Pedang Kayu Harum Jilid 19

Pengakuan Biauw Eng yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu sangat meragukan hatinya. Dia yakin bahwa gadis itu mengakui semua itu untuk menerima hukuman di atas pundaknya, dengan niat membebaskan Keng Hong. Maka dia menjadi ragu-ragu apakah benar gadis itu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.

Siauw Biauw Eng dan ucapan Lam-hai Sin-ni telah meragukan hatinya. Tentu ada rahasia di balik semua itu. Orang yang kelihatan jahat belum tentu selamanya akan melakukan perbuatan jahat. Sebaliknya orang yang tampaknya baik-baik belum tentu pula selamanya benar. Buktinya Lian Ci Tojin. Bukankah tosu itu secara keji laksana binatang buas telah memperkosa Tan Hun Bwee, puteri Tan piauwsu?

Padahal perbuatan itu sampai mati sekali pun tak akan sudi dia melakukannya. Dan para tokoh besar ini. Kurang tampak jelaskah betapa tamak mereka ini, mengejar-ngejar dan berlomba-lomba memperebutkan pusaka gurunya?

Tiba-tiba saja dia meloncat bangun dan berkata, suaranya kasar dan nyaring, "Kalian ini orang-orang tua yang jahat dan tamak! Aku tak sudi lagi menuruti segala kata-kata kalian! Apakah dosaku terhadap kalian, termasuk terhadap Kun-lun-pai? Salahkah apa bila aku menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong? Coba katakan, perbuatan apakah yang sudah kulakukan terhadap kalian semua? Akan tetapi kalian selalu mengejar-ngejar aku, memperebutkan Siang-bhok-kiam, ini hanya alasan sebab sebenarnya kalian semua menginginkan pusaka peninggalan suhu! Tak tahu malu! Takkan kuberikan kepada siapa pun juga! Semua akan kupelajari sendiri dan kelak akan kupergunakan untuk melawan kalian!"

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, termasuk Kiang Tojin, dan terdengar Thian Seng Cinjin berkata perlahan. "Siancai..., mulut tajam...!"

Akan tetapi Ouw Beng Kok telah menerjang maju. Dia menghantam sambil membentak, "Bocah sombong!"

Berbareng dengan pukulan Ouw Beng Kok ini, Lian Ci Tojin juga maju menghantam dari kiri dengan pukulan dahsyat mengarah lambung Keng Hong.

Pemuda ini yang sudah dua kali merasakan pukulan Ouw Beng Kok yang hebat, menjadi marah dan merendahkan diri setengah berjongkok, mengerahkan seluruh tenaganya lalu memapaki pukulan ketua Tiat-ciang-pang ini dengan dorongan tangan yang mengandung sinkang warisan gurunya.

"Blekkkkkkk…!"

Tubuh Ouw Beng Kok terjengkang dan ketua Tiat-ciang-pang ini roboh pingsan dengan mulut muntah darah! Akan tetapi Keng Hong juga roboh berguling-gulingan oleh karena lambungnya dihajar pukulan tangan Lian Ci Tojin.

“Sute, jangan bermain curang!" bentak Kiang Tojin marah, akan tetapi karena pukulan itu telah bersarang dan membuat Keng Hong roboh, dia hanya memandang cemas.

Keng Hong bangkit lagi, menekan lambungnya yang serasa hendak pecah. Dia kemudian menyusuti darah yang mengalir dari mulutnya, dan tanpa disadarinya dia mencabut keluar selembar kain hijau milik puteri Tan-paiuwsu yang disimpan dalam saku bajunya. Melihat pita warna hijau ini dia teringat akan gadis itu dan menudingkan telunjuknya kepada Lian Ci Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin! Sute-mu ini selain curang juga keji sekali terhadap seorang nona baju hijau..."

"Engkau yang keji, bisa menuduh orang, keparat!" Lian Ci Tojin sudah menerjang maju lagi, akan tetapi Keng Hong melompat mundur, membalikkan tubuhnya dan segera berlari secepatnya menuju Kiam-kok-san.

"Kejar!"

Entah siapa yang mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi seperti sebuah pasukan tentara menerima komando, semua orang segera mengejar, kecuali ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin.

Di antara para tosu Kun-lun-pai, hanya Lian Ci tojin dan Sian Ti Tojin saja yang mengejar bersama para tokoh lainnya, sedangkan tosu Kun-lun-pai lainnya hanya berdiri ragu-ragu dan menanti perintah, memandang kepada Kiang Tojin.

"Bawa anak murid Kun-lun-pai dan lihat apa yang terjadi di sana, jaga agar jangan sampai tempat suci itu dikotori orang," kata Thian Seng Cinjin kepada muridnya yang tertua itu.

Kiang Tojin mengangguk lalu mengajak semua anak murid Kun-lun-pai segera melakukan pengejaran dari jauh. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang berulang kali, kemudian bersila bersemedhi untuk menenteramkan batinnya yang mengalami guncangan dalam peristiwa itu.

Keng Hong mengerahkan seluruh tenaganya yang ada untuk berlari cepat. Larinya masih cepat karena memang pemuda ini mempunyai ginkang yang tidak lumrah dimiliki seorang pemuda, dan pantasnya dimiliki oleh seorang yang sudah berlatih puluhan tahun.

Hal ini adalah berkat diterimanya pemindahan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi pada saat itu dia telah terluka cukup berat sehingga andai kata dia tidak memiliki sinkang yang luar biasa tentulah dia sudah roboh dan karenanya, ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sakit sekali.

Merasa betapa kepalanya pening sekali sedang napasnya sesak hampir sukar bernapas, terpaksa Keng Hong memperlambat larinya. Namun begitu dia mengurangi kecepatannya empat orang kakek Kong-thong-pai itu telah menyusulnya. Memang Kong-thong Ngo-lojin terkenal dengan ginkang mereka yang hebat sehingga ginkang mereka itu dapat berlari lebih cepat dari pada tokoh lainnya.

"Bocah setan, engkau hendak lari ke mana?!"

Di antara para tokoh yang mengejar, yang merasa sakit hati kepada Keng Hong pribadi adalah tokoh-tokoh Kong-thong-pai, Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang. Ada pun para tokoh lainnya yang juga ikut mengejar, seperti dari Siauw-lim-pai, Kiu-bwe Toanio, Sin-to Gi-hiap hanya ingin memperebutkan pusaka Sin-jiu Kiam-ong, tidak mempunyai dendam pribadi kepada pemuda itu, maka mereka ini tidak seperti tokoh-tokoh tiga partai besar pertama, tak ingin membunuh Keng Hong, melainkan hanya ingin memaksanya agar menyerahkan pusaka gurunya.

Begitu Kong-thong Ngo-lojin yang tinggal empat orang saja itu dapat menyusul, serentak mereka lalu mengirim pukulan-pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang ampuh dari belakang. Keng Hong mendengar sambaran angin pukulan yang sangat hebat ini dan dia memang sudah siap mengadu nyawa dengan orang-orang yang memusuhinya, sudah marah dan nekat sekali, juga sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerah sampai mati. Maka cepat dia membalik badan sambil merendahkan tubuh menekuk kedua lutut, sedangkan kedua lengannya bergerak ke atas untuk menangkis.

Kekuatan sinkang yang dia kerahkan hebat bukan main dan dia dalam keadaan marah, maka otomatis daya sedot sinkang-nya bekerja amat kuatnya sehingga begitu tangan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu tertangkis, tangan tiga orang yang mengandung tenaga pukulan Ang-liong Jiauw-kang itu menempel di kedua lengan pemuda itu dengan kuatnya.

Tenaga Ang-liong Jiauw-kang merupakan tenaga yang timbul akibat pengerahan sinkang dan memang amat hebat hingga dengan jari-jari tangan mereka yang membentuk cakar, kakek-kakek dari Kong-thong-pai ini sanggup meremas hancur senjata tajam lawan! Maka yang kini mengalir bagaikan banjir memasuki tubuh Keng Hong melalui kedua lengannya adalah tenaga sinkang yang amat dahsyat sampai napasnya hampir berhenti. Keng Hong megap-megap dan merasa betapa tenaga yang kuat dan hawa panas sekali memasuki tubuhnya, berputaran di sekitar pusarnya.

"Celaka... Twa suheng... tolong...!" Kok Kim Cu berteriak kaget.

Melihat betapa tiga orang sute-nya terbelalak dan terengah-engah mencoba melepaskan tangan mereka yang mencengkeram lengan pemuda itu, Kok Sian Cu pun maklum akan keadaan tiga orang sute-nya.

"Terkutuk! Ilmu iblis...!" teriaknya dan tongkatnya segera bergerak menotok kedua siku lengan Keng Hong.

Pemuda ini sedang dalam keadaan setengah kejang dan kaku, tak dapat bergerak karena derasnya hawa sinkang yang memasuki tubuhnya, karena itu biar pun dia maklum akan datangnya totokan, dia tidak mampu mengelak.

Betapa pun kuatnya sebagai orang pertama Ngo-lojin, andai kata Kok Sian Cu menyerang Keng Hong dengan tangan kosong, tentu begitu pukulannya mengenai tubuh pemuda itu, sinkang-nya akan tersedot pula. Namun kakek ini sangat lihai dan maklum akan hal itu, maka dia lalu menggunakan ujung bambu untuk menotok dan begitu mengenai sasaran, dengan gerakan ‘sendal pancing’ dia cepat menarik kembali tongkatnya.

Keng Hong merasa betapa kedua tangannya lumpuh dan tiga buah tangan kakek yang tadi mencengkeramnya dapat terlepas, maka dia lalu membalikkan tubuh dan berlari lagi. Ia megap-megap dan dadanya makin sakit, akan tetapi larinya tidak lumrah manusia lagi, seolah-olah terbang saja dan kedua kakinya seperti tidak menyentuh bumi. Hal ini adalah karena tenaga sinkang dari tiga orang kakek pemilik ilmu pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang telah tersedot oleh tubuhnya tadi kuat bukan main hingga tubuh Keng Hong penuh dengan tenaga sinkang yang berlebihan.

Seperti sebuah balon karet terlalu banyak angin, tubuhnya ringan dan setiap kali meloncat ke depan, dapat mencapai jarak yang lima enam kali lebih jauh dari pada kemampuannya yang biasanya. Sudah beberapa kali Keng Hong mengalami keadaan terlalu penuh hawa sinkang seperti ini. Tiap kali dia bingung bagaimana harus membuang tenaga berlebihan itu.

Akan tetapi sekarang, karena dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, maka kelebihan tenaga itu dapat dia salurkan untuk keperluan ini sehingga larinya bagaikan terbang dan semakin cepat dia mengerahkan tenaga berlari, makin lapang rasa dadanya dan daya tarik-menarik di tubuhnya akibat penyedotan sinkang tiga orang kakek itu mulai berkurang, bahkan dapat dia selaraskan dengan pernapasan dan tenaganya sendiri.

Empat orang kakek Kong-thong-pai melongo pada waktu menyaksikan betapa pemuda itu berkelebat cepat laksana halilintar menyambar dan sebentar saja telah sampai di sebuah puncak! Hampir mereka tak dapat percaya akan pandangan mata sendiri, dan karena tiga orang di antara mereka sudah menjadi agak lemah akibat sebagian besar sinkang mereka tersedot lenyap, terpaksa dengan hati penasaran mereka melanjutkan pengejaran secara perlahan-lahan sehingga tersusul oleh tokoh-tokoh lain.

Akan tetapi ketika para tokoh itu tiba di kaki batu pedang di Kiam-kok-san, mereka melihat tubuh Keng Hong dengan susah payah telah mendaki sampai setengah dari batu pedang yang tampak dari bawah. Jelas tampak betapa pemuda itu sudah terluka dan terengah-engah, akan tetapi dengan nekat pemuda itu merangkak terus ke atas.

"Kejar...!" Seru Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai sambil menggerakkan pedangnya.

Akan tetapi Kiang Tojin yang sudah tiba di situ bersama anak murid Kun-lun-pai, sudah cepat menghadang di depan batu pedang sambil berkata,

"Maaf, cu-wi sekalian! Kiam-kok-san merupakan sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai. Sedangkan kami sendiri tidak ada yang boleh naik ke puncaknya, bagaimana kami dapat memperbolehkan orang lain naik? Pinto harap cu-wi sekalian maklum, dan kami percaya bahwa di tempat wilayah kekuasaan cu-wi masing-masing juga terdapat tempat keramat seperti Kiam-kok-san bagi kami."

"Ah, tapi hal ini lain lagi, Toyu." Bantah Kok Sian Cu. "Harus pinto akui kebenaran ucapan Kiang-toyu bahwa di tempat kami pun ada tempat keramat yang tidak boleh dilanggar lain orang. Kami pun tentu saja memandang muka para pimpinan Kun-lun-pai, sekali-kali tak berani melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi sekali ini kami semua sama sekali bukanlah hendak melanggar. Kami hanya ingin mengejar lantas menangkap bocah yang naik ke Kiam-kok-san itu. Walau pun merupakan tempat larangan, akan tetapi kalau ada alasan yang kuat dan bukan semata-mata sengaja ingin melanggar, kami kira sudah sepatutnya kalau Toyu membiarkan kami mengejar dan menangkap bocah itu."

"Omitohud..., benar sekali apa yang diucapkan sahabat Kok Sian Cu. Pinceng tentu saja pantang untuk melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi mungkin sekali kedua kitab pusaka Siauw-lim berada di puncak Kiam Kok-san ini, apakah Kiang-toyu hendak mengukuhi larangan ini dan tidak hendak mengembalikan kitab kami?"

Selagi Kiang Tojin bingung akibat merasa terdesak oleh omongan-omongan yang memiliki dasar kuat itu, tiba-tiba saja terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu di situ telah muncul tiga orang yang mengejutkan hati mereka karena tiga orang ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, tiga orang di antara empat orang Bu-tek Su-kwi yang dahulu, lima tahun yang lalu juga telah datang di tempat itu membuat kocar-kacir para tokoh sakti dan hampir saja membunuh para tokoh itu bila tidak ditolong oleh Sin-jiu Kiam-ong!

Melihat munculnya ketiga orang iblis ini, Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang tadi bicara, cepat berkata sambil menggerakkan tongkat Liong-cu-pang di tangannya.

"Omitohud...! Pinceng tidak akan mundur selangkah pun menghadapi ketiga orang Bu-tek Su-kwi jika sekali ini Sam-kwi hendak merampas peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, termasuk kitab-kitab pusaka kami!”

"Kami pun tidak sudi bersekutu dengan Bu-tek Su-kwi, musuh-musuh kami dari aliran yang bertentangan!" kata Kok Sian Cu.

"Ha-ha-ha-ha! Ada saatnya bermusuhan ada saatnya bersahabat. Jika tidak ada alasan bermusuhan, kenapa tidak bersahabat? Kalau ada alasan kuat untuk bersekutu, mengapa bermusuhan? Bukankah Nabi Konghucu mengatakan bahwa di empat penjuru lautan ini semua manusia adalah bersaudara?" kata Pat-jiu Sian-ong yang suaranya halus sambil menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa sedang memberi ceramah kebatinan!

"Kami adalah golongan bersih, lawan golongan sesat, kami kaum putih lawan kaum hitam tidak sudi bersahabat dengan Bu-tek Su-kwi!" kata Coa Bu tokoh Hoa-san-pai.

Memang semua tokoh kang-ouw membenci Bu-tek Su-kwi, empat orang iblis yang selalu membikin kacau dunia kang-ouw dan hampir semua golongan kang-ouw pernah dibikin rugi oleh empat orang datuk hitam itu.

"Hi-hi-hik, sombong amat orang Hoa-san-pai! Mengandalkan apanya sih?" Ang-bin Kwi-bo mengejek.

"Mengapa bicara baik-baik dengan orang yang berhati dengki dan memandang orang lain penuh dosa sedang diri sendiri yang paling bersih? Kalau kami merampas pusaka, kalian mau bisa berbuat apakah?" bentak Pak-san Kwi-ong dan kakek tinggi besar berkulit hitam ini menggerak-gerakkan tubuhnya yang berbulu sehingga dua buah tengkorak pada ujung rantai yang diikatkan di pinggangnya mengeluarkan suara berkelotokan mengerikan.

Akan tetapi Pat-jiu Sin-ong mengangkat tangan kanan yang memegang kebutan sambil tersenyum dan terdengarlah suaranya yang halus bagaikan orang peramah penuh kasih sayang antara manusia.

"Damai…, damai…! Tidak ada yang seindah perdamaian! Kami datang untuk membantu cu-wi sekalian dalam perdebatan memperebutkan kebenaran dengan pihak Kun-lun-pai! Harap cu-wi jangan salah faham."

Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sian-ong memandang kepada kedua orang kawannya. Memang di antara mereka bertiga, Pat-jiu Sian-ong terhitung yang paling pandai bicara dan pandai pula bersiasat. Dia tahu bahwa kedua orang kawannya itu, seperti juga dia sendiri, tentu saja tidak gentar menghadapi pengeroyokan para tokoh kang-ouw itu.

Akan tetapi di situ terdapat para tosu Kun-lun-pai yang selain berjumlah banyak, juga di antaranya terdapat para pimpinan Kun-lun-pai, tujuh orang tokoh murid Thian Seng Cinjin, terutama sekali Kiang Tojin yang tidak boleh dipandang ringan. Apa lagi kalau si tua Thian Seng Cinjin sendiri turun tangan. Tentu mereka bertiga takkan dapat bertahan. Maka kini dia menggunakan siasat memihak para tokoh kang-ouw menghadapi Kun-lun-pai!

“Kiang Tojin, engkau sebagai tokoh yang mewakili Kun-lun-pai, mengapa berpandangan sempit dan picik? Mengapa engkau melarang orang-orang gagah yang hendak naik ke puncak Kiam-kok-san?" dengan suara halus tetapi penuh nada menekan, Pat-jiu Sian-ong bertanya kepada Kiang Tojin.

Tosu Kun-lun-pai ini maklum bahwa akibat munculnya Bu-tek Sam-kwi, keadaan menjadi gawat. Akan tetapi dia bersikap amat tenang ketika menjawab. "Pat-jiu Sian-ong, agaknya di jaman sekarang ini orang-orang kang-ouw tidak lagi mengindahkan peraturan sehingga melanggar wilayah orang lain sesuka hatinya dan seenak perutnya sendiri. Kiam-kok-san adalah wilayah kami, bagaimana mungkin kami membolehkan orang lain mendakinya?"

"Ha-ha-ha-ha-ha, alasan yang sangat lemah, ya... lemah sekali! Tadi sudah dikemukakan pendapat yang sangat jitu dari sahabat Kok Sian Cu wakil Kong-thong-pai dan sahabat Thian Ti Hwesio wakil Siauw-lim-pai. Mengejar orang jahat dan berusaha mengambil kitab pusaka sendiri sama sekali bukanlah sengaja ingin melanggar, Akan tetapi aku memiliki alasan yang lebih kuat sekali, Kiang Tojin. Bukankah tadi kau sendiri mengatakan bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai dan tak seorang pun boleh mendakinya, bahkan orang Kun-lun-pai sendiri pun dilarang?"

"Benar sekali!" Kiang Tojin berkata tegas.

"Ha-ha-ha-ha! Jika demikian, mengapa sampai bertahun-tahun Sin-jiu Kiam-ong menjadi penghuni Kiam-kok-san padahal dia pun bukan seorang Kun-lun-pai? Dan sekarang, baru saja Cia Keng Hong mendaki Kiam-kok-san, tetapi mengapa didiamkan saja, Kiang Tojin? Bukankah dengan demikian seakan-akan Kun-lun-pai melindungi bocah itu? Ataukah ada udang bersembunyi di balik batu, ada maksud lain terkandung dalam peraturan ini?"

Mendengar ini, Kiang Tojin tidak mampu menjawab! Ya, bagaimana dia harus menjawab? Sin-jiu Kiam-ong dahulu setengah memaksa tinggal di Kiam-kok-san, dan karena tak ada orang Kun-lun-pai yang dapat menundukkannya, bahkan dia sudah melepas budi kepada Kun-lun-pai, maka ketua Kun-lun-pai membiarkan saja orang tua itu tinggal dan bertapa di Kiam-kok-san.

Kemudian Keng Hong tinggal pula di sana, akan tetapi hal itu merupakan kelanjutan dari perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, bukan kehendak Keng Hong pribadi atau kehendak pihak Kun-lun-pai. Betapa pun juga, apa yang diucapkan oleh Pat-jiu Sian-ong memang benar terjadi!

Kiang Tojin sudah melihat betapa semua tokoh kang-ouw yang tadi bersikap tak senang dan memusuhi ketiga orang Butek Su-kwi, kini mengangguk-angguk mendengar ucapan Pat-jiu Sian-ong itu. Hal ini pun dilihat jelas oleh Pat jiu Sian-ong yang merasa ‘mendapat angin’, maka dia lalu melanjutkan desakan kepada Kiang Tojin.

"Kiang Tojin, selama ini Kun-lun-pai terkenal sebagai partai besar yang kenamaan karena gagah perkasa dan menjujung tinggi kejujuran dan keadilan. Jika sekarang ini Kun-lun-pai berkukuh dengan peraturan hanya untuk mempertahankan sebongkah batu karang saja, tentu akibatnya akan hebat sekali. Bayangkan saja, kalau para cu-wi di sini tidak mau menerima peraturan kukuh yang mau menang sendiri itu tentu akan timbul bentrokan dan pertempuran yang akan membawa akibat hebat sekali. Bahkan sangat berbahaya bagi Kun-lun-pai."

Kakek bertubuh kecil kate akan tetapi mempunyai kepala sebesar gentong beras dengan muka ciut itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan membelai lehernya dengan hudtim (kebutan dewa). Dengan hati mendongkol Kiang Tojin maklum apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu, yang tidak diucapkan akan tetapi yang sesungguhnya paling penting, yaitu bahwa kalau terjadi pertempuran, tentu Bu-tek Sam-kwi akan berpihak kepada para tokoh kang-ouw!

"Sedangkan bahaya ke dua yang merupakan akibat kekukuhan peraturan tidak adil ini adalah bahwa jika para sahabat yang perkasa di sini berhati mulia dan mengalah lalu mengundurkan diri, tentu Kun-lun-pai akan menjadi buah tertawaan dan buah ejekan di seluruh dunia! Bayangkan saja, melindungi seorang bocah dengan dalih peraturan yang kaku, tua dan konyol, dengan pamrih bahwa kalau semua orang telah pergi, Kun-lun-pai tentu akan naik sendiri ke Kiam-kok-san, dan menguasai seluruh pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong! Bukankah Kun-lun-pai lalu dianggap sebagai perkumpulan berengsek yang menggunakan akal bulus dan menganggap semua tokoh kang-ouw di sini seperti kanak-kanak saja?"

"Pat-jiu Kiam-ong, omonganmu mengandung racun!" bentak Kiang Tojin dengan kedua tangan di kepal.

Dia maklum betapa lihainya kakek yang menjadi datuk golongan hitam ini, namun untuk mempertahankan Kun-lun-pai, dia tidak takut menghadapinya. Ia menaksir bahwa dengan enam orang sute-nya dan dibantu oleh puluhan anak murid Kun-lun-pai, dia tidak perlu takut menghadapi Bu-tek Su kwi yang hanya datang bertiga itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar Kok Sian Cu tokoh Kong-thong-pai berkata, "Siancai...! Sekali ini, omongan Pat-jiu Kiam-ong ada isinya dan harus diakui kebenarannya!"

Pada saat Kiang Tojin memandang, jelas tampak olehnya betapa semua tokoh kang-ouw membenarkan datuk hitam itu dengan pandang mata atau anggukan kepala. Maklumlah Kiang Tojin bahwa keadaan benar-benar semakin gawat dan kalau dia tetap bersikeras mempertahankan, tentu akan terjadi bentrokan hebat yang dia sangsikan apakah akan menguntungkan Kun-lun-pai. Selagi Kiang Tojin merasa bimbang tiba-tiba saja terdengar suara gurunya berkata lembut,

"Pat-jiu Sian-ong, keadaan menguntungkan bagi pihak Bu-tek Sam-kwi, Jelaskanlah, apa kehendakmu selanjutnya? Pinto mendengarkan." Tahu-tahu di situ telah muncul kakek tua Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan tongkat di tangannya.

"Bagus sekali, Ketua kun-lun-pai datang sendiri, segala sesuatu dapat diputuskan dengan singkat dan tepat. Thian Seng Cinjin, mengingat akan keadaan para sahabat kang-ouw yang menaruh dendam kepada murid Sin-jiu Kiam-ong dan mereka yang dahulunya telah diganggu Sin-jiu Kiam-ong, maka sebaiknya kalau kita bersama ramai-ramai mengejar ke puncak Kiam-kok-san. Kita akan bekerja sama dalam suasana persahabatan, tanpa ada persaingan dan tidak ada perebutan. Kita tangkap bocah yang membikin kacau itu, dan kita ambil semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Para sahabat yang pusakanya dahulu dicuri oleh Sin-jiu kiam-ong tentu saja boleh mengambil pusaka masing-masing, ada pun pusaka-pusaka lainnya yang tidak ada pemiliknya, kita bagi rata di antara kita. Ada pun bocah itu sendiri, kita serahkan kepada mereka yang menaruh dendam padanya. Bagaimana, bukankah keputusan ini sudah adil sekali?"

Semua tokoh kang-ouw mengangguk-angguk menyatakan setuju dan terdengar ucapan ‘adil’ dari beberapa orang murid Kun-lun-pai.

Thian Ti Hwesio cepat-cepat berkata, "Omitohud, kami dari Siauw-lim-pai sama sekali tak menginginkan pusaka lain orang dan kami sudah cukup senang kalau dapat menemukan kembali dua buah kitab pusaka kami."

"Kami juga hanya menghendaki kembalinya pedang pusaka beserta ramuan obat milik Hoa-san-pai, kemudian nyawa anak itu sebagai hukuman atas penghinaan yang telah dia lakukan terhadap kami," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

"Kami pun menghendaki nyawa anak itu sebagai pembalasan atas kematian banyak anak murid kami!" kata Kok Sian Cu dari Kong-thong-pai.

"Sin-jiu Kiam-ong berdosa kepadaku. Bila kini aku mendapatkan sebuah dua buah pusaka peninggalannya, itu sudah cukup adil," kata Sin-tio Gi-hiap.

Semua orang lalu menyatakan penasarannya dan hak mereka untuk mendapat sebagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya Thian Seng Cinjin yang sejak tadi tersenyum tenang sambil mendengarkan tuntutan mereka itu, berkata.

"Dan bagaimana dengan kalian bertiga, Bu-tek Sam-kwi? Kalian bertiga menuntut apa? Juga menghendaki pembagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong?"

"Ha-ha, Thian Seng Cinjin. Segala macam benda permainan dan pelajaran kanak-kanak apakah gunanya bagi kami? Kalau nanti ternyata ada yang berguna bagi kami tentu kami akan mengambil bagian kami sebagai imbalan atas usaha kami menciptakan perdamaian dan permufakatan di sini, ha-ha-ha!"

Kiang Tojin menjadi muak dan mendongkol mendengarkan omongan semua orang itu dan diam-diam di dalam hatinya dia terpaksa membenarkan maki-makian Keng Hong tadi bahwa orang tua-orang tua ini amatlah tamak! Makin suka hatinya terhadap Keng Hong, akan tetapi karena maklum sekali ini Keng Hong takkan dapat terlepas dari bahaya maut kecuali kalau dia pandai terbang di udara, maka dengan menekan keharuan hatinya dia hanya berkata,

"Keputusan terserah kepada Suhu, asal saja para sahabat yang mulia ini masih mau ingat bahwa merupakan pantangan besar bagi Kun-lun-pai untuk melihat pembunuhan terjadi di sini!"

"Suheng kenapa khawatir? Para Locianpwe tentu akan menangkap dan membawa pergi bocah setan itu, tak akan membunuhnya di depan Kiang Tojin!" kata Lian Ci Tojin dengan hati girang.

Tosu ini tadinya merasa gelisah sekali ketika Keng Hong memperlihatkan pita hijau dan mendengar omongan pemuda itu. Rahasianya telah diketahui orang dan celakanya, yang mengetahui adalah bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh Keng Hong atau melihat bocah ini terbunuh, baru akan aman rasa hatinya. Karena dia memang sudah mempunyai perasaan tidak suka kepada Kiang Tojin, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk memukul suheng-nya ini dengan ucapan yang jelas penuh arti itu.

Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai juga maklum akan rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng Hong. Hal yang tidak aneh apa bila diingat bahwa Kiang Tojin adalah tosu yang dulu telah menyelamatkan nyawa Keng Hong kemudian membawa Keng Hong ke Kun-lun-pai. Maka dia lalu berkata halus,

"Semua tosu di Kun-lun-pai menyayang Keng Hong. Dahulu dia seorang anak yang baik dan penurut, akan tetapi setelah menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong… ahh, sudahlah. Bu-tek Sam-kwi dan sahabat sekalian, apa bila mau mendaki Kiam-kok-san mencari Cia Keng Hong dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, silakan, kami menanti di bawah!"

Mendengar ijin yang diberikan ketua Kun-lun-pai ini, bagaikan serombongan kanak-kanak yang dituruti kemauannya, orang-orang kang-ouw itu berebutan mendaki Kiam-kok-san yang terjal dan tak mudah didaki. Mereka terpaksa harus mendaki seorang demi seorang dan tentu saja Bu-tek Sam-kwi berada paling depan.

"Suhu, mengapa kita tidak ikut? Bolehkah teecu ikut naik...?"

"Tidak! Kita harus menanti di sini. Apakah kita akan melanggar pantangan kita sendiri?!" Thian Seng Cinjin membentak Lian Ci Tojin dengan suara marah.

Memang, setelah melihat perkembangan urusan itu, ketua Kun-lun-pai sudah tidak dapat lagi mempertahankan ketenangannya sehingga dia marah sekali dalam hatinya. Sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menerima penghinaan dan tak dipandang mata oleh para tokoh kang-ouw itu, hanya karena di situ dapat Bu-tek Su-kwi yang memelopori mereka. Kakek ini diam-diam mengancam untuk sewaktu-waktu membuat pembalasan terhadap Bu-tek Sam-kwi.

Biar pun amat lambat, akhirnya semua tokoh kang-ouw dapat juga menembus awan atau halimun yang menutupi puncak batu pedang dan betapa kagum rasa hati mereka ketika menyaksikan keindahan tamasya alam dari puncak batu pedang yang bagian atasnya ternyata datar dan cukup luas itu.

Akan tetapi hanya sebentar saja mereka mengagumi pemandangan alam ini karena hati mereka berdebar ingin cepat menangkap Keng Hong dan terutama sekali menemukan simpanan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang selama bertahun-tahun ini menjadi rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw.

Mereka memandang ke kanan kiri mencari-cari sambil mengelilingi seluruh permukaan tanah datar di puncak Kiam-kok-san, akan tetapi mereka tidak menemukan Keng Hong. Bayangannya pun tidak ada, jejaknya juga tidak ada! Sunyi sepi di puncak Kiam-kok-san! Semua orang menjadi penasaran sekali.

"Jangan-jangan pada waktu melihat kita mendaki naik, bocah setan itu lalu terjun dari atas membunuh diri!" kata Kiu-bwe Toanio dan semua orang juga membenarkan kemungkinan ini dengan hati kecewa.

"Tidak mungkin!" kata Ang-bin Kwi-bo, mukanya yang biasanya memang sudah merah itu menjadi agak hitam saking marahnya. "Bocah itu cerdik sekali, tentu dia bersembunyi. Akan tetapi, biar pun dia terbang ke langit, tentu akan dapat kutemukan dia!"

Mereka mencari terus tanpa hasil. Kemanakah perginya Keng Hong? Betapa mungkin dia dapat melarikan diri, sedangkan ketika mendaki tadi dia sedang menderita luka parah?

Memang Keng Hong terluka hebat ketika mendaki tadi, luka di sebelah dalam tubuhnya oleh pukulan-pukulan sakti. Kalau sinkang-nya tidak hebat tentu dia sudah tewas setelah berkali-kali ia terkena pukulan-pukulan sakti seperti Tiat-ciang dari ketua Tiat-ciang-pang, pukulan Ang-liong Jiauw-kang dari para tokoh Kong-thong-pai, bahkan juga totokan ujung bambu Kok Sian Cu yang lihai.

Biar pun hawa sakti di tubuhnya melindunginya, namun tetap saja guncangan-guncangan pukulan sakti yang berkali-kali itu membuat dadanya sesak dan kepalanya pening. Ia tadi mendaki dengan setengah merangkak, walau pun gerakannya masih cukup cepat berkat tambahan sinkang dari tokoh-tokoh Kong-thong-pai, namun sering kali kakinya menggigil dan tangannya kurang tetap ketika memegang ujung-ujung batu karang untuk mendaki.

Akhirnya, pada sebuah tanjakan yang sangat sukar, dekat tempat yang digelapi halimun, kakinya tergelincir menyebabkan kepalanya tertumbuk batu karang. Tentu dia akan jatuh terjengkang ke bawah kalau tidak ada sebuah lengan yang berkulit halus merangkulnya, kemudian menarik tubuhnya ke tempat yang agak lebar. Untung kejadian ini berlangsung setelah Keng Hong mendaki jauh ke atas, terlalu tinggi sehingga tidak tampak dari bawah.

"Cui Im..." Keng Hong berkata lemah ketika membuka mata dan melihat wajah cantik itu tersenyum-senyum.

Gadis berpakaian merah ini agaknya sudah lama menanti di situ dan kini Cui Im berbisik, "Keng Hong, tenanglah. Agaknya engkau terluka di sebelah dalam tubuh. Aku membawa obat... nih, telanlah!" Ia memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Keng Hong.

Pemuda ini sudah sering diracuni oleh gadis ini, akan tetapi karena dia kebal terhadap racun, apa lagi dalam keadaan payah seperti itu dia tidak peduli apakah yang ditelannya itu racun, dia lalu menelan tiga butir pil kecil itu.

"Wah, obatmu hebat...!"

Dalam belasan detik saja Keng Hong merasa dirinya segar kembali. Memang pil-pil merah itu bukanlah sembarangan obat, melainkan obat simpanan Lam-hai Sin-ni yang dicuri Cui Im. Obat merah ini adalah obat yang mukjijat, dapat menyembuhkan segala macam luka di dalam tubuh. Dan karena Keng Hong sendiri memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka khasiat obat itu pun berlipat ganda, karena tugasnya hanya menyembuhkan luka akibat guncangan hawa pukulan saja.

"Cui Im... mengapa kau di sini…?"

"Aku menunggumu, melihat kau dikejar-kejar, tak dapat membantu, terpaksa lari ke sini. Akan tetapi aku tidak dapat naik terus, terlalu sukar memanjat ke atas melalui karang licin dan rata ini!"

"Cui Im, sebenarnya engkau tidak boleh ke sini. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan untuk kembali tentu engkau akan celaka di tangan mereka, selain itu engkau juga sudah menyelamatkan aku, mari, pegang erat-erat pinggangku dengan kedua tanganmu!"

Cui Im girang sekali, segera memeluk pinggang Keng Hong dari belakang. Mulailah Keng Hong mendaki dengan cepat sekali. Setelah kini napasnya tidak sesak lagi dan kepalanya pun tidak pening, tentu saja sangat mudah baginya mendaki tempat yang dahulu menjadi tempat tinggalnya ini.

"Iiiihhhh, ngeri melihat ke bawah..!" Cu Im mengeluh dan mempererat pelukannya, bahkan menciumi punggung yang bajunya basah oleh keringat itu.

"Hushhh, diamlah dan jangan memandang ke bawah!" Keng Hong menegur dan mendaki makin cepat.

Setelah tiba di atas, Cu Im menahan napas saking kagumnya. "Bukan main indahnya di sini…"

"Cui Im, bukan waktunya bersenang-senang. Mereka tentu akan mengejar ke sini. Maka sebelum kulanjutkan rencanaku, bersumpahlah lebih dahulu bahwa engkau akan bersetia kepada mendiang suhu, bahwa engkau tak akan menyia-nyiakan pusaka suhu yang akan kita lihat..."

"Pusaka? Apakah akan kita dapatkan...?"

"Bersumpahlah!"

Cui Im lalu berlutut dan bersumpah bahwa dia akan tunduk akan segala kata-kata Keng Hong. Sesudah itu Keng Hong menarik tangannya dan cepat berlari mengambil pedang Siang-bhok-kiam tulen yang dia sembunyikan di balik batu karang yang berlubang.

"Wah, ini adalah Siang-bhok-kiam tulen! Baunya saja sudah begini wangi…!"

"Sudah, diamlah dan jangan mengganggu, jangan pula bicara. Lihat saja dan ikuti aku!" Keng Hong membentak karena dia maklum bahwa dia tidak mempunyai banyak waktu. Ia membawa pedang itu ke tempat penampungan air di mana air itu mengalir turun menjadi kali kecil, air yang merupakan sumber kecil akan tetapi tidak pernah kering.

Ia menggunakan pedang itu untuk mengukur, sambil mengukur dia terus mengikuti aliran air yang menuju ke bawah melalui celah-celah batu karang, terus turun ke dinding bagian belakang yang luar biasa curamnya.

"Aku takut turun...!" Cui Im berbisik.

Boleh jadi Cui Im adalah seorang gadis yang mempunyai kepandaian, akan tetapi melihat dinding karang yang luar biasa curamnya, sampai tidak tampak dasarnya akibat terhalang halimun, benar-benar membuat dia menggigil.

"Panjangkah ikat pinggangmu?"

"Panjang. Mengapa?"

"Berikan ujungnya, kau ikatkan pada lenganku dan ujung di situ ikatkan pada lenganmu. Dengan demikian andai kata engkau jatuh ke bawah, aku masih bisa menahanmu. Cepat! Apakah kau tidak taat?"

Cui Im teringat akan sumpahnya dan dia segera mengangguk, lalu memberikan ujung ikat pinggangnya. Sesudah keduanya mengikat lengan dengan ujung ikat pinggang merah itu, Keng Hong melanjutkan pekerjaannya mengukur jalan air dengan menggunakan pedang Siang-bhok-kiam sambil menghitung. Seratus dua puluh tujuh!

Dia masih ingat akan pemecahan Siauw-bin Kuncu atas deretan sajak yang terukir pada gagang pedang. Sesudah mengukur sampai seratus dua puluh tujuh, yang berarti dia sudah turun dari puncak melalui belakang batu pedang itu sejauh kurang lebih dua ratus kaki, air itu lenyap masuk ke dalam celah batu dan agaknya mengalir ke sebelah dalam batu pedang. Akan tetapi di situ terdapat sebuah padas batu yang agak rata dan lubang ini jelas bukan lubang biasa, melainkan buatan.

Keng Hong berdebar memandang lubang yang bentuknya panjang sempit seperti lubang sarung pedang. Dia memang cerdik, maka tanpa ragu-ragu lagi dia cepat memasukkan Siang-bhok-kiam pada lubang itu dan ternyata pas sekali. Siang-bhok-kiam masuk hingga ke gagangnya dan Keng Hong lalu memutar-mutarnya ke kiri kanan.

Terdengar suara gemuruh di sebelah dalam batu pedang seolah-olah terjadi gempa bumi.

"Ihhhhh, aku takut..!" Cui Im merangkulnya.

Gadis ini dengan susah payah juga mengikuti Keng Hong. Sesungguhnya, dengan tingkat kepandaian dan ginkang-nya, Cui Im akan mampu menuruni batu karang terjal itu. Akan tetapi karena melihat tempat securam itu, jantungnya bergetar sehingga timbul rasa takut.

Sesudah dengan ikat pinggang lengannya terikat dan terjaga oleh lengan Keng Hong, hal ini mengusir sedikit rasa takutnya dan mendatangkan rasa aman, karena itu dia pun dapat mengikuti Keng Hong tanpa banyak kesulitan lagi. Ternyata tadi Keng Hong menyuruh dia mengikat tangan memang dengan niat untuk mengusir rasa takut itulah seperti yang dulu pernah dilakukan oleh suhu-nya kepadanya!

Tiba-tiba terdengar bunyi batu pecah dan... terbukalah sebuah goa di depan Keng Hong, di sebelah kiri dari ‘lubang kunci’ tadi. Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, lalu berbisik,

"Suhu hebat sekali!" Suaranya memuji penuh kekaguman. "Mari ikut masuk!"

Kedua orang itu kemudian merangkak masuk karena goa itu hanya satu meter tingginya, merupakan terowongan yang dingin gelap. Akan tetapi Keng Hong percaya penuh dengan kepandaian suhu-nya, dan dia terus merangkak masuk. Beberapa kali dia dipegang dan didorong dari belakang oleh Cui Im yang masih merasa ngeri.

Kurang lebih seratus meter jauhnya mereka merangkak, tiba-tiba terowongan itu menjadi terang dan lebar sekali. Mereka bangkit berdiri dan tertegun! Kiranya ruang itu merupakan sebuah ‘kamar’ batu yang berdinding licin dan penuh ukiran-ukiran huruf yang indah!

"Nanti dulu, aku lupa menutupkan kembali pintu terowongan!"

Tiba-tiba Keng Hong teringat bahwa para pengejarnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepadainan tinggi. Sungguh pun tidak mungkin mereka akan dapat mengukur tempat penyimpanan pusaka dari puncak Kiam-kok-san tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam, namun siapa tahu kalau-kalau orang-orang sakti itu mencari di setiap tebingnya dan jika mereka lewat di depan itu pasti mereka akan memasukinya. Kalau pintu terowongan yang merupakan dinding batu biasa itu tertutup, tanpa memiliki ‘kuncinya’ yang berupa pedang Siang-bhok-kiam, tak mungkin pula mereka dapat masuk atau menyangka bahwa lubang kecil itu adalah kunci rahasia untuk menuju ke tempat penyimpanan pusaka.

Tanpa menanti jawaban gadis itu yang masih terpesona memandangi keadaan ruangan tadi, Keng Hong merangkak lagi keluar terowongan sambil membawa Siang-bhok-kiam. Setelah tiba di mulut terowongan, dia melihat dan meneliti.

Ternyata bahwa mulut terowongan itu terbuka dengan cara bergesernya sebuah batu besar ke kiri yang tentu digerakkan oleh alat rahasia. Kini batu sebesar gajah itu berdiri di dekat pintu terowongan yang menganga seperti mulut seekor ular raksasa.

Keng Hong memeriksa dan akhirnya dia menemukan lubang ‘kunci’ dari sebelah dalam. Tanpa ragu-ragu lagi dia segera menusukkan Siang-bhok-kiam ke dalam lubang ini yang ternyata seperti lubang di luar, pas menerima masuknya Pedang Kayu Harum. Tiga kali Keng Hong memutar ke kanan dan terdengar suara hiruk pikuk ketika batu sebesar gajah itu tiba-tiba bergerak menggelinding dan menutupi mulut terowongan sehingga kelihatan wajar. Dari luar tak akan ada manusia yang menyangka bahwa sebagian batu kasar yang tampak beserta sebuah lubang itu adalah batu ‘daun pintu’ yang amat besar dan dapat bergerak sendiri.

Puaslah hati Keng Hong. Biar pun keadaan kini amat gelap setelah lubang itu tertutup, namun hatinya lega dan dia merangkak kembali ke dalam. Ia tersenyum geli memikirkan Cui Im. Betapa akan takutnya gadis itu dia tinggal sendirian di dalam ruangan tadi.

Akan tetapi ada pula hal yang menggelisahkan hatinya. Tidak bersalahkah dia terhadap gurunya bahwa dia membawa Cui Im masuk ke tempat ini?

Ah, tentu tidak. Dia tidak sengaja membawa Cui Im ke sini. Adalah gadis itu yang tadinya mencari dan menantinya di lereng Kiam-kok-san, lagi pula gadis itu telah menyelamatkan nyawanya.

Andai kata dia tidak sedang dikejar banyak orang sakti, tentu dia akan mengusir Cui Im dan tidak akan memperkenankan gadis itu ikut. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa apa bila dia melakukan hal itu, Cui Im tentu akan terbunuh oleh orang-orang sakti yang sedang mengejarnya, apa lagi Cui Im dikenal sebagai tokoh golongan sesat dan sekarang sudah melanggar larangan Kun-lun-pai dengan mendatangi bahkan mendaki Kiam-kok-san yang dianggap keramat oleh para tosu Kun-lun-pai.

Tiba tiba dia teringat betapa gadis berpakaian merah itu pun dahulu amat menginginkan pusaka gurunya! Ah, kalau sampai Cui Im mempelajari segala ilmu peninggalan gurunya dan menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat, bukankah dunia ini akan bertambah seorang tokoh kaum sesat yang berbahaya sekali? Bagaimana dia mengajak seorang gadis yang sedemikian jahat dan kejamnya ke tempat suci ini? Tidak! Dia harus menyuruh pergi Cui Im, setidaknya menanti sampai keadaan aman.

Biarlah dia akan memberi benda-benda berharga peninggalan suhu-nya, sebab bukankah wanita paling suka akan benda-benda perhiasan yang serba indah dan mahal? Atau kalau gadis itu masih belum puas, boleh dia bagi sebuah kitab pelajaran ilmu yang tidak terlalu berbahaya.

Teringat akan ini, Keng Hong mempercepat gerakannya merangkak dan begitu sampai di ruangan penuh ukiran-ukiran huruf itu, dia meloncat berdiri dan memanggil.

"Cui Im...!"

Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab. Cui Im tidak tampak di dalam ruangan itu!

"Cui Im...!" Keng Hong memanggil sambil memandang ke arah pintu yang terbuka menuju ke ruangan sebelah dalam.

Tentu gadis itu yang mengagumi keadaan ruangan ini telah masuk ke sana dan sekarang sedang melihat-lihat ruangan lainnya. Dan sekarang dia baru teringat betapa menggelikan keadaannya ketika tadi dia mentertawakan Cui Im yang disangkanya takut dia tinggalkan seorang diri. Cui Im takut? Ahh, alangkah bodohnya pendapat ini.

Cui Im adalah seorang tokoh kang-ouw, seorang tokoh golongan sesat atau hitam yang berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah) yang amat ditakuti orang melebihi seorang iblis betina! Seorang tokoh seperti itu mana bisa merasa takut berada sendirian dalam ruangan di sebelah dalam batu pedang di puncak Kiam-kok-san itu? Bila tadi ketika mendaki Cui Im takut-takut adalah karena rasa ngeri seorang wanita yang tidak biasa mendaki tempat-tempat curam seperti itu.

"Cui Im...!"

Keng Hong melangkah maju melalui pintu yang terbuka. Ternyata di balik pintu ini ada ruangan lain yang amat luas dan dindingnya amat indah karena batu karang di sebelah dalam batu pedang ini kiranya berupa batu yang berkilauan! Ruangan luas ini mempunyai lubang-lubang pada sebelah atas dan begitu dia memasuki ruangan ini, selain udaranya segar, juga terdengar suara angin memasuki lubang-lubang itu yang menimbulkan suara seperti suling ditiup, amat aneh namun halus dan merdu.

Di sebelah atas tampak ukiran-ukiran huruf besar yang amat indah, berbunyi:

MENDIRIKAN KUN-LUN-PAI UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN DI DUNIA.

Keng Hong tertarik sekali sehingga sejenak dia melupakan Cui Im. Apakah artinya ukiran-ukiran huruf itu? Tak mungkin suhu-nya yang membuat ukiran itu.

Mendirikan Kun-lun-pai? Ahh, pengukirnya tentu orang yang dulu mendirikan Kun-lun-pai. Sucouw dari Kun-lun-pai. Benar! Bukankah tempat ini merupakan tempat yang keramat dari partai Kun-lun?

Pernah ketika dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai, seorang tosu tua mendongeng kepadanya tentang pendiri partai Kun-lun-pai yang mereka sebut sucouw, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa. Dan kabarnya setelah menyerahkan Kun-lun-pai kepada murid-muridnya, sucouw ini lalu naik ke batu pedang dan bertapa di sana sampai lenyap kemudian oleh semua anak murid Kun-lun-pai dianggap telah naik ke alam baka bersama raganya!

Itulah sebabnya mengapa Kiam-kok-san lalu dianggap sebagai tempat keramat, sebagai ‘kuburan’ sucouw mereka yang terhitung kakek buyut guru dari Thian Seng Cinjin! Tentu di sinilah tempat sucouw itu bertapa dan mungkin sekali tempat ini adalah ciptaan atau buatan sucouw itu yang kemudian juga digunakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sebagai tempat bertapa dan tempat menyimpan pusakanya.

Siapa pula nama sucouw itu? Kalau tidak salah dia mendengar dari tosu tua itu bahwa nama sucouw ini adalah Thai Kek Couwsu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar