Pedang Kayu Harum Jilid 17

"Kalau kami tidak menerima perintah untuk menangkapmu hidup-hidup dan menyeretmu ke depan kaki suhu, tentu sekarang juga pinto membunuhmu, bocah keparat!" ucapan ini keluar dari mulut Lian Ci Tojin yang juga menggerakkan tangan ke depan, menampar pipi kiri Keng Hong.

"Plakkk!"

Tamparan ini lebih keras lagi, sesuai dengan watak Lian Ci Tojin yang berangasan. Apa lagi karena tosu ini amat benci kepada Kiang Tojin sehingga kemarahannya dia timpakan kepada anak yang dipungut dan ditolong oleh Kiang Tojin itu. Kembali tubuh Keng Hong terguncang dan dari kedua ujung bibirnya menitik darah.

"Pendeta-pendeta berhati kejam!" Tiba-tiba saja Tan Hun Bwee memaki sambil meloncat ke depan. "Kalian sungguh tidak tahu malu, memukul orang yang sama sekali tidak mau melawan."

Lian Ci Tojin dan suheng-nya mengangkat muka memandang gadis itu. Lian Ci Tojin tersenyum dan mengejek. "Cia Keng Hong, apakah engkau sudah mewarisi watak mata keranjang suhu-mu dan gadis ini menjadi seorang di antara pacarmu?"

"Lian Ci totiang harap jangan bicara sembarangan. Nona ini adalah seorang gadis yang terhormat, dia adalah puteri Tan-piauwsu dan sama sekali bukan pacar teecu."

"Tosu bau, mulutmu busuk!" Tan Hun Hwee sudah tidak dapat menahan kemarahannya dan pedangnya sudah dia cabut kemudian secepatnya kilat dia menyerang Lian Ci Tojin.

Akan tetapi dengan mudahnya Lian Ci Tojin mengelak. Tosu ini adalah murid ke lima dari ketua Kun-lun-pai, tentu saja merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang termasuk golongan atas.

"Hemmm, kalau bukan pacar bocah keparat ini, setidaknya tentu mata-mata musuh yang hendak menyelidiki keadaan Kun-lun-pai. Mengakulah, mau apa kau datang ke wilayah Kun-lun-pai?" bentak tosu itu.

"Tosu keparat, tosu palsu, lihat pedang!" Tan Hun Bwee sudah menyerang kembali dan ternyata gadis ini memiliki ilmu pedang yang cukup lihai sehingga kembali Lian Ci Tojin terpaksa melompat ke belakang mengelak sambil meraba punggungnya dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan.

"Engkau hendak menggunakan kekerasan? Baik, majulah!"

Pada waktu gadis itu menyerang lagi, Lian Ci Tojin sudah menggerakkan pula pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan hebat.

"Sute, jangan membunuh orang!" Sian Ti Tojin memperingatkan sute-nya.

"Ha-ha-ha, menghadapi bocah seperti ini, masa perlu membunuhnya, Suheng? Dia harus ditangkap, mungkin dia mata-mata musuh yang berbahaya."

Tan Hun Bwee boleh jadi lihai dan jarang terdapat seorang gadis muda memiliki keahlian bermain pedang seperti dia, akan tetapi kalau berhadapan dengan seorang tokoh besar Kun-lun-pai seperti Lian Ci Tojin, dia masih kalah jauh. Sesudah bertanding mati-matian selama tiga puluh jurus, dalam pertemuan pedang Lian Ci Tojin mengerahkan tenaganya dan gadis itu berteriak kaget, pedangnya terlepas dari pegangan dan sempat ia mengelak, namun tangan kiri tosu itu telah menotok pundaknya, membuat ia roboh lemas tak dapat berkutik lagi!

"Ha-ha-ha, bocah-bocah sekarang banyak yang tak tahu diri, seperti bocah keparat Keng Hong ini dan gadis galak ini. Suheng, keadaan gadis ini sangat mencurigakan, dia datang bersama Keng Hong, siapa tahu di belakangnya ada orang-orang lain. Biar dia kubawa lebih dulu menghadap suhu agar diselidiki. Harap Suheng mengantar Keng Hong ke atas dan menyusul."

Sian Ti Tojin hanya mengangguk sambil berkata kepada Keng Hong, "Hayo berdiri dan ikut dengan pinto ke puncak Kun-lun-pai."

Keng Hong tadi hanya menonton saja ketika nona Tan bertanding melawan Lian Ci Tojin. Hatinya gelisah tidak karuan, akan tetapi bagaimana dia dapat turun tangan melindungi nona itu atau mencegah Lian Ci Tojin? Bila mana dia melakukan hal ini berarti bahwa dosanya terhadap Kun-lun-pai akan menjadi bertambah.

Apa lagi dia dapat melihat bahwa tosu itu tidak akan membunuh Tan Hun Bwee, dan hanya akan menangkapnya kemudian membawanya ke Kun-lun-pai untuk diselidiki. Kalau memang gadis itu tidak bersalah, dan benar hanya ingin mencari pusaka di Kiam-kok-san, dia percaya akan kebijaksaan para pimpinan Kun-lun-pai yang tentu akan membebaskan gadis itu.

Akan tetapi pada saat dia hendak bangkit memenuhi permintaan atau perintah Sian Ti Tojin dan mengerling ke arah Tan Hun Bwee yang sudah tertotok, dia melihat Lian Ci Tojin secara kasar dan sembarangan mengempit tubuh gadis itu dan dibawa pergi. Pada saat itu dia melihat sinar mata Lian Ci Tojin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia berusaha menekan-nekan debar jantungnya, akan tetapi tak berhasil sehingga ketika dia bangkit berdiri, kakinya gemetar serta mukanya menjadi berubah dan keningnya berkerut.

Melihat hal ini, Sian Ti Tojin mengira bahwa pemuda ini hendak membangkang. Ia sudah maklum akan kelihaian bocah ini yang mempunyai ilmu aneh dan pernah menggegerkan Kun-lun-pai. Tentu saja dia tidak takut dan merasa dapat mengatasi bocah ini karena dia tahu bahwa Keng Hong hanya mempunyai tenaga sedot mukjijat itu sedangkan dalam hal ilmu silat, pemuda ini masih rendah ilmunya.

Ada pun tentang ilmu sedot itu, sesudah dahulu Keng Hong menggegerkan Kun-lun-pai, suhu-nya sudah memberi penjelasan kepada para murid, dan kini sudah tahu bagaimana caranya menolong diri sendiri apa bila dia kena ‘disedot’. Tapi betapa pun juga, dia tidak menghendaki pemuda ini membangkang sehingga dia tak usah menggunakan kekerasan.

"Cia Keng Kong, mengapa kau? Apakah kau hendak membangkang?"

Keng Hong tadinya memandang ke arah bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari Hun Bwee dan kini bayangan itu sudah lenyap di tikungan lereng. Ia menghela napas panjang dan memutar tubuhnya menghadapi Sian Ti Tojin. Sian Ti Tojin adalah murid ke dua dari Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sehingga dalam hal ilmu silat, tosu ini hanya berada di bawah suheng-nya yang tertua, yaitu Kiang Tojin.

"Totiang, mengapa Totiang membiarkan Lian Ci Tojin membawa pergi nona Tan? Kenapa tidak bersama-sama saja?"

"Hemmm, engkau lancang sekali. Ada sangkut pautnya apakah denganmu? Sute hendak membawa gadis itu lebih dahulu karena menaruh curiga kepadanya. Sebenarnya apakah keperluannya berada di tempat ini bersamamu?"

"Totiang, dia itu orang baik-baik, tidak ada kesalahan terhadap Kun-lun-pai. Dia sengaja datang ke sini untuk mencari Kim-kok-san."

"Apa? Mengapa?'

"Dia adalah puteri dari Tan-piauwsu yang dahulu pernah bermusuhan dengan mendiang suhu. Ada beberapa buah barang berharga milik ayah ibunya yang dirampas suhu dan dia hendak mencari barang-barang itu. Dia sama sekali tidak memiliki maksud buruk terhadap Kun-lun-pai. Mengapa ditangkap?"

Sian Ti Tojin menggelengkan kepala. "Tidak bermaksud buruk akan tetapi dia menyerang sute. Sudahlah, kalau memang dia tak bersalah, tentu akan dibebaskan kembali. Mari kita naik menghadap suhu dan jangan banyak tingkah agar pinto tidak perlu menggunakan kekerasan terhadapmu."

Keng Hong menghela napas panjang dan melangkah pergi diikuti kakek itu dari belakang. Akan tetapi baru beberapa ratus langkah, dia berhenti lagi.

"Totiang..."

"Kenapa kau berhenti? Hayo jalan terus."

"Totiang, hati saya merasa tidak enak sekali. Amat berbahaya nona Tan dibawa pergi Lian Ci Tojin. Tidakkah Totiang dapat melihat betapa tadi sinar mata Lian Ci Tojin berapi-api? Apakah patut dia mengempit tubuh seorang gadis? Lebih baik kita susul dia."

"Ah, engkau benar-benar kurang ajar dan patut dipukul, Keng Hong. Berani benar engkau mengeluarkan fitnahan-fitnahan menghina sute. Kami adalah tosu-tosu yang menyucikan diri dan batin, masa terhadap seorang wanita akan timbul pikiran kotor seperti mendiang suhu-mu? Uhh, jika sekali lagi kau mengeluarkan ucapan seperti itu, terpaksa akan pinto pukul sebagai hajaran."

Kembali Keng Hong menghela napas lalu berjalan lagi. Dia menganggap bahwa alasan tosu tua ini benar. Masa Lian Ci Tojin akan melakukan hal yang sangat rendah terhadap gadis itu? Bukankah para tosu Kun-lun-pai ini bukan sembarangan tosu melainkan tosu murid langsung Thian Seng Cinjin?

Kembali sinar mata Lian Ci Tojin yang ditangkapnya ketika tosu itu mengempit tubuh Hun Bwee menggoda hatinya. Betapa pun percaya dia akan alasan Sian Ti Tojin tadi, namun sinar mata itu! Seperti mata orang kehausan melihat air, mata orang kelaparan melihat makanan enak, mata seekor anjing melihat daging, mata yang penuh memancarkan nafsu birahi!

Kalau benar seperti yang dikhawatirkannya, celakalah nasib Hun Bwee di tangan tosu itu. Gadis yang sudah begitu baik kepadanya, dan jelas tampak kebaikannya pada saat gadis itu membelanya melihat dia dipukuli oleh kedua orang tosu Kun-lun-pai. Betapa beraninya membela dia dari dua orang tosu yang lihai! Gadis yang berwatak pendekar dan gagah perkasa. Dan kini terancam bahaya yang bagi seorang gadis lebih hebat dari pada maut!

"Totiang, terpaksa teecu harus menyusul non Tan..."

"Cia Keng Hong, berhenti! Kalau tidak, terpaksa kupukul kau!"

Namun Keng Hong sudah meloncat pergi hendak mengejar Lian Ci Tojin.

"Keng Hong, kalau engkau tidak berhenti, pinto akan memukulmu!" Kembali teriakan Sian Ti Tojin menggema di belakangnya dan tosu itu telah mengejarnya.

Keng Hong berpikir cepat. Kalau dia menggunakan ginkang-nya, dia hanya akan menang sedikit karena para tosu Kun-lun-pai tentu saja memiliki ginkang yang hebat. Dan kalau dikejar-kejar, bagaimana dia dapat mencari Hun Bwee? Setelah berpikir, dia lalu berlari terus, sengaja memperlambat larinya.

"Peringatan terakhir, Keng Hong. Berhentilah!"

Keng Hong berlari terus.

"Siancai! Pinto terpaksa memukulmu!"

Angin pukulan dahsyat terasa menyambar dari belakang. Keng Hong cepat membalikkan tubuhnya, mengerahkan sinkang-nya ke lengan dan segera menangkis pukulan itu terus mendorong ke samping.

"Dukkk!"

Tubuh Sian Ti Tojin terpental ke belakang bagaikan disambar angin yang kuat bukan main sehingga dia berseru kaget. Untung bahwa dia telah memiliki lweekang yang sangat kuat sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting, akan tetapi dia merasa betapa tenaga lweekang dalam pukulannya tadi membalik dan membuat dadanya sesak. Ia tahu bahwa jika dia kembali mengerahkan tenaga, maka dia akan terluka. Karena itu cepat dia duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan keadaannya dan tentu saja ia harus membiarkan pemuda yang luar biasa itu pergi.

Keng Hong berlari terus secepatnya. Memang dia sudah melakukan hal yang membuat hatinya menjadi semakin tidak enak terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi karena dia hanya menangkis dan yang memukul adalah Sian Ti Tojin, maka dia menekan kekhawatirannya. Mengejar dan menolong Tan Hun Bwee lebih penting lagi.

Ia tadi melihat bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari nona itu naik ke atas, maka kini dia pun mengejar, akan tetapi hingga sekian lama berlari belum juga dia dapat menyusul. Hatinya menjadi penasaran dan gelisah sekali.

Dari sebuah puncak dia telah dapat melihat dinding tinggi dari Kun-lun-pai dan tak tampak bayangan tosu itu. Kalau Lian Ci Tojin membawa Hun Bwee ke Kun-lun-pai, dia tak usah khawatir. Akan tetapi dia merasa curiga dan menduga bahwa tentu nona itu tidak dibawa ke sana.

Maka dia lalu membelok dan kembali menuruni puncak, lalu mencoba untuk mencari ke dalam sebuah sebuah hutan besar yang berada di lereng. Apa bila tosu itu yang sinar matanya penuh nafsu berniat melakukan kekejian, tidak ada tempat yang lebih baik dari pada dalam hutan itu. Setibanya di dalam hutan, dia mencari-cari. Keadaan dalam hutan sunyi senyap.

Mendadak Keng Hong menghentikan langkahnya dan membungkuk, mengambil sehelai pita sutera hijau yang berbau harum. Agaknya pita rambut atau pita pelindung leher dan tak salah lagi, warna hijau muda ini menyatakan bahwa pita ini milik Tan Hun Bwee. Tentu orangnya berada tak jauh dari tempat ini. Hatinya makin tidak enak dan berdebar.

"Tan-siocia (nona Tan )...!" dia memanggil. Tiada jawaban.

Ia meneliti dan akhirnya melihat tapak kaki di atas tanah yang agak basah. Namun cukup baginya. Jejak kaki itu menuju ke arah serumpun alang-alang atau rumput tinggi di sebelah kirinya. Cepat dia menerobos semak-semak itu dan akhirnya dia melihat Tan Hun Bwee menggeletak di atas rumput, tersembunyi di balik semak-semak yang tebal.

Gadis itu dalam keadaan pingsan, agaknya tertotok dan melihat keadaan pakaiannya, hati Keng Hong seperti ditusuk pisau. Gadis ini sudah diperkosa! Dengan hati penuh iba, dia membereskan pakaian itu sebisa mungkin, kemudian ia mengurut tengkuk dan punggung Tan Hun Bwee.

Gadis itu mengeluh, lalu membuka matanya dan berteriak kaget sambil meloncat berdiri. Sepasang mata yang tajam itu sejenak menunduk, meneliti keadaan dirinya, kemudian wajah itu diangkat memandang Keng Hong, wajah yang pucat sekali dan matanya liar.

"Kau... kau… laki-laki jahat… apa yang sudah kau perbuat atas diriku...?" Air mata deras mengalir di sepasang pipi yang semakin pucat, ada pun mata itu makin beringas.

"Tenanglah, Nona. Aku mendapatkan Nona menggeletak di sini, dan..."

"Bohong! Engkau telah melakukan kekejian kepadaku! Aihhh, engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong..., keparat busuk!" tiba-tiba saja Hun Bwee menerkam ke depan dan menyerang Keng Hong dengan pukulan ke arah dada pemuda itu.

Saking kaget dan menyesal menyaksikan kesalah pahaman ini, Keng Hong sampai tidak sempat mengelak. Akan tetapi begitu dadanya terpukul, otomatis sinkang pada tubuhnya bergerak.

"Dukkkk...!" Dan tubuh gadis itu terjengkang roboh sendiri.

"Aah, Nona, sungguh mati, aku tidak..."

"Laki-laki jahanam! Pengecut hina dina! Telah berani berbuat tapi tidak berani bertangung jawab, malah menyangkal, keparat!" kembali Hun Bwee memaki.

Akan tetapi kemarahan yang begitu meluap membuat gadis ini lemah, selain berduka dan malu. Juga air matanya membuat kedua matanya sukar melihat. Serangan-serangannya menjadi ngawur dan asal pukul saja.

Keng Hong merasa kasihan, akan tetapi juga bingung menghadapi gadis yang mengamuk tidak karuan itu. Akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu sehingga tak dapat bergerak lagi, lalu berkata,

"Dengarlah Nona, aku tak melakukan sesuatu apa pun kepadamu, kudapati engkau telah menggeletak pingsan di sini…"

"Bohong! Bohong...!" Gadis itu meronta-ronta sehingga terpaksa Keng Hong melepaskan pegangannya. Karena maklum bahwa terhadap pemuda ini dia tidak akan dapat menang, gadis itu kemudian membalikkan tubuh dan berlari pergi dari tempat itu sambil menangis terisak-isak, meninggalkan Keng Hong yang berdiri bengong.

Sesudah bayangan gadis itu lenyap, Keng Hong menunduk, melihat ke tempat di mana seorang tosu Kun-lun-pai yang terhormat melakukan perbuatan biadab yang sama sekali tidak terhormat. Dia mengeluarkan pita hijau yang tadi dia masukkan saku, memandang pita itu dan berkata perlahan,

"Lian Ci Tojin... akan tiba saatnya engkau menyesali perbuatanmu yang terkutuk ini..."

Tak lama kemudian dia mengantongi pita hijau itu kembali dan meninggalkan tempat itu, berjalan dengan kepala tunduk menuju ke Kun-lun-pai. Hatinya makin berduka karena dia kembali menjadi korban perbuatan jahat orang lain yang ditimpakan kepadanya.

Berkali-kali Biauw Eng melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan selalu dialah yang menanggung akibatnya, dan kini dia merasa yakin bahwa Lian Ci Tojin telah memperkosa Tan Hun Bwee dalam keadaan pingsan namun akibatnya dia pula yang dituduh oleh gadis itu!

"Suhu, kenapa nasib teecu tidak sebaik nasib suhu yang selalu mengalami kegembiraan? Apakah karena teecu masih terlalu bodoh dan perlu menyempurnakan ilmu peninggalan suhu?" Demikian keluh hatinya terhadap mendiang gurunya.

Biar pun Keng Hong menjalani hidup, namun dia belum banyak pengalaman dan jiwanya belum matang, sehingga dia lupa bahwa senang mau pun susah bukan datang dari luar melainkan akibat terhadap segala yang menimpa hidupnya. Seorang yang sudah matang seperti Sin-jiu Kiam-ong, tentu akan menerima segala macam derita hidup dengan tertawa geli dan seolah-olah menyaksikan sebuah lelucon.

"Lian Ci Tojin, engkau benar-benar lebih jahat dari pada seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Seorang jai-hwa-cat melakukan kejahatannya dengan berterang, tapi sebaliknya engkau bersebunyi dalam kependetaan. Alangkah hina dan jahatnya engkau!"

Begitu teringat akan tosu itu, dalam hatinya Keng Hong memaki-maki. Kemudian dia juga teringat kepada Biauw Eng dan sedetik timbul rasa rindu yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi begitu mengingat perbuatan-perbuatan Biauw Eng, dia memaki-maki pula di dalam hatinya.

"Aku benci kepadamu! Kau perempuan hina, kejam, curang! Tak tahu malu engkau, aku tidak cinta kepadamu, melainkan benci... benci...!"

Keng Hong menghentikan langkahnya dan terpaksa menutupkan kedua tangan di depan muka karena sungguh pun mulutnya menyebutkan benci sampai berulang kali, namun dia maklum bahwa di dalam hatinya dia tak pernah dapat membenci Biauw Eng!

Keng Hong berlari terus secepatnya dengan hati yang tertekan dan wajah muram. Kalau menurutkan hatinya, ingin dia langsung saja naik ke Kiam-kok-san untuk menjauhkan diri dari pada segala urusan dunia yang banyak menimbulkan kepahitan. Akan tetapi ia harus mentaati kesadaraannya bahwa dia harus lebih dulu menghadap Kiang Tojin dan mohon maaf akan kedosaannya sudah menipu tosu itu dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu.

Tosu itu adalah penolongnya, dan semua tosu di Kun-lun-pai telah bersikap baik padanya pada waktu dia masih kecil. Kalau dia tidak pergi menghadap, tentu selamanya dia akan menyesal dan berdosa. Biarlah dia akan menanggung segala akibatnya. Apa pun yang akan terjadi, akan dia hadapi.

Dan kalau perlu dia akan membela diri di depan semua tosu bahwa dialah sesungguhnya satu-satunya manusia yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam hingga dia terpaksa menipu mereka, menyerahkan pedang kayu yang palsu. Bahkan peristiwa itu akan dapat menjadi tamparan bagi tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang sangat tamak, secara tak bermalu memperebutkan benda milik orang lain!

Meski pun hatinya tertekan oleh semua peristiwa yang dialami, oleh kekecewaan melihat perbuatan Biauw Eng, oleh kemarahan karena perbuatan Lian Ci Tojin, namun dengan penuh semangat Keng Hong mendaki lereng yang menuju puncak di mana berdiri markas Kun-lun-pai dengan megahnya. Puncak itu masih jauh, masih membutuhkan perjalanan setengah hari, walau pun dindingnya sudah tampak dari lereng.

Ketika melalui sebuah tikungan, tiba-tiba Keng Hong berhenti dan matanya memandang terbelalak ke depan. Dia segera maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut ketika dia mengenal orang-orang yang telah menghadangnya di tengah jalan itu.

Pertama-tama dia mengenal Sim Lai Sek, pemuda remaja adik mendiang Sim Ciang Bi yang dahulu terbunuh oleh Biauw Eng. Sim Lai Sek berdiri dengan muka merah saking marahnya, berdampingan dengan dua orang kakek yang juga sudah dikenal Keng Hong sebagai tokoh-tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang amat lihai!

Di samping tiga orang Hoa-san-pai ini, dia melihat empat orang tosu tua yang bersikap angker dan penuh wibawa tetapi yang belum pernah dikenalnya. Karena belum mengenal empat orang tosu tua itu, maka perhatiannya tertarik kepada dua orang yang lain yang berdiri dengan alis berdiri saking marahnya.

Mereka berdua ini bukan lain adalah Kim-to Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang serta seorang laki-laki tua yang mukanya licin seperti muka anak-anak, akan tetapi sepasang matanya bundar seperti mata ikan bandeng raksasa! Melihat sikap kakek bermuka halus itu hati Keng Hong menjadi berdebar dan menduga bahwa agaknya dia itu adalah ketua Tiat-ciang-pang!

Memang dugaannya benar. Laki-laki tua yang datang bersama Kim-to Lai Ban itu bukan lain adalah Ouw Beng Kok, pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang. Kakek yang hebat ini tangan kirinya merupakan tangan kiri palsu yang terbuat dari pada logam kehijauan yang mengerikan sekali, seperti cakar iblis! Ada pun empat orang tosu tua yang tidak di kenal Keng Hong itu pun bukan orang-orang sembarangan, melainkan empat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin, tokoh-tokoh utama Kong-thong-pai!

Keng Hong menenangkan hatinya, lalu dia menjura dengan hormat kepada semua orang sambil berkata, "Para Locianpwe berada di sini apakah sengaja menghadang saya dan ada urusan apakah? Ehh, adik Sim Lai Sek juga berada di sini? Apakah engkau baik-baik saja?"

"Manusia keparat! Siapa sudi menjadi adikmu? Engkau telah mencemarkan kehormatan cici-ku kemudian masih tega membunuhnya! Nah, untuk perbuatanmu yang terkutuk itulah aku datang bersama Ji-wi Supek untuk membunuhmu!" Sim Lai Sek membentak penuh kebencian.

"Celaka, bocah ini lebih jahat dari pada gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Patut dilenyapkan dari muka bumi!" kata Coa Kiu orang tertua dari Hoa-san Siang-sin-kiam.

Keng Hong mengangguk-angguk. "Cukup sudah kuketahui maksud Ji-wi Locianpwe dari Hoa-san-pai yang hendak membunuhku berdasarkan fitnah memperkosa dan membunuh. Bagaimana dengan para Locianpwe yang lain? Ada urusan apakah?"

Sikap Keng Hong tenang saja karena memang sesungguhnya dia tidak merasa berdosa terhadap orang-orang ini. Sikapnya ini mengingatkan semua tokoh itu kepada sikap Sin-jiu Kiam-ong dan membuat mereka makin marah.

"Lai-pangcu, aku menyesal sekali akan peristiwa yang terjadi antara kita, dan Lai-pangcu sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi telah memaksaku hingga terjadi bentrokan dan jatuh korban. Semenjak semula sudah kunyatakan bahwa aku tidak bermusuhan dan tidak ingin bermusuhan dengan Tiat-ciang-pang. Kenapa sekarang Lai-pangcu datang lagi menghadang perjalankanku?"

"Bocah iblis! Engkau mengandalkan ilmu iblismu membunuh murid-murid Tiat-ciang-pang, masih banyak bicara lagi? Kami datang untuk membinasakanmu!" jawab Kim-to Lai Ban.

Sedangkan Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang masih berdiri dan memandang penuh keheranan. Hampir saja dia tidak dapat percaya bahwa bocah ini yang telah merobohkan banyak anak muridnya dan bahkan hampir saja membunuh Lai Ban, sute-nya!

"Sungguh disayangkan bahwa ucapan Siauw-bin Kuncu mengenai Tiat-ciang-pang tepat sekali, bukan hanya mengandalkan Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mempunyai Tiat-sim (Hati Besi) pula. Dan bagaimana dengan para Locianpwe ini? Apakah para Totiang ini juga hendak mencariku?" Dia memandang ke arah empat orang tosu yang bersikap galak dan sejak tadi memandangnya dengan sinar mata tajam.

Tosu tertua di antara Kong-thong Ngo-lojin ialah seorang kakek tinggi kurus bermata buta di sebelah kiri. Dia memegang tongkat bambunya, ditudingkan ke arah Keng Hong sambil berkata,

"Cia Keng Hong, engkau sudah membunuh sute termuda kami dan sepuluh orang murid kami, sekarang terpaksa kami orang-orang tua dari Kong-thong-pai melupakan malu dan harus mencabut nyawa seorang muda yang berbahaya seperti engkau!"

Keng Hong terkejut. Kiranya empat orang ini adalah para suheng dari Kok Cin Cu yang terkenal dengan sebutan Kong-thong Ngo-lojin! Wah, sekali ini dia menghadapi ancaman lawan berat, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi! Bagaimana mungkin dia dapat melawan mereka? Akan tetapi jika tidak dapat melawan, dia hendak membela diri dengan mulut. Dia tak merasa bersalah, maka sebelum mereka turun tangan, dia harus membela diri, menyatakan kebersihannya.

"Aku sudah mendengar semua tuduhan, akan tetapi cu-wi Locianpwe sesungguhnya telah keliru menjatuhkan tuduhan-tuduhan palsu. Tuduhan yang tidak benar berarti fitnah, dan hal itu merupakan perbuatan keji yang bahkan melebihi pembunuhan. Aku tidak bersalah. Pertama-tama tuduhan dari Hoa-san-pai yang mengatakan bahwa aku telah memperkosa dan membunuh nona Sim Ciang Bi. Memang benar ada hubungan cinta antara aku dan mendiang nona Sim, akan tetapi bukan perkosaan. Sedangkan kematian nona itu yang berada dalam pelukanku bukanlah karena aku yang membunuhnya!"

"Aku melihat dengan mata kepala sendiri, engkau masih berani menyangkal?" bentak Sim Lai Sek setengah menjerit.

"Apakah engkau melihat aku membunuh, adik Sim Lai Sek?" tanya Keng Hong dengan sikap tenang.

"Aku melihat engkau... engkau... memperkosanya... kemudian melihat dia mati di dalam pelukanmu. Siapa lagi kalau bukan engkau atau perempuan iblis temanmu itu yang telah membunuhnya?"

"Kesaksianmu lemah. Aku tak memperkosanya dan tidak pula membunuhnya. Sekarang tuduhan dari Tiat-ciang-pang. Saat itu aku membantu nona Sim dari desakan orang-orang Tiat-ciang-pang. Aku tidak beraksud membunuhi anak buah Tiat-ciang-pang, kemudian datang Lai-pangcu yang memaksaku dengan kekerasan sehingga terjadi bentrokan dan di dalam pertempuran jatuh pula korban di pihak Tiat-ciang-pang. Jelas bahwa bukan aku sengaja memusuhi Tiat-ciang-pang karena aku hanya membela diri. Hal ini disaksikan oleh seorang Locianpwe yang patut dipercaya, yaitu Siauw-bin Kuncu Locianpwe."

"Bocah berilmu iblis! Engkau berbahaya sekali, memiliki ilmu iblis, tukang merayu wanita, pandai pula memutar lidah. Engkau sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi agar jangan membikin kotor dunia!" bentak Kim-to Lai Ban marah.

"Terserah wawasan Ji-pangcu dan Tiat-ciang-pang. Kini urusan dengan Kong-thong-pai yang menuduh aku membunuh Kok Cin Cu totiang dan sepuluh orang murid-muridnya. Bagaimana aku bisa membunuh seorang lihai seperti Kok Cin Cu totiang? Ada orang lain yang membunuh, akan tetapi jelas bukan aku. Ada pun tentang sepuluh orang anak murid Kong-thong-pai yang tewas dalam pertempuran yang sudah sewajarnya dan sebagian..."

"Sebagian lagi kau bunuh dalam kuil setelah kau perkosa dua orang murid wanita!" bentak Kok Seng Cu, tosu ke empat dari Kong-thong Ngo-lojin.

Keng Hong terkejut dan menduga bagaimana tosu ini tahu akan hubungannya dengan Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si? Dia tidak tahu bahwa empat orang tokoh Kong-thong-pai ini menerima pemberitahuan dari coretan yang dilakukan dengan tusuk konde bunga bwe yang ditinggalkan menancap di pondok sesudah melakukan coretan peberitahuan bahwa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si telah diperkosa oleh murid Sin-jiu Kiam-ong dan bahwa kedua orang gadis itu bersama para saudara seperguruannya telah dibunuh pula.

"Aku tidak memperkosa. Memang kami berhubungan secara suka sama suka, tetapi aku tidak membunuh siapa-siapa…"

"Manusia keji!"

Kok Sian Cu, orang pertama dari Kong-thong Ngo-lojin sudah tidak dapat lagi menahan kesabarannya. Tubuhnya bergerak maju dan mengirim pukulan ke arah ubun-ubun kepala Keng Hong. Sebuah pukulan maut yang didahului angin pukulan dahsyat sekali.

Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan jalan meloncat ke kiri sambil mengangkat tangan menjaga kepalanya. Tetapi dari sebelah kiri pundaknya disambar lagi oleh hantaman tangan yang lebih ampuh lagi dari pada pukulan pertama tadi, terbuat dari pada logam.

Hebat bukan main datangnya pukulan ini sebab Ouw Beng Kok dijuluki Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mendirikan perkumpulan Tiat-ciang-pang adalah karena kehebatan tangan kirinya yang palsu inilah. Tangan itu bukan terbuat dari besi sebarangan, melainkan besi yang mengandung racun hebat, dan karena ketua Tiat-ciang-pang ini memiliki lweekang yang amat kuat maka pukulannya itu benar-benar merupakan pukulan maut yang sukar dihindarkan.

Untung bagi Keng Hong bahwa sebelum suhu-nya meninggal dunia, kakek sakti itu telah ‘mengoperkan’ hawa sinkang mukjijat ke dalam tubuh muridnya sehingga otomatis Keng Hong memiliki sinkang kuat sekali seperti mendiang suhu-nya dan tanpa dia sadari pula dia telah mempunyai ginkang yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat bergerak di luar kesadarannya. Datangnya pukulan Ouw Beng Kok cepat, namun tubuh pemuda itu lebih cepat lagi, membuang diri ke belakang lalu bergulingan menjauhi lawan.

Orang-orang yang menyerangnya adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi, sedikit banyak merasa malu dan sungkan untuk menggeroyok seorang pemuda, maka mereka itu begitu menyerang dan luput, merasa sungkan untuk mendesak dan membiarkan orang lain yang lebih dekat untuk turun tangan.

"Bukkk..!"

Ketika tubuh Keng Hong sedang bergulingan, datang kaki Kok Liong Cu, yaitu tosu ke dua dari Kong-thong Ngo-lojin yang selain memiliki Ilmu Pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang dimiliki oleh mereka berlima, juga terkenal lihai sekali dalam ilmu tendangan. Datangnya tendangan ini cepat dan tidak terduga sehingga tubuh Keng Hong terlempar ketika dicium ujung sepatunya.

Keng Hong merasa napasnya seolah-olah berhenti, namun dengan pengerahan sinkang dia dapat melindungi tubuh dan tidak sampai terluka, hanya merasa nyeri di punggung. Ia melompat bangun lagi hanya untuk menghadapi cahaya berkeredepan yang menyambar dari depan dibarengi bentakan Coa Bu orang kedua dari Hoa-san Siang-sin-kiam yang menusukkan pedangnya sambil membentak,

"Bocah iblis, mampuslah!"

Keng Hong kaget bukan main, cepat dia membuang diri lagi ke kanan menghindarkan diri dari sambaran pedang. Sinar pedang itu menyeleweng lewat dan hanya membabat rumput sehingga rumput-rumput itu terbabat habis tanpa tergerak, menandakan betapa tajam dan lihainya pedang kakek ini!

Keng Hong sudah meloncat bangun lagi, wajahnya pucat, napasnya terengah dan ketika dia mengerling, kiranya dia sudah dikurung!

"Aku tidak bersalah, dan aku akan mempertahankan nyawaku dari kalian orang-orang tua yang tidak adil!" teriaknya.

Ia maklum bahwa sekali ini sukar bagi dia untuk lolos, karena yang megepungnya adalah orang-orang yang sakti dan jumlah mereka, tanpa menghitung Sim Lai Sek yang tidak ada artinya, adalah delapan orang. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja sudah sangat berat, apa lagi delapan orang sekaligus! Baiknya mereka itu masih sungkan untuk mengeroyok, hanya menjaga supaya dia tidak melarikan diri dan siap-siap menerjang jika pemuda itu mendekat.

Dalam keadaan marah dan penasaran, Keng Hong merasa betapa seluruh tubuhnya kini menggetar dan teringatlah dia bahwa apa bila tubuhnya menggetar seperti ini berarti dia dapat menyedot hawa sinkang lawannya. Dia lalu mengerling dan melihat bahwa di antara mereka, yang bersenjata dan yang sukar untuk dihadapi dengan sinkang ialah dua orang dari Hoa-san-pai yang berpedang itu, Coa Kiu dan Coa Bu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, yaitu Kok Sian Cu yang memegang tongkat bambu, dan Thiat-ciang Ouw Ban Kok yang bertangan palsu.

Maka dia lalu sengaja menggeser kaki mendekatkan diri dengan Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu, dua orang kakek Kong-thong-pai yang tak bersenjata. Pancingannya berhasil karena kedua orang ini sudah mengulur tangan hendak mencengkeram dan memukulnya. Keng Hong mengeluarkan teriakan keras, lantas cepat menggerakkan lengan menangkis, sekaligus menangkis dua lengan mereka.

"Plakk! Plakk!"

Tangan kedua orang tua itu berhasil dia tempel dengan tangkisannya dan benar saja, begitu menempel, hawa sinkang dari dua orang kakek itu menerobos keluar memasuki tubuhnya melalui lengannya yang menangkis tadi! Dua orang kakek Kong-thong-pai itu terkejut dan makin besar mereka mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, makin lekat tangan mereka dan makin banyak tenaga mereka tersedot keluar!

"Ilmu keji!" Kok Sian Cu yang menyaksikan keadaan dua orang sute-nya itu sudah cepat menggerakkan tongkatnya, seperti kilat menusuk mata Keng Hong!

Pemuda ini terkejut dan memiringkan kepalanya, akan tetapi ternyata serangan itu hanya merupakan gertakan saja sebab tahu-tahu ujung tongkat telah menotok sikunya, segera membuat lengannya lumpuh dan otomatis daya tempel atau daya sedotnya lenyap untuk sementara sehingga kedua orang kakek Kong-thong-pai itu dapat membebaskan diri. Ujung tongkat terus menyambar ke arah lehernya. Keng Hong kembali mengelak dan…

"Brettt!" ujung tongkat itu menusuk pecah baju di pundaknya.

"Desss…!"

Pada saat itu pula, kaki Kok Liong Cu sudah mengirim tendangan yang amat keras dan yang tepat mengenai lambung Keng Hong, membuat pemuda itu roboh terguling-guling dengan dengan kepala pening.

Melihat betapa pemuda itu kembali mempergunakan ilmu yang mukjijat dan yang mereka kira adalah ilmu hitam Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), para tokoh kang-ouw itu menjadi marah dan telah mengambil keputusan untuk turun tangan sekaligus membunuh bocah berbahaya itu.

Sepasang pedang di tangan Hoa-san Siang-sin-kiam meluncur ke arah leher dan dada Keng Hong yang masih bergulingan di atas tanah. Pemuda ini cepat menekan kedua tangan di atas tanah dan mengerahkan tenaga, dan... tubuhnya mencelat ke atas begitu cepatnya sehingga dua sinar pedang itu tidak mendapatkan sasarannya.

"Dukkk!"

Keng Hong terbanting roboh kembali ketika tangan besi Ouw Beng Kok menghantamnya dengan cara memapakinya pada saat tubuhnya mencelat ke atas tadi. Pukulan berat ini tidak sempat ditangkis atau dielakkan lagi oleh Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini menerimanya dengan pengerahan sinkang melindungi tubuhnya. Ia masih belum terluka parah, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kepalanya makin pening.

Begitu tubuhnya terbanting ke atas tanah, dua sinar pedang dari Hoa-san Siang-sin-kiam dan sinar hijau tongkat bambu ditangan Kok Sian Cu datang menyambar. Keng Hong tak melihat jalan keluar lagi, mengelak sudah tak mungkin apalagi menangkis, maka ia hanya membelalakkan mata dan menanti maut sambil secara untung-untungan mengerahkan sinkang-nya untuk mengadu kekebalan tubuh yang penuh tenaga sinkang itu dengan tiga senjata lawan yang ampuh.

"Cring-cring-traaakkk...!"

Kedua orang kakek Hoa-san Siang-sin-kiam, juga Kok Sian Cu, sangat terkejut dan cepat menarik kembali senjata mereka ketika tiba-tiba ada cahaya putih menyambar dan tepat sekali menangkis senjata mereka disusul dengan berkelebatnya sinar putih panjang yang mengancam mereka. Terpaksa mereka meloncat mundur dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita dan sikapnya agung dan penuh wibawa.

Kiranya yang menangkis senjata-senjata yang sudah mengancam nyawa Keng Hong tadi adalah tiga buah senjata rahasia berbentuk bola-bola putih berduri, ada pun sinar panjang berwarna putih adalah sabuk sutera yang sudah berada di tangan gadis itu.

"Sungguh tak tahu malu, golongan tua tokoh-tokoh dari partai besar mengeroyok seorang pemuda yang tidak melawan! Cih, beginikah watak dan sikap golongan yang patut disebut locianpwe?" Gadis itu berkata, suaranya dingin sekali dan pandangan matanya menyapu mereka yang mengurung Keng Hong dengan pandang mata menghina.

"Siancai... bukankah nona ini Song-bun Siu-li, puteri Lam-hai Sin-ni?" Kok Sian Cu orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin berseru heran dan kaget, akan tetapi juga penasaran. "Nona, harap jangan mencampuri urusan kami seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan Lam-hai Sin-ni. Harap nona membuka mata dan melihat bahwa urusan dengan pemuda ini menyangkut Kong-thong-pai, Hoa-san-pai, dan Thiat-ciang-pang!"

Dari ucapannya ini saja orang tertua dari Khong Thong Pai itu jelas menyatakan jerinya terhadap Lam-hai Sin-ni, bukan terhadap putrinya ini dan hendak mempergunakan nama tiga partai besar untuk menakuti-nakuti. Akan tetapi Sie Biauw Eng atau Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) hanya memandang dengan air muka dingin dan mata bersinar lebih dingin lagi.

"Tidak bisa, selama ada aku di sini, kalian tidak boleh menyentuhnya, apa lagi membunuh dia!"

Tiat-ciang Ouw Beng Kok menjadi marah di dalam hati. Akan tetapi karena dia sendiri telah mendengar akan nama besar Lam-hai Sin-ni sebagai tokoh paling lihai di antara para datuk hitam, maka dia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya berkata dengan suaranya yang besar,

"Nona, oleh karena nona adalah puteri Lam-hai Sin-ni, maka kami bersikap sungkan dan mengharap dengan halus hendaknya nona suka mundur dan jangan melindungi pemuda iblis ini. Bukankah dia itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan ibu nona yang terhormat Lam-hai Sin-ni?"

"Dengan ibuku memang tidak, akan tetapi dia adalah satu-satunya pria di dunia ini yang kucinta dan akan kubela dengan seluruh tubuh dan nyawaku!" Ucapan yang dikeluarkan dengan suara polos jujur ini sejenak membuat semua orang menjadi tertegun. Akan tetapi dengan sikap wajar nona itu lalu mengeluarkan sebatang pedang kemudian menyerahkan pedang itu kepada Keng Hong sambil berkata, "Keng Hong, kau pergunakanlah pedangku ini dan mari kubantu kau menghadapi manusia-manusia haus darah ini!"

Keng Hong menerima pedang yang diberikan itu, memegangnya dengan kedua tangan dan megerahkan tenaga.

"Krekkkk!" pedang yang terbuat dari pada baja pilihan itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkannya ke atas tanah dengan muka merah dan pandang mata penuh kemarahan kepada Biauw Eng.

"Aku tidak sudi pertolonganmu! Kau perempuan kejam, kau sudah menyeretku ke dalam lembah permusuhan! Engkaulah orangnya yang telah membunuh gadis itu karena merasa cemburu, engkau curang, kejam dan... aku benci kepadamu!"

Semua orang yang memandang peristiwa itu membelalakkan mata, akan tetapi terutama sekali Biauw Eng yang menjadi pucat dan memandang Keng Hong dengan mata seekor kelinci ketakutan, kemudian bibirnya bergerak-gerak.

"Tidak..., aku tidak melakukan hal itu... ahhh, Keng Hong, aku hanya ingin membantumu, membelamu, karena aku cinta padamu...."

"Aku tidak butuh bantuanmu, tidak butuh pembelaanmu, juga tidak membutuhkan cintamu yang keji dan kotor...!"

"Keng Hong..., uuuuhhhhhhhh... Keng Hong..." Gadis itu tak dapat menahan air matanya yang jatuh berderai, kemudian ia menyusut air matanya dan mengangkat mukanya sambil berkata tegas. "Jika begitu, baiklah, kita mati bersama!" Sabuk sutera putih di tangannya bergerak meluncur ke depan menyerang para pengurung yang terdekat.

"Perempuan iblis! Patut dibasmi kalian!" Teriak Kok Kiam Cu yang dengan susah payah baru berhasil menyelamatkan diri dari sambaran sabuk ke arah lehernya ini dengan jalan menggulingkan diri ke tanah karena sinar sabuk itu benar-benar cepat bukan main, tidak sempat lagi dia menangkis.

Sekarang para pengeroyok yang berjumlah banyak itu serentak maju. Dua orang Hoa-san Siang-sin-kiam memutar pedangnya, bersama Kok Sian Cu, Kok Kim Cu, Ouw Beng Kok dan Lai Ban! Pertandingan terpecah menjadi dua rombongan, tetapi keduanya merupakan pertandingan yang tidak seimbang, atau boleh dikatakan bukan merupakan pertandingan, melainkan pengeroyokkan dan usaha pembunuhan.

Mereka yang mengeroyok itu adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi. Betapa pun lihainya permainan sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng, namun dia bukanlah lawan tiga orang kakek tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai itu. Dia masih sanggup menahan sepasang pedang milik Hoa-san Siang-sin-kiam dengan gulungan sinar sabuk putih yang membentuk lingkaran-lingkaran, akan tetapi desakan tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu, kakek pertama dari Kong-thong Ngo-lojin yang buta mata kirinya, membuat Biauw Eng benar-benar sibuk bukan main.

Sudah dua kali ia terkena senjata lawan. Pertama kali pundaknya kena diserempet ujung pedang Coa Kiu, menimbulkan luka pada kulit dan sedikit dagingnya, tidak parah namun cukup mengakibatkan pakaiannya yang putih bersih bernoda darah. Kedua kalinya, ujung tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu merobek kulit paha dirinya hingga celana putihnya ikut robek dan tampak bagian kulit pahanya yang berdarah. Namun, gadis ini tidak pernah mengeluh dan permainan sabuk suteranya malah menjadi makin cepat dan ganas.

Keng Hong juga sangat repot menghadapi para pengeroyoknya. Keadaannya tidak lebih baik dari pada keadaan Biauw Eng, bahkan lebih buruk lagi. Dia dikeroyok oleh lima orang kakek sakti, yaitu tiga orang dari Kong-thong-pai dan dua orang pimpinan Tiat-ciang pang.

Biar pun dia sudah mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebatan ke sana ke mari dan mengerahkan sinkang untuk menangkis, namun tetap saja berkali-kali tubuhnya terpaksa menerima gebukan-gebukan yang kalau mengenai tubuh orang lain tentu mendatangkan maut. Dia mempunyai tubuh yang secara otomatis akan menggerakkan tenaga sakti untuk melawan pukulan yang datang dari luar, akan tetapi meski pun dia tidak sampai terluka dalam, tetap saja tubuhnya terasa sakit-sakit seperti rontok semua tulang-tulangnya dan kepalanya menjadi pening.

Tetapi pemuda ini juga tidak pernah mengeluh dan dalam daya tahan dan kekerasan hati, belum tentu dia kalah oleh Sie Biauw Eng. Hanya ada satu hal yang membuat hati Keng Hong tidak enak, yaitu adanya Biauw Eng yang membelanya mati-matian. Dia membenci gadis ini akan tetapi dia pun tidak menghendaki gadis ini tewas karena dia. Sayang dan benci bercampur aduk di dalam hatinya, membuat hatinya terasa lebih sakit dari pada pukulan-pukulan yang diterimanya.

Yang paling berat baginya dalam pertandingan ini adalah tangan besi hijau dari Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang. Hebat bukan main ilmu kepandaian kakek ini, dan setiap kali tangannya bertemu dengan tangan besi, dia merasa tangannya panas dan sakit, sungguh pun dalam hal tenaga, dia tidaklah dapat dikatakan kalah karena Tiat-ciang Ouw Ban Kok juga tidak berani mengadu tenaga dengan pemuda ini.

Biauw Eng yang mengamuk secara nekat itu kembali terkena tusukan pedang, sekali ini di tangan Coa Bu. Karena dia sedang menahan desakan tongkat bambu Kok Sian Cu yang berbahaya dengan sabuk suteranya, maka tusukan dari samping kanan itu sukar untuk dapat dia hindarkan lagi. Dia hanya dapat meloncat ke atas untuk menghindarkan tusukan maut yang mengarah lambungnya, namun tetap saja ujung pedang itu menancap daging paha kanannya.

Biauw Eng mengeluarkan jeritan, bukan jerit karena rasa nyeri melainkan jerit kemarahan. Ketika tubuhnya roboh, tangan kirinya bergerak cepat sekali dan sinar-sinar putih segera menyambar ke arah tiga orang kakek yang sedang mengeroyoknya itu. Hebat bukan main sambaran senjata rahasia bola-bola putih berduri yang kesemuanya mengarah ulu hati, leher dan pelipis lawan dan jumlahnya belasan buah karena disambitkan secara cepat dan susul menyusul.

"Aihhhh..!"

Coa Bu yang kegirangan karena berhasil merobohkan gadis yang lihai itu, berteriak kaget dan cepat miringkan tubuhnya. Meski pun bola putih yang menyambar ke ulu hati berhasil dibuat menyeleweng, akan tetapi tetap saja mengenai pundaknya, menimbulkan rasa nyeri dan seketika pundak berikut lengannya seperti lumpuh.

Karena maklum bahwa senjata rahasia itu bagian duri-durinya tentu mengandung racun, kakek Hoa-san ini segera melompat mundur, cepat merobek luka dengan ujung pedang untuk mengeluarkan darahnya, lalu mengobatinya dengan obat bubuk yang disimpan di sakunya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar