Pendekar Dari Hoa-San Chapter 13 Pemuda Gagah Berhati Lemah

Dengan amat ramah tamah, Ong Hwat Seng lalu memberi perintah kepada para pelayan menyediakan dua buah kamar untuk Ciauw In dan Sian Kim. Gadis itu mendapat sebuah kamar yang sangat indah dan mewah, karena inilah kamar Hwat Seng sendiri yang dia berikan kepada nona manis itu. Sedangkan Ciauw In mendapat sebuah kamar di ruang belakang, agak jauh dari kamar Sian Kim. Kemudian dia mendatangkan seorang tabib yang terkenal pandai di kota Ouw-san untuk merawat luka di pundak Sian Kim yang biar pun terasa sakit, akan tetapi sebetulnya tidak berbahaya.

Ciauw In dan Sian Kim mendapat pelayanan yang luar biasa manisnya dari Hwat Seng, bahkan setiap hari kedua orang tamu itu mendapat jamuan makan yang serba mewah. Sian Kim nampak kerasan dan senang sekali tinggal di rumah gedung yang indah itu, dan wajahnya selalu berseri-seri. Dia tidak banyak berbicara dengan Ciauw In, bahkan hanya bertemu pada waktu makan, bersama dengan tuan rumah, atau bercakap-cakap di ruang tamu yang terhias perabot-perabot mahal dan indah.

"Lie-heng dan Gu-siocia," kata Hwat Seng pada hari kedua, pada saat mereka sedang menghadapi meja makan yang penuh dengan hidangan serba mahal. "Semenjak turun dari Kui-san, tiada henti-hentinya aku mengagumi kalian karena aku pun telah mendengar betapa Lie-heng (saudara Lie) yang keluar sebagai pemenang dan juara. Nama Hoa-san Taihiap sudah kudengar dan membuat hatiku sangat kagum! Juga aku telah mendengar akan kelihaian Gu-siocia yang boleh dibilang menduduki tempat kedua. Sudah lama aku merasa rindu dan ingin bertemu, siapa tahu sekarang kita dapat bertemu dan bahkan makan di satu meja dan tidur di bawah satu wuwungan! Ahhh, bukankah ini namanya jodoh? Kuharap saja jiwi (kalian berdua) suka tinggal lebih lama di rumahku yang buruk ini untuk bercakap-cakap."

“Kau baik sekali, saudara Ong. Akan tetapi, kami berdua masih memiliki banyak urusan, maka sesudah nona Gu sembuh, terpaksa kami bermohon diri melanjutkan perjalanan," kata Ciauw In.

“Ah, kenapa terburu-buru?” Hwat Seng berseru kaget. "Ketahuilah Lie-heng, bahwa pada waktu ini menurut penyelidikan orang-orangku kalian berdua sudah menjadi pembicaraan orang. Semua petugas dan alat negara telah dikerahkan untuk mencari dan menangkap kalian berdua. Malah tidak itu saja, bahkan orang-orang kang-ouw yang menjadi sahabat-sahabat baik dari Hui Kok Losu dan Lui-cin-tong Ma Sian yang tewas dalam tangan kalian itu, kini keluar pula untuk mencarimu dan membalas dendam. Hal ini berbahaya sekali. Kalau jiwi tinggal di sini, kutanggung takkan ada orang yang berani datang mengganggu karena tak akan ada yang menaruh curiga kepadaku, sedangkan para pelayanku dapat dipercaya sepenuhnya. Kelak, kalau keadaan sudah tidak demikian panas lagi dan nafsu mereka telah menjadi dingin, barulah kalian boleh melanjutkan perjalanan sebab bahaya tidak begitu besar lagi.”

Sebelum Ciauw In menjawab, Sian Kim mendahuluinya.

"Memang betul juga ucapan Ong-siauwte ini. Lie-twako, terpaksa kita harus menurut pada petunjuknya." Kemudian, sambil memandang kepada tuan rumah yang muda lagi tampan itu dengan sepasang matanya yang indah serta bening, nona baju hitam itu pun berkata. “Ong-siauwya, budimu sungguh besar, entah bagaimana kami harus membalasnya.”

Hwat Seng tertawa senang dan mainkan bibirnya untuk menambah kegagahan mukanya.
"Siocia, jangan bicara tentang budi, membikin aku merasa tidak enak saja!”

Sesudah berkata demikian, dengan ramah tamah dia lalu mempersilakan kedua orang tamunya mengambil makanan yang lezat-lezat.

Telah sepekan lamanya Ciauw In dan Sian Kim tinggal di gedung itu. Makin lama, hati Ciauw In makin merasa tidak enak dan tidak senang. Ia ingin cepat-cepat pergi dari situ untuk melakukan perjalanan bersama Sian Kim, untuk dapat berdua saja dengan yang dicintainya itu.

Di dalam gedung ini ia merasa seakan-akan ia dipisahkan dari Sian Kim. Bahkan sudah dua hari ini ia jarang bertemu kekasihnya dan seakan-akan gadis itu sengaja menjauhkan dirinya. Juga Ong Hwat Seng jarang muncul, kecuali di waktu makan.

Pada saat mereka makan bersama pun, Sian Kim dan Hwat Seng nampak pendiam dan tidak banyak bicara. Akan tetapi, yang membuat hati Ciauw In merasa semakin gelisah adalah sinar mata Sian Kim yang bersinar-sinar pada waktu gadis itu mengerling ke arah tuan rumah!

Pada malam hari ke delapan, Ciauw In merasa gelisah. Kamar yang lega itu nampak sempit baginya dan keindahan kamar berubah menjadi amat membosankan hatinya. Dia merasa rindu sekali kepada Sian Kim biar pun gadis itu berada di bawah satu wuwungan dengannya.

Ia tak dapat tidur dan segera keluar dari kamar, berjalan-jalan sepanjang deretan kamar dan ruang yang sangat luas di gedung. Maksudnya hendak mencari pintu belakang dan masuk ke dalam taman bunga besar yang berada di belakang gedung itu.

Ketika ia lewat di depan sebuah kamar di bagian belakang, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis. Ciauw In merasa heran sekali dan dia berhenti melangkah, mendekati pintu kamar itu kemudian memasang telinga baik-baik. Terdengar olehnya betapa suara tangisan itu disertai keluhan yang amat sedih.

"Suamiku... tidakkah rohmu melihat betapa anakmu menjadi tersesat...? Lindungilah dia dan insyafkanlah hatinya... suamiku, kalau Hwat Seng tidak segera insaf... dia tentu akan mengalami mala petaka... dan aku... aku yang disia-siakannya... aku tetap tidak tega...”

Kemudian terdengar lagi suara wanita itu menangis

Ciauw In merasa heran sekali dan tak terasa pula ia mendorong daun pintu yang ternyata tak terkunci dari dalam. Ketika daun pintu terbuka, ia melihat seorang wanita tua, sedang berlutut di depan meja sembahyang di dalam kamar itu. Sepasang lilin nampak bernyala di atas meja sembahyang dan kamar itu penuh dengan asap hio yang aromanya harum.

Saat mendengar kedatangan orang, wanita itu segera berdiri dan memandang. Ketika ia melihat Ciauw In, matanya mengeluarkan sinar marah. Dengan gemetar tangannya lalu menuding kepada pemuda itu dan ia berkata,

"Kau... kau penjahat yang meracuni anakku... apakah kau datang hendak membunuhku dan merampas harta benda kami?"

Bukan main kaget hatinya ketika Ciauw ln mendengar tuduhan ini, maka ia lalu menjawab dengan gagap.

“Lo-hujin, kau tentu ibu dari saudara Ong Hwat Seng," ia lalu menjura memberi hormat, "akan tetapi mengapakah kau marah-marah kepadaku? Aku bukan orang jahat dan aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun juga..."

“Bohong! Kau datang membawa perempuan jahat untuk memikat hati puteraku hingga ia tergila-gila. Mereka main gila di dalam rumahku yang bersih! Mereka mengotorkan rumah ini mencemarkan nama keluarga kami yang terhormat! Dan kau mau berkata bahwa kau dan kawanmu itu tidak bermaksud jahat?"

Ciauw In terkejut sekali.

"Apa katamu? Kawanku adalah orang baik-baik, seperti aku pula. Kami tidak mempunyai maksud serendah itu!”

Tiba-tiba wanita tua itu tersenyum menghina.

"Apa kau anggap aku buta? Biar pun aku sudah tua, akan tetapi aku tidak mudah ditipu oleh bajingan-bajingan muda seperti kau! Pergi! Pergilah kau dari sini!"

Wanita itu melangkah maju hendak mencakar muka Ciauw In yang segera melompat ke luar dengan hati berdebar, tidak pedulikan lagi wanita itu karena pikirannya penuh dengan dugaan yang membuat mukanya menjadi pucat dan dadanya berdebar keras. Cemburu yang amat besar mendesak hatinya dan seperti orang kalap ia lalu berlari masuk kembali ke dalam kamar, mengambil buntalan pakaian dan pedangnya, lalu berlari ke arah kamar Sian Kim.

Ia hendak memaksa kawannya itu untuk meninggalkan gedung ini. Ia telah diusir oleh ibu Hwat Seng, bahkan nyonya tua itu telah mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang amat keji terhadap dirinya, terutama sekali terhadap Sian Kim!

Saking marahnya, ketika tiba di depan pintu kamar Sian Kim, ia mempergunakan tenaga dalam untuk mendorong daun pintu hingga daun pintu itu terpentang lebar dan palangnya copot! Ketika ia melompat masuk, hampir saja ia berteriak karena marah dan terkejut!

Dia melihat Ong Hwat Seng berada di kamar Sian Kim, sedang duduk menghadapi arak dan daging, sedangkan gadis itu duduk pula di dekatnya. Mereka nampak sedang makan minum dengan amat gembira dan wajah Sian Kim nampak berseri-seri!

"Apa artinya ini?!" Ciauw In membentak marah sambil mencabut pedangnya!

Kalau pada waktu itu ada kilat menyambar ke dalam kamar, belum tentu Hwat Seng dan Sian Kim akan menjadi sekaget itu. Hwat Seng segera melompat dan sebelum ia sempat berkata-kata, Ciauw In sudah menerkamnya dengan tusukan pedang.

Pemuda she Ong itu cepat mengelak dan segera mencabut pedangnya pula, lalu balas menyerang. Akan tetapi dalam kegemasannya, Ciauw In bergerak cepat sekali. Sebuah tendangan membuat meja yang tadi dihadapi Hwat Seng terpental ke arah pemuda she Ong itu sehingga Hwat Seng terpaksa melompat ke pinggir. Akan tetapi Ciauw In terus mengejarnya dan kembali pemuda ini menyerang dengan tusukan kilat dan ketika Hwat Seng mencoba untuk menangkis, tiba-tiba saja Ciauw In merubah serangannya dengan bacokan ke arah leher!

Ong Hwat Seng menjadi terkejut sekali dan cepat miringkan tubuhnya, akan tetapi tetap saja pundaknya terbacok hingga mendapat luka. Hwat Seng menjerit keras, melompat ke arah dinding sebelah kiri dan sekali ia menekan tempat rahasia, dinding itu terbuka dan ia melompat masuk! Ketika Ciauw In mengejar, dinding itu tertutup kembali.

Sementara itu, Sian Kim yang sejak tadi hanya berdiri bengong dan muka pucat, segera berseru. "Koko, jangan...!"

Akan tetapi Ciauw In tidak mau mendengarkan cegahannya dan cepat melompat keluar kamar untuk mencari Ong Hwat Seng, karena dia tidak akan puas sebelum membunuh pemuda itu! Hatinya panas sekali dan matanya menjadi gelap!

Cemburu yang amat besar telah membuat ia berlaku nekat untuk membunuh Hwat Seng. Ia mengejar ke arah di mana pemuda itu masuk ke dalam dinding rahasia dan ketika ia melihat bayangan pemuda itu berkelebat jauh di depannya, dia terus mengejar. Ternyata bahwa pemuda itu berlari ke dalam kamar ibunya!

Ciauw In berseru dan mengejar terus dengan pedang di tangan. Ia tendang pintu kamar nyonya tua tadi dan melihat betapa Ong Hwat Seng sedang berlutut sambil merangkul kaki ibunya dengan seluruh tubuhnya gemetaran. Ciauw In mengangkat pedangnya.

Akan tetapi tiba-tiba Nyonya Ong menubruk anaknya dan melindungi dengan tubuhnya.

"Sicu (tuan yang gagah), jangan kau bunuh anakku... jangan....! Kalau mau bunuh, bunuh saja aku... jika anakku melakukan kesalahan, biarlah aku ibunya yang menebus dosanya dengan nyawaku...!"

Sikap seorang ibu yang demikian nekat melindungi puteranya, sungguh pun putera itu adalah seorang putera durhaka, membuat Ciauw In tertegun dan ragu-ragu.

"Ong Hwat Seng," katanya dengan suara marah, "memandang muka ibumu, aku memberi ampun kepadamu!" Kemudian ia membalikkan tubuh meninggalkan kamar itu.

"Lie-heng, kau salah sangka..." terdengar suara Ong Hwat Seng.

Akan tetapi Ciauw ln tidak mempedulikan padanya. Ketika ia tiba di luar kamar, ia melihat Sian Kim sudah berada di situ, lengkap dengan buntalan pakaiannya. Gadis ini biar pun berwajah pucat, akan tetapi masih nampak amat cantik jelita dan ketika melihat Ciauw In, ia berkata singkat.

"Koko, kau terburu nafsu. Mari kita tinggalkan gedung ini dan akan kujelaskan kelak!"

Ciauw In tiba-tiba menjadi girang sekali karena tak pernah disangkanya bahwa gadis itu akan pergi bersama dia meninggalkan gedung. Tadinya ia khawatir kalau-kalau gadis itu telah terpikat hatinya oleh kemewahan tempat itu dan tidak mau ikut pergi. Maka ia hanya mengangguk dan keduanya lalu melompat keluar dan pergi dari gedung itu pada waktu malam gelap…..

********************

"Twako, kau benar-benar terlalu terburu nafsu dan menjadi buta karena cemburu. Aku... aku tidak melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar batas kesusilaan dengan Ong Hwat Seng. Ia datang dan mengajakku makan-minum untuk merayakan kemenangannya bermain dadu. Tadinya ia hendak mengajak kau, akan tetapi oleh karena kamarmu sudah tertutup pintunya, ia takut bahwa kau sudah tidur dan akan mengganggumu. Kebetulan ketika itu aku berada di luar kamar, maka ia mengajak aku makan-minum dan tentu saja aku tak bisa menolaknya untuk membikin senang hatinya. Bukankah kita telah berhutang budi padanya?”

"Akan tetapi... kau dan dia di dalam kamarmu... makan-minum bersama..."

Ciauw In tak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang wajah Sian Kim dengan ragu-ragu. Betapa pun juga, dia tak sanggup membenci gadis ini, dan kebenciannya ini dia tumpahkan seluruhnya kepada Hwat Seng.

Sian Kim tersenyum dan menggunakan kedua tangannya untuk memeluk Ciauw In.

“Kau terlalu cemburu, koko yang baik! Biar pun kami berada di dalam kamar, akan tetapi kami hanya makan minum belaka. Apa salahnya itu? Apakah kau tidak percaya padaku? Ahh, aku tidak begitu buta dan gila untuk salah pilih, koko yang baik. Seratus orang Hwat Seng masih belum dapat menandingi seorang Ciauw In yang kucinta sepenuh hati dan jiwaku!”

Sambil berkata demikian, gadis itu dengan lagak yang amat memikat lalu menyandarkan kepala dengan rambutnya yang harum di dada Siauw In.

Pemuda ini memang telah berhari-hari merasa rindu pada kekasihnya, maka kini melihat sikap Sian Kim, luluhlah seluruh kemarahannya dan ia lalu balas memeluk dengan hati amat bahagia. Ia merasa seakan-akan mendapatkan kembali mustika yang disangkanya telah hilang.

"Nyonya tua itu... ibu Hwat Seng, ia membuat aku cemburu dan gelap mata!" katanya seakan-akan mengatakan kemenyesalan dan maafnya atas perbuatannya tadi. “Ia bilang bahwa kau dan anaknya melakukan... hal-hal yang tidak selayaknya..."

Sian Kim merenggutkan kepalanya dari dada Ciauw In dan sinar matanya menyatakan bahwa ia marah sekali. Bibirnya yang manis itu cemberut.

“Nyonya gila itu...? Koko, apakah kau lebih percaya terhadap seorang nyonya gila dari pada aku, kekasihmu yang sangat mencintamu? Kalau begitu, akan kubunuh nyonya itu sekarang juga!" Gadis ini membuat gerakan seakan-akan hendak lari kembali ke gedung Ong Hwat Seng.

Melihat sikap ini, makin besar kepercayaan Ciauw In terhadap kesucian kekasihnya, oleh karena itu ia cepat-cepat menubruk dan menggunakan kedua lengannya untuk memeluk pinggang Sian Kim.

"Jangan, moi-moi, tak usah kau melakukan hal itu! Thian yang menjadi saksi bahwa aku percaya kepadamu. Maafkan perbuatanku yang bodoh tadi!”

Sian Kim dengan masih cemberut lalu mengerling tajam, marah sekali.

”Lain kali jangan kau meragukan cintaku, koko. Kalau kau memang tidak percaya, biarlah sekarang juga kita berpisah dan selamanya tak pernah bertemu lagi. Aku rela menderita dan patah hati, asal tidak membuat kau gelap pikiran dan mengamuk tidak karuan seperti orang gila...”

Ciauw In merasa terharu dan memeluk lebih erat.

"Maafkan aku, moi-moi, aku memang bersalah. Biarlah lain kali aku minta maaf kepada Hwat Seng.”

Akan tetapi di dalam batinnya Ciauw In maklum bahwa berapa pun juga, kebenciannya terhadap Hwat Seng tidak akan dapat lenyap…..

********************

Tentu saja Ciauw In tak pernah mengira bahwa memang sesungguhnya, sejak tinggal di gedung keluarga Ong, Sian Kim mengadakan hubungan gelap dengan Ong Hwat Seng! Nona ini karena menjadi penasaran dan jengkel melihat sikap Ciauw In yang bersopan santun selalu itu, kini berjumpa dengan seorang pemuda yang selain tampan dan kaya raya, juga yang mempunyai sifat yang sama dengan dia sendiri, maka tentu saja mereka merupakan pasangan yang amat cocok. Di dalam kamar Sian Kim terdapat sebuah pintu rahasia dan melalui pintu inilah Hwat Seng mengadakan pertemuan dengan Sian Kim.

Setelah Sian Kim dan Ciauw In meninggalkan rumahnya, Hwat Seng merasa amat marah dan sakit hati. Dia benci sekali kepada Ciauw In yang selain memutuskan hubungannya dengan Sian Kim, juga menghinanya dan melukai pundaknya. Ia lantas bersumpah untuk membalas dendam.

Karena itu, pada keesokan harinya, cepat dia menyebar orang-orangnya untuk memberi tahukan kepada para petugas pemerintah yang sedang mencari-cari kedua orang itu dan juga kepada para jago kang-ouw yang merasa marah mendengar betapa Hek-lian Niocu dan Hoa-san Taihiap telah membunuh orang baik-baik dan membuat kekacauan besar.

Terbunuhnya Hopak Sam-eng beserta putera mereka, dan terbunuhnya Hui Kok Losu, Lu-cin-tong Ma Sian serta banyak anggota perkumpulan Kim-houw-bun, membuat para orang gagah merasa heran dan juga marah sekali terhadap Hoa-san Taihiap. Sebentar saja menjadi buah bibir kalangan kang-ouw bahwa Hoa-san Taihiap menjadi jahat karena pengaruh Hek Lian Niocu yang sudah terkenal jahat dan menjadi pemimpin perkumpulan Hek-lian-pang yang juga bernama busuk itu.

Maka ketika Ong Hwat Seng, jago muda Bu-tong-pai, memberi kabar bahwa kedua orang muda yang dicari-cari itu sudah mendatangi rumahnya, merampok dan bahkan melukai pundaknya, mereka segera memburu dan mengadakan pengejaran. Dalam kemarahan dan dendamnya, Ong Hwat Seng melakukan usaha yang amat luas. Ia bahkan memberi kabar kepada Ho Sim Siansu, tokoh Hoa-san-pai atau guru dari Ciauw In. Dia mengirim surat yang membuka semua kejahatan Ciauw In bersama Sian Kim…..

********************

Setelah meninggalkan rumah gedung Ong Hwat Seng dan mengalami peristiwa itu, hati Ciauw In tidak berubah terhadap Sian Kim, bahkan makin besar rasa cinta kasihnya dan ia makin tergila-gila. Apa lagi sekarang Sian Kim berusaha sekuat tenaga untuk menarik hati pemuda itu dengan lagak yang amat menggiurkan hati.

Namun, betapa pun juga ia tidak dapat meruntuhkan keteguhan iman Ciauw In. Pemuda itu masih dapat mempertahankan diri dan tidak melakukan pelanggaran yang melampaui batas-batas kesusilaan.

Sementara itu, di dalam tubuh Ciauw In telah mengalir racun kembang yang berasal dari sapu tangan hijau pemberian kekasihnya dulu. Racun ini memang berjalan lambat sekali, dan dalam waktu kira-kira satu bulan barulah orang yang terkena racun ini akan menjadi korban yang tak akan dapat tertolong jiwanya lagi.

Dengan muslihat yang cerdik dan licin, Sian Kim kemudian mengganti sapu tangannya dan memberi Ciauw In sapu tangan yang baru dan yang lebih harum aromanya karena mengandung racun yang lebih banyak. Ciauw In yang tak menduga sesuatu menganggap pemberian sapu tangan-sapu tangan ini sebagai tanda cinta yang lebih besar dari gadis itu!

Tiga hari kemudian, mereka mulai bertemu dengan orang-orang kang-ouw pertama yang sedang berusaha mencari mereka. Orang-orang ini bukan lain ialah Bong Hin, anak murid pertama dari Kun-lun-pai yang dahulu ikut pula berpibu (mengadu kepandaian) di puncak Kui-san dan pemuda yang gagah perkasa ini dikawani oleh Gui Im Tojin, tokoh nomor tiga dari Kun-lun-pai! Gui Im Tojin merupakan susiok (paman guru) dari Bong Hin dan ilmu kepandaiannya amat tinggi serta namanya sudah tersohor sebagai seorang pendekar dari tingkatan tua.

Gui Im Tojin dan Bong Hin kebetulan sedang berada di dekat tempat itu ketika mereka mendengar berita yang ditebar oleh Ong Hwat Seng bahwa Hoa-san Taihiap dan Hek-lian Niocu berada di sekitar Ouwciu. Kebetulan sekali pada waktu itu mereka melihat Ciauw In duduk di bawah sebatang pohon siong dan Sian Kim dengan gaya yang manja sekali sedang berbaring di atas rumput dengan kepala berbantal paha pemuda itu!

Ciauw In dengan mesra sekali membelai rambut kekasihnya yang hitam, panjang, dan berbau harum. Pemuda ini merasa amat berbahagia dan lupalah sudah dia akan segala peristiwa yang dialaminya bersama Sian Kim hingga membuat dia banyak menanam bibit permusuhan dengan para orang gagah dan menimbulkan rasa kebencian kepada seluruh orang-orang kang-ouw.

Ciauw In membelai rambut kekasihnya sambil menciumi sapu tangan hijau. Sekarang dia tak dapat terpisah dari sapu tangan itu karena sering kali ia merasa tubuhnya lemas kalau tidak mencium harum kembang yang menempel pada sapu tangan itu. Apa bila ia sudah mencium sapu tangan itu sambil memandang wajah Sian Kim, ia dapat merasa betapa keharuman itu seolah-olah menjalar di seluruh tubuhnya dan membuatnya merasa segar!

Memang racun kembang itu memiliki pengaruh yang hampir sama dengan racun madat, dan yang membuat orang menjadi ketagihan. Hanya bedanya, bila madat hanya merusak kesehatan dan membuat tubuh orang menjadi kurus kering, sebaliknya racun kembang ini membuat orang merasa segar dan sehat, akan tetapi diam-diam paru-paru mereka telah terkena racun yang dapat merenggut jiwa tanpa disadari dalam waktu sebulan!

"Koko yang manis, kau tahu bahwa aku memiliki banyak sekali musuh. Agaknya semua orang sengaja hendak memusuhi aku. Ahh, sungguh malang nasibku...,” terdengar Sian Kim berkata perlahan sambil menarik napas panjang.

"Jangan bersedih, kekasihku. Betapa pun juga, masih ada aku yang mencintamu dan mau membelamu."

"Hanya itulah pegangan hidupku, koko. Akan tetapi ada satu hal yang selalu tidak dapat kukatakan kepadamu karena aku kuatir kalau-kalau kau pun akan memusuhiku sesudah mendengar hal itu."

“Apakah hal itu, moi-moi? Katakanlah, kau tahu betul bahwa aku tak akan merasa benci kepadamu, apa pun yang telah dan akan terjadi."

"Sebenarnya, aku pun dimusuhi oleh golonganmu, dan bahkan... tanpa kau sadari, aku pun... menjadi musuhmu pula!”

Ciauw In terkejut bukan main, kemudian menatap wajah yang didongakkan dari bawah memandang kepadanya itu.

”Moi-moi, apakah maksudmu?”

Kembali Sian Kim ragu-ragu. Biar pun ia sudah merasa pasti bahwa kini Ciauw In telah berada dalam genggaman tangannya, akan tetapi ia masih berkuatir kalau-kalau pemuda ini akan berubah pikirannya apa bila ia membuka rahasianya. Maka ia lalu bangkit duduk dan berkata,

"Koko, kau peluklah aku, karena aku tidak berani membuka rahasia ini tanpa merasa bahwa kau betul-betul tak akan menggangguku!”

Ciauw In tersenyum dan merangkul pundaknya.

"Katakanlah adikku yang manis."

"Lie-twako, ketahuilah bahwa dulu aku pernah menjadi ketua dari sebuah perkumpulan."

"Kau sudah memberi tahukan hal itu kepadaku dulu."

"Benar, akan tetapi kau tidak tahu perkumpulan apakah itu. Aku adalah pangcu (ketua) dari Hek-lian-pang yang dulu kau obrak-abrik bersama kedua adik seperguruanmu!”

Kali ini Ciauw In benar-benar terkejut sehingga kedua tangannya yang merangkul pundak Sian Kim gemetar.

“Jadi kau... kau adalah anak...”

"Ya, Gu Mo Ong yang dibinasakan oleh sumoi-mu itu adalah ayahku sendiri, walau pun... hanya ayah angkat saja!" Sian Kim membohong.

Sejenak keduanya terdiam, dan tangan Ciauw In turun dari pundak Sian Kim. Gadis itu memandang dengan hati penuh kekhawatiran, untuk beberapa lama mereka hanya saling pandang.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar