Pedang Kayu Harum Jilid 15

"Terima kasih, Locianpwe. Sungguh budi Locianpwe amat besar terhadap saya!" Setelah berkata demikian, Keng Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Ehh, ehh, nanti dulu, orang muda! Seeokor kerbau diikat hidungnya, akan tetapi seorang manusia yang diikat mulutnya yang sudah berjanji! Engkau tadi berjanji akan mengajukan pertanyaan tentang mati atau hidup. Hayo penuhi janjimu lebih dulu, kemudian aku yang akan balas mengajukan pertanyaan-pertanyaan."

Dalam kegembiraannya, Keng Hong tadi hampir lupa akan janjinya, maka sambil tertawa dia kemudian berhenti dan menghadapi kakek itu lagi. Dia mengerutkan alisnya, berpikir dan mengingat-ingat. Banyak filsafat hidup yang dia ketahui, dan dalam kesempatan itu, dia akan mengajukan pertanyaan yang dia sendiri belum dapat menjawabnya dan yang jawaban kakek itu akan dapat menambah pengertiannya tentang hidup dan mati.

"Pertanyaan pertama, Locianpwe. Untuk apa manusia hidup harus melakukan kebajikan?"

"Heh-heh-heh, baru pertanyaanmu itu saja sudah tidak tepat, orang muda. Pertanyaanmu itu menyatakan bahwa seakan-akan kebajikan harus dilakukan UNTUK sesuatu. Padahal, sesuatu yang dilakukan dengan pamrih, bukanlah kebajikan lagi namanya. Seharusnya pertanyaan itu berbunyi: Mengapa manusia hidup harus melakukan kebajikan? Nah, untuk pertanyaan ini kujawab begini dan dengarlah baik-baik karena setiap orang manusia perlu mengetahui dan sadar akan hal ini."

Keng Hong mengangguk-angguk dan mendengarkan penuh perhatian.

"Kebajikan merupakan kewajiban manusia hidup sebab hidup itu harus sesuai dan selaras dengan alam, maka untuk menyesuaikan diri dengan alam yang memberi manfaat kepada setiap benda, manusia pun harus memanfaatkan diri sebagai bagian dari pada alam. Ada pun pemanfaatan diri inilah yang mewajibkan manusia untuk mengisi hidupnya dengan kebajikan. Kebajikan berarti segala perbuatan baik yang ditujukan kepada orang lain atau sesama hidup. Perbuatan baik dalam arti kata berbuat demi keuntungan dan kesenangan orang lain. Sebab itu harus tanpa pamrih karena dengan demikian barulah kebajikan ini wajar, seperti alam sendiri yang memberi tanpa meminta, tanpa pamrih. Kebajikan yang dilakukan dengan pamrih berarti palsu, hanya merupakan kedok untuk menutupi nafsu sendiri. Contohnya, kalau engkau menolong seseorang dengan pamrih rahasia dalam hati sendiri yaitu agar supaya engkau memperoleh pujian, maka perbuatanmu menolong itu sebenarnya bukanlah kebajikan karena pada dasarnya bukan untuk menolong melainkan melakukan daya upaya agar memperoleh pujian! Andai kata di sana tidak ada harapan untuk memperoleh pujian, tentu saja engkau tidak akan suka melakukan perbuatan itu. Kebajikan sejati yang tanpa pamrih, adalah kebajikan yang dilakukan dengan kesadaran bahwa itu adalah sebuah kewajiban mutlak dalam hidup. Bila manusia telah membiasakan diri meletakkan kebajikan sebagai kewajiban hidup, maka pamrihnya akan lenyap karena perbuatan itu tidak dianggapnya baik atau buruk lagi, tetapi pelaksanaan tugas kewajiban hidup. Dan sebagaimana biasa, setiap kewajiban jika sudah dilakukan dengan baik, akan mendatangkan rasa lega di hati dan lapang di dada."

Keng Hong mengangguk-angguk. Banyak sudah dia membaca uraian tentang kebajikan yang harus dilaksanakan manusia hidup di dunia ini, ada yang muluk-muluk uraiannya, ada yang berbelit-belit. Uraian kakek ini sederhana sekali dan gamblang, mudah untuk dimengerti dan juga mudah diterima oleh akal.

Benda apakah yang tidak ada guna atau manfaatnya di dunia ini? Semua ada manfaatnya bagi makhluk lain, memberi, memberi dan memberi tanpa pamrih. Buah-buahan di pohon, bunga-bunga yang indah, tanah dan air, angin dan hujan, matahari dan bulan, binatang-binatang.

Manusia berakal budi, masa kalah dengan yang lain dalam mengusahakan agar dirinya bermanfaat bagi dunia dan isinya? Tentu saja manfaat yang ditimbulkan oleh perbuatan yang berguna dan menguntungkan sesamanya. Tidak melakukan kebajikan berarti sudah mengabaikan kewajiban hidup, apa lagi jika melakukan hal yang menjadi lawannya, yaitu kejahatan!

"Bagus sekali uraian Locianpwe dan sudah membuka mata dan pikiran saya. Sekarang pertanyaan terakhir, Locianpwe. Bagaimanakah sikap manusia selagi hidup dan apa yang harus dilakukan sesudah mati?"

Kakek itu terkekeh. "Ha-ha-ha, jangan engkau memasukkan dirimu ke dalam kelompok mereka yang merasa ngeri menghadapi kematian, orang muda. Patut dikasihani mereka itu yang takut menghadapi pengalaman yang belum pernah dialaminya itu, ketakutan oleh karena bayangan-bayangan sendiri. Aku lebih condong kepada pelajaran Nabi Khong-cu yang mengingatkan para muridnya kenapa ingin mengetahui tentang kematian sedangkan tentang hidupnya sendiri saja belum tahu artinya dan belum mampu mengisinya dengan sempurna? Seperti lahir bukan kehendak manusia, mati pun bukan kehendak manusia, oleh karena itu lebih baik tentang kematian kita serahkan saja pada Pengurusnya karena itu bukanlah urusan atau wewenang manusia yang masih hidup. Yang sekarang paling penting adalah mengisi hidup, mempelajari tentang soal peri kehidupan serta lika-likunya, seluk-beluknya karena kita adalah manusia yang harus hidup selaras dan sesuai dengan kehendak alam, kita harus bisa MENYESUAIKAN DIRI dengan apa yang ada di sekeliling kita. Menyesuaikan diri terhadap manusia lain yang kita hadapi. Menyesuaikan ke dalam lingkungan masyarakat di mana kita tinggal. Menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan menyesuaikan diri berarti tidak menentang karena hanya pertentangan yang akan dapat menimbulkan keretakan dan juga kehancuran. Penyesuaian diri tentu akan menimbulkan kerukunan, kecocokan dan dalam keadaan seperti ini, akan lebih mudah memanfaatkaan diri seperti yang telah kusinggung-singgung tadi tentang kewajiban manusia untuk mengisi hidup dengan kebajikan."

Keng Hong yang hatinya masih diliputi ketegangan dan kegembiraan akibat merasa dapat memecahkan rahasia Siang-bhok-kiam, menganggap sudah cukup mengobrol tentang hal yang amat tinggi dan sukar itu, maka ia cepat menjura dengan hormat dan berkata,

"Locianpwe, saya menghaturkan banyak terima kasih untuk semua wejangan Locianpwe yang amat berharga bagi saya. Harap Locianpwe maafkan bahwa saya tidak dapat lebih lama lagi melayani Locianpwe."

"Eh-ehh-ehh, nanti dulu, orang muda. Engkau sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang semua sudah kujawab. Sekarang tiba giliranku untuk bertanya tentang…"

"Saya mengaku kalah, Locianpwe. Memang Locianpwe sangat hebat dalam soal filsafat dan saya patut menjadi murid Locianpwe, bagaimana saya berani beradu debat dengan Locianpwe? Sudahlah, saya mengaku kalah dan kelak bila mana kita ada kesempatan bertemu kembali, tentu saya akan menyediakan lebih banyak waktu untuk mendengarkan wejangan-wejangan Locianpwe yang amat berharga. Selamat tinggal!"

Keng Hong tidak memberi kesempatan lagi kepada kakek itu untuk membantah karena dia sudah cepat berkelebat melarikan diri sambil mengerahkan tenaganya. Ia mendengar kakek itu memanggil-manggil, namun dia tidak peduli dan berlari terus secepatnya.

Dia kagum akan pengetahuan kakek itu tentang kitab-kitab suci dan ayat-ayatnya, kagum akan pandangan kakek itu tentang hidup. Akan tetapi dia merasa sangsi apakah kakek itu sudah dapat mengetrapkan semua teori dalam praktek, apakah kakek itu sudah dapat menyesuaikan tiga serangkai yang tak boleh dipisah-pisahkan dalam ilmu kebatinan, yaitu sesuainya hati, kata, perbuatan. Dia belum pernah menyaksikan sepak terjang kakek itu, akan tetapi orang itu telah berani memakai julukan Kuncu (Budiman Bijaksana) sungguh amat meragukan!

Akan tetapi setelah berlari cukup jauh dan tak melihat kakek itu mengejarnya, Keng Hong sudah melupakan lagi kakek itu. Sekarang pikirannya penuh dengan pemecahan rahasia Siang-bhok-kiam.

Semenjak turun dari Kiam-kok-san, dia selalu bertemu dengan peristiwa-peristiwa hebat, bertemu dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan beberapa kali terancam bahaya maut. Memang benar seperti pesan suhu-nya, kepandaiannya sendiri masih jauh dari pada mencukupi untuk dapat melindungi dirinya terhadap ancaman orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang selalu membayanginya, yang demikian tamak hendak merampas pusaka yang tersembunyi di balik rahasia Siang-bhok-kiam.

Dia kini sudah dapat membuka rahasia itu. Dia harus kembali ke Kiam-kok-san mencari pusaka suhu-nya dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan gurunya. Setelah kepandaiannya cukup, mewarisi ilmu-ilmu gurunya, baru dia akan turun dari Kiam-kok-san dan dia akan dapat menghadapi lawan mana pun juga dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, seperti sikap gurunya ketika menghadapi begitu banyak lawan.

Dari pegunungan Bayangkara, Keng Hong terus lari ke barat dan beberapa hari kemudian ia telah memasuki daerah Pegunungan Kun-lun-san. Sungguh pun Kun-lun-san dianggap sebagai pusat atau markas besar para tosu Kun-lun-pai, akan tetapi hal ini sebenarnya hanyalah anggapan dunia kang-ouw saja.

Kun-lun-san adalah daerah pegunungan yang amat luas dan besar, ada pun Kun-lun-pai hanyalah sebuah partai persilatan yang dibentuk oleh sekelompok tosu yang kemudian berkembang biak dengan murid-murid mereka, juga akhir-akhir ini semuanya tosu belaka. Biar pun jumlah mereka banyak, dan yang berdiam di puncak Kun-lun tidak kurang dari dua ratus orang, namun jumlah yang sedemikian itu tidak ada artinya bagi Pegunungan Kun-lun-san yang amat luas itu.

Pada sepanjang kaki Pegunungan Kun-lun-san, juga di lereng-lereng, terdapat pedusunan dan pada bagian-bagian yang sunyi terdapat pula banyak pertapa yang menyembunyikan diri. Hanya karena mereka ini memang bersembunyi di tempat sunyi untuk bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, maka pihak Kun-lun-pai juga tidak pernah mau menganggap mereka. Bahkan para tosu Kun-lun-pai sering kali turun tangan membantu para penduduk dusun-dusun di situ. Karena pengaruh Kun-lun-pai pula maka tidak ada seorang pun perampok berani mengacau di daerah Kun-lun-san.

Keng Hong terpaksa menghentikan perjalanannya dalam sebuah hutan ketika malam tiba. Ia merasa amat lelah karena selama beberapa hari melakukan perjalanan terus-menerus dan hanya berhenti kalau malam tiba. Makannya tidak teratur, kadang-kadang selama dua hari baru bertemu makanan. Malam ini dia lelah sekali dan begitu membuat api unggun dan merebahkan diri di bawah pohon, dia segera jatuh pulas.

Malam itu gelap, tiada bulan dan angkasa hanya diterangi bintang-bintang yang sinarnya terlampau suram untuk dapat menembusi celah-celah daun pohon yang lebat. Menjelang tengah malam, dalam keadaan setengah sadar setengah mimpi, dia merasa betapa dia diberi minum orang. Dalam keadaan setengah sadar itu dia merasa betapa lengan yang halus lunak dan hangat memeluk lehernya, mengangkat kepalanya dan ketika pundaknya menyentuh dada yang menonjol, Keng Hong diam-diam tersenyum.

Ada wanita yang bentuk tubuhnya halus lunak dan padat, wanita muda, mencoba untuk meminumkan sesuatu kepadanya. Dia tidak takut akan segala macam racun karena dia sudah kebal terhadap racun, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menurut saja dan minum dari cawan yang ditempelkan di bibirnya.

Bibir cawan yang halus, rasa anggur yang harum dan manis, mengingatkan dia akan bibir Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang belum lama ini telah melayaninya dalam cinta kasih yang mesra. Maka, setelah minum habis anggur itu, dia pun berbisik,

"Ciang Bi.. Kekasihku.."

Akan tetapi mendadak lengan yang halus itu merangkulnya lebih erat dan sepasang bibir yang hangat menyumbat erat mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Keng Hong bergidik. Kalau ini Ciang Bi, betapa pun mencintainya, tidak mungkin mampu memberinya ciuman seberani dan sepenuh nafsu seperti ini. Hanya seorang Cui Im yang akan dapat melakukan ciuman seperti ini.

Akan tetapi Keng Hong tak mempedulikannya, melainkan menerima hal itu sebagai suatu kenikmatan, pelipur hati gelisah dan lelah setelah mengalami banyak hal yang berbahaya. Dia tidak pernah minta, dia tidak mengajak, melainkan gadis itu sendiri yang datang dan ‘memperkosanya’. Bukan, bukan memperkosa karena dia menerima dengan senang hati!

Watak gurunya menurun kepadanya! Cinta kasih wanita dianggapnya sebagai semacam ‘rejeki’ yang tidak boleh ditolaknya, apa lagi kalau wanita itu seperti ini, muda jelita, halus, hangat dan harum seperti serangkai bunga mawar pagi. Segar menggairahkan!

Keng Hong membiarkan dirinya dihanyutkan permainan cinta kasih yang menggelora. Dia berada dalam keadaan setengah sadar. Arak yang diminumnya tidak mempengaruhinya karena gumpalan hawa beracun yang wangi ia kumpulkan di dada dan kini perlahan-lahan dia hembuskan keluar kembali. Dia teringat bahwa arak semacam ini adalah arak yang pernah diminumnya dari Ang-kiam Tok-sian-li Bhe-Cui-Im. Cui Im-kah gadis ini?

"Keng Hong... akulah kekasihmu... hanya akulah yang mencintaimu."

Suara Cui Im-kah ini? Atau suara Biauw Eng? Sukar bagi Keng Hong untuk mengenal gadis ini karena malam itu sangat gelap dan api unggun yang tadi dinyalakannya sudah padam. Akan tetapi dia tak peduli dan hanya menyelamkan diri ke dalam lautan cinta yang memabukkan.

Keng Hong sadar dari tidurnya. Mimpikah dia semalam? Dia meraba ke kiri dan membuka mata, hendak meraba tubuh yang menggairahkan, yang semalam rebah di sampingnya. Akan tetapi kosong! Tangannya hanya meraba rumput yang masih hangat. Dia membuka matanya.

Cuaca tidak segelap malam tadi. Kiranya sudah menjelang fajar. Ia mendengar suara kaki di sebelah kanan, maka dia cepat menoleh dan masih tampak olehnya Sie Biauw Eng dengan pakaian serba putihnya yang mudah dikenal itu berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Aihhhhh! Biauw Eng kiranya gadis yang begitu mesra kepadanya semalam! Jantung Keng Hong berdebar dan dia meloncat bangun, berteriak, "Nona Biauw Eng...!"

Akan tetapi bayangan putih itu lenyap di dalam halimun pagi yang memenuhi tempat itu. Keng Hong bangun duduk, tidak mengejar, lalu mengenakan pakaiannya untuk melawan hawa yang sangat dingin itu. Dilihatnya sebuah cawan kosong menggeletak di sana, dan sebuah tusuk konde berkepala bunga bwee. Lagi-lagi sebuah di antara senjata rahasia Sie Biauw Eng, agaknya jatuh tercecer.

Ia melamun, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Kemudian dia tersenyum pahit dan entah mengapa, hatinya merasa kecewa sekali.

Sie Biauw Eng gadis itu! Gadis yang semalam menggerumutnya, yang ternyata tidak ada bedanya dengan Bhe Cui Im! Gadis yang menjadi hamba nafsu birahi, yang hatinya tidak kuat sehingga mudah tunduk ke dalam cengkeraman nafsu.

Kiranya tiada bedanya antara Biauw Eng dan Cui Im, bahkan Biauw Eng lebih jahat lagi. Tidak hanya menjadi hawa nafsu birahi, juga hati Biauw Eng amat kejam. Gadis itu telah membunuh Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai itu secara keji sehingga gadis Hoa-sa-pai yang dia tahu benar-benar mencintainya, bukan hanya oleh dorongan hawa nafsu birahi itu tewas dalam pelukannya!

Rasa kagum dan juga rasa aneh yang pernah dia kandung terhadap diri Biauw Eng, mungkin karena Biauw Eng adalah puteri suhu-nya, atau mungkin juga karena merupakan perasaan cinta kasih yang sesungguhnya, bukan cinta nafsu yang mempengaruhi hatinya seperti ketika dia melayani Cui Im, bahkan ketika dia bercinta dengan Sim Ciang Bi sekali pun. perasaan itu sekarang berubah menjadi perasaan muak dan benci. Muak dan benci terhadap Biauw Eng yang timbul dari kecewa dan sesal. Mengapa puteri suhu-nya macam itu?

Karena Biauw Eng membunuh banyak orang Tiat-cang-pang dengan senjata rahasianya, maka dia makin dibenci orang-orang Tiat-ciang-pang. Karena Biauw Eng membunuh Sim Ciang Bi secara keji, tentu saja dia akan dimusuhi oleh Hoa-san-pai dengan hebat! Dan kini secara tak tahu malu, di malam buta, Biauw Eng agaknya tidak dapat menahan gelora nafsu birahinya dan menggerumutnya seperti seorang pelacur.

"Terkutuk! Engkau tak patut menjadi puteri mendiang suhu! Engkau puteri Lam-hai Sin-ni nenek iblis itu, akan tetapi aku tidak percaya engkau puteri guruku. Engkau iblis betina yang keji dan jahat!" dia memaki sambil bangun berdiri, menendang pergi cawan kosong dengan jijik.

Kalau dia tahu benar bahwa gadis semalam itu adalah Biauw Eng, betapa pun mesranya sikap gadis itu, betapa pun indah menggairahkan tubuhnya, dia pasti akan menendangnya pergi! Baru sekarang, Keng Hong merasa sebal dan menyesal sekali telah menuruti hati mengejar kenikmatan dalam menyambut cinta kasih seorang gadis.

Kemudian, dengan hati panas dan penuh kebencian, dia segera berlari-lari pergi dari situ menuju ke arah barat. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia peduli akan semua yang dilakukan Biauw Eng? Padahal, Cui Im juga jahat dan keji, namun dia sama sekali tidak menyesal telah bermain cinta dengan murid Lam-hai Sin-ni yang seperti iblis itu.

Mengapa dia merasa menyesal mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng bukan seorang gadis baik-baik yang patut menjadi puteri gurunya? Mengapa dia menyesal mendapatkan kenyataan bahwa gadis pakaian putih itu ternyata juga seorang hamba nafsu birahi dan seorang yang keji, yang membunuh orang lain yang tidak berdosa tanpa berkedip mata? Dia sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan hatinya yang ditujukan kepada perasaannya itu.

Hatinya terasa agak lega setelah ia mulai mengenal daerah yang sudah termasuk daerah Kun-lun-san ini. Memasuki daerah Kun-lun-san berarti berada di wilayah yang dikuasai Kun-lun-pai, daerah aman. Dia tentu takkan menghadapi gangguan-gangguan para tokoh kang-ouw lagi setelah berada di sini.

Akan tetapi tak mungkin dia pergi menghadap tokoh-tokoh Kun-lun-pai, karena kalau para tokoh Kun-lun-pai mengetahui dia berada di situ, tentu dia akan ditangkap dan tidak ada harapan lagi baginya untuk naik ke Kiam-kok-san. Ia harus dapat mencapai Kiam-kok-san dengan diam-diam, tanpa diketahui tokoh-tokoh Kun-lun-pai. Apa bila dia sudah berada di puncak Kiam-kok-san, biar pun diketahui juga, tak akan ada yang berani menyusulnya ke tempat itu.

Akan tetapi dugaannya ini ternyata keliru karena baru saja dia keluar dari hutan itu, dia melihat banyak orang menghadang di sebelah depan! Tadinya dia mengira bahwa mereka tentulah tokoh Kun-lun-pai, akan tetapi dugaannya keliru karena ketika dia sudah sampai dekat dengan mereka, dia mengenal tosu tua yang berdiri di depan itu adalah seorang di antara para tokoh yang pernah mengeroyok suhu-nya, yaitu Kok Cin Cu tosu termuda dari Kong-thong Ngo-iojin, seorang tokoh Kong-thong-pai yang amat lihai!

Dan di sebelah belakang tosu ini berdiri sepuluh orang, delapan orang pria dan dua orang wanita yang rata-rata berusia tiga puluh tahun, bersikap gagah dan galak, sedangkan dua orang wanita itu pun terlihat gagah, berwajah cantik dan bermata tajam. Ia bisa menduga bahwa sepuluh orang itu tentulah murid-murid Kong-thong-pai.

Oleh karena dia sendiri belum pernah bentrok secara hebat dengan pihak Kong-thong-pai, kecuali dengan sembilan orang murid Kong-thong-pai yang beberapa orang di antaranya, juga termasuk seorang di antara dua wanita cantik itu kini berada di situ, maka dia masih memiliki harapan untuk membebaskan diri dari keadaan tidak enak dalam pertemuannya dengan tokoh besar Kong-thong-pai yang memimpin sepuluh orang murid itu.

Ketika dia bentrok dengan sembilan orang murid Kong-thong-pai yang bercampur dengan empat orang murid Hoa-san-pai dan tiga orang murid Siauw-lim-pai, sesungguhnya yang bertempur adalah Cui Im dan Biauw Eng, dan sungguh pun di antara beberapa orang Kong-thong-pai ada yang terluka, namun tidak ada yang sampai tewas. Ia cepat menjura penuh hormat kepada tosu itu sambil berkata,

"Selamat pagi, Totiang dan para Twako dan Cici dari Kong-thong-pai yang mulia!"

Kok Cin Cu, tosu yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih itu, memandang penuh perhatian. Dia telah mendengar cerita dari para muridnya mengenai pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, yang kabarnya memiliki ilmu mukjijat, yaitu menyedot hawa sinkang para muridnya. Mendengar itu dia menjadi penasaran dan tertarik sekali, lalu mengajak mereka dan beberapa orang murid lain untuk menghadang di kaki Kun-lun-san karena merasa yakin bahwa sekali waktu pemuda itu tentu akan kembali ke Kun-lun-san. Dia tercengang melihat bahwa pemuda ini hanyalah seorang bocah biasa saja, tampan dan memiliki sinar mata yang cemerlang, sikap yang sopan santun dan wajah yang berseri gembira. Juga dia terheran melihat pemuda ini seperti mengenalnya.

"Hemmm, engkau telah mengenal pinto?"

Keng Hong tersenyum, "Tentu saja saya telah mengenal Totiang. Bukankah Totiang yang disebut Kok Cin Cu, tokoh termuda dari Kong-thong Ngo-Lojin?"

"Siancai...! Agaknya Sin-jiu Kiam-ong tidak menyimpan sesuatu rahasia terhadap murid tunggalnya. Bukankah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong?"

"Benar, Totiang. Saya Cia Keng Hong, murid dari suhu Sin-jiu Kiam-ong dan betul pula bahwa saya mendengar segala hal tentang Kong-thong-pai dari mendiang suhu."

"Hal apa saja kau dengar?"

"Bahwa Kong-thong-pai merupakan sebuah partai persilatan besar yang mengutamakan kebajikan berdasarkan kegagahan, keadilan dan kebenaran. Bahwa Kong-thong Ngo-lojin merupakan lima tokoh besar yang menjadi tulang punggung Kong-thong-pai dan bahwa suhu bersahabat baik dengan para pimpinan Kong-thong-pai," kata Keng Hong, sengaja menambah untuk mendinginkan suasana.

"Bersahabat baik apanya? Dia sudah membunuh lima orang murid Kong-thong-pai dan engkau masih mengatakan bersahabat baik? Apa bila dia bersahabat baik, tentu dia tidak akan begitu pelit untuk memberikan Siang-bhok-kiam kepada pinto sebagai tebusan atas kesalahannya terhadap pihak kami. Pinto hanya mengharapkan supaya engkau sebagai muridnya dapat melihat kekeliruan gurumu dan dapat menebus semua kesalahan supaya persahabatan akan terpelihara."

Keng Hong menghela napas panjang. Tak lain tak bukan, ke sana juga larinya. Alangkah tamaknya kaum kang-ouw ini di dalam mengejar ilmu. Mereka itu seakan-akan tidak ada puasnya dalam mencari ilmu-ilmu yang tinggi, seolah-olah berlomba agar menjadi jagoan nomor satu di dunia, lupa bahwa semua itu akan musnah dan habis digerogoti waktu dan usia, akhirnya ditelan oleh kematian.

Bahkan kakek yang begini tua masih begitu tidak tahu diri untuk memperebutkan pusaka peninggalan suhu-nya. Apakah kakek ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari dan kemudian mempunyai kesempatan pula untuk mempergunakan ilmu yang dipelajarinya?

Sungguh manusia-manusia merupakan badut-badut yang tidak lucu, malah menjemukan, selalu menjadi hamba dari pada nafsu dan ketamakan. Ada yang tamak dalam mengejar kedudukan tinggi, mengejar nama besar, mengejar kemuliaan duniawi, mengejar wanita, atau seperti orang-orang kang-ouw ini, mengejar ilmu supaya menjadi orang yang paling hebat di dunia ini!

Benar gurunya! Gurunya tidak mengejar, melainkan menerima segala sesuatu sebagai suatu berkah, suatu nikmat hidup, suatu kesenangan! Gurunya yang melakukan segala sesuatu demi kesenangan hidup, tidak menyia-nyiakan hidupnya untuk mengejar sesuatu.

Tentu saja Keng Hong tidak tahu keadaan gurunya seperti itu pun adalah sebagai akibat dari pada suatu sebab, yaitu sebab patah hati oleh cinta kasih yang ternoda. Dia masih terlalu muda, masih belum berpengalaman untuk bisa meneropong sepak terjang gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti orang tua, yang merupakan satu-satunya manusia di permukaan bumi yang dianggapnya paling baik.

"Maaf, Totiang. Menurut cerita guru saya, bentrokan yang terjadi antara suhu dan anak murid Kong-thong-pai adalah bentrokan di antara orang-orang ada yang sedang bermain judi, artinya merupakan bentrokan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan partai Kong-thong-pai. Kalah dan menang dalam perkelahian sudah wajar, terluka atau mati juga hanya merupakan resiko-resiko dalam sebuah pertandingan. Kebetulan saja murid-murid Kong-thong-pai yang kalah dan tewas. Bagaimana kalau suhu yang ketika itu kalah dan tewas? Saya rasa urusan seperti itu saja tidak perlu diperpanjang, apa lagi kedua pihak, baik lima orang murid Kong-thong-pai yang kalah mau pun suhu yang menang, semuanya telah meninggal dunia. Saya menganggap bahwa urusan itu sudah selesai!"

"Aha, kulihat engkau seorang muda yang berpandangan luas. Tentu engkau akan dapat mengerti pula akan kesediaan pinto menghapus semua luka lama dengan sebuah tangan murid Sin-jiu Kiam-ong yang akan memenuhi permintaan pinto."

Diam-diam Keng Hong menjadi jengkel juga. "Kalau saya tidak salah artikan tentu Totiang maksudkan pedang Siang-bhok-kiam, bukan?"

Tosu itu tersenyum dan mengangguk, "Engkau seorang muda yang gagah dan cerdik, tentu maklum apa yang kami kehendaki."

"Tentu Totiang sendiri juga sudah tahu jelas bahwa Siang-bhok-kiam telah saya serahkan kepada Kun-lun-pai."

Tosu tua itu meraba-raba jenggotnya yang panjang. "Tentu saja pinto tahu. Akan tetapi pinto juga tahu bahwa pihak Kun-lun-pai sudah kena dibohongi, sudah terkena tipuanmu. Ahh! engkau benar-benar menuruni sifat Sin-jiu Kiam-ong yang nakal, orang muda. Masa para pimpinan Kun-lun-pai sampai kena kau bohongi, kau beri sebuah pedang kayu yang palsu. Ha-ha-ha! Sungguh amat lucu sekali."

Keng Hong terkejut. "Ahh, jadi... mereka sudah tahu...?"

"Sudah, rahasiamu telah terbuka dan kini engkau berada dalam bahaya maut yang hebat. Maka mengingat persahabatan pinto dengan gurumu, sebaiknya lekas engkau serahkan pedang itu atau memberitahukan tempat pedang itu kepada pinto, dan pinto serta semua pimpinan Kong-thong-pai akan melindungimu. Percayalah bahwa Kong-thong Ngo-Iojin masih memiliki cukup wibawa untuk melindungi murid Sin-jiu-kiam-ong."

Keng Hong segera maklum bahwa kini dia sudah menambah ancaman baru bagi dirinya, menambah musuh baru yang hebat bukan main, yaitu pihak Kun-lun-pai! Ternyata pihak Kun-lun-pai telah mengetahui akan kepalsuan pedang yang dia berikan pada Kiang Tojin!

Akan tetapi, untuk menyerahkan diri berlindung kepada Kong-tong-pai, dia tidak sudi. Dia sudah berbuat, dan dia sendiri pula yang harus bertanggung jawab, demikian ajaran yang dia terima dari gurunya. Bukan sengaja dia hendak menipu Kun-lun-pai, tapi adalah pihak Kun-lun-pai sendiri yang tidak benar, yang telah memaksa minta pedang Siang-bhok-kiam darinya.

"Terima kasih atas atas kebaikan Totiang akan tetapi saya tidak bisa memberikan pedang itu kepada Totiang, karena pedang itu telah lenyap dan saya sendiri tidak tahu berada di mana."

Wajah tosu itu menjadi merah. "Bohong kau!"

"Terserah penilaian Totiang, akan tetapi yang jelas, saya tidak dapat memberikan pedang itu kepada pun juga."

"Cia Keng Hong, bocah masih ingusan seperti engkau ini berani menentang pinto?"

"Totiang, agaknya menurut kenyataannya, baik mendiang suhu mau pun saya sendiri tak pernah menentang siapa-siapa, tidak menentang Totiang dan juga tak pernah memusuhi Kong-thong-pai. Adalah Totiang sendiri bersama para tokoh kang ouw yang dahulu selalu mendesak-desak suhu dan kini setelah suhu meninggal dunia lalu mendesak-desak saya. Memang soal kebenaran tidak bisa diperebutkan, Totiang, oleh karena setiap orang selalu melihat kebenaran dari sudut demi kepentingan pribadinya. Yang penting adalah buktinya. Sekarang kita bertemu di jalan, apa bila kita masing-masing jalan sendiri, bukankah tidak akan timbul pertentangan? Saya hendak membuktikan bahwa saya tak menentang siapa pun, yaitu saya hendak mengambil jalan sendiri, tidak mengganggu Totiang sama sekali. Hendak saya lihat, siapakah di antara kita yang mencari pertentangan." Setelah berkata demikian, Keng Hong langsung melangkah pergi dan hendak melewati orang-orang yang menghadangnya itu dengan jalan memutar.

"Mau atau tidak, engkau harus ikut bersama kami ke Kong-thong-pai! Di sana, di hadapan Kong-thong Ngo-lojin, baru kau boleh bicara untuk membela diri" kata Kok Cin Cu sambil melangkah dan menghadang Keng Hong.

Pemuda itu menjadi penasaran dan marah sekali. Di antara banyak watak gurunya, salah satu watak yang diwarisinya adalah watak tidak takut menghadapi apa pun asal merasa benar. Ia maklum akan kelihaian kakek ini, maklum dari penuturan gurunya bahwa kelima orang Kong-thong Ngo-lojin mempunyai ilmu pukulan Ang-liong Jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga Merah) dan sangatlah ampuhnya, mengandung tenaga panas melebihi api membara dan merupakan kesaktian yang amat sukar dikalahkan.

Dia pun pernah mendengar pula bahwa selain Ang-liong Jiauw-kang, kelima orang kakek itu mempunyai senjata keistimewaan sendiri-sendiri dan Kok Cin Cu ini memiliki senjata sabuk baja yang dipergunakan sebagai pecut. Akan tetapi melihat betapa kakek ini amat mendesak dan memaksanya, timbul sifat keras kepalanya sehingga ia menjawab dengan tegas,

"Sebaliknya, Totiang. Dengan cara apa pun juga, saya tidak mau ikut ke Kong-thong-pai karena tidak mempunyai urusan dengan siapa pun juga di sana!"

"Bagus, engkau berani menentang pinto, ya?"

"Saya bukan menentang orangnya, melainkan perbuatan dan sikapnya yang tidak benar yang saya tentang!"

"Bocah sombong! Kau kira pinto tidak akan dapat menangkapmu?" Tosu tua itu menjadi marah.

Dia bukan seorang pemarah, di depan murid-murid dan keponakan-keponakan muridnya, ia selalu didesak omongan oleh pemuda ini, tentu saja ia menjadi malu dan menganggap Keng Hong tidak memandang mata kepadanya. Dia telah berlaku sungkan dan mengajak pemuda itu ke Kong-thong-pai hingga keputusan yang akan dijatuhkan terhadap pemuda ini bukan keputusan dia sendiri, melainkan keputusan kelima orang Kong-thong Ngo-Lojin. Hal ini saja sudah dia lakukan secara banyak mengalah terhadap seorang pemuda.

Sekarang, ditambah oleh bantahan-bantahan Keng Hong, benar-benar membuat kakek ini kehilangan kesabaran dan lupa diri. Ia sudah melangkah maju dan cepat mencengkeram untuk menangkap pundak Keng Hong dengan tangan kanan, ada pun tangan kirinya telah melolos sabuk baja dari pinggangnya.

Keng Hong menjadi marah dan tidak mau diam saja. Dia lalu mengerahkan sinkang dari pusarnya, kemudian mengangkat tangan kiri menagkis cengkeraman itu.

"Plakkk!"

Tangan Kok Cin Cu tertangkis secara hebat, akan tetapi kakek ini bukan main lihainya. Cengkeraman pada pundak yang ditangkis itu cepat berbalik menjadi cengkeraman pada pergelangan tangan Keng Hong dan gerakannya amat cepat dan kuat sehingga sebelum Keng Hong tahu apa yang terjadi, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah kena dicengkeram oleh lima buah jari tangan yang panas dan kuat sekali.

"Hayaaaaaaa...! Teriakan ini keluar dari mulut Kok Cin Cu ketika kakek ini merasa betapa tenaga singkang yang terkandung di dalam tangan kanannya membanjir keluar memasuki pergelangan tangan pemuda itu.

Maklumlah dia kini akan cerita para muridnya betapa pemuda ini memiliki ilmu ‘menyedot sinkang lawan.’ Ia memang sudah bersiap-siap untuk ini, dan untuk penjagaan inilah dia tadi mencabut sabuk baja, maka kini cepat menggerakkan tangan kirinya, menggunakan sabuk itu menotok siku tangan kiri Keng Hong.

Totokan itu mengenai jalan darah dengan tepat sekali sehingga seketika tangan kiri Keng Hong menjadi lumpuh, dan otomatis tangan Kok Cin Cu yang mencengkeram dan telah melekat tadi dapat direnggutnya terlepas. Kok Cin Cu cepat melompat ke belakang sambil berseru,

"Bocah keji! Engkau benar-banar memiliki ilmu iblis Thi-khi I-beng itu?" Kakek ini dia-diam merasa kagum dan juga iri hati sekali.

Ilmu yang sudah ratusan tahun dikabarkan lenyap itu, yang tentu saja sangat diinginkan oleh semua tokoh kang-ouw, dan bahkan Lam-hai Sin-ni sendiri, tokoh datuk hitam yang paling lihai hanya mengerti sedikit saja tentang ilmu ini, kini dimiliki oleh bocah yang masih hijau! Ia lalu menggerakkan sabuk baja itu yang meledak-ledak di udara seperti sebatang cambuk dan segera berubahlah cambuk itu menjadi sinar melingkar-lingkar laksana naga beterbangan di atas kepala Keng Hong!

Keng Hong menjadi pening kepalanya memandang sinar hitam melingkar-lingkar ini, akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan sambil melengking keras tubuhnya sudah meloncat. Akan tetapi tubuhnya yang meloncat itu bertemu dengan ujung sabuk baja di udara. Ujung sabuk yang lemas itu tahu-tahu telah mengait lehernya.

Keng Hong yang tercekik itu kaget dan marah sekali, tetapi sabuk itu sudah ditarik dengan gentakan keras sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah. Ia meloncat bangun, mendengar suara ketawa dan ternyata sepuluh orang murid Kong-thong-pai itu sedang mentertawakannya. Kemarahannya makin menjadi dan cepat Keng Hong sudah membalikkan tubuh menghadapi kakek itu lagi.

Kok Cin Cu merasa tidak enak sendiri harus menghadapi seorang lawan muda dengan senjata di tangan. Akan tetapi dia pun maklum betapa bahayanya apa bila dia bertangan kosong saja, mengingat pemuda itu memiliki ilu Thi-khi I-beng. Dia tentu saja tidak tahu bahwa sesungguhnya dalam hal ilmu silat, kepandaian Keng Hong masih dangkal sekali. Bahkan dalam hal itu pukulan, dia hanya mengenal ilmu pukulan sakti San-in Kun-hoat di samping ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang hanya dapat dimainkan dengan pedang kayu itu!

Kakek itu mengira bahwa pemuda yang sudah memiliki Thi-khi I-beng tentu memiliki pula ilmu-ilmu silat yang sangat tinggi. Dan dia tidak berniat merobohkan pemuda ini dengan membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya yang tentu saja lebih sukar dari pada kalau membunuhnya.

"Totiang, engkau jahat!" Keng Hong berseru dan kini dia menerjang maju sambil mainkan jurus ke tiga Ilmu Silat San-in Kun-hoat.

Jurus ini disebut Siang-in Twi-san (Sepaang Mega Mendorong Gunung), dilakukan dengan pukulan mendorong ke arah lawan mempergunakan sepasang lengan yang dilonjorkan sambil melompat maju. Untuk melakukan serangan ini, Keng Hong menggunakan sinkang sehingga angin pukulannya dari jauh sudah menyambar ke arah dada Kok Cin Cu.

Tokoh Kong-thong-pai ini sendiri adalah seorang ahli Iweekeh, seorang yang mahir sekali mempergunakan sinkang untuk memainkan Ilmu Ang-liong Jiauw-kang, juga sinkang-nya sudah kuat sekali. Akan tetapi, pada saat angin pukulan dari sepasang tangan pemuda itu mendorongnya dan dia merasa betapa tenaga itu sangat dahsyat, yang kalau dia lawan agaknya dia tidak akan kuat, dia menjadi terkejut bukan main.

Cepat dia melempar tubuh ke belakang dan segera berjungkir balik ke samping, kemudian pecutnya disabetkan ke depan mengarah tubuh Keng Hong yang masih meloncat datang. Ujung cabuk ini melibat kedua kaki Keng Hong sehingga pemuda itu terpelanting keras ke atas tanah. Kembali dia terjatuh dan terguling-guling, juga kembali dia mendengar suara ketawa anak murid Kong-thong-pai yang baginya lebih menyakitkan dari pada bantingan itu sendri.

Keng Hong melompat bangun lagi. Bajunya sudah robek di bagian siku dan pundak, akan tetapi dia tidak peduli akan keadaan dirinya, bahkan tidak peduli terhadap rasa nyeri pada pinggul dan pahanya pada waktu terbanting tadi. Kemarahannya membuat dia tidak mau mengeluarkan suara, melainkan siap untuk menyerang lagi.

Melihat sikap pemuda ini yang agaknya nekat dan sama sekali tidak mengenal takut, Kok Cin Cu menjadi makin tidak enak. "Orang muda, lebih baik engkau menyerah saja. Pinto hanya ingin mengajakmu ke Kong-thong-pai, apa sukarnya bagimu? Mengapa kau harus menantang pinto? Pinto sungguh tak ingin menghina orang muda, tak ingin menyakitimu."

"Tosu palsu, tak perlu banyak bicara manis lagi karena bicara manis itu menyembunyikan kepahitan yang memuakkan. Engkau menghendaki Siang-bhok-kiam dan aku tidak ingin memberikan. Mau bunuh atau mau apakan aku, terserah, aku tidak takut!" jawab Keng Hong.

"Ahh, bocah keras kepala, kau memang perlu dihajar!" bentak Kok Cin Cu yang sudah benar-benar tidak berdaya untuk membujuk.

Sabuk bajanya menyambar dan meledak-ledak ke atas kepala Keng Hong, lalu meluncur ke bawah mencambuk ke arah leher pemuda itu. Keng Hong cepat mengelak, akan tetapi cabuk itu seolah-olah mempunyai mata, karena begitu juga mengejar dan dengan suara keras cambuk itu telah menghantam pangkal bahunya.

"Tarrr..!"

Untung Keng Hong cepat sekali mengerahkan lweekang-nya sehingga ujung cabuk itu mental kembali dan hanya berhasil menggigit robek baju di bagian bahunya. Betapa pun juga, kulit bahu terasa pedas dan panas.

Ada pun Kok Cin Cu yang melihat betapa kulit bahu itu tidak lecet sedikit pun, diam-diam merasa semakin kagum dan harus memuji pemuda ini yang betul-betul telah mempunyai tenaga sinkang yang amat hebat. Diam-diam dia harus mengakui pula bahwa jika pemuda itu mempunyai ilmu silat yang tinggi dan terlatih, kiranya sukarlah baginya untuk dapat menandingi pemuda ini.

Untung baginya, pemuda ini agaknya hanya mewarisi sinkang yang amat dahsyat, namun belum mewarisi ilmu silat Sin-jiu Kiam-ong yang tinggi. Biar pun gerakan serangannya tadi luar bisa anehnya dan dahsyatnya, namun gerakannya masih kaku, tanda bahwa pemuda ini kurang terlatih dalam ilmu silat.

"Tarr…! Tarrr…!! Tarrrrrrrrr…!!!"

Cambuk itu melecut-lecut dengan ganasnya, menghujani tubuh Keng Hong dari segala jurusan dan datangnya dari jarak jauh sehingga pemuda itu tidak ada kesempatan untuk balas menyerang. Memang benar bahwa dengan sinkang-nya Keng Hong dapat menolak lecutan tiba, akan tetapi cambuk itu terus melecut tubuhnya sehingga mulailah darahnya mengalir keluar dari kulit paha dan kulit punggung yang ikut robek bersama pakaiannya.

Melihat darahnya sendiri serta merasa betapa nyeri punggung dan pahanya, Keng Hong bukannya menjadi jeri bahkan menjadi makin marah. Ia kini berusaha menerima lecutan cambuk dengan kedua tangannya dan setelah kedua lengannya penuh luka oleh ujung cabuk, akhirnya dia berhasil menangkap ujung cambuk dengan tangan kanannya.

Keng Hong mengerahkan tenaga membetot untuk merampas, Kok Cin Cu mengerahkan tenaganya untuk menahan dengan susah payah. Untung bagi Tosu ini bahwa Keng Hong memegang ujung cambuk baja yang kecil, licin dan keras, berbeda dengan tosu itu yang memegang gagangnya yang tentu saja lebih enak sehingga sampai beberapa lama Keng Hong belum juga berhasil merampasnya.

Sementara itu anak murid Kong-thong-pai mulai mengurung dengan senjata di tangan dan sudah siap menghujankan senjata pada tubuh Keng Hong. Pemuda ini terancam bahaya, terutama sekali dari Kok Cin Cu yang mulai menggerakkan tangan kirinya dengan Ilmu Ang-liong Jiauw-kang sehingga perlahan-lahan tangan kirinya itu berubah merah sekali, tanda bahwa tenaga Ang-liong Jiauw-kang telah terkumpul. Sekarang tosu itu siap dengan tangan kirinya dan agaknya begitu Keng Hong dapat menang dalam perebutan cambuk, tentu dia akan mengirim pukulan mautnya.

"Suhu, biar teecu serampang kakinya dengan tombak teecu!" seru salah seorang di antara murid-murid Kok Cin Cu.

"Biar teecu tusuk dari belakang," kata yang lain.

Teriakan-teriakan mereka itu dibarengi dengan pengurungan yang makin ketat dan tangan mereka sudah mulai bergerak-gerak penuh semangat karena begitu ada komando dari guru mereka, tentu mereka itu akan berlomba untuk menyerang Keng Hong.

"Jangan… turun tangan...," terdengar Kok Cin Cu berkata lirih.

Cepat kakek ini mengerahkan tenaga lagi karena begitu dia bicara sedikit saja, cambuk terbetot dan hampir dapat terampas oleh Keng Hong.

Pemuda ini pun agak berkurang kemarahannya, bahkan kalau tadi ia bernafsu membunuh kakek ini, sekarang nafsunya hilang dan dia sadar bahwa betapa pun juga, kakek ini tidak seperti tokoh kang-ouw lainnya yang haus akan pusaka simpanan gurunya. Kakek ini masih mengenal sifat gagah, buktinya dia melarang murid-muridnya turun tangan padahal kalau saja hal itu terjadi, sudah jelas bahwa kakek itu tentu akan dapat mengalahkannya, menangkapnya atau pun membunuhnya.

Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi dan suara ini disusul teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah empat murid Kong-thong-pai. Mereka roboh bergulingan, lantas berkelojotan karena pelipis mereka masing-masing sudah tertusuk sebatang tusuk konde berkepala bunga bwee!

Pada saat itu nampaklah bayangan putih berkelebat dan Sie Biauw Eng sudah meloncat dengan gerakan ringan. Ketika tangannya bergerak, terlihat sebuah sinar putih melayang ke depan dan ujungnya menyambar ke arah mata Kok Cin Cu!

"Hayaaa...!" Tosu itu berseru kaget melihat menyambarnya sabuk sutera putih yang amat cepat seperti ular hidup ini.

Terpaksa dia pun melepaskan cambuknya sehingga cambuk itu tertinggal di tangan Keng Hong, kemudian dengan gerakan cepat kakek itu meraih ke arah ujung sabuk sutera putih dengan cengkeraman tangan kirinya untuk merampas senjata wanita berbaju putih ini. Sie Biauw Eng sudah menyendal kembali sabuk suteranya karena niatnya tadi hanya hendak menolong Keng Hong dari pada bahaya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar