Dewi Maut Jilid 11

Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit bila mana dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu sudah membalik dan tidak mau mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggota keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Sekarang dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai, karena itu dia segera menyatakan setuju untuk membantu.

"Sungguh hal yang sangat kebetulan sekali...!" gerutunya sambil memandang gadis Tibet itu.

Betapa kebetulan sekali dia berjumpa dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan segala sesuatu tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas.

Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Terlebih lagi karena dia menganggap nenek ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan Cia Bun Houw hingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu.

Akan tetapi Yalima cepat-cepat menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang.

"Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu ke depan kakimu!"

Yalima terbelalak kaget. "Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat baik!"

"Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho-ho, engkau belum tahu, anakku, muridku...!"

Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam, dia tak berani menyatakan ketidak sukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, kemudian sesudah memperoleh kesempatan dia akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan kekasihnya.

Dan pada hari itu, dia diajak oleh subo-nya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal para tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan hendak berjumpa dengan tokoh-tokoh kang-ouw karena dia pun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa.

Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu turut bersama dengan Sin-kouw ke pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat Copet ini sama sekali tak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas perutnya dan marah sekali.

Seketika itu pula timbullah kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria.

Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru. In Hong segera melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya.

Di sebelah kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi, duduk orang-orang yang agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu. Sedangkan pada sebelah kanan duduklah orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.

Hidangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. Sumbangan yang berupa barang biasa saja, disambut para tamu dengan senyuman, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji.

"Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw..." Piauwsu yang membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan.

Semua orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas! Go-bi Sin-kouw lalu mengangguk sambil tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk menyatakan terima kasihnya.

“Berikutnya adalah bingkisan dari Lie-toanio, puteri Cia Keng Hong Taihiap yang mewakili Cin-ling-pai…!” Piauwsu yang bertugas menerima bingkisan kembali berseru.

Piauwsu ini sengaja memberi tekanan agak keras ketika menyebut Cin-ling-pai. Selain dia merasa bangga melihat kenyataan akan hadirnya wakil Cin-lin-pai yang amat terkenal ke tempat itu, orang ini juga ingin melihat reaksi para tamu lainnya mengingat kejadian yang sangat menghebohkan dunia kang-ouw akhir-akhir ini, yaitu tercurinya Siang-bhok-kiam oleh Lima Bayangan Dewa.

Benar saja, begitu piauwsu penerima bingkisan selesai berkata, sejenak suasana menjadi amat hening, dan tak lama kemudian baru meledak sorak sorai di bagian kiri, yaitu bagian yang ditempati oleh golongan putih atau kaum pendekar, bahkan ada beberapa tamu yang berteriak.

“Hidup Cia Keng Hong Taihiap…!”

“Hidup Lie-toanio…!”

“Jayalah Cin-ling-pai…!”

Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang-orang memandang dengan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kini kalah oleh suara-suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang sangat murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang amat murah!

"Eihh, kenapa begitu pelit?" terdengar suara orang.

"Maklumlah, baru habis kecurian hebat!"

"Memang pelit, pedangnya pun pedang-pedangan dari kayu!"

Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi. Semua orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas itu di mana berdiri nyonya Lie yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang amat tajam. Mukanya yang cantik itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa.

"Hayo kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!"

Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenali tiga orang yang tadi mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang.

Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro kepada Cin-ling-pai terdengar suara-suara mengejek. "Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta ini, sungguh memalukan kita!"

Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok Keng.

"Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio memanggil kami?" seorang di antara mereka berkata.

"Memang kami hanya mengatakan apa adanya!" kata orang kedua.

"Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?" kata orang ketiga.

Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat sekali.

"Plok! Plok! Plok!"

Tiga orang itu terpelanting, lalu mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu.

Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. "Harap Lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini." Dan dia pun menghadapi para tamu. "Perkara barang sumbangan harap jangan dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut." 

Cia Giok Keng menahan kemarahannya. "Melihat muka tuan rumah, kuampunkan kalian bertiga!" katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke tempat duduknya.

In Hong mengerutkan alisnya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh galak dan angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.

"Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!" Terdengar lagi pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas.

Tepuk sorak bergemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah serta terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

"Inilah baru bingkisan namanya!" terdengar orang berteriak.

Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata.

"Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?"

In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak berada di tempatnya lagi! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya.

"Maaf, aku pergi dulu karena... takut!"

In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang tidak seberapa banyak yang dia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas peti kayu indah itu dari tangan piauwsu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, "Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong! Ketahuilah bahwa benda ini adalah apa yang kusumbangkan dan entah bagaimana sudah berada di dalam bingkisan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku ini bisa berada di dalam bingkisannya!"

Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.

Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, "Sejak tadi ketika bingkisan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang yang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematianmu! Apa bila aku tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!"

Sebenarnya, biar pun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tanpa mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah disebabkan kedukaan serta kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai.

Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan mengenai mala petaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan hendak mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu.

"Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret," demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan.

Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, maka tentu saja kemarahannya meledak hingga tanpa disadarinya dia menyinggung nama Cin-ling-pai untuk mengangkat nama ayahnya.

Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. "Phoa-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaanmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannya pun orang-orang rendah!"

"Ehh-ehhh, nanti dulu, toanio!" Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan.

Orang ini pakaiannya serba hitam dengan ikat pinggang warna kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang telah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya.

Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan. "Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?"

"Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Apa bila toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa."

"Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannya pun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?" Cia Giok Keng yang memang sudah amat marah itu membentak.

"Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga merupakan temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?"

"Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!" bentak Cia Giok Keng.

Sebenarnya dia menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang sedang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, akan tetapi ditujukan kepada orang-orang yang sudah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Semenjak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!

Kui Liok menjadi marah. "Toanio terlalu menghina orang! Jangan menyangka bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!"

Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah. "Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!"

"Wanita sombong!" Kui Liok membentak dan akan menyerang.

"Tahan... tahan...!" Tiba-tiba Phoa Lee It maju dan berdiri di antara mereka. "Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang sudah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah."

"Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di mana pun dan kapan pun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!"

Sikap serta ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah, maka terpaksa dia mundur sambil menggelengkan kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas sekali.

"Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!" puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang.

Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang sungguh pun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah mempunyai ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya.

Dengan jurus-jurus dari San-in Kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung dan tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya!

Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras lantas menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka bagai seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw Pok-ma (Macan Lapar Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan sepasang tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan.

Tetapi Cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan dan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan ketika jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.

"Desss...! Auukkk...!"

Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng.

Sekarang semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sekaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi.

Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan bagaikan seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar!

"Sratttttt…!"

Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia merasa bahwa namanya masih terlalu besar untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, sebab itu dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak,

"Keluarkan pedangmu!"

Cia Giok Keng tersenyum mengejek. "Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!"

Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun, maka dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia maju menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng.

Akan tetapi tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini justru Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan.

Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan sangat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia sudah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan ginkang-nya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak.

Namun dengan kemarahan meluap-luap Kui Liok sudah menyerang terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng. Sampai lima jurus Kui Liok terus menyerang, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, saat Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok.

Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada waktu perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menampar keras dan tepat mengenal punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.

"Plakkk...!"

Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian yang mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!

"Ini makanlah golokmu!" Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok, dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.

Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri bila saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangan kanannya, kemudian dengan senyum menghina dia melemparkan golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.

Giok Keng sendiri terkejut bukan kepalang. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia segera maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.

Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Nenek ini pun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu karena takut kalah, sebab dia percaya bahwa dia dapat menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah.

Betapa pun juga, muridnya, Pek Hong Ing, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang punya hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu, malah sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali bila telah tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa. Betapa pun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong Ing.

Maka walau pun kini tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian sesudah melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, "Minum ini untuk menolak hawa beracun!"

Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju sehingga berhadapan dengan Giok Keng. Setelah selama kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengarlah In Hong berkata, suaranya dingin,

"Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang paling baik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!"

Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. "Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggota golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!"

In Hong tersenyum. "Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus kuakui bahwa Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, ternyata orang-orangnya begini sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil apa-apa. Andai kata dia menukar sumbangan, itu hanyalah senda guraunya karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang orang."

"Betapa pun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang hina."

"Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?"

Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. "Mulut lancang! Kami keluarga Cia sejak dulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela kebenaran dan keadilan!"

"Kebenaran dan keadilan siapa?" In Hong mengejek. "Setahuku, putera tunggal ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum wanita!"

"Wanita iblis! Kau maksudkan adikku Cia Bun Houw?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?"

Saking marahnya, Giok Keng sampai sulit mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah. Akhirnya dapat juga dia membentak,

"Iblis betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!"

"Nah, itulah dia! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja..."

"Ahhhh, tidak...!" Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh saat mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar diam, kemudian dia menonton dengan hati tegang gembira.

"Wuuttttt... wirrrrr...!" Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.

"Pratttt…!" In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya.

Giok Keng terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi sekali bertemu dengan jari jemari tangan gadis cantik ini, ternyata ujungnya menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak nyaring, "Nona Yap In Hong, tahan dulu...!"

Yang datang ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi pada waktu melihat keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jeri dan cepat menyelinap keluar kemudian mengintip dari luar. Akan tetapi pada saat melihat betapa In Hong turun tangan membelanya, dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding.

In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok. "Biarlah, paman Can, orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja."

"Nona In Hong, jangan...!" Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.

"Kau... kau... bernama Yap In Hong...?" tanyanya dengan heran.

In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, "Maafkan saya, Lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut apa-apa! Saya yang tadi karena merasa penasaran melihat tuan rumah membeda-bedakan tempat duduk untuk para tamu, kemudian ingin menggodanya dengan menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak menyangka bahwa barang-barang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang bersalah dan Lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong tidak ikut-ikut..."

“Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?" Giok Keng lantas menggerakkan tangan kirinya memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada pencopet itu.

"Plakkkk! Desss…!"

Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang kuat bukan main.

"Mundurlah, paman Can!" In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw terlempar dan pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan lenyap dari situ.

Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis dan pada yang kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang terdesak, maka hal ini dianggapnya sangat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya,

"Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?" pertanyaan ini diajukan dengan ragu-ragu sebab dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.

"Benar, tapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia," jawab In Hong dengan suara yang tetap dingin. 

Giok Keng melongo, akan tetapi segera sanggup menekan keheranannya dan dia lantas membentak, "Dan kau tadi berani bicara bohong tentang adikku Bun Houw?"

"Hemm, mengapa tidak kau tanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?"

"Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?"

In Hong memandang tajam, dan bibirnya terlukis senyum mengejek. "Tentu saja aku tahu. Engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita yang sombong..."

"Bocah kurang ajar!" Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya dan tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.

"Tahan senjata...!" Lie Kong Tek sudah meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya. "Tidak perlu kita berlarut-larut, apa lagi dia bukan orang lain. Marilah kita pergi saja."

Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali saat dia menyarungkan pedangnya. Dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil berkata, "Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu ini!"

Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah.

In Hong tidak mempedulikan lagi suami isteri itu, dia menengok dan mencari-cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di situ, dia lalu berkelebat dan meloncat keluar tanpa pamit.

Keadaan pesta itu lantas menjadi agak riuh dan bising sebab semua tamu membicarakan peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar membuat geger, baik fihak golongan hitam mau pun golongan putih…..

********************

"Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!"

In Hong menghentikan langkahnya, menengok dan melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu.

In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia segera pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana perginya itu. Pula, dia pun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu.

"Apakah keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?" tegurnya dengan suara dingin.

"Heh-heh-he-he!" Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah. "Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi mulutnya juga panjang, ha-ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini."

In Hong menjawab, "Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa hubungannya dengan kedatanganmu menyusulku ini?"

"Wah-wah, engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona Yap In Hong. Ketahuilah bahwa di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat, sungguh pun agaknya engkau tidak mempedulikan hubungan keluarga."

In Hong menjadi heran. "Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?"

"Heh-heh-he-he, engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan? Nah, Kun Liong itu adalah mantuku! Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti anakku sendiri."

In Hong mengangguk-angguk. "Hemm... begitukah kiranya? Akan tetapi aku tidak tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti sudah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai tadi, aku tidak punya urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya."

Kembali nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya. "Bagus... bagus sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Aku pun tidak suka kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknya pun tentu bukan manusia baik-baik!"

"Subo, Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In Hong, aku tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun Houw tadi. Dia bukanlah seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah perkasa dan sama sekali bukan perayu wanita!" Yalima memprotes dengan suara keras dan memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah.

In Hong memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat cantik dan manis. Dia tersenyum mengejek. "Hemm, engkau masih terlalu kecil untuk mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun Houw itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan? Akan tetapi tahukah engkau mengapa dia dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?"

"Ya, kenapa... enci? Aku tidak tahu kenapa dia pergi meninggalkan aku...?" tanya Yalima penuh gairah mendengar ada orang yang tahu tentang urusan kekasihnya itu.

"Dia dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan engkau!"

"Aihhhhh...!" Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat. "Ti... tidak benar itu...!"

In Hong tersenyum mengejek. "Kau bilang tidak benar? Kau tahu siapa wanita yang akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu? Akulah orangnya! Akan tetapi aku tidak sudi, apa lagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan engkau."

"Aihhh...!" Yalima kembali menjerit. "Enci... katakanlah, di mana dia? Di mana aku dapat berjumpa dengan Houw-ko? Subo, bawalah aku menemui dia..." Dia meratap dan Go-bi Sin-kouw membentaknya.

"Diamlah dulu, anak cengeng!" Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti mata seekor kelinci diancam harimau.

"Engkau memang benar jika menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang makhluk jahat yang membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam saja melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau menolongku, kouwnio?"

"Menolong bagaimana?"

"Engkau adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan muridku Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan menolak, bukan?"

"Benar! Aku bukan boneka atau binatang yang boleh dijodoh-jodohkan di luar kehendakku begitu saja."

"Cocok dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku hendak menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima dan engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw."

In Hong mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu, "Ini... ini... bukan urusanku, kau lakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!"

"He-he-he... tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah dan berhati baja seperti aku pada waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini kau ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?"

"Jangan sembarangan membuka mulut!" In Hong membentak sambil mengepal tangan.

"Heh-heh-heh, aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-benar tidak sudi menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu kouwnio akan suka membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga laki-laki itu untuk tidak menyia-nyiakan Yalima."

Yalima memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit ini tidak begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan mengenai ikatan perjodohannya dengan pria yang sangat dicintanya, maka dia pun berkata dengan suara memohon kepada In Hong,

"Enci In Hong, harap engkau suka membantu subo dan menolongku. Aku lebih suka mati kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-koko."

Sesudah berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan tetapi tidak ada persekutuan apa pun di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan Yalima."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Aku pun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita agar jangan dijadikan bahan permainan kaum pria!"

Nenek yang sudah bangkotan dan penuh pengalaman ini tentu saja segera bisa mengenal watak In Hong yang tidak suka kepada kaum pria, apa lagi karena dia pun sudah melihat hiasan burung hong di rambut dara itu dan dapat menduga bahwa tentu In Hong ini ada hubungannya dengan Giok-hong-pang yang sudah terkenal sebagai perkumpulan wanita pembenci pria, yang kabarnya dipimpin oleh seorang wanita yang kepandaiannya sangat tinggi.

Maka berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong mendapat seorang kawan seperjalanan dalam perantauannya, seorang kawan yang jauh berbeda dengan kawannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di situ terdapat Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya karena dara Tibet ini sangat murni, wajar, polos dan jujur. Wataknya bersih sekali sehingga membuat In Hong menjadi kagum.

Dia tidak menjadi heran kalau ada laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu yang tergila-gila kepada seorang dara seperti ini, akan tetapi jika sampai Cia Bun Houw mempermainkan seorang gadis suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan akan memaksa pemuda itu mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, maka perjalanan bersama nenek yang mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In Hong.

Di lain fihak, Yalima yang berwatak polos menganggap In Hong adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong adalah seorang wanita yang sangat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela kepentingan hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di dalam hatinya tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini…..

********************

Apa pun juga yang terjadi di dunia ini pun terjadilah, tanpa manusia bisa mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apa pun juga yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu peristiwa yang terjadi, dan apa bila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapa pun, hanya menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di dalam diri pribadi.

Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini, kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain, pada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas, dengan awas sambil memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karena semuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran.

Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat.....!

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar