Pedang Kayu Harum Jilid 10

"Ha-ha-ha-ha, Sumoi, betul tidak kataku? Hati-hati terhadap dia, kau akan pulas di dalam pelukannya yang nyaman...!"

"Suci, tutup mulutmu...!" Bentakan ini mengandung kemarahan yang membuat Cui Im tak berani bersuara lagi, namun mulut wanita ini tersenyum dan pandang matanya terhadap Biauw Eng mengandung sesuatu yang aneh.

Akan tetapi Ang-bin Kwi-bo kini sudah menghadapi Keng Hong dan sambil tertawa dia berkata, "Bocah, aku masih ingat kepadamu. Semenjak kecil engkau sudah hebat, berani meniup suling mengacaukan pertandingan kami melawan Sin-jiu Kiam-ong."

"Ang-bin Kwi-bo, aku pun masih ingat kepadamu ketika engkau dengan iblis-iblis lainnya secara tidak tahu malu mengeroyok mendiang suhu. Sekarang engkau hendak menyiksa seorang gadis muda. Benar-benar engkau keji dan jahat seperti iblis sendiri!"

Nenek itu tertawa-tawa dengan hati girang. Maki-makian yang menunjukkan betapa kejam dan jahatnya bagi telinganya merupakan puji-pujian yang membesarkan hati. "Hi-hi-hik, dan aku dapat lebih kejam lagi kalau kau tidak menurut kepadaku. Kau harus ikut aku dan membawaku ke tempat penyimpanan pusaka peninggalan gurumu."

"Aku tidak sudi!"

"Aku akan memaksamu, bocah keras kepala!"

"Dipaksa juga aku tetap tidak dapat menunjukkan tempat itu!"

"Aku akan menyiksamu, membuat kau mati tidak hidup pun tidak, menjadi tiga perempat mati dan yang seperempat hanya kubiarkan hidup untuk mengalami derita yang hebat!" Nenek itu mengancam dengan suara marah.

"Percuma, biar disiksa sampai mati pun tidak ada gunanya karena aku sendiri tidak tahu di mana tempat yang kau maksudkan itu."

"Bohong...!"

"Sudahlah! Percaya atau tidak terserah, aku tak ada waktu lebih lama lagi untuk melayani ocehanmu. Aku pergi!" Setelah berkata demikian, Keng Hong meloncat dan lari pergi dari situ.

Akan tetapi tampak bayangan hitam berkelebat dan tiba-tiba saja nenek itu sudah berdiri menghadang di depannya. Keng Hong kaget dan merasa kagum. Ginkang dari nenek ini benar-benar mengejutkan, seperti terbang saja ketika mendahuluinya dan menghadang.

"Kau mau apa?" tanya Keng Hong.

"Kau harus ikut bersamaku!"

Keng Hong teringat akan pesan suhu-nya. Suhu-nya pernah menyatakan bahwa di dunia persilatan banyak sekali orang pandai yang takkan bisa dilawan olehnya, terutama sekali orang-orang seperti Bu-tek Su-kwi yang berilmu tinggi. Hanya bila dia sudah mempelajari kitab-kitab peninggalan suhu-nya, barulah ia akan cukup kuat untuk menghadapi mereka, demikian pesan suhu-nya. Dan sekarang dia berhadapan dengan salah seorang di antara mereka!

Sayang pedang Siang-bhok-kiam tidak berada di tangannya. Kalau saja dia bersenjatakan pedang itu, ingin sekali ia mencoba ilmu pedangnya Siang-bhok Kiam-sut untuk melawan nenek yang lihai bermain silat dengan senjata rambut dan kuku-kukunya ini! Betapa pun juga, dia harus melawannya.

"Aku tidak sudi."

"Hi-hi-hik, kau kira aku tidak dapat memaksamu? Kau kira dengan sedikit kepandaianmu itu engkau akan dapat menentang Ang-bin Kwi-bo? Hi-hi-hik!"

"Aku tidak dapat!" bentak Keng Hong.

Pemuda ini sudah menerjang maju, membuat gerakan melingkar dengan kedua tangan yang diputar dari atas kepala terus ke bawah, cepat sekali sehingga kedua lengannya merupakan gulungan sinar putih, kemudian dari gumpalan sinar ini menyambarlah kedua pukulannya bertubi-tubi.

Keng Hong sudah memainkan jurus ke lima dari ilmu silatnya, yaitu jurus San-in Ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat). Angin pukulan kedua tangannya yang mengandung tenaga sinkang itu sampai mengeluarkan suara menderu dan membuat rambut riap-riapan serta baju nenek itu berkibar-kibar disambar angin pukulan.

"Pukulan yang aneh dan hebat...!" Nenek itu berseru gembira sekali karena harus ia akui bahwa sebanyak itu ia mengenal ilmu silat pelbagai aliran, belum pernah ia menyaksikan jurus pukulan yang dipergunakan pemuda ini.

Sebagai seorang ahli, dia segera dapat menilai bahwa jurus ini hebat sekali, mengandung segi yang rumit dan dahsyat. Akan tetapi hanya tenaga pemuda ini saja yang hebat luar biasa, tapi gerakannya belum ‘matang’. Oleh karena itu, dengan mudah ia menghindarkan diri sambil meloncat ke kanan, kemudian membalik ke kiri cepat sekali dan rambutnya sudah menyambar ke arah leher Keng Hong!

Apa bila diukur kepandaian ilmu silatnya, tentu saja Keng Hong kalah jauh, maka ketika serangannya itu selain gagal juga dia dibalas secara kontan, pemuda ini menjadi sibuk menangkis dengan kebutan tangannya. Tenaganya memang hebat sekali, karena angin tangkisannya dapat membuat rambut nenek itu buyar, kemudian dia meloncat ke depan dan dari atas dia mengirim pukulan dengan jurus Siang-in Twi-san.

Serangan ini pun hebat sekali dan nenek iblis itu semakin gembira. Mula-mula yang akan dipelajarinya adalah jurus-jurus ini, pikirnya. Kalau dia sudah dapat memahami jurus-jurus seperti ini, kemudian dia yang memainkannya tentu daya serangnya akan hebat sekali dan sukarlah tokoh-tokoh tandingannya akan mampu menangkisnya! Kini secara tiba-tiba dia menggulingkan tubuhnya dan pada saat tubuh Keng Hong yang menyambar lewat itu meluncur di atas kepalanya, ia mengulur kedua tangan mencengkeram ke arah kaki Keng Hong!

Keng Hong terkejut sekali, lalu mengerahkan sinkang-nya dan tubuhnya mencela ke atas. Gerakan ini bukan main cepatnya, digerakkan oleh tenaga ginkang yang tinggi sehingga dia dapat menghindarkan dua kakinya dari cengkeraman. Akan tetapi begitu dia meloncat turun, kedua tangan nenek itu sudah menerjangnya dengan pukulan Ban-tok Sin-ciang!

"Rebahlah!" teriak si nenek yang ingin cepat-cepat merobohkan Keng Hong supaya dapat dibawa lari karena dia khawatir kalau-kalau kedua orang anak murid Lam-hai Sin-ni itu datang membantu, dan lebih khawatir lagi kalau-kalau ada datang tokoh-tokoh lain yang dia tahu juga berusaha mendapatkan pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini.

Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa mendorongnya, didahului bau yang sangat harum dan amis. Cepat dia menahan napasnya, mengerahkan sinkang-nya dan menangkis dengan tangan digerakkan dari samping.

"Desssss!"

Sekali ini tubuh Keng Hong yang terhuyung-huyung ke belakang, ada pun nenek itu yang merasa betapa kedua tangannya tergetar, cepat-cepat menggerakkan kepalanya hingga rambutnya yang riap-riapan itu terpecah menjadi tujuh buah pecut yang menyambar dan menotok tujuh jalan darah di bagian atas tubuh Keng Hong!

Pemuda itu terkejut sekali karena tidak mungkin dia menghindarkan diri dari tujuh totokan sekaligus itu. Dia cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya dan menutup jalan-jalan darah yang tertotok. Ujung-ujung rambut itu mengenai sasaran lantas membalik ketika bertemu dengan tubuh Keng Hong, akan tetapi pemuda itu merasa tubuhnya bagai disambar petir dan dia terguling roboh. Baiknya dia terus bergulingan karena seandainya tidak, tentu dia kena totok oleh Ang-bin Kwi-bo yang sudah menubruknya.

Keng Hong mencelat berdiri dan kepalanya terasa pening. Biar pun dia tidak terpengaruh oleh totokan-totokan itu, akan tetapi tubuhnya terasa kesemutan dan kepalanya pening. Dalam pandang matanya yang berkunang dia melihat wajah nenek yang tertawa-tawa itu berubah menjadi dua.

"Keng Hong, pergunakan ilmu tempelmu!" Tiba-tiba Cui Im berteriak.

Gadis ini sudah terbebas dari pada pengaruh pukulan beracun tadi, akan tetapi tubuhnya masih lemah. Ada pun Biauw Eng semenjak tadi hanya memandang dan wajahnya sudah membayangkan sikapnya yang dingin lagi. Hal ini adalah karena dirinya masih merasa terguncang oleh perasaan hatinya sendiri yang tidak dapat ia sangkal bahwa ia mencinta pemuda itu!

Mendengar teriakan Cui Im itu, Keng Hong yang masih merasa pening dan belum dapat mempergunakan pikirannya dengan baik itu segera menubruk maju, melakukan serangan dan kembali dia sudah mempergunakan jurus ke tiga, yaitu Siang-in Twi-san. Sekali ini, mendengar seruan Cui Im tadi, Ang-bin Kwi-bo sengaja memapaki kedua tangan Keng Hong yang terbuka dan mendorongnya dengan kedua tangannya sendiri.

"Plakkk...!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara.

Hebat bukan main tenaga sinkang Ang-bin Kwi-bo hingga untuk beberapa detik lamanya tubuh Keng Hong terangkat di udara oleh kedua tangan nenek ini. Sesudah tubuh Keng Hong makin turun dan akhirnya kedua kakinya menyentuh tanah, barulah Ang-bin Kwi-bo mengeluarkan seruan keras.

"Ha, kau paham Thi-khi I-beng...?!" Seruan ini adalah seruan terheran-heran, juga seruan girang sekali.

Wanita sakti yang telapak tangannya telah melekat dengan tangan Keng Hong dan hawa sinkang-nya mulai tersedot itu, cepat sekali menggerakkan kepalanya hingga rambutnya terpecah menjadi dua bagian lalu melakukan totokan ke arah kedua pergelangan tangan Keng Hong.

Pemuda itu merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kesemutan sehingga daya sedotnya berkurang dan pada waktu itulah Ang-bin Kwi-bo merenggut kedua tangannya hingga terlepas. Kemudian sekali lagi rambutnya mengirimkan totokan selagi Keng Hong masih belum siap-siap sehingga pemuda itu terkena totokan pada kedua pundaknya dan tiba-tiba saja dia menjadi lemas! Pada detik lain tubuhnya sudah disambar oleh Ang-bin Kwi-bo yang tertawa terkekeh-kekeh girang sekali.

Dalam diri pemuda ini saja sudah terdapat ilmu-ilmu pukulan yang amat hebat ditambah dengan ilmu Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan! Kalau dia bisa mendapatkan dua macam ilmu itu saja, dilatihnya sempurna, maka dia akan menjadi tokoh nomor satu di antara Empat Datuk!

"Ang-bin Kwi-bo, dia tawananku, lepaskan!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru nyaring.

Gadis ini sudah menyerang dengan sabuk sutera putihnya. Ujung sabuk meluncur cepat dari atas dan bagaikan seekor ular panjang, sabuk itu kini ‘mematuk’ ke arah ubun-ubun kepala Ang-bin Kwi-bo. Inilah serangan yang amat berbahaya, serangan maut!

Ang-bin Kwi-bo maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia cepat mempergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram ke arah ujung cambuk, sedangkan lengan kirinya mengempit dan melingkar di pinggang Keng Hong. Cengkeraman itu luput karena sabuk sudah disendal oleh Biauw Eng, namun nenek itu melanjutkan tangan kanannya dengan serangan jarak jauh, mendorongkan tangannya itu dengan ilmu Ban-tok Sin-ciang ke arah Biauw Eng.

Gadis ini yang sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pukulan nenek itu, maka cepat dia mengelak ke samping dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk meloncat pergi. Murid Sin-jiu Kiam-ong telah berada di tangannya, karena itu dia tak mau melayani puteri Lam-hai Sin-ni lebih lama lagi.

Akan tetapi tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang nenek berpakaian putih yang bertubuh tinggi kurus telah berdiri di depan Ang-bin Kwi-bo dengan sikap angkuh dan dingin. Nenek ini usianya sebaya dengan Ang-bin Kwi-bo, akan tetapi berbeda dengan Ang-bin Kwi-bo yang berwajah menyeramkan dan buruk, nenek ini jelas menunjukkan bahwa dulunya tentu mempunyai wajah yang cantik sekali. Tubuhnya yang tinggi kurus masih membayangkan bentuk tubuh yang ramping, dan gerak-geriknya halus.

"Kwi-bo, sungguh tidak malu kau menghina orang-orang muda!" Wanita tua ini menegur dengan suara halus akan tetapi nadanya dingin sekali, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan sambil berkata lagi, "Kau ingin merasakan Thi-khi I-beng? Nah, terimalah ini!" Biar pun gerak-geriknya halus, akan tetapi tangan nenek itu cepat sekali gerakannya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata dan tahu-tahu telapak tangan nenek ini sudah mengancam muka Ang-bin Kwi-bo!

Ang-bin Kwi-bo terkejut sekali dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-tok Sin-ciang.

"Plakkk!"

Dua tangan bertemu dan akibatnya membuat Ang-bin Kwi-bo menggereng marah sebab tangannya sudah tertempel dan walau pun tenaga sedotnya tidak sehebat tenaga sedot yang keluar dari tubuh Keng Hong tadi, akan tetapi kini mulai terasa betapa sinkang-nya tersedot oleh nenek itu.

Ang-bin Kwi-bo mengerti bahaya. Jika dia tertempel dan tersedot oleh Keng Hong masih mudah baginya untuk membebaskan diri, akan tetapi nenek ini amat lihai sehingga hanya dengan sebelah tangan saja akan sukarlah baginya menyelamatkan diri.

Cepat Ang-bin Kwi-bo melepaskan tubuh Keng Hong yang dikepit dengan lengan kirinya, kemudian dia memutar tubuh dan mempergunakan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya mencengkeram ke arah dada lawan. Bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram, juga kepalanya telah bergerak dan seperti ular-ular hitam yang banyak sekali, rambutnya lantas meluncur ke depan.

Nenek tinggi kurus itu tetap tenang menghadapi serangan yang ganas dan amat banyak ini, menggunakan tangan kanannya untuk diputar membentuk lingkaran yang melindungi tubuh. Putaran tangannya ini mendatangkan hawa berputar di depan tubuhnya sehingga serangan rambut-rambut kepala Ang-bin Kwi-bo dapat digagalkan semua karena rambut-rambut itu menjadi buyar pada saat bertemu dengan hawa putaran tangan ini, sedangkan cengkeraman itu sendiri dapat disampok oleh tangan kanan si nenek sakti.

Akan tetapi, karena sebagian tenaganya dikerahkan untuk menghadapi serangan yang sangat ganas itu, tenaga sedotnya menjadi berkurang dan sekali renggut Ang-bin Kwi-bo berhasil membebaskan diri lalu meloncat mundur dengan muka beringas.

Sementara itu, Keng Hong sudah berhasil membebaskan diri dari totokan dan Cui Im sudah cepat-cepat menghampirinya. Akan tetapi pemuda ini tak mempedulikan sikap Cui Im yang memikat, sebab pada saat itu perhatiannya ditujukan kepada nenek yang sedang berhadapan dengan Ang-bin Kwi-bo.

"Lam-hai Sin-ni! Baru saja aku telah mengampuni puterimu dan tentu dia sekarang sudah menjadi mayat kalau tidak melihat hubungan segolongan. Akan tetapi sekarang engkau datang-datang langsung menyerangku, sungguh engkau tidak mengenal persahabatan!" Teriak Ang-bin Kwi-bo dengan nada marah.

"Dia bohong, Subo!" Cui Im berteriak. "Bila tidak ada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong ini yang membantu, teecu dan sumoi tentu sudah dibunuhnya! Dia telah menghina teecu berdua, juga telah menghina nama subo!"

Nenek tinggi kurus yang ternyata adalah tokoh yang paling lihai dari Bu-tek Su-kwi dan bejuluk Lam-hai Sin-ni hanya memandang kepada Ang-bin Kwi-bo, kemudian berkata,

"Ang-bin Kwi-bo, engkau di timur, Pak-san Kwi-ong di utara, Pat-jiu Sian-ong di barat dan aku di selatan, masing-masing tidak saling mengganggu selama puluhan tahun. Sungguh pun kini timbul urusan memperebutkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, seharusnya dilakukan secara terang-terangan dan mengandalkan kepandaian, tak semestinya engkau mengganggu anak-anak kecil. Apa bila engkau hendak memamerkan Ban-tok Sin-ciang, majulah. Aku lawanmu!"

Melihat sikap yang dingin ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi gentar. Memang ia telah mengenal siapa adanya datuk hitam dari selatan ini, yang sejak dahulu amat terkenal kesaktiannya dan ia tidak mempunyai harapan untuk menang.

Apa lagi dia melihat betapa di situ juga masih terdapat Ang-kiam Tok-sian-li Cui Im, dan Song-bun Siu-li Biauw Eng yang kalau membantu lawan tentu membuat dia lebih berat menghadapinya. Belum lagi pemuda aneh itu yang memiliki ilmu mukjijat dan tentu saja akan membantu kedua orang gadis cantik itu.

Ang-bin Kwi-bo bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh besar yang telah matang pengalamannya. melihat keadaan tidak menguntungkan ini, ia lalu ketawa mengejek.

"Hi-hi-hik-hik, Lam-hai Sin-ni. Siapa sih takut menghadapimu? Kepandaian kita satu kati delapan tail (seimbang), dan terbukti tadi aku mampu melawan Thi-khi I-beng yang kau miliki. Kau tunggu saja, akan tiba saatnya aku datang dan menantangmu dalam sebuah pertandingan yang menentukan. Sampai jumpa!" Sesudah berkata begitu, tubuh Ang-bin Kwi-bo berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Dengan ucapan ini, biar pun dia melarikan diri, namun tidak karena kalah bertanding atau memperlihatkan rasa jerinya.

Lam-hai-Sin-ni bersikap dingin sekali dan kini mengertilah Keng Hong mengapa Biauw Eng yang cantik manis itu mempunyai sikap dingin seperti es. Kiranya ibunya pun seperti manusia es, sehingga nona itu mewarisi sikap ibunya.

Pakaiannya serba putih seperti orang berkabung, sikapnya dingin, wajahnya tidak pernah menyinarkan perasaan hati. Benar-benar ibu dan anak ini mengerikan, lebih mengerikan dari pada wajah Ang-bin Kwi-bo yang buruk dan wataknya yang kasar.

Kini Lam-hai Sin-ni membalikkan tubuhnya perlahan menghadapi Keng Hong. Kalau tadi ketika menghadapi pandang mata penuh kekejaman dari Ang-bin Kwi-bo pemuda ini tidak merasa gentar, kini berhadapan dengan pandang mata itu, dia merasa bulu tengkuknya meremang. Pandang mata nenek ini seolah-olah terasa olehnya merayap laksana seekor laba-laba di seluruh badan, dingin dan meggelikan.

"Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong?" Suara Lam-hai Sin-ni halus, tetapi mengandung tenaga yang mendorong dan memaksa orang harus menjawab sejujurnya karena pandang mata yang dingin itu penuh ancaman.

"Benar, Locianpwe," Keng Hong menjawab singkat sambil menentang padang mata yang dingin itu.

Dengan sikap yang tetap dingin, gerakan tangan lemah lembut, dan suara halus, nenek itu menggerakkan tangan kanannya seperti orang minta sesuatu, "Berikan kepadaku pedang Siang-bhok-kiam."

Keng Hong mengerutkan alisnya. Semua orang minta pedang itu dengan cara dan sikap mereka masing-masing, ada yang kasar, ada yang buas, dan ada pula yang halus seperti sikap nenek ini, akan tetapi baru sekarang ini Keng Hong merasa seram. Sikap nenek ini benar-benar mendatangkan rasa dingin di tengkuknya.

"Siang-bhok-kiam tidak ada pada saya, Locianpwe."

"Hemmm, di mana...?"

"Pedang itu dirampas oleh para tosu Kun-lun-pai."

"Bohong!" Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangan kanan yang terulur tadi, telunjuknya menuding ke arah Keng Hong dan terdengarlah bunyi bercuitan ketika serangkum tenaga yang luar biasa menuju ke arah dada Keng Hong bagai sebatang pedang yang menusuk.

Keng Hong terkejut sekali, cepat mengibas dengan tangannya sambil membanting tubuh ke kanan terus bergulingan. Tangannya tadi dapat menangkis hawa pukulan yang amat kuat seperti pedang akan tetapi tubuhnya terguling-guling dan akhirnya ia dapat meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi lehernya.

Bukan main, pikirnya. Selama hidupnya baru dua kali ini dia menyaksikan ilmu sehebat itu. Pertama kali dia melihat betapa di Kun-lun-san, Kiang Tojin pernah melakukan totokan terhadap Cui Im dari jarak jauh, hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh nenek ini terhadap dirinya.

Dia menjadi penasaran sekali karena dapat menduga bahwa serangan itu sesungguhnya adalah sebuah pukulan maut. Kiranya nenek yang halus bicaranya, gerak-geriknya halus pula, yang berwajah dingin ini, tanpa sebab hendak membunuhnya begitu saja, dengan darah dingin pula! Agaknya dalam hal kekejaman Lam-hai Sin-ni tak mau kalah oleh para datuk hitam yang lain!

"Hemm, sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong engkau boleh juga, dapat mengelak dari sebuah seranganku. Akan tetapi engkau membohong, dan ini tidak patut karena selama hidupnya gurumu itu tidak pernah membohong! Hayo lekas serahkan pedang itu atau jangan harap kau akan dapat mengelak terus!"

Hemm, pikir Keng Hong. Mungkin dahulu suhu tak pernah membohong, dan hal itu tentu saja dapat dilakukan karena suhu-nya sudah memiliki kepandaian sangat tinggi. Namun bagi dia sendiri, bila tidak mau membohong, bagaimana akan dapat menyelamatkan diri? Membohong tidak apa asal jangan menipu, membohong asal tidak merugikan lain orang, kadang-kadang malah amat perlu!

"Saya tidak membawa pedang itu, Locianpwe, pedang itu sudah diambil oleh Kiang Tojin dari Kun-lun-pai!"

"Wuuutttt... Wuuuttt...!" Kedua tangan nenek itu melakukan gerakan mendorong dua kali ke arah Keng Hong.

Pemuda itu cepat mengelak dan mengibaskan tangan. Kembali hawa sinkang di tubuhnya berhasil menangkis angin pukulan nenek itu yang amat hebat, akan tetapi tetap saja dia terjengkang kemudian terguling-guling saking hebatnya tenaga dorongan angin pukulan Lam-hai Sin-ni.

"Kau... kau berani melawan...?" Nenek itu menjadi sangat marah dan baru sekarang dia melangkah maju, hendak menyerang dari jarak dekat karena dua kali serangannya dari jauh gagal.

"Ibu! Dia tidak bohong, memang Siang-bhok-kiam sudah diambil para tosu Kun-lun-pai!" tiba-tiba Biauw Eng berkata.

"Ahh, kau bocah bodoh mana tahu? Bocah ini adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, di samping ugal-ugalan juga tentu amat menyayangi pedang itu. Mana mungkin dia berikan kepada orang lain? Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sesudah menjadi tua bangka, masih juga tidak rela memberikan pedang itu kepada orang lain. Jangan ikut-ikut, bocah ini harus memberikan Siang-bhok-kiam kepadaku atau dia mati di tanganku sekarang juga. Heh, bocah keras kepala, masih belum mengaku di mana adanya Siang-bhok-kiam? Lekas katakan supaya aku dapat mengambilnya."

Keng Hong merasa perutnya panas. Nenek berwajah dingin ini betul-betul menjengkelkan sekali. Di waktu mudanya tentu merupakan seorang wanita cantik yang amat manja dan hendak membawa kehendak sendiri saja, mau menang sendiri. Ia memandang terbelalak penuh kemarahan dan berkata,

"Sudah saya katakan, pedang itu berada di Kun-lun-pai, kalau Locianpwe menghendaki ambillah dari tangan mereka. Akan tetapi hati-hati, di sana banyak terdapat orang lihai..."

Keng Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nenek itu secara tiba-tiba sekali telah melompat ke depan dan tahu-tahu sudah berada dekat sekali dengannya. Tangan kanan nenek ini lalu menampar ke arah kepalanya!

Keng Hong maklum betapa lihainya nenek ini. Mengelak takkan keburu, maka dia berlaku nekat, mengangkat pula tangan kanannya dan menerima tamparan tangan terbuka itu dengan telapak tangannya sendiri.

"Plakkk!"

Dua buah tangan itu bertemu di udara dan terus melekat karena dalam kemarahannya, Keng Hong yang menggerakkan tenaga sinkang itu tanpa disengaja sudah mengeluarkan daya sedotnya yang amat kuat.

Pada saat nenek itu merasa betapa tamparannya tertangkis bahkan tenaga sinkang-nya mulai tersedot, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya lalu menggunakan ilmunya Thi-khi I-beng untuk balas menyedot. Dua tenaga sinkang yang amat hebat saling sedot.

Tenaga sedot sinkang milik Lam-hai Sin-ni adalah berkat latihan ilmu Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan, bahkan nenek yang sudah berlatih puluhan tahun sekali pun ini hanya dapat mencapai sebagian kecil saja. Ada pun tenaga sedot dari tangan Keng Hong timbul tanpa dia sengaja, tanpa dilatih dan tercipta sebagai akibat dia kebanjiran sinkang yang dioperkan oleh gurunya sehingga merusak susunan di dalam tubuhnya yang mengakibatkan tenaga sedot mukjijat itu.

Dan dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan penasaran hati Lam-hai Sin-ni ketika dia merasa betapa perlahan-lahan akan tetapi pasti tenaga sedotnya terbetot dan kalah kuat sehingga mulailah sinkang-nya membocor lagi memasuki tubuh pemuda itu lewat telapak tangan mereka!

"Aihhhh...!" Lam-hai Sin-ni berseru keras, tangan kirinya bergerak dan dengan kuku jari tangannya, dia menyentil ke arah pundak kanan Keng Hong.

Seketika tubuh Keng Hong menjadi lemas dan untung pemuda ini masih teringat untuk cepat menarik tangannya sambil meloncat mundur, kalau tidak, tentu ia akan dipukul lagi dengan pukulan maut.

Nenek itu cerdik luar biasa. Kalau tadi ia memukul begitu saja ke tubuh Keng Hong, maka pukulannya tentu akan amblas pula ke dalam lautan sinkang yang memiliki daya sedot luar biasa itu. Maka dia menyentil dengan kuku jari, menotok jalan darah sehingga daya sedot itu tidak dapat menarik sinkang-nya karena terhalang oleh kuku jari.

Kini dengan marah Lam-hai Sin-ni sudah melangkah maju, kedua tangannya siap hendak memberi pukulan maut. Tiba-tiba Cui Im meloncat dan sambil menjatuhkan diri berlutut ia berkata,

"Subo... subo... harap dengar keterangan teecu dahulu... teecu berani bersumpah bahwa pedang Siang-bhok-kiam memang dirampas oleh tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai seperti diceritakan bocah ini. Teecu sendiri yang melihatnya dengan mata teecu."

Nenek itu mengerutkan kening. "Ceritakan!" katanya kepada muridnya itu.

Dengan jelas Cui Im lalu bercerita, menceritakan betapa ia menyusup ke Kun-lun-pai dan sempat tertawan, kemudian betapa dia melihat sendiri Keng Hong menyerahkan pedang kayu Siang-bhok-kiam kepada Kiang Tojin.

Setelah mendengar cerita ini, nenek itu kembali menghadapi Keng Hong yang kini sudah bangkit duduk. Sejenak dia memandang tajam, kemudian berkata,

"Bocah tak setia! Baru saja turun dari Kiam-kok-san, sudah memberikan pedang kepada tosu Kun-lun-pai! Murid macam apa ini?! Tanpa Siang-bhok-kiam, kau tidak ada gunanya dan lebih baik mati!" Setelah berkata demikian, kembali nenek itu menerjang maju hendak menyerang Keng Hong!

"Ibu, tahan...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Biauw Eng telah berdiri menghadap di depan ibunya, membelakangi Keng Hong yang sudah siap-siap membela diri sekuatnya.

"Eng-ji, mau apa engkau? Minggir!"

"Tidak, Ibu. Kau tidak boleh membunuh Cia Keng Hong."

"Apa? Dia tiada gunanya, tidak membawa Siang-bhok-kiam, harus kubunuh!"

"Jangan, Ibu. Dia sudah menolongku dari kekejian Ang-bin Kwi-bo. Karena itu Ibu tidak boleh membunuhnya."

Sejenak ibu dan anak berdiri tegak berhadapan, saling bertentang pandang. Keng Hong yang melihat ini merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah serupa benar orang ini. Hanya yang seorang nenek-nenek, yang ke dua gadis remaja. Akan tetapi kedua-duanya sama-sama berwajah dingin dan memiliki pandang mata yang membayangkan kekerasan hati seperti baja!

"Pernah menolongmu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah aku membunuhnya! Dia harus kubunuh karena dia, manusia tolol dan murid tidak setia ini, dia agaknya sudah menerima pelajaran Thi-khi I-beng dari Sin-jiu Kiam-ong setan tidak setia itu! Karena itu dia harus kubunuh. Minggirlah!"

Akan tetapi sejengkal pun Biauw Eng tidak mau minggir, bahkan dia menegakkan kepala, membusungkan dada dan memandang ibunya dengan sikap menantang.

"Tidak!" katanya dan untuk pertama kali terdengar suaranya dipengaruhi nafsu. "Ibu tidak boleh membunuhnya!"

Lam-hai Sin-ni tertegun. Sejak kecil puterinya ini tidak pernah berani membantahnya. Dia yang menjadi semacam ‘ratu’ di daerah pantai laut selatan, yang ditakuti semua orang, kini terheran-heran menyaksikan puterinya sendiri hendak membantah dan melawannya!

"Apa kau bilang? Mengapa tidak boleh?"

"Karena aku cinta kepada Cia Keng Hong!"

Sunyi sekali sesudah ucapan yang nyaring itu diucapkan oleh Biauw Eng. Tiga pasang mata terbelalak, yaitu mata Keng Hong, Cui Im serta Lam-hai Sin-ni sendiri.

Keng Hong terbelalak dan jantungnya berdebar keras sampai tubuhnya menjadi gemetar. Biauw Eng cinta kepadanya? Sungguh hal yang sama sekali tidak pernah dia duga! Kalau Cui Im yang mencintainya, hal itu tidak aneh, dia mengenal watak mata keranjang murid Lam-hai Sin-ni itu. Akan tetapi Biauw Eng? Sikapnya terhadapnya begitu dingin, begitu galak!

Juga Cui Im terbelalak. Mendengar sumoi-nya secara terang-terangan mengaku cinta kepada seorang pemuda, benar-benar membuat dia seperti mimpi di siang hari! Padahal biasanya, sumoi-nya itu memandang rendah semua pria, bahkan menjadi marah-marah dan memaki-makinya kalau dia bicara tentang pria. Sumoi-nya seorang yang ‘alim’ dan agaknya mempunyai pantangan untuk segala macam bentuk cinta terhadap pria!

"Kau... kau gila...? Kau... kau mencita murid Sin-jiu Kiam-ong...?" Lam-hai Sin-ni berbisik, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri.

"Kau... heh-heh-heh... kau mencinta dia...?"

Baru sekali ini Cui Im mendengar gurunya tertawa dan dia merinding penuh keseraman. Suara ketawa itu lebih pantas disebut isak tangis.

"Kau mencinta muridnya? Dia... dia tentu mata keranjang, tidak setia seperti... seperti..."

"Seperti ayah, Ibu? Biarlah! Ibu membenci ayah, akan tetapi aku tidak membenci Sin-jiu Kiam-ong. Dan biar pun ibu berpura-pura membenci ayah, aku tahu bahwa ibu amat cinta kepadanya, buktinya ibu memberi she Sie kepadaku, she dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, ayahku. Aku cinta kepada Cia Keng Hong dan ibu tidak boleh membunuhnya!"

Tiba-tiba saja Lam-hai Sin-ni mengeluarkan pekik mengerikan, kemudian wajahnya yang biasa dingin itu kini berubah beringas. "Kau sudah gila! Minggir! Pengakuanmu ini bahkan mendorongku untuk membunuh si keparat! Minggir!"

"Tidak, ibu!" Biauw Eng melolos sabuk suteranya dan berkata kepada Keng Hong dengan suara halus, "Keng Hong, kau pergilah. Kau pergilah setelah kau dengar pengakuanku. Pergilah...!"

Wajah Keng Hong menjadi pucat pasi. Jadi Biauw Eng ini adalah puteri gurunya! Kalau begitu... antara gurunya dan Lam-hai Sin-ni pernah menjadi hubungan suami isteri! Dan puteri gurunya ini mencintainya! Dia tidak tahan lagi, merasa kasihan mendengar suara menggetar dari Biauw Eng ketika menyuruh dia pergi. Sambil menghela napas, dia lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.

"Minggir...!" Lam-hai Sin-ni berteriak sambil menerjang ke depan, hendak mengejar Keng Hong.

Akan tetapi Biauw Eng juga menerjang maju menyambut ibunya dengan serangan sabuk sutera sambil berkata, "Ibu hanya dapat mengejarnya melalui mayatku!"

Nenek itu mendorong anaknya supaya jangan menghalanginya, akan tetapi sabuk sutera putih Biauw Eng bergerak cepat mengirim totokan ke arah kedua lutut ibunya dengan kuat sekali. Lam-hai-Sin-ni menjadi makin marah sebab totokan yang dilakukan puterinya itu kalau mengenai lututnya tentu akan membuat kedua kakinya tak dapat lari lagi.

Maka sambil mendengus ia menyambar ujung sabuk sutera itu dengan kedua tangannya, merenggutnya terlepas dari tangan Biauw Eng dan melemparkannya ke atas tanah. Hal ini terjadi tanpa mampu dicegah oleh Biauw Eng. Sementara itu bayangan Keng Hong sudah pergi jauh sekali dan Lam-hai Sin-ni cepat lari mengejar.

Akan tetapi, kembali Biauw Eng menyerangnya. Kini dengan pukulan tangan yang amat dahsyat. Lam-hai Sin-ni terkejut, terheran-heran dan hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Puterinya sendiri menyerangnya seperti ini? Dengan pukulan maut?

Teringatlah nenek ini akan keadaan dirinya sendiri dahulu lantas terdengar suara terisak dari dalam dadanya. Pukulan puterinya itu dia tangkis dengan keras sehingga Biauw Eng terpekik dan terbanting ke kiri sampai bergulingan.

Gadis ini cepat menoleh ke arah larinya Keng Hong dan hatinya agak lega melihat bahwa pemuda itu tentu sudah lari jauh sekali karena tak tampak lagi bayangannya. Ketika dia menengok ke arah ibunya, dia terkejut dan terheran, kemudian dia bangkit berdiri dan lari menubruk ibunya yang ternyata sudah duduk bersila sambil meramkan mata, mukanya pucat seperti mayat dan tubuhnya kaku! Ia maklum bahwa ibunya sedang berduka sekali dan bahwa di dalam dada ibunya sedang terjadi ‘perang’ antara membunuh Keng Hong atau memenuhi permintaan puterinya. Biauw Eng yang berlutut di depan ibunya segera menyentuh kaki ibunya dan menangis.

Cui Im terbelalak untuk kedua kalinya. Selama menjadi murid Lam-hai Sin-ni baru sekali ini dia melihat keanehan yang terjadi pada diri sumoi-nya yang biasanya amat ia kagumi karena sumoi-nya itu biar pun lebih muda dari padanya, namun amat lihai dan memiliki sifat-sifat yang persis Lam-hai Sin-ni.

Akan tetapi hari ini, gara-gara Keng Hong, ia melihat sumoi-nya menyatakan cinta kepada Keng Hong, dan kini, hal yang luar biasa ia lihat ketika sumoi-nya itu menangis! Timbul perasaan panas di hatinya.

Dia sendiri tergila-gila kepada Keng Hong, tergila-gila akan ketampanannya dan terutama sekali akan ilmu kepandaiannya dan pusaka-pusaka yang mungkin sekali akan bisa dia dapatkan melalui pemuda itu. Sekarang mendengar pengakuan sumoi-nya, diam-diam ia menjadi iri hati, cemburu dan marah.

Ibu dan anak itu sama sekali tidak tahu betapa Ang-kiam Tok-sian-li memandang ke arah Biauw Eng dengan sinar mata aneh, seolah-olah mengeluarkan api yang akan membakar seluruh tubuh gadis baju putih itu. Tidak tahu pula betapa diam-diam Bhe Cui Im pergi meninggalkan tempat itu dengan sikap aneh dan berkali-kali melirik ke arah Biauw Eng dengan sinar mata penuh kebencian!

Sesaat kemudian, Lam-hai Sin-ni membuka matanya dan melihat puterinya menangis di depanya, ia menghela napas panjang dan berkata halus sambil mengelus rambut kepala puterinya.

"Eng-ji, hukum karma selalu mengikuti kita..."

Biauw Eng memeluk ibunya dan tangisnya semakin memilukan. Sesungguhnya, gadis ini tidak mewarisi watak ibunya, tidak sedingin yang dia perlihatkan. Gadis ini perasa sekali, penuh semangat dan menatap dunia dengan sepasang mata yang penuh kegembiraan, bisa dengan mudah menangkap semua keindahan pada tiap benda yang dipandangnya, yang didengarnya, yang diciumnya.

Akan tetapi, oleh karena semenjak ia kecil ia sudah digembleng oleh Lam-hai Sin-ni untuk mengekang perasaan, untuk meniru sifatnya yang dingin bagai es, maka Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng ini menjadi seorang gadis yang aneh dan dingin. Dingin paksaan, pada lahirnya saja, seperti sebuah gunung berapi yang diliputi salju.

Inilah sebabnya mengapa sekali jatuh cinta, ia menjadi nekat dan berani mengaku secara terus terang dan bahkan berani membela kekasihnya dengan melawan ibunya! Biar pun diselimuti salju, kalau gunung es itu meletus, tak akan ada yang dapat menahannya!

"Ibu..., kau ampunkan anakmu yang put-hauw (tak berbakti) ini..."

Lam-hai Sin-ni kembali menghela napas. "Menanam bibit apel, maka memetik buah apel, menanam pohon korma, maka memetik buah korma. Aku dulu menentang ayahku karena cinta, kini engkau menentang aku karena cinta. Semua ini sudah adil...!"

Biauw Eng mengangkat mukanya memandang muka ibunya dan baru sekali ini ia melihat betapa wajah ibunya membayangkan sesuatu, membayangkan kedukaan hebat! Dan baru sekarang pula ia mendengar ibunya menyebut-nyebut keluarganya. Biasanya ibunya tak pernah bercerita, hanya menyatakan bahwa ayahnya adalah Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang akhir-akhir ini menjadi terkenal sekali.

Bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam ayahnya itu lalu menjadi rebutan semua orang gagah di dunia kang-ouw karena Pedang Kayu Harum itu menjadi kunci rahasia tempat penyimpanan benda-benda pusaka yang dikumpulkan oleh ayahnya itu baik dengan jalan mencuri, merampas, atau diberi orang. Ketika dia pernah bertanya mengapa ayah dan ibunya berpisah, ibunya hanya menjawab dingin,

"Dia seorang laki-laki yang tidak setia! Semua laki-laki di dunia ini tidak ada yang setia! Karena itu, jangan kau mudah menjatuhkan cinta kasihmu kepada laki-laki, Eng-ji! Sekali cinta kasihmu jatuh, engkau akan menderita!"

Sekarang ibunya menyebut-nyebut mengenai ayah dari ibunya atau kakeknya, karena itu dengan perasaan ingin tahu sekali dia bertanya,

"Ibu menentang kongkong...?"

"Tidak hanya menentang, bahkan aku... membunuhnya..."

"Ibu...!!"

"Ya! Memang aku telah membunuhnya! Membunuhnya karena cinta! Apakah engkau tadi juga tidak ingin membunuhku, Eng-ji?"

"Ibu...!" Dan Biauw Eng menangis lagi sambil merangkul ibunya.

"Cinta memang membuat manusia, terutama wanita seperti kita ini, menjadi gila, Eng-ji." Lam-hai Sin-ni menghelus-elus kepala puterinya. "Tadi aku amat marah kepadamu. Sakit hatiku melihat betapa engkau mencinta seorang pemuda sehingga rela kau melawanku, rela menyerangku untuk menyelamatkannya, menyerang untuk membunuh ibunya sendiri. Akan tetapi aku teringat akan keadaan diriku di waktu muda, dan aku dapat memaklumi perasaanmu, anakku. Aku tahu betapa cinta membuat mata kita seperti buta. Aku dahulu pun mencinta Sie Cun Hong. padahal aku seorang puteri terhormat, ayahku seorang yang sangat berkuasa dan berpengaruh di selatan, seakan-akan menjadi seorang raja muda, dan... dan Sie Cun Hong terkenal sebagai seorang pria mata keranjang yang mempunyai ratusan, bahkan ribuan orang kekasih! Akan tetapi aku nekat, bahkan pada waktu ayahku melarang aku melawannya. Aku sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan sakti dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, sehingga dalam pertempuran yang didorong oleh marah itu, aku kelepasan tangan, membunuh ayahku sendiri...!"

"Ahhh, Ibu..." Biauw Eng menjadi kasihan sekali kepada ibunya.

Dalam keadaan seperti itu, ibu dan anak ini benar-benar amat berbeda dengan keadaan biasanya. Andai kata Cui Im tidak diam-diam pergi meninggalkan mereka, gadis itu tentu akan lebih bengong terheran-heran menyaksikan ibu dan anak itu bercakap-cakap dengan penuh kemesraan dan keharuan seperti itu. Biasanya, ibu dan anak itu seperti dua buah arca es yang dapat bergerak!

"Kemudian, Sie Cun Hong lelaki tak setia itu tidak mau menikah denganku, seperti yang ia lakukan terhadap ribuan orang wanita lain. Sedangkan aku telah mengandung engkau, Eng-ji. Kami bertengkar, atau lebih tepat, aku memusuhinya, akan tetapi dia terlampau sakti. Sampai belasan tahun aku belajar ilmu, puluhan tahun aku menggembleng diri sehingga menjadi tokoh utama di selatan, akan tetapi tetap saja aku belum pernah dapat menangkan dia. Karena itu, aku ikut pula berusaha mendapatkan pusaka-pusakanya. Kini dia sudah mati, dan pusakanya itu seharusnya jatuh ke tanganmu, karena engkau adalah keturunannya, engkau puterinya. Itulah sebabnya aku hendak memaksa muridnya tadi menyerahkan Siang-bhok-kiam! Ketika mendengar pedang itu terjatuh ke tangan para tosu Kun-lun-pai, aku menjadi mendongkol dan marah, apa lagi melihat bahwa Sie Cun Hong agaknya sudah menurunkan Ilmu Thi-khi I-beng kepadanya, padahal dahulu aku hanya menerima petunjuk sedikit saja... aku menjadi benci kepada muridnya. Juga kulihat pandang mata dan gerak bibir bocah itu sama benar dengan keadaan Sie Cun Hong di waktu muda. Dia pun seorang laki-laki yang tidak setia. Akan tetapi kau... kau sudah… jatuh cinta kepadanya!"

Biauw Eng menarik napas panjang. Sungguh hebat riwayat ibunya itu. "Ibu, aku sendiri hanya menduga saja bahwa aku mencinta dia, karena perasaan hatiku aneh, aku ingin membelanya, aku tidak suka melihat dia terbunuh. Hal ini timbul dalam hatiku ketika dia menyelamatkan aku dari pada ancaman Ang-bin Kwi-bo. Sejak detik itu aku... aku suka kepadanya, aku tidak ingin terpisah darinya... ahh, benarkah ini cinta, Ibu?"

"Hukum karma... hukum karma...! Aku sendiri dahulu pun mencinta Sie Cun Hong karena pertama-tama dia menolongku dari perkosaan Go-bi Jit-kwi (Tujuh Orang Setan Go-bi)."

"Ibu, kalau begitu aku benar-benar mencintainya. Perasaanku membisikkan bahwa dialah satu-satunya pria yang kucinta karena aku agaknya rela untuk mengorbankan nyawaku untuknya." Gadis itu berhenti sebentar dan pandang matanya jelas membayangkan cinta kasih besar ketika dia mengingat pemuda itu. "Ibu, sekarang juga aku akan mengejarnya, aku harus berada di dekatnya..."

"Pergilah, akan tetapi jangan hanya mendapatkan dia, tetapi dapatkan pula peninggalan pusaka ayahmu."

Sepasang mata itu terbelalak penuh gembira, wajahnya menjadi kemerahan dan Biauw Eng yang kini bukan lagi seorang gadis berwajah dingin karena salju itu agaknya sudah mencair oleh panasnya api cinta, berkata,

"Ibu, terima kasih. Aku pergi sekarang...!"

Lam-hai Sin-ni memegang tangan puterinya dan berkata, "Hanya satu hal yang kuminta agar engkau suka berjanji kepadaku, anakku."

"Apakah itu, Ibu?"

"Berjanjilah, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan ibumu dahulu. Engkau tidak akan menyerahkan dirimu kepada bocah itu di luar pernikahan! Kalian harus menjadi suami isteri yang syah! Nah, apa bila begitu, barulah ibumu akan memberi ijin dan doa restu. Kalau tidak, aku akan mengutukmu, Biauw Eng!"

Gadis itu memeluk ibunya dan berbisik, "Aku bersumpah, Ibu."

Kemudian dia melepaskan ibunya dan cepat melesat pergi sesudah menyambar sabuk sutera putih yang tadi dirampas dan dilemparkan oleh ibunya.

Lam-hai Sin-ni, tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, ‘ratu’ tak bermahkota dari daerah pantai laut selatan, masih duduk bersila. Tubuhnya tidak bergerak, wajahnya tetap dingin, akan tetapi dari kedua matanya keluar dua butir air mata yang perlahan-lahan menetes turun ke atas sepasang pipinya yang putih…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar