Pendekar Dari Hoa-San Chapter 03 Pibu di Puncak Kui-san

Bwee Hiang merasa kagum juga melihat ketenangan dan kelihaian pangcu (ketua) dari Hek-lian-pang ini. Karena itu, sesudah melompat mundur dua langkah untuk menetapkan posisinya, ia lalu menyerbu lagi dengan tipu-tipu Hoa-san Kiam-hoat yang hebat.

Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah dan mengurung tubuh lawannya. Meski pun Gu Ma Ong melakukan perlawanan sengit dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun tetap saja goloknya terdesak dan terhimpit oleh sepasang pedang lawan sehingga diam-diam ia mengeluh dan merasa gelisah sekali.

Sementara itu, Ong Su serta Ciauw In yang mengamuk, terutama sekali Ong Su yang memainkan toyanya secara ganas dan lihai, sudah merobohkan belasan orang anggota Hek-lian-pai. Mereka itu ada yang terbacok pundak atau lengannya, juga ada yang tulang kakinya patah-patah karena disapu oleh toya Ong Su, bahkan ada pula yang kepalanya pecah atau mukanya matang biru sehingga sukar dikenal lagi.

Tubuh mereka bergelimpangan, darahnya membasahi lantai dan suara rintihan terdengar sangat menyedihkan. Tadinya banyak sekali orang-orang penduduk Ban-hong-cun yang mendengar tentang perkelahian itu datang menonton dari luar pintu pekarangan. Mereka diam-diam merasa heran dan juga girang melihat bahwa akhirnya ada juga orang-orang yang berani melawan dan menentang Hek-lian-Pang yang mereka benci. Namun ketika mellhat betapa tiga orang muda itu mengamuk demikian hebatnya, mereka merasa ngeri juga lalu pergi menjauhkan diri dan hanya menonton atau menunggu dari tempat yang cukup jauh dan aman!

Para anggota Hek-lian-pang yang tadinya mengeroyok Ong Su dan Ciauw In, kini merasa gentar dan ketakutan melihat betapa dua orang muda itu mengamuk bagaikan sepasang naga dari angkasa dan melihat betapa banyak kawan-kawan mereka terluka parah atau binasa. Mereka yang masih tersisa delapan orang itu lalu berlarian keluar dari tempat itu untuk menyelamatkan diri!

Ong Su tertawa bergelak-gelak. Melihat betapa Bwee Hiang belum berhasil merobohkan ketua Hek-lian-pang, Ong Su segera menyerbu hendak membantu. Akan tetapi Ciauw In cepat berseru,

“Ong sute, jangan turun tangan! Sumoi tak perlu dibantu, biar dia sendiri yang membikin mampus musuh besarnya!"

Ong Su merasa penasaran karena menurut suara hatinya, dia ingin cepat-cepat melihat musuh besar sumoi-nya yang kejam itu roboh binasa, maka ia tidak menunda maksudnya hendak membantu. Akan tetapi di luar dugaannya, Bwee Hiang juga berseru,

“Ong-suheng, ucapan twa-suheng tadi memang benar! Biarlah aku sendiri yang menebus kematian mendiang ayahku."

Terpaksa Ong Su melompat mundur kembali dan hanya menonton bersama Ciauw In di pinggir.

Gu Ma Ong yang melihat betapa seluruh anak buahnya sudah disapu bersih oleh kedua orang muda itu, tentu saja menjadi terkejut sekali dan hatinya semakin takut dan gentar. Oleh karena ini, maka permainan goloknya yang sudah terdesak hebat oleh Bwee Hiang itu menjadi semakin kalut. Napasnya tersengal-sengal dan pandangan matanya kabur.

Pada saat Bwee Hiang menggunakan pedang di tangan kiri menyerang ke arah lehernya dan kaki kanan gadis itu melayang menendang lambung dengan gerakan tipu Burung Walet Menyerang Lawan, Gu Ma Ong yang sudah pening itu mempergunakan goloknya menangkis serangan pedang, ada pun tangan kirinya cepat menyampok tendangan yang berbahaya itu.

la dapat menghindarkan diri dari serangan ini, akan tetapi tidak tahunya kedua serangan gadis itu hanya untuk memancing dan mencari lowongan, karena secepat kilat pedang di tangan kanan gadis itu meluncur ke depan dan tak dapat ditahan lagi pedang itu amblas ke dalam dadanya sebelah kiri sampai menembus ke punggungnya! Gu Ma Ong hanya dapat mengeluarkan jerit ngeri, lantas roboh tak berkutik lagi!

Bwee Hiang berdiri memandang tubuh lawan atau musuh besarnya ini. Lenyaplah seluruh tenaga serta semangatnya melihat betapa musuh besarnya ini akhirnya binasa juga di tangannya. Keharuan hati dicampur kesedihan teringat akan nasib ayahnya membuat dia berdiri lemas dan dua butir air mata menitik ke atas pipinya.

Bwee Hiang lalu menoleh dan memandang pada sekian banyaknya tubuh para anggota Hek-lian-pang, lalu ia berkata sambil memandang kepada kedua suheng-nya.

“Twa-suheng, ji-suheng, terima kasih atas bantuan kalian. Hatiku telah puas karena sakit hati ayah sudah terbalas!”

Seorang anggota Hek-liang-pang yang rebah tidak jauh dari mereka dan menderita tulang kering kakinya patah-patah oleh toya Ong su menggerakkan tubuhnya dan bertanya.

"Sam-wi siapakah? Harap suka memberi tahu nama kalian agar nanti aku dapat memberi tahukan kepada pangcu apa bila ia kembali ke sini."

Bwee Hiang tersenyum menyindir.

“Baiklah, kau kubiarkan hidup agar mendapat kesempatan memberi tahukan nama kami kepada pangcu-mu. Ingat baik-baik bahwa yang melakukan semua ini adalah Gak Bwee Hiang puteri tunggal dari mendiang Gak Seng di kota Keng-sin yang terbunuh mati oleh ketuamu ini!"

"Dan aku bernama Ong Su, kau ingat baik-baik!”

“Boleh juga kau beri tahukan namaku, yaitu Lie Ciauw In!”

"Kuingat baik-baik, tak akan kulupa tiga nama ini...," orang itu berkata lalu merintih-rintih karena kakinya terasa sakit sekali.

Bwee Hiang dan kedua orang suheng-nya lalu meninggalkan tempat itu. Ketika mereka tiba di luar pekarangan, mereka melihat banyak sekali orang menghampiri hingga mereka menjadi terkejut dan bersiap sedia karena mengira bahwa orang-orang itu mungkin anak buah Hek-lian-pang yang hendak mengeroyok. Akan tetapi ternyata bahwa mereka itu adalah penduduk kota Ban-hong-cun yang menyatakan kekaguman dan rasa terima kasih mereka.

“Kalian sungguh gagah perkasa,” berkata seorang kakek yang berada di antara mereka. "Hek-lian-pang telah bertahun-tahun merajalela dan tidak seorang pun berani menentang mereka, akan tetapi hari ini mereka hancur dan rusak binasa dalam tangan kalian bertiga orang-orang muda. Untungnya bahwa pangcu mereka sedang keluar kota. Kalau tidak, belum tentu kalian dapat keluar dengan selamat."

"Mengapa begitu, lopek?" tanya Ciasuw In dengan heran.

"Kalian tidak tahu, ketua mereka yang sedang pergi itu sangat lihai dan menurut cerita orang, ilmu kepandaiannya masih beberapa kali lipat lebih tinggi dari pada kepandaian Gu-pangcu yang binasa itu."

"Aku tidak takut!" kata Bwee Hiang sambil mengangkat dada. "Bila lain kali aku bertemu dengan dia, pasti akan kupenggal batang lehernya!”

Kakek itu memandang kagum.

"Lihiap, kalau ia bertemu dan bertempur dengan kau pasti akan merupakan pertandingan yang amat indah dan sedap dipandang!”

Akan tetapi ketiga anak murid Hoa-san itu tidak memperdulikan mereka, bahkan Ciauw In lalu berpesan agar supaya mereka itu suka turun tangan merawat mereka yang luka serta mengurus yang sudah tewas. Kemudian mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Kui-san untuk memenuhi tugas yang diserahkan kepada mereka oleh suhu mereka, yakni mewakili Hoa-san untuk mengadu kepandaian di puncak Kui-san!

Bukit Kui-san adalah sebuah bukit yang bersih. Tidak terdapat hutan liar di tempat itu dan banyak dusun dibuka orang di lereng-lereng bukit ini yang memiliki tanah subur. Di sana sini tumbuh pepohonan dan seluruh permukaan bukit ditumbuhi rumput-rumput hijau yang gemuk menyedapkan mata.

Di puncak bukit ini terdapat sebuah kelenteng tua yang amat besar, memiliki pekarangan yang luas sekali. Tempat inilah yang dipilih oleh Pek Bi Hosiang tokoh besar Go-bi-pai itu untuk mengadakan pibu persahabatan. Hwesio ini sudah menghubungi ketua kelenteng dan mendapat perkenannya untuk meminjam tempat ini sebagai tempat pibu.

Ketika hari-hari pertama musim Chun (musim semi) tiba, segala jago silat dari berbagai tempat berangsur-angsur berdatangan ke bukit Kui-san sehingga suasana di tempat itu ramai bagaikan sedang berpesta. Para penduduk dusun di sekitar bukit, juga orang-orang dari kota jauh yang mendengar akan pertandingan ini sengaja datang untuk menonton.

Ketika Ciauw In, Ong Su, dan Bwee Hiang sampai di tempat itu, ternyata di sana telah banyak berkumpul jago-jago muda dan tua dari segala cabang persilatan. Kedatangan tiga orang muda itu disambut oleh Pek Bi Hoasiang yang bertindak sebagai tuan rumah atau pengundang.

Sikap hwesio tua ini sangat ramah tamah. Sesudah mereka menjalankan penghormatan selayaknya, hwesio tua yang beralis putih seluruhnya ini sambil tersenyum bertanya,

“Sam-wi, di manakah Ho Sim Siansu? Apakah orang tua itu akan datang belakangan?”

"Maaf, locianpwe. Suhu tidak dapat datang karena suhu tidak tertarik untuk turun tangan sendiri mengadu pibu, yang menurut katanya seperti permainan kanak-kanak saja," jawab Ong Su yang jujur.

Akan tetapi selagi Pek Bi Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini, Ciauw In segera memotong pembicaraan sute-nya yang lancang itu.

“Locianpwe," katanya dengan sikap hormat. “Suhu tidak punya waktu untuk datang, oleh karena itu suhu sengaja mengutus teecu bertiga untuk mewakilinya.”

"Sayang, sayang... agaknya seperti juga tokoh-tokoh tua dari cabang persilatan lainnya, suhu-mu sudah kehilangan kegembiraan hidup. Tak hanya suhu-mu yang tidak datang, bahkan sebagian besar dari cabang-cabang persilatan hanya mengutus anak-anak murid muda saja, kecuali cabang Kun-lun-pai dan Thai-san-pai yang meski pun mengutus dan mendatangkan jago tua, akan tetapi juga hanya tokoh-tokoh tingkat dua saja. Mereka ini benar-benar terlalu sungkan, sayang...”

Ketiga anak murid Hoa-san ini lalu dipersilakan duduk di ruang yang telah penuh dengan para tamu yang rata-rata bersikap sangat gagah itu. Oleh karena di antara para anak murid yang datang di situ banyak pula terdapat pendekar-pendekar wanita, maka Bwee Hiang merasa gembira sekali dan ia memandang dengan kagum kepada mereka itu.

Sebaliknya ketika mendengar bahwa gadis muda yang baru datang itu adalah murid dari Hoa-san-pai yang sangat terkenal, para pendekar wanita lalu memandang dengan mata menduga-duga sampai di mana kelihaian gadis ini.

Di antara para wanita yang berada di sana, yang amat menarik perhatian Bwee Hiang adalah seorang wanita muda yang berusia paling banyak dua puluh tahun dan duduknya menyendiri seakan-akan tidak berteman. Dara ini berpakaian serba hitam dan wajahnya luar biasa cantiknya, sedangkan sikapnya amat gagah, terutama sepasang matanya yang bening dan indah itu benar-benar memikat hati.

Setelah semua tamu memenuhi ruangan itu dan duduk di tempat masing-masing, Pek Bi Hosiang ketua Go bi-pai yang mennjadi pengundang lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia menduduki tempat yang khusus disediakan untuk para tingkatan tua, bersama dua orang tokoh tua lain, yakni Gui Im Tojin dari Kun-lun-pai dan Lan Lau Suthai dari Thai-san-pai.

Pek Bi Hosiang yang bertubuh tinggi besar itu nampak amat gembira dan gagah sekali. Jubahnya putih bersih, kepalanya gundul licin dan mukanya berwarna kemerah-merahan dan belum nampak ada keriput. Yang paling menarik perhatian adalah alisnya yang telah berwarna putih dan amat tebal itu. Alis inilah yang membuat dia mendapat nama Pek Bi Hosiang atau Hwesio Alis Putih.

"Cuwi sekalian," katanya dengan suara yang nyaring dan jelas, “pinceng menghaturkan banyak terima kasih dan merasa sangat bergembira atas kedatangan cuwi sekalian yang sudah memenuhi undangan pinceng untuk datang mengadakan pertemuan pada hari ini, sungguh pun ada sedikit kekecewaan pinceng bahwa para sahabat baik dari golongan tua tak berkesempatan turut hadir. Biarlah pertemuan kali ini dilakukan oleh yang masih muda-muda untuk menambah pengalaman dan mempererat persahabatan, tetapi lain kali akan pinceng usahakan untuk mengadakan satu pertemuan khusus bagi para locianpwe! Sebagaimana cuwi sekalian ketahui, pertemuan ini diadakan untuk menyelenggarakan sebuah pibu secara persahabatan. Sebuah lomba yang akan menentukan siapakah yang memiliki ilmu silat terbaik, yang dilakukan dalam suasana persahabatan, saling mengisi kekurangan, menambah pengalaman serta mempererat hubungan antara segolongan. Pertemuan ramah tamah seperti ini amat penting, dan ada baiknya apa bila kelak setelah kami orang-orang tua ini sudah tidak ada lagi di dunia ini, kalian orang-orang muda suka mengusahakan pertemuan semacam ini agar persatuan para orang gagah sedunia tidak akan terpecah belah dan setiap persengketaan atau kesalah pahaman dapat dibereskan dalam pertemuan seperti ini. Nah, sekarang mari kita mulai!”

Pidato ketua Go-bi-san ini disambut dengan tepuk tangan gembira oleh seluruh hadirin hingga keadaan menjadi makin gembira. Pek Bi Hosiang lalu mengadakan perundingan bersama Gui Im Tojin dan Lan Lau Suthai untuk menentukan peraturan dan tata cara pertandingan persahabatan itu dilakukan.

Setelah berunding beberapa lama, kemudian diputuskan bahwa setiap orang muda yang mewakili cabang persilatan mereka boleh mendaftarkan nama mereka sebagai peserta dan pertandingan pibu ini akan dilakukan dalam dua babak. Apa bila seorang pengikut dapat memenangkan dua pertandingan dalam babak pertama, maka ia berhak ikut dalam babak kedua. Pemenang-pemenang babak kedua ini lalu akan ‘diuji’ kepandaiannya oleh tiga orang tua yang dianggap sebagai jurinya, yaitu Pek Bi Hosiang sendiri, Gui Im Tojin, dan Lan Lau Suthai.

Setelah aturan ini diumumkan, maka ramailah orang-orang muda itu mendaftarkan nama masing-masing. Akan tetapi tidak semua ikut mendaftarkan diri. Di antara mereka, yang merasa bahwa kepandaian sendiri masih kurang sempurna, tidak berani mendaftarkan diri, karena takut kalau-kalau mendapat malu. Mereka maklum bahwa yang berkumpul di waktu itu adalah ahli-ahli silat pilihan karena kalau tidak memiliki kepandaian tinggi tidak nanti diutus sebagai wakil golongan masing-masing.

Setelah semua nama peserta tercatat, maka ternyata bahwa dari partai Go-bi terdapat dua orang peserta, yakni Lo Sun Kang, murid pertama Pek Bi Hosiang, dan sumoi-nya yang bernama Ciu Hai Eng. Dari Kun-lun-pai yang ikut adalah Bong Hin dan Bong Le, kakak beradik yang juga merupakan murid pertama dan kedua perguruan Kun-lun-pai, sedangkan Gui Im Tojin adalah susiok (paman guru) mereka.

Siauw-lim-pai diwakili oleh seorang hwesio muda bernama Hwat Siu Hwesio, seorang kepala gundul yang pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sepasang matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli lweekeh yang sangat tangguh. Partai Bu-tong-pai diwakili oleh Ong Hwat Seng, seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang tampan dan gagah, akan tetapi yang mempunyai watak amat sombong dan takabur. Dari pihak Thai-san-pai, keluarlah dua orang gadis cantik dan gagah bernama Tan Bi Nio dan Kui Ek Li, kedua-duanya murid Lan Lau Suthai yang hadir pula di situ.

Selain wakil-wakil dari partai, ada juga beberapa orang yang tidak mewakili partai, atau peserta luar yang juga diperbolehkan mengikuti pibu ini. Di antara mereka terdapat dua orang yang perlu dikemukakan, yakni seorang pemuda bernama Kam Sui Hong, serta seorang dara jelita yang tadi dikagumi oleh Bwee Hiang, yang mendaftarkan namanya sebagai Gu Sian Kim.

Juga Ciauw In, Ong Su, dan Bwee Hiang mendaftarkan namanya hingga dari fihak partai peserta yang terbanyak adalah partai Hoa-san ini. Dengan demikian maka jumlah peserta ada lima belas orang. Tentu saja mereka ini merupakan orang-orang pilihan, sebab pada waktu itu yang datang memenuhi ruangan tak kurang dari lima puluh orang dari berbagai golongan.

Ketika para peserta itu dipersilakan untuk bersiap, dan karena agaknya mereka ini masih merasa malu-malu, ketika seorang di antaranya diminta naik ke panggung akan tetapi tiada yang muncul. Sebagai tuan rumah Pek Bi Hosiang lalu menyuruh muridnya yang kedua mendahului mereka.

Ciu Hai Eng, gadis bermuka kuning murid Go-bi-pai ini mentaati perintah suhu-nya dan dengan gerakan ringan sekali ia melompat ke atas panggung. Munculnya gadis ini lantas disambut dengan tepuk tangan para penonton, yakni penduduk dusun dan kota yang sengaja datang menonton karena mereka yang telah menanti-nanti dari pagi tadi maklum bahwa kini pertandingan akan segera dimulai.

Melihat gadis Go-bi-pai itu sudah melompat naik ke panggung, maka murid kedua dari Thai-san-pai, yakni Kui Ek Li yang bertubuh kecil langsing dan bermuka manis, lompat menyusul, disambut dengan tempik sorak pula. Kui Ek Li mengangkat kedua tangannya kepada Ciu Hai Eng yang tersenyum dan membalas penghormatannya.

“Cici, bagaimanakah kita bertanding, bertangan kosong, atau bersenjata?" tanya Kui Ek Li dengan senyum manis, kepada Hai Eng yang lebih tua darinya itu. Memang tadi sudah ditetapkan bahwa dalam pertandingan ini kedua peserta boleh berunding sendiri apakah mereka akan bertanding dengan tangan kosong atau bersenjata.

"Adik yang manis,” jawab Hai Eng sambil tersenyum pula, "sudah lama aku mendengar tentang kehebatan ilmu golok Thai–san-pai. Ingin sekali aku mencobanya."

Sambil berkata demiklan, Ciu Hai Eng mengeluarkan pedangnya, sedangkan Kui Ek Li segera mencabut keluar goloknya yang kecil dan tipis dari pinggang.

"Berlakulah murah hati kepadaku, cici," katanya sambil memasang kuda-kuda dan setelah saling mengangguk, kedua orang gadis itu mulai bersilat dan saling serang.

Ciu Hai Eng segera mengeluarkan ilmu pedang dari cabang Go-bi-pai yang tangguh dan cepat gerakannya itu. Sedangkan Kui Ek Li juga tidak mau kalah, goloknya berkelebatan merupakan sinar putih yang lebar dan panjang, menyerang dengan hebatnya.

Bagi para penonton yang tidak mengerti ilmu silat, tentu saja pertandingan ini membuat hati mereka berdebar tegang dan cemas karena kuatir kalau-kalau seorang di antara kedua gadis itu akan terbacok golok atau tertusuk pedang. Akan tetapi bagi mereka yang mengikuti pertandingan itu dan mengerti akan ilmu silat tinggi, tidak ada kekuatiran ini di dalam hati.

Mereka maklum bahwa orang yang telah mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi dapat menguasai gerakan senjata mereka sepenuhnya sehingga mereka tidak akan kesalahan tangan membunuh atau melukai hebat kepada lawannya. Sungguh pun setiap serangan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan hebat, namun mereka sudah cukup gesit untuk menghindarkan diri dari setiap serangan. Juga andai kata lawan kurang cepat mengelak, mereka ini masih dapat menguasai senjata dan menahan serangan hingga tidak sampai mendatangkan luka yang mematikan.

Setelah kedua orang gadis itu bertempur selama dua puluh jurus lebih, maka bagi mata para ahli yang berada di situ, ternyatalah bahwa gerakan pedang Ciu Hai Eng lebih kuat dan matang sehingga perlahan-lahan golok Kui Ek Li mulai terdesak. Akan tetapi hal ini tentu saja tidak diketahui olen para penonton yang tidak rnengerti ilmu silat tinggi, oleh karena mereka hanya melihat betapa dua orang gadis itu bergerak cepat sekali hingga bayangan tubuh mereka lenyap tertelan sinar pedang dan golok.

Kui Ek Li juga maklum akan kehebatan ilmu pedang lawannya, maka untuk menjaga nama perguruan dan untuk rnemperoleh kemenangan, tiba-tiba ia melakukan serangan yang luar biasa hebatnya, yakni dengan tipu Hong-sauw Pat-yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Goloknya sungguh merupakan angin taufan yang berkelebatan dan menyambar-nyambar dengan ganas sekali.

Diam-diam Ciu Hai Eng merasa kagum melihat kegesitan gadis muda itu. Akan tetapi ia memang lebih kuat dan lebih tenang sehingga menghadapi serangan hebat ini dia tidak menjadi gugup. Dengan ketenangan disertai kegesitannya yang mengagumkan, Ciu Hai Eng lalu mainkan tipu silat Seng-siok Hut-si atau Musim Panas Kebut Kipas.

Pedangnya terputar melindungi tubuhnya dari depan sehingga tiap tusukan dan babatan golok lawannya selalu tertangkis dengan kuatnya, bahkan ia segera membalas dengan serangan Hui-pau Liu-cwan atau Air Terjun Bertebaran. Karena memang ia menang kuat dalam hal tenaga lweekang, maka serangannya ini membuat Kui Ek Li merasa kewalahan dan setelah terdesak mundur dengan hebat, ia melompat sambil berseru.

“Cici, ilmu pedangmu hebat sekali!"

Kalau para penonton di luar menganggap Ek Li sudah mengalah, adalah para ahli yang melihatnya maklum bahwa tadi dalam pertempuran terakhir, ujung pedang Hai Eng telah berhasil membabat putus ujung ikat pinggang Ek Li yang melambai ke bawah!

Menurut peraturan, untuk bisa memasuki babak kedua, maka Ciu Hai Eng harus menang satu pertandingan lagi. Oleh karena itu, dia masih berdiri seorang diri di atas panggung setelah Ek Li turun dan dengan tenang menanti datangnya lawan kedua.

Melihat kelihaian Ciu Hai Eng, Ong Su menjadi tertarik. Ia dulu pernah bertemu dengan seorang anak murid dari Go-bi-pai yang mengantarkan surat untuk suhu-nya dan menurut pandangannya, ilmu kepandaian pengantar surat itu walau pun cukup baik, akan tetapi tidak setinggi ilmu silat gadis bermuka kuning dari Go-bi-pai ini.

Sesudah mendapat persetujuan suheng dan sumoi-nya, dia lalu melompat naik ke atas panggung sambil membawa toyanya. Mendengar nama Ong Su sebagai murid utusan dari Hoa-san-pai disebut oleh Pek Bi Hosiang, semua orang memandang dengan penuh perhatian.

Ong Su menjura kepada Ciu Hai Eng dan berkata,

"Enci yang gagah perkasa, perkenankanlah aku merasai kelihaian ilmu pedang cabang Go-bi-pai!” katanya dengan suara nyaring sesuai dengan tubuhnya yang kuat dan tegap itu.

Ciu Hai Eng maklum akan ketangguhan lawan ini, akan tetapi dia merasa agak heran melihat pemuda ini memegang sebatang toya.

"Saudara yang baik,” katanya, “sudah lama aku mendengar bahwa Hoa-san-pai memiliki ilmu pedang yang jarang tandingannya di dunia ini dan tadi aku telah merasa gembira sekali mendengar bahwa aku mendapat kehormatan untuk merasakan hebatnya Hoa-san Kiam-hoat. Akan tetapi mengapa kau membawa-bawa toya?”

Ong Su tertawa, suara ketawanya bebas lepas menandakan kejujuran serta kepolosan hatinya.

“Enci yang gagah, semenjak belajar ilmu silat, aku lebih suka memegang toya ini dan ilmu pedang yang kupelajari belum cukup untuk menandingi ilmu pedangmu tadi. Selain ilmu pedang, Hoa-san-pai juga memiliki ilmu toya dan marilah kita main-main sebentar untuk menambahkan pengetahuanku yang amat dangkal." Karena memang wataknya sangat jujur, maka biar pun merendahkan diri namun ucapan Ong Su terdengar kaku.

Sambil tersenyum Ciu Hai Eng lalu memasang kuda-kuda dan berkata, "Saudara Ong yang baik, silakan menyerang!”

Ong Su tidak sungkan-sungkan lagi dan segera menggerakkan toyanya dan terkejutlah Ciu Hai Eng melihat gerakan toya yang benar-benar hebat itu. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga, ia tidak dapat mengimbangi tenaga lawan yang kuat bagaikan seekor harimau muda ini, maka ia berlaku hati-hati sekali dan memutar pedangnya dengan cepat untuk mendesak Ong Su dengan ginkang-nya yang tinggi.

Akan tetapi kembali ia terkejut. Biar pun tubuhnya besar dan kuat, namun ginkang dari Ong Su cukup lihai dan tidak berada di sebelah bawah ginkang-nya sendiri!

Pertempuran kali ini lebih hebat dari pertempuran tadi sehingga penonton bersorak-sorak gembira. Memang benar-benar mengagumkan gerakan kedua orang itu. Toya di tangan Ong Su bergerak-gerak kuat bagai gelombang ombak samudera yang bergulung-gulung memukul pantai, sedangkan Ciu Hai Eng dengan amat gesitnya berkelebat dengan sinar pedangnya di antara gulungan gelombang sinar toya itu!

Kalau diukur, kepandaian kedua orang muda ini memang seimbang. Ong Su memang boleh dibilang menang tenaga, akan tetapi dalam hal kegesitan, dia masih kalah sedikit. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh ginkang, karena ilmu meringankan tubuh mereka setingkat, hanya karena senjata di tangan gadis itu lebih ringan dan dipegang di ujung tangan, maka dapat digerakkan lebih cepat dari pada gerakan toya yang dipegang oleh kedua tangan.

Dalam hal mempertahankan diri memang senjata toya lebih bermanfaat dan praktis, akan tetapi dalam penyerangan, kalah ganas oleh gerakan pedang. Hal ini dapat dilihat dengan baik oleh para ahli yang berada di situ. Akan tetapi bagi mereka juga amat sukar untuk menentukan siapakah yang lebih unggul antara dua orang muda yang sedang bertempur itu.

Ciu Hai Eng yang sudah mulai lelah, segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat, yakni ia menggunakan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga. Kali ini gerakan pedangnya benar-benar cepat sekali sehingga Ong Su merasa amat terkejut. Seolah-olah berubah menjadi dua batang, pedang di tangan gadis itu secara tiba-tiba dan bertubi-tubi menyerang dengan tusukan ke arah lehernya lalu diteruskan membacok dadanya!

Ong Su menggerakkan toyanya menangkis, akan tetapi ketika dua kali serangan ini dapat ia tangkis, tahu-tahu pedang gadis itu telah terpental dan langsung menusuk ke perutnya! Ong Su merasa terkejut dan tak tempat menangkis lagi. Akan tetapi, tiba-tiba pedang di tangan Hai Eng berubah gerakannya karena gadis ini tidak mau melukai lawannya dan kini pedang itu meluncur ke pinggir perut Ong Su dan hanya menyerempet bajunya saja.

Pada saat itu toya Ong Su yang ditangkisnya tadi telah tiba dan menghantam pedang itu sekerasnya hingga pedang di tangan Hai Eng terlepas dari pegangan…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar