam istana Kaisar Ceng Tung.

Ketika terjadi penggantian kaisar, pasukan ini meloloskan diri karena mereka masih setia kepada Kaisar Ceng Tung. Mereka itu segera menyebar dan menjadi buronan, ada yang bergabung dengan barisan yang berada di bawah kekuasaan jenderal-jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung, akan tetapi ada pula yang kembali ke dusun. Kini yang dapat dikumpulkan oleh Jenderal Bao hanya tersisa dua puluh orang dan dengan senang hati mereka ini menerima tugas melindungi dan mengawal Kaisar Ceng Tung di dalam gedung Pangeran Liang Kun Ong.

Biar pun sudah ada dua puluh orang pengawal Kuku Garuda yang boleh dipercaya ini, yang rata-rata mempunyai kepandaian cukup tinggi, namun Cia Keng Hong tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa apa bila fihak musuh mengirimkan seorang pembunuh bayaran yang tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah saja pembunuh itu akan dapat melalui penjagaan para pengawal itu. Oleh karena itu, meski pun pada malam hari yang sunyi dan dingin itu penjagaan seperti biasa dilakukan dengan ketat, tetap saja Cia Keng Hong yang kelihatan tidur pulas itu sebenarnya masih dalam keadaan ‘waspada’.

Bunyi kentongan ronda malam menyatakan bahwa waktu itu sudah persis tengah malam. Telinga pendekar sakti yang masih tidur itu dapat jelas mendengar dan kewaspadaannya membuat dia mengerti bahwa suara itu adalah suara kentongan yang menunjukkan waktu, maka dia pun terus tidur dengan napas teratur.

Akan tetapi, ketika ada suara berkeresekan di atas genteng gedung, seketika pendekar ini membuka mata! Di lain saat tubuhnya sudah berkelebat seperti terbang cepatnya dan tahu-tahu dia sudah berada di tepi pembaringan kaisar yang ternyata masih tidur pulas. Dengan pendengarannya yang tajam ketua Cin-ling-pai ini mengerti bahwa yang datang lebih dari satu orang, maka dia cepat mengambil keputusan.

Tanpa membangunkan kaisar, tangannya bergerak menotok pundak Kaisar Ceng Tung sehingga kaisar itu tertotok lemas dalam keadaan tidur, lalu Cia Keng Hong memondong tubuh kaisar, disembunyikan di bawah kolong pembaringan dan dia sendiri lantas naik ke atas pembaringan itu, menggunakan selimut kaisar menutupi tubuhnya sebatas leher ke bawah, menggantikan tempat kaisar!

Dengan cara ini dia hendak menjebak fihak musuh tanpa membahayakan kaisar, karena kalau dia melakukan perlawanan secara berterang, dia khawatir bahwa fihak musuh akan menyerang dari berbagai jurusan yang tentu saja baginya akan amat menyulitkan untuk dapat melindungi kaisar dengan sebaiknya.

Suara berkeresekan makin dekat dan kini tiba tepat di atas genteng kamar itu. Tiba-tiba saja dia mendengar suara jerit-jerit tertahan di luar kamar, di mana biasanya terdapat dua orang pengawal yang menjaga siang malam secara bergilir. Suara ini disusul pula dengan suara-suara yang sama, seperti orang yang tidak sempat menjerit lagi lalu roboh dari luar jendela sebelah kiri dan dari atas genteng.

Hemmm, mereka sudah mulai turun tangan, pikir Cia Keng Hong, seluruh urat syarafnya menegang dan semua panca inderanya siap sedia.

"Sing-sing-singgg...!"

Tepat seperti yang sudah diduganya semula, sinar-sinar merah halus itu meluncur cepat sekali dari tiga jurusan! Dalam waktu bersamaan, sinar-sinar merah halus itu menyerang ke arah pembaringan, tepat ke arah tubuhnya, dari luar jendela dan dari dua arah di atas genteng!

Andai kata dia masih berjaga dengan berdiri di dekat pembaringan, akan repot jugalah jika dia harus menyelamatkan kaisar menghalau sinar-sinar merah yang datangnya dalam saat berbareng dari tiga jurusan bertentangan itu. Dia tahu sinar-sinar apakah itu, maka kedua tangannya bergerak dari bawah selimut, jari-jari tangannya menjepit jarum-jarum halus yang berbau harum. Jarum yang mengandung racun halus dan apa bila memasuki kulit akan mendatangkan kematian seketika.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar