Pedang Kayu Harum Jilid 32

Theng Kiu menjadi penasaran. Dia segera menghimpun seluruh tenaga sinkang-nya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak!

Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga. Akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar tidak dapat diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia sudah memasang kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu. Sepasang kakinya dipentang tegak sambil mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diinjaknya seakan-akan melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya.

Hal ini tidak saja nampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk dapat menyaksikan adu tenaga yang amat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu.

Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya dan berdiri seperti orang bingung.

Melihat ini, saking herannya hampir saja kaisar bangkit dari kursinya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana? Mengapa kau tidak menerima kitab itu?"

Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda..."

Kedua mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi secara diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?"

"Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar.

Pada saat itu masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sambil melaporkan bahwa The-tai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata,

"Suruh dia cepat datang menghadap. Biar pun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!"

Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seakan-akan terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri. Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum ditanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab.

Tak lama kemudian masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi, diikuti oleh seorang lelaki kurus berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk. Saat Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam dia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu yang demikian terang dan tajam bagaikan mata harimau di tempat gelap.

Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar. Sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian serba putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar. Mereka berdua kemudian berlutut menyembah.

"The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang sangat menarik hati. Biarlah urusan kita itu nanti saja kita bicarakan setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah pembantumu yang kau sebut dahulu itu?"

"Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam.

"Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba siap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda."

"Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar.

Pembesar itu ialah seorang panglima laksamana, yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Ada pun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisional bahwa Ma Huan ini dikenal sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang).

Dua orang pembesar itu lalu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki kurus yang berpakaian sederhana dan seperti orang mengantuk itu kemudian berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh.

"Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihatlah dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?"

The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Pada waktu Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika dia melirik ke arah Ma Huan, dia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang sangat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya!

"Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya tapi mentah isinya, Sri Baginda."

Jawaban The Ho yang amat tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan di dalam hati berjanji untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga mempunyai banyak orang sakti itu.

"Ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlampau mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?"

"Tergantung dari tingkat kepandaian mereka, Sri Baginda."

"Justru itulah, saat ini kami sedang menguji mereka. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa selain mereka datang hendak melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini ingin mempersembahkan kitab Thai-yang Cin-keng kepadaku?"

The Ho tampak kaget dan tercengang. Ia mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil."

"Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya," kata pula Sri Baginda sambil tersenyum.

"Ah, benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?"

"Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!"

The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Dengan sikap hormat Tio Hok Gwan memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, kemudian maju menghampiri Cui Im dengan malas-malasan.

Cui Im maklum bahwa dia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau sekarang ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masakah sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah?

Ketika Cui Im melihat si pengantuk itu mengulur tangan, dia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Dia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini sebagai Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka dia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu memiliki tenaga dahsyat.

Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya, sedangkan dalam hal sinkang dia belum terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena kini dia diuji dalam tenaga, tentu saja dia tak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkang-nya dan seperti tadi dia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat.

Meski pun Tio Hok Gwan diam-diam merasa kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab sesudah disambar hawa dari tangannya, akan tetapi di wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Lelaki kurus ini melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, lantas mengerahkan tenaga membetot.

Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa betapa pun kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak juga terlepas dari tangan Cui Im! Biar pun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seakan-akan seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia segera mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri.

Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal.

Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata gerakan itu membuat tenaganya bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan.

"Brettttt...!"

Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan sekarang Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah.

"Jangan merusakkan kitab...!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasehat.

Cui Im yang cerdik memang berhasil mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,

"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu agar supaya menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan."

"Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia!" kata Cui Im.

Dia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya itu seakan-akan mengatakan bahwa betapa pun juga, si pengantuk itu tak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar.

Mereka bertiga, kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum sebab mengenal kitab itu benar-benar merupakan peninggalan Jenghis Khan yang berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting.

"Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kaisar berkata sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima lalu menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan, dan pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk!

"Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek. Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!"

Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Ada pun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggir sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, begitu pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi.

Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampaklah sinar merah berkelebat karena dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas.

"Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat pada junjungannya. "Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada pihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau hamba sampai salah tangan dan terlanjur menewaskannya?"

Kaisar menganguk-angguk. "Dalam sebuah pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh."

Akan tetapi sambil menyoja dengan kedua tangannya Cui Im lalu berkata kepada kaisar, "Mohon ampun, Sri Baginda. Orang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur."

The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan, "Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sangat sombong, tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda."

"Mulailah!" Kaisar menggerakkan tangan ke atas dan semua mata memandang ke arah dua orang yang sudah siap itu.

"Lihat serangan!" Theng Kiu membentak dan ruyungnya lantas menyambar, menjadi sinar keemasan menghantam ke arah kepala Cui Im.

Wanita ini melihat bahwa gerakan lawan cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa ruyung itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan pedangnya menyerampang kaki lawan.

Cepat sekali gerakannya itu, hampir berbarengan dengan serangan Theng Kiu sehingga pengawal kepala ini terkejut dan cepat melompat sambil memiringkan tubuh dan dia pun meniru lawannya untuk bergerak cepat, ruyungnya yang melewati kepala tadi dia balikkan menimpa pundak Cui Im.

Cui Im tidak membiarkan tulang pundaknya diremukkan ruyung. Ia miringkan tubuh sambil meloncat ke atas dan otomatis pedangnya yang tadi luput menyerang kaki sekarang telah membentuk lingkaran ke atas, lantas menukik dengan tusukan ke arah mata Theng Kiu! Akan tetapi Theng Kiu sudah memutar pergelangan tangannya dan ruyungnya menangkis keras.

"Tranggggg...!"

Bunga api berhamburan dan secepat kilat Cui Im yang sudah ke bawah itu menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kembali menghadapi serangan yang cepat ini, tidak ada lain jalan bagi Theng Kiu kecuali menggerakkan ruyung dari samping menangkis keras.

"Cringgggg...!"

Kini sambil menangkis Theng Kiu membarengi dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Cui Im dari samping. Akan tetapi Cui Im mengelak ke kanan dan mengayunkan kakinya menendang lutut lawan. Kalau saja Theng Kiu tak cepat-cepat mengelak sambil memutar ruyungnya melindungi tubuh, tentu lututnya patah atau lehernya terbabat pedang karena sambil menendang tadi pedang Cui Im sudah menyambar ke leher.

"Tranggggg...!" Kembali kedua senjata bertemu keras.

Theng Kiu menghantam ruyung dari bawah ke arah pinggang, tapi ditangkis oleh Cui Im.

"Cringggg…!"

Dan tiba-tiba saja tampak sinar merah bergulung-gulung ketika Cui Im membalas dengan serangan bertubi-tubi. Cepat bukan main gerakan pedang wanita ini sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang merah.

Theng Kiu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga mengimbangi kecepatan lawan, namun tetap saja dia kalah cepat sehingga di antara dua gulung sinar pedang merah dan sinar ruyung keemasan yang membungkus tubuh kedua orang itu, berkali-kali terdengar suara nyaring dan kesemuanya merupakan pedang yang menyerang dan ruyungnya yang terus menerus menangkis karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang!

Semua orang yang menonton termasuk kaisar sendiri, menahan napas, kecuali The Ho yang mengelus-elus jenggot, Ma Huan yang tersenyum-senyum dan Tio Hok Gwan yang makin mengantuk sungguh pun sepasang mata yang mengantuk ini tidak pernah berkedip menonton pertandingan. Pertandingan itu amat seru dan juga menegangkan, berlangsung dengan kecepatan yang memusingkan para penonton yang tingkatnya masih belum tinggi itu.

Cui Im memang seorang ahli pedang yang lihai. Dahulu pun, ketika dia masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan memiliki julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah), ilmu pedangnya sudah hebat dan jarang ada yang mampu menandinginya. Kini, sesudah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan mukjijat dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong selama empat tahun, kepandaiannya sudah meningkat luar biasa.

Ilmu pedangnya kini amat hebat, merupakan gabungan dari ilmu pedangnya sendiri yang dia pelajari dari Lam-hai Sin-ni lalu disempurnakan dengan ilmu pedang yang dia pelajari dari kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang inti sarinya merupakan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam dan yang hanya dimiliki atau diwarisi oleh Keng Hong karena Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam ini dirahasiakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dan hanya Keng Hong yang telah menerima ajaran gurunya.

Namun ilmu pedang ciptaan Sin-jiu Kiam-ong itu benar-benar mencakup semua inti dari ilmu pedang Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-lim-pai menjadi satu. Di masa mudanya, Sin-jiu Kiam-ong yang mencuri ilmu-ilmu dari partai-partai besar sudah memetik bagian-bagian yang terlihai kemudian menggabungkannya sehingga ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Cui Im benar-benar luar biasa sekali.

Di lain pihak, ilmu silat Theng Kiu adalah ilmu silat gabungan dari utara dan selatan, dan juga dia memiliki jurus-jurus gabungan yang aneh, akan tetapi kalau dibandingkan dengan Cui Im, tingkat ilmu silatnya kalah tinggi. Selain itu, karena Cui Im sudah mempelajari cara bersemedhi dan menghimpun tenaga sakti dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, terutama sekali dari kedua kitab Siauw-lim-pai, Seng-to Cin-keng dan I-kiong-hoat-hiat, maka dia sudah mempunyai sinkang yang amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga sinkang Theng Kiu sehingga wanita ini menang tenaga dan menang cepat.

Cahaya pedang merah yang bergulung-gulung itu semakin lama semakin membesar dan lingkaran-lingkarannya makin luas, menggulung sinar emas dari ruyung di tangan Theng Kiu.

"Bagaimana pendapatmu, The-ciangkun?" Kaisar bertanya kepada Laksamana The Ho yang memandang dengan kagum.

"Hebat, Sri Baginda. Sungguh-sungguh hebat kiam-sut-nya, dan kalau Sri Baginda dapat mempergunakan tenaga wanita ini sebagai pengawal, sungguh baik sekali. Hamba rasa, Tio Hok Gwan sendiri pun belum tentu mampu menandingi kiam-sut-nya yang seperti itu. Bagaimana, Hok Gwan?"

Si pengantuk itu menggeleng-geleng kepala. "Luar biasa sekali. Hamba tak akan menang bertanding senjata dengan wanita itu."

Dengan ucapan ini, Tio Hok Gwan hanya mengakui kelihaian Cui Im dalam permainan pedang saja, sedangkan jika bertanding sungguh-sungguh mencari kemenangan, belum tentu dia akan kalah.

"Pedang yang ganas, semoga Allah menyadarkan untuk mempergunakan ilmunya demi kebenaran!" Ma Huan berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Cukup, Theng-ciangkun...!" Tiba-tiba terdengar seruan Cui Im.

Tampak tubuh wanita ini melesat keluar dari gulungan sinar yang lenyap pula. Wanita ini berdiri sambil tersenyum, wajahnya merah segar dan matanya berseri. Ada pun Theng Kiu berdiri dengan muka lebih merah lagi, napasnya agak terengah.

"Maafkan saya, Theng-ciangkun dan terimalah kembali kancing bajumu."

Cui Im melemparkan sebuah benda kecil yang diterima oleh Theng Kiu. Keduanya lalu berlutut menghormat kaisar yang memandang kagum. Kiranya wanita itu begitu lihainya memainkan pedang sehingga dapat menanggalkan kancing baju lawan tanpa melukainya.

Tentu saja peristiwa ini membuktikan kemenangan Cui Im secara mutlak, karena kalau wanita itu menghendaki, tentu saja ujung pedang bukan mengambil kancing, melainkan lebih dalam lagi di balik baju dan kulit dada, yaitu menusuk jantung!

"Bhe Cui Im, engkau lulus ujian. Ilmu pedangmu benar-benar hebat," kata kaisar.

"Terima kasih, Sri Baginda!" kata Cui Im dengan girang sekali.

"Dan bagaimana dengan engkau? Siapakah namamu tadi?"

"Hamba bernama Siauw Lek, Sri Baginda. Hamba pun siap untuk menghadapi pengawal pribadi Paduka yang mana pun untuk menguji hamba."

"Apa? Engkau pun berani menghadapi pengawal pribadiku? Dengan senjata?"

"Dengar senjata mau pun tangan kosong hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda."

Kaisar Yung Lo tertawa. "Wah, agaknya kalian berdua memang tokoh-tokoh kang-ouw yang jempol! Engkau sudah menyaksikan kepandaian pengawal kepala. Apakah engkau sanggup menandinginya?"

"Theng-ciangkun tentu telah lelah, tetapi kalau tidak, hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda."

Dengan muka merah Theng Kiu memberi hormat dan menjawab, "Tidak, Sri Baginda. Hamba tidak lelah dan tidak akan penasaran kalau dikalahkan oleh tokoh kang-ouw yang memang hamba tahu banyak sekali yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Paduka Sri Baginda Kaisar menghendaki, hamba akan menguji Saudara Siauw Lek dengan ilmu silat tangan kosong."

"Baik, lakukanlah, Siauw Lek, bersiaplah menandingi Theng Kiu."

Kembali dua orang lawan saling berhadapan dan kini pengawal-pengawal yang menonton mengharapkan kemenangan bagi rekan mereka. Bukan karena iri hati melihat masuknya pengawal baru, tetapi karena mereka maklum bahwa di samping ilmu silatnya yang hebat, Theng Kiu pernah menjadi juara dalam ilmu gulat di antara orang-orang Mongol, karena itu banyak harapan baginya untuk memenangkan pertandingan tangan kosong ini.

Andai kata tadi menghadapi Cui Im mereka tidak mengadu ilmu pedang, kiranya belum tentu Theng Kiu kalah, demikian pikir mereka. Betapa pun juga, tidak mungkin di hadapan kaisar mengeluarkan ilmu gulat kalau bertanding melawan seorang wanita!

"Awas pukulan!" Theng Kiu berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan yang kuat dan mantap.

Siauw Lek yang belum tahu sampai di mana tenaga lawan, tidak mau bersikap sembrono menangkis, maka mengelak ke kiri dan dari kiri dia balas memukul dengan tangan kanan, lutut ditekuk sehingga pukulannya yang lurus dari pinggang itu menuju ke lambung lawan. Theng Kiu juga mengelak sambil meloncat ke sebelah kiri Siauw Lek, lalu kakinya cepat menendang ke bawah pusar. Terdengar suara angin bersiutan saking keras dan cepatnya tendangan ini.

Akan tetapi dengan tangkas dan tenang Siauw Lek mengelak dan balas memukul. Karena pukulan ini cepat sekali datangnya, Theng Kiu menangkis, sekalian dia hendak mengukur tenaga lawan.

"Duukkk!"

Kedua orang itu terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka berimbang, sungguh pun dilihat dari jarak mereka terpental itu tampak bahwa Theng Kiu terpental lebih jauh. Makin serulah pertandingan itu, pukul-memukul, tendang menendang dan tusuk menusuk dengan jari tangan mengarah jalan darah yang akan ditotoknya. Keduanya sama sigap, sama tangkas dan sama kuat.

Seperti juga ilmunya bersenjata ruyung, juga ilmu silat tangan kosong Theng Kiu sangat aneh gerakannya, namun ilmu silat Hek-liong-kun (Ilmu Silat Naga Hitam) yang dimainkan Siauw Lek juga hebat bukan main. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaan Go-bi Chit-kwi, Tujuh iblis dari Go-bi, yang memiliki sifat ganas dan dahsyat.

Kaisar yang menonton pertandingan itu diam-diam merasa kagum dan dia maklum bahwa sungguh pun tingkat kepandaian laki-laki pesolek dan tampan ini tidak dapat menandingi kelihaian Cui Im, namun tingkatnya tidak di sebelah bawah pengawal kepala itu. Di dalam hatinya diam-diam dia merasa girang sekali karena selain mendapatkan kitab Thai-yang Cin-keng yang semenjak dahulu dia cari-cari, juga sekarang dia mendapatkan dua orang pembantu yang tenaga dan kepandaiannya boleh diandalkan.

"Orang ini kepandaiannya juga hebat, Sri Baginda. Akan tetapi hamba mohon supaya Paduka bersikap waspada. Orang seperti dia ini sama sekali tidak boleh dipercaya secara bulat-bulat," kata The Ho perlahan secara kaisar.

Kaisar tersenyum. "Anjing yang betapa galak pun kalau kita pandai mempergunakannya, dapat menjadi penjaga yang setia, Ciangkun."

The Ho mengangguk-angguk dan dia pun tidak merasa gelisah karena orang pandai ini sudah mengenal kebijaksanaan junjungannya. Sementara itu, dua orang yang bertanding itu masih terus saling menyerang dengan seru, akan tetapi kini terjadi perubahan. Siauw Lek kelihatan mulai mendesak dengan pukulan-pukulan ampuh yang bertubi-tubi hingga Theng Kiu tidak mampu lagi membalas.

Sesungguhnya Theng Kiu tidaklah terdesak, dan memang dia sengaja main mundur dan bersikap seolah-olah terdesak. Hal ini sengaja dia lakukan untuk membuat lawan lengah. Ia hendak mempergunakan ilmu gulatnya untuk menangkan pertandingan ini. Andai kata dia menghadapi lawan lain, tentu ilmu ini sudah dia keluarkan sejak tadi untuk mencapai kemenangan.

Akan tetapi dia maklum bahwa Siauw Lek merupakan lawan yang sangat tangguh dan senjatanya yang paling ampuh dalam pertandingan tangan kosong hanya ilmu gulatnya. Apa bila dia keluarkan sembarangan dan diketahui lawan, agaknya lawan akan bersikap hati-hati sehingga sukar ditangkap. Maka dia sengaja bersikap terdesak untuk menyergap lawan secara tiba-tiba selagi lawan lengah.

Pada saat lengan kanan Siauw Lek mengirim pukulan dengan kuat dan cepat sekali ke arah dada Theng Kiu, pengawal berambut putih itu menggerakkan tangannya menangkis. Akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah tadi, tangkisannya kurang tenaga sehingga kepalan tangan Siauw Lek masih meleset dan menuju ke dadanya. Agaknya Theng Kiu kurang waspada sehingga menggirangkan hati Siauw Lek yang merasa bahwa sekali ini pukulannya tentu akan mengenai sasaran.

Dugaannya memang tepat, kepalan tangannya menyentuh dada lawan akan tetapi tangan yang tadi menangkisnya kini tahu-tahu telah mencekal pergelangan tangannya dan tubuh lawan secara tiba-tiba merendah, membungkuk, kemudian Siauw Lek merasa tubuhnya terlempar tinggi di udara!

Hebat sekali serangan balasan Theng Kiu ini, yang menggunakan cara melontarkan yang sangat istimewa, yaitu meminjam tenaga pukulan Siauw Lek dan menggunakan tubuhnya sebagai pengganjel. Dengan lengan Siauw Lek yang ditangkap sebagai pengayun, maka terlontarlah tubuh Siauw Lek sampai tinggi dan jauh.

Kalau bukan Siauw Lek yang sudah memiliki ginkang tinggi, berbahayalah lawan yang dilontarkan seperti ini, karena kalau terbanting dengan kepala lebih dulu tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Siauw Lek tidak kehilangan akal. Sungguh pun tubuhnya melayang ke atas di luar kehendaknya sehingga untuk sesaat dia kehilangan keseimbangan tubuh, tetapi di udara dia sudah bisa menggerakkan tubuh dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Lee Mencuat) dan di udara itu tubuhnya berpoksai (bersalto) tiga kali sehingga ketika tubuhnya melayang turun kembali, dia sudah bisa menguasai tubuhnya dan turun dengan arah terkendali, yaitu turun menukik ke arah lawannya sambil mengirim pukulan dengan kedua tangan seperti gerakan seekor garuda menyambar kelinci!

Gerakan Theng Kiu ketika menangkap dan melontarkan lawan tadi memang hebat, akan tetapi gerakan Siauw Lek itu lebih indah sehingga terdengar seruan-seruan memuji. Ada pun Theng Kiu yang menjadi penasaran, sudah menggeser tubuh ke belakang sehingga serangan Siauw Lek luput dan mereka kembali saling berhadapan.

Siauw Lek tersenyum dan kini maklumlah dia bahwa ‘simpanan’ lawannya adalah ilmu melontarkan tubuh lawan yang menjadi sebagian dari pada ilu gulat daerah utara. Siauw Lek bukanlah seorang pemuda hijau. Dia sudah mengalami banyak pertempuran dan dia banyak tahu akan ilmu silat ini, maka diam-diam dia sudah mengambil keputusan untuk mengalahkan lawan ini dengan mencari titik kelemahan ilmu gulat!

Dia tahu bahwa seorang ahli gulat amat takut terlalu lama menangkap seorang ahli silat, takut akan pukulannya, maka begitu menangkap tentu akan dilontarkan atau dibanting. Sebaliknya, seorang ahli silat biasanya bersikap hati-hati bila melawan seorang ahli gulat, dan selalu bertanding dengan jarak jauh karena maklum akan lihainya ilmu gulat yang bukan lain adalah ilmu mencengkeram dan menangkap semacam Eng-jiauw-kang atau pun Kin-na-hoat.

Sesudah membuat perhitungan dan mencari akal, kembali Siauw Lek menerjang maju dengan pukulan-pukulan berat. Sekali lagi dia tertangkap, bahkan kini kedua lengannya yang ditangkap dengan beberapa kali tekukan tubuh, Siauw Lek telah diangkat dan sekali ini dia dibanting ke atas lantai.

"Bruuukkkkk!"

Saking kerasnya bantingan, debu mengebul ketika tubuh Siauw Lek terbanting ke atas lantai. Akan tetapi tubuh Siauw Lek sudah mencelat bangun kembali, sebaliknya, tubuh Theng Kiu terguling dan tidak dapat bangun kembali karena pada saat dia dibanting dan dilepaskan dari cekalan tangan lawannya, secepat kilat Siauw Lek sudah menggerakkan tangan mengirim pukulan sinkang yang tepat mengenai lambung Theng Kiu.

Walau pun tidak sangat tepat dan keras kenanya karena posisi Siauw Lek yang sedang dibanting itu, namun karena pukulan itu mengandung sinkang dan yang terkena adalah bagian tubuh yang lemah, cukup untuk merobohkan Theng Kiu yang perutnya menjadi nyeri dan napasnya sesak! Melihat keadaan lawannya, Siauw Lek cepat menghampiri dan dengan beberapa kali totokan serta pijatan, akhirnya Theng Kiu tidak begitu menderita.

Keduanya lalu berlutut di depan kaisar dan Theng Kiu berkata, "Hamba mengaku kalah dalam bertanding tangan kosong dengan saudara Siauw Lek, Sri Baginda."

Kaisar mengangguk-angguk dan The Ho tai-ciangkun berkata, "Mereka berdua lebih lihai dari pada pengawal kepala, pangkat apakah yang akan Paduka berikan kepada mereka, Sri Baginda?"

Kaisar tersenyum sambil memandang panglima tinggi yang dulunya merupakan sahabat seperjuangan itu, lalu berkata lirih, "Aku sudah mempunyai lima orang pengawal rahasia yang terdiri dari orang-orang sakti, apa bila kini ditambah dua orang lagi, bukankah lebih baik, The ciangkun? Mereka hidup mewah dan bebas, akan tetapi bertugas untuk secara rahasia mengawal kaisar dengan taruhan nyawa mereka. Ingin mengenal mereka?"

Tanpa menanti jawaban sebab tahu pasti panglima itu akan menyetujuinya, kaisar sudah memasukkan sebuah benda kecil ke mulutnya dan meniup. Terdengar suara melengking tinggi dan beberapa detik kemudian, baru saja kaisar menyimpan kembali benda yang ternyata semacam peluit kecil itu ke dalam saku, dari jendela, pintu, dan atas genteng melayang turun lima bayangan orang yang gerakannya amat cepat seperti burung-burung menyambar dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri lima orang laki-laki tua yang memandang kaisar, kemudian memandang ke kanan kiri penuh kewaspadaan dan sikap siap siaga.

Cui Im memandang penuh perhatian dan dengan kaget dia mengenal bahwa seorang di antara lima orang kakek itu bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong, kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, matanya kelihatan putih dan telinganya lebar seperti telinga gajah, di pinggangnya tergantung senjata rantai dengan kedua ujungnya terdapat tengkorak!

Namun Siauw Lek lebih kaget lagi karena dia mengenal lima orang itu yang kesemuanya adalah para tokoh kang-ouw, datuk-datuk dunia hitam atau golongan sesat. Yang seorang jelas adalah Pak-san Kwi-ong, tokoh nomor satu dari utara, akan tetapi yang empat orang juga merupakan tokoh-tokoh besar yang telah lama menjagoi perbatasan utara dari barat ke timur, merupakan ‘iblis-iblis’ sepanjang Tembok Besar.

Yang pertama bernama Gu Coan Kok yang terkenal dengan julukan Iblis Cebol. Tingginya tidak ada satu setengah meter, tapi senjatanya adalah sebatang tongkat yang panjangnya lebih dari ukuran tubuhnya!

Orang ke dua adalah seorang yang tubuhnya tinggi besar, malah lebih tinggi dari Pak-san Kwi-ong sendiri, akan tetapi punggungnya bongkok. Senjatanya istimewa karena senjata ini tidak pernah dapat dia lepaskan, yaitu cakar baja yang telah tertanam pada ujung jari tangannya, menggantikan sepuluh kuku jari yang semuanya berbisa.

Dia adalah Hok Ku, yakni seorang keturunan suku bangsa Kerait dan berjuluk Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Suku bangsa Kerait adalah suku bangsa di utara yang dulu pernah mengalami masa jaya di samping suku bangsa Nalman, bahkan sebelum suku bangsa Mongol menjadi besar, Mongol pun pernah tunduk kepada bangsa Kerait.

Orang ke tiga bermuka putih seperti mayat, tinggi kurus dan kedua tangannya memegang pisau kecil runcing dari baja mengkilap. Dia inilah Kemutani, seorang peranakan bangsa Mongol dan Han, dan meski pun senjatanya hanya pisau-pisau kecil, akan tetapi justru senjata sederhana inilah yang membuat namanya terkenal karena selain dia seorang ahli dalam bersilat menggunakan sepasang pisau ini, juga pisau-pisau itu dapat dia lontarkan dari jarak dekat atau jauh dengan cepat dan tepat sehingga dia mendapat julukan Hui-to (Si Pisau Terbang).

Orang ke empat bertubuh bulat bundar seperti bola saking gendut dan pendeknya. Kedua kakinya pendek dan besar seperti kaki gajah, tubuhnya merupakan bulatan besar seperti gentong dan kepalanya merupakan bulatan kecil seperti bola. Biar pun bentuk tubuhnya lucu, tetapi sepak terjang Couw Seng yang berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar) ini sama sekali tidak lucu, apa lagi bagi lawannya karena dia benar-benar sangat lihai dan sukar dikalahkan.

"Ha-ha-ha-ha, kalian berlima jangan terkejut. Kami memanggil kalian bukan karena ada ancaman bahaya, melainkan akan kami perkenalkan dengan dua orang pengawal rahasia yang baru sebagai rekan-rekan kalian. Mereka berdua itulah pengawal-pengawal yang baru." Kaisar berkata sambil menuding ke arah Cui Im dan Siauw Lek.

Mendengar ucapan kaisar ini barulah sikap lima orang pengawal rahasia itu tidak tegang dan mereka tersenyum-senyum, bahkan kemudian menjura penuh hormat kepada kaisar. Hanya kelima orang pengawal rahasia inilah yang dibebaskan dari kebiasan menghormat kaisar sambil berlutut karena mereka itu setiap detik harus waspada dan menjaga kaisar secara diam-diam dan rahasia, berbeda dengan para pengawal pribadi yang seolah-olah menjadi kaki tangan kaisar, kemana pun kaisar bergerak selalu harus menjaga di samping kaisar.

Ada pun lima orang pengawal rahasia ini seperti bayangan kaisar, kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak, akan tetapi selalu siap untuk membela kaisar pada saat-saat yang diperlukan. Maka begitu kaisar meniup peluit sebagai tanda rahasia panggilan, lima orang pengawal ini muncul secara mendadak. Secara bergiliran, mereka berlima ini melakukan penjagaan siang malam.

Setelah lima orang ini merasa yakin bahwa keselamatan kaisar tidak terancam, mereka memandang ke arah dua orang yang oleh kaisar disebut pengawal baru itu dan segera terdengarlah seruan-seruan,

"Kim-lian Jai-hwa-ong...!"

"Ehh, Tok-sian-li, engkaukah ini? Benarkah bahwa Lam-hai Sin-ni telah kau..."

"Pak-san Kwi-ong, perlukah kita harus membongkar-bongkar keburukan masing-masing di depan yang mulia Sri Baginda Kaisar?" Cui Im membentak marah sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek tinggi besar berkulit hitam itu. "Urusan pribadi tiada sangkut pautnya dengan pengabdian kita kepada Sri Baginda. Atau, kalau engkau beserta empat orang kawanmu ini merasa terlalu tinggi untuk bekerja sejajar dengan aku, dan merasa terlalu pandai, hemmm... aku Ang-kiam Bu-tek akan mampu membuktikan bahwa aku dapat merobohkan kalian seorang demi seorang atau bahkan sekaligus!"

Siauw Lek juga berkata tersenyum, "Kalau Sri Baginda yang mulia menghendaki, aku pun sanggup menghadapi mereka seorang lawan seorang!"

Kaisar malah tertawa girang mendengar ini. Akan tetapi dia lalu mengangkat tangan dan berkata, "Pak-san Kwi-ong, dengar baik-baik perkataan kami. Tadi kami sudah menguji Ang-kiam Bu-tek dan Siauw Lek dan kami telah memutuskan untuk mengangkat mereka berdua ini menjadi pengawal rahasia di samping kalian berlima. Karena itu, perintahku pertama kepada kalian bertujuh adalah agar kalian jangan membuat ribut sendiri dengan urusan pribadi kalian yang tidak ingin kudengar. Nah, Pak-san Kwi-ong, ajaklah mereka berdua ini yang kini menjadi rekan-rekanmu ke dalam dan boleh kalian bercakap-cakap di sana, jangan datang kalau tidak kupanggil!"

Lima orang pengawal rahasia itu membungkuk, demikian pula Cui Im dan Siauw Lek yang sudah cepat dapat menyesuaikan diri, kemudian kedua orang baru ini berlalu mengikuti lima orang pengawal rahasia, tak canggung-canggung lagi dan gerakan mereka bertujuh amat cepatnya tanpa mengeluarkan suara seolah-olah pribadi kaisar dilindungi oleh tujuh setan.

Setelah mereka bertujuh pergi, kaisar tertawa dan melanjutkan perundingannya dengan Laksamana The Ho dan Ma Huan, membicarakan rencana kaisar untuk mengirim barisan di bawah pimpinan The Ho ke selatan, menjelajah negeri-negeri di seberang lautan.

Sedangkan di sebelah dalam istana, di tempat rahasia, Cui Im berkata kepada Pak-san Kwi-ong yang oleh kaisar disebut Pak-san-kwi (Setan Pegunungan Utara) dan dihilangkan ‘ong’ atau rajanya.

"Kwi-ong, kita harus mentaati perintah kaisar dan ingatlah engkau bahwa aku bukanlah Ang-kiam Tok-sian-li murid Lam-hai Sin-ni seperti dulu lagi. Aku adalah Ang-kiam Bu-tek, pewaris harta peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan tentang kepandaianku, ingat saja bahwa Lam-hai Sin-ni juga roboh dan tewas di tanganku. Jika kalian berlima menghendaki kerja sama dengan aku untuk mengawasi kaisar, baik sekali. Akan tetapi kalau kalian berlima hendak bertengkar dan menentangku, maka aku akan membunuh kalian dengan bantuan Kim-lian Jai-hwa-ong dan terpaksa kita semua takkan dapat mempertahankan kedudukan kita di sini. Mana yang kau pilih?"

Pak-san Kwi-ong yang dianggap paling sakti di antara teman-temannya, lalu tertawa dan berkata, "Ang-kiam, sebelum engkau muncul aku sudah menjadi pengawal, tentu saja aku akan selalu mentaati perintah kaisar. Sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepadamu. Akan tetapi selama engkau diterima oleh kaisar sebagai pengawal rahasia, engkau akan kuanggap sebagai rekan dan kawan, demikian pula Jai-hwa-ong ini."

Demikianlah, mulai saat itu, Cui Im dan Siauw Lek menjadi pengawal-pengawal rahasia kaisar yang berarti bahwa mereka merupakan dua orang di antara pengawal-pengawal yang paling tinggi kedudukannya, merupakan jagoan-jagoan istana yang disegani dan ditakuti orang lain, kecuali kaisar sendiri.

Bahkan pembesar-pembesar istana yang berpangkat tinggi sekali pun segan terhadap pengawal-pengawal rahasia ini karena mereka semua maklum bahwa apa bila ada orang yang tidak setia kepada kaisar, apa lagi yang berniat memberontak, tentu akan didatangi oleh pengawal-pengawal rahasia yang sakti ini dan menerima hukuman!

Adanya tujuh orang pengawal rahasia yang kesemuanya terdiri dari bekas-bekas tokoh besar kaum sesat, membuktikan bahwa Kaisar Yung Lo memang pandai mempergunakan orang dan memanfaatkan kepandaian mereka, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam. Dan segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw bahwa tujuh orang tokoh besar itu menghambakan diri di istana, maka hal ini sudah cukup membuat gentar hati setiap orang yang berniat memberontak…..

********************

Biauw Eng bersama Lai Sek tiba di kota raja, sesuai dengan permintaan Lai Sek yang mengajak Biauw Eng mengunjungi sahabatnya yang menjadi orang berpangkat di kota raja untuk minta bantuan sahabatnya agar mereka berdua dapat menjadi suami isteri dan dapat bekerja di kota raja, hidup dengan tenteram. Atas petunjuk Lai Sek yang sudah tak dapat melihat lagi itu, dengan mudah Biauw Eng menemukan sahabat yang dicari.

Sahabat Lai Sek ini ternyata telah menduduki pangkat tinggi, mendapat pangkat sebagai kepala pembangunan istana-istana di kota raja. Pangkat ini amat tinggi dan juga menjadi sumber korupsi karena sejak jaman itu pun, pembangunan atau usaha pemerintah apa saja yang ada hubungannya dengan keuangan, baik penerimaan mau pun pengeluaran uang, selalu menjadi sumber perbuatan korupsi.

Ang Joan Ti, sahabat Sim Lai Sek itu, kini disebut orang Ang-taijin (pembesar Ang) dan menjadi bahan penjilatan dari lidah banyak orang yang menginginkan rejeki dalam usaha pembangunan besar-besaran di kota raja.

Dulu Ang Joan Ti adalah seorang sahabat ayah Sim Lai Sek, dan masih menjadi pelajar kesusastraan yang tekun dari kota Liok-keng. Setelah dia menjadi pembesar yang selalu naik pengkat berkat ketekunan dan kecerdikannya, mulailah terjadi perubahan besar pada pribadi dan watak Ang Joan Ti.

Dahulu, sebagai seorang pelajar miskin yang sejak kecil selalu menderita kekurangan, Joan Ti berwatak sederhana, tidak banyak keinginan kecuali memperdalam pelajarannya dan kelak dapat menduduki pangkat sebagaimana dicita-citakan semua orang pada waktu itu. Memang, pada waktu itu, hidup secara terhormat, kaya raya atau setidaknya layak, hanya dapat dicapai oleh orang yang menjadi pegawai pemerintah. Kecuali beberapa orang tuan tanah dan pedagang yang sudah terlahir kaya, maka seluruh rakyat yang tidak menjadi pegawai pemerintah hanyalah petani-petani miskin.

Setelah Joan Ti lulus ujian dan mendapat pangkat di kota raja, yang pada mulanya kecil namun berkat kecerdikannya makin meningkat sampai sekarang ini, Ang Joan Ti menjadi mabuk kekayaan, mabuk kemuliaan dan mabuk kemewahan. Karena disanjung banyak orang dan pejabat rendahan yang menjilat-jilatnya agar kebagian rejeki, diangkat-angkat dan dipuji-puji, timbullah sifat sombong pada diri bekas orang dusun miskin yang tadinya amat sederhana dan rendah hati ini.

Puji-pujian membuat dia seperti sebuah balon melayang-layang ke atas, tiada puas dan batas, tidak sadar bahwa sewaktu-waktu dapat meletus dan lenyap. Kedudukan yang mulia, kemewahan yang berlebihan membuat dia terikat lebih kuat kepada kesenangan dunia, membuat dia lupa bahwa kesenangan dunia tidak ada yang bertahan lama.

Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat serta menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk digunakan sebagai sogokan atau suapan. Oleh karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu menggunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar