Petualang Asmara Jilid 24

"Subo, ada kabar penting sekali dan apa bila Subo tidak cepat-cepat turun tangan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang."

"Hemm, ceritakanlah."

"Akah tetapi, sebelumnya teecu minta agar Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo."

"Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku."

"Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apa lagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi ganjalan hati teecu dan sekarang tiba saatnya teecu menebus kesalahan itu. Sesungguhnya, dahulu ketika Subo membunuh orang-orang Pek-lian-kauw dan mengalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo sudah berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?"

Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya. "Aku sudah tidak ingat lagi, muridku."

"Biar pun begitu, teecu tetap hendak mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dulu telah menemukan bokor emas."

Bu Leng Ci meloncat bangun. "Mengapa baru kau ceritakan sekarang? Di manakah dia?" Siluman betina itu membentak.

"Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Sesudah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!"

"Apa?!"

"Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo cepat pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu."

"Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!" Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.

Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di pulau itu, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng Pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi-eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.

"Mundur semua!" Bu Leng Ci berteriak.

Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu, dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka benar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.

Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di hadapan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipit kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan setelah melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia lantas menjura sambil bertanya,

"Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"

"Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

"Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang kawanku Song Kin dan Kwi Siang Han. Kami hanya sedang melaksanakan tugas mencari sesuatu, karena itu kami datang untuk menemui Kwi-eng Pangcu hendak menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng Pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!"

"Kalian utusan siapa?"

"Utusan Panglima Besar The Hoo..."

"Hemmm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)?"

"Benar."

"Dan yang kau cari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?"

Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga. "Kau tahu...?"

"Siapa yang tidak mendengar tentang hal itu? Engkau percuma saja mencari di sini, dan kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira kami telah mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kau kira kami takut kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu itu!"

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk sesat dan dia sudah tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-ouw, dan terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja harus mempertahankan nama dan kehormatannya, kakek ini pun tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri.

"Siang-tok Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu lawan satu atau mau mengeroyok!"

Tio Hok Gwan adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai pengalaman banyak sekali, maka biar pun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, akan tetapi sekali mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk dikeroyok dan hal ini tentu saja menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai seorang datuk! Karena itu dengan muka merah wanita itu membentak,

"Manusia sombong! Perlu apa mengeroyokmu? Kedua tanganku sudah lebih dari cukup untuk membunuhmu!"

Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat. Dua lengannya meluncur seperti dua ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke arah pusar, sedangkan kepalanya digerakkan sehingga rambutnya yang panjang itu menyambar pula ke arah leher!

"Hemm... perempuan ganas!" Tio Hok Gwan berseru, menangkis kedua tangan lawan dan sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat menarik kembali rambutnya.

"Dukkk!"

Dia menangkis dan keduanya kaget bukan main. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja, ada pun Tio Hok Gwan merasa betapa lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kekuatannya dengan tenaga lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.

Terjadilah pertandingan yang sangat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang, gerakannya juga cepat bukan main hingga pukulan itu menerbitkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap serangan lawannya dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Diam-diam Yo Bi Kiok menonton dengan hati kagum sekali terhadap ilmu kepandaian Si Pengantuk itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia dapat melihat dengan hati terkejut bahwa dalam hal kekuatan sinkang subo-nya masih kalah setingkat melawan kakek itu!

Para anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani bergerak dan mereka memandang dengan mata kabur dan kepala pening, oleh karena bagi mereka gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang mata. Juga kedua orang pembantu Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya menonton dengan hati tegang.

Pertandingan itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa tingkat mereka tak banyak selisihnya, sungguh pun gaya limu silat mereka jauh sekali bedanya, seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, apa bila Tio Hok Gwan sebagai seorang gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian, sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga hanya jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.

"Plak-plak-desss... aihhh...!"

Pertemuan dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu akhirnya membuktikan bahwa tenaga sinkang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu Leng Ci menjerit ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar darah yang mengalir dari ujung bibir.

"Singgg...!"

Tampak sinar berkilat pada saat pedang samurai telah dicabutnya dan kini dengan kedua tangan memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang sambil memekik nyaring mengerikan, "Haaiiittt...!"

Terpaksa Tio Hok Gwan meloncat dengan amat cepatnya, menggunakan ginkang untuk menyelamatkan diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Pada saat melihat betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya. Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetuinya bukan sembarang sabuk, karena itu adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut) yang terbuat dari baja biru yang amat kuat!

Pengawal Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima sakti itu berlayar mengelilingi dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan barat dan dia pandai memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya pada waktu dia mengikuti rombongan panglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan menjadi sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat digunakannya dengan baik, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan di pinggang seperti sebuah sabuk!

"Trang-trang-cring...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis joan-pian di tangan Tio Hok Gwan. Biar pun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis, tapi dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu.

Bu Leng Ci memang seorang ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua, seorang pendekar samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di tangannya berkelebat ke sana-sini sangat mengerikan, bagaikan halilintar menyambar-nyambar di angkasa.

Akan tetapi Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan samurai Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, karena itu dia dapat mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Sungguh pun senjatanya itu kalah kuat serta kalah berat, dia mampu menutup kerugiannya ini dengan kemenangan dalam kecepatan.

"Tringgg... tringg...!"

Cepat sekali pertemuan kedua senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring. Akan tetapi wanita ini dapat mencelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir dari mulutnya lebih banyak lagi. Ada pun Tio Hak Gwan yang terluka pundaknya oleh ujung samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song Kin. Lukanya hanya luka kulit yang ringan saja.

Akan tetapi Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih berat, karena selain tadi sebelum mempergunakan senjata dia telah terkena hantaman angin pukulan lawan, tadi baru saja pinggangnya juga kena disambar joan-pian sehingga dalam dadanya terasa sakit, tanda bahwa sinkang yang dia pergunakan untuk melindungi tubuh masih kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.

Ada pun Tio Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura sambil berkata, "Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk memberi tahu tentang bokor agar aku memiliki bahan untuk dilaporkan kepada The-tai-ciangkun."

"Ban-kin-kwi, apakah kau masih tidak percaya omonganku? Tadi aku sudah mengatakan bahwa kami tidak tahu-menahu mengenai bokor emas yang hilang, apa lagi melihatnya! Kalau kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai salah seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!"

Tio Hok Gwan menjura. "Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah." Ia memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, menuiu ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka mendayung perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.

Sambil menahan rasa nyeri di dadanya Bu Leng Ci lalu memanggil para murid kepala dan lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata, "Pemuda yang kalian tawan itu adalah seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu, untuk menjaga agar dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang Hwi Nio tidak berada di rumah, aku yang akan menjaganya dan membawanya ke pulau. Hayo bawa aku kepadanya!"

Tentu saja para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah. Mereka percaya penuh kepada wanita iblis ini, apa lagi baru saja mereka melihat sendiri betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan yang amat lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana Kun Liong masih rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.

Bu Leng Ci cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, lalu mengempit tubuh yang selain dalam keadaan tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu kemudian mendayung perahu kembali ke pulaunya sendiri.

Ketika Kun Liong siuman, dia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa tadi dia ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng Pangcu yang cantik. Kemudian dia setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu. Tahu-tahu kini dia sudah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu duduk dua orang wanita memandangnya penuh perhatian.

Kun Liong mengangkat muka dan memandang wajah dua orang itu, dan diam-diam dia mengeluh ketika mengenal wajah wanita pendek yang tersenyum mengejek kepadanya itu. Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis betina itu duduk seorang dara cantik yang bersikap dingin.

"Mengapa aku dibawa ke sini...?" Dia berkata dan menahan keinginan memanggil nama Yo Bi Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau saja dia tidak ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya yang kejam.

Akan tetapi betapa kaget dan herannya pada saat dia mendengar suara Bi Kiok berkata kepadanya, "Yap Kun Liong, Subo sudah mengenalmu sebagai anak yang menemukan bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan di mana kau simpan bokor itu agar Subo dapat mempertimbangkan pengampunan bagi nyawamu!"

Berkerut alis Kun Liong. Hemm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya. Wajahnya memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan matang setelah dewasa, akan tetapi wataknya sudah berubah.

Dia tidak mengharapkan agar dara ini membantunya atau menolongnya. Satu kali Bi Kiok menolongnya sudah cukup baginya dan dia tidak mengharapkan terus-menerus ditolong. Akan tetapi, yang membuat hatinya kecewa bukan karena dara itu tidak menolongnya, melainkan melihat perubahan itu.

Agaknya Bi Kiok bukan hanya mewarisi kepandaian gurunya, akan tetapi juga wataknya. Siapa lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas itu kepada Bu Leng Ci? Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan bokor emas dan yang mungkin melarikan bokor itu pada waktu Phoa Sek It, bekas Pengawal Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.

Kun Liong tersenyum lebar. "Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja."

"Ihhh...!" Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.

Wajah Yo Bi Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang bibir itu tergetar. "Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo. Katakan saja di mana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana..."

"Katakan saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat di mana bokor disembunyikan.

Sedikit sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak berubah. Masih Bi Kiok yang dulu, walau pun kini lebih cantik manis, lebih dewasa dan kelihatan dingin pendiam, namun hatinya masih seperti dulu.

Mengertilah dia sekarang kenapa dara itu membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia berada di dalam cengkeraman Bu Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara itu mengemukakan persoalan bokor untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan untuk memberi kesempatan padanya agar bisa membebaskan diri, maka dara itu mengusulkan supaya dia membawa mereka ke tempat bokor disembunyikan. Jelas semuanya!

Dalam keadaan tertotok dan terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin baginya untuk melepaskan diri. Akan tetapi kalau sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa, bangkit merangkul dan mencium gadis itu!

Kun Liong tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia berkata, "Bi Kiok, meski pun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu, meski pun gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman Siang-tok Mo-li akan dapat membujukku atau menakutkan aku!"

"Kun Liong...!" Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.

"Bedebah, apa kau minta kusiksa dulu?" Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.

"Ha-ha-ha! Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau bergegas memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!" Mendadak terdengar suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di sana sudah muncul seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk.

Melihat kakek ini, Kun Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai di hutan semalam! Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan yang kemudian hendak membunuhnya. Kakek yang aneh dan sangat lihai, yang dianggapnya sebagai orang gila!

Kiranya kakek itu terus mengikutinya karena agaknya tahu akan semua pengalamannya, betapa dia ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu, dan betapa dibawa ke pulau ini oleh Bu Leng Ci, semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang terus mengikuti dirinya!

Sementara itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar itu, seketika wajahnya berubah pucat.

"Toat Beng Hoatsu...!" teriaknya dan tangannya meraba gagang samurai.

Mendengar disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama ini, nama datuk nomor satu dari sekalian datuk golongan sesat! Ternyata kakek yang dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Karena itu dia memandang penuh kekhawatiran sebab ia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek itu memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!

"Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?" Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke luar pintu. Ke mana perginya para pelayannya?

"Ha-ha-ha-ha, kau mencari ini?" Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan benda hitam ke atas lantai.

Benda itu berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya saking ngeri dan tegang ketika melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala manusia, agaknya rambut wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang berdarah. Agaknya rambut-rambut itu sudah dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh orang wanita!

"Ihhh...!" Bi Kiok sendiri yang sudah mempunyai ketabahan luar biasa menjadi pucat dan ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu sudah mengalami kematian yang luar biasa mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala sampai terkupas dari kepalanya.

"Singggg...!" Bu Leng Ci mencabut samurainya.

"Toat-beng Hoatsu, mengapa kau melakukan hal ini? Apakah di antara kita sekarang ada pertentangan dan menjadi musuh?"

"Ha-ha-ha, sama sekali tidak, Siang-tok Mo-li. Terserah kepadamu... he-heh-heh, terserah kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki supaya bocah gundul ini bersama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas kusebut kawan."

"Keparat!”

“Singgggg...!" Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan sangat mudahnya Toat-beng Hoatsu mengelak.

"Hemmm, sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau sudah terluka parah, perlu apa melawanku?"

"Aku masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!" Bu Leng Ci kembali menyerang dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya, maka saat dia menggerakkan samurai dengan pengerahan sinkang dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung roboh.

"Toat-beng Hoatsu, akulah lawanmu!"

Tiba-tiba Bi Kiok menerjang dengan pedangnya. "Subo, mengasolah!"

Serangan pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali, berdesing menyambar ke arah leher kakek itu. Toat-beng Hoatsu terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih lihai dari pada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.

"Hemmm, siapa kau?"

"Orang menyebutku Giok-hong-cu!" jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.

"Ha-ha-ha, kiranya murid Bu Leng Ci? Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apa lagi engkau? Ha-ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!"

Pada saat pedang Bi Kiok menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan mengelak dari kakek itu kurang cepat sehingga pedangnya masih mengenai pinggir dada. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja jubah itu terlepas dari tubuh Toat-beng Hoatsu dan sekali kakek itu menggerakkan jubah, pedangnya yang tadi menusuk jubah itu dipaksa terlepas dari tangannya!

Inilah kelihaian Toat-beng Hoatsu yang memang tidak pernah mempergunakan senjata kecuali jubahnya. Jubahnya adalah senjata yang sangat ampuh, bahkan selagi jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah pengalaman itu. Memang pedang gadis itu tadi sengaja ‘diterimanya’ dengan jubahnya yang tertusuk, namun sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!

"Aihhh...!" Bi Kiok berseru kaget.

Pada saat itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah itu cepat menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng Hoatsu memukul.

"Dukkk!"

Bu Leng Ci yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul lehernya dan dia roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu dengan mata mendelik penuh kebencian.

Melihat gurunya roboh, Bi Kiok amat marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan kosong. Tetapi serangannya segera disambut oleh sambaran jubah yang mendatangkan angin keras sehingga gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.

"Ha-ha-ha, kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk, harus dibikin buruk dahulu!" Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoatsu memegang pedang rampasan tadi dan melangkah maju hendak merusak muka Bi Mok. Gadis itu sudah tidak berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.

"Tahan dulu, Toat-beng Hoatsu!" Kun Liong berteriak dari tempat dia berbaring. "Engkau menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?"

Pedang itu berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.

"Kalau kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kau pukul mampus, aku tidak akan sudi memberi tahukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!"

Kakek itu tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Pemuda gundul! Kau jatuh cinta kepada dara ini, ya?"

Muka Kun Liong menjadi merah. "Tidak usah banyak cakap. Bebaskan dia dan kau akan kuantar ke tempat penyimpanan bokor. Bagaimana?"

Kakek itu menggerakkan tangan kirinya, pedang rampasan meluncur lantas menancap di atas lantai, hanya berselisih setengah jengkal saja dari pipi Bi Kiok!

"Huh, kau masih beruntung, bocah kurang ajar. Lain kali akan kubuntungi hidungmu dan kedua daun telingamu, dan hendak kulihat, apa yang akan dapat dilakukan oleh gurumu, biar pun dia dalam keadaan tidak terluka."

Kakek itu lalu menyambar tubuh Kun Liong, dikempitnya dan dia hendak pergi dari situ.

"Toat-beng Hoatsu, manusia pengecut!"`Bu Leng Ci berteriak marah. "Kau datang ketika aku terluka! Coba kau datang lagi kelak kalau aku sudah sembuh!"

Kakek itu menoleh dan tertawa. "Heh-heh-heh, boleh saja!"

"Kau sudah mengkhianati kerja sama lima datuk!" Bu Leng Ci yang merasa marah dan kecewa sekali melihat Kun Liong dirampas, kembali menyerang dengan kata-kata penuh kebencian.

"Huhh! Siapa sudi melanjutkan persekutuan busuk itu? Pek-lian-kauw membiarkan dirinya diperalat oleh anjing-anjing asing bermata biru. Siapa yang sudi? Boleh saja aku melawan pemerintah, akan tetapi aku tak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan mengekor kepada orang-orang asing!" Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan lenyap dari situ.

"Subo...!" Bi Kiok menghampiri gurunya dan membantu gurunya bangun.

"Hemm... sayang aku terluka dan harus menyembuhkan lukaku lebih dulu, Si Keparat Tio Hok Gwan yang menjadi gara-gara! Kalau aku tidak luka, andai kata tikus tua itu berhasil miarikan Kun Liong, aku masih dapat membayanginya."

"Teecu rasa tempat itu tentulah di sekitar daerah Sungai Huang-ho. Teecu akan mencoba untuk menyelidiki dan membayanginya."

"Hemnm, kau bukan lawannya. Biar kita pergi bersama dan sambil melakukan perjalanan aku mengobati lukaku. Perjalanan ke Sungai Huang-ho sangat jauh dan memakan waktu lama, masih banyak waktu bagiku untuk menyembuhkan diri dan turun tangan kalau tikus tua itu benar-benar dapat menemukan tempat persembunyian bokor itu."

Dengan dibimbing oleh muridnya, Siang-tok Mo-li meninggalkan pulau itu dan mereka lalu menggunakan perahu untuk mendarat. Tentu saja kakek itu sudah tidak nampak lagi dan sebelum meninggalkan Telaga Kwi-ouw, Bu Leng Ci singgah dahulu di pulau besar dan menyuruh murid-murid kepala Kwi-eng-pang untuk mengurus mayat-mayat ketujuh orang pelayannya yang semua tewas dengan kepala terkupas bersih, juga minta agar mereka menyampaikan kepada Ketua Kwi-eng-pang kalau Kwi-eng Niocu pulang bahwa tawanan itu telah dirampas dan dibawa pergi oleh Toat-beng Hoatsu…..

********************

Mereka berjalan berdampingan menuruni bukit itu. Kelihatan bagaikan dua orang sahabat baik, atau lebih pantas lagi seorang kakek dengan cucunya yang sedang bergegas pulang ke kampungnya, kalau saja orang tidak melihat bahwa kedua tangan pemuda gundul itu terbelenggu!

Melakukan perjalanan berhari-hari di samping Toat-beng Hoatsu amat melelahkan tubuh dan hati Kun Liong. Dia tidak kekurangan makan karena setiap kakek itu berhenti makan atau minum, dia selalu mendapat bagiannya. Akan tetapi kakek itu berwatak aneh bukan main, kadang-kadang sampai sehari penuh tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata dan dia sama sekali tidak dipedulikan. Hal ini amat mengesalkan hatinya.

Dia tahu bahwa bila kakek ini kumat gilanya, kemungkinan besar dia akan dibunuh begitu saja tanpa sebab! Bukan sekali-kali karena dia merasa takut akan hal ini, hanya dia tahu bahwa masih banyak hal yang harus dia lakukan di dalam hidupnya sebelum mati konyol begitu saja.

Ayah bundanya belum diketahuinya berada di mana. Tugas yang diberikan oleh mendiang gurunya, Tiong Pek Ho-siang, untuk mendapatkan kembali dua buah kitab Siauw-lim-pai yang hilang juga belum dia penuhi. Oleh karena itu dia harus berpikir seratus kali sebelum memancing bahaya kematian di tangan kakek aneh, datuk nomor satu kaum sesat itu!

"Toat-beng Hoatsu, engkau adalah datuk nomor satu yang terkenal, bahkan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mempunyai ilmu kepandaian dahsyat itu pun sama sekali bukan tandinganmu. Akan tetapi, mengapa kau sekarang membawaku dengan kedua tanganku terbelenggu?" Akhirnya Kun Liong tidak mampu menahan diri untuk berdiam lagi karena melakukan perjalanan ada kawannya akan tetapi bersunyi seperti ini sangat melelahkan tubuh dan mengesalkan hati.

Kakek itu melirik kepadanya, akan tetapi tidak menjawab, dan mempercepat langkahnya. Terpaksa Kun Liong juga mempercepat langkahnya, karena dia tidak mau ditampar lagi kepalanya seperti kemarin dulu ketika dia mogok berjalan, kepalanya ditampar dua kali. Tamparan itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi batinnya yang sakit. Apa lagi kalau dia mengingat betapa kepalanya itu pernah diciumi oleh seorang gadis! Kepalanya itu sangat berharga, tentu dia tidak rela kalau sekarang dijadikan sasaran tamparan!

"Toat-beng Hoatsu," Kun Liong berkata lagi dengan nekatnya. "Engkau mengingatkan aku akan Kongkong-ku (Kakekku)."

Kembali kakek itu melirik tanpa menjawab.

"Aku tidak pernah mengenal kakekku, baik kakek dalam (ayah dari ayah) atau kakek luar (ayah dari ibu), akan tetapi kalau mereka itu masih hidup, tentu setua engkau. Berjalan denganmu, aku merasa seperti berjalan dengan seorang kakekku."

Karena Toat-beng Hoatsu sama sekali tidak menjawab, tapi kelihatannya memperhatikan, Kun Liong bertanya lagi, "Apakah engkau tidak mempunyai cucu? Anak? Atau keluarga lain seorang pun? Apakah engkau hanya hidup seorang diri, sebatang kara di dunia yang ramai penuh manusia ini?"

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu sudah siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Meski pun kedua pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi jika hanya untuk membela diri saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek itu karena memang dia sudah berjanji untuk membawa kakek itu ke tempat dia menyimpan bokor!

"Duduk!" Kakek itu berkata dengan nada memerintah.

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata,

"Kau ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik."

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama sejati, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di suatu kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, sungguh pun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan membuat aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Namun aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan dalam usia tiga puluh tahun aku menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia."

Kun Liong mendengar dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada seorang pun manusia yang bersalah dalam mala petaka yang telah menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?"

"Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci terhadap setiap manusia, membenci kebahagiaan mereka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih-pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!"

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa mala petaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuat dia menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biar pun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

"Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"

"Kau juga manusia!"

"Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kau belenggu?"

"Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau mempunyai kepandaian lumayan. Jika kulepaskan belenggu itu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!"

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang kakek itu dengan dua mata terbelalak penuh kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kini kau telah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku dari pada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli engkau membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!"

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus membunuhmu!"

Kun Liong menggerakkan hidungnya. "Huhh! Kau kira begitu mudah, Toat-beng Hoatsu? Biar pun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!"

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia kemudian menurunkan kembali tangannya sambil menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"

"Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang sangat patut dikasihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin memperebutkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusaka? Tentu semua itu tidak akan dapat mencegah kematian karena usia tua!"

"Cerewet, hayo jalan lagi!"

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam di dalam lamunannya. Percakapan tadi sangat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan yang lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andai kata dia betul-betul kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka hingga menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian?

Kini jelaslah tampak olehnya bahwa ketergantungan terhadap sesuatu akan menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain mau pun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Sebab mengikatkan diri sama artinya membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apa bila tiba saatnya sesuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

Kenapa kita sampai terikat oleh sesuatu? Karena kesenangan! Keluarga kita, harta benda kita, nama baik dan kedudukan kita, kemuliaan kita, semua mendatangkan kesenangan, kenikmatan, kepuasan dan kita ingin agar semua itu tetap kekal bersama dengan kita! Karena itu kita mengikatkan diri jiwa raga kepada semua yang menimbulkan kesenangan kita, baik jasmaniah mau pun batiniah.

Dan sekali terkait, sekali yang kita senangi itu berakar di hati, bila tiba saatnya dipisahkan dari kita dan ini pasti akan terjadi sebab tidak ada yang kekal dalam setiap keadaan, akan selalu berubah, maka perpisahan itu akan menimbulkan penderitaan karena akar yang direnggutkan itu menimbulkan ikatan di hati.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Kalau kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari ikatan, berarti kita takkan bebas karena tindakan itu merupakan paksaan, merupakan perbuatan pura-pura dan munafik. Akan tetapi kalau persoalan derita yang timbul karena ikatan ini kita sadari benar-benar, kita mengerti pokok pangkalnya, pengertian ini sendiri akan bertindak membebabskan kita…..

********************

Pada suatu pagi mereka tiba di suatu lembah Sungai Huang-ho yang merupakan daerah tandus penuh dengan pasir. Pasir-pasir ini tadinya terbawa oleh banjir, dan oleh karena banyaknya dan seringnya, membuat lembah sungai itu seperti sebuah padang pasir yang tandus!

Selagi mereka berdua berjalan dengan kepala tunduk, menuju ke utara ke arah Sungai Huang-ho untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu seperti yang diusulkan Kun Liong karena dia hanya dapat mengenal tempat itu kalau melakukan perjalanan dengan perahu, tiba-tiba di tempat sunyi itu muncul Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok.

Kakek itu menyeringai dan mengejek, “Wah, nyawamu ulet juga!”

“Toat-beng Hoatsu!” Bu Leng Ci membentak sambil mencabut samurainya.

Ternyata wanita ini sudah sembuh sama sekali, pikir Kun Liong yang menonton dengan hati tertarik.

“Bocah ini akulah yang menemukannya. Bagaimana mungkin aku membiarkan engkau membawanya begitu saja? Serahkan dia kepadaku!”

“Heh-heh-heh, kalau tidak kuberikan?”

“Aku akan memaksamu dengan samuraiku!”

“Hemm, boleh coba!” kata kakek itu sambil melepaskan kancing-kancing jubahnya yang berarti bahwa dia telah siap dengan ‘senjatanya’.

Bu Leng Ci cepat menggerakkan samurainya dan dua orang datuk ini sudah bertanding dengan hebat dan serunya. Sekarang barulah Bu Leng Ci dapat mengadakan perlawanan setelah luka dalam di tubuhnya sembuh dan ternyata oleh kakek itu bahwa kepandaian wanita ini benar-benar dahsyat, pantas menjadi saingannya dalam kedudukannya sebagai datuk.

Bu Leng Ci sekarang benar-benar mengeluarkan kepandaiannya, dan serangannya tidak hanya terbatas pada pedang samurainya, akan tetapi juga dibantu oleh sambaran rambut dan kadang-kadang tangan kirinya menyambitkan Siang-tok-soa, pasir berwarna hijau yang berbau harum akan tetapi mengandung racun jahat itu.

“Kun Liong, mari lari bersamaku!” Bi Kiok meloncat ke dekat Kun Liong.

Kun Liong berseru kepada kakek yang sedang bertanding itu, “Toat-beng Hoatsu, karena keadaan, terpaksa kita berpisah di sini! Bukan berarti aku melanggar janji!”

“Kalau begitu mampuslah!”

Saat itu Bi Kiok sudah menarik lengan Kun Liong dan tiba-tiba tubuh kakek itu menerjang Bu Leng Ci dan langsung meloncat tinggi ke atas ketika lawannya mundur oleh terjangan jubah yang dahsyat itu, kemudian dari atas dia melayang ke arah Bi Kiok.

“Desss! Desss!”

Bi Kiok terhuyung oleh angin sambaran jubah, akan tetapi jubah itu membalik ketika Kun Liong mengangkat lengannya yang terbelenggu itu untuk menangkis.

Bu Leng Ci sudah menyerangnya lagi dengan hebat sekali, memaksa Toat-beng Hoatsu melayaninya, ada pun Bi Kiok sudah menggandeng tangan Kun Liong dan mereka berdua cepat lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong hanya menurut saja. Mereka berlari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu-batu karang, kemudian Bi Kiok membawanya masuk ke sebuah goa di antara batu-batu karang.

"Kita menanti di sini..." Gadis itu berbisik sambil terengah-engah.

Hatinya masih tegang karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoatsu, kalau Kun Liong tidak menangkis jubah itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar