Pedang Kayu Harum Jilid 22

Akan tetapi, Keng Hong sudah awas dan maklum bahwa sebagian besar para tosu yang menjadi anak murid Kun-lun-pai ini masih setia kepada Kiang Tojin, hanya karena mereka disiplin dan takut terhadap ketua dan wakilnya yang baru, terutama kepada Sian Ti Tojin yang merupakan orang ke dua sesudah Kiang Tojin, maka mereka terpaksa tunduk pada perintah kedua orang tosu yang memegang pimpinan baru di Kun-lun-pai itu.

Keng Hong sudah bersiap-siap untuk menggunakan kepandaiannya merobohkan mereka yang bersikap keras dan melewati mereka yang pandang matanya ragu-ragu, dan para tosu itu pun sudah siap mengeroyoknya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

"Mundurlah kalian semua!"

Semua tosu merangkapkan kedua tangan dan mundur ke kanan kiri, memberi jalan orang yang meneriakkan perintah itu. Tampak oleh Keng Hong dua orang tosu dan dia menahan ketawanya.

Geli dan mengkal hatinya melihat lagak dua orang tosu yang dikenalnya sebagai Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin ini, yang berjalan dengan dada membusung, ada pun di belakang kedua orang ini tampak empat orang tosu tokoh Kun-lun-pai murid Thian Seng Cinjin.

Apa bila tidak ada Kiang Tojin, maka Sian Ti Tojin sebagai murid ke dua dari Thian Seng Cinjin memang merupakan tokoh tertua dan terpandai. Akan tetapi Lian Ci Tojin hanyalah merupakan murid ke lima. Mengapa Sian Ti Tojin memilih dia sebagai wakil ketua, tidak sute-sute-nya yang menjadi murid ke tiga dan ke empat? Hal ini mudah dimengerti kalau melihat keakraban mereka dan kecocokan mereka dalam menghadapi Kiang Tojin pada waktu-waktu yang lalu.

Sian Ti Tojin memakai pakaian kebesaran ketua Kun-lun-pai, dengan jubah pendeta yang bersulam benang perak, kepalanya memakai pelindung kepala yang indah dan membuat wajahnya tampak angker. Tangannya memegang sebatang tongkat yang oleh Keng Hong dikenal sebagai tongkat milik Thian Seng Cinjin dan agaknya menjadi tanda pangkat dari ketua Kun-lun-pai!

Sedangkan Lian Ci Tojin membuat hati Keng Hong lebih panas lagi. Tosu ini berpakaian indah dan juga tersulam benang perak, namun yang menggelikan adalah rambutnya yang licin mengkilap oleh minyak, wajahnya juga terpelihara seperti wajah seorang pria muda pesolek, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah.

Kedua orang tosu ini memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh selidik. Ada pun sikap keempat orang tosu lainnya masih biasa saja, namun mereka mengerutkan kening dan siap mempertahankan Kun-lun-pai kalau pemuda ini kembali hendak mendatangkan kekacauan.

"Cia Keng Hong, kiranya engkau yang datang menghadap?" berkata Sian Ti Tojin dengan suara halus. "Kami bersyukur kepada Thian bahwa engkau ternyata masih hidup, tidak mati seperti disangka semua orang!"

Keng Hong menjawab dengan hormat, "Terima kasih atas kebaikan totiang."

"Keng Hong, engkau pernah menjadi kacung Kun-lun-pai. Suheng kini telah menjadi ketua Kun-lun-pai, sepatutnya engkau memberi hormat dan menyebutnya locianpwe," kata Lian Ci Tojin.

Secara diam-diam Keng Hong dapat membedakan watak kedua orang ini. Sian Ti Tojin memperlihatkan sikap halus lembut, sikap yang sepatutnya dimiliki seorang ketua partai besar. Namun sikap Lian Ci Tojin membayangkan kekerasan dan suka membanggakan kekuasaan.

"Tidak apa-apa, memang orang muda kurang pengalaman dan kurang pengertian tentang tata cara. Cia Keng Hong, ada keperluan apakah engkau muncul di sini? Apakah engkau datang untuk mohon maaf atas kelakuanmu dahulu yang membikin kacau dan rugi nama besar Kun-lun-pai? Ataukah engkau akan menebus kesalahan telah menipu kami dengan memberikan pedang palsu dan kini hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam yang tulen?" suara Sian Ti Tojin tetap halus dan sikapnya tenang sekali.

"Tidak sama sekali, Totiang." Keng Hong tetap menyebut totiang kepada ketua baru yang di dalam hatinya tidak dia akui ini sambil melirik ke arah Lian Ci Tojin yang mulai merah mukanya. "Aku datang hendak menghadap Kiang Tojin. Di manakah Kiang Tojin? Harap suka mohon beliau keluar untuk menerima aku datang menghadap beliau."

Cara Keng Hong berbicara jelas membayangkan bahwa dia menempatkan Kiang Tojin di tingkat yang lebih tinggi dari pada Sian Ti Tojin yang kini menjadi ketua. Hal ini dirasakan oleh semua tosu dan mereka semua memandang dengan hati tegang.

"Cia Keng Hong! Kiang Tojin tidak dapat menemuimu pada saat ini. Semua urusan yang hendak kau kemukakan boleh kau sampaikan kepada pinto sebagai ketua Kun-lun-pai," kata Sian Ti Tojin.

"Kenapa Kiang Tojin tidak dapat menemuiku? Apakah beliau sakit? Aku mendengar berita bahwa Thian Seng Cinjin locianpwe sudah meninggal dunia. Sepanjang pengetahuanku, bukankah Kiang Tojin dahulu menjadi calon ketua Kun-lun-pai?"

"Cia Keng Hong! Engkau tetap bocah lancang seperti dahulu! Siapakah engkau ini yang usil dan hendak mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai?”

"Hemm, Lian Ci Totiang, memang aku tetap bocah yang dulu, dan kalau perlu, penting juga bersikap lancang. Aku tak ingin mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai. Setelah kini Thian Seng Cinjin meninggal, kenapa Kiang Tojin tidak menjadi ketua, bahkan juga tidak diperbolehkan menemuiku? Apakah kini beliau telah menjadi orang yang tidak bebas lagi? Apakah beliau kalian hukum?"

Para tosu memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin sejenak saling bertukar pandang, kemudian Sian Ti Tojin mengetukkan tongkatnya pada tanah dengan lagak seperti seorang ketua yang mulai kehilangan kesabaran, akan tetapi suaranya tetap halus.

"Cia Keng Hong, engkau bukan anak murid Kun-lun-pai sehingga sebetulnya tidak berhak untuk mengetahui urusan dalam Kun-lun-pai. Akan tetapi mengingat bahwa engkau ialah bekas kacung kami, dan mengingat hubungan antara engkau dan Kiang-suheng, baiklah kau ketahui urusan dalam yang semestinya menjadi rahasia perkumpulan kami. Sesudah suhu meninggal, terjadilah perbedaan pendapat di antara Kiang-suheng dan kami. Seperti sudah lazim, perbedaan pendapat dalam penggantian ketua ini diselesaikan dengan cara kami, yaitu menguji kepandaian. Siapa yang paling pandai berhak menjadi ketua. Karena Kiang-suheng mempergunakan kekerasan, maka kami pun bertanding, pinto menang dan menjadi ketua sedangkan Kiang-suheng karena berdosa telah memancing keributan dan pertentangan antara saudara sendiri, diwajibkan menebus dosa di ruangan..." Sampai di sini Sian Ti Tojin berhenti, merasa sudah terlalu banyak bicara.

"Di ruangan menebus dosa atau ruang hukuman! Aku sudah tahu, Sian Ti Tojin, dan aku tahu pula bahwa ruang itu disediakan bagi para tosu yang telah melakukan pelanggaran, baik pelanggaran hukum Kun-lun-pai, mau pun hukuman pelanggaran peri kemanusiaan. Apa bila ada tosu yang memperkosa gadis orang dan yang bersekutu dengan orang lain untuk menjatuhkan saudara sendiri pun termasuk pelanggaran-pelanggaran yang harus dihukum, bukan?"

Ucapan Keng Hong ini membuat wajah para tosu anak murid Kun-lun-pai menjadi pucat. Sian Ti Tojin menggerakkan kepala ke belakang dan matanya menyinarkan kemarahan yang tak ditutupinya lagi.

"Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?"

Keng Hong tersenyum ketika melihat ke arah Lian Ci Tojin. Melihat muka tosu ini pucat dan telah meraba gagang pedang di punggungnya, dia lalu berkata, "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan Kun-lun-pai. Aku tidak peduli apakah Kiang Tojin kalian hukum atau kalian apakan juga, asal saja memang sudah semestinya demikian dan tidak ada yang melanggar kebenaran atau pun keadilan. Aku datang hanya untuk bertemu dengan Kiang Tojin."

"Bocah sinting, minggat kau dari sini!" bentak Lian Ci Tojin sambil menyerang.

Pedangnya ditusukkan ke arah dada Keng Hong dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Dia tidak takut menghadapi Keng Hong karena selama lima tahun ini dia dan terutama suheng-nya sudah menggembleng diri supaya kuat mempertahankan kedudukan mereka sebagai ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai.

"Hemmm, gerakanmu cukup baik, akan tetapi kurang isi karena kau kotori dengan watak dengki, kejam dan penuh kebencian, Lian Ci Tojin," Keng Hong berkata sambil mengelak dengan sangat mudahnya. Dia tidak banyak bergerak, hanya miringkan tubuh saja tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya.

Melihat betapa tusukannya hanya lewat saja di dekat dada Keng Hong, Lian Ci Tojin lalu membalikkan pergelangan tangannya hingga pedang itu kini membabat turun memenggal atau membacok ke arah pinggang.

"Plakkk!"

Keng Hong melangkah mundur dan mengangkat kakinya, menampar pedang itu dari arah samping dengan tendangan kakinya. Kelihatannya perlahan saja dia menendang, namun pedang itu hampir terlepas dari pegangan Lian Ci Tojin yang ikut terpental hingga terputar setengah lingkaran. Ketika dia memandang, Keng Hong sudah meloncat jauh melampaui kepala para tosu.

"Kejar dia! Jangan perbolehkan dia masuk!" Bentak Sian Ti Tojin yang sudah melompat pula dengan gerakan cepat sekali, seperti melayang melampaui kepala anak buahnya.

Tapi dia tercelik karena Keng Hong tidak terus meloncat ke dalam, melainkan menyambar balok atap dan mengayun tubuhnya mencelat ke atas genteng.

"Ha-ha-ha, Sian Ti Tojin, engkau sudah pucat ketakutan, khawatir rahasiamu terbuka, ya. Ha-ha-ha, betapa memalukan rahasia ini. Engkau merampas kedudukan ketua dari tangan suheng-mu sendiri, sama sekali bukan mengandalkan kepandaianmu, sama sekali bukan karena engkau lebih lihai dari pada Kiang Tojin, melainkan karena engkau sudah dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat, dibantu oleh Ang-kiam Tok Sian-li Bhe Cui Im yang dulu menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan yang kini memakai julukan Ang-kiam Bu-tek. Ehh, Lian Ci Tojin, bukankah kini engkau telah menjadi sahabat baiknya? Dia manis sekali, bukan? Apakah engkau suka mencium tahi lalat merah di tubuhnya? Ha-ha-ha!"

Entah bagaimana, dalam kemarahannya ini Keng Hong tidak menyadari bahwa dia telah bersikap gembira dan nakal, tidak menyadari bahwa kini dia telah bersikap persis seperti sikap Sin-jia Kiam-ong di waktu muda.

Dia teringat bahwa di tubuh Cui Im terdapat sebuah tahi lalat merah, maka dia sengaja mengejek Lian Ci Tojin yang dia dapat menyangka tentu telah melayani gadis cantik dan lihai itu dalam bermain asmara, karena walau pun usianya sudah empat puluh lima lebih, malah mungkin lima puluh tahun, tosu ini termasuk seorang pria yang gagah dan tampan. Apa lagi kalau dia ingat betapa Lian Ci Tojin kurang kuat menahan nafsunya sehingga sampai hati melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis muda, yaitu Tan Hun Bwee.

"Binatang kurang ajar!"

Dalam kemarahannya akibat terdorong rasa malu, Lian Ci Tojin membuat gerakan dengan kedua kakinya, memutar tubuh dan kedua lengan kemudian secara tiba-tiba sekali tangan kanannya sudah melontarkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah, lebih cepat lagi malah, menuju ke perut Keng Hong. Pedang itu berubah menjadi sinar terang saking lajunya, dan mengeluarkan suara berdesing.

Sesudah Keng Hong mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun peninggalan Thai Kek Couwsu yang merupakan inti sari ilmu silat Kun-lun-pai, dia dapat mengenal gerakan itu. Maka dia cepat melompat ke samping sambil tangannya menyambar pedang itu dengan kedua jari telunjuk dan jari tengah, mengepitnya, kemudian meloncat turun kembali.

Enam orang murid Thian Seng Cinjin merasa terkejut lantas melongo. Yang diperlihatkan Keng Hong dalam menyambut pedang yang disambitkan tadi adalah jurus Yan-cu Phok-li (Burung Walet Menyambar Ikan), jurus yang khusus dalam ilmu silat Kun-lun-pai untuk menghadapi serangan yang khusus pula, yaitu penyambitan pedang yang disebut jurus terakhir Sin-lion Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Buntut).

"Hemm, Lian Ci Tojin, betapa pun kejam dan ganas hatimu, tapi jurus Sin-liong Hian-bwe ini masih jauh dari pada sempurna. Melontar pedang menuju sasaran barulah tepat kalau pencurahan perhatian memusat hanya pada satu titik, akan tetapi pikiranmu telah banyak bercabang, di antaranya bercabang pada kedudukan, pada kemewahan, dan terutama sekali bercabang kepada kulit kuning wajah cantik! Kau lihatlah baik-baik dan baru tahu bahwa sesungguhnya Sin-liong Hian-bwe dari Kun-lun-pai amatlah lihainya!"

Keng Hong yang berada di atas genteng itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berputar seperti yang dilakukan oleh Lian Ci Tojin tadi, kemudian dia melontarkan pedang yang ditangkapnya tadi ke arah Lian Ci Tojin.

Pedang itu segera meluncur bagaikan kilat menyambar, tanpa mengeluarkan bunyi, akan tetapi justru tak berbunyi inilah yang amat lihai. Dapat menyambitkan pedang sedemikian cepatnya tanpa pedang itu mengeluarkan bunyi, benar-benar merupakan kemahiran dan tingkat yang terlalu tinggi bagi para murid Thian Seng Cinjin.

Lian Ci Tojin kaget bukan main. "Celaka...!" serunya.

Dia cepat menggunakan gerakan Yan-cu Phok-hi untuk menghindarkan diri. Ia meloncat, membalik kemudian tangannya bergerak, bukan untuk menjepit pedang karena kecepatan pedang itu membuat tosu ini jeri untuk menjepitnya dengan dua jari tangan, maka sebagai gantinya dia lantas mengebut pedang itu dengan lengan bajunya. Akan tetapi pedang itu menyambar terlalu cepat dan ketika dia kebut dengan ujung lengan baju, masih meluncur terus bahkan ujung lengan bajunya yang buntung.

"Aihhhhh...!"

Lian Ci Tojin menjadi pucat melihat pedang itu tadi sudah menyambar dan membabat putus segumpal rambutnya dan kini rambut segumpal bersama kain dengan lengan baju sepotong yang tadi terbabat dan menyangkut pada gagang pedang, tampak di atas tanah, tertikam pedang yang amblas sampai ke gagangnya ke dalam tanah!

Para tosu geger menyaksikan hal ini, terutama sekali enam orang pimpinan Kun-lun-pai menjadi pucat mukanya. Mereka maklum bahwa pemuda itu kini telah menjadi orang yang lihai sekali dan amatlah berbahaya bagi Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin kalau tidak segera dibinasakan.

"Kejar! Kepung! Bunuh!" Sian Ti Tojin berseru keras sehingga semua tosu yang mentaati perintahnya sudah mengepung tempat itu dan siap untuk meloncat naik ke atas genteng mengeroyok Keng Hong.

"Heh, para tosu Kun-lun-pai, dengarlah baik-baik!" Keng Hong berteriak.

Oleh karena pemuda ini mempergunakan tenaga khikang, maka suaranya menggetarkan jantung semua tosu, termasuk juga tokoh-tokohnya hingga mereka terkejut sekali, bahkan beberapa orang anak murid Kun-lun-pai yang sinkang-nya masih belum kuat benar, dua kaki mereka langsung menjadi lemas dan mereka pun roboh terguling begitu mendengar suara Keng Hong yang mengandung getaran khikang yang amat kuatnya itu.

"Menurut aturan sesungguhnya Kiang Tojin yang patut menjadi ketua Kun-lun-pai, selain beliau adalah murid tertua mendiang Thian Seng Cinjin, juga memiliki tingkat kepandaian paling tinggi dan mempunyai pula sifat-sifat yang berdisiplin, bijaksana, berpemandangan luas. Akan tetapi kedudukan ketua telah dirampas oleh Sian Ti Tojin secara curang, yaitu menggunakan bantuan seorang iblis betina golongan sesat. Jika kalian mau insyaf, demi menjaga nama besar Kun-lun-pai, bebaskan Kiang Tojin dan angkat beliau sebagai ketua! Aku tak ingin mencampuri urusan Kun-lun-pai, hanya memberi nasehat mengingat bahwa aku pernah hidup di sini. Sekarang, aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kiang Tojin!"

Dari atas genteng Keng Hong dapat melihat jelas betapa pada wajah sebagian besar para tosu Kun-lun-pai tampak keraguan dan bahkan persetujuan dengan anjurannya itu, maka berisiklah keadaan di bawah itu karena para tosu saling berbisik-bisik.

"Diam semua! Siapa hendak memberontak akan kubunuh dengan tongkatku ini!" Sian Ti Tojin membentak dan diamlah para tosu itu. "Hayo kalian membantu pinto menangkap dan membunuh pengacau Kun-lun-pai itu!"

Para tosu kembali menjadi berisik sekali. Seperti rombongan semut diganggu, mereka itu bersiap untuk mengeroyok Keng Hong.

"Tahan semua...!" Tiba-tiba terdengar nyaring dan sesosok tubuh berkelebat naik ke atas genteng. Tahu-tahu Kiang Tojin telah berdiri di depan Keng Hong!

"Cia Keng Hong, engkau pengacau terbesar di dunia! Mau apa engkau hendak berjumpa dengan pinto? Masih ada muka untuk bicara dengan pinto? Bicara apa lagi?" Kiang Tojin membentak Keng Hong dengan sikap kereng dan mata memancarkan kemarahan.

Keng Hong memandang tosu penolongnya itu dan hatinya terharu. Pakaian tosu ini kumal dan robek-robek, rambutnya kusut, wajahnya amat pucat dan tubuhnya kurus sekali. Dua lengannya diborgol pada pergelangan tangan. Yang masih tetap kelihatan bersemangat, bahkan kini lebih tajam sinarnya, adalah sepasang mata kakek ini.

Keng Hong cepat menjura dengan penuh hormat dan menjawab. "Totiang, mohon maaf atas kelancangan saya. Akan tetapi saya mendengar bahwa Totiang dicurangi, bahkan dihukum dan saya datang dengan maksud membantu…"

"Pinto tidak membutuhkan bantuanmu, Keng Hong. Dan tentang urusan kedudukan ketua Kun-lun-pai, tongkat ketua telah di tangan sute-ku Sian Ti Tojin, hal ini juga urusan dalam Kun-lun-pai. Engkau tidak berhak..."

"Kalau saya tidak berhak mencampuri, mengapa Ang-kiam Bu-tek boleh mencampurinya dan membantu mereka yang merampas kedudukan Totiang?"

Tiba-tiba saja sepasang mata itu menjadi makin bersinar marah. "Perempuan itu! Tidak menyebutnya masih tidak mengapa, akan tetapi setelah engkau menyebutnya, betapa... tidak punya malu engkau, Cia Keng Hong!"

"Ehh, apakah maksud Totiang?"

Tosu tua itu memandang Keng Hong dengan kepala dikedikkan ke belakang, matanya memandang setengah terkatup dan cuping hidungnya bergetar. "Cia Keng Hong, engkau menolak permintaan banyak tokoh kang-ouw gagah perkasa yang menginginkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Andai kata engkau mengkhianati gurumu dan menyerahkan pusaka itu kepada para tokoh kang-ouw yang akan mempergunakan untuk perjuangan membela kebenaran dan keadilan, itu sih masih tidak mengapa. Akan tetapi engkau telah menyerahkan pusaka gurumu kepada seorang wanita seperti murid Lam-hai Sin-ni! Cia Keng Hong, kemana larinya kesadaran dan kebijaksanaanmu?"

"Saya tidak menyerahkan, melainkan dia yang telah mencurinya. Kiang-totiang, mengapa Totiang membiarkan pengaruh jahat menyelundup ke Kun-lun-pai? Apakah sudah tepat kalau Totiang mengalah dan menerima dihukum begitu saja dan membiarkan Kun-lun-pai melalui jalan yang menuju ke arah penyelewengan? Bagaimanakah pertanggungan jawab Totiang terhadap Kun-lun-pai, terhadap Thai Kek Couwsu pendiri Kun-lun-pai? Kemana larinya kesetiaan Totiang terhadap Kun-lun-pai?"

"Cia Keng Hong, tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusan Kun-lun-pai. Pinto sudah dikalahkan, tongkat ketua juga sudah dirampas, mau berkata apa lagi? Biarlah, ini adalah urusan pribadi pinto sendiri!"

"Begitu pula urusan peninggalan harta pusaka suhu adalah urusan pribadi saya, Totiang. Tidak perlu ada orang lain memusingkannya. Sekarang, saya pun tidak mau mencampuri urusan Totiang dengan Kun-lun-pai, akan tetapi saya hendak menyampaikan pesan Thai Kek Couwsu kepada Totiang."

"Iiiihhhh...!!!" Terdengar seruan-seruan kaget dari para tosu di bawah genteng.

"Keng Hong, apa yang kau katakan ini? Keng Hong, bocah yang sejak dulu pinto anggap sebagai putera sendiri, ahhh, benarkah engkau begini kejam, selain selalu mendatangkan rasa kecewa, kini malah berani menggunakan nama Couwsu untuk main-main di hadapan pinto?" Kiang Tojin memandang dengan muka sedih dan suara gemetar.

Keng Hong terharu sekali dan cepat menjatuhkan diri berlutut. "Tidak, Totiang, saya mana berani mempermainkan Totiang yang saya junjung tinggi dan yang tak akan pernah saya lupakan budi Totiang yang amat besar terhadap saya? Saya sudah menemukan rangka Thai Kek Couwsu, bahkan saya telah menyempurnakannya dengan membakar rangkanya dan menyebarkan abunya di atas lereng batu pedang."

"Siancai… siancai… siancai...!" Terdengar Kiang Tojin bersama para tosu berdoa sambil menundukkan kepala.

"Cia Keng Hong, untuk kesekian kalinya pinto percaya dengan segala keteranganmu ini. Kini bangkitlah dan katakanlah apa yang kau maksudkan dengan menyampaikan pesan Couwsu kami kepada pinto tadi."

Keng Hong bangkit berdiri dan mengeluarkan kitab kuno peninggalan Thai Kek Couwsu, dipegangnya dengan suara lantang. "Saya mendapatkan kitab pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini di atas meja dekat rangka Thai Kek Couwsu dan karena di situ terdapat pesan supaya kitab pusaka ini diserahkan kepada calon ketua yang baik dari Kun-lun-pai, maka saya anggap bahwa Kiang Tojin seoranglah yang berhak menerimanya!"

"Bocah jahat, berani engkau mengacau Kun-lun-pai? Serahkan kitab itu kepada pinto!" teriak Sian Ti Tojin.

Tubuh ketua baru Kun-lun-pai ini meloncat naik ke atas genteng dengan cepat sekali dan berada di atas kepala Keng Hong, kemudian tubuh itu membalik dan menukik membuat salto, tongkatnya ke bawah dan meluncur dalam penyerangannya, menusuk ubun-ubun Keng Hong, sedangkan tangan kirinya meraih ke depan merampas kitab.

Melihat betapa sute-nya menggunakan jurus maut dengan ilmu tongkatnya ini, Kiang Tojin berseru terkejut, "Sute..!"

"Aha, Sian Ti Tojin, masa sebagai ketua Kun-lun-pai, jurusmu Hek-liong Lo-hai hanyalah seperti ini? Jauh kurang sempurna…!" Keng Hong berkata cepat pada saat menyaksikan gerakan serangan ketua Kun-lun-pai itu.

Ia tidak mengelak, malah merendahkan tubuhnya sampai berjongkok dan menanti sampai tongkat itu dekat di atas ubun-ubunnya. Baru dia cepat-cepat memiringkan pundak dan kepala, secepat kilat tangan kirinya menyambar ujung tongkat, dibetot terus ke bawah lalu dikempit sedangkan kaki kanannya secara tiba-tiba menendang perut Sian Ti Tojin!

Kakek ini terkejut. Mempertahankan tongkatnya berarti perutnya akan tertendang dan dia mengenal jurus yang lihai ini, dan tahu pula bahwa pemuda ini mempunyai sinkang yang luar biasa sekali. Menurut peraturan, tongkat pegangan ketua yang merupakan ‘tongkat komando’ sama harganya dengan nyawa si ketua, sama sekali tidak boleh terampas oleh lawan. Tentu saja Sian Ti tojin sebagai ketua baru Kun-lun-pai, juga amat sayang kepada tongkatnya itu.

Akan tetapi saat menghadapi bahaya maut, ternyata tosu ini lebih sayang nyawanya dari pada tongkatnya. Hal ini terbukti ketika dia melepaskan tongkatnya untuk menyelamatkan diri dengan melompat ke belakang. Akan tetapi gerakannya kurang cepat dan ujung kaki Keng Hong masih saja menendang paha Sian Ti Tojin hingga kakek ini berteriak nyaring dan tubuhnya terlempar ke bawah genteng. Untung kepandaiannya cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting.

Pada saat yang hampir bersamaan tadi, Lian Ci Tojin juga sudah melayang naik sambil membawa pedangnya yang telah dia cabut dari atas tanah. Ia pun menggunakan pedang itu menyerang Keng Hong dengan bacokan dahsyat, tepat pada saat Keng Hong habis menendang roboh Sian Ti Tojin.

"Ngo-sute (adik kelima), sungguh keterlaluan engkau!" Kiang Tojin berkata dan sebelum Keng Hong bergerak menyambut serangan Lian Ci Tojin, Kiang Tojin sudah mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu dan menyambut sambaran pedang itu.

"Cring-tranggggg..! Auhhh…!"

Tubuh Lian Ci Tojin juga terlempar ke bawah gentang, pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dua kali dengan baja belenggu dan dia roboh oleh tendangan Kiang Tojin yang gerakannya sama dengan gerakan Keng Hong merobohkan Sian Ti Tojin tadi!

"Cia Keng Hong, bagaimana engkau dapat mengenal Hek-liong Lo-hai tadi dan mampu mainkan jurus Hui-eng Coan-in (Garuda Terbang Menerjang Awan) tadi? Kedua jurus itu merupakan jurus-jurus simpanan tingkat tinggi dari Kun-lun-pai!" tegur Kiang Tojin, lebih banyak merasa kagum akan kesempurnaan gerakan Keng Hong yang bahkan melebihi gerakannya sendiri itu dari pada marah dan penasaran.

Dengan dua tangannya Keng Hong kembali menyodorkan kitab pusaka itu kepada Kiang Tojin. "Maaf, Totiang, saya bukan sengaja mencuri dan tidak akan saya berani membuka rahasia ilmu-ilmu itu kepada orang lain. Saya mendapatkannya dari sini, dan terimalah pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini! Dan karena Sian Ti Tojin telah begitu baik hati untuk menyerahkan tongkat ketua kepada Totiang, sebaiknya Totiang menerima tongkat itu sekalian!"

Kiang Tojin tertegun, bagaikan orang terpesona dia memandang ke arah kitab, suaranya gemetar dan kedua kakinya menggigil saat dia bertanya lirih, "Keng Hong, bersumpahlah. Benarkah kitab itu peninggalan Couwsu?"

"Saya bersumpah demi kehormatan saya, Totiang."

Mendengar ini, Kiang Tojin lalu menerima kitab dengan kedua tangan, membukanya dan membaca huruf-huruf indah di halaman pertama: THAI-KEK SIN-KUN INI DICIPTAKAN UNTUK CALON-CALON KETUA KUN-LUN-PAI. Wajah Kiang Tojin makin berseri ketika dia membuka-buka kitab itu, lantas mengangkat tinggi-tinggi kitab itu di atas kepalanya, menghadapi semua tosu di bawah genteng dan berteriak,

"Para murid Kun-lun-pai! Ternyata kitab ini benar-benar peninggalan Couwsu kita! Marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Couwsu!" Kiang Tojin, menjatuhkan diri berlutut dan semua tosu di bawah genteng pun lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah!

"Teecu sekalian menghaturkan syukur dan terima kasih atas budi kecintaan Couwsu yang sudah meninggalkan kitab ini kepada teecu sekalian. Teecu bersumpah untuk menjunjung tinggi peninggalan Couwsu dan mencamkan semua ajaran Couwsu!"

Wajah Kiang Tojin berseri-seri dan matanya bersinar saat dia bangkit berdiri lagi. Dengan lantang dia berkata, "Engkau benar, Keng Hong. Kesulitan-kesulitan dan urusan-urusan pribadi harus disingkirkan dan dikesampingkan ketika menghadapi urusan perkumpulan! Kun-lun-pai perlu dibangun, perlu diperkuat dan karena couwsu berkenan meninggalkan pusaka ini kepada pinto, maka pinto berhak menjadi ketua! Juga tongkat ketua, berkat ketangkasanmu, sudah berhasil dirampas kembali. Siapakah di antara para saudara yang tidak setuju kalau pinto menjadi ketua Kun-lun-pai?"

Tiada seorang pun di antara para tosu berani mengeluarkan suara, bahkan empat orang tosu yang menjadi adik-adik seperguruan Kiang Tojin, sekarang memandang pada kakek seperguruan tertua itu dengan sinar mata penuh harapan. Kemudian semua tosu-tosu itu mengerling ke arah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin yang berdiri dengan muka pucat.

"Cia Keng Hong, selama hidup pinto takkan melupakan perbuatanmu ini dan sekali waktu pinto akan membalas dendam ini!" bentak Lian Ci Tojin sambil mengertakkan giginya.

"Cia Keng Hong, kau telah berani merampas tongkat ketua dan menggunakan kekerasan untuk mencampuri urusan Kun-lun-pai. Selamanya Kun-lun-pai akan mengutukmu, selalu menganggapmu sebagai musuh besar!" kata pula Sian Ti Tojin.

Keng Hong tertawa, "Pemutar balikan fakta merupakan fitnah keji, Ji-wi Totiang. Aku tidak mencampuri urusan Kun-lun-pai dan tentang tongkat, siapakah yang bergerak lebih dulu melakukan serangan? Aku hanya membela diri dan salahmu sendiri mengapa sebagai ketua kurang sempurna ilmumu, dan mengapa pula engkau meninggalkan tongkatmu ke tanganku. Bukankah seorang ketua Kun-lun-pai harus selalu menjaga tongkatnya seperti menjaga nyawa sendiri? Sekarang terserah padamu. Lawanlah Kiang Tojin jika memang kau merasa lebih berhak dan lebih pandai. Ada pun aku..., hemmm, aku hanya menjadi saksi dan aku yang akan turun tangan menghadapinya kalau kau minta bantuan kepada tokoh-tokoh kaum sesat!"

Melihat betapa kedua orang tosu itu diam saja, hanya memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata melotot penuh kebencian, Kiang Tojin lalu menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah suara berkerotokan ketika belenggu pergelangan tangannya patah-patah.

"Ji-sute dan Ngo-sute, kalian juga mengerti sendiri kenapa dulu pinto mengalah. Pertama untuk memenuhi janji bahwa siapa yang kalah harus memberikan kedudukan ketua. Pinto telah kalah oleh Ang-kiam Bu-tek yang mewakilimu, dan tongkat ketua juga sudah dapat dirampas dari tangan pinto. Hanya karena pinto tidak menghendaki perpecahan di tubuh Kun-lun-pai sesuai dengan pesan suhu, maka pinto mengalah, suka diperlakukan sebagai orang hukuman. Andai kata pinto tidak mau menerima dan melawan setelah Ang-kiam Bu-tek pergi tentu kalian berdua tak akan mampu melawan dan mengalahkan pinto. Kini pinto sadar bahwa sesungguhnya kalian telah menyelewengkan Kun-lun-pai dan bahwa sikap mengalah dari pinto bukan hal benar, bahkan merupakan pengkhianatan terhadap Kun-lun-pai, terhadap suhu yang telah menaruh kepercayaan kepada pinto. Dulu tongkat ini dirampas dari tangan pinto oleh Ang-kiam Bu-tek, kini kembali ke tangan pinto atas bantuan Cia Keng Hong. Hal ini sudah sewajarnya maka pinto suka menerima kembali ini. Apa lagi setelah pinto harus memimpin anak murid Kun-lun-pai seperti yang dikehendaki pendirinya, yaitu Couwsu kita!"

"Kiang Tojin, kelak kita akan saling berjumpa kembali!" Terdengar suara Sian Ti Tojin penuh kemarahan dan dendam. "Mulai detik ini, aku bukan lagi tosu Kun-lun-pai!"

"Sute...!" Kiang Tojin berseru.

Akan tetapi Sian Ti Tojin sudah menoleh kepada Lian Ci Tojin dan berkata singkat, "Hayo kita pergi!"

Dua orang tosu itu sudah meloncat pergi. Keng Hong bergerak hendak mengejar sambil berkata lirih, "Dia harus dibasmi...!"

Kiang Tojin mengira bahwa Keng Hong hendak membunuh mereka karena sikap mereka sebagai murid-murid Kun-lu-pai yang murtad, maka dia cepat-cepat mencegah, "Jangan, biarkan mereka pergi... ini urusan Kun-lun-paii..."

Sebetulnya Keng Hong berniat membunuh Lian Ci Tojin atas perbuatannya terhadap Tan Hun Bwee dulu, akan tetapi mendengar cegahan ini, dia menjadi tidak enak hati terhadap Kiang Tojin dan mengurungkan niatnya. Sikap kedua orang tokoh Kun-lun-pai itu sudah cukup menghancurkan hati Kiang Tojin.

Para tosu yang tadinya bersekutu dengan Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin menjadi amat ketakutan sendiri dan mereka segera menerima dengan penuh kerelaan hati ketika Kiang Tojin mengatakan bahwa siapa yang merasa bersalah dipersilakan untuk menghukum diri sendiri di dalam ruang ‘pencuci dosa’ dan kamar-kamar ‘penyesalan diri’. Para tosu yang merasa bersalah, hampir dua puluh orang banyaknya, segera berbondong-bondong pergi memasuki tempat-tempat yang khusus diadakan oleh Kun-lun-pai bagi anak-anak murid Kun-lun-pai untuk menyesali perbuatan sendiri yang tersesat.

Diam-diam Keng Hong menjadi gembira dan juga kagum sekali. Ternyata bahwa Kiang Tojin masih cukup berwibawa dan dia ingat pada para tosu yang bermain asmara dengan wanita dusun di lereng gunung dan dia tersenyum sendiri. Salahkah tosu itu? Tidak! Tidak salah, hanya lemah terhadap pantangan yang memang diadakan oleh golongan mereka dan yang sudah diakui olehnya sendiri! Bersalah kiranya orang yang melanggar larangan yang sudah diakuinya sendiri bahwa larangan itu tak boleh dilanggar.

"Keng Hong, kedatanganmu seperti datangnya dewa yang menyadarkan pinto dari mimpi buruk. Dan besar sekali budimu terhadap Kun-lun-pai dan terhadap Couwsu kami. Tidak percuma kiranya ketika Thian dahulu menggerakkan hati pinto untuk membawamu ke sini, Keng Hong. Sekarang ceritakanlah, bagaimana engkau bisa menemukan tempat bertapa mendiang Couwsu, dan bagaimana pula semua pusaka gurumu sampai dapat tercuri oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang menjadi begitu lihai dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek?"

Keng Hong yang kini diajak duduk di ruangan dalam oleh Kiang Tojin yang sudah menjadi ketua Kun-lun-pai, segera menceritakan pengalamannya semenjak dia dikejar-kejar dan naik ke puncak batu pedang. Di antara seluruh manusia di dunia ini, hanya kepada Kiang Tojin-lah satu-satunya tokoh kang-ouw yang boleh dipercaya dan yang sama sekali tidak memiliki niat buruk terhadap dirinya, tidak pula menginginkan harta pusaka dan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.

Ia menceritakan betapa akhirnya dia berhasil mendapatkan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya, akan tetapi betapa terpaksa dia mengajak Cui Im karena selain gadis itu sudah menolongnya, juga kalau tidak dia ajak, tentu gadis itu terancam keselamatannya oleh para tokoh kang-ouw yang mengejarnya. Diceritakan selanjutnya betapa dia tertipu oleh Cui Im itu, terjebak di ujung seberang jurang akan tetapi akhirnya kekejian Bui Im itu bahkan membuat dia berhasil menemukan tempat rahasia di mana terdapat rangka dan kitab peninggalan Thai Kek Couwsu!

Akhirnya dia menceritakan perjalanannya keluar dari tempat rahasia itu. Ia menceritakan hanya secara singkat, melewatkan saja keterangan tentang tempat itu sendiri, dan tidak menyebut-nyebut hal lainnya, misalnya pengetahuannya mengenai kekejian Lian Ci Tojin terhadap Tan Hun Bwee, mau pun tosu Kun-lun-pai yang bermain cinta dengan wanita dusun.

Kiang Tojin mengelus jenggotnya yang panjang dan menarik napas panjang. "Aaah, baru empat tahun mempelajari kitab-kitab peninggalan suhu-mu, gadis itu sudah sedemikian lihainya sehingga aku roboh di tangannya! Dan kitab-kitab itu dibawanya semua!"

"Saya pun merasa menyesal sekali, Totiang. Semua itu akibat kelalaian saya, merupakan kesalahan dan tanggung jawab saya. Saya sudah mengambil keputusan untuk mencari Cui Im hingga dapat, merampas semua kitab-kitab peninggalan suhu yang telah dicurinya, lalu saya hendak mengembalikan semua kitab dan pedang-pedang pusaka kepada orang yang berhak."

"Baik sekali pendirianmu itu, Keng Hong. Gurumu Sie Cun Hong bukanlah seorang yang jahat atau berdasarkan watak yang buruk. Tidak sama sekali, dia adalah seorang taihiap, seorang pendekar besar yang di samping lihai sekali, juga selalu siap menentang segala kejahatan dan mempertaruhkan jiwa untuk membela kebenaran, keadilan dan kebajikan. Akan tetapi dia berwatak aneh, tidak mengindahkan hukum-hukum yang dibuat manusia, bertindak seenak hatinya sendiri asal bersandar kebenaran menurut penilaiannya. Boleh jadi gurumu telah menolong ribuan orang, telah menentang ribuan kejahatan, akan tetapi karena wataknya yang ugal-ugalan ini, sukanya akan wanita cantik tanpa mempedulikan apakah wanita itu isteri orang ataukah gadis, asal suka kepadanya tentu akan dia layani, kemudian ditambah dengan kesukaannya akan benda-benda pusaka yang tak segan lalu dicurinya dari tangan orang lain menggunakan kepandaiannya, maka segala kebaikannya itu dilupakan orang dan dia pun dimusuhi. Karena itu, pendirianmu untuk mengembalikan benda-benda pusaka yang dulu dicuri atau dirampas oleh suhu-mu, merupakan kebaktian pada gurumu, mencuci noda pada namanya. Dan engkau tidak perlu menjadi penasaran menghadapi kenyataan bahwa benda-benda pusaka itu dicuri orang, karena benda yang mudah didapat akan mudah lenyap pula, benda yang didapat dengan mencuri tentu akan lenyap tercuri, siapa menanam pohonnya dia memetik buahnya."

Keng Hong mengangguk-angguk lantas berkata. "Saya mengenal watak mendiang suhu, Totiang, dan saya juga tidak dapat menyalahkannya. Memang, selagi masih hidup tidak menikmatinya, lalu apa gunanya segala anugerah yang diberikan Thian kepada manusia? Menikmati kesenangan hidup adalah hak manusia, asalkan si manusia dapat mengekang diri, dapat mengendalikan hawa nafsu yang mendorongnya untuk menikmati kesenangan duniawi sehingga tidak sampai mabuk, tidak sampai melupakan kebajikan dan melakukan kejahatan hanya untuk pemuasan nafsu. Pemuasan nafsu dilakukan dengan wajar tanpa merugikan orang lain adalah kenikmatan yang menjadi anugerah Thian, mengapa ditolak? Maaf, Totiang, tentu saja pendirian seorang pendeta seperti Totiang akan lain lagi. Hanya sebaiknya diingat bahwa suhu bukanlah pendeta, melainkan manusia biasa."

Kiang Tojin mengerutkan alis dan menghela napas panjang. "Pinto tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Ada baik ada buruk, hal itu sudah wajar. Ada senang ada susah, memang saudara kembarnya yang takkan dapat dipisahkan. Yang mencari senang akan bertemu susah, itu memang resikonya dan juga sudah semestinya. Pengertian saja belum cukup. Oleh karena itu, engkau yang masih muda memang baru akan dapat mengerti dengan sempurna setelah digodok oleh pengalaman dan sudah menjadi hakmu untuk mengalami segala hal di dunia ini. Hanya pesanku Keng Hong, pengalaman pahit jauh lebih berharga dari pada pengalaman manis, dan ingat pula bahwa sesal kemudian sama sekali tiada gunanya. Ingat bahwa kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati sendiri belum tentu kebenaran yang sejati. Kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati orang lain itu pun hanya lebih dekat dengan yang sejati, Engkau bebas untuk bergerak dalam hidup, dan guru yang paling dapat kau andalkan adalah GURU SEJATI yang berada di dalam dirimu pribadi."

Setelah banyak menerima wejangan Kiang Tojin, akhirnya Keng Hong pergi meninggalkan Kun-lun-pai dengan dada lapang bahwa dia telah dapat membantu memulihkan keadaan Kun-lun-pai dan biar pun sedikit dapat pula menebus budi kebaikan Kiang Tojin…..

********************

"Aaauuuuuuhhhh... toloooooonggg...!"

Jerit melengking wanita ini tiba-tiba terdiam. Memang leher yang dicekik tentu saja tidak akan dapat menjerit lagi. Jerit itu keluar dari sebuah kamar yang indah dan diterangi sinar lilin terbungkus sutera merah, remang-remang romantis sehingga menambah keindahan kamar yang berbau harum itu.

Akan tetapi apa yang terjadi di dalam kamar pada malam hari itu? Seorang gadis remaja, puteri hartawan dan bangsawan yang menjadi kembang kota itu, tertimpa mala petaka. Ketika dia sedang tidur pulas tadi, tiba-tiba dia terbangun dan hampir dia pingsan ketika melihat betapa seorang laki-laki yang berpakaian mewah serta berwajah tampan sedang memeluk dan menciumi mukanya sambil jari-jari tangan laki-laki ini merenggut-renggutkan pakaiannya sehingga robek-robek.

Sejenak gadis itu tak dapat menjerit saking kaget dan juga karena mulutnya tertutup oleh ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuatnya bernapas pun sukar, apa lagi menjerit. Ia hanya dapat membelalakkan mata dan meronta-ronta, akan tetapi gerakannya meronta ini agaknya malah menambah berkobarnya nafsu jalang laki-laki itu.

"Diamlah manisku, diamlah nona... aduh, betapa cantik jelita engkau...," lelaki itu berbisik dengan napas mendengus-dengus.

Kesempatan ini dipergunakan oleh nona yang mulutnya bebas. Akan tetapi hanya satu kali saja dia dapat menjerit karena mulutnya segera tertutup kembali oleh mulut laki-laki itu dan lehernya dilingkari jari-jari tangan yang kuat.

"Kalau kau menjerit lagi, kucekik mampus kau!" laki-laki itu mendesiskan bisikan marah, akan tetapi gadis itu tidak dapat menjerit lagi karena saking ngeri dan takutnya dia telah kehilangan suara dan setengah pingsan.

Akan tetapi satu kali jeritannya tadi sudah cukup. Ayahnya adalah seorang bangsawan, seorang pembesar militer yang banyak berjasa dalam perang, sebagai seorang di antara panglima dari utara. Pada malam hari itu, ayahnya sedang menjamu banyak orang gagah yang dahulu membantu gerakan bala tentara dari utara yang dipimpin oleh Raja Muda Yung Lo yang gagah perkasa.

Malam hari itu ada lima orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang dijamu oleh ayahnya. Karena ini, jerit melengking itu segera terdengar oleh mereka dan bersama panglima ayah gadis itu sendiri, mereka berenam sudah berkelebat cepat sekali menuju ke kamar si gadis.

"A-hwi...!" Panglima itu berseru memanggil puterinya, akan tetapi tidak ada jawaban.

Sambil menggereng penuh kekhawatiran, panglima yang tinggi besar itu menerjang daun pintu kamar puterinya. Daun pintu bobol dan roboh, disusul enam bayangan orang gagah itu berkelebat memasuki kamar.

"A-hwi…!"

Sekarang teriakan panglima itu adalah teriakan yang menyayat hati, teriakan setengah marah setengah menangis menyaksikan keadaan puterinya yang rebah terlentang dalam keadaan telanjang dan sepasang matanya mendelik, lidahnya keluar, tidak bernapas lagi! Jelas bahwa dia mati tercekik.

Lima orang gagah itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Melihat keadaan kamar sekelebatan saja, mereka telah menemukan lubang di atas rumah, maka seperti berlomba mereka kemudian melayang naik melalui lubang itu menembus atap dan hinggap di atas genteng. Mereka melihat bayangan orang berjalan seenaknya di atas genteng hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Berhenti...!" Lima orang itu meloncat maju mengejar.

Bayangan yang melangkah seenaknya di atas genteng itu berhenti, lantas membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang itu.

Mereka berlima tercegang pada saat melihat bahwa bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan sekali dan tubuhnya tinggi besar gagah. Pakaiannya indah dan mewah, muka dan rambutnya juga terpelihara baik-baik. Seorang laki-laki pesolek yang menambah halusnya wajah dengan bedak halus tipis bahkan kehitaman alis dan kemerahan bibir itu pun amat diragukan keasliannya.

Pada waktu lima orang kang-ouw yang tak mengenal laki-laki ini melihat perhiasan bunga teratai emas di atas dada laki-laki itu, mereka pun terkejut dan seorang di antara mereka segera berseru,

"Kim-lian Jai-hwa-ong…!"

Nama ini memang amat terkenal di dunia kang-ouw semenjak belasan tahun yang lalu. Semenjak lama dunia kang-ouw telah geger oleh munculnya nama ini, akan tetapi karena tokoh dunia hitam ini tak pernah mengganggu orang-orang kalangan kang-ouw dan selalu menjauhkan diri dari bentrokan, maka jarang ada yang mengenal orangnya.

Hal ini bukan saja karena tokoh ini jarang memperlihatkan muka. Juga hebatnya adalah bahwa setiap kali ada tokoh kang-ouw yang bertemu dengan dia, tentu tokoh kang-ouw itu kedapatan tewas. Dengan demikian orang kang-ouw yang pernah bertemu dengan dia tidak ada kesempatan lagi menceritakan kepada lain orang bagaimana macamnya tokoh ini.

Dia dijuluki Kim-lian (Teratai Emas) karena bajunya selalu dihiasi perhiasan bunga teratai dari emas. Dan julukannya Jai-hwa-hong (Raja Pemetik Bunga) sudah jelas menyatakan bagaimana macam ‘pekerjaan’ tokoh ini, yaitu memetik bunga atau pemerkosa wanita di samping menyambar perhiasan-perhiasan berharga yang berada di kamar wanita-wanita itu.

Itulah sebabnya mengapa lima orang kang-ouw itu terkejut setengah mati ketika melihat hiasan bunga teratai merah di dada laki-laki itu. Sudah menjadi kembang bibir di dunia kang-ouw bahwa bertemu Kim-lian Jai-hwa-ong berarti bertemu dengan maut sendiri!

Akan tetapi, mereka berlima adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar. Apa lagi kalau mengingat betapa penjahat ini telah membunuh puteri tuan rumah, membuat mereka marah sekali.

Jai-hwa-ong itu tersenyum dan sinar bulan yang menimpa wajahnya membuat wajah itu tampak semakin tampan, senyumnya memikat dan giginya berkilauan putih bersih. Kumis tipis di atas bibir itu bergerak-gerak ketika dia berkata lirih mengejek,

"Kalian berlima sudah mengenal aku, tahukah kalian apa jadinya dengan orang yang telah mengenalku?"

"Kim-lian Jai-hwa-ong, kau boleh saja terkenal sebagai pembunuh setiap orang kang-ouw yang bertemu denganmu. Akan tetapi jangan menyangka kami takut menghadapi seorang penjahat rendah semacam engkau! Kami Pak-san Ngo-houw (Lima Harimau Pegunungan Utara) sudah mengikuti penyerbuan tentara utara ke selatan, sudah menghadapi banyak penderitaan dan ribuan kali ancaman maut, dan entah telah berapa ratus penjahat macam engkau ini kami basmi!" bentak salah seorang di antara lima orang tokoh. Dengan ucapan ini, mereka berlima sudah mencabut golok masing-masing sehingga tampak sinar-sinar berkilat.

Namun laki-laki pesolek itu tidak keliatan marah, malah dia memperlebar senyumnya lalu berkata, "Aha, ternyata kalian adalah lima ekor tikus pegunungan utara? Bagus sekali! Biarlah kalian tidak akan mati penasaran dan kenalilah aku baik-baik. Aku bernama Siauw Lek dan aku adalah murid Go-bi Chit-kwi, maka kini sekali bertemu dengan aku jangan harap kalian akan dapat hidup lagi!"

Lima orang gagah itu sudah menerjang sambil membentak marah sekali. Golok mereka berkelebat seperti kilat menyambar ke arah tubuh laki-laki pesolek yang masih tersenyum itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar