Dewi Maut Jilid 08

Hatinya lega setelah dia keluar dari kota Tai-lin, berjalan sendirian saja di atas jalan yang sunyi dan di sisi kanan kirinya terdapat tanah yang penuh dengan rawa kering. Sampai belasan hari lamanya dia melakukan perjalanan dan tak pernah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, tidak seperti yang sering didengung-dengungkan para bibinya di Giok-hong-pang bahwa dunia ini kejam, terutama kaum prianya. Buktinya, selama ini dia tidak pernah mengalami gangguan! Dan jika sebagian besar pria seperti pelayan restoran itu, hidup ini tidaklah begitu sengsara bagi wanita!

Jalan itu memasuki sebuah hutan kecil dan tiba-tiba perhatian In Hong tertarik ke depan. Pandang matanya yang amat tajam dan terlatih itu dapat melihat berkelebatnya bayangan orang di balik pohon-pohon yang jarang di depan itu. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, bahkan tidak curiga karena mengira bahwa mungkin sekali bayangan itu adalah tukang-tukang kayu atau pemburu-pemburu yang biasa berkeliaran di hutan-hutan.

Akan tetapi ketika dia tiba di tempat di mana tadi dia melihat bayangan orang berkelebat, tiba-tiba dia berhenti karena mendengar suara kaki orang, dan tepat seperti yang sudah diduganya, dia melihat dua orang laki-laki muncul dari balik batang pohon, satu dari kanan dan seorang lagi dari sebelah kiri.

Kecurigaannya baru timbul pada waktu dia mengenal mereka itu sebagai dua orang tamu di restoran yang tadi membisikkan nama perkumpulan Giok-hong-pang. Namun In Hong masih tetap tenang dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya memandang pada mereka secara bergantian dengan sinar mata yang amat tajam menyelidik.

"Maafkan kami, lihiap!" Tiba-tiba saja orang muda yang bertopi dan bermuka kurus pucat itu berkata sambil menjura dengan hormat, sedangkan kawannya juga menjura dengan senyum tertahan. Kini mereka berdua berdiri di depannya.

"Kalian mau apa?" tanya In Hong dengan suara datar dan dingin.

"Maafkan kami berdua, akan tetapi sejak kami bertemu dengan lihiap di dalam restoran di kota Tai-lin pagi tadi, kami sangat tertarik dan ingin kami bertanya apakah lihiap seorang anggota Giok-hong-pang yang amat terkenal di Telaga Kwi-ouw?"

In Hong memandang dengan lirikan merendahkan, kemudian menjawab datar, "Betul, aku adalah murid pangcu dari Giok-hong-pang, habis mengapa?"

Mendengar ini, dua orang itu saling pandang, lalu mereka menjura makin dalam lagi. "Ah, maaf... maaf... karena tidak yakin maka kami tadi tidak berani bertanya. Ternyata lihiap adalah seorang tokoh penting dari Giok-hong-pang. Ketahuilah, lihiap, bahwa di antara kami dan Giok-hong-pang masih segolongan dan dengan berpindahnya Siang-bhok-kiam ke tangan golongan kita maka persahabatan di antara kita perlu dibina. Oleh karena itu, kami mengundang kepada lihiap sukalah dalam perjalanan lihiap ini datang mengunjungi tempat kami di hutan depan untuk mempererat persahabatan."

In Hong pernah mendengarkan penuturan subo-nya tentang dua golongan, yaitu golongan putih dan hitam dan secara samar subo-nya mengatakan bahwa Giok-hong-pang boleh jadi digolongkan sebagai golongan hitam. Menurut subo-nya, golongan putih terdiri dari orang-orang yang sombong dan merasa diri sendiri paling bersih dan paling pandai. Ada pun golongan hitam banyak terdapat orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, subo-nya juga tidak pernah melakukan hubungan dengan golongan mana pun juga.

Akan tetapi dia pernah mendengar subo-nya bercerita tentang Siang-bhok-kiam sebagai pedang pusaka yang pernah menggegerkan dunia persilatan, milik dari seorang pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kini mendengar ucapan orang itu bahwa Siang-bhok-kiam telah berpindah ke tangan golongan hitam, dia merasa heran dan ingin mengetahui lebih banyak.

"Kalian siapakah?"

Si jenggot pendek yang tinggi besar dan berkulit kehitaman itu tersenyum lebar kemudian berkata, "Nona, kami adalah dua orang di antara Fen-ho Su-liong (Empat Naga Sungai Fen-ho) yang bukan tidak terkenal di seluruh daerah Tai-goan dan Tai-lin. Twa-suheng dan ji-suheng kami tentu akan merasa bangga sekali menerima kunjunganmu, nona. Marilah, tempat kami tidaklah jauh, hanya di hutan depan itu."

Si muka pucat juga tersenyum dan menyambung, "Harap lihiap jangan khawatir dan takut, kami menjamin keselamatan lihiap."

Ucapan si muka pucat itu mengusir semua keraguan di hati In Hong. Tadinya dia merasa ragu dan tidak ingin mengunjungi sarang mereka, akan tetapi begitu orang bertopi yang mukanya pucat itu menghiburnya supaya tidak khawatir dan takut, harga dirinya langsung memberontak. Dia khawatir? Dia takut?

"Hemm...!" Dia menggeram lirih. "Baiklah, hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan!"

Jawaban ini pun jelas merupakan tantangan, akan tetapi dua orang itu seolah-olah tidak mengerti dan dengan hati girang mereka mengajak In Hong memasuki hutan kedua yang besar, yang berdampingan dengan hutan kecil itu.

"Biar kubawakan buntalanmu, nona," si muka pucat berkata.

"Tidak perlu, aku bawa sendiri," jawab In Hong.

Si muka pucat ini berusaha untuk bersikap hormat dan ramah, namun berbeda dengan keramahan pelayan restoran yang amat wajar dan menyenangkan, sebaliknya keramahan orang muda ini mencurigakan dan tidak menyenangkan karena terlalu jelas dibuat-buat dan pandang mata pemuda ini pun tiada bedanya dengan pandang mata kaum pria yang begitu menjemukan dan kurang ajar.

"Terserah kepadamu, lihiap, hanya kami biasa berjalan cepat, takut membuat lihiap lelah jika harus membawa barang berat." Setelah berkata demikian, si muka kurus itu bersama temannya lalu menggunakan ilmu lari cepat, berkelebatan memasuki hutan besar itu.

In Hong melihat betapa gerakan mereka itu cepat juga, tanda bahwa mereka mempunyai ginkang yang cukup tinggi. Namun dia bergerak seenaknya mengikuti dan tidak pernah ketinggalan sehingga dua orang yang kadang-kadang menoleh ke belakang itu menjadi kagum juga.

Karena melakukan perjalanan cepat, sebentar saja mereka telah sampai di tengah hutan besar di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Fen-ho dan ternyata sarang mereka itu berada di tepi sungai, terdiri dari pondok-pondok yang berdiri tersembunyi di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar.

Kedatangan mereka segera disambut oleh dua orang laki-laki lain yang juga bertubuh tinggi besar dan kelihatan kuat, yang tersenyum lebar dan yang keluar dari dalam pondok terbesar. Dan In Hong melihat betapa masih ada belasan orang laki-laki bermunculan dari tempat-tempat tersembunyi, mereka itu kelihatan terdiri dari orang-orang kasar.

"Ha-ha-ha-ha, sam-sute (adik ketiga) dan si-sute (adik keempat) sungguh hebat, pulang membawa anak ayam yang begini mulus! Ha-ha-ha!" Orang yang bertahi lalat di tengah hidungnya yang besar berkata sambil tertawa-tawa.

"Twa-suheng, nona ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang di Kwi-ouw. Mengingat akan nama besar Giok-hong-pang, maka sengaja kami persilakan untuk singgah di sini untuk berkenalan dengan twa-subeng dan ji-suheng," kata si muka pucat.

"Ahhh…, begitukah? Ternyata seorang naga betina dari Giok-hong-pang? Bagus, silakan masuk, nona," kata si tahi lalat.

In Hong yang tidak ingin dianggap takut, hanya mengangguk dan mengikuti empat orang laki-laki itu memasuki pondok terbesar di mana dia dipersilakan duduk menghadapi meja dan tak lama kemudian jamuan makan dikeluarkan.

"Aku hanya berhenti sebentar dan akan melanjutkan perjalananku ke Tai-goan," In Hong berkata sambil mengerutkan alisnya.

"Perjalanan ke Tai-goan hanya dekat, nona. Kita berbincang dulu dan silakan menikmati hidangan seadanya," kata si tahi lalat yang ternyata adalah orang pertama dari Empat Naga dari Fen-ho itu. "Kami mendengar bahwa Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw dari tangan Kwi-eng-pang dan juga membasmi Kwi-eng-pang. Benarkah? Kami kenal baik dengan Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang, lalu bagaimana dia sekarang?"

"Dia telah tewas," In Hong menjawab pendek.

"Ahhh...!" Si tahi lalat berseru. "Kalau Hek-tok-ciang Kiang Ti sampai tewas, kepandaian subo-mu itu tentu hebat bukan main!"

In Hong tidak menjawab dan ketika dipersilakan makan, dia hanya mengambil beberapa sayur dan daging, kemudian minta disediakan air teh karena dia tidak suka arak.

"Aku tadi mendengar mengenai Siang-bhok-kiam, apakah kalian dapat menceritakan apa yang terjadi dengan pedang pusaka Cin-ling-pai ini?" Akhirnya dia bertanya karena dia tidak ingin lama-lama berada di situ dan sebetulnya dia tadi hanya ikut untuk mengetahui lebih banyak tentang berita mengenai pedang pusaka itu.

"Ha-ha-ha, apakah Giok-hong-pang belum mendengar berita hebat itu? Ha-ha, akhirnya Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han-nya menemui tanding! Cap-it Ho-han yang disohorkan lihai seperti dewa itu akhirnya mampus di tangan Lima Bayangan Dewa, bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dirampas! Ha-ha-ha, ingin sekali aku menyaksikan muka ketua Cin-ling-pai!" Si tahi lalat berkata dengan nada girang bukan main.

In Hong tidak pernah mendengar subo-nya bercerita mengenai Cap-it Ho-han, dia hanya mendengar bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang kakek pendekar yang oleh subo-nya disebut nomor satu di dunia! Kalau sampai pedang pusaka Cin-ling-pai dapat terampas, tentu para perampasnya itu hebat sekali.

"Siapakah Lima Bayangan Dewa?" tanyanya.

"Kami sendiri pun belum mendapatkan kehormatan untuk mengenalnya. Akan tetapi tentu mereka merupakan datuk-datuk baru dari golongan kita. Sesudah ada datuk-datuk baru sehebat itu, yang mampu mengacau Cin-ling-pai, kita takut apa lagi? Ha-ha-ha, sekarang kaum kang-ouw tentu akan geger."

In Hong bangkit berdiri. "Sudahlah, terima kasih atas jamuan kalian. Sekarang aku akan melanjutkan perjalananku."

"Ehh, ehhh, nona... nanti dulu! Kami harap nona suka menginap di sini untuk beberapa malam, atau setidaknya untuk malam ini! Bukan merupakan hal biasa dapat menjamu seorang seperti nona, dan kami merasa sangat beruntung dengan pertemuan ini yang harus dirayakan malam nanti," si hidung besar bertahi lalat berkata.

"Nona, rasa rindu kami belum terlampiaskan, mengapa tergesa-gesa pergi?" kata si muka pucat dengan nada merayu. Akan tetapi karena In Hong belum berpengalaman, dia tidak mengerti akan kekurang ajaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu.

Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di sebelah luar dan serombongan orang kasar itu masuk ke pondok sambil menyeret seorang lelaki yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal orang atau barang kiriman) yang terikat erat-erat laksana seekor babi yang hendak disembelih. Lima orang kasar itu mendorong piauwsu itu ke atas lantai di depan Fen-ho Su-liong.

"Siapa dia? Apa perlunya kalian membawa babi ini datang ke sini?!" bentak Si tahi lalat marah. Sementara itu, sesudah melihat kejadian ini, In Hong tidak jadi pergi dan duduk sambil menonton penuh perhatian.

"Twako, harap maafkan kami! Kami berhasil menahan sebuah perahu besar, akan tetapi waktu kami minta pajak kepada mereka seperti biasa, lima orang piauwsu yang mengawal perahu melawan dan memaki kami. Terpaksa kami turun tangan menggulingkan perahu sebab piauwsu-piauwsu itu amat lihai. Kami berhasil menawan tiga ekor anak ayam untuk twako dan kepala piauwsu yang menjadi biang keladinya ini kami seret ke sini. Sayang bahwa sebagian besar harta di perahu itu ikut tenggelam."

Si tahi lalat menjadi merah mukanya. "Bodoh! Kenapa harus menggulingkan perahu?"

"Piauwsu-piauwsu itu sangat lihai, terutama kepalanya ini. Tanpa menggulingkan perahu kami tidak mampu mengalahkan mereka."

"Plakkk!" Si tahi lalat menampar dan pelapor itu tergelimpang kena ditampar pipinya.

"Memalukan saja, di hadapan tamu bicara memperlihatkan kelemahan!" Dia lalu menoleh kepada In Hong sambil berkata, "Coba nona lihat, apakah tidak memalukan mempunyai anggota seperti ini?"

"Maafkan kami, twako..."

"Hayo buka ikatannya!" Si tahi lalat memerintah sambil menuding ke arah piauwsu yang sudah mulai siuman itu.

Pakaian piauwsu itu basah kuyup dan mukanya pucat karena tadi dia dikeroyok ketika tercebur ke air dan di dalam air dia sama sekali tidak mampu menandingi ilmu renang para bajak sungai ini sehingga akhirnya dia pingsan dan diikat.

"Tapi... twako...," anggota bajak itu terkejut karena maklum akan kelihaian piauwsu ini.

"Buka...!" Si tahi lalat membentak lagi lalu tertawa bergelak sambil minum araknya. Sejak tadi dia sudah minum arak terlalu banyak sampai mukanya menjadi merah dan dia sudah agak mabok. "Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya sehingga dia berani melawan anak buah Fen-ho Su-liong!"

In Hong memandang dengan tenang saja dan bibirnya membentuk senyum mengejek saat menyaksikan lagak si tahi lalat itu. Dia tidak peduli dan tidak merasa kasihan kepada piauwsu itu karena merasa bahwa apa yang dihadapinya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, dan diam-diam dia pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kelihaian Empat Naga Sungai Fen-ho yang sombong ini dan yang menganggap sebagai ‘sahabat’ dari Giok-hong-pang.

Piauwsu itu segera dibebaskan dan sejenak dia duduk sambil mengumpulkan napas dan kekuatannya. Dia maklum bahwa dia berada di sarang bajak sehingga tidak ada harapan baginya untuk dapat hidup. Akan tetapi setidaknya dia akan mempertahankan diri sebagai seorang gagah.

"Hayo bangun, jangan pura-pura mampus!" Si muka pucat menghardiknya.

Piauwsu itu sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah. Dihardik demikian, dia mengangkat muka, lalu memandang kepada empat orang itu satu demi satu dan dia tercengang ketika melihat ada seorang gadis cantik jelita duduk bersama empat orang kepala bajak itu. Akan tetapi pandang matanya kepada In Hong juga tidak ada bedanya dengan ketika dia memandang bajak-bajak itu karena dia mengira bahwa tentu wanita muda yang cantik ini pun kaki tangan bajak!

Dengan perlahan dia pun bangkit berdiri dan langsung menghadapi si tahi lalat yang dia tahu adalah ketuanya karena tadi disebut twako.

"Kalau tak salah, su-wi (kalian berempat) adalah yang disebut Su-liong (Empat Naga) dari Fen-ho. Sungguh mengherankan sekali, biasanya antara su-wi dengan kami dari golongan piauwsu tidak ada permusuhan sama sekali, bahkan ada kerja sama yang baik. Seingat saya pula, Pek-eng Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Garuda Putih) tak pernah menolak permintaan sumbangan dari semua sahabat di sekitar Fen-ho. Tapi kenapa hari ini su-wi mengganggu kami?"

"Ha-ha-ha, piauwsu busuk! Bicara manis pun tak ada gunanya! Tak perlu kau merengek-rengek karena kami tidak akan mengampunimu!" kata si jenggot pendek.

Piauwsu itu membusungkan dadanya. "Saya tidak mengharapkan pengampunan. Setelah kami gagal mengawal, pemilik barang tewas tenggelam serta barang-barangnya hilang, isteri dan anak-anaknya perempuan kalian culik, kami pun tidak mengharapkan hidup lagi. Kami hanya ingin tahu kenapa terjadi perubahan ini di fihak kawan!" Suaranya tegas dan tidak menghormat lagi.

"Ha-ha-ha-ha!" si tahi lalat tertawa. "Kalau kami merobah sikap, kalian mau apa? Boleh panggil semua jagoan kang-ouw, pendekar-pendekar yang sakti di kolong langit! Apakah mau minta bantuan ketua Cin-ling-pai, ataukah Cap-it Ho-han? Ha-ha-ha!"

Piauwsu itu mengerutkan alianya. Dia mengerti. Kiranya berita yang menggegerkan dunia kang-ouw mengenai kematian tokoh-tokoh Cin-ling-pai, tentang tercurinya pedang Siang-bhok-kiam itulah yang merobah sikap para golongan hitam!

"Bagus! Kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka minta bantuan kepada siapa pun. Untuk pekerjaan kami, kami sendirilah yang bertanggung jawab. Sekarang sesudah kalian membebaskan ikatanku, apakah kehendak kalian?"

"Ha-ha-ha, piauwsu cerewet!" Si tahi lalat tertawa dan segera menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah kepala piauwsu itu.

"Dukkk!"

Piauwsu itu menangkis dan keduanya terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka seimbang.

"Haii, kau berani melawanku?!" Si tahi lalat membentak marah dan kembali menyerang dengan ganas.

Ternyata si tahi lalat yang tinggi besar itu memiliki gerakan yang cepat juga, serangannya bertubi-tubi, susul-menyusul dengan pukulan dan tendangan kedua kaki tangannya, tidak mau memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung ke belakang dan berusaha untuk mengelak dan menangkis. Namun tubuhnya memang sudah lemah dan tangannya belum pulih kembali dan orang pertama dari Fen-ho Su-liong itu memang lihai bukan main, maka piauwsu itu segera terdesak hebat.

"Bukkk!"

Tiba-tiba saja orang kedua dari Fen-ho Su-liong menendang dari belakang dan tepat mengenai pinggul si piauwsu yang tentu saja terhuyung ke samping dengan kaget.

"Plakkk!"

Si jenggot pendek menampar dari samping. Biar pun piauwsu itu sudah mengelak, tetap saja serangan tiba-tiba ini mengenai pundaknya, membuat dia hampir terpelanting.

"Desssss…!"

Dengan gaya yang gagah si muka pucat menghantam dari belakang dan tepat mengenai punggung piauwsu itu sehingga muntah darah.

"Bagus, kalian pengecut-pengecut hina! Jangan kira aku takut!" Piauwsu itu membentak dan dia menjadi nekat menyerang empat orang itu dengan niat untuk mengadu nyawa.

Akan tetapi karena tingkat kepandaian empat orang itu rata-rata lebih tinggi sedikit kalau dibandingkan dengan dia, sedangkan dia sudah sangat kelelahan dan empat orang itu mengeroyoknya, tentu saja dia segera menjadi permainan mereka, dipukul dan ditendang ke sana ke mari sampai akhirnya sebuah tonjokan si tahi lalat yang mengenai perutnya membuat dia terjungkal dan tak dapat bangkit kembali.

In Hong melihat ini semua dan dia kini berkata perlahan, "Bagus! Jadi begini gagahkah yang berjuluk Empat Naga? Mengeroyok orang yang sudah tak bertenaga lagi?"

Empat orang yang sudah hendak memukuli piauwsu yang tidak mampu melawan lagi itu mundur dan menyeringai agak malu. "Ha-ha-ha, biar ada sepuluh orang seperti dia, mana mampu melawan kami? Nona, bagaimana kau lihat tonjokanku dengan jurus Naga Sakti Mencuri Mustika tadi, hebat tidak?" Si tahi lalat bertanya kepada In Hong.

"Ha-ha-ha-ha, twako lebih pandai lagi mencuri hati wanita!" si kurus pucat berkata sambil tertawa-tawa, tidak tahu betapa In Hong sudah mulai merasa mual dan panas perutnya.

In Hong mengambil keputusan untuk segera pergi saja meninggalkan orang-orang yang menjijikkan itu, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara tangis wanita dan melihat tiga orang wanita diseret-seret menuju ke tempat itu. Yang seorang adalah selir saudagar yang menjadi korban pembajakan, seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang masih cantik dan berkulit putih sekali, sedangkan yang dua orang adalah gadis-gadis berusia tujuh belas dan lima belas tahun, puteri-puteri saudagar itu. Dengan kasar para bajak mendorong tiga orang wanita itu sehingga jatuh berlutut di depan Fen-ho Su-liong.

"Aihhh..., inikah anak-anak ayam itu?" Si tahi lalat menghampiri mereka seorang demi seorang, memegang dagu mereka dan mengangkat muka itu untuk dilihat.

"Bagus, lumayan, masih mulus! Biarlah mereka untuk kalian bertiga, Sute, sedangkan aku sudah mempunyai nona Giok-hong-pang ini. Nona, mari kita bersenang-senang di dalam kamarku, kita adalah orang sendiri dan sahabat baik, engkau nanti kupersilakan memilih simpanan benda-benda perhiasan yang paling berharga dariku dan..."

"Manusia-manusia biadab! Keluarlah karena saat ini adalah saat kematian kalian semua di tanganku!" In Hong tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Suaranya dingin, seperti bukan suara orang yang marah dan anehnya, bibir yang biasanya diam dan dingin agak cemberut itu kini membayangkan senyum manis.

In Hong telah melempar buntalannya ke atas tanah dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke depan pondok itu. Dia tidak mau turun tangan di dalam pondok karena dia ingin mengalihkan perhatian mereka kepadanya agar tak sempat mengganggu tiga orang wanita itu.

Andai kata di tempat itu tidak ada peristiwa penculikan tiga orang wanita yang dihina itu, agaknya belum tentu In Hong akan menjadi marah dan mau turun tangan. Bahkan dia tadi sudah ingin cepat-cepat pergi. Akan tetapi, melihat ketiga orang wanita itu hendak dihina merupakan puncak bagi kesabaran In Hong.

Empat orang Fen-ho Su-liong saling pandang lalu tertawa. "Wah, kiranya dia juga seekor kuda binal yang tidak mau ditunggangi begitu saja dengan jinak, twako!" berkata si muka pucat.

"Ha-ha-ha, lebih baik lagi kalau begitu. Aku memang lebih suka kuda betina yang binal, yang melawan sebelum menjadi jinak penurut. Hayo kalian bantu aku menangkapnya dan menjinakkannya, Sute bertiga!"

Sambil tertawa-tawa empat orang laki-laki itu kemudian berlompatan keluar. Tugas untuk mengurung dan menjinakkan dara cantik jelita ini tentu saja diterima dengan gembira oleh tiga orang sute itu, karena memang kecantikan In Hong sangat mempesona hati mereka dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan tiga orang wanita yang dibajak itu.

In Hong berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, hanya matanya yang melirik ke kanan kiri ketika keempat orang itu sudah mengurungnya dari kanan kiri sambil tertawa-tawa.

"Haaai-hooohhhh!" Si tahi lalat menggertak dan berpura-pura menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti orang mau menangkap.

Akan tetapi In Hong tidak bergerak karena tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja. Empat orang Fen-ho Su-liong tertawa-tawa dan beberapa kali menggertak, lalu tiba-tiba mereka berempat menubruk secara berbareng dan menerkam tubuh In Hong seperti empat ekor harimau menerkam seekor domba dari empat penjuru.

"Bressssss...!"

Mereka berteriak kesakitan dan bingung karena mereka saling bertubrukan sedangkan dara yang mereka tubruk itu telah lenyap. Cepat mereka meloncat mundur dan melihat In Hong berdiri dengan tenangnya di sebelah kiri sambil memandang mereka dengan sikap mengejek.

Sementara itu, para anggota bajak sudah keluar semua dari pondok-pondok mereka pada waktu mendengar bahwa empat orang pimpinan mereka sedang ‘menjinakkan’ seorang wanita cantik yang pandai ilmu silat, yang tadi menjadi tamu terhormat. Mereka semua telah mendengar bahwa tamu itu adalah anggota Giok-hong-pang yang secara diam-diam dimusuhi oleh pimpinan mereka karena mendengar bahwa wanita-wanita Giok-hong-pang membasmi Kwi-eng-pang dan mendengar pula betapa wanita-wanita itu pembenci kaum pria!

Tentu akan merupakan tontonan yang menarik melihat bagaimana empat orang pimpinan mereka menjinakkan wanita pembenci kaum pria yang cantik ini. Mereka bahkan masih tertawa-tawa pada saat melihat empat orang pimpinan mereka tadi gagal menubruk, dan memuji bahwa wanita itu cepat juga gerakannya ketika meloncat keluar dari kepungan pada saat mereka menubruk.

Sekarang empat orang itu mengepung In Hong dari depan dan belakang. Dari belakang, si muka pucat dan si tahi lalat di hidung menghampiri berindap-indap dengan sikap masih bermain-main sedangkan dari depan si jenggot serta suheng-nya menghampiri dengan gaya seperti hendak menubruk katak hijau.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini keluar dari mulut In Hong dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata, disusul pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil!

Ternyata, sama sekali tak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang sangat dahsyat, In Hong sudah bergerak. Entah kapan dia mencabut pedang dari punggungnya, karena tahu-tahu pedang pada tangan kanannya itu telah menusuk tembus dada si jenggot pendek dan suheng-nya yang berdiri depan belakang!

Sesudah pedang itu menembus dada dua orang itu, pada detik berikutnya tangan kirinya bergerak menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan si tahi lalat. Terdengar suara keras dan mereka menjerit berbareng dengan jerit dua orang yang ‘disate’ itu, kemudian roboh dengan mulut, hidung, mata dan telinga mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Dua orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih, berkelojotan di dalam darah mereka sendiri.

Dua puluh orang bajak menjadi panik. Seujung rambut pun mereka tidak pernah mengira akan terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut senjata dan mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik cepat melarikan diri dari situ.

Empat belas orang anak buah bajak yang tak tahu diri itu menggerakkan senjata mereka menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar kilat yang membuat mereka laksana buta karena tidak melihat lagi di mana adanya wanita yang hendak mereka keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh satu demi satu, tak dapat bangun kembali karena mereka telah tewas semua!

Piauwsu itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi siuman dan dengan susah payah merangkak keluar. Sampai di depan pintu dia masih sempat melihat empat orang kepala bajak tewas kemudian disusul dengan empat belas orang bajak yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali.

Kini dia hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tidak berpedang lagi karena pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dengan sikap dingin In Hong lalu menghampiri buntalannya, menyambar buntalan itu dan melangkah pergi.

"Lihiap...! Tunggu sebentar...!" Piauwsu itu berseru sambil memaksa dirinya untuk berlari menghampiri.

In Hong menoleh, matanya seakan bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu itu mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.

"Lihiap, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui nama besar lihiap...?"

"Kau urus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!"

"Baik, lihiap...!" Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari hadapannya!

Dia terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang melintang. Tak seorang pun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua mati dengan cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus oleh pedang. Dia bergidik.

"Cantik bagaikan Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!" Bergegas Piauwsu ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak mereka pergi dari situ dengan sebuah perahu karena kalau sampai sisa bajak-bajak itu datang kembali, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan mampu melindungi mereka.

Puas rasa hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina wanita! Andai kata tidak terjadi penghinaan terhadap diri tiga orang wanita itu, tentu dia tidak akan turut mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dalam hatinya dia berjanji akan terus menggunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka mempermainkan wanita!

Bukan semua pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik, misalnya pelayan restoran dan piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut dikagumi dan pelayan restoran itu ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat. Tidak, dia bukanlah pembenci pria seperti subo-nya atau seperti para bibi anggota Giok-hong-pang!

Dia tak akan memusuhi kaum pria secara membuta. Karena sering mendengar cerita para anak buah subo-nya, dia tahu bahwa kebanyakan pria adalah pengganggu wanita. Akan tetapi dia hanya akan menentang mereka yang sudah terbukti melakukan penghinaan terhadap kaum wanita.

Pengalaman di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah perkasa itu, menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh mengagumkan!

Sikap piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi Fen-ho Su-liong, melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar mengenai terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh dia ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana macamnya pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subo-nya diceritakan sebagai Pedang Kayu Harum yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya bokor emas yang terjatuh ke tangan subo-nya.

Karena gangguan perjalanan itu, hari sudah mulai gelap ketika dia tiba di kota Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki kota, dia benar-benar seperti orang dusun memandang ke kanan kiri penuh kagum melihat rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan keramaian kota yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Karena tidak dapat memilih, pada waktu melihat sebuah rumah penginapan, dia langsung masuk. Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di kota Tai-goan, akan tetapi karena dia tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan pertama yang dilihatnya.

Hampir dia tersenyum saat sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar. Di antara para tamu yang berseliweran di tempat itu dia melihat seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!

Hampir dia tersenyum ketika sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia melihat di antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!

Setelah mandi dan memesan makanan, lalu makan kenyang dan mengaso sambil duduk bersila dan berlatih siulian sebentar, In Hong lantas menutup pintu dan jendela, menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah bantal dan dia pun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu sampai padam sendiri setelah dia pulas.

Menjelang tengah malam dia mendengar ada suara napas orang di balik jendela! Dengan perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan memasuki kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun!

Dengan tenang In Hong cepat-cepat mengambil hawa murni melalui hidungnya sebanyak mungkin dan mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian kamar itu sudah penuh dengan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela terbuka dan In Hong membalikkan muka setelah melirik.

Lihai juga orang itu, pikirnya. Tentu dia mempunyai obat penawar asap beracun dan cara membuka jendelanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia sudah bersiap-siap. Biar pun dia kini membalikkan muka dan tidak melihat orang itu, namun dengan pendengaran telinganya dia dapat mengikuti segala gerak-gerik orang itu!

Apa bila orang itu hendak mengganggunya, tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan tetapi sungguh aneh sekali, orang itu sama sekali tidak memasuki kamar, hanya mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya di atas meja yang kebetulan berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu hanya seorang pencuri yang mengincar buntalannya!

In Hong tidak mau ribut-ribut sehingga menimbulkan geger dan menarik perhatian orang yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar buntalannya, dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun dengan hati-hati, memakai sepatunya secara cepat, kemudian sambil membawa pedangnya dia meloncat keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di sebelah belakang hotel itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang hotel, bayangan itu meloncat ke atas genteng dengan tubuh ringan.

In Hong terkejut sekali. Ketika bayangan itu menoleh, dari lampu di belakang hotel dia mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat cara orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan sampai kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya melesat naik melakukan pengejaran.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan melihat nona yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius nomor satu di dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan ginkang-nya, tubuhnya melesat cepat sekali seperti tukang ngebut.

Dia tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar aku si jago kebut, pikirnya. Akan tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah dan kembali berlari cepat, mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia mendengar bentakan halus,

"Maling sial, mau lari ke mana kau?!"

"Wah...!" Dia segera lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya, secara tiba-tiba dia menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan.

In Hong menjerit dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh itu atau akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika membalik, orang itu sudah lari lagi!

In Hong menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak, maka cepat dia membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata rahasia pasirnya itu, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan maling ini. Akan tetapi dia tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya perkara, mengapa maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia dapat menyusul.

"Kembalikan buntalanku!" bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk merampas.

Akan tetapi, tiba-tiba saja maling itu melemparkan buntalannya ke samping dan tubuhnya bergulingan kemudian tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus melompat dan lari sekuatnya! Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat melarikan diri lagi.

"Gila!" bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya melayang ke depan, sekaligus sudah menubruk dan dengan tangan kirinya dia menyambar buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak.

"Waduuuhhh...!" Orang tua itu memekik dan roboh terguling.

Buntalan itu berhasil dirampas kembali oleh In Hong. Maling itu merangkak bangun dan segera berlutut sambil berkata,

"Ampunkan saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci Sin-touw mengaku kalah dan bertemu dengan gurunya!"

Kemarahan di hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan minta ampun sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan begitu hebat. Jeng-ci Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Biar pun memang harus diakuinya bahwa maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan itu pun amat berlebihan.

Sebelum In Hong sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit berdiri, menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. "Saya memiliki mata akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi menjulang hingga ke langit, biarlah kegagalan ini menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas pengampunan lihiap. Permisi!"

Dia kemudian membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat In Hong sudah menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang itu hingga untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting.

"Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?" Maling tua itu berteriak.

"Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!" In Hong mengangkat tinggi buntalannya. "Begini ringan, tentu ada yang kau ambil dari dalamnya. Hayo kembalikan!"

Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya terasa sakit, juga amat kecewa karena wanita muda yang cantik ini ternyata tidak dapat diakali. Dengan wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel.

"Celaka tiga belas! Benar saja makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dengan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran saya, di dalam kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dengan jerih payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka."

In Hong terkejut dan kagum sekali. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari dan dikejarnya. Tetapi bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu bisa menduga hampir persis jumlah isinya!

"Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Kenapa engkau menggunakan asap beracun di kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"

"Apa artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!" Maling itu masih hendak mengelak.

"Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Kenapa kau lakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?"

Maling itu menarik napas panjang. "Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah kini awakku sudah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan! Baiklah, harap lihiap dengarkan baik-baik pengakuanku ini. Nama saya Can Pouw dan dijuluki orang Jeng-ci Sin-touw. Di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah..."

"Jangan memutar balikkan omongan, pakai kata-kata mempergunakan kesempatan selagi orang lengah, bilang saja pencopet!" In Hong membentak tak sabar.

"Yaahhh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling yang istilahnya menggunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh bedanya dengan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dengan paksa, berbeda dengan kami yang bekerja dengan cara halus tidak mau menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak pernah tahu siapa yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan halus...?"

"Cerewet! Kau ingin main-main dengan aku, ya?" In Hong menghunus sedikit pedangnya dan tampak sinar berkilat.

"Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya tadi? Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, tadi saya terpaksa menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang yang amat lihai. Siapa sangka, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas sepuluh orang itu agaknya hanya merupakan minyak wangi saja bagi lihiap. Dasar saya yang sialan!"

"Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?"

"Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti betapa jauhnya pun?"

"Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?" In Hong membentak, semakin tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.

"Ehh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang..."

"Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!" In Hong membentak tidak sabar.

"Iya, iya... jika seorang pencopet atau maling tangan panjang melihat calon korban yang membawa barang-barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... ehh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tak berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!"

"Mereka telah mampus semua!" In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini.

Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya tentu akan mampus juga. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani mengganggu harimau betina..."

"Hayo ceritakan, mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!"

Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini. "Huh! apa-apaan lagi engkau ini?"

"Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada tujuh orang..."

Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya.

"Nah, kau terimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan mala petaka kepadamu!" In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ.

"Heiiiii... lihiap, tungguuuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai berita yang lebih penting lagi"

Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum. "Bukan main kehebatan ginkang dari lihiap."

"Hayo ceritakan, berita apakah itu?"

"Lihiap begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."

Mendengar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini tentu tidak main-main lagi. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu. Sesungguhnya karena saya telah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu lihiap dengan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali, dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguh pun ngeri saya membayangkan betapa gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah saja saya menduga bahwa tentu lihiap adalah seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."

"Dugaanmu memang benar, paman Can Pouw. Aku merupakan murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang."

"Paman...? Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!" Kakek itu kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di malam itu.

"Mengapa?" In Hong terheran.

"Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang? Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia..."

"Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?"

"Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya pedang pusaka Siang-bhok-kiam, bukan?"

In Hong terkejut. Dia memang tertarik dengan urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang dicuri orang itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar