Pedang Kayu Harum Jilid 61

Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan tampak tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian lagi terurai di atas bantal putih. Tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat hingga bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kanannya memeluk perutnya yang gendut seperti sedang melindungi anak yang dikandungnya.

Alangkah cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat saja seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.

Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San menunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali sebab dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumi bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini semakin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya.

Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata pada saat secara kebetulan dia melihat perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seakan-akan anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya!

"Yan Cu...!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.

"Apa kau yakin dia anakmu?"

Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah anak di dalam kandungan itu menggigit jari tangannya.

"Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong...!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya.

"Tidaaaaakkk!! Setan iblis keparat!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya.

"Brakkk!" Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya.

Yan Cu bangkit duduk, matanya terbelalak memandang suaminya, "Ehhh... San-ko, apa yang terjadi...?" Dia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya.

Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya sambil berkata, "Ahhh, aku... aku tadi bermimpi... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah."

"Ihhh..., apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum untukmu, engkau pucat sekali..."

"Tak usah, engkau tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh semakin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.

"Kau... kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik.

"Tidak, tidurlah, sayang."

Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. Hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mukjijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya.

Cong San sama sekali tidak tahu betapa lelaki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.

"Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar juga, dia betul-betul seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan dengan baik sekali, sekarang juga engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."

A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya..."

"Bodoh!" Cui Im membentak. "Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, lalu berikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kau tambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap tidak akan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."

Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang menerimanya dengan hati girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.

"Siasat Sianli benar-benar hebat sekali dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira.

Go-bi Thai-houw yang dipersilakan makan minum pula, mendengarkan saja dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengarlah ia berkata, "Tanpa akal bulus surat itu pun murid Tung Sun Nio itu tak akan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu saja sudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."

Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata, "Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. Harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"

"Hemmm, sebenarnya bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di tempat ini. Orang setua aku ini tinggal menanti kematian, harus menghabiskan sisa hidup yang tidak lama lagi dengan bersenang-senang."

Cui Im tidak berani mendesak, dan biar pun subo-nya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subo-nya akan dapat mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apa lagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang sudah mempunyai kepandaian tinggi, bekas sumoi-nya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari Go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya.

"Sianli, setelah siasat pertama berhasil dengan baik, kapan akan dilakukan siasat ke dua dan bagaimanakah siasat itu?"

Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum. "Saatnya masih belum tiba untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tak akan dapat kita jalankan."

"Wah, tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela.

"Apa artinya beberapa bulan lagi? Aku telah menanti selama setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus mempunyai kesabaran dan menggunakan perhitungan yang seksama dan tepat supaya tidak sampai gagal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati."

"Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biar pun lambat."

Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tinggi besar itu dan dia tersenyum lebar. "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan para anak buahnya. harap malam nanti kau suka menyediakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu."

Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apa lagi ketika mereka bertemu pandang, jantungnya berdebar saking girangnya dan dia pun mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata, "Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat."

Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan dapat tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lainnya, di sebelah belakang bangunan yang besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke dalam kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu birahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan…..

********************

Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata,

"Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Oleh karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan."

Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya.

"Dari mereka?" tanya Biauw Eng.

Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini, "Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?"

"Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."

"Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena dia merasa curiga.

"Bagaimana rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"

Petani tua itu menggelengkan kepala. "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bundar warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya."

"A-liok, tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya.

"Melakukan sesuatu untuk taihiap sudah merupakan kesenangan, kenapa harus memberi hadiah? Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu kemudian berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng.

Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius. "Heran sekali, mengapa A-liok tidak langsung pulang saja dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini."

"Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang paling penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik."

Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya membaca beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.

"Apa isinya?" Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, dia pun cepat merampas surat itu dan dibacanya.

"Manusia jahanam Yap Cong San...!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.

"Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"

Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah, "Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, apa bila saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!"

"Nanti dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri dari sini, aku curiga sekali."

"Curiga apa lagi? Sebab apa lagi? Dia sudah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu? Dia sudah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apa lagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu."

"Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat bahwa engkau telah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia sudah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaliknya, kita harus menolongnya..."

"Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Terang-terangan engkau telah dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!"

"Aihhh, isteriku yang baik, kau maafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapa pun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tak ingin kita bertengkar karena dia atau siapa pun juga. Kau maafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!" Keng Hong benar-benar segera menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng!

Biauw Eng terkejut sekali dan cepat dia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan di dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus-elus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi.

"Aihh, aku telah gila, Eng-moi. Masakah aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua... ehhh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku."

Biauw Eng masih terisak. "Aku tidak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apa pun yang terjadi, betapa besar pun dia diracuni oleh rasa cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan sudah mengijinkan, kita bersama akan pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"

"Baiklah, Eng-moi." Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu.

Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoi-nya itu? Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentulah dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apa lagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta.

Apa pun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan serta kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang tengah dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biar pun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keprihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoi-nya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu…..

********************

Beberapa bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan Biauw Eng mau pun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiaannya terselubung awan hitam, dan hal ini bisa dirasakan oleh Yan Cu.

Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal.

Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya mengira bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan juga mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai.

Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali.

Akhir-akhir ini Cong San sudah tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali pergi meninggalkan rumah dengan alasan ingin berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Kemudian dia melimpahkan cinta kasihnya lebih dari pada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya!

Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sementara itu, sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantu dirinya merawat bayi, Yan Cu lantas duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak.

Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan kelahiran anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya sangat nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih.

Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun bagaikan orang hilang ingatan, kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh di dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal, dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat?

Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenang dia kepada suheng-nya, Keng Hong, dan Biauw Eng, maka timbullah rasa rindunya. Kenapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung, agaknya suheng-nya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tak akan ragu-ragu lagi untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantu dirinya.

Agaknya mereka itu sangat sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng? Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega?

Yan Cu menjadi semakin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, supaya suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, akan tetapi selalu Cong San menjawab tidak apa-apa!

Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan.

"Ada keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus.

"Apakah Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya."

"Ahh, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."

"Benarkah Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu, dahulu saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya telah habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."

"Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?"

"Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."

"Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"

"Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Sesudah makan obat dari Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang."

Penyakit biasa saja, pikir yan Cu. "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu."

Setelah berkata demikian, Yan Cu lalu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, kemudian dia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,

"Nah, ini obatnya ada tiga macam. Aturannya sudah kutulis di sini, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"

"Nanti di kota saya saja, Toanio, karena... ehh, saya tidak membawa uang."

"Terserah kepadamu, Lopek."

"Berapa saya harus bayar, Toanio?"

"Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."

Kakek itu membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih, lalu pergi dengan wajah girang. Sebentar kemudian Yan Cu sudah melupakan kakek itu karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya.

Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini sering kali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya bahkan dirahasiakan, dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu? Bagaimana ia akan dapat memecahkannya?

Beberapa hari kemudian, pada saat wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, Yan Cu mempergunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus,

"San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."

Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh tak akan dijawabnya.

"San-koko, aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun..."

Tiba-tiba saja Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus ketika dia memotong, "Sudah sangat rindukah engkau?"

Yan Cu heran menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri, "Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan..."

"Tidak! Aku tidak mau pergi!" Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar dari rumah.

"San-koko...!" Teriakan Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari depan toko.

Yan Cu masuk kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak orang lain. Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja ia cepat-cepat menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan batinnya, lalu memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya.

Chie-ma datang menggendong anak kecil itu. "Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya minum susu."

Tanpa menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai mengisap susu ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis.

"Toanio..." Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di hadapan nyonya majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang pelayannya.

"Toanio, maafkan hamba, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi nasehat."

Tanpa terasa lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu. "Bicaralah, Chie-ma."

"Tanpa disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan. Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung penderitaan batin yang amat hebat? Kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk bisa menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Sungguh pun hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan."

"Chie-ma, aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi… ahhh, soalnya dia tidak mau menceritakan apa yang sedang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu persoalannya, bagaimana aku dapat membantu? Dia sering berduka, marah-marah, dan tiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau berterus-terang."

Chie-ma menarik napas panjang. "Apa bila majikan tidak pernah mau berterus terang, itu hanya berarti bahwa ia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, sebab merasa khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang sangat mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tak menyenangkan dari isterinya, supaya isterinya tidak ikut menderita."

"Ahhh, sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justru karena dia diam saja tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara dari pada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita bisa menggunakan akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini, benar-benar membuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan."

"Aihhh... persoalan orang-orang muda. Dulu ketika suami hamba masih hidup sering kali hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap kehidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan bisa menjadi pembangkit cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada kesengsaraan yang lebih berat dirasakan dari pada pertengkaran antara suami isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dulu pada waktu suami hamba mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...!"

Yan Cu tersentak kaget. "Cemburu...?" Dia berkata lirih.

Selanjutnya dia sudah tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itukah yang mengganggu hati suaminya? Cemburu? Akan tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa?

Tiba-tiba ia teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan ia dengan suheng-nya? Wajah Yan Cu tiba-tiba menjadi merah.

Tak mungkin! Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng Hong. Akan tetapi cintanya berubah sesudah dia bertemu dengan Cong San, berubah menjadi cinta saudara.

Tidak mungkin suaminya cemburu, karena semenjak menikah dia tidak pernah berjumpa dengan Keng Hong, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan laki-laki lain yang mana pun juga.

"Jika sudah cemburu, lelaki memang seperti gila," dia mendengar lagi omongan Chie-ma, "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa bukti, dan karena tak ada bukti maka dia tidak berani menuduh terang-terangan kepada hamba. Akan tetapi semenjak itu sikapnya minta ampun! Kelihatan marah, berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Bila malam, minta ampun, dia manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam pertama pengantin! Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri sendiri tidak karuan! Baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu akan hamba gecek kepalanya!"

Yan Cu tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. Hatinya sedikit lega. Setidaknya, ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya. Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan, karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan…..

********************

Sementara itu, dengan dada panas seperti akan meledak dan kepala berdenyut pusing, Cong San lari cepat menuju ke pinggir telaga. Tempat ini telah menjadi tempat di mana dia sering kali termenung seorang diri dan menumpahkan segala perasaan yang tertekan sambil memandangi air telaga.

Air yang bening dan tenang itu dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, hatinya tidak dapat tenang, bahkan makin dipikir makin panaslah hatinya. Ucapan isterinya masih terngiang di telinganya dan yang terdengar hanyalah kata-kata ‘rindu’ yang keluar dari mulut Yan Cu. Tentu rindu kepada Keng Hong! Kepada siapa lagi? Tak mungkin isterinya rindu kepada Biauw Eng, dan kalau isterinya menyebut ‘rindu kepada mereka’, tentu yang dimaksudkan rindu kepada Keng Hong!

"Bresss!" Cong San memukul tanah di depannya dengan tinju, giginya berkerot menahan kemarahan.

Cemburu adalah bahaya yang amat besar bagi hati orang mencinta. Seperti tetumbuhan yang hidup di dahan pohon lain, makin lama makin membesar menghisap sari kehidupan pohon itu, makin lama makin mengakar dan berkembang mengancam kebahagiaan hidup orang yang dihinggapi penyakit ini. Cemburu merupakan sebuah penyakit dalam tubuh cinta kasih, menunggangi nafsu birahi dan nafsu mementingkan diri sendiri (egoism).

Cinta murni timbul dari perasaan hati ke hati, menimbulkan bermacam keinginan untuk memiliki dan dimiliki, membela dan dibela serta dorongan hasrat untuk bersatu lahir batin. Di sinilah nafsu cemburu menyelinap dan mengotorkan cinta dengan menunggang birahi dan mempergunakan sifat ingin mementingkan diri sendiri dari si manusia yang digodakan sehingga menimbulkan lemah kepercayaan terhadap orang yang dicinta.

Kalau kekasih yang dicemburukan itu ternyata memang melakukan penyelewangan cinta, maka hal itu segera dapat mengakhiri keadaan dari siksa cemburu dan persoalannya pun selesai, keputusannya tergantung dari kebijaksanaan kedua pihak. Akan tetapi, sangatlah berbahaya kalau tidak ada bukti penyelewengan seperti halnya kecemburuan Cong San kepada isterinya, hal ini benar-benar menyiksa batin. Makin dipikir, makin dicurigakan dan diragukan, maka semakin menyiksa karena kelemahan kepercayaan terhadap isterinya ini merupakan pupuk yang paling baik bagi nafsu cemburu sehingga dapat tumbuh dengan suburnya, setiap detik mengusik pikiran menggerogoti hati.

Cong San menyiksa hatinya sendiri. Sejauh ini, yang terbukti hanyalah penyelewengan di pihak Keng Hong yang jelas sudah menulis surat kepada Yan Cu dan surat itu selalu ada di saku bajunya. Tidak ada bukti sama sekali bahwa isterinya masih mencinta Keng Hong. Akan tetapi pandangannya yang sudah dicengkeram nafsu cemburu, melihat gerak-gerik dan kata-kata Yan Cu seakan-akan merupakan gambaran bahwa isterinya itu mencinta Keng Hong dan rindu kepada bekas kekasihnya itu.

Hal ini mendorong khayal di benaknya, khayal yang memanaskan dada, membayangkan betapa dahulu isterinya berkasih-kasihan dengan Keng Hong, betapa isterinya sebetulnya lebih mencinta Keng Hong dari pada dia. Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah dugaan yang tak dapat dia tekan-tekan dan dilenyapkan bahwa anak mereka, Kun Liong, belum tentu keturunannya, mungkin keturunan Keng Hong! Kalau teringat akan hal yang satu ini, sering kali Cong San menangis di tepi telaga.

Bagi orang yang belum pernah merasakan betapa hebat kekuasaan nafsu cemburu, tentu akan mencela kelemahan hati Cong San dan akan menyalahkannya. Akan tetapi, orang muda ini patut dikasihani. Cemburu memang merupakan siksaan hebat, dan bagaimana Cong San tidak akan merasa cemburu sesudah segala yang dia hadapi semenjak dia menikah dengan Yan cu?

Dia mencinta Yan Cu lahir batin, mencinta sampai di setiap detik darah dan peluhnya, sampai menempel di setiap helai bulu badannya. Akan tetapi, kenyataan yang menyolok matanya sungguh hebat! Ucapan-ucapan keji dari Cui Im dan Go-bi Thai-houw, kemudian kenyataan bahwa isterinya bukan perawan lagi, ditambah pula surat dari Keng Hong, dan tadi isterinya merengek minta pergi mengunjungi Cin-ling-san karena rindu!

Sesudah kenyataan semua itu, betapa mungkin dia dapat bertemu muka dengan Keng Hong? Kalau dia tidak ingat bahwa di pihak isterinya belum ada bukti penyelewengan dan mencinta Keng Hong, tentu surat dari Keng Hong itu sudah cukup baginya untuk datang ke Cin-ling-san dan menantang Keng Hong bertanding mengadu nyawa!

Dia tidak pernah menegur isterinya, tidak pernah membencinya, melainkan berkorban diri dengan menyiksa hati sendiri. Hal ini dia lakukan karena dia tidak ingin menyinggung hati isterinya yang sangat dia cinta, sama sekali dia tidak sadar bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan kegelisahan dan kedukaan di hati isterinya.

"Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan?" Berkali-kali Cong San mengeluh di dalam hatinya pada saat dia duduk seperti arca memandang air telaga tanpa melihat apa yang dipandangnya.

Tekanan batin ini membuat dia seperti buta dan tuli, sehingga dia yang sudah memiliki pendengaran tajam terlatih tidak tahu bahwa ada orang menghampirinya dan kini berdiri sekitar tiga meter di belakangnya. Baru dia kaget lalu meloncat bangun dan membalikkan diri ketika terdengar suara orang itu tertawa,

"Hi-hi-hik, orang muda yang tampan dan bodoh! Apakah baru sekarang engkau melihat kebodohanmu?"

"Iblis betina!" Cong San memaki ketika mengenal bahwa yang berdiri di depannya adalah Cui Im, orang yang dibencinya!

"Tahan!" Cui Im cepat mengangkat tangan ke atas ketika melihat Cong San sudah akan menyerangnya. "Aku datang bukan untuk bertanding denganmu. Engkau tak tahu betapa aku kasihan kepadamu, melihat engkau dipermainkan orang! Engkau seperti buta, tidak tahu betapa engkau dipermainkan isterimu dan Keng Hong!"

"Mulut busuk!" Cong San menerjang dan mengirim pukulan keras ke arah dada Cui Im. Dengan gerakan lincah Cui Im meloncat ke samping lalu mundur.

"Tahan, dengar dulu omonganku! Aku hanya ingin menolongmu, membuka matamu yang buta. Kalau kau menghadapi Keng Hong, mana kau mampu menangkan dia? Aku akan membantumu membalas penghinaan yang dilakukan olehnya kepadamu."

"Aku tidak percaya mulutmu yang beracun, iblis betina!" Cong San menyerang lagi.

Cui Im meloncat jauh, lalu melemparkan sehelai kertas. "Nah, bacalah ini dan apakah kau tidak mengenal tulisan isterimu sendiri? Hi-hi-hik! Selama engkau menyiksa hati di pinggir telaga setiap hari, apa kerjanya isterimu? Berjumpa dengan kekasihnya di hutan sebelah utara telaga. Sekarang pun aku berani bertaruh mereka sedang berkasih-kasihan di sana. Suami tolol!"

"Keparat, kubunuh engkau!" Cong San menerjang lagi.

Akan tetapi Cui Im sudah menggerakkan kaki tangannya melawan dengan jurus In-keng Hong-wi (Awan menggetarkan angin dan hujan). Jurus ini hebat sekali karena inilah ilmu Silat San-in Kun-hoat peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang sudah dipelajarinya.

Angin pukulan yang dahsyat ini tak akan dapat dihadapi orang yang tingkatnya setinggi Cong San sekali pun sehingga orang muda itu terhuyung ke belakang. Apa bila Cui Im menghendaki, tentu dia telah roboh oleh hantaman ini, namun Cui Im tidak menghendaki demikian dan ketika Cong San meloncat lagi, wanita itu telah lenyap, cepat bukan main gerakannya. Cong San mengejar, akan tetapi kehilangan jejak musuhnya.

Dengan alis berkerut dia kembali ke tempat tadi, memandang kertas yang menggeletak di atas tanah. Hari telah mulai senja, cuaca sudah agak gelap maka dari tempat dia berdiri, dia hanya melihat kertas yang ada tulisannya. Hatinya berkeras tidak mau percaya pada Cui Im, tetapi nafsu cemburu membuat dia membungkuk dan seperti di luar kehendaknya, tangannya menyambar kertas.

Begitu melihat huruf-huruf itu, jantungnya langsung berdebar dan kepalanya pening. Tidak dapat disangkal lagi, itulah huruf-huruf tulisan Yan Cu! Betapa dia tidak mengenal tulisan isterinya yang setiap hari sering kali membuat resep obat, huruf-huruf yang indah dan kecil, rapi seperti bunga-bunga diatur dalam sebuah taman! Matanya terbelalak dan entah beberapa kali dia membaca isi surat itu.

Suheng, kekasihku.

Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.

Baru membaca dua baris ini saja naik hawa kemarahan dari perut Cong San dan matanya berkunang-kunang. Sesudah menggosok matanya, baru dia dapat melanjutkan, peluhnya memenuhi muka dan lehernya, kedua tangannya menggigil.

Cong San roboh lemas, surat dikepalnya, napas terengah-engah. Di tempat biasa! Ahhh, iblis betina itu sengaja ingin menghancurkan kehidupannya, akan tetapi tidak berbohong! Isterinya masih melanjutkan hubungan terkutuk itu bersama Keng Hong. Di tempat biasa! Di hutan sebelah utara telaga!

Cong San seperti gila. Melompat berdiri, memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk berlari cepat menuju ke utara. Matahari telah tenggelam di barat, dia mempercepat kedua kakinya berlari, takut terlambat untuk memergoki isterinya. Menangkap basah!

Ya Tuhan, mengapa sampai terjadi begini? Surat dimasukan ke dalam saku baju, menjadi satu dengan surat dari Keng Hong dahulu, giginya berkerot dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan kalau berjumpa dengan Keng Hong dan isterinya.

Setelah memasuki hutan yang agak gelap, dia melihat ada dua bayangan manusia dan otomatis dia menghentikan larinya, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati dengan berhati-hati. Jantungnya berdebar sehingga kedua telinganya mendengar denyut jantungnya seperti tambur dipukul.

Tidak salah lagi, laki-laki itu tentu Keng Hong! Dia mengenal bentuk tubuh dan potongan wajahnya, walau pun agak gelap. Pakaiannya, gerakannya, siapa lagi kalau bukan Keng Hong si keparat? Dan wanita itu, masa dia tidak mengenal isterinya?

Memang mereka sedang membelakanginya, akan tetapi sanggul rambut itu, pakaian itu, dia mengenal betul. Isterinya! Berjalan perlahan, berbisik-bisik dengan Keng Hong yang merangkul pinggang isterinya! Lalu mereka berhenti melangkah sebentar dan... hampir saja Cong San pingsan menyaksikan betapa Keng Hong mencium bibir isterinya. Mereka berciuman, bibir dengan bibir, lama sekali dan melihat betapa lengan isterinya merayap naik melingkari leher Keng Hong, melihat betapa kedua tangan Keng Hong mendekap pinggang dan pinggul isterinya!

"Ya Tuhan...!" keluhnya.

Agaknya kedua orang terkutuk itu mendengar suaranya karena mereka itu menengok dan tiba-tiba mereka berkelebat lari dari tempat itu, cepat sekali.

"Keng Hong, manusia hina, tunggu!" Cong San meloncat, mengejar, akan tetapi karena gerakan kedua orang itu cepat sekali dan hutan itu pun gelap, dia tidak dapat menyusul dan kehilangan mereka.

Dengan marah seperti gila dia berteriak-teriak, memaki-maki dan mencari ubek-ubekan di dalam hutan itu sampai akhirnya dia menjatuhkan diri di atas tanah, memegangi kepala dengan kedua tangan, terengah-engah seperti akan putus napasnya, bukan karena lelah berlari-lari sejak tadi, melainkan terengah-engah karena kemarahannya.

Kemudian dia teringat. Apa pun yang akan dia lakukan terhadap Keng Hong, dia harus berjumpa dengan isterinya lebih dulu! Dia harus membikin perhitungan dengan isterinya, membereskan persoalan ini. Maka dia lalu meloncat lagi, berlari menuju ke rumahnya.

Tokonya masih tutup dan kedatangannya disambut oleh Chie-ma yang menggendong Kun liong. Ketika pelayan itu melihat wajah Cong San, hampir dia berteriak kaget. Wajah itu sangat menakutkan, matanya merah dan melotot, rambut awut-awutan, pakaiannya kotor terkena lumpur dan debu, giginya berkerot, napasnya terengah.

"Di mana Toanio?" Cong San bertanya dan kalau saja pelayan ini tidak mengenal betul wajah majikannya, tentu dia akan mengira bahwa yang bicara ini adalah orang lain. Suara majikannya demikian berubah!

"Toanio... baru saja pergi, tergesa-gesa, entah ke mana akan tetapi kelihatannya sangat bingung..."

"Lekas siapkan pakaian Kun Liong, bantal yang baik dan siapkan di kamar!"

Menyaksikan sikap majikannya dan mendengar suaranya, pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi, dan meski pun terheran-heran namun dia melakukan perintah itu. Cong San menyalakan lampu besar di toko, tidak membuka tokonya lalu duduk terhenyak di kursi, menanti kedatangan isterinya.

Ke manakah perginya Yan Cu kalau tidak mengadakan pertemuan hina dan berjinah dengan Keng Hong, pikirnya. Keparat, wanita berhati palsu, berkelakuan hina dan rendah!

"Brakkkkk...!"

Pintu terbuka dari luar dan muncullah Yan Cu dengan muka pucat. Ketika melihat Cong San duduk di atas kursi, Yan Cu berseru,

"San-koko...!" Ia menubruk dan memeluk suaminya.

"Jangan sentuh aku!" Cong San menangkis dan Yan Cu hampir roboh terguling kalau dia tidak cepat meloncat ke kiri, berdiri memandang suaminya dengan mata terbelalak kaget seperti melihat setan.

"Kau... kau... ada apakah...? Apakah terluka? Apakah yang terjadi...?" Yan Cu bertanya gugup dan bingung.

Cong San mendelik. "Perempuan..."

Dia tidak melanjutkan makiannya dan sedu-sedannya naik dari dadanya yang mencekik kerongkongannya. Tidak, dia tidak mungkin dapat mengutuk isterinya, tidak sanggup dia memaki isterinya. Melihat wajah itu, wajah yang terbelalak pucat sambil membayangkan ketakutan hebat, dia merasa kasihan. Ahhhh, dia mencinta isterinya betapa mungkin dia menyakitinya, baik tubuh mau pun jiwanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar