Petualang Asmara Jilid 06

Kun Liong merintih lirih kemudian membuka matanya. Melihat daun semak-semak belukar menyelimuti dirinya, ia teringat dan seketika ia menghentikan rintihannya, menahan derita yang amat hebat, yaitu rasa gatal-gatal pada kepalanya. Ia bangkit duduk dan mengintai dari dalam semak-semak, melalui celah-celah antara daun-daun.

Tidak tampak sesuatu! Hari sudah menjelang senja dan suasana di hutan itu sunyi sekali. Kun Liong melupakan rasa gatal pada kepalanya, lalu dengan hati-hati dia bangkit berdiri, keluar dari semak-semak, dan berindap-indap dia menuju ke tempat yang ditinggalkannya tadi. Sunyi di situ, dan tidak ada seorang pun, baik yang hidup mau pun yang mati.

Tidak tampak lagi semua penduduk dusun yang tadi menjadi korban, dan kakek berjuluk Ban-tok Coa-ong yang mengerikan tadi pun tidak tampak lagi, demikian pula anak laki-laki berambut panjang yang melepas jarum.

Jarum! Teringat ini, Kun Liong meraba tengkuknya dan benar saja, di situ masih tertancap sebatang jarum kecil, masuk ke dalam daging tengkuk sampai setengahnya. Cepat Kun Liong mencabut jarum itu, dan ketika melihat jarum merah itu maklumlah dia bahwa jarum itu mengandung racun yang amat berbahaya. Dengan jijik dibuangnya jarum itu ke dalam semak-semak.

Ke mana perginya mereka? Rasa heran ini menambah gatal-gatal pada kepalanya dan Kun Liong tidak dapat menahan lagi. Dengan kedua tangannya, digaruknya kepala yang sangat gatal itu dan... dia terbelalak sesudah mengeluarkan teriakan kaget, memandang rambut kepalanya yang kini berada di antara sepuluh jari tangannya! Begitu kepalanya digaruk, semua rambutnya tontok!

Dirabanya kepalanya, dan pada bagian yang ada rambutnya, begitu dipegang, langsung rambut-rambutnya rontok semua seperti tanaman layu yang akarnya sudah membusuk. Dengan mata masih terbelalak lebar dia mengelus-elus kepala dengan kedua tangannya. Kepalanya menjadi licin bersih, tak ada selembar pun rambut yang masih tumbuh, semua rontok. Dia meraba alisnya. Masih lengkap. Hanya rambut pada kepala saja yang rontok semua.

"Ahhh... tidaaaakkk...!" Kun Liong berseru dan berlari-lari mencari air jernih.

Setelah ia melihat air tergenang di bawah sebatang pohon, sisa air hujan kemarin, cepat dia berlutut dan melihat bayangannya sendiri. Matanya terpentang lebar dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Kepalanya sudah gundul pelontos! Lebih bersih dari pada kepala seorang hwesio!

"Ahhhh... mengapa...?" Dia meraba-raba kepala dengan tangan kanan, dan mengusap air mata dengan tangan kiri.

Tentu saja Kun Liong tak akan mengerti karena peristiwa itu terjadi pada saat dia masih pingsan, terjadi di dalam tubuhnya dan yang biar pun membawa akibat lenyapnya semua rambut di kepala, akan tetapi sesungguhnya sudah menyelamatkan nyawanya!

Di dalam tubuhnya terdapat semacam racun anti racun ular yang dicampur obat dan sejak dia kecil, oleh ibunya sering kali diminumkannya. Ketika dia digigit ular sampai di tujuh tempat, racun ular tidak mampu melawan racun dalam tubuhnya, dan ular racun ular itu berkumpul saja di tempat gigitan.

Sesudah Ouwyang Bouw, putera Ban-tok Coa-ong, menyambit tengkuknya dengan jarum merah hingga racun jarum merah itu memasuki tubuhnya, maka bertemulah tiga macam racun dan terjadi perang tanding di antara tiga macam racun yang amat hebat itu. Sudah menjadi kenyataan bahwa betapa pun jahatnya, namun sifat racun dapat berubah ketika bertemu dengan racun lainnya, dapat menjadi obat.

Maka, pada saat tiga macam racun itu bertemu di dalam tubuh Kun Liong, tiga racun itu berubah menjadi ramuan yang dahsyat, menjadi semacam obat kuat tiada taranya dan tiada seorang pun manusia yang tahu karena bertemu secara kebetulan, dengan ukuran yang tepat, atau terlalu keras sedikit sehingga akibatnya, rambut kepala Kun Liong rontok semua, akan tetapi tubuhnya terbebas sama sekali dari pengaruh racun, bahkan di luar tahunya sudah tercipta semacam kekuatan dahsyat di dalam tubuh anak ini!

Hanya sebentar saja Kun Liong dilanda kekagetan dan penyesalan karena kehilangan rambut di kepalanya. Dia sudah bangkit lagi dan teringat betapa dia sudah menimbulkan mala petaka kepada penduduk dusun, Kun Liong tidak berani kembali ke dusun. Apa lagi rambut kepalanya sudah menjadi habis seperti itu. Dia lalu melarikan diri meninggalkan hutan itu dan mengambil jurusan timur, tidak berani ke utara di mana terletak dusun itu. Dia melarikan diri berlawanan dengan matahari yang sudah condong ke barat.

Sambil berjalan secepat mungkin, pikirannya penuh dengan peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya. Dia maklum bahwa Ban-tok Coa-ong adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali, jauh lebih lihai dari pada kepandaian Loan Khi Tosu, memiliki watak yang lebih aneh lagi, aneh menyeramkan seperti orang gila!

Akan tetapi, kalau dia teringat akan ucapan kakek itu ketika membandingkan watak ular dengan watak manusia, diam-diam dia menjadi bingung karena mau tidak mau dia harus membenarkan bahwa watak ular atau binatang apa pun juga jauh lebih wajar dan bersih dari pada watak manusia. Bahkan ketika barisan ular itu menyerang penduduk, mereka bergerak bukan karena memang memusuhi manusia, melainkan karena terpaksa akibat pengaruh bunyi terompet yang ditiup oleh seorang manusia pula! Bukan ular-ular itu yang berniat membunuh manusia, melainkan manusia yang berjuluk Ban-tok Coa-ong itulah. Betapa kejamnya manusia! Betapa kejinya!

Dan alangkah anehnya pengalaman berturut-turut yang menimpa dirinya. Mula-mula dia berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw, itu sudah hebat. Disusul dengan pengalamannya dikeroyok penduduk yang hampir saja merenggut nyawanya pada saat dia tanpa sengaja menimbulkan kebakaran, pengalaman yang lebih hebat lagi di mana dia hampir saja mati. Kemudian, dia bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan pengalaman ini benar-benar amat luar biasa dan dia sendiri tidak tahu mengapa dia masih dapat hidup sampai detik ini, dan hanya rambut-rambutnya yang rontok.

"Hemmm, masih untung!" Kun Liong berkata dan hatinya yang tadi terasa berat karena memikirkan rambutnya habis, kini menjadi agak ringan. "Rambut bukan nyawa dan tanpa rambut aku masih hidup!"

Pengalaman-pengalaman itu mempertebal keyakinannya bahwa manusia menjadi kejam karena kekuatannya. Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak memiliki kepandaian?

Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak sanggup melawan, dan yang demikian itu bukanlah mengalah namanya, melainkan pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut!

Pengecut demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.

Walau pun masih kecil, Kun Liong sudah banyak dijejali pelajaran tentang hidup, banyak sudah membaca kitab filsafat. Akan tetapi, karena dia masih kecil, maka dia belumlah terpengaruh benar oleh segala macam pelajaran kebatinan itu hingga dia masih memiliki kebebasan, sehingga dia tidak menjiplak begitu saja tetapi membuka mata dan telinganya menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang dialaminya. Pikiran-pikiran itu sama sekali tidak membuat dia menjadi bingung dan berat sebelah.

Dia melihat kenyataan bahwa tidak semua orang berkepandaian dan kuat memiliki watak kejam. Ayahnya dan ibunya merupakan orang-orang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mereka tidaklah kejam, apa lagi jahat!

Dan penduduk dusun itu, terutama Kakek Lo dan Akian, biar pun mereka itu orang-orang biasa yang tidak memiliki ilmu kepandaian, tidak memiliki kekuatan, mereka itu tak boleh dikatakan pengecut oleh karena mereka berani mengikutinya untuk menentang ular besar yang sebetulnya amat mereka takuti karena sudah banyak menjatuhkan korban. Ternyata bukan kekuatan atau kelemahan yang menentukan baik buruknya seseorang!

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Kun Liong tiba di sebuah kampung nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Semalam dia kurang tidur, biar pun dia tidak melakukan perjalanan semalam suntuk, tetapi dia sukar dapat tidur pula karena gangguan kepalanya yang masih terasa gatal-gatal. Dengan tubuh lelah, mata mengantuk, serta perut lapar sekali dia memasuki perkampungan nelayan. Dia harus mencari pengisi perutnya, kalau tidak, dia tidak akan dapat melanjutkan perjalanan.

Ke mana dia akan pergi kelak bukan menjadi persoalan baginya. Ke mana saja, pokoknya tidak pulang ke Leng-kok. Apa lagi setelah sekarang kepalanya menjadi gundul pelontos macam ini. Tentu ayahnya akan marah sekali, dan dia sendiri merasa malu. Dia ingin melanjutkan perjalanan, ke mana saja dan dia mulai merasa suka dengan cara hidup baru ini, sungguh pun dalam perantauan yang belum lama ini dia telah mengalami hal-hal yang membuat dia nyaris tewas.

Kun Liong mendekati sebuah perahu yang agak besar, melihat tiga orang nelayan sedang mempersiapkan jala dan alat-alat menangkap ikan lainnya. Melihat seorang anak laki-laki berkepala gundul pelontos yang sama sekali asing dan tidak mereka kenal, tiga orang itu memandang penuh perhatian, kemudian salah seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang, berkata dengan nada suara halus,

"Apakah Siauw-suhu (Guru Kecil) membutuhkan sedekah? Kami akan berangkat mencari ikan. Kalau Siauw-suhu suka mendoakan kami agar hari ini mendapatkan ikan banyak, aku akan mencarikan makanan untuk sedekah bagi Siauw-suhu."

Kun Liong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya terasa panas sekali. Ia disangka sebagai seorang hwesio kecil yang minta sedekah tunjangan makanan! Akan tetapi karena dia menganggap orang itu tidak berniat jahat, dan hanya berbuat karena kebodohannya, dia menjawab, suaranya tenang,

"Lopek (Paman Tua) telah membuat dua kesalahan dengan ucapan Lopek tadi."

Melihat sikap yang tenang, kalimat yang teratur tidak seperti cara berbicara anak dusun, tiga orang nelayan itu semakin tertarik dan makin keras dugaan mereka bahwa anak ini tentulah seorang pendeta kecil yang merantau. Akan tetapi, laki-laki setengah tua yang panjang kumis tadi, menjadi terheran dan bertanya,

"Dua kesalahan? Apa yang telah kulakukan?"

"Pertama, Lopek salah duga. Aku bukan seorang pendeta kecil dan tidak minta sedekah, tidak minta-minta walau pun saat ini perutku lapar sekali. Kesalahan Lopek yang ke dua lebih hebat lagi. Lopek suka memberi sedekah akan tetapi ditukar dengan doa supaya memperoleh banyak ikan, itu bukan sedekah namanya, melainkan jual beli mengharapkan keuntungan!"

Tiga orang nelayan itu terbelalak dan saling pandang dengan heran. Walau pun anak berkepala gundul polontos itu menyangkal dirinya seorang pendeta kecil, akan tetapi cara dia bercakap sungguh tidak seperti anak-anak dusun biasa! Si Kumis Panjang merasa terpukul dan malu karena seakan-akan sudah mendapat teguran dari seorang anak kecil, maka dia berkata agak kasar,

"Kalau kau bukan hwesio kecil, engkau mau apa mendekati kami, bocah asing?"

"Aku ingin menawarkan tenagaku untuk bekerja membantu kalian."

"Apa? Engkau minta pekerjaan kepada kami?" Tiga orang itu kembali saling pandang dan tersenyum lebar.

"Mengapa tidak?" Kun Liong berkata ketika melihat tiga orang itu agaknya mentertawakan dirinya. "Aku lapar, sejak kemarin belum makan. Aku perlu mendapatkan makan, maka aku mau bekerja, sekedar mendapatkan makan."

"Soal makanan adalah urusan kecil, akan tetapi pekerjaan kami bukanlah pekerjaan yang ringan, dan seorang bocah halus macam engkau ini..."

"Aku tidak takut akan pekerjaan berat. Harap Lopek suka menerimaku, Lopek tidak akan menyesal karena aku tidak mau menerima makanan cuma-cuma, ingin kutukar dengan bantuan tenagaku!"

Memang biasanya para nelayan itu membutuhkan bantuan kanak-kanak, pembantu yang tenaganya murah dan pekerjaannya hanya untuk membantu dan melayani mereka pada waktu mereka sibuk menjala atau mengail ikan. Pekerjaan yang sebetulnya tidak berat benar, memasak air, menanak nasi untuk mereka, membantu dengan pembetulan jala jika ada yang robek, memasang umpan kail, mengumpulkan ikan dan di waktu mereka sibuk bekerja, menguasai perahu agar jangan terbawa ombak sungai.

Biar pun pekerjaan itu tidak berat bagi anak-anak nelayan, akan tetapi seorang anak yang belum pernah mengerjakannya akan merasa berat sekali, apa lagi kalau dibuat mabok oleh air sungai yang kadang-kadang besar juga ombaknya.

"Bagaimana, akan kita ajakkah dia?" Salah seorang di antara mereka bertanya kepada dua orang temannya.

"Hemmm, boleh kita coba saja," berkata Si Kumis Panjang yang kemudian menoleh dan berkata kepada Kun Liong sambil tertawa, "Akan tetapi, kalau engkau nanti mabok dan tidak bisa bekerja, kami tidak akan memberi apa-apa kepadamu."

"Tentu saja!" Kun Liong menjawab gagah. "Aku pun akan merasa malu untuk menerima makanan kalau aku tidak mampu bekerja!"

"Kalau begitu, mari bantu kami!"

Kun Liong cepat naik ke atas perahu dan dia mulai melakukan pekerjaan seperti yang diperintahkan oleh tiga orang itu. Tubuhnya lemas, perutnya lapar sekali, akan tetapi dia merasa betapa tenaganya menjadi besar dan semua pekerjaan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Tiga orang itu kembali saling pandang dan menjadi girang, ternyata bocah gundul itu tidak membual. Dia benar-benar suka dan rajin bekerja!

Setelah mereka siap, perahu didayung ke tengah, kemudian layar dikembangkan. Perahu nelayan itu meluncur ke tengah sungai yang amat lebar, meluncur cepat karena didorong oleh angin dan mendahului air sungai yang mengalir. Sambil tersenyum Si Kumis Panjang memberi roti kering dan air kepada Kun Liong. Namun anak yang kadang-kadang timbul keangkuhan dari kekerasan hatinya itu, menolak.

"Biar pun pekerajaanmu belum selesai karena kita belum kembali ke pantai, akan tetapi engkau tadi sudah membantu kami. Makanlah, anggap saja roti dan air ini adalah upah bantuanmu tadi. Engkau kelihatan pucat, dan karena kita menghadapi pekerjaan berat sampai malam nanti, perutmu harus diisi lebih dulu." Ucapan ini membuat hati Kun Liong terasa ringan dan makanlah dia.

Bukan main sedapnya roti itu. Bukan main segarnya air jernih dingin itu. Rasanya belum pernah dia makan roti seenak itu, atau air sesegar itu dan dia tahu bahwa bukan roti atau airnya yang mendatangkan rasa sedap, melainkan lapar dan hausnya!

Pendapat Kun Liong memang ada betulnya, akan tetapi tidak mutlak. Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apa bila kita dapat menerima dan menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang dilalui, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan bukan esok.

Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-kenangan masa lalu dengan segala suka dukanya, membuat kita selalu mengejar kenangan suka namun sebaliknya menjauhi kenangan duka, menciptakan corak serta bentuk hidup sekarang dan yang akan datang hingga kita dibuatnya hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri.

Hidup seperti itu membuat segala langkah kita tak wajar lagi, melainkan langkah-langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu, berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk di dalam pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak memungkinkan kita menggunakan mata serta telinga seperti sewajarnya.

Apa yang terpandang dan apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka, oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan telinga kita tak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenarnya dari yang dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang terbayang dalam ingatan kita!

Demikian pula dengan makanan. Apa bila kita menghadapi sesuatu, dalam hal makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat, maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, maka semua makanan, apa pun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!

Karena itulah, pendapat Kun Liong bahwa yang membuat makanan terasa enak adalah lapar, hanya benar sebagian saja, karena betapa pun laparnya, kalau dia makan dengan pikiran mengenangkan hal-hal lain, misalnya mengenangkan masakan lezat, memikirkan dan mengenangkan kedukaan dan lain-lain, belum tentu roti sederhana dan air biasa itu akan terasa enak seperti yang dirasakannya pada saat itu!

Ternyata kemudian oleh Kun Liong betapa pekerjaan di atas perahu yang kelihatan ringan itu terasa sangat berat olehnya, karena tidak biasa! Agak pening juga kepalanya ketika perahu itu dipermainkan ombak sungai yang cukup besar sehingga teroleng ke kanan kiri. Akan tetapi, dengan tekad teguh Kun Liong bekerja dengan penuh semangat, sedikit pun tidak pernah mengeluh sehingga memuaskan hati tiga orang nelayan itu.

Yang lebih menggirangkan hati para nelayan itu adalah baru hari itu mereka mengalami nasib yang sedemikian baiknya sehingga sebelum tengah malam, perahu mereka sudah penuh dengan hasil pekerjaan mereka, ikan-ikan yang besar dan dari mutu terbaik! Tentu saja sebagai orang orang yang sudah menebal kepercayaannya akan tahyul, kemujuran ini mereka hubungkan dengan kehadiran Kun Liong, yang sungguh pun ternyata bukan pendeta, namun memiliki ‘hok-gi’ (kemujuran) besar dan di samping itu, juga amat rajin bekerja, terlalu rajin dan terlalu aneh bagi seorang pendatang baru!

Biasanya, mereka mencari ikan hingga semalam suntuk, dan bia selama sehari semalam itu mereka memperoleh ikan sebanyak setengah perahu saja mereka sudah merasa amat beruntung. Sekarang, belum lewat tengah malam, mereka telah kembali ke pantai dengan perahu penuh ikan terbaik!

Dengan sikap manis mereka kemudian mengajak Kun Liong bermalam di rumah mereka, memberinya makan sekenyangnya, malah Si Kumis Panjang membelikan setelan pakaian baru untuknya. Di samping ini, pada keesokan harinya ketika mereka menjual hasil kerja mereka semalam ke pasar, mereka menceritakan dengan panambahan bumbu-bumbu tahyul, bahwa mereka sudah kedatangan seorang bintang penolong, seorang pembawa rezeki, seorang ‘anak ajaib’! Cerita ini cepat tersiar dan sebentar saja nama Kun Liong sebagai ‘anak ajaib’ dikenal orang sedusun!

Segala bentuk penonjolan yang biasanya disebut hasil atau kemajuan pribadi seseorang selalu menimbulkan persoalan yang lebih menyusahkan dari pada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah terasa senikmat saat dibayangkannya dan ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan permusuhan!

Karena itu, segala bentuk cita-cita, sebenarnya hanyalah lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang hendak lari dari kenyataan saat ini kemudian bersembunyi di belakang angan-angan yang diciptakan oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka bila sudah tercapai, akan segera membuyar dan mengecewakan hingga memaksa orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi kenyataan ‘saat ini’ untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.

Oleh karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh kewaspadaan menghadapi ‘saat ini’ dengan pikiran bebas dari segala ingatan masa lalu serta harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa pun yang dihadapinya merupakan suatu pengalaman yang baru!

Sudah tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya menggunakan akal budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa serta batin, kalau tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan pertentangan karena pada sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang ditimbulkan oleh pikiran.

Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas dari segala ikatan, penilaian dan pendapat, lalu mengawasi dengan penuh kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.

Kun Liong seolah-olah dijadikan rebutan di antara para nelayan, setelah tersiar dongeng tentang dirinya yang penuh keanehan, dibujuk dan ditawari upah tinggi dan hadiah-hadiah berharga. Namun, semua itu ditolak oleh Kun Liong yang sebenarnya sama sekali tidak berniat menjadi nelayan dan tidak ingin bekerja di tempat itu untuk selamanya.

Kalau dia membantu tiga orang nelayan yang dipimpin oleh Si Kumis Panjang itu karena pada waktu itu dia membutuhkan makanan dan ingin menukar makanan dengan tenaga bantuannya. Bahkan setelah membantu selama tiga hari, dia sudah mulai merasa bosan dan ingin pergi melanjutkan perjalanan dan perantauannya yang tidak bertujuan dan tidak mempunyai arah tertentu.

Pada pagi hari ke empat, selagi Kun Liong duduk di dekat sebuah perahu kecil di pinggir pantai dan melamun, berpikir bahwa hari itu hendak pergi dan berpamit dari tiga nelayan, tiba-tiba tujuh orang yang berusia belasan tahun menghampirinya lantas mengurungnya. Sikap mereka mengancam, dan di antara mereka ada yang membawa kayu dan bambu.

Mereka dipimpin oleh seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun yang dahinya bercodet bekas luka terjatuh ketika masih kecil. Anak codet ini pun membawa sebatang kayu dan sambil bertolak pinggang dia berdiri di depan Kun Liong yang masih tenang duduk di atas pasir dekat perahu.

"Heii, bocah gundul!" seorang anak berteriak mengejek.

"Aahh, dia bukah bocah, dia anak siluman! Kalau manusia tak mungkin kepalanya gundul pelontos padahal bukan hwesio!"

"Lihat, kepalanya licin sekali, lalat-lalat pun pasti terpeleset kalau hinggap di atasnya!"

"Kalau bukan anak siluman, tentu dia anak ikan! Lihat, kepalanya tidak berambut sedikit pun juga, seperti kepala ikan!"

"Heiii, gundul pacul buruk menjijikkan!"

"Gundul sombong..."

Mula-mula Kun Liong hanya memandang heran dan menganggap bahwa mereka adalah anak nakal yang hendak menggodanya karena dia asing dan bukan teman mereka. Maka dia diam saja, bahkan tersenyum dan berkata,

"Aihhh, mengapa kalian begini? Aku seorang anak biasa seperti kalian, rambut kepalaku habis karena keracunan."

Si Codet melangkah maju. "Gundul menyebalkan! Sekarang juga engkau harus minggat dari dusun kami, engkau hanya mendatangkan kesialan bagi kami!"

"Ahhh, apa maksudmu?" Kun Liong memang sudah mengambil keputusan hendak pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi kalau disuruh pergi dengan diusir macam ini, maka kehormatannya merasa tersinggung dan dia pun menjadi marah.

"Maksudku, gundul buruk, kalau engkau tidak lekas-lekas pergi dari sini, maka kami akan menghajarmu sampai engkau melolong-lolong minta ampun, baru akan kami lepaskan!" Kata pula Si Codet dan teman-temannya sudah siap, mengepal tinju dan kayu dan bambu erat-erat.

Kun Liong bangkit berdiri. Dengan marah dia membusungkan dada dan mengangkat kaki kanan ke atas dayung perahu yang disandarkan di sana, lalu menudingkan telunjuknya kepada mereka. "Hemmm, kalian ini anak-anak malas tak tahu diri! Aku mengerti kenapa kalian bersikap seperti ini kepadaku. Aku sudah mendengar bahwa kalian merasa iri hati kepadaku. Kalian melihat para nelayan suka akan tenaga bantuanku, dan kalian merasa dikesampingkan. Kalian iri melihat keunggulanku, dan hal itu hanya menandakan bahwa kalian adalah anak-anak bodoh dan malas!"

"Gundul sombong!" Si Codet sudah menerjang maju, menghantamkan kayu pemukulnya ke arah kepala Kun Liong.

Akan tetapi dengan gerakan cepat Kun Liong dapat mengelak dan berusaha merampas alat pemukul itu. Akan tetapi, anak-anak yang lain segera bergerak maju menyerang dan mengeroyoknya.

Tentu saja anak-anak itu bukanlah lawan Kun Liong yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat dan kalau dia menghendaki, dengan melakukan pemukulan-pemukulan pada bagian tubuh yang berbahaya, tentu dia akan dapat merobohkan mereka. Akan tetapi justru dia tidak menghendaki demikian karena sekecil itu, Kun Liong sudah mempunyai pengertian yang mendalam dan dia tahu bahwa keadaan anak-anak yang iri hati ini dapat dimengerti dan dimaafkan, maka dia hanya mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti.

Melihat betapa dikeroyok tujuh orang, Kun Liong dapat mengelakkan semua pukulan dan setiap kali menangkis, anak yang memukul merasa lengannya nyeri ketika beradu dengan lengan Kun Liong yang menangkisnya. Tujuh orang anak yang mengeroyok itu menjadi makin penasaran, maka mereka menyerang lebih ganas lagi, terdorong oleh kemarahan mereka.

Karena Kun Liong hanya mengelak dan menangkis, pula biar pun sudah bertahun-tahun dia dilatih ilmu silat oleh ayah bundanya akan tetapi sama sekali belum ada pengalaman bertempur, pengeroyokan ini merupakan yang ke dua setelah yang pertama kalinya dia dikeroyok penduduk, Kun Liong terkena pukulan juga hingga terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan dan kayu pemukul jatuh ke atas tubuhnya!

Hal ini membuat dia marah sekali, terutama kepada anak codet yang pukulan kayunya paling keras dan ketika mengenai kepalanya yang gundul, terasa nyeri. Dia hanya merasa heran mengapa tubuhnya yang dihujani pukulan itu sama sekali tak terasa sakit. Dia tidak tahu bahwa kekuatan mukjijat yang ditimbulkan oleh bercampurnya tiga macam racun telah melindunginya dan membuat tubuhnya kebal, kecuali kepalanya yang gundul!

Pada waktu Si Codet menerjang lagi, mengayun kayu pemukul dengan kuat-kuat ke arah kepalanya, Kun Liong miringkan tubuhnya sehingga kayu itu melayang lewat. Cepat dia menghantam leher anak codet itu dengan tangan miring.

"Kekkk!"

Anak codet itu melepaskan kayu pemukulnya dan terguling roboh tanpa bersuara.

"Dia membunuhnya!"

"Pembunuh...!"

Enam orang anak yang melihat Si Codet rebah dengan mata terpejam dan muka pucat, mengira bahwa anak itu mati. Kun Liong terkejut bukan main karena dia pun terpengaruh oleh teriakan-teriakan mereka, mengira bahwa anak yang dipukulnya tadi tewas. Padahal dia hanya mempergunakan sedikit tenaga saja dan sebetulnya anak itu hanya pingsan.

Karena menyangka anak itu tewas, rasa takut menyelinap di hati Kun Liong. Dia harus melarikan diri! Kalau para nelayan tahu bahwa dia membunuh tentu dia akan ditangkap, mungkin mereka pun akan membunuhnya. Dan ia melihat beberapa orang nelayan telah lari mendatangi melihat perkelahian itu. Tanpa pikir paniang lagi karena takut dikeroyok nelayan sekampung, Kun Liong lalu melompat ke dalam sebuah perahu kecil, mendayung perahu ke tengah sungai.

"Heiii! Dia melarikan perahu...!"

"Kejar...!"

Kun Liong tidak berani menoleh, tapi terus mendayung perahunya sekuat tenaga. Dalam keadaan panik itu dia tidak merasa betapa tenaga dayungannya luar biasa sekali. Perahu meluncur cepat seperti didayung oleh belasan orang dewasa hingga mengherankan hati pengejarnya.

Juga Kun Liong tidak sadar betapa mereka itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti dan dia diteriaki melarikan perahu, sama sekali bukan diteriaki sebagai pembunuh! Memang para nelayan itu mengejarnya karena dia melarikan perahu, dan Si Codet itu sudah sejak tadi-tadi sadar kembali.

Karena tenaga mukjijat di tubuhnya bekerja, perahu yang didayung oleh Kun Liong cepat bukan main, membuat para pengejar, nelayan-nelayan yang sudah kawakan dan sangat berpengalaman itu, tertinggal dan mereka berteriak-teriak saking herannya.

Ketika sampai di sebuah simpangan, di mana air sungai itu terpecah dua, Kun Liong terus meluncurkan perahunya ke bagian sungai yang menyimpang ke utara, bukan ke bagian yang terus mengalir lurus ke timur.

"Haiii... jangan masuk ke sana...!"

Dia mendengar teriakan para pengejarnya, akan tetapi tentu saja dia tak peduli, bahkan mendayung makin cepat. Sungai yang menyimpang ke utara itu merupakan daerah yang berbahaya hingga tidak ada nelayan yang berani memasukinya. Bukan hanya berbahaya karena dalam musim hujan seperti itu, sungai liar ini dapat secara tiba-tiba membanjir, yaitu kemasukan air berlebihan dari sungai-sungai kecil, akan tetapi juga banyak bagian yang agak dangkal sedangkan di bawah permukaan airnya banyak terdapat batu karang. Selain ini, di dalam hutan di kanan kiri sungai ini terkenal sebagai sarang orang-orang jahat!

Bukan hanya karena sungai yang berbahaya itu saja, akan tetapi melihat betapa Kun Liong dapat mendayung perahu dengan kecepatan yang tidak lumrah, dan betapa anak itu berani memasuki daerah berbahaya ini, timbul pula kepercayaan tahyul di dalam hati para nelayan. Tentu anak itu bukan anak biasa, pikir mereka dan mereka pun merelakan perahu yang dilarikan, sambil ramai mempercakapkan anak yang menghilang itu mereka kembali ke dusun, membawa bahan dongengan yang lebih aneh dan menyeramkan lagi tentang si ‘bocah ajaib’ gundul itu!

Sungai yang dilalui Kun Liong itu merupakan cabang Sungai Huang-ho. Sungai Huang-ho bercabang dua di bagian itu, akan tetapi cabangnya ini, setelah menampung banyak air yang dimuntahkan oleh sungai-sungai kecil dari kanan kiri, akhirnya dari utara membelok ke timur dan ke selatan untuk kemudian kembali ke induknya, yaitu Sungai Huang-ho, sungai yang paling besar di Tiongkok.

Sebelum kembali ke induknya, sungai ini merupakan sungai yang amat berbahaya dan karena merupakan sungai liar yang tercipta ketika Huang-ho banjir dahulu, maka sering kali sungai ini meluap pada saat menerima air dari sungai-sungai kecil itu. Hampir setiap musim hujan, sungai ini pasti meluap dan di bagian-bagian tertentu, air mengalir deras bukan main, merupakan daerah yang sangat berbahaya bagi perahu-perahu sehingga sungai ini boleh dikata dijauhi para nelayan dan tidak pernah dilewati. Lebih aman melalui sungai induk terus ke timur dari pada melalui sungai cabang yang keluar masuk hutan liar ini.

Akan tetapi Kun Liong yang tidak mengenal sungai itu, merasa lega ketika melihat bahwa dia tidak dikejar-kejar lagi. Dia merasa bersalah karena telah melarikan perahu. Dia telah mencuri! Akan tetapi bukannya mencuri karena dia menginginkan perahu itu, melainkan karena terpaksa untuk melarikan diri! Alasan ini sudah membuat dia dapat memaafkan perbuatannya mencuri perahu!

Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan alasan untuk menghibur diri pada waktu kita merasa telah melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan, untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah menjadi sesuatu yang tidak salah lagi!

Ada saja alasannya untuk menutupi sesuatu yang hitam pada diri kita dengan warna putih. Hal ini terjadi karena kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita dapat membuang semua kotoran itu.

Tidak, kita bukan melakukan hal itu, sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja, dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita, biar pun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan sesudah kita melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin kita dapat mengenal diri sendiri.

Mula-mula senang juga hati Kun Liong ketika mendayung perahu kecil itu yang meluncur cepat. Dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar, dia memandang ke kanan kiri, melihat pohon-pohon hutan di kedua tepi sungai.

Memang, kalau mata memandang dengan penuh kewaspadaan tanpa gangguan pikiran, semua akan tampak sempurna! Air yang bergelombang, di depan perahu diterjang ujung perahu, di dekat tepi beriak menghantam batu-batu, tebing pada kedua pinggir kelihatan coklat, kadang-kadang tampak akar-akar pohon seperti ular di antara rumput-rumput dan semak-semak yang tumbuh dengan liar di tebing.

Seekor bangkai ayam hutan hanyut perlahan di pinggir, dirubung lalat yang mengeluarkan suara mengiang, kadang-kadang lalat-lalat itu beterbangan panik jika bangkai itu bergerak tiba-tiba ke bawah karena digigit dan ditarik ikan dari bawah. Bau bangkai ayam yang membusuk itu tidak berapa keras di tempat terbuka seperti ini, menipis dan buyar tertiup angin.

Pohon besar yang banyak tumbuh di hutan seolah-olah menjadi penjaga-penjaga hutan, melindungi pohon-pohon dan bunga-bunga kecil di bawahnya, memberi tempat berteduh kepada burung-burung dan tupai-tupai yang berloncatan dari dahan ke dahan. Pada saat ada angin yang agak besar lewat, daun-daun kuning yang rontok melayang-layang turun, bagaikan menari-nari ke kanan kiri dan bermalas-malasan, agaknya segan meninggalkan tempatnya yang tinggi, akan tetapi akhirnya tiba juga ke atas tanah, diam, mati dan kaku, akhirnya mengering kemudian hancur menjadi pupuk yang mendatangkan kesuburan bagi pohon itu sendiri.

Terapung di atas perahunya seorang diri, di tempat sunyi dan indah itu, merasa bebas lepas bagaikan burung-burung yang terbang di permukaan sungai, menyambar ikan-ikan kecil yang berenang di permukaan air, ingin Kun Liong bernyanyi!

Akan tetapi, gelombang air mulai membesar dan air mengalir makin cepat dan kuat ke depan. Karena perahunya oleng ke kanan-kiri Kun Liong tidak lagi menggunakan dayung untuk melajukan perahunya, melainkan menggunakannya untuk menahan supaya perahu tidak terguling, dengan menekan ke kanan-kiri.

Ketika Kun Liong melihat ke depan, Matanya terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat. Dia melihat betapa sungai memuntahkan airnya dari arah kiri hingga membanjir. Air yang masuk ke sungai itu berwarna coklat kemerahan, amat keruh.

Dia harus membawa perahunya ke pinggir. Akan tetapi terlambat! Arus sudah demikian kuatnya sehingga betapa pun dia mendayung perahunya agar minggir, perahu itu masih terseret ke dalam dan akhirnya disambar oleh air bah ketika sampai di tempat pertemuan antara anak sungai dan sungai itu.

Kun Liong berusaha mengatur keseimbangan perahunya. Tapi tenaga air yang menyeret perahunya terlalu besar, gelombang terlalu hebat dan dia lalu berteriak keras pada waktu perahunya terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!

Kun Liong gelagapan, cepat dia menahan napas dan menggerakkan kakinya. Tubuhnya timbul ke permukaan air, melihat perahunya tadi sudah pecah, agaknya terbanting pada batu karang. Melihat sepotong papan pecahan perahu di dekatnya, Kun Liong segera menyambarnya dan berpegang erat-erat pada papan itu. Arus air bukan main derasnya, dan gelombang amat besar sehingga dia tidak dapat berdaya apa-apa kecuali bergantung pada papan yang membawanya hanyut cepat sekali.

Entah berapa lamanya dia hanyut itu, dia sendiri tidak ingat lagi. Akan tetapi setelah hari hampir senja, air sungai tidak sehebat tadi gelombangnya, sungguh pun arusnya masih kuat. Sudah hampir seharian dia hanyut!

Kun Liong berusaha untuk berenang ke pinggir sambil berpegang pada papan itu. Namun usahanya gagal. Arus masih terlalu kuat, apa lagi dibebani papan itu, tidak mungkin dia sanggup melawan arus berenang ke pinggir. Untung sedikit banyak dia dapat berenang, kalau tidak, tentu dia akan celaka!

Setelah tiba pada bagian yang airnya tidak bergelombang lagi, hanya arusnya masih agak kuat, Kun Liong segera mencari akal. Dia melepaskan papan yang dianggapnya sudah menyelamatkan nyawanya tadi, kemudian menyelam. Niatnya hendak berenang ke tepi sambil menyelam, tentu arus di bawah tidak sekuat di permukaan.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia sudah menyelam sampai ke dasar sungai, arus di bawah makin kuat! Dia terseret dan melihat benda putih di dekat kakinya, disangkanya batu karang maka cepat dia menangkap benda yang putih itu dan berpegang kuat-kuat. Akan tetapi, ‘batu karang’ itu jebol dan dia terbawa hanyut.

Dalam kepanikannya, dia masih merangkul batu itu sambil menendang-nendangkan dua kakinya sehingga tubuhnya mumbul lagi dan timbul di permukaan air. Dia gelagapan dan menyemburkan air dari mulut. Banyak juga air terminum olehnya tadi. Jika tidak tertolong, dia tentu tewas sekarang, pikirnya.

"Tolooonggg...!" Tanpa disadarinya lagi, dia berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian menggerakkan kaki tangan agar tidak tenggelam, terpaksa membiarkan tubuhnya terseret dan hanyut. Masih tak disadarinya bahwa lengan kirinya tetap saja memeluk ‘batu karang’ putih tadi!

Dia hanyut memperhatikan ke sekeliling dan alangkah girangnya ketika tiba-tiba tampak sebuah perahu tak jauh dari situ.

"Pegang tali ini...!"

Dia mendengar ada orang berteriak dan melihat seorang laki-laki tua melempar tali sambil berdiri membungkuk di pinggir perahu. Seorang anak perempuan dengan mata terbelalak memandang dan agaknya anak itu khawatir sekali, dia berpegang pada ujung baju di belakang tubuh kakek tua, telunjuknya menuding ke arah Kun Liong yang sudah berhasil menyambar dan memegang tali dengan tangan kanannya.

Kakek itu memandang Kun Liong yang sedang berpegang pada tali dengan muka penuh keheranan, apa lagi ketika dia melihat benda yang berada dalam pelukan lengan kiri anak itu.

"Heiiii! Engkau ini bocah yang luar biasa sekali! Bagaimana engkau bisa berada di tengah sungai dan apa yang kau bawa itu?"

Hati Kun Liong mendongkol. Kakek yang luar biasa masih mengatakan dia yang luar biasa. Masa menolong orang, belum juga orangnya naik sudah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan dia baru teringat bahwa batu dari dasar sungai tadi masih dipeluknya!

"Naikkan aku dulu, baru kita bicara!" katanya marah. "Dan batu ini..."

Tiba-tiba dia terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya karena ketika dia melirik ke arah batu yang sudah hampir dilemparkannya itu, dia mendapat kenyataan bahwa batu itu sama sekali bukanlah batu, melainkan sebuah benda yang aneh, agaknya sebuah bokor atau tempat abu, terbuat dari benda mengkilap kuning dan dihias batu-batu putih yang berkilauan!

"Kakek yang baik, tolong naikkan aku dulu!" kembali dia berkata.

Tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan sebuah tangan yang kuat menyambutnya dari udara dan dia diturunkan dengan tenang oleh kakek itu. Kiranya kakek itu bukan orang sembarangan! Dia tidak ditarik naik seperti biasa, melainkan dilontarkan ke atas dengan renggutan kuat sekali sehingga tubuhnya terlempar ke atas.

Mereka saling pandang penuh perhatian. Bagi Kun Liong, tidak ada apa-apa yang aneh pada diri kakek itu dan anak perempuan yang berdiri dengan matanya yang terbelalak itu.

Seorang kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kuat. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan membayangkan kemiskinan, seperti pakaian nelayan-nelayan miskin, tak bersepatu pula! Rambutnya sudah banyak putihnya, disatukan menjadi gelung kecil di atas kepala, jenggot dan kumisnya juga kelabu dan pendek, tidak terpelihara. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini, dan caranya menaikkan Kun Liong ke perahu, jelas membuktikan bahwa kakek ini bukan seorang nelayan biasa.

Ada pun anak perempuan itu terlihat manis sekali, rambutnya hitam dan gemuk panjang, dikepang dua, akan tetapi angin membuat rambutnya awut-awutan menambah manis. Pakaiannya juga sederhana dan kakinya tidak bersepatu.

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan masih tidak mau percaya dengan pandang matanya sendiri. "Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?"

"Namaku Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke dalam air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di tempat ini engkau dapat menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di tempat berbahaya ini?"

"Aku Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi Kiok."

"Kun Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang diri berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, telah hanyut sehari masih hidup dan membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!"

"Bokor itu... dari mana engkau mendapatkannya?" Kakek itu bertanya sambil memandang kagum. Sekilas pandang saja dia sudah tahu bahwa benda itu terbuat dari emas murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga!

"Ah, ini? Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, tapi malah terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan ternyata batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini, akan tetapi sungguh indah..."

"Coba aku melihat sebentar," kakek itu berkata.

Kun Liong menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong duduk di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu yang memandang kepadanya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak itu tersenyum. Hemmm.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar