Dewi Maut Jilid 36

Ia telah melakukan penyelidikan sekedarnya dan telah mendengar bahwa kaisar menjadi tawanan Sabutai dan bahwa kelompok orang Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai itu berniat untuk menyelamatkan kaisar, akan tetapi selalu terpukul mundur oleh pasukan Sabutai yang jauh lebih banyak dan kuat.

"Kalau begini terus, aku bisa gila benar-benar!" Akhirnya In Hong bangkit berdiri, lantas mengepal tinju, mengambil keputusan bahwa dia akan menemui Bun Houw! Dia sudah mempunyai alasan untuk mengatasi rasa malunya, yaitu bahwa dia hendak membantu pemuda itu untuk menolong kaisar yang tertawan musuh!

Akan tetapi In Hong tidak ingin bertemu dengan orang-orang lain, apa lagi dengan ketua Cin-ling-pai! Orang tua sakti itu pernah hendak menjodohkan dia dengan puteranya, ingin mengambil mantu padanya. Tentu saja dia merasa malu apa bila kelihatan oleh ketua itu bahwa dia ingin membantu Bun Houw dan merasa senang apa bila berdekatan dengan pemuda she Bun itu, seorang pemuda biasa saja!

Kecuali kalau pemuda itu sudah menerimanya, kalau kemudian terpaksa bertemu dengan siapa pun, tidak mengapa. Yang penting, dia harus bertemu dulu dengan Bun Houw untuk menyatakan keinginannya membantu usaha pemuda itu menolong kaisar.

Dia masih harus menanti sampai tiga hari, barulah pada suatu senja In Hong melihat Bun Houw keluar seorang diri dari daerah perkemahan itu. Dengan girang dia lalu muncul dari atas pohon, meloncat bagai seekor burung garuda ke depan Bun Houw yang memandang dengan kaget sekali, akan tetapi segera wajah pemuda ini berseri ketika dia mengenal siapa yang meloncat turun menghadang di depannya dari atas pohon itu.

"Hong-moi...!" Seruan yang keluar dari mulut Bun Houw ini mengandung getaran karena memang selama ini sering kali dia mengenangkan dara itu dengan hati penuh kerinduan, maka pertemuan yang tidak disangka-sangkanya ini secara tiba-tiba membuat dia terkejut dan girang bukan main.

Hati yang penuh kerinduan membuat matanya melihat gadis itu lebih cantik dan gemilang dari pada yang dibayangkan selama ini, membuat jantungnya berdebar penuh kagum, dan membuat dia lupa pula akan segala hal lain mengenai diri In Hong yang dikenalnya sebagai seorang gadis cantik jelita dan berilmu tinggi dan yang mengaku bernama Hong saja.

Hati gadis itu pun girang sekali. Ketika melihat wajah Bun Houw, mendengar suaranya, mendatangkan perasaan aneh di dalam dadanya, membuat jantungnya berdebar tegang dan ada perasaan malu-malu yang aneh sekali, yang membuat wajahnya menjadi merah dan tidak kuat dia menentang pandang mata itu.

"Bun-twako... sudah berhari-hari aku menunggu kesempatan ini... akhirnya kau muncul sendirian juga...," katanya lirih sambil menundukkan pandang mata, akan tetapi mukanya cepat diangkatnya kembali dan dia memandang dengan sinar mata tajam berseri.

"Berhari-hari menunggu...? Kenapa kau tidak langsung saja masuk ke perkemahan dan menemui aku?"

"Aku tidak ingin bertemu dengan yang lain-lain, terutama dengan ketua Cin-ling-pai, aku mau bicara dulu denganmu, Bun-twako."

"Engkau sudah tahu keadaan kami..." Tiba-tiba Bun Houw teringat dan alisnya berkerut, wajahnya yang tadinya berseri itu berubah muram.

"Tentu saja aku tahu semua karena selama ini aku mengikutimu dari jauh, twako."

"Hemm... aku tahu... engkau telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng..."

"Aku tidak mengenal siapa itu Souw Kwi Eng, akan tetapi aku memang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim dan monolong Souw Kwi Beng...," kata In Hong terheran.

Bun Houw mengangguk-angguk, hatinya mulai panas karena dia teringat akan perbuatan kejam gadis ini. Tentu dia tidak akan mau mengakui perbuatan keji itu, pikirnya.

"Aku tahu semua itu... sekarang engkau menemui aku ada keperluan apakah?"

In Hong menjadi makin terheran-heran melihat perubahan sikap dan wajah pemuda itu. "Aku telah mendengar bahwa kaisar ditawan musuh dan aku tahu bahwa engkau hendak menolongnya, Bun-twako. Oleh karena itu aku hendak menawarkan bantuanku, aku ingin membantumu."

"Tidak...! Aku tidak mau...!" Bun Houw menggelengkan kepala, suaranya kasar karena dia membayangkan gadis she Ma yang tewas secara mengerikan di dalam kamarnya, tewas oleh seorang wanita lihai yang tentu saja gadis cantik yang sedang berdiri di depannya inilah orangnya!

Saking kaget dan herannya melihat sikap pemuda itu, In Hong lantas melangkah maju mendekat, menatap wajah itu dengan penuh selidik lalu dia bertanya, "Bun-twako, engkau kenapakah?"

"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"

Hati Bun Houw semakin panas karena terdorong oleh rasa kecewa. Dia amat tertarik oleh dara perkasa ini, dia merasa sangat kagum terhadap dara ini, bukan hanya kagum oleh kecantikannya yang luar biasa, juga terutama sekali oleh kepandaiannya, akan tetapi rasa kagumnya itu hancur oleh kekejaman gadis ini yang seperti iblis.

"Engkau... engkau Dewi Maut, cantik jelita dan berilmu tinggi akan tetapi ganas dan kejam seperti iblis!"

"Twako...!" In Hong langsung mengerutkan alisnya dan pandang matanya mulai mengeras. Seketika lenyaplah semua perasaan mesra di hatinya oleh sikap dan kata-kata Bun Houw itu. "Engkau boleh saja menolak bantuanku akan tetapi engkau tidak berhak memaki aku seperti itu!" bentaknya.

"Aku tidak memaki, hanya berkata sebenarnya. Engkau kejam dan ganas, dan aku tidak sudi kau bantu!"

"Orang she Bun yang sombong!" In Hong sudah naik darah dan kedua tangannya dikepal. "Kau kira aku ini siapa boleh kau hina begitu saja?"

Bun Houw juga menjadi marah. Kekecewaan hatinya melihat kenyataan bahwa dara yang dipujanya, yang diam-diam sudah mencuri hatinya secara aneh ternyata adalah seorang iblis betina, membuat dia marah sekali. "Kau hendak membunuhku juga? Ha-ha, majulah, jangan mengira aku takut padamu!"

"Keparat...!" In Hong sudah hendak menyerang dan Bun Houw sudah siap melawan, akan tetapi tiba-tiba In Hong melangkah mundur dua tindak, mukanya pucat dan mulutnya yang berbentuk indah itu tersenyum, senyum yang menutupi hati yang terasa sakit. "Tidak... tidak sekarang... aku akan membiarkan kau hidup sementara untuk membuka matamu agar kau melihat betapa tololnya engkau yang telah menuduhku yang bukan-bukan..."

"Bukan menuduh melainkan kenyataannya kau telah membunuh gadis dusun itu secara kejam! Selain membunuh gadis dusun yang tidak berdosa, engkau pun sudah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng! Kau tidak perlu mungkir lagi."

"Hemmm, alangkah mudahnya sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu untuk menghentikan ocehanmu yang penuh kepalsuan ini. Akan tetapi tidak, biar lebih dulu kau melihat kenyataan sehingga kau menyesali fitnah ini, baru aku akan mencabut nyawamu!" Setelah berkata demikian, In Hong berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon.

Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi cuaca sudah mulai gelap dan dia berdiri seperti patung di bawah pohon, hatinya masih panas dan dadanya bergelora, akan tetapi ada penyesalan menyelinap di dalam dadanya. Diam-diam dia menyesal bukan main.

Gadis itu datang menawarkan bantuan, betapa baik niat hatinya. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menerimanya, bagaimana dia dapat bekerja sama dengan gadis yang berwatak seperti iblis itu? Hanya karena cemburu, dan ini sudah jelas sekali, gadis itu hampir saja membunuh Kwi Eng, dan secara kejam membunuh gadis she Ma yang sama sekali tidak berdosa! Biar pun diam-diam dia amat kagum kepada gadis itu, namun mengingat akan kenyataan yang mengerikan ini dia harus mengeraskan hati dan memutuskan hubungan di antara mereka…..

********************

Jauh di sebelah dalam hutan itu, di antara kegelapan malam yang hampir tiba, In Hong berdiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar, kedua tangannya mengepal tinju, matanya terpejam dan pipinya basah oleh beberapa butir air mata. Akan tetapi, setiap ada butiran air mata turun dari matanya, kepalan tangannya mengusapnya dengan keras. Dia tidak harus menangis! Ingin dia berteriak untuk memberi jalan keluar hatinya yang bergelora, yang menindih.

Dia telah dihina orang! Dihina seorang laki-laki dan celakanya, laki-laki itu adalah laki-laki yang dikiranya pria yang istimewa, yang merupakan kekecualian, yang tidak sama bahkan kebalikan dari para pria yang dikutuk oleh gurunya. Hatinya sakit bukan main. Bun Houw telah menolak bantuannya, bahkan memaki dirinya sebagai seorang wanita kejam seperti iblis! Bahkan telah berani menantangnya!

"Si keparat...!" desisnya di antara isak yang keluar dari dadanya.

Orang macam dia berani menantang? Kalau dia tadi turun tangan, dalam beberapa jurus saja tentu laki-laki itu akan dapat dibunuhnya! Akan tetapi kenapa tidak dilakukannya hal itu? Padahal, kalau ada laki-laki lain bersikap kasar sedikit saja kepadanya, tentu dia tidak segan-segan untuk menurunkan tangan besi dan membunuhnya.

Tidak, dia tidak akan turun tangan demikian mudah terhadap Bun Houw. Biar laki-laki itu terbuka matanya, bahwa semua tuduhannya itu bohong belaka, bahwa dia bukanlah iblis betina yang melakukan semua tuduhan itu, dan setelah laki-laki itu menyesal dan terbuka matanya, baru dia akan membunuhnya.

Teringat akan semuanya itu, teringat betapa dia tersiksa batinnya karena rindu dan ingin berdekatan dengan Bun Houw, kemudian betapa sikap pemuda itu telah menghancurkan hatinya, jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk dan terasa semakin sakit. Apa lagi kalau dia teringat betapa dia telah bersusah payah menolong pemuda itu ketika Bun Houw disiksa dan hampir mati di tangan dua orang Bayangan Dewa. Kalau tidak dia datang menolong, tentu sekarang pemuda itu sudah tewas. Dan pemuda itu membalas kebaikan itu dengan makian dan penghinaan!

"Orang she Bun! Kau lihat saja pembalasanku nanti!" kembali In Hong mengepal tinju.

Akan tetapi dia terbayang akan kemesraan antara mereka, ketika mereka bercakap-cakap sambil makan berdua, menukar pedang dengan giok-hong-cu, dan tinjunya kembali harus menghapus dua titik air mata yang tiba-tiba saja meloncat keluar. Terngiang di telinganya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Bun Houw kepadanya.

Dia menyerang dan hampir membunuh wanita yang bernama Souw Kwi Eng? Dia tidak mengenal nama itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita itu agaknya masih ada hubungan saudara dengan Souw Kwi Beng, pemuda tampan bermata biru yang pernah diselamatkannya dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim itu.

Dan kemudian katanya dia membunuh seorang gadis desa yang tidak berdosa? Sama sekali dia tak mengerti siapa gadis ini. Semua itu fitnah belaka. Bohong belaka dan sekali waktu dia harus dapat membuka mata Bun Houw untuk melihat bahwa semua tuduhan yang dilontarkan itu kosong belaka. Baru kemudian dia akan membunuhnya.

Hati yang panas dan sakit membuat In Hong pergi meninggalkan hutan itu dengan hanya satu saja niat di dalam hatinya, yaitu membantu fihak yang dimusuhi Bun Houw! Dia ingin bertemu dalam pertempuran melawan pemuda itu, bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk mengejeknya, karena dia baru akan membunuh kalau pemuda itu sudah melihat bahwa tuduhannya tadi kosong.

Dia tidak mau dibantu? Baik, jika pemuda itu tidak mau dibantu maka dia akan membantu fihak musuhnya! Benteng pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sabutai tak jauh dari tempat itu.

Akan tetapi In Hong bukanlah seorang yang ceroboh. Sama sekali tidak. Semenjak kecil dia hidup bersama gurunya dalam keadaan penuh dengan kesukaran dan kekerasan, dan semua pengalaman itu membuat dia amat berhati-hati. Dia tidak akan memasuki tempat berbahaya yang belum dikenalnya begitu saja.

Dahulu gurunya sudah sering memberi peringatan kepadanya supaya dia jangan mudah menaruh kepercayaan kepada siapa pun juga, apa lagi kepada kaum pria. Dan benteng pasukan yang dipimpin Sabutai itu merupakan tempat yang penuh bahaya. Betapa pun tinggi kepandaiannya, tentu dia tidak akan berdaya menghadapi kekuatan pasukan yang ribuan orang banyaknya itu, apa lagi kalau di situ terdapat pula banyak orang pandai.

Oleh karena itu, pada pagi hari itu, pada waktu keadaan masih gelap, In Hong berhasil menculik seorang penjaga yang melakukan tugas menjaga dan meronda di luar benteng, memukulnya roboh pingsan kemudian menyeretnya ke dalam hutan yang masih gelap. Dia lalu mengancam dan memaksa penjaga yang ketakutan dan mengira bahwa dirinya diserang dan diculik setan penjaga hutan, agar orang itu menceritakan keadaan di dalam benteng Sabutai.

Dari orang inilah In Hong mendengar bahwa kaisar masih menjadi seorang tawanan yang terhormat dan dalam keadaan sehat, sedangkan Wang Cin masih menjadi tamu yang tidak bebas, bersama para pembantunya yang lihai. Ketika In Hong mendengar bahwa di antara para pembantu Wang Cin itu terdapat nenak Go-bi Sin-kouw di samping tiga orang Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang.

Dengan adanya para kakek dan nenek yang sakti itu, dia tahu betapa kuatnya keadaan di dalam benteng akan tetapi dia pun melihat adanya kesempatan baginya untuk memasuki benteng itu dengan terang-terangan karena dia sudah mengenal mereka, terutama Go-bi Sin-kouw sehingga dia dapat berpura-pura membantu nenek itu!

Sungguh pun dia berhasil mengorek keterangan dari penjaga itu, namun dengan cerdik In Hong melakukan pertanyaan dan ancaman sambil bersembunyi dan merubah suaranya menjadi besar sehingga orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang telah menculik dan mengajukan semua pertanyaan serta ancaman itu. Kemudian, kesempatan itu pun tidak membuat In Hong kekurangan kewaspadaannya. Dia baru muncul di depan pintu benteng itu pada malam harinya. Dia memilih malam hari dengan maksud bahwa andai kata dia diterima dengan todongan senjata dan dia tak mampu mengatasi begitu banyaknya orang pandai, dia akan lebih mudah menyelamatkan diri dari pada kalau siang hari.

"Berhenti! Siapa di situ?!" Tiba-tiba beberapa orang penjaga muncul dan dengan tombak ditodongkan mereka cepat menghampiri In Hong yang berhenti dan berdiri tegak di bawah lampu di pintu gerbang.

Pada saat enam orang penjaga melihat bahwa yang menghampiri pintu gerbang adalah seorang gadis yang cantik bukan main, mereka terkejut, terheran, dan juga menjadi lega, bahkan tersenyum gembira karena penjagaan di tempat sunyi membuat mereka menjadi kesal dan munculnya seorang wanita yang begini cantik tentu saja merupakan hal yang amat menghibur.

"Heiiii, nona manis, siapakah engkau yang malam-malam begini muncul di sini dan apa pula kehendakmu?" tegur kepala jaga sambil menyeringai, sedangkan enam pasang mata laki-laki seperti orang kehausan melihat air jernih menjelajahi seluruh tubuh In Hong dari kepala sampai ke sepatunya.

Teguran itu diucapkan dalam Bahasa Mongol dan In Hong tidak mengerti artinya, maka dia hanya tersenyum dan menjawab dengan gelengan kepala saja. Seorang di antara para penjaga itu dapat berbahasa Han, maka dia lalu menjadi juru bahasa, menterjemahkan pertanyaan kepala jaga itu dengan suara yang kaku.

"Aku adalah kenalan baik Go-bi Sin-kouw yang berada di dalam benteng, dan aku ingin bertemu dengan dia dan rombongannya," jawab In Hong terpaksa menahan kesabarannya karena dia tidak ingin memancing keributan di tempat berbahaya ini.

Mendengar keterangan ini, semua penjaga yang berjumlah dua belas orang dan sekarang sudah berkumpul di sana, saling memandang dengan curiga. Memang semua pengikut Sabutai menaruh curiga kepada rombongan Pembesar Thaikam Wang Cin itu.

Kepala jaga lalu menyuruh salah seorang anak buahnya untuk melapor ke dalam, bukan langsung kepada Wang Cin melainkan kepada Sabutai! Makin jelaslah bahwa rombongan pembesar itu sesungguhnya bukan lagi dianggap sebagai tamu agung, melainkan sebagai tawanan yang tidak ada bedanya dengan kaisar sendiri.

Ketika itu Sabutai sedang bersenang-senang di dalam kamarnya, makan minum bersama Khamila untuk merayakan kandungan Khamila sebagai hasil hubungan wanita cantik ini dengan Kaisar Ceng Tung! Dapatlah dibayangkan betapa perih rasa hati wanita itu karena sesungguhnya diam-diam dia jatuh cinta kepada kaisar yang ditawan itu.

Akan tetapi diam-diam dia juga merasa girang bahwa dia dapat mengandung keturunan kaisar itu. Ngeri dia kalau membayangkan betapa andai kata tidak ada Kaisar Ceng Tung, dia diharuskan menyerahkan diri kepada seorang laki-laki lain yang diharuskan bertugas mewakili Sabutai menidurinya agar dia memperoleh keturunan! Kenyataan ini merupakan hiburan sehingga Khamila dapat juga berwajah girang pada saat suaminya mengajaknya merayakan peristiwa yang dianggapnya menggirangkan itu.

Ada pun Sabutai benar-benar merasa girang. Sedikit pun dia tak merasa cemburu kepada Kaisar Ceng Tung. Dia kagum kepada kaisar muda itu, kagum akan kegagahannya yang diperlihatkannya ketika menjadi tawanan, maka kini dia merasa terhormat untuk menjadi ayah kandung dari keturunan kaisar besar itu!

Kalau pria lain yang menjadi ayah kandung dari anak yang berada di dalam kandungan isterinya, tentu dia akan membunuh pria itu supaya rahasia ini tidak diketahui siapa pun. Akan tetapi, karena yang menjadi ayah sejati adalah Kaisar Ceng Tung, maka dia tidak akan membunuh kaisar itu karena dia yakin bahwa rahasia itu akan tersimpan rapat dan Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan membuka rahasia yang dapat mencemarkan namanya sendiri itu.

Tiba-tiba saja datang penjaga yang melaporkan tentang munculnya seorang gadis cantik di depan pintu gerbang yang mengaku sebagai sahabat Go-bi Sin-kouw. Sabutai menjadi tertarik sekali dan tentu saja menaruh curiga.

Diam-diam dia lalu menyampaikan berita kepada kedua orang gurunya, dan mengerahkan pasukan pengawal, mendatangi pembesar Wang Cin. Dia sendiri yang menyampaikan berita tentang kedatangan seorang ‘sahabat’ dari Go-bi Sin-kouw itu dan memerintahkan agar nona itu dipersilakan masuk.

Wang Cin beserta para pembantunya menanti di ruangan besar itu dengan hati tak enak, terutama Go-bi Sin-kouw. Nenek ini menduga-duga dan maklum pula bahwa fihak Raja Sabutai mencurigai mereka dan mencurigai orang yang katanya datang hendak bertemu dengannya.

Tidak lama kemudian muncullah In Hong yang diantarkan oleh belasan orang pengawal bersenjata lengkap. Gadis ini melangkah dengan tenang walau pun di dalam hatinya dia maklum bahwa dia sedang berada di tempat yang amat berbahaya.

Dia melihat betapa benteng itu amat kuat dan penjagaan dilakukan ketat sekali. Sepintas lalu ketika dia dipersilakan masuk, dia sempat melihat keadaan penjagaan di sepanjang tembok benteng dan biar pun dia akan dapat memasuki benteng ini kemudian keluar lagi melalui tembok yang tidak berapa tinggi itu, namun dia akan menghadapi bahaya besar. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap jeri dan melangkah dengan pandang mata ke depan, tangan kiri tertumpang di gagang pedangnya yang tergantung di pinggang.

Pada waktu gadis itu memasuki ruangan besar yang dipasangi penerangan cukup, semua mata menyambutnya dengan pandang penuh selidik. Sabutai memandang dengan mata mengandung keheranan dan kekaguman. Dia tahu bahwa Bangsa Han di selatan banyak memiliki jago-jago silat yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang gadis muda cantik jelita yang bersikap demikian gagahnya, memasuki tempat seperti bentengnya itu dengan sikap demikian tenang dan penuh keberanian. Juga sekali pandang saja dia langsung meragukan apakah benar gadis cantik ini merupakan sahabat dari nenek tua itu, seorang di antara kaki-kaki tangan pembesar Wang Cin yang berjiwa khianat.

Para tokoh lihai yang menjadi pembantu Wang Cin dan pernah bertemu dengan In Hong, terutama sekali Go-bi Sin-kouw, kini memandang gadis itu dengan alis berkerut dan hati penuh kecurigaan. Go-bi Sin-kouw menjadi tidak senang hatinya. Dia memang mengenal gadis ini sebagai seorang gadis yang sangat lihai, yang berwatak keras sekali dan aneh, akan tetapi sungguh lucu kalau gadis itu mengaku sebagai sahabatnya. Jauh dari pada itu, bahkan antara dia dan gadis itu terdapat rasa benci dan saling mencurigai yang besar.

Dan sekarang gadis ini datang mengaku sebagai sahabatnya! Tentu saja Go-bi Sin-kouw merasa curiga sekali dan sebelum yang lain membuka mulut, dia sudah melompat maju sambil membentak, "Kiranya engkau yang datang mengaku sahabatku? Sri Baginda Raja Sabutai, jangan percaya, dia ini tentu mata-mata dari Kerajaan Beng!" Dia lalu menoleh pada teman-temannya karena untuk menghadapi gadis lihai itu sendirian saja, dia merasa agak jeri. "Teman-teman, mari bantu aku menangkap gadis setan ini!"

Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang telah tahu bahwa gadis lihai ini memang hanya mendatangkan kesukaran saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang Bayangan Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong.

Melihat gelagat yang tak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang yang amat tabah sehingga ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan. Dengan sekali pandang saja dia sudah bisa menduga yang mana adanya Raja Sabutai yang amat terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan sejak tadi memang memandangnya penuh selidik, dan In Hong segera menjura dengan hormat ke arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata,

"Kedatangan saya adalah hendak menawarkan bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi Sin-kouw yang telah saya kenal sebelumnya, akan tetapi ternyata kedatangan saya tidak diterima sebagaimana patutnya."

Sejenak pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai tersenyum. Raja ini pun bukanlah seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Karena itu dia sudah bisa menyelami sikap gadis cantik itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah. Maka raja ini lantas bangkit berdiri pada waktu melihat beberapa orang kakek dan nenek pembantu Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk mengeroyok gadis itu, dan dia berkata nyaring.

"Tahan dulu...!"

Mendengar seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw beserta teman-temannya cepat mundur kembali, menoleh kemudian memandang dengan alis berkerut, ada pun Wang Cin sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun Sabutai tidak mempedulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-katanya,

"Setiap orang yang berani memasuki benteng ini, terlebih dulu haruslah diketahui dengan jelas maksud kedatangannya, baru diambil keputusan sikap apa yang akan kami ambil. Sungguh merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri apa bila mengeroyok seorang gadis muda di depanku,!"

Wajah Go-bi Sin-kouw menjadi merah sekali dan dia cepat memberi hormat kepada raja itu sambil berkata, "Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis ini..."

"Cukup!" Sabutai membentak. "Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan akulah tuan rumahnya, karena itu akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang datang memasuki bentengku!" Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur.

Sabutai bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia menggapai ke arah In Hong sambil berkata, "Majulah ke sini, nona!"

Dengan langkah gagah dan tenang, tapi membayangkan keluwesan dan kepadatan tubuh seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lantas menjura dan berdiri dengan sikap hormat. Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang pengawal sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai melarang mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya, kemudian tersenyum dan berkata kepada In Hong,

"Terimalah bangku ini untuk tempat dudukmu, nona! Tidak enak berbicara sambil berdiri saja!"

Sesudah berkata demikian, Raja Sabutai yang pada waktu itu masih diliputi kegembiraan karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung hidup dan tiba-tiba saja bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong!

Dara ini terkejut juga, tidak menyangka bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In Hong mengerahkan tenaga ginkang-nya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang masih melayang turun dan pada saat bangku itu tiba kembali di atas lantai, dara ini masih duduk, sedikit pun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi dibawa terbang oleh bangku yang telah ‘dijinakkan’ itu.

"Terima kasih atas keramahan paduka." In Hong menjura dari tempat duduknya ke arah Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi telah memperlihatkan tenaga dalamnya dan gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan ginkang yang luar biasa!

"Ha-ha-ha, benar saja dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona, siapakah namamu?"

"Nama saya... hanya Hong saja." In Hong memperkenalkan dirinya dengan setengah hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya.

"Apakah benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?"

"Saya tidak pernah bersahabat dan tidak pemah mengaku bersababat dengan dia," jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. "Kepada para penjaga benteng tadi pun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi Sin-kouw namun hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini. Sebenarnya saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan saya."

"Harap paduka jangan percaya!" Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. "Dia tentu mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!"

Sabutai memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian dia bertanya, "Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw tadi bahwa engkau adalah seorang mata-mata Kerajaan Beng?"

"Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata mana pun juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada saya."

Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, "Bocah setan! Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan aku, akan tetapi siapa yang tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan? Tentu engkau adalah mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!"

"Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya." In Hong juga membentak marah.

"Heh-heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuhan, juga terhadap Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim."

"Memang benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan yang keji dan tidak patut terhadap seorang pemuda."

Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang marah. "Kalau begitu, aku harus membalas kematian sumoi!"

Melihat pembantu-pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok, Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, "Urusan pribadi tak perlu dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya urusan pertikaian pribadi antara kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu silat?”

In Hong hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri tegak dan menjawab, "Menghadapi manusia-manusia iblis ini, jangankan satu lawan satu, walau pun dikeroyok saya tidak akan takut, sri beginda."

Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, namun dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya untuk memancing kepercayaan serta kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah agar dapat berada dalam benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, dia juga hendak menentang pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw.

Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, kemudian raja ini bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan berkatalah raja ini, "Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu per satu melawan nona ini, dan aku akan menghukum siapa saja yang berani menggunakan kecurangan dan pengeroyokan. Dua orang guruku akan menjadi pengawas."

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba saja bangku yang mereka duduki itu ‘terbang’ ke atas dengan tubuh mereka masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka.

Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jeri.

Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika mengetahui bahwa dia tidak dapat mengajak kawan-kawannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, "Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoi-mu, maka sudah sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalaskan kematian sumoi-mu."

Di antara Lima Bayangan Dewa itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh sumoi-nya ini, karena itu mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya itu.

Wang Cin mengangguk-angguk. "Sri baginda sudah menurunkan perintah, engkau harus mentaatinya."

Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, maju menghampiri In Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah bagaikan orang yang usianya paling banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam.

Lelaki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu saja ilmu silatnya sangat hebat.

Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya sudah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.

Perbuatan itu biar pun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi hingga membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong munculnya kesombongan dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian sumoi-nya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit.

Kematian dua orang sekutunya itu di samping memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, sebab itu sekarang dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai serta banyak orang lagi dia harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya,

"Nona muda, siapakah gurumu?"

In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia menjawab, "Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!"

"Hemm, kau sudah mengenal julukanku!"

"Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang curang dan pengecut, yang hanya berani menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah tidak ada, yang membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu saja aku mengenalmu..."

"Ehh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!"

"Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah kumpulan orang-orang curang."

"Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak mati penasaran."

"Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa."

"Kenapa membunuh sumoi-ku?"

"Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian malah menjatuhkan fitnah. Majulah kalau memang kau berani, Pat-pi Lo-sian, dan jangan banyak mengoceh seperti burung kelaparan."

Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. "Bagus! Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!"

Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat bukan main. Begitu tubuhnya menyerbu, sepasang tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan, pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali sehingga merupakan serangan maut.

"Heiiiiittttt...!" In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja.

Semua serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuhnya ke belakang. Bau ujung sepatu kotor yang tidak enak membuktikan alangkah dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya!

"Perempuan rendah!" Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki.

Akan tetapi diam-diam dia mulai mengerti bahwa biar pun masih amat muda, lawan yang dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka dia pun dapat mengerti mengapa Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sinkang ke dalam kedua lengannya, kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya.

"Wirrrr... wuuuuuttttt…!"

Angin dahsyat menyambar mendahului kedua kepalan itu. In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.

"Haiiiiittt...!" Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya segera membalik ke kanan melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.

In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang sangat berbahaya dan mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. Apa bila dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, karena itu untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu, tubuhnya mencelat ke atas!

Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah siap mengirim pukulan ke anggota tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.

"Plak! Dukkk!"

Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya hingga seluruh tangan menjadi lumpuh dan otomatis pegangannya terlepas.

Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun, maka segera terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian.

Namun, keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan ginkang-nya. Tubuhnya amat ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biar pun kelau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. Untung bahwa dia memiliki sinkang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sinkang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja.

Setiap kali tamparannya berhasil mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian.

Kemarahan adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat pada waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan ini akan mengurangi kewaspadaan yang berarti mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan belaka.

Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi dari pada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia mempunyai banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian.

Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia menyerang secara membabi buta, tiba-tiba saja ujung sepatu In Hong dapat mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah tengkuk Pat-pi Lo-sian.

"Dukkkk!"

Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biar pun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tidak tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia cepat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali.

Betapa pun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan sampai jauh sambil mengumpulkan hawa murni, dan begitu dia meloncat bangun lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.

"Sratttt...!" nampaklah sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat dari pada emas berukir indah.

Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, "Bocah setan, majulah untuk menerima kematian!"

In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencabut pedang pada pinggang kirinya. Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnya tertarik dan In Hong mempergunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarungnya itu mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu, pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong, kadang-kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping itu.

Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali dengan nyaring dan dia berkata penuh wibawa, "Di sini bukan medan tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua belah fihak akan memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata berarti menentang perintahku!"

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa dua orang kakek dan nenek ini di samping menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga sekalian menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala kehendak raja itu.

In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, sebab itu dengan senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya hingga nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.

Pat-pi Lo-sian juga memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia pun menarik napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya. Hatinya menjadi jeri karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat lihai.

Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, "Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kami pun hendak maju bersama, namun hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andai kata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja bila sri baginda tidak berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua."

Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya kakek dan nenek itu, dia menjadi ragu apakah dia harus membiarkan In Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar