Pedang Kayu Harum Jilid 26

Tanpa sedikit pun mengingat akan dirinya sendiri, Lai Sek sudah mengecup, menyedot, dan meludahkan darah hitam yang berbau amis. Hampir dia tidak kuat menahan, akan tetapi dia mengeraskan hati dan menahan kepalanya yang menjadi pening. Dia menyedot lagi, meludah, menyedot, meludah, sampai akhirnya setelah hampir kehabisan napas dan hampir tidak dapat menahan rasa pening kepalanya, Lai Sek menyedot darah merah!

Ia menjadi girang sekali, akan tetapi masih terus menyedot dan meludah sehingga darah merah secawan keluar yang berarti bahwa kini racun telah dikeluarkan semua. Lai Sek tertawa-tawa, kemudian roboh terguling.

"Lai Sek...!" Biauw Eng menjerit lemah.

Dia telah terhindar dari bahaya racun, akan tetapi tubuhnya lemas dan totokannya belum punah, maka dia hanya dapat memanggil-manggil Lai Sek sambil menangis.

Totokan jari tangan Cui Im memang hebat luar biasa. Seperti juga jalannya racun jarum merahnya, totokannya itu barulah dapat punah dengan sendirinya setelah lewat dua belas jam.

Hari sudah lewat senja dan hujan turun rintik-rintik di pantai laut selatan itu. Selama itu, Biauw Eng menunggu tubuhnya terbebas totokan, rebah miring di samping tubuh Lai Sek yang pingsan di situ pula.

Setelah ia dapat bergerak, pertama-tama yang ia lakukan adalah menubruk tubuh Lai Sek dan menangis tersedu-sedu, mengangkat muka pemuda itu untuk diperiksa, dan di dalam cuaca suram hampir gelap itu ia melihat betapa kedua mata pemuda itu membengkak merah! Ia menjerit dan mendekap muka itu ke dadanya, menempelkankan mukanya pada kening pemuda itu sehingga air matanya membasahi muka Lai Sek sambil merintih, "Lai Sek... ohhh, Lai Sek...!"

Hujan sudah berhenti, malam pun tibalah. Biauw Eng tidak bergerak pindah dari tempat dia duduk, kepala Lai Sek berada di atas pangkuannya. Sejak tadi jari-jari tangan gadis itu mengelus-elus rambut kepala Lai Sek, hatinya penuh keharuan dan ada rasa aman dalam hatinya. Hidupnya yang tadinya kosong karena Keng Hong kemudian karena kematian ibunya, kini terisi lagi oleh kewajiban baru. Dia hidup untuk pemuda ini! Untuk membalas budi pemuda ini yang tiada taranya.

Sim Lai Sek bergerak perlahan. "Uuuhhh, alangkah gelapnya...!" Ia mengeluh, kepalanya bergerak-gerak di atas pangkuan Biauw Eng.

Ucapan itu memancing keluar air mata yang bercucuran dari mata gadis itu.

"Malam telah tiba, Lai Sek," katanya lirih menahan isak.

"Heh, apa? Siapa? Malam..? Ehhh, engkaukah ini, Nona? Mengapa..., mengapa engkau memangku aku...? Ehhh, mataku... tak dapat melihat apa-apa..."

Biauw Eng menangis, menunduk dan merangkul leher Lai Sek, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Lai Sek terheran-heran, lalu meraba kedua matanya, jari-jari tangannya meraba sepasang mata yang bengkak dan tertutup, tak dapat dibuka dan teringatlah dia.

"Ahhh…, aku... aku telah menjadi buta..."

"Lai Sek... mengapa engkau nekat...? Sudah kukatakan..." Biauw Eng tak dapat berkata lagi, terus menangis.

"Mataku buta? Biarlah! Akan tetapi engkau sudah sembuh, benarkah itu, Nona? Engkau sudah dapat bergerak, sudah duduk. Bagus, engkau sudah sembuh!"

Lai Sek meraba-raba pundak dan tengkuk gadis itu, suaranya mengandung kelegaan hati dan kegirangan besar yang tidak dibuat-buat, kegirangan yang membuat dia lupa akan keadaan matanya yang buta. Kegirangan yang terkandung di dalam suara pemuda ini membikin Biauw Eng menjerit dan tangisnya makin menjadi.

"Kau kenapa, Nona?" Lai Sek meraba-raba dan jari-jarinya bertemu dengan air mata di pipi Biauw Eng.

"Kau menangis, Mengapa? Engkau menangisi aku, benarkah, Nona?"

"Lai Sek.., Lai Sek... Betapa aku tidak akan menangisi engkau? Hatiku hancur melihat penderitaanmu karena aku..."

Cinta memang perasaan yang aneh, mengatasi segala macam penderitaan hidup. Walau pun kedua matanya menjadi buta, ketika merasa betapa gadis itu memeluknya, bahkan menciumi mukanya, menangis untuknya, Lai Sek menjadi girang dan merasa berbahagia sekali!

"Ohhh, terima kasih, Nona. Terima kasih...! Engkau menangis karena mataku buta? Ahh, aku mau seribu kali buta kalau engkau menaruh perhatian seperti ini, Nona! Engkau telah sembuh, sungguh besar hatiku dan kesembuhanmu masih terlampau murah kalau hanya ditebus dengan sepasang mataku! Aku gembira, aku bersyukur kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa aku dapat menebus dosaku kepadamu, bahwa aku masih ada gunanya, terutama sekali untukmu. Nona, kau tolonglah bawa aku ke kota Liok-kun dan antarkan aku ke rumah pamanku di kota itu, kemudian boleh kau tingggalkan aku, Nona. Akan tetapi berhati-hatilah jangan sampai engkau bertemu dengan dua manusia iblis itu lagi, mereka amat berbahaya dan lihai."

"Lai Sek, kau kira aku ini orang macam apa? Tidak, aku akan merawatmu, mendampingi dirimu dan tak akan pernah meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama sampai..., sampai kematian memisahkan kita," kata Biauw Eng penuh keharuan sambil memegang kedua tangan pemuda itu.

Lai Sek mencengkeram kedua tangan yang kecil itu dan suaranya tergetar, "Apa yang kau bilang, Nona? Engkau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, berilmu tinggi, engkau hendak menyia-nyiakan hidupmu di samping seorang seperti aku, yang sekarang sudah menjadi seorang buta tiada guna? Tidak! Engkau tidak perlu mengorbankan dirimu hanya karena perbuatanku tadi, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku hendak menebus dosaku, dengan kedua mataku masih murah!"

"Sim Lai sek, aku sudah mengambil keputusan hidupku. Kecuali kalau engkau tidak sudi bersamaku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Ataukah... engkau tidak cinta lagi kepadaku?"

Genggaman tangan Lai Sek makin kencang. "Engkau tahu bahwa aku amat mencintamu, Nona. Aku mencintamu melebihi jiwa ragaku! Akan tetapi, karena cintaku itulah maka aku tidak ingin engkau menyia-nyiakan hidupmu, menderita dan mengorbankan hidup bagiku. Cintaku tidaklah sedangkal itu, Nona. Aku mencintamu, akan tetapi engkau tentu tidak mencin..."

"Hushhh, aku pun cinta kepadamu, Lai Sek…"

"Kau...? Kau..? Betapa mungkin ini? Biauw Eng, jangan mempermainkan aku, jangan... sekejam itu..."

Akan tetapi Biauw Eng sudah menutup ucapan Lai Sek dengan mencium mesra pada mulut pemuda itu hingga membuat Lai Sek gelagapan. Setelah melepaskan ciumannya, Biauw Eng berbisik, "Nah, masih ragukah engkau? Adakah seorang gadis suci mencium mulut seorang pria kalau dia tidak mencinta pria itu?"

"Kau mencintaku? Ya Tuhan, sukar untuk dipercaya! Mengapa kau mencintaiku? Karena aku telah menyelamatkan nyawamu?"

"Bukan, Lai Sek, karena kemuliaan hatimu. Kalau orang seluruh dunia ini semulia engkau, aku pun akan mencinta seluruh manusia di dunia ini."

"Biauw Eng...!" Lai Sek memeluk, merangkul dan mendekap, lalu menangis tersedu-sedu. "Biauw Eng... terima kasih... terima kasih..."

Dan keduanya berpelukan sambil bertangisan…..

********************

Keng Hong menuruni puncak Kun-lun-san dengan wajah berseri gembira. Betapa hatinya tidak akan gembira oleh hasil yang dicapainya di Kun-lun-pai? Sekarang dia telah berhasil membersihkan namanya di Kun-lun-pai, sudah berhasil mengubah rasa benci para tokoh Kun-lun-pai, terutama Kiang Tojin, menjadi rasa kagum berterima kasih dan bersahabat.

Tentu saja ada pula yang berbalik membencinya karena sepak terjangnya di Kun-lun-pai, terutama sekali Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, akan tetapi hal ini sudah wajar. Setiap perbuatan yang mendatangkan senang kepada sepihak, tentu mendatangkan rasa tidak senang kepada pihak yang bertentangan. Pokoknya, ia harus mendatangkan rasa senang kepada di pihak yang benar dan baik, ada pun rasa tidak senang di pihak yang salah dan jahat, bukanlah merupakan hal yang aneh.

Ia maklum bahwa tugas yang kini dihadapinya amat berat. Dia akan menghadapi banyak rintangan, akan menghadapi permusuhan dari orang-orang yang masih mendendam pada gurunya, bahkan yang akhir-akhir ini juga mendendam kepada dirinya sendiri. Bagaimana caranya dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan seperti yang dia hasilkan di Kun-lun-pai?

Tugas menebus semua permusuhan dari hati para tokoh kang-ouw terhadap gurunya dan dia sendiri sudah sangat berat, masih ditambah lagi dengan tugasnya mencari Cui Im dan menundukkan wanita itu, minta secara halus mau pun kasar agar supaya wanita itu mau mengembalikan kitab-kitab yang dicurinya, karena sebenarnya kitab-kitab itu merupakan syarat penting baginya untuk melenyapkan permusuhan yang ditimbulkan gurunya ketika gurunya mencuri atau merampas kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Sebelum dia bisa mengembalikan kitab-kitab itu kepada pemiliknya yang berhak, bagaimana mungkin dia dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan?

Ketika melewati sebuah puncak dan melihat puncak Bayangkara di depan, Keng Hong berhenti dan memandang puncak Bayangkara dengan kening berkerut. Seperti puncak Bayangkara itulah tugasnya, menjulang tinggi dan puncaknya itu sendiri merupakan tugas pertama baginya, yaitu dia harus mengunjungi puncak itu untuk berusaha melenyapkan permusuhan yang timbul dengan mereka yang berkuasa di puncak itu, ialah perkumpulan Tiat-ciang-pang.

Memandang puncak Bayangkara, teringatlah dia akan semua pengalamannya ketika dia bentrok dengan perkumpulan Tiat-ciang-pang. Kemudian teringatlah dia akan Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang menjadi sebab pertama bentrokannya itu.

Ia membantu Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek, ketika mereka berdua itu dikeroyok para anak buah Tiat-ciang-pang sehingga bentrokan menjadi berlarut-larut, ditambah pula oleh perbuatan Cui Im yang menyamar sebagai Biauw Eng kemudian membantunya secara diam-diam, bahkan telah membunuh Ciang Bi.

Keng Hong menghela napas panjang. Harus dia kujungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang. Karena itu dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke puncak Bayangkara.

Ketika dia tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi, dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki. Dia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada apakah di Tiat-ciang-pang?

Selagi dia masih termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi, suaranya halus terbawa angin lalu.

"Kun-cu Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya)."

Wajahnya berseri mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat menduga pula siapa orangnya yang sedang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum lantas melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa angin lalu.

Tepat seperti yang diduganya, dia segera melihat kakek bongkok berpunuk yang selalu berpakaian bersih namun berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi di bagian atas kepalanya botak, sedang duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menengak arak dari guci araknya.

Siauw-bin Kuncu, tokoh aneh yang dahulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa sengaja kakek aneh inilah orangnya yang telah berjasa hingga dia bisa menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya.

Kakek itu melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak lagi dinyanyikan, namun diucapkan secara nyaring dengan gaya sedang memberi kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid. Kedua lengannya dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti sajak dideklamasikan.

Dalam keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya,
dalam keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya,
berada di antara bangsa asing dia menyesuailan diri dengan sekelilingnya,
dalam keadaan duka dan sengsara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya.
Maka seorang budiman selalu merasa cukup dan terteram,
biar pun berada dalam keadaan yang bagaimana pun juga.

Keng Hong yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seakan-akan maknanya menjadi semakin jelas bagi pemuda ini. Ujar-ujar itu mengandung inti sari dari pelajaran ‘MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN’.

Memang, orang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri akan selalu merasa puas, tidak pernah kekurangan dan tenang tenteram. Menginginkan sesuatu yang tidak akan dapat dijangkaunya bukanlah menyesuaikan diri namanya.

Bersikap tak sesuai dengan sekelilingnya, ingin membawa kehendak diri sendiri, bukanlah menyesuaikan diri namanya! Dia mendengarkan terus karena meski pun sudah sering kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat tertarik.

Dalam kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya,
dalam kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya.
Dia memperbaiki kekurangan sendiri
tidak mengharapkan orang lain.
Maka dia tidak membenci atau mengutuk orang lain.
Ke atas dia tidak mengutuk Tuhan,
Ke bawah tidak menyalahkan manusia
.

Ujar-ujar ini merupakan kelanjutan dari pada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya adalah ‘MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN’. Bila seseorang dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan pernah menyalahkan Tuhan mau pun manusia lain.

Setiap kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal ini merupakan akibat dari pada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak semetinya apa bila melontarkan kesalahan kepada Malaikat mau pun Setan. Orang bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau mala petaka yang menimpa diri dengan melakukan introspeksi (memeriksa diri sendiri) kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapa pun juga.

Keng Hong sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus.

Seorang budiman selalu tenang dan tenteram
menanti kurnia sewajarnya dari Tuhan.
Ada pun seorang yang rendah budi
melakukan kejahatan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Memang, tanpa adanya kesadaran tadi, orang yang sedang mengalami kegagalan akan mudah menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan jahat.

Keng Hong maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran pasal ke empat belas dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan yang paling penting dalam pasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan mendengarkan terus. Sekarang kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali.

Nabi Khong Cu bersabda:
Perilaku seorang budiman bagaikan ilmu memanah.
Apa bila memanah tidak mengenai sasaran
Dia mencari sebab-sebab kegagalan
Kepada diri sendiri!

Oleh karena ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu berkata-kata keras penuh celaan seperti orang marah,

"Anak panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, kenapa lalu mencak-mencak mencari kesalahan dengan mencela gendewanya kaku, sasarannya kurang nyata, anak panahnya bengkok, angin besar, cuaca terlampau buruk dan lain-lain omong kosong lagi? Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum dan tunduk, akan tetapi betapa sukar melaksanakannya! Aduhai..., makin baik pelajarannya, kenapa makin bobrok budi pekertinya manusia?"

Keng Hong terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan dia segera muncul keluar sambil menegur, "Locianpwe, maafkan kalau saya mengganggu. Bukankah Locianpwe ini adalah Siauw-bin Kuncu?"

Kakek yang masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon itu menoleh kemudian memandang Keng Hong, lalu dia menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk, "Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini! Betapa banyaknya kuncu macam aku hingga sulit dihitung, seperti daun-daun kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di musim rontok!"

"Apa pula artinya ucapan Locianpwe ini?"

"Artinya? Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka menganggap diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar kitab suci lalu menjadi budiman? Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah lagi lagak seorang kuncu. Betapa mudahnya bicara mengenai kebenaran, akan tetapi adakah yang mampu melaksanakannya dalam perbuatan? Mereka itu hanya kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu palsu!"

"Akan tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang sudah mengenal diri sendiri dan tahu akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?"

"Engkau benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan melekat di punggung? Heeiiiii...! Engkau ini seorang muda sudah pandai berbicara tentang ayat-ayat suci. Engkau hendak menjadi kuncu, pula? Eh, aku pernah melihat mukamu! Oho, benar engkau ini!" Kakek itu menepuk kepalanya yang botak lalu tubuhnya melayang turun ke depan Keng Hong.

Semenjak dulu Keng Hong kagum menyaksikan ginkang kakek itu, akan tetapi tentu saja kini dia melihat betapa ginkang kakek itu sebenarnya belum berapa tinggi. Hal ini adalah karena tingkat kepandaiannya sendiri telah melonjak secara luar biasa.

"Betapa senangnya bertemu lagi dengan sahabat lama!" Kakek itu berkata seperti orang bernyanyi. "Bukankah engkau adalah orang muda yang mempunyai pukulan mukjijat dan mengerikan itu? Engkau... ah, murid Sin-jiu Kiam-ong yang menimbulkan geger di seluruh dunia kang-ouw dan dikabarkan lenyap di puncak Kiam-kok-san? Kabarnya engkau telah mati!"

Keng Hong tersenyum. "Thian masih melindungi dan masih menganugerahi umur panjang padaku, Locianpwe. Berkat pertolongan Locianpwe, aku masih hidup sampai detik ini."

Siauw-bin Kuncu membelalakkan kedua matanya dan menggaruk-garuk kepalanya. "Aku? Pertolonganku yang mana? Ehhh…, orang muda, jangan sampai engkau ketularan watak Sin-jiu Kiam-ong yang suka menggoda dan mempermainkan orang. Aku sudah tua, tidak baik mempermainkan orang tua."

"Saya tidak mempermainkan Locianpwe, dan hanya menyatakan hal yang sesungguhnya. Ingatkah Locianpwe akan bantuan Locianpwe memecahkan rahasia tiga macam ujar-ujar dahulu itu? Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka! Nah, Locianpwe yang membantu saya memecahkan rahasianya!"

"Ohh... Ohh... Itukah? Dengan ukuran-ukuran itu...? Hemmm, kau hendak katakan bahwa rahasia itu adalah rahasia tempat penyimpanan pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong yang diperebutkan semua orang? Jadi engkau selama ini lenyap ke dalam tempat rahasia itu? Aihhh…!"

Kakek itu menampar kepalanya. "Kalau aku tahu… tentu..." Kakek itu terhenti dan kini menampar mulutnya.

"Nah… nah, inilah yang paling berbahaya, musuh manusia nomor satu, yaitu diri sendiri, nafsunya sendiri yang mendorongnya melakukan hal apa saja demi untuk kepentingan diri sendiri sehingga lenyaplah segala norma kebajikan, lenyap dan terlupakan pula semua ayat-ayat suci agama. Ahhh, orang muda, jadi rahasia penyimpanan pusaka gurumu itu tersembunyi di dalam tiga baris ujar-ujar itu? Sungguh mengagumkan!"

"Benar begitu, Locianpwe. Sebab itu saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang sudah menyelamatkan saya saat dikejar-kejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw lima enam tahun yang lalu."

Kakek itu mengangkat tangan dan menggoyang-goyangnya bagaikan hendak mencegah pemuda itu terus melanjutkan ucapan terima kasihnya. "Seorang kuncu tak menganggap bantuan sebagai pelepas budi, tidak menganggap kebajikan sebagai sesuatu yang boleh dibanggakan melainkan sebagai suatu keharusan dan kewajiban. Orang muda, siapakah namamu? Aku sudah lupa lagi."

"Saya Cia Keng Hong, Locianpwe."

"Keng Hong, sesudah engkau menemukan pusaka peninggalan gurumu, tentunya engkau telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, bukan?"

"Ilmu kepandaian tidak dapat diwarisi, Locianpwe, hanya dapat dipelajari. Sedikit-sedikit saya telah mempelajarinya, akan tetapi tentu saja masih jauh dari pada sempurna."

"Wah, engkau pandai merendah, Keng Hong. Dahulu pun kepandaianmu sudah sangat mengerikan, apa lagi sekarang. Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, apa yang hendak kau lakukan setelah engkau memiliki ilmu kepandaian gurumu?"

"Locianpwe, saya mohon petunjuk Locianpwe mengenai cita-cita yang menjadi tugas saya ini. Saya akan berusaha untuk menemui semua tokoh kang-ouw yang dahulu memusuhi suhu, dan akan saya usahakan sedapat mungkin untuk menebus kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh suhu terhadap para tokoh kang-ouw. Bagaimana menurut pendapat Locianpwe? Apakah usaha saya ini tidak berlawanan dengan kebaktian seorang murid terhadap gurunya?"

"Dalam kitab Tiong-yong, guru besar Khong Cu berkata: Hu-hauw-cia, Sian-kee-jin-ci-ci, Sian-sut-jit-ci-su-cia-ya (Berbakti adalah melanjutkan cita-cita mulia dan pekerjaan benar dari pada leluhurnya). Apa bila seorang murid melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan benar, berarti bahwa dia telah mengangkat tinggi nama gurunya. Kalau muridnya menjadi seorang baik, tentu gurunya dipuji orang. Sebaliknya kalau si murid menjadi seorang jahat tentu gurunya dimaki orang. Gurumu Sin-jiu Kiam-ong, ketika hidupnya menjadi seorang petualang, ugal-ugalan dan karenanya menyusahkan banyak orang hingga dimusuhi. Dia meninggalkan nama buruk. Kalau engkau sebagai muridnya dapat melakukan kebaikan-kebaikan, hal itu berarti engkau sudah berbakti, karena dengan kebaikan muridnya, paling tidak nama buruk si guru akan tercuci sebagian. Akan tetapi tujuan dan cita-cita baik saja belum ada gunanya kalau belum dilaksanakan, Keng Hong. Sekarang, engkau hendak ke mana?"

"Terima kasih atas wejangan Locianpwe yang ternyata cocok dengan isi hati saya. Saya hendak pergi ke puncak sana menemui para pimpinan Tiat-ciang-pang yang paling dekat dari sini. Tugas yang ini tidak ada sangkut pautnya dengan suhu. Seperti Locianpwe telah mengetahui, dahulu enam tahun yang lalu saya pernah bentrok dengan Tiat-ciang-pang karena salah paham, maka sekarang saya hendak menghapus pertentangan itu dengan mohon maaf kepada para pemimpinnya."

Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Di sana sedang ada keramaian, dan mungkin sesampaimu di sana akan terjadi perkara besar di sana. Tidakkah kau melihat rombongan tamu yang menuju ke sana itu? Aku sendiri pun kalau ada minat, akan menonton keramaian itu."

"Saya tadi melihat rombongan itu, Locianpwe. Ada keramaian apakah?"

"Pesta keramaian dari mereka yang menang! Kini mereka sedang merayakan ulang tahun Tiat-ciang-pang, sekalian merayakan kemenangan bala tentara Raja Muda Yung Lo yang berhasil merebut kekuasaan. Sebagai pihak yang pro utara, tentu saja Tiat-ciang-pang mendapat pahala dan karena itu mereka merayakan kemenangan. Nah, jika kau hendak menemui para pimpinannya, sekaranglah saatnya. Pergilah, Keng Hong, dan jangan lupa dasar tujuanmu, yaitu untuk menjunjung nama guru yang hanya dapat kau capai dengan perbuatan benar. Selamat berpisah!" Kakek itu melompat jauh lalu berloncatan dengan kedua lengan dikembangkan dan digerak-gerakkan seperti burung terbang!

Keng Hong menarik napas lega. Bercakap-cakap dengan kakek berpunuk itu menambah keyakinannya akan benarnya usaha yang sedang ditempuhnya. Dia maklum betapa berat tugasnya, tetapi keyakinan bahwa yang dia lakukan adalah benar memperingan tugas itu dalam hatinya. Dia kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke puncak Pegunungan Bayangkara di mana sudah tampak deretan tembok besar yang menjadi bangunan pusat perkumpulan Tiat-ciang-pang.

Tiat-ciang-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan terkenal, apa lagi sesudah timbul perang ketika Raja Muda Yung Lo memimpin bala tentaranya dari utara menyerbu ke selatan dan perkumpulan ini membantu dengan penuh semangat. Setelah perang itu dimenangkan tentara utara, nama Tiat-ciang-pang meningkat dan makin banyaklah orang yang memuji-muji perkumpulan ini.

Maka, ketika perkumpulan itu merayakan ulang tahun sekalian merayakan kemenangan bala tentara utara, juga untuk mengadakan pemilihan ketua baru karena Ouw Beng Kok, ketua pertama itu hendak mengundurkan diri karena merasa sudah terlalu tua, banyak sekali tamu berdatangan dari segenap penjuru, tokoh-tokoh kang-ouw dan bekas-bekas teman seperjuangan.

Keng Hong menyelinap di antara para tamu dan tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda ini karena memang Keng Hong tidak tampak menyolok dengan pakaiannya yang amat sederhana dan kelihatannya tidak membawa sepotong pun senjata, sama sekali tak kelihatan seperti seorang tokoh kang-ouw yang pandai ilmu silat.

Apa lagi karena pada saat itu warna kulit muka Keng Hong sudah berubah hitam, karena dia sengaja menggunakan sejenis getah pohon untuk menghitamkan muka. Kepandaian menyamar ini dia dapatkan dari sebuah di antara kitab-kitab suhu-nya, maka sekarang dia tahu bagaimana harus mengubah warna kulit mukanya menjadi hitam, kuning, merah atau putih bahkan kehijauan, hanya mempergunakan getah-getah kulit pohon atau daun-daun.

Karena kedatangannya dengan itikad baik, dia tidak ingin menimbulkan kekacauan dan tidak ingin dikenal oleh anak buah Tiat-ciang-pang yang tentu akan mengacaukan urusan sebelum dia sempat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban.

Dari tempat duduknya di antara banyak tamu muda, Keng Hong memandang ke depan di mana para pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu yang dianggap terhormat berkumpul. Bagian itu agak tinggi dan luas sehingga tampak jelas dari semua bagian, di mana duduk tamu-tamu yang dianggap ‘biasa’ atau hanya para anggota-anggota tingkat rendahan dari Tiat-ciang-pang. Karena di situ berkumpul pula tamu-tamu dari pelbagai golongan, maka sebagian besar tidak dikenal oleh para anggota Tiat-ciang-pang, dan karena ini kehadiran Keng Hong tidak menyolok.

Keng Hong dapat melihat bahwa Ouw Beng Kok ketua Tiat-ciang-pang atau Ouw-pangcu itu kelihatan tua dan mukanya penuh keriput, namun tubuhnya yang agak kurus itu masih membayangkan tenaga yang kuat, dan Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri ketika melihat tangan kiri Ouw Beng Kok yang palsu, tangan besi yang amat hebat itu, karena tangan besi itulah yang menciptakan Tiat-ciang-pang.

Perkumpulan Tangan Besi, sungguh pun para anggotanya tidak mempunyai tangan palsu dari besi, tetapi para tokohnya telah mempelajari ilmu Tiat-ciang-pang (Tangan Besi) yang sangat ampuh sehingga tangan mereka yang dari tulang daging dan kulit itu seakan-akan keras seperti besi.

Di sebelah kirinya duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang bermuka brewok dan bertubuh tinggi besar dan gagah. Sedangkan di sebelah kanannya duduk Lai Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pang yang berjuluk Kim-to Si Golok Emas. Senjata itu tergantung dengan megahnya di punggung. Berbeda dengan ketua Tiat-ciang-pang itu, wakilnya itu masih kelihatan gagah bersemangat biar pun usianya sudah lima puluh tahun lebih.

Di belakang kedua orang ketua ini duduk pembantu-pembantu pemimpin Tiat-ciang-pang dengan sikap kereng. Dan di depan mereka, mengelilingi meja-meja besar yang ditaruh berjajar, duduk para tokoh yang terhormat, yaitu tokoh-tokoh kang-ouw serta tokoh-tokoh pejuang pembantu barisan dari utara.

Setelah semua tamu menghaturkan ucapan selamat dan saling memuji dalam merayakan kemenangan tentara utara, yang mereka lakukan sambil tertawa gembira, menceritakan pengalaman pertandingan dalam perang saudara yang lalu, dan makan minum gembira, ketua Tiat-ciang-pang lalu mengumumkan kesempatan itu untuk mengadakan pemilihan ketua baru.

"Saya sudah terlampau tua dan lelah, perlu mengundurkan diri beristirahat dan memberi kesempatan kepada yang muda." Demikian Ouw Beng Kok menutup kata-katanya. "Kini, kebetulan sekali para sahabat dari berbagai golongan hadir sehingga dapat menjadi saksi pemilihan ketua baru Tiat-ciang-pang. Menurut pendapat dan rencana saya, tentu saja bila seluruh anggota Tiat-ciang-pang bisa menyetujui dan saya harap demikian, saya hendak menyerahkan jabatan ketua kepada putera saya ini. Mungkin banyak di antara sahabat-sahabat yang belum mengenal puteraku. Puteraku ini bernama Ouw Kian, dan karena semenjak kecil dia membantu Raja Muda Yung Lo di utara yang kini menjadi kaisar kita, maka dia tidak mendapat kesempatan untuk bekerja bagi Tiat-ciang-pang. Akan tetapi, mengingat bahwa ilmu Tiat-ciang-kang telah di warisinya, dan karena dia pun ingin sekali menyumbangkan tenaganya, dan sudah disetujui pula meninggalkan kerajaan, maka saya sendiri mengusulkan untuk mengangkatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang."

"Ha-ha-ha-ha, Ouw-pangcu mengapa begini sungkan? Kalau yang pangcu usulkan untuk menggantikan adalah putera Pangcu sendiri, tentu hal itu sudah sewajarnya. Ouw-pangcu selain menjadi ketua dari Tiat-ciang-pang, juga menjadi pendiri Tiat-ciang-pang, dan kalau kini Pangcu hendak mengundurkan diri lalu menunjuk putera Pangcu sebagai ketua baru, siapa yang akan menyatakan tidak setuju." Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara para tokoh yang hadir di situ.

Para tamu lainnya sebagian besar menganggukkan kepala tanda setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi Ouw Beng Kok mengerutkan alisnya yang tebal lalu berkata,

"Sesungguhnya Cu-wi sekalian (Tuan sekalian) tidak tahu akan keadaan Tiat-ciang-pang kami. Perkumpulan kami selama beberapa tahun ini sudah mengalami kemajuan pesat sekali dan sekarang sudah memiliki belasan buah cabang perkumpulan di kota-kota dan jumlah anggota kami seluruhnya tidak kurang dari seribu orang! Pada hari baik ini, hadir pula seluruh pimpinan cabang yang sebagian adalah murid-murid saya dan sebagian lagi sahabat-sahabat seperjuangan yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Saya tidak ingin mengandalkan kedudukan sebagai pendiri dan ketua pertama untuk membawa kehendak sendiri dan apa bila saya mengusulkan agar putera saya diangkat, semata-mata adalah karena saya mengenal kecakapan putera saya dan tahu pula bahwa pada saat ini, dia merupakan ahli Tiat-ciang-kang yang paling kuat. Tapi saya menyerahkan keputusannya dalam pemilihan umum yang diadakan para pimpinan pusat dan cabang. Dan tentu saja mereka itu berhak untuk memilih calon dan juga mengemukakan pendapat mereka demi kebaikan Tiat-ciang-pang."

Semua tamu menjadi kagum mendengar ucapan Ouw-pangcu ini dan diam-diam Keng Hong juga merasa kagum. Orang tua itu ternyata mempunyai watak yang adil dan tidak seperti pemimpin-pemimpin lainnya yang hanya ingin melaksanakan kehendaknya sendiri saja.

Setelah mendengarkan ucapan ketua Tiat-ciang-pang yang disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw yang hadir di tempat itu, maka para dewan pimpinan cabang dan pusat mulai ramai saling bicara sendiri. Memang di antara mereka sudah terjadi perpecahan sehingga menjadi dua golongan, yaitu segolongan yang setuju dengan pilihan ketua mereka untuk mengangkat Ouw Kian menjadi ketua baru. Akan tetapi segolongan lain tidak setuju dan lebih suka melihat Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang menjadi ketua baru.

Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka seperti tikus bangkit berdiri dan setelah menjura kepada Ouw Beng Kok lalu berkata, suaranya lantang,

"Hati kami lega sesudah mendengar uraian Pangcu yang sangat adil dan yang memberi kesempatan kepada kami untuk ikut pula mengajukan calon ketua baru. Oleh karena itu perkenankan saya untuk mengajukan usul kepada Pangcu mengenai pencalonan ketua baru, sesuai dengan pendapat kawan-kawan yang mengambil keputusan demi kebaikan Tiat-ciang-pang yang kita cinta."

"Saudara Lu Tong adalah ketua cabang Bi-na-seng, bukan? Tidak perlu merasa sungkan, memang pemilihan ketua ini demi kebaikan perkumpulan kita. Karena itu engkau boleh saja mengajukan usul itu," jawab Ouw Beng Kok dengan sabar dan tenang.

"Terima kasih, Pangcu. Kami mengajukan calon kami yang sudah kami pilih dengan suara bulat, yaitu Ji-pangcu Lai Ban!" Sejenak pembicara yang bernama Lu Tong ini berhenti berbicara karena segera bangkit berdiri lebih dari dua puluh orang teman-temannya yang bersorak menyebut nama Lai Ban sebagai wakil atau calon mereka.

Lai Ban bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas, suaranya sangat nyaring berpengaruh, "Harap saudara-saudara tidak berisik dan suka duduk kembali, biar seorang saja mewakili saudara-saudara bicara!" Dan ternyata mereka yang bersorak itu segera terdiam, lalu duduk kembali. Lai Ban dengan sikap tenang juga duduk kembali, wajahnya tenang dan sungguh-sungguh.

"Kalau Saudara Lu Tong masih ada kata-kata harap lanjutkan."

"Kami memilih Ji-pangcu Lai Ban dengan alasan yang kuat. Pertama, kami rasa bahwa selain Pangcu sendiri, Ji-pangcu Lai Ban adalah orang ke dua yang selama ini memimpin Tiat-ciang-pang. Ke dua, dalam hal ilmu kepandaian, kami semua sudah mengerti akan kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat Pangcu sendiri atau mungkin juga satu tingkat. Kami keberatan dengan pengangkatan atau pencalonan Saudara Ouw Kian sama sekali bukan karena tidak suka kepadanya, melainkan kami meragukan kepandaiannya. Sudah sering kali Tiat-ciang-pang dimusuhi orang-orang jahat yang berilmu tinggi, maka bila dipimpin oleh seorang pemuda yang belum berpengalaman dan kepandaiannya tidak boleh diandalkan, bukankah hal itu akan melemahkan Tiat-ciang-pang?"

"Betul! Betul! Pilih Lai-pangcu sebagai ketua baru!" Kembali terdengar teriakan-teriakan riuh.

"Tidak! Kami memilih Ouw-siauw-pangcu!" Mereka yang berpihak Ouw Kian berteriak dan bahkan telah menyebutnya siauw-pangcu (ketua muda)!

Melihat keadaan menjadi ribut, Ouw Beng Kok bangkit berdiri, dan seperti yang dilakukan Lai Ban tadi, ia mengangkat kedua lengan ke atas dan seketika semua orang yang tengah ribut-ribut itu terdiam. Ouw Beng Kok tersenyum dan berkata sabar,

"Memang sudah menjadi hak Saudara Lai Ban untuk dipilih. Tadinya aku pun mempunyai pendapat seperti saudara-saudara yang memilih Lai Ban. Akan tetapi setelah yakin akan kepandaian puteraku, aku mempunyai pikiran bahwa lebih baik puteraku menjadi ketua dan Saudara Lai Ban menjadi wakilnya."

"Buktikan kepandaiannya! Kami ingin mengujinya!" Terdengar teriakan-teriakan.

Ouw-pangcu tertawa lebar. "Memang untuk memperkenalkan puteraku, tadinya aku ingin agar Saudara Lai Ban sendiri yang menguji puteraku. Akan tetapi kalau di antara saudara ada yang penasaran dan ingin menguji dalam hal Ilmu Tiat-ciang-kang, silakan. Kian-ji (anak Kian ), kau layanilah mereka baik-baik."

Ouw Kian yang bertubuh tinggi besar serta bermuka brewok itu lalu meloncat ke tengah ruangan yang seperti panggung itu, mengangkat kedua tangan ke sekeliling dan berkata, suaranya ramah dan nyaring,

"Cu-wi sekalian hendaknya suka memaafkan apa bila kami orang-orang Tiat-ciang-pang terpaksa memperlihatkan kebodohan kami karena hal ini dilakukan demi memperlancar pemilihan ketua. Karena urusan ini adalah urusan dalam, maka kami harap cu-wi tidak mencampurinya dan menjadi saksi saja."

Setelah memberi hormat kepada para tamu, Ouw Kian lalu menghadapi golongan atau rombongan yang mencalonkan Lai Ban, lalu berkata, "Sudah sepatutnya kalau saudara-saudara mengenal baik tingkat kepandaian calon ketua perkumpulan kita. Aku menerima pencalonan bukan hanya untuk berbakti kepada ayah, juga ingin sekali berbakti kepada perkumpulan. Kalau ada saudara yang meragukan tingkat Tiat-ciang-kang saya, silakan mencoba."

Dipimpin oleh Lu Tong, dari golongan tadi lalu meloncat keluar lima orang dan Lu Tong berkata mewakili mereka berlima, "Seorang ketua kita harus dapat menandingi lima orang pimpinan cabang, seperti juga dapat dilakukan oleh Ji-pangcu."

Ouw Kian tersenyum lebar. "Apa bila memang demikian yang kalian kehendaki, silakan. Jika memang kepandaianku masih jauh dari pada mencukupi, tentu saja aku tidak pantas memimpin Tiat-ciang-pang."

Sesudah berkata demikian Ouw Kian lalu memasang kuda-kuda persiapan menghadapi pengeroyokan. Dengan kedua lutut di tekuk rendah, tubuh atas tegak dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka di depan pusar.

Lima orang ketua cabang yang tentu saja merupakan ahli-ahli Tiat-ciang-kang dan sudah berlatih di bawah pimpinan Lai Ban sendiri, tentu saja mengenal kuda-kuda Tiat-ciang Kun-hoat ini dan mereka pun cepat mengurung sambil memasang kuda-kuda.

"Kalian semua ingat! Hanya boleh mempergunakan Tiat-ciang Kun-hoat!" terdengar Ouw Beng Kok berseru kepada enam orang yang sudah siap itu.

Para tamu menonton dengan hati berdebar. Mereka semua sudah mengenal kelihaian ilmu silat dari para tokoh Tiat-ciang-pang. Ilmu Tiat-ciang Kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Besi) ini kabarnya terbagi tiga bagian. Pertama tentu saja hanya dimiliki Ouw Beng Kok sendiri yaitu dimainkan dengan sebelah tangan palsu dari besi. Tingkat ke dua adalah mereka yang memainkan ilmu silat ini dengan kedua tangan biasa yang telah digembleng dengan latihan-latihan hingga memiliki Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi), sedangkan ke tiga adalah anak buah yang hanya mengerti ilmu silatnya, akan tetapi tangan mereka belum memiliki tenaga Tiat-ciang-kang sepenuhnya.

Bahkan di antara mereka ini, untuk menambah keampuhan ilmu silat mereka, ada yang menggunakan senjata sebuah tangan besi yang digenggam pada tangan kanan, menjadi penyambung tangan! Yang memiliki Tiat-ciang-kang secara mahir hanya ada beberapa orang saja dan di antaranya tentu saja Kim-to Lai Ban berada di tingkat teratas. Ada pun kepandaian putera Ouw-pangcu ini memang belum ada yang mengetahuinya.

Di antara lima orang pengeroyok itu, yang memiliki Tiat-ciang-kang lumayan hanya Lu Tong seorang. Empat orang kawannya hanya pandai ilmu silatnya, malah yang dua orang sudah mengeluarkan dua buah senjata tangan besi dan memakainya di tangan kanan, sedangkan yang dua orang lagi hanya mengandalkan ilmu silat dan kekuatan yang besar, sungguh pun mereka belum memiliki Tiat-ciang-kang yang diciptakan dari tenaga sinkang.

Para tamu banyak yang bergerak mendekati panggung, termasuk juga Keng Hong yang menjadi tertarik hatinya. Telah lama mereka mendengar akan nama besar Tiat-ciang-pang dan sekali ini mereka akan menonton pertandingan yang khusus dilakukan dengan Ilmu Silat Tangan Besi yang hebat dan terkenal itu.

Tiba-tiba Lu Tong mengeluarkan seruan keras dan dia sudah mulai menyerang dengan pukulan tangan miring menuju lambung Ouw Kian. Serangannya ini disusul oleh empat orang kawannya yang juga sudah turut menerjang dengan pukulan tangan terbuka, atau cengkeraman, atau pukulan dengan tangan besi yang menjadi senjata mereka. Gerakan mereka itu cepat, kuat dan mantap sekali. Lebih-lebih Lu Tong, sehingga ketika mereka bergerak menyerang, tangan mereka mengeluarkan suara berkerotok dan angin pukulan menyambar dahsyat.

Namun Ouw Kian bergerak dengan tenang dan tepat. Ternyata dia telah menguasai Ilmu Silat Tiat-ciang Kun-hoat dengan amat baiknya. Hal ini terbukti betapa dengan tenang dia menghadapi semua serangan itu dan jelas bahwa dia telah lebih dulu tahu ke mana lima orang lawannya itu akan menyerang.

Dengan lincah namun tenang dan tanpa membuang banyak gerakan sia-sia, Ouw Kian mengelak dan menangkis. Ia tidak mau mengerahkan banyak tenaga karena memang dia hendak memperlihatkan mereka bahwa dia telah mahir memainkan ilmu silat perkumpulan ayahnya. Kalau saja dia menggunakan Tiat-ciang-kang, apa lagi jika dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, tentu hanya dalam satu gebrakan saja dia mampu membuat kelima orang pengeroyoknya jungkir-balik.

Mula-mula pertandingan itu berjalan dengan gerakan-gerakan mantap dan lambat, namun gerakan lima orang pengeroyok itu semakin lama semakin cepat. Mereka mulai menjadi penasaran sebab hingga tiga puluh jurus lebih Ouw Kian hanya mengelak dan menangkis tanpa balas menyerang.

Tangkisan putera ketua itu hanya membuat tangan mereka terpental dan mereka tidak merasakan tenaga sakti yang hebat pada kedua tangan Ouw Kian, maka mereka berlima menjadi makin bersemangat karena menganggap bahwa dalam hal ilmu silat, Ouw Kian kalah cepat oleh Lai Ban, juga dalam hal tenaga sakti, pemuda ini kalah jauh!

Sesudah menghadapi serangan-serangan para pengeroyoknya selama lima puluh jurus, Ouw Kian menganggap sudah cukup. Ia lalu mengerahkan tenaga dan membentak keras, "Harap saudara berlima mundur…!"

Ucapan ini dibarengi dengan tangkisan kedua tangannya secara bertubi dan tepat sekali mengenai tangan kelima orang pengeroyoknya. Terdengar pekik kaget dan lima orang itu sudah terlempar ke belakang semua, menyeringai dan melongo ketika melihat betapa dua buah senjata tangan besi menjadi hancur, sedangkan tangan mereka merah sekali tetapi tidak terluka, hanya panas dan perih! Itulah akibat tersentuh ilmu sakti Tiat-ciang-kang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar