Pedang Kayu Harum Jilid 05

Tentu saja Kiang Tojin tidak mengerti bahwa kalau tadi dia hampir kalah kuat oleh Keng Hong adalah akibat pemuda itu telah menerima pengoperan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong dalam saat terakhir sehingga dapat dikatakan bahwa yang dia lawan bukan sinkang asli Keng Hong, melainkan sama dengan melawan Sin-jiu Kiam-ong! Dan kini, baik dia sendiri mau pun Keng Hong tidak mengerti betapa ada tenaga ‘menyedot’ luar biasa pada diri Keng Hong sehingga hawa sakti dari tubuh tosu itu mengalir keluar dan pindah ke dalam tubuh pemuda itu!

Pada saat Keng Hong merasa betapa ada hawa panas mengalir dari tangan tosu itu dan menerobos memasuki tubuhnya melalui tangannya tanpa dapat dicegah lagi, dia pun tahu apa yang sedang terjadi dan dia menjadi terkejut sekali. Mula-mula dia mengira bahwa seperti apa yang sudah dilakukan mendiang suhu-nya, tosu penolongnya ini pun hendak mengoperkan sinkang kepadanya, akan tetapi saat melihat wajah tosu itu menjadi pucat, sikapnya yang gugup dan betapa tosu itu dengan sia-sia hendak melepaskan pegangan, dia menjadi kaget bukan main.

Tanpa dia ketahui sendiri, dalam dirinya telah timbul semacam ‘penyakit’ yang tak mampu diobatinya sendiri, yaitu telah timbul semacam daya sedot yang amat hebat dan yang tak dikuasainya. Hal ini terjadi diluar di luar kehendaknya. Dia tidak tahu bahwa ketika Sin-jiu Kiam-ong memaksakan sinkang-nya berpindah ke tubuh muridnya, paksaan yang tidak wajar ini telah mengacau hawa sakti di tubuh Keng Hong dan telah merusak susunannya sehingga menimbulkan kekuatan daya sedot yang amat luar biasa ini.

Dalam bingungnya, Keng Hong juga membetot-betot tangannya sambil mulutnya berkata gagap, "Totiang... lepaskan..., lepaskan tanganku...!"

Selagi mereka berkutetan, masing-masing ingin melepaskan tangan yang saling melekat, beberapa orang tosu yang menjadi sute dari Kiang Tojin, menjadi marah. Mereka ini juga merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, akan tetapi melihat betapa suheng (kakak seperguruan) mereka menjadi makin pucat dan tampak gugup serta bingung, mereka itu sebanyak empat orang sudah melangkah maju menghampiri Keng Hong. Seorang di antara mereka berseru marah.

"Bocah jahat, lepaskan!"

Empat buah lengan yang kuat dan mengandung penuh tenaga lweekang lalu menyentuh tubuh Keng Hong. Dua orang memegang tangannya, dua orang lagi memegang kedua pundaknya. Keng Hong tidak melawan dan dia masih dalam keadaan setengah berlutut.

Namun begitu empat buah tangan itu menyentuh Keng Hong, terdengar seruan-seruan kaget, bukan hanya empat orang tosu itu yang berseru kaget, bahkan Keng Hong juga mengeluh dan berteriak.

"Lepaskan...!"

Ternyata bahwa kini empat orang tosu itu tak dapat melepaskan lagi tangan mereka yang menempel tubuh Keng Hong dan seperti tempat air bocor, sinkang di tubuh mereka juga mengalir dan disedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu!

"Bocah berilmu iblis!" Seorang di antara tosu itu memaki dan dia memukul dengan tangan lain ke punggung Keng Hong.

“Plakkk!” terdengar suara keras, akan tetapi upayanya sia-sia belaka.

Kini tangannya yang sebelah lagi itu pun melekat, maka makin hebatlah tenaga tosu ini tersedot sehingga dia menjadi pucat dan lemas seketika!

Keliru besar kalau mengira bahwa Keng Hong merasa senang menerima terobosan hawa sakti yang berkelimpahan memasuki tubuhnya ini. Tubuhnya menjadi makin panas, tidak karuan rasanya, seolah-olah sebuah bola karet yang terisi angin, tubuhnya terasa seperti akan meledak, dadanya penuh hawa, pusarnya penuh hawa yang menekan-nekan dan memberontak hendak keluar, kepalanya pening sekali dan mukanya menjadi merah bagai udang rebus!

Dia merasa tersiksa sekali, apa lagi karena dia maklum bahwa lima orang tosu itu bisa tewas kalau mereka tidak lekas-lekas dapat melepaskan tangan mereka dari tubuhnya. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya agar dapat terlepas dari mereka! Kalau tadinya dia masih dapat berteriak-teriak minta mereka supaya melepaskan tangan sambil meronta-ronta, kini dia hanya mampu mengeluarkan suara "ah-ah-uh-uh" bagaikan orang gagu.

Keadaan Kiang Tojin beserta empat orang tosu itu lebih menderita lagi. Mereka merasa betapa tenaga sinkang mereka makin lama semakin menipis, tersedot secara ajaib tanpa mereka dapat mencegahnya. Tubuh mereka menjadi lemas, kepala menjadi pening dan pikiran tak dapat dipergunakan dengan baik lagi, membuat mereka menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Siancai... siancai...!" Seruan ini keluar dari mulut Thian Seng Cinjin, seruan yang halus saja dan tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang mendekat.

Kemudian dia menggerakkan kedua tangan setelah menancapkan tongkat di atas tanah. Dengan kedua tangannya dia memegang dua pangkal lengan Keng Hong, lalu merenggut dan menghentak keras.

Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa menariknya, dan tenaga yang jauh lebih kuat dari pada tenaga kelima tosu yang membocor ke dalam tubuhnya ini sudah menghentikan hubungan atau aliran hawa sakti itu, melepaskan dua lengannya sehingga tahu-tahu tubuhnya terlempar sampai sepuluh meter lebih jauh sampai bergulingan.

Keng Hong meloncat bangun, loncatannya amat ringannya dan dia berteriak kaget sebab tubuhnya itu mencelat jauh lebih tinggi dari pada yang dikehendakinya. Tubuhnya terasa seperti penuh dengan hawa yang membuatnya ringan sekali, akan tetapi juga amat berat di sebelah dalam. Hawa yang memenuhi tubuhnya minta dikeluarkan, membuat mulutnya menghembuskan suara mendesis seperti orang yang mulutnya kepedasan!

"Aahhhh... minggir... aaahhhhh... minggir semua...!" pekiknya dengan suara menggereng bagaikan seekor harimau, kemudian tubuhnya sudah melesat ke depan, menuju ke arah pohon-pohon besar.

Para tosu yang menyaksikan keadaannya ini menjadi amat kaget, heran dan juga gentar sehingga otomatis mereka lalu minggir dan menjauhkan diri. Keng Hong hanya merasa bahwa dia harus menyalurkan semua hawa sakti yang kini memenuhi tubuhnya, harus mengeluarkan tenaga yang membuat dadanya serta kepalanya bagaikan akan meledak.

Maka dia terus saja menggunakan kedua kaki tangannya untuk menghajar pohon-pohon yang tumbuh di hadapannya. Dia memukul, menendang dan mendorong. Dengan ngawur saja dia lantas memainkan keseluruhan delapan jurus dari ilmu silat San-in Kun-hoat.

“Dessss… kraaak-kraaaaak... bruuuuk!"

Terdengar suara-suara dahsyat berkali-kali, dan begitu ia selesai mainkan delapan belas jurus Ilmu Silat San-in Kun-hoat maka dia telah merobohkan delapan belas batang pohon besar yang menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang seperti baru saja diamuk topan!

Setelah dapat mengeluarkan sebagian hawa sinkang yang mendesak-desak di tubuhnya itu melalui pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang merobohkan belasan batang pohon, barulah Keng Hong merasa tubuhnya tidak tersiksa lagi. Dadanya dan kepalanya tidak lagi terasa seperti mau meledak, napasnya tidak sesak dan dia seperti baru timbul dari keadaan seorang yang hampir tenggelam ke dalam air yang amat dalam tanpa dapat berenang!

Ia kini menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir sisa kepeningan, lalu memandang ke depan. Ia melihat betapa Kiang Tojin dan empat orang sute-nya sudah duduk bersila mengatur pernapasan serta mengumpulkan tenaga dengan wajah pucat. Teringatlah dia akan semua peristiwa akibat gara-garanya, maka cepat dia menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh penyesalan.

"Saya mohon ampun dari Totiang sekalian...!" Suaranya pilu dan tak terasa lagi pemuda ini menangis sesenggukan!

"Siancai..., engkau bocah telah mewarisi ilmu iblis milik Sin-jiu Kiam-ong, masih baik tidak mewarisi wataknya yang ugal-ugalan. Hatimu masih bersih...!" Thian Seng Cinjin memuji sambil mengelus jenggotnya yang putih.

Tosu tua ini maklum bahwa kalau hati anak muda itu mengandung kekejaman, pasti dia akan kehilangan beberapa orang murid. Mala petaka besar tentu akan timbul kalau saja pemuda itu menyalurkan hawa sinkang yang hebat itu bukan kepada pohon-pohon, akan tetapi kepada manusia.

Kiang Tojin membuka matanya, mulutnya tersenyum sabar tapi pandang matanya penuh kengerian dan juga kekaguman. "Keng Hong, engkau telah mewarisi ilmu yang hebat dan mengerikan..."

"Totiang, saya bersumpah bahwa semua itu terjadi di luar kehendak saya. Sekarang saya mohon kepada Totiang agar Totiang sudi melenyapkan daya sedot yang mencelakakan orang tanpa saya kehendaki ini. Tolonglah, Totiang...!" Pemuda ini merasa tersiksa sekali batinnya dan dia menganggap ilmu kepandaian aneh yang berada di dalam dirinya, daya sedot yang ajaib itu, tidak lain hanya sebagai sebuah penyakit hebat yang menyeramkan dan menjijikkan!

"Keng Hong, tingkat kepandaianku masih belum sampai ke situ, tidak mungkin aku dapat melenyapkan ilmu iblis itu. Entah kalau suhu, barang kali bisa kalau kau suka memohon kepada suhu."

Keng Hong sudah menoleh dan hendak memohon kepada ketua Kun-lun-pai, akan tetapi Thian Seng Cinjin sudah mengangkat tangannya sambil berkata, suaranya halus namun penuh wibawa.

"Ada semacam ilmu hitam yang disebut Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa) yang cara kerjanya juga menyedot kekuatan tubuh lawan. Namun pinto rasa untuk masa kini tak ada lagi yang mempunyai ilmu yang mukjijat itu. Kini secara aneh ilmu itu dimiliki olehmu, Keng Hong. Entah Sin-jiu Kiam-ong sengaja atau tidak telah menurunkan ilmu itu kepadamu. Melihat betapa kau sendiri tidak sadar akan ilmu itu, agaknya dia pun tidak menurunkannya kepadamu dan sudah terjadi keanehan yang sangat ajaib. Engkau bukan anak murid Kun-lun-pai, maka tidak berhak bagi Kun-lun-pai untuk melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu. Pula, melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu berarti membahayakan nyawamu dan nyawa dia yang mengusahakannya. Ilmu tetap saja ilmu, baik buruknya atau hitam putihnya tergantung dia yang mempergunakannya. Walau pun Thi-ki-i-beng kelihatannya ganas dan keji, namun kalau engkau dapat menguasainya dan mempergunakan untuk kebaikan, perlu apa dilenyapkan?" setelah berkata demikian, kakek ini lalu merenung dan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit seperti orang membaca doa.

"Bagaimana, Kiang Totiang...?" sekarang Keng Hong menujukan pertanyaannya kepada penolongnya.

Kiang Tojin tersenyum dan menghela napas. "Tepat seperti yang dikatakan suhu, engkau bukan murid Kun-lun-pai, karena itu kami tidak berhak mencampuri urusan ilmu silatmu. Sekarang, kau pun terpaksa harus meninggalkan pula pedangmu kepada kami."

Keng Hong menarik napas panjang. Tosu-tosu ini terlalu angkuh, pikirnya. Kalau ketuanya tahu akan cara melenyapkan ‘penyakit’ yang berada dalam tubuhnya, kenapa tidak mau menolongnya?

Anak ini memiliki keangkuhan dan tidak sudi merengek-rengek merendahkan diri. Dia lalu mencabut pedang kayu dari pinggangnya dan meletakkannya di depan kaki Kiang Tojin sambil berkata,

"Saya tidak mempunyai niat buruk, kenapa membawa-bawa pedang? Kalau Kun-lun-pai merasa bahwa pedang itu hak mereka, biarlah saya tinggalkan. Selain pedang ini, saya hanya mempunyai pakaian yang saya pakai ini. Apakah ini pun harus ditinggalkan pula?"

Kiang Tojin memandang dengan sinar mata sedih, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Sungguh sayang, Keng Hong. Saat ini hatimu dipenuhi oleh kemarahan dan dendam, engkau masih belum mengerti akan maksud baik kami. Akan tetapi biarlah, kelak engkau akan mengerti sendiri mengapa kami minta kau meninggalkan Siang-bhok-kiam kepada kami."

"Ehh, bocah tolol! Namamu Keng Hong tadi, ya? Kenapa kau begitu tolol menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada para tosu bau itu? Jangan berikan! Kau sudah ditipu, mereka itu menginginkan pedang pusaka itu. Ambil lagi dan lekas pergi! Dengan ilmu kepandaianmu yang mukjijat seperti iblis mereka takkan bisa memaksamu!" Teriakan ini adalah teriakan wanita cantik yang diikat pada pohon.

Kiranya totokan Kiang Tojin yang dilakukan dari jarak jauh tadi tidak lama membuatnya gagu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan pula, melainkan sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.

"Sudah cukup kiranya, Keng Hong. Kami menerima pedang Siang-bhok-kiam dan akan menyimpannya baik-baik. Engkau boleh pergi dengan hati lapang dan ingatlah, engkau tidak boleh datang ke wilayah kami ini tanpa perkenan kami. Apa bila ada keperluan yang memaksamu datang ke wilayah ini, engkau harus datang lebih dahulu ke Kun-lun-pai dan menghadap suhu untuk minta ijin."

Keng Hong mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia menjawab bahwa dia takkan sudi datang ke situ lagi dan tidak akan mengganggu Kun-lun-pai selamanya. Akan tetapi dia melirik ke arah wanita itu dan berkata,

"Maaf, Totiang. Sebelum saya pergi, ada sebuah permintaan saya, harap Totiang sudi mengabulkannya."

"Permintaan apa? Sekiranya patut dan bisa pinto lakukan tentu permintaanmu akan pinto kabulkan."

"Saya mohon kepada Totiang sekalian sudilah kiranya membebaskan wanita itu!"

Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut para tosu, dan hanya Kiang Tojin yang tampak tenang, sedangkan Thian Seng Cinjin tidak peduli, masih berdiri seperti orang termenung dengan kedua mata dipejamkan.

"Keng Hong ada hubungan apakah engkau dengan wanita itu maka kau minta supaya dia dibebaskan?"

"Tanpa alasan apa-apa, Totiang, hanya dilandasi perasaan yang sama seperti perasaan mendiang suhu ketika menolong Kun-lun-pai yang diserbu oleh kaum sesat!"

"Apa? Apa maksudmu?" Kiang Tojin memandang heran.

"Totiang, menurut cerita suhu, suhu menolong Kun-lun-pai juga hanya dilandasi perasaan kasihan melihat pihak yang ditindas dan diancam. Suhu tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Kun-lun-pai, akan tetapi suhu tetap menolongnya. Saya pun tidak mempunyai hubungan dengan wanita ini, akan tetapi melihat dia terancam bahaya di sini, perasaan saya yang mendorong saya untuk menolongnya."

"Ahh, akan tetapi hal itu jauh sekali bedanya, Keng Hong. Dulu gurumu membantu kami melawan golongan hitam, kaum sesat dan orang jahat. Sebaliknya, kau harus tahu bahwa wanita itu bukan orang baik-baik, bahkan kedatangannya memiliki niat buruk terhadapmu, untuk merampas Siang-bhok-kiam..."

"Bohong! Tosu tua bangka bau! Bohong...!" wanita itu memaki.

Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya Totiang tak dapat mengenal watak suhu. Saya yakin bahwa suhu bukan mendasarkan pertolongannya atas baik dan buruk, karena menurut wejangan suhu, bagi suhu dan saya, baik dan buruk itu tidak ada, yang ada hanyalah pendapat orang yang selalu tidak adil karena menurutkan kepentingan diri pribadi."

"Ehh, apa maksudmu?"

"Pandangan baik dan buruk oleh pendapat manusia adalah miring dan berat sebelah, Totiang, dipengaruhi oleh nafsu pribadi demi kepentingan diri sendiri. Apa bila seseorang melihat orang lain yang menguntungkan dia, juga bersikap menyenangkan hatinya, maka serta-merta dia akan menganggap orang itu baik! Sebaliknya kalau dia melihat orang lain merugikannya, memusuhinya dan tak menyenangkan hatinya, maka tanpa ragu-ragu lagi akan menganggap orang itu jahat! Karena itu, saya seperti suhu tidak percaya dengan pandangan orang tentang baik dan jahat dan saya menolong wanita ini hanya terdorong oleh perasaan ingin menolong, kasihan melihat dia terancam bencana di sini. Bagaimana, Totiang? Permintaan Kun-lun-pai untuk meninggalkan pedang telah saya penuhi, apakah Kun-lun-pai demikian pelit untuk menolak permintaanku yang tidak sama sekali terdorong keinginan menguntungkan diri sendiri ini?" Dengan kalimat terakhir ini terkandung ejekan bahwa Kun-lun-pai minta pedangnya dengan dasar ingin untung sendiri!

Kiang Tojin tercengang. "Pendapat keliru..., wawasan yang menyeleweng..."

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian Seng Cinjin yang halus, "Bocah ini kelak lebih menggegerkan dari pada Sin-jiu Kiam-ong. Bebaskanlah wanita itu dan lekas suruh anak ini pergi, lebih cepat lebih baik!"

Kiang Tojin memberi tanda dan dua orang tosu segera menghampiri wanita itu hendak melepaskan ikatannya. Akan tetapi sekali bergerak, wanita itu ternyata telah meloloskan tangan kakinya dari ikatan tanpa mematahkan ikatan itu. Dia meloncat dan memandang ke arah Keng Hong dengan senyum mengejek.

"Bocah tolol! Cih, tolol dan goblok, dasar anak dusun!" Setelah berkata demikian, wanita itu membanting-banting kaki kanannya lalu berkelebat cepat pergi meninggalkan tempat itu.

Keng Hong tidak peduli. Ia lantas berlutut menghaturkan terima kasih kepada para tokoh Kun-lun-pai, kemudian berdiri dan pergi meninggalkan pegunungan Kun-lun-pai dengan wajah berseri.

Dia setengah memaksa diri untuk bergembira, berjanji di dalam hatinya untuk menempuh hidup dengan cara gurunya, yaitu tetap bergembira, tidak memusingkan masa depan. Dia akan hidup seperti gurunya, yaitu menghadapi bayangan masa depan yang bagaimana pun selalu gembira dan dengan tekad: Bagaimana nanti sajalah…..

********************

"Heii, tolol! berhenti dulu!"

Keng Hong menghentikan langkahnya. Dia telah jauh meninggalkan Kun-lun-san dan kini berada di sebuah hutan yang tidak lagi menjadi daerah Kun-lun-san. Tanpa menoleh dia sudah mengenal suara itu, suara yang nyaring merdu dan galak, suara wanita cantik jelita yang telah dibebaskan oleh para tosu Kun-lun-pai.

"Kau mau apakah?" tanyanya sambil berdiri tegak tanpa menoleh.

"Waduh sombongnya! Orang tolol masih bisa bersikap sombong ya?"

"Aku tidak merasa sombong, walau pun mungkin kau benar bahwa aku tolol," jawabnya sabar sambil tersenyum. Gembira! Harus menghadapi segala sesuatu dengan gembira, betapa pun menyakitkan hati dan pahitnya maki-makian itu.

"Walah-walah, malah senyum-senyum! Kau bicara tanpa melihat aku, bukankah itu sikap sombong, sikap orang berkepala angin, memandang orang lain seperti rumput saja? Jika tidak sombong, lihatlah ke sini. Benci aku melihat orang diajak bicara kok menengok pun tidak!"

Keng Hong tertawa. Betapa pun galaknya, ucapan orang itu dia anggap jenaka dan lucu, juga segar dan menyenangkan hatinya. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan melihat penegurnya itu duduk di atas rumput hijau di bawah sebatang pohon sambil makan paha besar seekor ayam hutan. Daging paha itu masih mengepul panas, juga api unggun untuk membakar daging itu masih menyala.

"Nah, aku sudah memandangmu sekarang. Kau mau bicara apakah?"

"Wah, memang sombong dan angkuh! Apakah karena engkau telah minta tosu-tosu bau itu membebaskan aku lalu engkau boleh bersikap angkuh seperti ini?"

"Ehh..., adik yang baik..."

"Cih! Aku bukan adikmu!"

"Cici yang baik..."

"Siapa sudi menjadi kakak perempuanmu?"

Keng Hong merasa bohwat (kehabisan akal). "Habis, harus kusebut apa?"

"Panggil aku nona!"

"Wah, nona...?"

"Habis, aku masih gadis, kalau tidak disebut nona, masa engkau hendak menyebut aku nyonya besar?" Gadis itu merengut, bibirnya yang merah itu berlepotan minyak gajih dari paha ayam, mukanya coreng moreng terkena hangus, kelihatan makin cantik dan lucu sehingga kembali Keng Hong tertawa.

"Baiklah, Nona. Engkau memaki aku sombong dan angkuh berkali-kali, karena aku tidak mau menengok. Setelah aku menengok, kau masih memaki aku angkuh. Habis aku kau suruh bagaimana supaya tidak kau maki angkuh?"

"Aku mau berbicara denganmu, duduklah di sini dan jangan berdiri pringas-pringis seperti monyet mencium ikan asin!"

Keng Hong mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. Selamanya baru sekali ini ia bicara dengan gadis, apa lagi gadis yang begini lincah. Ia tertarik sekali, akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian teringat dia akan watak suhu-nya, maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu.

Dalam beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk makan paha ayam panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus kemerahan, cantik jelita dengan bentuk wajah bulat telur. Rambut hitam gemuk yang kacau dan tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata yang jeli, lebar dan jernih sekali, dengan kerling yang sangat tajam, mata yang aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan gembira, berani, menantang dan merenung di dalamnya.

Hidung kecil mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang pernah dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seakan-akan sepasang bibir itu mudah pecah, berwarna kemerahan dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing, jelas menambah kemanisan.

Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan mewah, tapi potongannya amat ketat sehingga membayangkan dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar. Kulit yang mengintai dari balik leher baju, dari lengan, tampak halus dan putih sekali.

Beginikah wanita cantik yang suka disebut-sebut suhu-nya dan diumpamakan setangkai bunga yang harum? Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang laksana bunga sehingga membuat hati ini kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin memandang dan menikmati keindahannya.

"Mungkin aku seperti monyet, akan tetapi saat ini sama sekali aku tak mencium bau ikan asin, melainkan mencium bau sedap gurih daging panggang!"

"Kau kepingin?" Gadis itu menghentikan gigitannya. Mulutnya yang penuh dengan daging itu mengunyah perlahan, matanya mengerling Keng Hong.

Pemuda remaja ini memandang mulut yang sedang mengunyah itu. Tanpa terasa lagi dia menelan ludah dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia lalu mengangguk sambil kembali menelan ludah.

"Kalau kepingin, ambillah. Kau tunggu apa lagi? Jangan malu-malu kucing, kalau kepingin mengapa tidak ambil dan makan sejak tadi?"

"Ahh, tapi daging itu punyamu..."

"Siapa bilang punyaku? Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!"

"Tapi kau yang menangkap dan memanggangnya..."

"Sudahlah, cerewet benar sih engkau ini! Ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara saja mana bisa kenyang?"

Meski ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan rasa gembira di hatinya. Cocok benar dengan watak suhu-nya. Bagaimana jika suhu-nya yang bertemu dengan gadis seperti ini?

Dia segera menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging itu. Benar lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat lapar.

Setelah habis semua makanan, gadis itu lalu mengeluarkan seguci air dingin dan minum dengan cara menggelogoknya dari mulut guci. Air minum memasuki mulut yang kecil itu, ada yang tumpah membasahi pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan menyerahkannya kepada Keng Hong.

Pemuda yang mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci, akan tetapi dia merasa ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu masih berlepotan minyak gajih, tentu ketika bibir guci tadi bertemu dengan bibir si gadis.

"Mana cawannya? Kupinjam sebentar untuk minum!"

"Tidak punya cawan!"

"Habis bagaimana minumnya?"

"Tuang saja, seperti aku "

"Tapi... tapi... bekasmu..."

Gadis itu meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong dengan mata terbelalak.

"Kau... kau menghina aku, ya? Tolol kurang ajar!"

Keng Hong juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia betul-betul merasa tolol berhadapan dengan nona ini. "Menghina...? Aku... aku tidak... ehh, apa sih maksudmu?"

"Kau jijik ya minum secara menggelogok seperti aku? Kau tidak sudi ya karena bibir guci itu berbekas mulutku? Kau kira aku ini penderita sakit paru-paru atau batuk kering? Kau jijik?"

"Wah-wah-wah, harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan... bukan begitu, hanya... aku tadi khawatir kau tidak suka..."

"Tidak suka apanya? Kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi! Sialan bertemu laki-laki sepertimu!"

Keng Hong tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau wanita ini dilayani, bisa habis dia dimaki-maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan menuang air ke dalam mulutnya, tidak peduli bibirnya bertemu dengan bekas bibir wanita itu. Air yang jernih dan sejuk.

"Terima Kasih," katanya sambil mengembalikan guci air.

"Kenapa sedikit amat minumnya? Apakah kau takut kalau minuman ini kucampuri racun?" Sambil berkata demikian, gadis itu kembali minum dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih lagi.

Heran sekali hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang tadi diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa mendongkol juga mendengar ucapan itu. Betul-betul wanita yang wataknya mau menang sendiri saja. Masa apa yang dia kerjakan selalu disalahkan? Tidak mau minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-bukan. Ia menjadi gemas dan andai kata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer telinganya!

"Aku tidak takut kau beri racun," jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka sambil melanjutkan, "Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan apakah?"

Sampai lama gadis itu tak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh perhatian. Pemuda itu tahu akan hal ini sebab dia mengerling dari sudut matanya. Melihat gadis itu terus memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang matanya.

Kemudian terdengar gadis itu bertanya, "Namamu siapa tadi? Dan berapa usiamu?"

"Cia Keng Hong... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun."

"Hemmm..., dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong? Heran benar aku..."

"Mengapa heran?"

"Seorang tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol seperti engkau?"

Makin panas rasa perut Keng Hong. Terlalu benar perempuan ini, pikirnya. "Kalau sudah tahu aku tolol, kenapa engkau menghentikan aku?"

Sampai lama wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, tawa cekikikan. "Ehh, kau marah?"

Hemmm, benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau tidak ingat bahwa dia itu seorang wanita tentu sudah ditamparnya. Dia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya.

"Ahh, kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau marah!"

Digoda terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat untuk balas memaki. Akan tetapi melihat mata yang bening dan indah itu, mulut yang manis tersenyum, dia menjadi tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan muka lagi.

"Kau memang tolol. Jika kau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau itu."

"Itu adalah hak mereka dan aku tak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah tosu-tosu yang bijaksana dan baik, permintaan mereka patut dipatuhi. Pula, tak mungkin menggunakan kekerasan menentang. Mereka amat lihai, terutama sekali Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai."

"Kau penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti engkau! Padahal menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa, tak mengenal takut terhadap siapa pun juga dan amat cerdik."

Keng Hong menarik napas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak pernah mengenal takut. "Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapa pun juga, dan tentang kebodohan... hemm, tentu saja aku tidak secerdik suhu."

Sunyi yang agak lama. Keng Hong menunduk sebab teringat akan suhu-nya dan mulailah hilang kegembiraannya. Pada hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini, telah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Apa bila begini terus nasibnya, bertemu seorang wanita saja selalu mengejek dan memakinya, mana mungkin dia dapat meniru watak suhu-nya yang menghadapi segala sesuatu dengan gembira. Betapa mungkin bisa bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita cantik jelita mencemoohkan dan memaki-makinya?

"Keng Hong..."

Pemuda itu terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya? Suaranya begitu halus dan dia terkejut juga dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri.

"Hemm...?" Ia menengok dan makin gugup melihat betapa kedua mata itu memandang dirinya tajam-tajam dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja sebab bibir yang merah itu segera cemberut lagi. "Kau memanggilku?"

"Kau laki-laki canggung benar..."

"Sudahlah, Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa..."

"Engkau marah?"

"Tidak"

"Engkau memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya... ahhh, apakah kau tidak ingin tahu siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?"

Baru sekarang Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian, "Siapakah nama Nona?"

Gadis itu menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar amat canggung dan gugup sehingga kelihatan lucu. "Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?"

"Bagus... bagus...," jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar nona itu terus bercerita.

"Hi-hi-hik, kau ternyata pandai juga memuji..."

"Ehh..., aku... ahhh, teruskanlah, Nona."

"Aku mendengar tentang keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san yang disebut Kiam-kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam yang sangat diinginkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."

"Termasuk engkau sendiri, nona."

"Tentu saja! Apa kau kira aku ini anak kecil yang suka menonton keramaian begitu saja? Dan aku malah berhasil sekali, lebih berhasil dari pada mereka yang memakai kekerasan. Mereka itu semua terusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, belasan orang gagah di dunia kang-ouw, sama sekali tak berhasil, melihatnya pun tidak! Aku sengaja membiarkan diriku tertangkap oleh tosu-tosu bau itu. Memang harus diakui bahwa kalau aku melawan, tidak akan mampu mengalahkan tosu-tosu yang demikian banyak, apa lagi tosu she Kiang dan gurunya itu amat lihai. aku sengaja menjadi tawanan dan akalku berhasil memancing kau datang karena jeritan-jeritanku. akan tetapi siapa kira, karena ketololanmu kau serahkan pedang itu begitu saja!"

Mulai lagi maki-makian! Sekarang mengertilah Keng Hong mengapa gadis ini telah dapat meloloskan diri dari ikatan kaki tangannya sebelum dilepaskan. Kiranya gadis itu memang sengaja membiarkan dirinya ditawan. Benar-benar seorang gadis yang cerdik sekali, dan juga penuh keberanian.

"Untuk apakah engkau menginginkan pedang Siang-bhok-kiam, nona?"

"Eh-ehh-ehh, masih bertanya untuk apa lagi? Tentu saja untuk mendapatkan rahasianya. Keng Hong, katakanlah terus terang, apakah engkau sudah mendapatkan pula rahasia penyimpanan kitab-kitab pusaka yang terdapat di pedang itu?"

Pandang mata itu penuh gairah, agaknya gadis ini bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab-kitab pusaka simpanan Sin-jiu Kiam-ong.

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Belum dan agaknya tak akan dapat kutemukan. Aku pun selamanya tidak ingin kembali ke Kun-lun-san. Nona, mengapakah mereka itu semua memperebutkan rahasia itu? Sampai mati-matian dan saling bermusuhan?"

Gadis itu menggerakkan alisnya dan memandang pemuda ini dengan terheran. "Engkau benar-benar masih hijau! Sudahlah, yang penting sekali ini ceritakan kepadaku ilmu apa saja yang kau pelajari dari Sin-jiu Kiam-ong? Tadi kulihat engkau menggunakan ilmu yang mukjijat, kau pandai menyedot sinkang orang lain, bahkan Kiang Tojin yang begitu lihai hampir mampus di tanganmu. Ilmu apakah itu? Sukakah kau menceritakannya padaku?" Tiba-tiba saja sikap gadis ini manis sekali. Wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum.

Keng Hong hanya dapat menggelengkan kepalanya saja, kemudian melihat wajah cantik itu menjadi murung dia pun cepat berkata, "Sungguh mati, aku sendiri tidak mengerti. Aku sendiri membenci penyakit yang ada pada tubuhku ini. Aku tidak mempelajari apa-apa kecuali dasar-dasar ilmu silat serta beberapa pukulan dan permainan pedang. Apa bila dibandingkan dengan orang lain, tentu tidak ada artinya."

"Hemm, engkau pandai merendahkan diri dan bersikap sungkan, alangkah jauh bedanya dengan gambaran mengenai gurumu!" Akan tetapi kegalakan ini segera berubah lagi, kini gadis itu tersenyum manis, dan membuka tutup guci hendak diminumnya. Akan tetapi dia mengerutkan kening dan berkata seorang diri, "Ahh, air ini kurang sedap!"

Dia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan ketika dibuka, ternyata berisi daun-daun dan kembang-kembang kering. Dia menuangkan sebungkus daun dan kembang kering ini ke dalam guci airnya, lantas dikocoknya guci itu sambil memandang kepada Keng Hong. Ditatap sepasang mata seperti itu, Keng Hong menjadi tak enak hati kalau berdiam diri saja maka dia bertanya,

"Apakah yang kau masukkan dalam air minum itu?"

"Daun wangi dan kembang harum, pengganti teh yang sangat lezat dan sedap!" jawab gadis itu sambil menggelogok air dari guci seperti tadi. Segera tercium bau yang harum keluar dari mulut guci. Selesai minum gadis itu lalu menyerahkan gucinya kepada Keng Hong sambil berkata, "Kau minumlah."

Keng Hong menggelengkan kepala. "Aku tidak haus."

"Ehh, walau pun tidak haus, air ini sekarang sudah menjadi minuman enak. Coba cium, tidak harumkah?"

Gadis itu mendekatkan mukanya kemudian membuka mulutnya, menghembuskan napas ke arah muka Keng Hong. Pemuda itu terkejut sehingga mukanya terasa panas sekali, jantungnya berdebar tegang. Ia merasa canggung dan juga jengah.

"Apakah kau takut kalau air ini kucampuri racun?"

Untuk mencegah gadis itu melakukan hal-hal aneh yang lebih hebat lagi, tanpa banyak cakap Keng Hong segera menerima guci air dan menggelogoknya. Memang harum dan terasa agak manis, akan tetapi mulut dan lidahnya yang terlatih mendadak merasakan sesuatu yang tidak asing baginya. Racun! Racun yang amat kuat dan jahat!

Tetapi dia cepat-cepat dapat menekan perasaannya, tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, bahkan lalu terus menuangkan air beracun itu hinggahabis berpindah ke dalam perutnya! Gadis itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar pada saat dia menurunkan guci kosong dan berkata, "Lezat sekali!"

Sambil tersenyum-senyum gadis itu kini mengambil sesuatu dan karena yang diambilnya itu agaknya berada di saku dalam dari bajunya, ia lalu membuka dua kancing baju bagian atas. Cara ia membuka kancing secara terang-terangan begitu saja di depan Keng Hong, dengan gaya memikat dan manis sekali.

Keng Hong terbelalak, lebih merasa heran dari pada terkejut dan jengah, melihat betapa bagian atas baju itu terbuka memperlihatkan pakaian dalam yang berwarna merah muda dan sebagian dada yang mencuat. Gadis itu merogoh ke balik baju yang menutup dada lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah. Pada waktu dibuka, ternyata bungkusan itu berisi belasan butir pil merah.

Ia mengambil dua butir dan segera menelannya. Ia lalu mengembalikan bungkusan itu ke balik bajunya, kemudian seakan terlupa, gadis itu tidak mengancingkan kembali bagian atas bajunya terbuka itu. Keng Hong terpaksa menundukkan muka agar matanya jangan melihat tonjolan dada yang berkulit putih halus itu.

"Keng Hong, lihatlah kepadaku!"

Terpaksa pemuda itu mengangkat mukanya memandang, berupaya mengusir ketegangan dan kebingungan hatinya. Gadis jelita ini jelas berusaha hendak meracun dirinya. Apakah maksudnya? Kenapa hendak membunuhnya? Ia tahu bahwa racun itu dapat membunuh seorang lawan yang betapa pun kuatnya.

"Lihat baik-baik, Keng Hong. Tidak indahkah rambutku? Tidak cantikkah wajahku? Cantik sekali, bukan?" Gadis itu tersenyum-senyum dan mengerlingkan matanya, bergaya sambil menggerak-gerakkan mukanya supaya dapat terpandang oleh pemuda itu dari depan, kiri dan kanan.

"Hemm, begitulah...," jawab Keng Hong yang masih mencari-cari sebab perbuatan gadis itu. Dia kini dapat menduga bahwa pil merah tadi merupakan obat pemunah racun karena si gadis tadi pun minum air beracun.

"Lihatlah baik-baik dan pandanglah…, apakah kulitku tidak halus dan putih bersih, Keng Hong?" Suaranya kini sangat halus merdu, penuh nada merayu dan tangannya sengaja menyingkap baju atasnya agar belahan dada itu tampak makin nyata.

Keng Hong menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang dan dia cepat-cepat menekan dengan kekuatan batinnya. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami hal seperti ini, dalam mimpi pun belum!

Gadis yang bernama Bhe Cui Im itu kini bangkit berdiri, gerakannya lemah gemulai, leher, pinggang dan lututnya melenggak-lenggok mengingatkan Keng Hong akan gerakan tubuh seekor ular.


"Pandanglah baik-baik, orang muda remaja! Tak indahkah bentuk tubuhku? Lihat dadaku, pinggangku, pinggulku..."

"Hemm, agaknya begitulah...!" hanya demikian Keng Hong dapat berkata karena tiba-tiba kerongkongannya seperti menjadi kering kembali, seperti orang kehausan.

"Aku masih muda, cantik jelita, bertubuh menggiurkan! Aku seorang gadis yang sangat menarik hati, bukan?"

"Hemm…, begitulah!"

Tiba-tiba saja Cui Im menghentikan gayanya dan dengan kasar dia duduk di depan Keng Hong. Senyum manis dan kerling mata tajam kini telah lenyap dan gadis itu mengerutkan keningnya dengan bayangan hati kesal.

"Begitulah! Begitulah! Begitulah! Apakah tidak bisa berkata lain, hai orang dungu? Sin-jiu Kiam-ong kabarnya adalah pria tukang merayu wanita nomor satu di dunia, ahli merayu dan mencumbu wanita. Apakah gurumu yang... terkutuk itu tak mengajarkan kepandaian merayu wanita kepadamu, heh, bocah tolol?"

Keng Hong tersenyum. Kini dia mulai mengenal wanita ini. Wanita yang cantik jelita, akan tetapi sekaligus wanita yang sangat berbahaya, seperti seekor ular berbisa. Timbul pula kegembiraan hatinya karena terhadap seorang wanita seperti ini, dia tidak perlu bersikap canggung, malu-malu atau takut-takut. Ia menggeleng kepala dan tersenyum mengejek.

"Kau sudah mau mampus, tahukah? Kau calon bangkai makanan cacing! Hendak kulihat ke mana perginya wajahmu yang tampan itu jika nanti sudah digerogoti cacing. Kau tahu bahwa kau sudah minum racun? Di dalam air tadi, tolol, terdapat racun yang mematikan. Racun bunga Siang-tok-hwa (Bunga Racun Wangi) yang kini sudah memasuki perutmu dan segera akan menghancurkan ususmu, membuat isi perutmu menjadi busuk. Tahukah engkau? Dan obat pemunahnya hanya berada padaku, obat pemunah pil merah seperti yang kutelan tadi. Kalau kau tidak kutolong, nyawamu pasti akan melayang dalam waktu dua puluh empat jam! Nyawamu berada di tanganku sekarang, mengerti?"

Keng Hong mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang, teringatlah dia bahwa racun yang tak asing baginya itu adalah Siang-tok-hwa. Tentu saja dia mengenalnya baik-baik, dan tadi dia terlupa karena terpesona oleh sikap dan gaya gadis luar biasa ini.

"Cui Im, apakah kehendakmu? Apakah maksudnya semua ini? Kenapa kau meracuniku?"

"Karena tolol engkau menjadi menyebalkan. Segala apa tidak mengerti. Otakmu tumpul benar dan perlu dicuci! Tentu saja nyawamu kucengkeram untuk ditukar dengan rahasia barang pusaka gurumu yang... terkutuk!"

"Diam dan jangan memaki mendiang suhu atau... aku tidak akan sudi melayanimu bicara lagi!"

Terbelalak mata gadis itu mendengar bentakan yang tak disangka-sangkanya akan dapat dikeluarkan oleh mulut pemuda tolol itu. Akan tetapi hanya sebentar karena dia mengira bahwa hal itu timbul karena kebaktian bocah ini terhadap mendiang gurunya.

"Engkau sudah menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau Kun-lun-pai. Akan tetapi pedang itu tidak ada artinya bagiku. Belum tentu dapat menangkan pedangku ini!" Gadis itu meraba pinggangnya dan...

"Swingggg...!"

Tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Kiranya pedang itu amat tipis, terbuat dari pada baja lemas sehingga dapat dipergunakan sebagai sabuk! Kini gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke depan dada Keng Hong.

"Aku tak butuh Siang-bhok-kiam! Yang kubutuhkan adalah semua kitab-kitab pusaka dan barang-barang mustika peninggalan suhu-mu. Engkau turun dari Kiam-kok-san dengan hanya membawa pedang, berarti bahwa pusaka-pusaka warisan itu masih belum kau bawa turun. Kau antar aku ke sana, berikan semua itu kepadaku, tunjukkan rahasianya, dan mungkin nyawamu akan kubebaskan, dan selain itu... hemmm, kalau kau tidak terlalu tolol, kita dapat menjadi sahabat baik!"

Keng Hong bukan seorang bodoh sungguh pun kelihatannya dia ketolol-tololan. Dia telah diracun, akan tetapi racun yang ada obat pemunahnya pada gadis itu. Berarti bahwa dia tak akan dibunuh. Gadis ini menghendaki barang-barang pusaka gurunya, tentu saja tak akan membunuhnya, melainkan hendak memaksanya dengan jalan meracuninya.

Benar-benar seorang gadis yang berhati kejam! Mengapa ada seorang gadis cantik jelita seperti ini berhati sekejam itu? Dia merasa sangat penasaran dan perasaan inilah yang mendorongnya hendak menyaksikan lebih lanjut sampai di mana kekejaman gadis ini dan apa yang akan dilakukan atas dirinya.

"Aku tidak pernah menerima warisan pusaka-pusaka yang kau maksudkan, dan aku pun tidak tahu rahasianya."

"Kau masih berani menyangkal dan menolak permintaanku? Kau murid tunggalnya, tidak mungkin kau tidak mewarisi pusaka-pusaka itu, apa lagi Siang-bhok-kiam telah diberikan kepadamu. Ingat, nyawamu berada di tanganku, tahu? Andai kata engkau memberontak, engkau pun tidak akan mampu menandingi pedangku. Andai kata kau mempergunakan ilmu mukjijatmu dan berhasil melarikan diri, dalam waktu sehari semalam ususmu sudah hancur berantakan dan nyawamu pun takkan tertolong. Jangan bodoh, Keng Hong. Lebih baik engkau menuruti permintaanku agar engkau tetap hidup dan menikmati kesenangan bersama aku."

"Cui Im, engkaulah yang bodoh dan mengecewakan hati. Mengapa engkau menurutkan nafsu buruk hendak menginginkan barang milik orang lain? Apa bila engkau suka menurut nasehatku, insyaflah dan sadarlah bahwa engkau terseret oleh nafsumu menuju ke jurang kesesatan. Urungkan niatmu yang buruk itu karena sesungguhnya aku benar-benar tidak pernah melihat di mana adanya pusaka-pusaka peninggalan suhu-ku. Aku tidak berhasil mencarinya dan aku tidak berbohong."

"Kalau begitu, biar aku melihat engkau mampus dengan isi perut berantakan!" bentak Cui Im dengan suara marah dan kecewa sekali.

Mendadak terdengar suara bentakan keras "Tidak boleh dibunuh begitu saja, Tok-sian-li (Dewi Beracun)!" Dan tampak bayangan orang berkelebat.

"Benar sekali, tidak boleh dibunuh sebelum menyerahkan pusaka peninggalan Kiam-ong kepadaku!" berkelebat pula bayangan lain.

Kiranya yang muncul ini adalah dua orang tua yang pernah dilihat Keng Hong pada lima tahun yang lalu. Mereka berdua itu adalah dua di antara sembilan orang sakti yang dulu pernah menyerbu Sin-jiu Kiam-ong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar