Pedang Kayu Harum Jilid 35

Tio Hok Gwan merasa betapa tenaga sinkang-nya membanjir keluar, menerobos melalui kedua tangannya. Dia terkejut dan berusaha menarik tangannya, namun makin keras dia berusaha makin keras pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Ia terkejut dan matanya terbelalak saking herannya.

Ketika Keng Hong mendengar seruan Cui Im, dia langsung teringat dan cepat sekali dia mengeluarkan pekik melengking kemudian menggerakkan tubuh sendiri ke belakang dan menggunakan sinkang menolak. Tio Hok Gwan berteriak nyaring dan tubuh pengawal ini mencelat ke belakang seperti dilontarkan, sedangkan tubuh Keng Hong sendiri berjungkir balik sampai lima kali ke belakang.

Tio Hok Gwan masih dapat turun di atas kedua kakinya dengan terhuyung. Ia berdiri dan memandang Keng Hong dengan wajah pucat. Kaget sekali pengawal ini dan dia tidak lagi berani bergerak, melainkan menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan tenaga sambil menyalurkan sinkang-nya ke pusar, kemudian memutar hawa panas dari pusar itu untuk menyelidiki keadaan dalam tubuhnya. Dia merasa lega karena tidak terluka, hanya agak lemas karena ada tenaga sinkang yang membocor keluar secara aneh.

Ada pun Keng Hong yang mukanya lebih merah dari pada biasanya, akibat kebanjiran sinkang, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan The Ho dan berkata,

"Harap Taijin sudi memberi maaf kepada hamba. Pengawal Taijin terlalu lihai, dan hamba tidak kuat melawannya."

The Ho yang masih terheran-heran mengangguk-anggguk dan berkata, "Cia Keng Hong orang muda yang hebat, bagaimana kalau engkau bekerja padaku, membantuku seperti Tio Hok Gwan?"

"Terima kasih, Taijin. Kiranya hamba akan merasa berbahagia sekali jika hamba dapat menghambakan diri kepada seorang bijaksana seperti Paduka. Akan tetapi maaf, untuk waktu sekarang hamba belum sanggup karena urusan pribadi masih banyak yang harus hamba selesaikan lebih dulu."

Kembali The Ho mengangguk-angguk sambil menatap ke arah Cui Im yang memandang Keng Hong dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum engkau pergi, katakanlah apakah benar engkau tadi menggunakan Ilmu Thi-khi I-beng? Aku mendengar bahwa ilmu mukjijat itu telah lenyap dari permukaan dunia kang-ouw!"

"Ahh, sesungguhnya hamba sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu, bahkan tidak tahu bagaimanakah macamnya Thi-khi I-beng. Hamba mohon diperkenankan keluar, Taijin."

"Pergilah, mudah-mudahan kelak kita berjodoh untuk saling bertemu kembali. Hok Gwan, kau antar Cia Keng Hong keluar dari istana dengan aman!"

Perintah ini melenyapkan harapan Cui Im untuk mencegat dan mengeroyok Keng Hong dalam perjalanannya keluar dari istana. Hok Gwan segera mengajak Keng Hong pergi dari tempat itu dan dengan adanya pengawal The Ho ini, Keng Hong dapat keluar dengan aman tanpa ada yang berani mengganggu.

"Sahabat muda, terima kasih atas kemurahan hatimu dalam pertandingan tadi. Aku takluk benar kepadamu. Siapakah gurumu?" tanya Hok Gwan setelah mereka tiba di luar istana dan mereka akan berpisah.

"Mendiang suhu adalah Sin-jiu Kiam-ong..."

"Ah... sungguh aku tak tahu diri, maaf... maaf!" Hok Gwan menjura dan cepat-cepat Keng Hong membalas penghormatan ini.

"Engkau juga hebat sekali, Ciangkun. Dan engkau amat baik hati. Kuharap engkau suka berhati-hati menghadapi orang-orang macam pengawal-pengawal rahasia yang hadir di sana tadi. Mereka bukanlah orang-orang yang baik dan boleh dipercaya."

Tio Hok Gwan mengangguk. "Aku sudah tahu mengenai hal itu, dan terima kasih atas peringatanmu. Engkau ingin membekuk wanita cabul itu, bukan?"

"Benar, akan tetapi tidak mungkin sekarang. Dia telah menjadi pengawal, bagaimana aku akan dapat menyentuhnya? Dia dilindungi oleh kekuasaan kaisar."

"Memang, apa bila engkau mencarinya di dalam istana atau pun menyerangnya selagi dia bertugas sebagai pengawal, engkau akan dianggap pemberontak dan engkau tentu akan menghadapi bencana. Akan tetapi, jika engkau bersabar, ada cara yang amat baik, yang membuka kesempatan bagimu."

Mendengar ini, Keng Hong cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Mohon petunjuk Ciangkun, bagaimana aku akan dapat membekuk perempuan iblis itu?"

"Dia terkenal sebagai wanita cabul yang tidak sanggup bertahan lama melewatkan malam dingin sendirian saja." Hok Gwan tertawa mengejek dan merendahkan. "Selain ini, setiap malam di waktu lepas tugas dia selalu berkeliaran mencari pemuda untuk menemaninya. Nah, kalau engkau bersabar, Cia-taihiap, engkau dapat menggunakan kesempatan selagi ia bebas tugas seperti itu, menyergapnya dan kalau di waktu itu menewaskannya, engkau tak akan dianggap pemberontak. Akan tetapi engkau harus bersabar dan untuk beberapa lamanya jangan muncul di kota raja, karena seorang perempuan iblis seperti dia amatlah cerdik dan tentu dia tidak akan berani muncul bila dia tahu atau menduga bahwa engkau sedang mengintainya bagai kucing menanti munculnya seekor tikus. Mengertikah engkau apa yang kumaksudkan, Taihiap?"

Keng Hong menjadi girang sekali, akan tetapi dia merasa malu sendiri ketika mendengar pengawal yang lihai ini menyebutnya taihiap (pendekar besar)! Dia cepat menjura sambil berkata, "Banyak terima kasih atas petunjuk Ciangkun. Nah, selamat berpisah, sampai jumpa pula." Tubuh Keng Hong berkelebat dan sebentar saja lenyaplah pemuda ini dari depan Tio Hok Gwan.

Pengawal pengantuk ini sejenak termangu, kemudian menghela napas dan menggeleng kepalanya. "Pemuda hebat...!" Kemudian dia pun kembali ke dalam istana.

Keng Hong mempergunakan ilmu lari cepat setelah dia keluar dari kota raja. Ia memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan kota raja, kemudian duduk di bawah pohon, termenung. Hatinya girang bahwa dia telah bisa menemukan tepat sembunyi Cui Im. Biar pun dia sekarang belum berhasil, akan tetapi dia yakin akan dapat menangkap Cui Im, merampas kembali kitab-kitab yang harus dia kembalikan kepada mereka yang berhak, kemudian menghukum gadis itu yang selalu mencelakai dirinya dan sudah mendatangkan kesengsaraan kepada Biauw Eng.

Biauw Eng! Begitu teringat akan gadis itu, tanpa disadarinya Keng Hong menyangga dagu dengan tangan dan menyangga siku lengan lutut. Hatinya berduka sekali. Memang ada rasa bahagia di hatinya bahwa dia sudah berjumpa dengan Biauw Eng, melihat dara itu selamat dan telah membukakan rahasia hatinya kepada Biauw Eng, bahkan juga sudah menceritakan segala kesalah pahaman pada masa lalu. Akan tetapi, akhirnya Biauw Eng marah-marah dan meninggalkannya! Dan semua itu adalah karena kesalahannya sendiri, karena sikapnya!

Kalau dia kenangkan keadaan gadis itu, hatinya makin pedih dan tampak olehnya betapa mulia dan murninya hati gadis itu, gadis yang menjadi puteri Lam-hai Sin-ni si nenek iblis, akan tetapi juga puteri gurunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia selalu menyangka yang bukan-bukan terhadap Biauw Eng, padahal gadis itu bersih dan tidak berdosa.

Kalau dipikir-pikir kembali, jelas kini bahwa dialah yang kotor dan penuh dosa. Dan yang terakhir sekali, dia masih memaki Biauw Eng karena gadis ini hendak membalas budi Lai Sek yang amat besar!

"Heh-heh-heh… tidak baik orang muda melamun kosong! Melamun membikin orang lekas menjadi lekas tua, heh-heh-heh!"

Keng Hong terkejut, cepat meloncat bangun sambil membalikkan tubuh. Tidak banyak di dunia kang-ouw ada orang yang datang tanpa dia ketahui, biar pun dia sedang melamun. Ternyata di depannya telah berdiri seorang kakek bertubuh kecil bongkok, punggungnya berpunuk dan mukanya ramah tersenyum terus, rambutnya panjang akan tetapi di tengah kepalanya botak, tangan kirinya membawa guci arak. Siauw-bin Kuncu!

Di antara selaksa orang, dia mengenal kakek ini, kakek yang selain aneh juga yang amat berjasa kepadanya karena kakek inilah yang membuka rahasia Siang-bhok-kiam. Kakek inilah yang tanpa disadari oleh kakek itu sendiri sudah menolong dirinya sehingga berhasil mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.

Hanya tampak perbedaan pada pakaian kakek itu. Kalau dahulu pakaiannya yang selalu bersih dan baru itu terbuat dari bahan sederhana dan dengan potongan tidak karuan pula, kini pakaiannya sangat mewah, berkembang seperti pakaian orang berpangkat, bahkan kedua kaki yang biasanya telanjang itu kini memakai sepatu baru, berkembang pula!

"Ahhh, kiranya Locianpwe yang datang!" Keng Hong cepat menjura penuh hormat karena hatinya sangat girang bertemu dengan kakek ini. "Siauw-bin Kuncu Locianpwe, sungguh saya hampir tak mengenal Locianpwe melihat pakaian dan sepatu Locianpwe yang amat indah!"

"Heh-heh-heh-he-he! Wah, engkau menyindir, ya? Memang pakaian dan sepatuku hebat. Menyala, ya? Dan caraku berjalan juga berubah. Lihat...!"

Kakek itu lalu mendemonstrasikan cara melangkah kaki seorang pembesar! Penuh gaya, dengan langkah tegap tenang berwibawa, dagu ditarik ke atas, mata memandang seperti dari angkasa memandang ke bawah. Akan tetapi karena punuk di punggungnya membuat dia terpaksa membongkok, biar pun dia memasang aksi tetap saja kelihatan lucu!

Keng Hong menahan rasa geli hatinya dan berkata, "Locianpwe benar hebat! Telah memperoleh banyak kemajuan kiranya!"

"Tentu saja! Wah, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini, Cia Keng Hong! Murid Sin-jiu Kiam-ong benar-benar sudah menimbulkan gara-gara dan heboh! Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu di istana. Sampai-sampai panglima besar seperti The Taijin yang gagah perkasa dan arif bijaksana juga kagum padamu. Bagaimana kabarnya, sahabat cilik? Aduh, betapa bahagianya bertemu dengan sahabat lama!"

"Sayalah yang bahagia dan gembira dapat bertemu dengan Locianpwe yang bijaksana karena tentu akan mendapatkan banyak petunjuk. Di manakah Locianpwe kini tinggal? Ataukah masih merantau sebatang kara, bebas lepas di udara seperti burung?"

"Heh-heh-heh, orang setua aku, kalau seperti burung terus, bukankah berarti kelak akan mati terlantar dan menyia-nyiakan pengertian yang telah kupelajari hingga puluhan tahun? Ha-ha-ha, tidak Cia Keng Hong. Sekarang aku sudah menjadi guru besar, aku menjadi pembesar di kota raja, memimpin kebudayaan dan kesusastraan, mengurus pelaksanaan ujian bagi para calon siucai. Ha-ha-ha-ha-ha!"

Keng Hong tertegun. "Locianpwe... Menjadi pembesar...?" Kenyataan ini amat aneh dan lucu bagi Keng Hong. Sulit membayangkan seorang pendekar tua aneh seperti Siauw-bin Kuncu menjadi seorang pembesar!

"Apa salahnya?" Mata kakek itu melotot. "Asal orang telah mengerti dan menjalankan tugas hidupnya sesuai dengan To, menjadi pembesar pun tidak ada salahnya. Seorang kuncu (budiman) bukan hanya sebutannya saja, juga harus dalam sepak terjangnya! Aku memegang jabatanku sebagai pembesar berdasarkan pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu. Engkau mau tahu? Dengarlah!"

Siauw-bin Kuncu yang masih berdiri itu lalu menengadah dan membaca ujar-ujar dengan suara lantang dan memakai irama seperti orang bernyanyi berdeklamasi:

"Cai-siang-wi, put-leng-he, Cai-he-wi, put-wan-siang! Ceng-ki-ji, put-kiu-I-jin..."

Ujar-ujar itu berarti ‘Berada di atas tidak menghina yang bawah, berada di bawah tidak menjilat atasan! Memperbaiki diri sendiri tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain...’

Keng Hong tersenyum mendengar kalimat terakhir tadi yang dikutip oleh si kakek dari pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Keng Hong kemudian melanjutkan, "Siang-put-wan-Thian, he-put-yu-jin! (Ke atas tidak mencela Tuhan, ke bawah tidak menyalahkan orang!)"

"Heh-heh-heh, engkau murid yang baik! Engkau tahu betapa Nabi Khong Hu Cu sampai mengeluh menyaksikan betapa pada masa beliau hidup, pelajarannya yang sangat indah dan menuntun manusia ke kebenaran, disia-siakan orang. Karena itu, sekarang aku ikut membantu menyebarkan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu agar sedikit banyak bisa berguna bagi manusia. Ehhh, orang muda, mari kita duduk dan mengobrol yang enak, jarang aku bertemu dengan orang yang dapat mengerti baik apa bila diajak bicara soal filsafat dan kebatinan."

Keng Hong tersenyum dan mereka duduk di bawah pohon besar, di atas akar-akar pohon. Kakek itu menenggak arak dari gucinya, menawarkan kepada Keng Hong. Dengan halus pemuda itu menolak. Kakek itu minum lagi beberapa teguk, lalu berkata,

"Ahh, apa katamu melihat aku menjadi pembesar dan mengajarkan pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang memang mulai disebar luaskan oleh kaisar yang pandai memakai orang dan menghargai kebudayaan ini?"

"Maaf, kalau pendapat saya keliru, Locianpwe. Sesungguhnya saya hanya seorang muda yang bodoh dan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu amatlah sukar bagiku..."

Kakek itu sibuk menggoyang-goyang kedua tangannya. "Salah! Salah! Tidak ada orang pintar atau bodoh di dunia ini. Tidak ada pula sesuatu yang sukar atau mudah! Yang ada hanyalah belum mengerti atau sudah mengerti. Biasanya orang disebut bodoh karena belum mengerti, dan disebut pintar kalau sudah mengerti. Dan untuk jadi mengerti orang harus belajar! Engkau pandai silat, apakah engkau bisa disebut orang pintar? Aku pandai filsafat, apakah aku orang pintar? Kalau kita berdua pergi melihat serorang tukang kayu membuat ukiran-ukiran kayu yang indah, apakah kita dapat melakukannya? Apakah kita pintar dalam pertukangan kayu? Tentu saja tidak. Oleh si tukang kayu kita akan dianggap bodoh. Bukan bodoh, hanya belum mengerti, belum bisa! Dan apakah itu sukar? Apa itu mudah? Tidak ada. Kalau sudah bisa tentu saja mudah, kalau belum bisa menjadi sukar. Soalnya hanya MENGERTI, dan untuk mengerti harus belajar!"

"Locianpwe benar sekali, akan tetapi pelajaran budi pekerti sungguh soal lain lagi, mudah dipelajari, mudah dihafal namun betapa sulitnya melaksanakannya!"

"Salah! Salah! Nabi Khong Hu Cu pernah bersabda demikian:,” Siauw-bin Kuncu lantas melantunkan sabda yang dia maksudkan.

Yang menyebabkan To tidak dilaksanakan:
Orang pandai terlampau jauh melewatinya,
orang bodoh tidak mampu mencapai/mengertinya.
Yang menyebabkan To tidak dimengerti:
Orang pintar terlampau jauh melewatinya,
orang tidak pintar tidak mampu memahaminya
.

Keng Hong mengangguk-angguk karena dia pun hafal akan ujar-ujar itu, akan tetapi dia mendengarkan terus. Kakek itu menggaruk-garuk botak pada kepalanya lalu melanjutkan, "Ujar-ujar itu menyatakan: Tidak ada seorang pun manusia yang tidak minum dan makan, akan tetapi hanya sedikit saja yang dapat mengenal cita rasanya!"

"Tepat sekali ujar-ujar itu, locianpwe. Memang manusia di dunia ini selalu tertarik dengan kulit tanpa mau memperhatikan isi. Alangkah banyaknya orang yang hafal akan segala filsafat, kenal segala pengetahuan batin, mengerti akan segala ilmu kebatinan dan tentang kebajikan. Namun betapa sedikit sepak terjang dalam penghidupan manusia berlandaskan kebenaran dan kebajikan."

Kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. "Orang muda, dengan kata-katamu itu engkau menampar mukaku pula! Memang demikianlah, banyak sekali orang, termasuk aku juga agaknya, gila akan kedudukan, akan nama, paling suka kalau disebut seorang kuncu, seorang budiman, seorang cerdik pandai dan arif bijaksana! Segala filsafat yang muluk-muluk ditelan semua, akan tetapi apa artinya mengenal dan menghafal seribu satu macam filsafat kebatinan namun tidak menerapkannya satu pun juga dalam hidup? Sama dengan gentong kosong nyaring bunyinya!"

"Apa bila Locianpwe sudah tahu akan hal ini, mengapa Locianpwe kini menjadi seorang pembesar, menjadi seorang yang berusaha mengembangkan pelajaran kebatinan atau agama? Bukankah akan sia-sia belaka bila ada selaksa orang yang mengerti akan semua filsafat kebatinan tanpa melaksanakannya dalam hidup?"

"Eh-eh-eh, orang muda. Lidahmu terlalu tajam dan berbahaya. Coba jelaskan!" Kakek itu melotot.

"Maaf akan pendapat saya yang pandir, Locianpwe. Bagi saya, filsafat dan ujar-ujar dalam kitab-kitab suci dibuat untuk dilaksanakan! Kalau hanya untuk dihafalkan belaka kemudian tidak dilaksanakan, sama halnya dengan menodai semua pengetahuan murni dan suci itu! Misalnya saja, ada dua buah ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu yang kalau dituruti oleh semua orang di dunia ini, kiranya dunia akan menjadi aman."

"Heh-heh-heh, kau kira begitu? Ujar-ujar yang manakah itu?"

"Pertama ujar-ujar yang berbunyi: Semua manusia di empat penjuru adalah saudara! Bila kita berpegang kepada pelajaran ini dan menganggap setiap orang manusia, bangsa apa pun juga, di mana pun juga adanya, kaya mau pun miskin, berpangkat tinggi mau pun rendah, pintar mau pun bodoh, adalah seperti saudara sendiri, tentu tak akan ada musuh! Tentu akan saling bantu, seperti yang selayaknya di antara saudara! Kemudian yang ke dua ujar-ujar yang berbunyi: Jangan melakukan kepada orang lain suatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu. Apa bila semua orang mentaati pelajaran ini, saya kira tidak akan ada orang yang suka berbuat jahat terhadap orang lain karena dia sendiri tentu tidak mau kalau orang lain berbuat jahat kepadanya."

"Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Apa kau kira hanya untuk itu manusia hidup di dunia? Apakah cukup dengan mencinta sesama dan tidak berbuat jahat kepada orang lain? Tidak, Keng Hong. Manusia terikat kewajiban-kewajiban, kewajiban sebagai manusia hidup dan Nabi Khong Hu Cu menunjukkan jalan-jalan dan cara-cara betapa manusia dapat menunaikan kewajiban hidupnya dengan sempurna! Oleh karena itu, mutlak penting bagiku yang telah berani memakai nama julukan Kuncu untuk menyebar luaskan pelajaran-pelajaran itu agar setiap orang manusia di dunia mengerti, mempelajari, dan kemudian melaksanakannya dalam hidup sehingga semua manusia akan tahu memenuhi kewajiban masing-masing!"

"Maaf, Locianpwe. Akan tetapi bukankah kewajiban pun dapat diartikan banyak sekali, tergantung dari pada orang yang mengartikannya?"

"Tidak begitu, ada sabda Nabi Khong Hu Cu tentang itu yang berbunyi begini: Melakukan kewajiban terhadap ayahku seperti aku ingin melihat puteraku melakukannya terhadapku. Melakukan kewajiban terhadap rajaku seperti aku ingin melihat bawahanku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap kakakku sebagaimana aku ingin melihat adikku melakukannya terhadap aku dan demikianlah selanjutnya. Singkatnya merupakan kebalikan dari pada ujar-ujar yang kau sebut ke dua tadi. Kalau tadi ujar-ujar itu berbunyi jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu, yaitu, lakukanlah kepada orang lain perbuatan yang kau ingin orang lain melakukannya kepadamu! Jelaskan?"

"Jelas, Locianpwe. Saya teringat akan sebuah pelajaran yang mengatakan bahwa untuk dapat mengatur dan memperbaiki orang lain harus lebih dulu mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri dan untuk dapat mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri harus lebih dahulu mengatur dan memperbaiki diri sendiri."

Kakek itu bersungut-sungut dan mengamang-amangkan telunjuknya kepada Keng Hong, seolah-olah hendak menusuk hidung pemuda itu dengan telunjuknya. "Wah-wah, engkau sekali lagi menyinggung aku, ya? Kata-katamu itu benar-benar ‘mengenai’ namanya! Kau tentu bertanya dalam hatimu apakah aku yang mengajar orang lain ini sudah mengatur keluarga sendiri dan sudah memperbaiki diri sendiri, bukan? Akan tetapi kata-katamu itu memang amat perlu diperhatikan tiap orang. Memang apakah artinya mengajar orang lain atau keluarga sendiri kalau tidak dapat memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Siu-sin (mengatur dan memperbaiki diri sendiri) ini merupakan pelajaran paling penting dari Nabi Khong Hu Cu mengajarkan demikian: Seorang Kuncu tidak boleh tidak harus mengatur dan memperbaiki diri sendiri. Untuk dapat memperbaiki diri sendiri, tidak boleh tidak harus mencinta dan berbakti kepada orang tua. Untuk dapat mencinta dan berbakti, tidak boleh tidak harus tahu akan peri kemanusiaan. Untuk dapat tahu akan peri kemanusiaan, tidak boleh tidak harus tahu akan keTuhanan!"

"Saya mengenal pelajaran itu, Locianpwe. Dilanjutkan dengan pelajaran bahwa ada lima macam jalan kebenaran, yaitu tata susila antara raja dan hulubalangnya, antara orang tua dan anaknya, antara suami dan isterinya, antara kakak dan adiknya dan antara sahabat dengan handai taulannya. Untuk melaksanakan tata susila itu ada tiga dasar kebajikan, yaitu pengertian (kesadaran), welas asih, dan gagah berani."

"Benar... benar...! Kalau sudah melaksanakan dalam hidupnya semua pelajaran itu, mau apa lagi hidup di dunia? Heh-heh-ha-ha-ha! Hatiku senang sekali bertemu dan berbicara denganmu Keng Hong! Engkau masih muda akan tetapi engkau sudah banyak mengerti tentang ilmu kebatinan!"

"Aahhh, Locianpwe. Saya hanyalah seperti seekor burung beo yang meniru-niru belaka. Ujar-ujar dan ayat-ayat suci, juga pengetahuan tentang agama bukannya hal yang perlu diributkan dalam percakapan namun pelajaran yang harus dilaksanakan dalam perbuatan. Kalau tidak dengan Locianpwe, sungguh saya tidak berani bicara soal itu. Hanya satu hal yang amat membingungkan hati saya, Locianpwe. Saya sudah banyak mendengar akan kebijaksanaan kaisar yang pandai menggunakan orang-orang bijaksana sehingga buktinya Locianpwe menghambakan diri kepada kaisar. Hal ini saja sudah cukup bagi saya untuk membuktikan kebenaran kabar yang saya dengar itu. Akan tetapi, Locianpwe, mengapa dalam tempat yang bersih disimpan barang yang kotor? Mengapa kaisar yang bijaksana memelihara serigala dan harimau buas? Kenapa orang-orang macam mereka itu diangkat menjadi pengawal-pengawal?"

"Kenapa tidak? Hal ini justru menunjukkan betapa bijaksananya kaisar! Bisa menjinakkan serigala dan harimau kemudian mengubah mereka dari binatang-binatang buas perusak tiada guna menjadi anjing-anjing penjaga yang sangat berguna, betapa bijaksananya itu! Jauh lebih bijaksana dari pada membiarkan mereka berkeliaran bebas dapat melakukan pengrusakan sehingga perlu mengerahkan tenaga untuk mengejar-ngejar dan berusaha membasmi mereka!"

Keng Hong tidak membantah, akan tetapi diam-diam dia tidak menyetujui kebijaksanaan itu.

Mendadak kakek itu meloncat berdiri. "Cia Keng Hong, kuperingatkan kepadamu, jangan sekali lagi engkau mengacau istana, karena kalau engkau ulangi lain kali aku sendiri tentu akan ikut muncul untuk menentangmu! Aku suka kepadamu, akan tetapi apa bila urusan pribadi kau bawa-bawa ke istana hingga mengacaukan istana, terpaksa aku melupakan rasa sukaku kepadamu. Selamat tinggal!"

Sesudah berkata demikian, kakek aneh itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Keng Hong memandang bengong, dia teringat akan nasehat Panglima The Ho dan juga nasehat pengawal lihai Tio Hok Gwan.

Baru pergi belasan langkah, Siauw-bin Kuncu menoleh lantas berkata, "Aku mendengar bahwa pengawal rahasia wanita itu mempunyai pondok di luar kota raja sebelah barat, pondok mungil warna merah!"

Setelah berkata demikian, kakek itu bergerak cepat sekali dan seperti juga dahulu, Keng Hong merasa geli dan kagum melihat kakek itu melompat-lompat dengan kedua lengan digerakkan seperti seekor ayam lari akan tetapi gerakannya cepat sekali. Juga hatinya girang.

Ternyata sungguh pun mulut orang-orang seperti Siauw-bin Kuncu dan Tio Hok Gwan menentangnya, namun di dalam hati mereka itu berpihak kepadanya dalam menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Dia harus bersabar dan menanti saat dan kesempatan baik untuk menyergap Cui Im di luar istana, dan kalau mungkin di luar kota raja…..

********************

Bayangan putih itu berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata manusia biasa saking cepatnya. Kalau ada orang melihat bayangan putih itu berkelebat di dalam hutan itu, mendengar isak tangisnya, tentu orang itu akan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah iblis penghuni hutan!

Bayangan putih itu adalah Biauw Eng. Sesudah melarikan diri dari kota raja, dara ini lalu berlari ke utara. Di sepanjang jalan ia menangis, menangis dengan hati pilu. Ibunya telah dibunuh bekas suci-nya dan dendam ini bukan hanya tidak dapat dia balas, bahkan dia kehilangan Lai Sek, pemuda yang amat mencintanya. Dua peristiwa ini, kematian ibunya dan Lai Sek, merupakan mala petaka hebat yang amat melukai hatinya, akan tetapi lebih hebat lagi adalah luka di hatinya karena pertemuannya dengan Keng Hong.

Ia harus mengakui bahwa cinta kasihnya terhadap Keng Hong tidak lenyap, bahkan makin mendalam. Akan tetapi setelah dia menguji hati Keng Hong, ternyata bahwa cinta Keng Hong tidak setulus cintanya. Keng Hong hanya mencinta tubuhnya, mencinta kecantikan wajahnya sehingga saat ia mencoba dan membohonginya, mengatakan bahwa tubuhnya telah dimiliki Lai Sek, pemuda itu menjadi marah dan menghinanya!

Ahh, betapa dangkal cinta kasih Keng Hong terhadap dirinya, kiranya sama saja dengan cinta kasih pemuda itu terhadap Cui Im atau terhadap wanita-wanita lain yang pernah dilayaninya bermain cinta. Cinta pemuda itu sifatnya hanyalah badani belaka, cinta nafsu, cinta birahi! Buktinya, begitu mendengar bahwa tubuhnya sudah dijamah pria lain, Keng Hong menjadi marah.

Padahal, cinta kasihnya terhadap Keng Hong amatlah murni. Dia sudah memaafkan Keng Hong walau pun dia tahu bahwa pemuda itu sudah bermain cinta dengan Cui Im dan dengan beberapa gadis lainnya. Cintanya amat mendalam dan dia telah berkabung untuk pemuda itu selama bertahun-tahun. Biar pun tadinya menyangka bahwa pemuda itu telah tewas, namun dia tetap mencinta Keng Hong. Dan kini, setelah bertemu dengan pemuda yang ternyata masih hidup itu, dia dikecewakan!

Makin diingat, makin sakit hatinya dan dengan tubuh lemas Biauw Eng menjatuhkan diri di atas rumput dalam hutan itu. "Ahhh, Keng Hong... alangkah kejam hatimu...!"

Tentu saja ia melarikan diri dari Keng Hong karena maklum bahwa kalau ia mengikatkan diri dengan pemuda itu, akhirnya dia hanya akan dianggap sebagai sebuah benda indah, dijadikan benda permainannya. Tentu saja dia tak sudi. Lebih baik berpisah! Akan tetapi, betapa sengsaranya perasaan hatinya terpisah dari pria yang dicintanya!

"Aduhhh..., dari pada menderita siksa batin seperti ini, lebih baik aku mati saja...! Mati menyusul ibu... menyusul ayah..."

Makin terisak dia menangis ketika teringat bahwa dia adalah puteri Sin-jiu Kiam-ong. Dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Dan Keng Hong adalah murid ayahnya, murid satu-satunya yang terkasih! Kalau saja dia dapat bersanding dengan Keng Hong, akan terobatilah rindunya kepada ayahnya. Akan tetapi Keng Hong...!

"Lebih baik aku mati...!" Dan gadis itu menangis sesenggukan, air matanya seperti air sungai meluap, membasahi kedua pipinya, terus menurun ke dagu dan menetes ke dada.

Akan tetapi Biauw Eng adalah seorang gadis yang semenjak kecil digembleng kegagahan oleh mendiang ibunya. Semenjak kecil dia diajar menghadapi segala apa pun di dunia ini penuh ketahanan, penuh keberanian dan kepercayaan kepada diri sendiri. Kini, pikiran ingin mati hanya terucapkan di mulut karena dorongan rasa duka yang amat mendalam.

Di dalam hatinya, tidak seujung rambut pun keinginan untuk mati, apa lagi bunuh diri yang dianggapnya perbuatan seorang pengecut. Dia tidak takut apa pun juga, mengapa takut melanjutkan hidup? Pula, kematian ibunya belum terbalas! Pada saat itu, tidak mungkin bagi dia untuk membalas dendam karena jelaslah bahwa menghadapi Cui Im, dia tidak dapat berbuat apa-apa.

Bekas suci-nya itu, yang dahulu bekas kawannya dan akan dapat dia kalahkan dengan mudah, kini telah menjadi seorang wanita yang amat lihai, memiliki kepandaian yang jauh mengatasinya. Apa lagi di sebelah Cui Im terdapat Siauw Lek yang juga amat lihai. Kalau saja ada Keng Hong di sampingnya, tentu mereka berdua akan dapat mengalahkan Cui Im dan Siauw Lek. Keng Hong...!

Ahhh, tak dapat diharapkan dan ia pun tidak sudi minta pertolongan pemuda berhati palsu itu! Dia tidak takut mati, akan tetapi dia pun bukanlah seorang tolol yang menyerahkan kematian begitu saja dengan nekat menyerang Cui Im. Ibunya dulu memberi tahu bahwa dengan nekat menyerang lawan yang jauh lebih kuat sehingga diri sendiri dirobohkan, itu bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan seorang tolol!

Habis, apa yang akan dia lakukan?

"Aduh, ibu...!" Biauw Eng menangis lagi.

Baru pertama kali ini selama hidupnya dia merasa tidak berdaya, kehabisan akal dan kehabisan semangat. Luka di hati karena asmara memang sangat pedih, apa lagi kalau dirasakan dan dikenang.

Memang sebenarnya hal itu bukan apa-apa, karena luka seperti itu akan lenyap dengan sendirinya, akan sembuh tanpa diobati. Obatnya hanya jangan memikirkannya lagi dan mencurahkan pikiran untuk hal-hal lain yang banyak terdapat dalam hidup. Akhirnya tentu akan lenyap dan kemudian orang yang tadinya terluka asmara akan tertawa geli kalau mengenang kelakuannya sendiri. Akan tetapi kalau dikenang dan dirasakan, memang tidak ada luka lebih pedih dari pada luka asmara, tidak ada penyakit yang lebih parah dan berat dari pada penyakit asmara!

Tidak, dia tidak akan mati! Dia tidak boleh putus asa! Ia teringat akan ibunya. Dahulu hati Ibunya juga pernah disakiti oleh Sin-jiu Kiam-ong! Ayahnya, atau guru Keng Hong sudah menggoda ibunya, bahkan perbuatan Sin-jiu Kiam-ong lebih jauh, yaitu sudah melakukan hubungan cinta dengan ibunya hingga ibunya mengandung! Dan ayahnya itu tidak pernah kembali kepada ibunya.

Meski pun demikian, ibunya tidak putus asa, bahkan lalu mengasingkan diri dan berhasil memiliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi Lam-hai Sin-ni, tokoh pertama dari semua datuk hitam! Mengapa dia tidak meniru perbuatan ibunya?

Ia akan pergi jauh, jauh dari tempat ramai, menggembleng diri dengan ilmu sehingga ia akan bisa memiliki ilmu kepandaian yang akan dapat mengatasi Cui Im! Dia lebih memiliki alasan untuk hidup dari pada ibunya dahulu! Dia akan menggembleng diri dan kelak akan membalas dendamnya kepada Cui Im!

Pikiran ini mendatangkan semangat baru di dalam hati Biauw Eng. Tidak, dia tidak akan putus asa. Sedikitnya, hubungannya dengan Keng Hong belum sejauh hubungan antara ibunya dengan Sin-jiu Kiam-ong! Dia masih gadis.

Lai Sek sekali pun, Lai Sek yang amat mencintanya, yang selalu siap berkorban apa saja untuknya, bahkan yang telah dia serahi seluruh tubuhnya, namun Lai Sek pun tak pernah menyentuhnya! Sungguh seorang pemuda yang hebat! Cinta kasihnya demikian murni! Kalau saja Keng Hong memiliki cinta kasih seperti Lai Sek. Ahhh, tidak perlu memikirkan Keng Hong lagi.

"Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Dia adalah laki-laki yang tidak berharga! Aku... benci kepadanya!" Biauw Eng melompat bangun lalu lari secepatnya ke utara.

Dia lari seperti dikejar setan, dan memang dia melarikan diri untuk lari dari bisikan yang mengejarnya, bisikan bahwa tidak mungkin dia dapat melupakan Keng Hong, bahwa tidak mungkin dia sanggup membencinya. Betapa pun cepat dia berlari, suara bisikan ini terus mengejarnya, terus terdengar oleh telinganya karena yang berbisik adalah hatinya sendiri.

Ahh, cinta! Sungguh engkau dapat berubah dari seorang dewi pembawa bahagia menjadi seorang iblis yang kejam pembawa derita sengsara! Dan betapa bodohya orang muda yang sudah dicengkeram kuku-kuku beracun dari asmara! Lebih lagi, betapa bodohnya seorang pemuda seperti Keng Hong yang tadinya tidak dapat membedakan antara cinta kasih seorang gadis seperti Biauw Eng dari cinta nafsu seorang wanita macam Cui Im…..

********************

Biauw Eng melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah. Hanya kalau kakinya sudah mogok saking lelahnya, barulah dia beristirahat. Kalau matanya sudah hampir tidak dapat dibuka saking kantuknya, barulah dia tidur dan kalau perutnya sudah tak dapat menahan laparnya, barulah dia mencari makanan pengisi perut. Berbulan-bulan dara yang merana karena asmara ini melakukan perjalanan ke utara dan pada suatu pagi dia memasuki sebuah hutan di lereng Pegunungan Go-bi-san.

Pakaiannya yang berwarna putih itu masih bersih karena sering kali dia berhenti dan mencucinya di sungai atau danau, akan tetapi pakaian itu sudah banyak yang robek, juga sepatunya sudah bolong-bolong. Kulit mukanya yang biasanya halus putih itu kini agak hitam karena setiap hari dibakar terik matahari.

Hanya ada perubahan yang amat menyolok, yaitu pada pandang mata gadis ini. Dahulu, ketika masih bersama ibunya, pada saat namanya terkenal sebagai Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) pandang mata, sikap dan bicaranya dingin seperti sebuah gunung es, dingin akan tetapi amat ganas, bahkan ia dapat membunuh lawannya dengan mata tanpa berkedip.

Akan tetapi kini pandang matanya bersinar-sinar penuh api dan semangat, tanda bahwa di dalam hatinya terkandung cita-cita yang amat besar. Selain pandang matanya berubah panas, juga nampak kematangan dalam sikap dan suaranya. Kematangan seorang dara muda yang tergembleng oleh tekanan-tekanan batin yang hebat.

Keadaan di hutan itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Banyak tetumbuhan yang aneh dan tidak pernah dijumpainya di selatan. Juga banyak terdapat burung-burung indah yang beraneka warna bulunya. Banyak pula kembang-kembang yang indah bentuk mau pun warnanya.

Biauw Eng duduk beristirahat di bawah sebatang pohon, memperhatikan kembang kuning yang tumbuh di dekatnya. Bunga itu aneh bentuknya, bahkan dapat dikatakan buruk dan tidak berbau wangi. Tidak jauh dari bunga kuning ini tumbuh bunga lain yang warnanya merah, bentuknya indah seperti bunga kiok-hwa (seruni) dan berbau harum sekali. Bunga ini dikelilingi beberapa ekor kumbang yang seolah-olah berebut hendak memasuki kelopak bunga merah dan menghisap madunya. Sedangkan kembang kuning yang buruk itu tidak dihiraukan kumbang.

Biauw Eng menarik napas panjang. Dia mengulur lengan dan menyentuh bunga kuning dengan ujung jari-jari tangannya, sentuhan halus penuh kasih sayang dan rasa iba.

"Jangan berduka, bunga kuning," bisiknya menghibur. "Dalam kesepianmu, engkau lebih bahagia dari pada bunga merah itu.”

Biauw Eng memperhatikan bunga-bunga itu dan menghela napas panjang. Betapa sama nasib bunga-bunga ini dengan nasib para wanita. Di mana-mana, seperti bunga-bunga ini, wanita menjadi permainan kaum pria. Hanya wanita-wanita cantik yang dikejar-kejar oleh kumbang. Pria dan kumbang sama saja.

Pria tertarik dengan kecantikan wanita bagaikan kumbang tertarik oleh keharuman madu kembang. Kembang-kembang yang tidak harum, seperti kaum wanita yang tidak cantik, tidak dipedulikan dan menjadi tersia-sia. Akan tetapi, kembang-kembang tidak harum dan wanita-wanita tidak cantik belum tentu lebih sengsara dari pada nasib kembang-kembang harum atau wanita-wanita cantik.

Sesudah madunya habis dihisap kumbang, kembang bermadu lalu ditinggal pergi tanpa pamit oleh si kumbang. Sesudah dipermainkan oleh pria, wanita cantik seperti kembang habis madunya, seperti tebu habis manisnya, lalu disia-siakan dan ditinggal begitu saja! Seperti ibunya! Dan dia tak mau dijadikan seperti ibunya, seperti kembang bermadu yang harum namun kelak akan disia-siakan.

Tidak, lebih baik menjadi kembang kuning yang tak dipedulikan oleh kumbang, akan lebih segar dan dapat bertahan lama, tidak mudah layu! Persetan dengan kumbang-kumbang palsu itu! Persetan dengan segala cinta kasih pria-pria palsu yang hanya membutuhkan kecantikan wajah dan keindahan tubuh!

Tiba-tiba rasa bencinya kepada kaum pria yang mempunyai cinta kasih palsu melimpah dan membuat Biauw Eng marah kepada kumbang-kumbang itu. Tangan kirinya bergerak menampar dan empat ekor kumbang besar terkena tamparan tangannya, lalu terbanting hancur di atas tanah, di bawah kembang kuning. Biauw Eng memandang puas.

"Tersenyumlah, kembang kuning. Tertawalah, dan lihat kumbang-kumbang palsu itu kini menjadi bangkai, sebentar lagi membusuk dan dimakan semut!" Saking gembiranya dan puas hatinya melihat ‘kumbang-kumbang berhati palsu’ itu telah tewas, Biauw Eng bicara dengan keras, seakan-akan kembang kuning merupakan seorang wanita lain yang perlu dihibur hatinya.

Tiba-tiba saja, agaknya terkejut oleh suaranya, dua ekor kijang berbulu coklat berkuningan seperti emas meloncat keluar dari balik semak-semak. Biauw Eng terkejut dan segera memandang, ketawa senang dan dia merasa kagum sekali menyaksikan dua ekor kijang jantan betina yang berkejaran itu. Saking gembiranya, Biauw Eng lupa diri dan seperti seorang anak kecil yang nakal, dia pun lalu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat pula, lari mengikuti dua ekor kijang yang berlari naik ke bukit.

Dua ekor kijang itu berlari makin cepat dan kelihatan ketakutan, mengira bahwa manusia yang dapat berlari cepat di belakang mereka itu sedang mengejar mereka dan hendak menangkap mereka. Mereka mengeluarkan suara ketakutan dan lari kacau balau.

Melihat ini, Biauw Eng menjadi kasihan dan mengikuti dari jauh agar dua ekor kijang itu tidak menjadi ketakutan. Dia berniat untuk mendekati mereka secara sembunyi agar dia dapat memandang mereka sepuas hatinya.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang nyaring bukan main, yang menggetarkan seluruh permukaan bukit. Gerengan ini disusul suara mengembik yang menyayat hati, dua kali beruntun. Biauw Eng terkejut bukan main dan cepat dia meloncat, tubuhnya berkelebat mengejar ke arah suara. Ketika ia tiba di tempat itu, dara ini memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali saking marahnya.

Dua ekor kijang jantan dan betina yang berkejaran tadi kini telah menjadi bangkai, leher mereka terluka dan robek, darah mereka menjadi satu membasahi rumput dan di antara kedua bangkai kijang itu berdiri seekor harimau besar yang mengaum perlahan, kemudian mencium-cium darah serta tubuh kijang, agaknya hendak menikmati baunya yang sedap dan gurih sebelum mengganyangnya. Harimau itu besar seukuran anak lembu, bulunya kehitaman, ekornya panjang melingkar dan yang aneh sekali adalah sebuah tanduk yang tumbuh di antara kedua telinganya yang kecil!

Akan tetapi Biauw Eng tidak mempedulikan keanehan binatang ini. Hatinya telah dikuasai nafsu amarah dan sambil mengeluarkan jerit melengking dia melompat ke depan, segera menerjang harimau bertanduk satu itu. Dalam kemarahannya, Biauw Eng menubruk maju dan menghantam dengan tenaga sekuatnya ke arah kepala harimau yang ada tanduknya itu.

"Siuuuuuuttt... werrrrrrr…!"

"Aihhhhh…!"

Biauw Eng berseru kaget karena pukulannya yang cepat dan kuat itu mengenai tempat kosong! Ternyata harimau bertanduk itu sudah dapat mengelakkan pukulannya. Padahal pukulan tadi tidak akan mudah dielakkan begitu saja oleh seorang ahli silat yang belum mempunyai kepandaian tinggi! Tentu saja merupakan hal yang sangat aneh kalau seekor binatang dapat mengelak dengan gerakan yang begitu cepat akan tetapi juga seenaknya saja karena dengan jelas Biauw Eng melihat betapa harimau itu mengelak secara tenang tidak tergesa-gesa, hanya dengan miringkan kepala ke kiri!

Biauw Eng yang marah sekali melihat sepasang kijang menjadi bangkai karena diterkam oleh harimau ganas ini, cepat-cepat memutar tubuh dan melanjutkan gerakannya dengan sebuah tendangan. Ujung sepatunya meluncur cepat menyambar bawah iga binatang itu. Akan tetapi, sambil mengaum harimau itu kini mengelak dengan loncatan ke belakang dan kaki depan kiri yang bercakar runcing tiba-tiba saja diangkat menampar ke arah kaki Biauw Eng!

"Ehhh...!" Biauw Eng terpaksa menarik kembali kakinya. Ia tidak takut dicakar, akan tetapi celana dan sepatunya bisa dirobek kalau terkait kuku-kuku yang kuat itu. Ia makin heran dan penasaran.

Dua kali dia menyerang dan dua kali pula binatang itu mampu mengelak, bahkan balas mencakar ke arah kakinya. Biauw Eng hampir tidak percaya. Cepat ia menerjang lagi, kini menggunakan seluruh kecepatan gerakannya, melambung dan saat tubuhnya menubruk dan menukik, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah mata harimau itu, ada pun tangan kanannya dimiringkan menghantam ke arah tengkuk. Dua serangan ini ia lakukan sambil mengerahkan Iweekang.

Melihat gadis itu yang malah menerkamnya, harimau bertanduk satu mengangkat muka, agaknya terheran, akan tetapi begitu angin serangan yang dahsyat menyambar, harimau itu mengaum dan mendadak tubuhnya merendah serta diputar, lalu kaki depan kanannya membuat gerakan melingkar, menangkis tusukan jari ke arah matanya, sedangkan tangan kanan Biauw Eng yang menghantam tengkuknya itu ditangkisnya dengan ekornya yang panjang, yang dipergunakan seperti cambuk diayun dari belakang.

"Plakkk! Dukkk!"

"Hayaaaaaa...!"

Biauw Eng cepat melempar tubuh ke belakang. Tangkisan-tangkisan itu membuat kedua pukulannya tertahan. Tadi harimau yang agaknya menjadi marah itu sambil menangkis sudah menggerakkan kepala menggigit sehingga Biauw Eng terpaksa melempar tubuh ke belakang.

Akan tetapi baru saja meloncat turun, harimau yang marah itu sudah menerjangnya dan membalas dengan serangan yang dilakukan secara aneh, bukan menubruk seperti yang dilakukan oleh harimau-harimau biasa, melainkan menggerakkan dua kaki depan secara bertubi-tubi mencakarnya dari kanan kiri, sedangkan tubuhnya bergerak maju dengan kaki belakang saja, benar-benar seperti gerakan manusia!

Biauw Eng melangkah mundur lantas melolos sabuknya. Dalam keadaan biasa kiranya gadis ini akan merasa malu bila menggunakan senjatanya menghadapi seekor binatang hutan. Akan tetapi, dia sudah merasa amat marah melihat sepasang kijang yang dibunuh dan dia tahu bahwa harimau ini bukan sembarangan harimau, melainkan seekor harimau yang memiliki kelebihan dari pada harimau lain. Gerakannya selain cepat dan kuat, juga aneh, mirip gerakan yang terlatih, gerakan yang memiliki dasar ilmu silat!

"Binatang jahat dan kejam, mampuslah!" Biauw Eng membentak dan tangannya bergerak.

Sinar putih menyambar ke depan, sinar putih yang panjang dari sabuk suteranya. Dengan sabuk suteranya ini, dahulu Biauw Eng amat dikenal dan ditakuti lawan, karena memang hebat permainan sabuk suteranya yang dalam segebrakan saja dapat merampas senjata lawan, kalau perlu mampu merampas nyawa lawan!

Kini ujung sabuk sutera itu melayang ke arah kepala, tenggorokan dan lambung harimau dengan kecepatan yang menyilaukan mata. Ujung sabuk yang bergerak bertubi-tubi itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan ketika menyambar ke arah harimau mengeluarkan bunyi bercuitan mengerikan.

"Cuiiiiiittttt... dar-dar-dar...!"

Tiga kali ujung sabuk sutera yang tidak mengenai sasaran itu meledak di tempat kosong. Sekali ini Biauw Eng benar-benar terkejut. Binatang buas itu mampu mengelak serangan sabuk suteranya secara beruntun tiga kali dengan cara menggulingkan diri. Mana di dunia ini ada harimau yang mempunyai akal untuk mengelak sambil bergulingan?

Dan bukan sampai di situ saja karena tiba-tiba harimau itu mengaum dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu kini berguling mendekat lantas secara mendadak sekali tubuh yang kehitaman itu mencelat ke atas dan sudah menubruk ke arah Biauw Eng dengan gerakan dahsyat.

Keempat kakinya bergerak hendak mencengkeram, akan tetapi dengan cakar-cakar yang digerak-gerakkan hingga sulit ditentukan ke mana keempat buah cakar yang mengerikan itu akan mencengkeram, dan serangan ini didahului oleh sebatang ‘cambuk’ yaitu ekornya yang digerakkan lebih dahulu, bukan menyabet seperti buntut harimau biasa, akan tetapi dari bawah ekor ini bagaikan menjadi sebatang toya lurus yang menyodok ke arah leher Biauw Eng.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar