"Kok Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu yang sesat akan menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran di dunia luar, seakan-akan perkumpulan kami tidak mampu bertindak terhadap dirimu. Oleh karena itu, engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel penjara selama hidupmu. Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak berapa lamanya dan hukuman itu hanya untuk mencegah engkau merusak nama perkumpulan di luar Tibet."
"Hemmm, kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?"
"Puterimu akan kami pelihara baik-baik. Dia bisa tinggal di sini sebagai keluarga sehingga sewaktu-waktu dapat menjengukmu di dalam penjara."
Kok Beng Lama mengerutkan alisnya dan berpikir keras, kemudian mengangguk. "Cukup adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi hanya untuk mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini, perlu apa aku pergi? Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak mengganggu anakku?"
"Kok Beng Lama!" Sin Beng Lama berteriak marah. "Engkau sendiri sudah tahu betapa Lama Jubah Merah lebih menghargai janji dari pada nyawa! Pinceng sendiri yang berjanji tidak akan mengganggu Pek Hong Ing, tak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman itu!"
"Bagus! Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama."
"Akan tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama."
"Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama, berjanji tak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para pimpinan Lama Jubah Merah."
"Omitohud...! Para dewa menjadi saksinya!" kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia berkata kepada sute-nya, "Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing supaya dia dapat bertemu dengan ayah kandungnya!"
Lak Beng Lama segera membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari menghampiri Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di hadapan kakek itu sambil berseru penuh keharuan, "Ayaaaahhh...!"
Kok Beng Lama menunduk, memandang pada gadis yang sedang berlutut itu, kemudian menengadah ke langit sambil tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah dan tubuh Hong Ing lantas terangkat, tahu-tahu sudah dirangkul dan dipeluknya.
"Ha-ha-ha-ha! Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di mana kau dilahirkan. Biarlah kau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang sangat bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kau maafkanlah ayahmu yang tidak becus membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk anaknya, yaitu engkau, Anakku!" Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing dengan penuh kasih sayang.
Hong Ing sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik, "Ayah, setelah aku dibebaskan, mari kita pergi saja dari sini. Aku... aku tidak akan betah tinggal di tempat ini, Ayah." Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia merasa amat rindu kepada seorang pemuda yang dicintanya.
Ayahnya menggelengkan kepala. "Janji lebih penting dari pada segalanya, Anakku. Kau tinggallah di sini, sebagai keluarga terhormat dan lebih dari semua itu, setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara karena aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!"
Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia tertawa-tawa lagi.
"Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau masih akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat hukumanmu!"
Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia diantar ke tempat hukuman, di mana dulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Bila dahulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan seluruh ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing…..
********************
“Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!"
Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.
"Kenapa, Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggota bersikap hormat kepadamu?" tanya Sin Beng Lama.
"Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan hatiku disakiti orang. Maka, aku hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan sebagai puterinya tentu aku akan mereka kutuk pula."
"Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang wanita yang suci dan bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa," kata Sin Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum.
"Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku sudah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan enam bermuka tiga..."
"Siancai...!"
"Omitohud...!"
Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!
"Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena ayahmu pasti akan mengamuk bila mana mendengar engkau akan mengorbankan dirimu kepada Dewa."
"Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Ada pun urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu sudah berdosa kepada Dewa, juga Ayah sudah berdosa, maka terlahirlah aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri kepada Dewa."
"Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat menjadi kekasih Dewa, Hong Ing."
"Akan kuusahakan supaya Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini..."
"Omitohud...!" Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.
"Akan tetapi," Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. "Kami telah berjanji kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu..."
"Susiok, urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian sudah memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian juga tidak melanggar janji kepada Ayah. Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri, secara suka rela. Kelak kalau sudah tiba masanya, biar aku sendiri yang akan memberi penjelasan kepada Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan apa pun kecuali hanya menyesali dosa-dosanya dahulu."
"Ahh, engkau hebat dan baik sekali, Anakku..." Sin Beng Lama sampai harus mengusap dua titik air matanya saking terharu hatinya.
Tentu saja apa yang diusulkan oleh dara itu amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan saja. Keponakannya akan menjadi kekasih Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang maha sakti dan hal itu tentu akan mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan adanya seorang keponakan mereka yang menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan nirwana sudah berada di telapak tangan mereka!
"Bukan aku yang baik, Susiok, sebab hal itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan dari Susiok agar bisa memenuhi permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk melaksanakan pengorbanan diri."
"Permohonan terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakan saja apa yang harus kami lakukan?" Hun Beng Lama cepat berkata penuh semangat sebab berdasarkan kepercayaannya dia merasa yakin bahwa nanti dia pun akan menerima anugerah dan ikut memperoleh sepercik berkah dari Dewa.
"Aku mendengar bahwa seseorang yang dengan setulus hatinya hendak berbakti kepada Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan kemarahan."
"Benar sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih lahir batin."
"Itulah yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia sudah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah cintaku menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke depan kedua kakiku, perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku kurang bersih jika kelak menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada Susiok agar suka turun gunung dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu. Sesudah melihat dia tertangkap di sini, barulah dengan hati lapang dan bersih aku akan mengorbankan diri dengan suka rela dan biar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya."
"Pemuda itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?" tanya Sin Beng Lama.
"Benar dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?"
"Pinceng sudah mendengar kata-katanya saat dia membelamu, dan juga melihat engkau menampar mukanya..."
"Memang dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa."
"Benarkah kata-katamu itu?"
"Aku berjanji dan janji lebih berharga dari pada mati!"
"Baik, kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kau maksudkan dan menyeretnya ke depan kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi pinceng yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya."
"Baik, Suheng," Hun Beng Lama menjawab. "Hong Ing, siapakah nama pemuda itu dan di mana adanya dia? Apakah masih di pulau kosong itu?"
"Bukan, bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja, Susiok. Sesudah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti segera meninggalkan tempat itu."
"Habis, di mana kami harus mencarinya?"
"Aku tahu di mana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai dan dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman gurunya itu. Karena itulah aku menjadi sakit hati. Karena itu harap Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-ling-san."
Tiga orang Lama itu sama sekali tidak pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai, maka mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap Kun Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa dua orang sute-nya sudah cukup untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena menganggap perintah dari ‘perawan suci’ ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka.
Tentu saja semua itu adalah siasat yang sangat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja tidak betah tinggal di tempat itu, dan meski pun dia mulai menerima gemblengan ayahnya yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi bersamanya meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya mengambil keputusan hendak menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu!
Karena maklum bahwa sia-sia saja untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal. Dia tahu dengan pasti bahwa Kun Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya, maka dia lalu mempergunakan siasat untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-pai dengan tujuan untuk menarik perhatian Ketua Cin-ling-pai yang sangat sakti sehingga Kun Liong memperoleh bala bantuan yang amat kuat. Kalau ada Lama mencari Kun Liong di Cin-ling-pai, tentu Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan akan ikut turun tangan, apa lagi karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu akan berterus terang untuk menangkap Kun Liong.
Sesudah kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan datang ke tempat itu memberi kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andai kata siasatnya gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia akan rela menderita atau mati sekali pun asal berada di dekat pemuda itu. Dalam kegembiraan yang didorong harapan bisa bertemu kembali dengan pemuda yang dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun mempelajari serta melatih ilmu yang diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu akan siasat yang dijalankan oleh puterinya…..
********************
"Ibu mengapa Ayah belum juga pulang?" anak laki-laki berusia lima tahun itu merengek kepada ibunya.
Wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya. "Semua ini gara-gara enci-mu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun Houw!"
Wanita itu adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, ada pun anak laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal suami isteri pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggota atau anak murid itu kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apa lagi setelah terlebih dahulu Giok Keng lolos dari tempat itu.
"Akan tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu."
"Sabarlah, Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran yang besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah berjumpa dengan enci-mu Giok Keng."
"Dasar Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga boleh merantau seperti Enci Keng?"
"Tentu saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan ilmu kepandaianmu untuk menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji. Mari kita ke tempat latihan, pasangan kuda-kuda yang kau latih kemarin itu masih belum baik benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat."
Ibu dan anak itu lalu pergi ke kebun belakang di mana mereka biasanya berlatih silat. Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak kecil Bun Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan pada saat ayahnya pergi sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya. Tentu saja selain pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak itu juga diberi pelajaran membaca dan menulis.
Selagi ibu yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi hal yang menarik pula. Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin Ta, berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah.
Lima orang itu tentu saja menyambut kedatangan kedua orang pendeta itu dengan sikap hormat, apa lagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan terlihat saleh. Yang seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya berjalan mendaki puncak, yang ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya seperti orang yang sedang membaca doa.
Setelah menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, menjura sebagai penghormatan, Kwee Kin Ta lalu bertanya, "Bolehkah kami mengetahui siapa nama Ji-wi Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada keperluan apakah mengunjungi Cin-ling-pai?"
Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak Beng Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama menjawab, "Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?"
"Benar, Losuhu."
"Kedatangan kami adalah hendak mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong," kata pula Hun Beng Lama.
Lima orang murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid yang melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah, tempat yang sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja Kwee Kin Ta dan para sute-nya sekarang sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong itu, nama yang dipuji-puji guru dan ibu guru mereka.
"Dia tidak berada di sini, Losuhu," jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi.
"Kalau begitu di mana dia?" Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee Kin Ta menjadi terkejut, juga merasa curiga.
"Kami tidak tahu dia berada di mana," jawabnya.
"Agaknya kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai saja!" Kedua orang pendeta itu segera melangkah hendak memasuki pintu depan rumah tinggal Cia Keng Hong.
"Ehh, nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau hanya urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai wakil ketua kami."
"Hemm, pinceng tidak membutuhkan derma, akan tetapi hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai...!" kata pula Hun Beng Lama dan bersama sute-nya dia terus saja masuk ke dalam rumah.
"Tahan dulu...!" Kwee Kin Ta berseru marah. "Harap sebagai orang-orang beribadat Ji-wi Losuhu tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu saja tanpa ijin! Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!"
Dua orang pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee Kin Ta dan para sute-nya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, di mana ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya.
Melihat betapa kedua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman.
"Heii, ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?" Sie Biauw Eng menegur tidak senang karena merasa terganggu.
"Maaf, Subo. Ada dua orang pendeta yang hendak berjumpa dengan Kun Liong. Setelah teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu."
Sie Biauw Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua yang memasuki taman. Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang kelihatan lemah dan halus itu tentunya mempunyai urusan penting sekali dan agaknya merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya hingga sekarang mereka berani memasuki taman tanpa ijin.
"Kalian minggirlah!" katanya kepada para anggota Cin-ling-pai yang sekarang memenuhi taman, kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut kedatangan dua orang pendeta itu. Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat menduga bahwa dia kini berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka dia bersikap hati-hati karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang memiliki kepandaian tinggi.
Setelah berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai sinkang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat dua tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka.
"Selamat datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah Ji-wi hendak menemui suamiku?" Sie Biauw Eng bertanya dengan suara lembut namun pandang matanya penuh selidik.
"Maafkan pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seseorang yang bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak memiliki urusan dengan Cin-ling-pai."
"Silakan Ji-wi duduk di ruangan tamu di mana kita dapat bicara dengan sebaiknya."
Hun Beng Lama menggerakkan tangan kirinya, digoyang-goyang. "Tidak usah, Toanio. Terima kasih atas kebaikanmu. Di sini pun sama saja."
"Losuhu, di sini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong."
Kedua orang pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik. "Benarkah demikian? Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda yang bernama Yap Kun Liong itu?"
"Tidak salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa maksud Ji-wi mencari Yap Kun Liong."
"Kami hendak menangkapnya," jawab Hun Beng Lama dengan tenang. Pendeta ini terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri, karena itu dia merasa tidak perlu menyembunyikan niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya.
Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-tenang saja.
"Ibu..., kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, mengapa dua orang ini hendak menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?"
"Hushh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur." Sie Biauw Eng kaget mendengar kelancangan mulut puteranya.
Dua orang pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai!
"Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia belaka karena yang dicari tidak ada di sini. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari golongan manakah?"
"Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Apa bila dia tidak ada, biarlah kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda itu."
"Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung dan sudah beberapa bulan belum pulang. Aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku pada saat ini."
Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik napas panjang.
"Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!" Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. "Ada jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada, dan engkau juga tidak tahu di mana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Sebab itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu."
"Pendeta iblis keparat!" Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya.
Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan bahkan agak ganas. Di dalam cerita ‘Pedang Kayu Harum’ digambarkan dengan jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia sudah menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, yaitu Cia Giok Keng, telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar.
Akan tetapi, begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina! Begitu mendengar niat pendeta itu hendak menculik puteranya untuk kelak ‘ditukar’ dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya,
"Kin Ta, jaga adikmu!" kemudian dia telah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!
"Omitohud...!" Hun Beng Lama terkejut bukan main.
Tak disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, kemudian tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya.
Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, karena itu dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, melainkan telah menerjangnya dengan serangan-serangan dahsyat, memainkan ilmu silatnya yang sangat cepat dan mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sinkang yang amat ditakuti orang ketika dahulu dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Pukulan ini sangat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh!
Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah membaca cerita Pedang Kayu Harum, karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan pada waktu itu dia sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih.
Dahulu pada waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, apa lagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia mendapat petunjuk suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini.
"Trik-trrriiiikkk...!"
Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi berdetrik nyaring lantas senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mukjijat dan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
“Wuuuttt... wirrr... tar-tar-tar...!"
"Hebat...!" Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang tidak saja menangkis sambaran tasbihnya, malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak bagai halilintar menyambar.
Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya dikeluarkan apa bila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-in Sin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut!
Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suheng-nya, Lak Beng Lama lalu meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi putera subo-nya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah.
Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri karena kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng Lama yang sangat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri, sedangkan para sute-nya yang lain kembali sudah menyerang dari segala jurusan.
"Plakkk...!"
Tubuh Kwee Kin Ci lantas tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri kakek itu! Dapatlah dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan kosong saja dia mampu mematahkan pedang bahkan terus merobohkan pemiliknya dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya.
Melihat adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut.
"Ceppp! Cepppp!"
Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti pada waktu dengan dua jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!
"Augghhhhh...!" Kwee Kin Ta menjerit saat merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut sedalam pergelangan itu tidak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas laksana dibakar!
"Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!"
"Omitohud...!" Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
Sambaran sinar putih tadi betul-betul amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri serta ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!
Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih bisa menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu benar-benar mengejutkan hati kedua orang Lama itu.
Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di goa harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apa lagi Ketua Cin-ling-pai itu sendiri! Andai kata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka!
Pada saat itu pula Lak Beng Lama yang cerdik sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru, "Suheng, harap desak dia...!"
Mendengar ini, Hun Beng Lama langsung mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara, kemudian berbareng dengan gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda yang hidup, disusul oleh sepasang tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang kala malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya.
Didesak sedemikian rupa oleh kakek yang luar biasa lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai.
Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw, "Ibuuu...! Bebaskan aku...!"
Hati Biauw Eng kaget sekali dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali bagi pendeta yang lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata,
"Toanio, hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!"
Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya dalam usahanya mencegah sepasang tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama. Maklumlah dia sekarang bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya. Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot,
"Manusia iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!" Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat dua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya.
"Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat serta kagum dari pinceng." Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai lawan yang sedemikian hebatnya.
Semenjak dulu Sie Biauw Eng bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai dan penuh keberanian tanpa pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal sangat cerdik. Baru sekarang, saat melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut sekali. Akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw,
"Houw-ji, seorang calon pendekar pantang untuk menangis dan dapat menghadapi segala bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!"
Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta-ronta lagi di dalam pondongan Lak Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tak ada gunanya sama sekali.
"Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci, tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani, bebaskan anakku dan majulah kalian dua orang pendeta-pendeta palsu, kita bertanding sampai salah satu pihak mati!" Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang.
"Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu ini justru karena kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuhan dan bertanding melawan Toanio, karena itu jalan satu-satunya hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula di Tibet di mana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama."
Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta yang tulang tangan kirinya patah-patah itu membuat gerakan untuk menyerbu, begitu pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng langsung menggerakkan tangan mencegah mereka.
Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, sepasang tangannya mengepal akan tetapi tak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan…..!
********************
“In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!"
Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang sedang mengejar Lauw Kim In yang berlari-lari. Akan tetapi Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya.
Biasanya, wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang tadi keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Sama sekali dia tidak mencinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu.
Makin lama dekat dengan Ouwyang Bouw, maka makin sadarlah dia bahwa ‘suaminya’ itu adalah seorang yang otaknya tidak waras, otaknya agak miring, bahkan di balik ketidak wajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya!
Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoi-nya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak menggunakan kelihaian orang muda gila ini agar dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo.
Dia berhasil menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian-ong Lo-mo di samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya atas petunjuk ‘suaminya’. Akan tetapi, setiap kali apa bila teringat akan keadaan dirinya, apa lagi setiap kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan.
Ucapan-ucapan Kun Liong laksana ujung pedang runcing yang menikam jantungnya. Dia diumpamakan bagai setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan. Betapa tepatnya ucapan itu, maka dia merasa jantungnya tertikam dan sakit sekali.
Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu persis betapa anehnya cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu.
Ouwyang Bouw yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita lain, baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang Bouw tak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, Ouwyang Bouw pernah pula menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu!
Ouwyang Bouw menangkap seorang pemuda tampan, kemudian dengan ancaman maut memaksa pemuda itu supaya bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk terus agar dia suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong.
"Isteriku yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu amat cepat seperti kuda! Ha-ha-ha!" kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh ginkang-nya yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.
"Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!"
Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu ‘kumat’ lagi gilanya, gila birahi yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia merasa ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah dia berlari dengan tekad kalau mampu hendak membebaskan diri dari manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga.
"Ha-ha-ha, kau kalah!" Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw segera menggelutnya dan memaksanya sambil terkekeh-kekeh, "Kita memang sepasang kuda... heh-heh, sepasang kuda yang bermain cinta..."
Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang mempunyai tingkat kepandaian tinggi ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak mau bunuh diri secara sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, jika ditambah dengan beberapa kali penderitaan lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah.
"Isteriku yang manis... kau hebat..." Ouwyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw kemudian ikut tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan mulut tersenyum kepuasan.
Perlahan-lahan Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik ke arah ‘suaminya’ yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tertidur dengan tubuh setengah telanjang, dan dia harus mengakui bahwa tubuh Ouwyang Bouw tegap dan gagah. Andai kata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini.
Akan tetapi lelaki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan bagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya lantas meluap.
"Wuuuuuttt…!" Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan maut ke arah dada dari suaminya.
"Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?" Sungguh pun kelihatannya tadi memejamkan matanya, namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget.
Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol.
"Aku mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?" jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia lancarkan pukulan bertubi-tubi, mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.
Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang masih kedodoran, Ouwyang Bouw tertawa, "Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!"
Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak tahu bahwa ‘isterinya’ itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Sesudah lewat lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini.....