Pendekar Dari Hoa-San Chapter 02 Balas Dendam

Ong Su memang masih mempunyai ayah ibu yang tinggal di sebuah dusun, seorang petani sederhana bernama Ong Lo It. Mereka tinggal di kaki bukit Hoa-san, di sebuah dusun yang disebut Kwee-cin-bun. Semenjak berusia sebelas tahun, Ong Su ikut naik ke puncak Hoa-san belajar ilmu silat dari Ho Sim Siansu dan pertemuan ini terjadi ketika pertapa itu menolong dusun Kwee-cin-bun dari serangan para perampok.

Ayah Ong Su yang merasa berterima kasih dan tahu akan pentingnya kepandaian silat untuk melawan para perampok yang mengganas, lalu mengijinkan putera tunggalnya itu untuk ikut belajar silat kepada kakek sakti ini. Kadang-kadang, biasanya di waktu tahun baru, Ong Lo It mendaki bukit Hoa-san untuk mengunjungi Ho Sim Siansu dan menengok puteranya itu.

Ada pun Bwee Hiang sebenarnya adalah puteri tunggal seorang hartawan bernama Gak Seng yang berdagang hasil bumi di kota Keng-sin di sebelah selatan Hoa-san. Ho Sim Siansu mengambil murid anak perempuan ini karena ia amat tertarik melihat kelincahan dan ketabahan anak itu, juga karena ia maklum bahwa anak itu mempunyai bakat yang amat baik. Diculiknya anak itu dan ia meninggalkan surat kepada orang tuanya tentang maksudnya hendak mengambil murid kepada Bwee Hiang.

Sejak berusia sepuluh tahun, gadis itu telah berada di puncak Hoa-san dan mempelajari ilmu silat dengan Ong Su dan Ciauw In yang sudah berada di situ lebih dahulu darinya. Selama tujuh tahun berada di puncak Hoa-san, gadis ini belum pernah bertemu dengan kedua orang tuanya, sungguh pun ia masih ingat akan wajah dan nama orang tuanya, akan tetapi ia maklum bahwa kini mereka tentu telah tua sekali dan belum tentu dapat mengenalnya apa bila bertemu.

Ciauw In ikut naik gunung sejak berusia delapan tahun dan hingga kini ia sudah belajar silat selama dua belas tahun tanpa berhenti. Pernah ia ikut suhu-nya turun gunung untuk beberapa bulan lamanya, lalu kembali lagi ke atas puncak Hoa-san untuk memperdalam ilmu silatnya.

Ciauw In adalah seorang anak yatim piatu yang tadinya ditemukan oleh Ho Sim Siansu dalam keadaan melarat serta terlantar. Ayah ibunya meninggal dunia karena terserang penyakit dan kelaparan, maka ia hidup sebatang kara di waktu masih kecil sekali hingga hidupnya penuh derita. Kini ia tidak mempunyai orang tua atau keluarga yang dikenalnya, maka terhadap Ho Sim Siansu gurunya, ia pun menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri.

Karena itu, kini setelah disuruh turun gunung, ia tidak dapat bergembira seperti sute dan sumoi-nya yang akan bertemu dengan orang tua masing-masing, bahkan ia merasa agak bersedih karena harus berpisah dari suhu-nya.

Sesudah banyak lagi nasehat-nasehat diucapkan dan dipesankan oleh Ho Sim Siansu kepada ketiga orang muridnya, maka berangkatlah Ciauw ln, Ong Su, dan Bwee Hiang turun gunung melalui lereng sebelah selatan yang penuh dengan hutan liar.....

********************

Dengan menggunakan ilmu jalan cepat, pada keesokan harinya tiga murid dari Hoa-san itu sudah sampai di dusun Kwee-cin-bun. Mereka disambut oleh Ong Lo It dan isterinya dengan gembira sekali. Terutama sekali nyonya Ong atau ibu Ong Su yang sudah tujuh tahun tidak bertemu dengan puteranya. Karena merasa terharu dan amat girang nyonya ini menangis di pundak Ong Su sambil memeluk puteranya itu.

Ciauw In yang pendiam pun merasa terharu melihat pertemuan mesra ini dan ia turut merasa gembira melihat kebahagiaan sute-nya. Keluarga Ong yang hidup sebagai petani itu segera menjamu mereka. Tidak ketinggalan pula semua penduduk dusun itu datang untuk memberi selamat kepada Ong Lo It yang telah menerima kembali putera mereka yang kini sudah menjadi seorang yang gagah.

Di tengah-tengah para petani yang sederhana dan jujur itu, ketiga orang murid Hoa-san merasa seakan-akan berada di lingkungan satu keluarga besar dan mereka tidak dapat menolak ketika para petani itu minta kepada mereka untuk memainkan ilmu silat sebagai demonstrasi. Ciauw In lalu bersilat melawan Ong Su sebagaimana kalau mereka sedang berlatih di puncak Hoa-san, yakni Ong Su bersenjata toya ada pun Ciauw In bersenjata pedang.

Kepandaian kedua orang muda itu memang sudah mencapai tingkat tinggi, maka ketika mereka bersilat tentu saja dalam pandangan semua orang dusun itu tubuh mereka lenyap tergulung oleh sinar toya dan pedang hingga mereka memandang dengan mata terbelalak dan kagum sekali. Mereka bersorak-sorak memuji hingga keadaan menjadi makin ramai dan gembira. Sesudah kedua orang muda itu berhenti bersilat, Ong Lo It dengan mata berlinang air mata lalu menepuk-nepuk pundak puteranya dengan bangga sekali.

Akan tetapi ketika Bwee Hiang yang diminta pula mempertunjukkan kepandaiannya itu bersilat pedang seorang diri, dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyilaukan mata serta tubuhnya lenyap di antara gulungan kedua pedang di tangannya, semua orang lalu menjadi melongo! Dalam pandangan mereka, gadis ini lebih hebat pula, dan sesudah Bwee Hiang berhenti bersilat pecahlah tepuk tangan dan tempik sorak yang memuji-muji gadis itu dengan penuh kekaguman.

Pada malam harinya, kedua orang tua itu memanggil Ong Su dan setelah putera mereka menghadap, ibunya lalu berkata,

“Su-ji, aku dan ayahmu merasa suka sekali melihat sumoi-mu itu dan karena tahun ini kau telah memasuki usia delapan belas tahun, bagaimana pikiranmu kalau kita lamar sumoi-mu itu untuk menjadi jodohmu? Kami lihat bahwa ia sesuai sekali untuk menjadi isterimu."

Merahlah muka Ong Su mendengar ucapan ibunya ini dan ia merasa malu-malu dan juga girang oleh karena ternyata bahwa kedua orang tuanya sependapat dengannya. Karena ia seorang berwatak jujur, maka dengan terus terang dan menundukkan muka karena malu, ia berkata,

“Ibu dan ayah, sesungguhnya di dalam hatiku telah lama pula aku merasa suka kepada sumoi, maka sudah tentu aku merasa setuju sekali pada kehendak ayah dan ibu. Akan tetapi, harap jangan melakukan pinangan pada waktu sekarang, oleh karena selain sumoi belum bertemu dengan ibunya, juga aku belum mendapat kepastian dari sumoi yang sikapnya masih meragukan. Ayah dan ibu tentu maklum bahwa kalau sampai pinangan kita ditolak, maka hubungan antara aku dan dia sebagai saudara seperguruan bisa jadi akan terganggu.”

Ong Lo It dan isterinya merasa girang sekali mendengar ini dan mereka berjanji akan menunda dulu maksud ini, menanti sampai ada ‘tanda-tanda baik’ dari pihak gadis itu yang tentu akan dikabarkan oleh Ong Su kepada mereka kalau hal ini terjadi.

Pada keesokan harinya, ketiga orang muda itu berpamit kepada Ong Lo It dan isterinya, dan dengan diantar sampai ke batas dusun oleh banyak penduduk di situ, mereka pergi meninggalkan Kwee-cin-bun dan menuju kota Keng-sin untuk mencari ibu Bwee Hiang.

Kalau di Kwee-cin-bun mereka disambut dengan gembiranya, di rumah ibu Bwee Hiang, yakni nyonya Gak Seng, mereka disambut dengan hujan air mata dan kesedihan. Ketika dulu Bwee Hiang diculik oleh Ho Sim Siansu, ayahnya adalah seorang yang paling kaya di kota ini dan disegani oleh orang karena selain berhati dermawan dan suka menolong orang miskin, juga Gak Seng terkenal sebagai seorang yang jujur dan pemberani.

Akan tetapi sekarang, Gak Seng sudah meninggal dunia empat tahun yang lalu, harta bendanya habis dan kini nyonya Gak Seng telah menjadi janda dan hidup sebatang kara di dalam rumahnya yang amat sederhana, menanti-nanti datangnya puterinya yang hilang terculik orang pada tujuh tahun yang lampau!

Kedatangan Bwee Hiang disambut dengan pelukan dan ciuman yang amat mengharukan. Nyonya yang kurus itu menangis dan mengeluh dengan sedihnya.

“Ibu, jangan kau bersedih, ibu. Bukankah aku sudah kembali di pangkuanmu?" kata Bwee Hiang yang mencoba untuk tersenyum sungguh pun seluruh mukanya basah air matanya sendiri. “Bagaimana kau sampai tinggal di tempat ini? Mana gedung kita dulu? Dan ayah pergi ke manakah?"

Pertanyaan ini membuat nyonya Gak Seng menangis semakin sedih sehingga sukarlah baginya untuk mengeluarkan kata-kata. Bwee Hiang terpaksa menghibur ibunya itu dan setelah mempersilakan kedua suheng-nya untuk duduk di ruang depan, ia lalu menuntun ibunya itu ke dalam kamar.

Hati Bwee Hiang merasa gelisah sekali ketika melihat sebuah meja abu di ruang tengah dan melihat keadaan rumah yang amat miskin itu. Wajahnya berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah meja abu itu, karena keberadaan meja itu di situ hanya mempunyai satu maksud, yakni bahwa ayahnya telah meninggal!

“Ibu..., meja abu siapakah ini...?”

Sambil menahan sedu sedan yang mendesak dari dalam kerongkongnya, nyonya Gak menjawab perlahan.

“Siapa lagi...? Meja ayahmu...”

Bwee Hiang menjerit dan segera menubruk kaki meja abu itu, berlutut sambil menangis terisak-isak.

"Ayah... ayah... Hiang datang ayah..., ampuni anakmu yang tak berbakti ini... aku datang akan tetapi..., ternyata kau telah pergi..."

Jeritan Bwee Hiang ini terdengar oleh Ong Su dan Ciauw In yang duduk di luar, maka tanpa memperdulikan lagi kesopanan sebagai tamu, mereka menyerbu ke dalam karena berkuatir. Melihat gadis itu mendekam di atas tanah, berlutut di depan meja abu sambil menangis terisak-isak dan menyebut nama ayahnya, keduanya berdiri bengong dan tahulah mereka bahwa ayah sumoi-nya itu telah meninggal.

Dengan terharu mereka kemudian menjura di depan meja abu itu sebagai penghormatan kepada mendiang ayah Bwee Hiang, kemudian mereka mendekati sumoi-nya dan Ciauw In yang biasanya pendiam itu berkata dengan suara menahan keharuan,

“Sudahlah, sumoi, mati dan hidup tak berbeda banyak seperti kata suhu dulu, mengapa kau bersedih! Ingatlah bahwa aku pun telah kehilangan ayah ibuku...”

Mendengar hiburan ini, Bwee Hiang menahan tangisnya, dan kedua orang muda itu lalu kembali keluar. Nyonya Gak Seng kemudian memeluk anaknya dan dibawanya masuk ke dalam kamar.

"Ibu, lekas ceritakanlah, mengapa ayah meninggal dunia sedangkan ayah belum begitu tua? Dan mengapa pula keadaanmu sampai menjadi begini?”

Nyonya Gak Seng menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan.

"Anakku, telah banyak sekali hal-hal yang hebat terjadi pada kira-kira empat tahun yang lalu. Dan aku selalu berdoa siang malam kepada Thian Yang Maha Adil agar supaya kau cepat-cepat pulang membawa kepandaian untuk membalas dendam yang sudah kuderita bertahun-tahun. Anakku, sebelum aku bercerita, katakanlah dulu apakah kau benar-benar membawa pulang kepandaian tinggi? Jawablah sejujurnya, Hiang."

Merahlah muka Bwee Hiang karena marah. Ia pun dapat menduga bahwa ayahnya tentu terbunuh orang. Maka, tiba-tiba ia mencabut sepasang pedangnya dan bertanya.

"Katakan, ibu! Siapa orang yang telah mendatangkan mala petaka ini? Siapa yang telah membunuh ayah? Akan kubalas dendam ini sekarang juga!”

“Simpan dulu pedang-pedangmu, anakku. Aku merasa girang kau memiliki kesanggupan untuk membalas musuh kita, karena sesungguhnya musuh kita sangat lihai dan banyak jumlahnya."

"Aku tidak takut sama sekali, ibu! Dan pula, ada kedua suheng-ku yang tentu akan suka membantuku!"

Setelah menarik napas lega, nyonya janda itu bercerita…..

"Pada empat tahun yang lalu, kota ini telah kedatangan serombongan orang jahat yang mengaku sebagai anggota perkumpulan Hek-lian-pang atau Perkumpulan Teratai Hitam. Mereka ini terdiri dari dua puluh orang lebih yang kesemuanya merupakan jago-jago silat yang berilmu tinggi. Mereka menggunakan kepandaian mereka untuk memeras penduduk kota ini. Mereka menentukan uang sumbangan yang jumlahnya besar dari tiap penduduk. Kau tahu tabiat ayahmu yang keras dan berani. Melihat sikap mereka yang kurang ajar itu, ayahmu lalu mengumpulkan kawan-kawan sekota ini untuk melawan dan mengeroyok mereka. Banyak orang fihak kita yang tewas dalam pertempuran itu, akan tetapi akhirnya mereka dapat didesak mundur meninggalkan kota. Dan pada tiga hari kemudian, malam hari yang celaka, diam-diam mereka datang kemudian seluruh dendam mereka dibalas kepada keluarga kita."

Bicara sampai di nyonya itu menarik napas panjang dengan muka sedih.

“Teruskan ibu, apakah yang diperbuat oleh keparat-keparat itu?" Bwee Hiang bertanya dengan marah.

“Mereka merampok harta kita dan ayahmu yang malang itu mereka bunuh, rumah kita mereka bakar! Ketika penduduk datang menolong, telah terlambat. Ayahmu... telah tewas dan rumah habis terbakar, sedangkan bangsat-bangsat itu telah melarikan diri!”

Bwee Hiang bangkit berdiri dari tempat duduknya. Kedua tangannya dikepalkan, lantas matanya mengeluarkan sinar berapi-api.

“Ibu, anak bersumpah akan membasmi gerombolan Teratai Hitam itu! Di manakah sarang mereka?”

"Tenanglah, Bwee Hiang, dan biar pun sakit hati ini harus dibalas, akan tetapi kau berhati-hatilah menghadapi mereka, karena menurut cerita semua penduduk kota ini, mereka itu memiliki ilmu silat yang lihai, dan mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang sangat tinggi kepandaiannya. Aku adalah seorang wanita lemah yang tak berdaya, akan tetapi selama ini tiada hentinya aku menyelidiki dan mendengar-dengarkan cerita orang di mana mereka yang menjadi musuh-musuh kita itu berada. Aku tahu bahwa pada suatu hari kau tentu akan datang dan perlu mengetahui tempat mereka itu. Menurut hasil penyelidikanku yang terakhir, mereka itu katanya kini berada kota Ban-hong-cun, sebelah timur kota ini, kira-kira seratus li jauhnya."

"Ibu, kalau begitu anak hendak mohon diri. Sekarang juga anak akan mengejar mereka di Ban-hong-cun!”

“Jangan begitu tergesa-gesa, Bwee Hiang...!”

Tapi gadis itu telah berlari ke luar menghampiri kedua suheng-nya yang memandangnya dengan kasihan. Dengan singkat Bwee Hiang menuturkan peristiwa hebat yang menimpa keluarganya itu kepada Ciauw In dan Ong Su, dan dua orang muda ini dengan serentak menyatakan kesediaan mereka untuk membantu.

"Penjahat-penjahat kejam macam itu memang harus dibasmi, sumoi. Mari kita berangkat sekarang juga,” kata Ong Su yang menjadi marah sekali.

Demikianlah, tanpa dapat ditahan lagi oleh nyonya janda Gak, Bwee Hiang mengajak dua orang suheng-nya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Ban-hong-cun untuk mencari musuh-musuh besarnya! Mereka bertiga tak banyak bercakap-cakap di dalam perjalanan yang dilakukan secara tergesa-gesa ini, dan Bwee Hiang yang biasanya amat jenaka hingga menggembirakan hati kedua suheng-nya, kini bermuram durja.

Dua hari kemudian tibalah mereka di kota Ban-hong-cun. Dengan mudah mereka dapat mencari sarang perkumpulan Hek-lian-pang itu. Tempat itu merupakan sebuah gedung yang besar serta mentereng. Di depan gedung itu terdapat sebuah papan yang lebar, di mana terdapat sebuah lukisan bunga teratai warna hitam.

Ketika mereka bertiga memasuki halaman rumah itu, mereka melihat tiga orang laki-laki duduk di ruang depan sambil bermain catur. Tiga orang laki itu memandang kepada Bwee Hiang dan kedua suheng-nya dengan heran.

“Sam-wi (saudara bertiga) siapakah dan ada keperluan apa datang ke tempat kami?” tanya seorang di antara mereka sambil berdiri dan menjura.

Bwee Hiang menahan marahnya dan tanpa membalas penghormatan mereka, ia berbalik mengajukan pertanyaan singkat.

"Apakah kalian ini anggota-anggota Hek-lian-pang?"

"Benar, dan nona...?"

Belum juga kata-katanya dilanjutkan, Bwee Hiang telah melompat maju dan menyerang dengan pukulan kilat. Pukulannya ini cepat sekali dan karena tidak menduga lebih dulu, orang itu kena pukul dadanya hingga terlempar jauh dan roboh pingsan.

Dua orang kawannya menjadi terkejut dan marah sekali. Sambil berseru keras mereka mencabut pedang dari pinggang dan membentak.

"Perempuan liar dari manakah datang-datang menyerang orang?"

Akan tetapi tanpa banyak cakap lagi Bwee Hiang sudah mencabut siang-kiam-nya dan bagaikan seekor naga betina yang ganas ia maju menyerang dua orang itu. Serangannya ini penuh dengan nafsu membunuh dan datangnya cepat luar biasa sehingga ketika dua lawannya menangkis, ia segera memutar pedangnya dan seorang di antara lawannya lantas roboh karena tusukan pedang di tangan kirinya! Ketika melihat kelihaian nona itu, yang seorang lagi cepat-cepat melompat mundur dan lari masuk ke dalam gedung sambil berteriak-teriak keras!

Bwee Hiang memandang ke dalam dengan mata bersinar-sinar, sedangkan Ong Su dan Ciauw ln yang belum bergerak, hanya memandang dengan tangan telah siap memegang senjata masing-masing!

Pada waktu orang yang terpukul dadanya oleh Bwee Hiang tadi bergerak dan merayap bangun, dengan sekali lompatan saja Bwee Hiang sudah berada di hadapannya sambil menodong dengan pedang.

“Di mana adanya pangcu (ketua) mu yang empat tahun yang lalu menyerbu keluarga Gak di kota Keng-sin?"

"Pangcu kami sedang pergi... dia tidak berada di sini...,” jawab anggota Hek-lian-pang itu dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

“Bohong!” Bwee Hiang berteriak sambil menusukkan ujung pedangnya sedikit ke dada orang.

“Tidak... tidak bohong... pangcu kami pun baru setahun menjabat kedudukan pangcu... Empat tahun yang lalu pangcu kami adalah ayah dari pangcu kami yang sekarang... dia ada di dalam gedung... harap lihiap..."

Akan tetapi pada saat itu dari dalam berlari keluar seorang tua tinggi besar yang diikuti oleh rombongan orang berjumlah dua puluh orang lebih. Melihat ini, Bwee Hiang lantas menusukkan pedangnya menembus dada orang yang membuat pengakuan tadi!

Orang tua tinggi besar yang baru keluar dari dalam rumah itu merasa marah sekali. la gunakan golok besarnya menuding ke arah Bwee Hiang dan kedua suheng-nya sambil membentak dengan mulut marah.

“Tiga pembunuh rendah, siapakah kalian dan mengapa datang-datang membunuh orang seperti orang gila?!”

Akan tetapi Bwee Hiang tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan lalu bertanya.

"Apakah kau orang yang memimpin anak buahmu pada empat tahun yang lalu membakar rumah seorang she Gak di Keng-sin dan membunuhnya dengan kejam?”

Orang itu tertawa menghina.

"Benar! Akulah yang dahulu memimpin kawan-kawanku menghukum anjing she Gak itu! Apa hubungannya dengan kau?”

Bukan main marahnya hati Bwee Hiang ketika mendengar bahwa orang yang berdiri di depannya inilah yang menjadi musuh besarnya.

"Manusia keparat! Dengarlah baik-baik! Aku adalah puteri dari Gak Seng yang kau bunuh itu dan kini setelah kita berhadapan muka, marilah kita bertempur untuk menyelesaikan perhitungan ini!”

Sambil berkata demikian gadis itu melompat maju dengan penuh amarah dan langsung menggerakkan siang-kiam di kedua tangannya untuk menyerang.

"Kau anak kecil hendak melawan Gu Ma Ong? Ha-ha-ha!” Orang itu tertawa menyindir sambil menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga.

Akan tetapi suara ketawanya yang penuh ejekan itu melenyap ketika ia merasa betapa tangannya itu terbentur dengan pedang yang sangat kuatnya sehingga ia merasa telapak tangannya tergetar. Ia maklum bahwa lawannya yang biar pun hanya seorang dara muda, akan tetapi ternyata memiliki lweekang yang tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Ia lalu memutar-mutar goloknya dan melawan dengan hebat.

Para anggota Hek-lian-pang yang berjumlah dua puluh orang lebih itu semuanya segera menggerakkan senjata masing-masing hendak membantu. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan Ciauw In berdua Ong Su sudah berdiri menghadang di depan mereka. Dengan toya di tangan Ong Su membentak sambil melototkan sepasang matanya.

“Anjing-anjing Hek-lian-pang, jangan lakukan keroyokan secara curang!"

Tentu saja para anggota Hek-lian-pang yang mengandalkan jumlah besar tidak merasa jeri menghadapi dua orang pemuda ini. Karena itu, sambil berteriak-teriak mereka maju menyerbu.

Ong Su tertawa bergelak. Sekali toyanya bergerak terputar, seorang pengeroyok lantas roboh dengan mandi darah di kepalanya! Ciauw In juga menggerakkan pedangnya dan mata para pengeroyok itu tiba-tiba menjadi silau karena sinar pedang dan toya kedua pemuda itu benar-benar hebat bergulung-gulung bagai dua ekor naga sakti mengamuk.

Pertempuran berjalan ramai dan seru sekali karena betapa pun juga, semua anggota Hek-lian-pang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi hingga mereka dapat mengepung dan mengeroyok Ciauw In dan Ong Su. Senjata-senjata di tangan mereka datang bagaikan serangan air hujan, akan tetapi dua orang jago muda dari Hoa-san ini tidak merasa jeri. Ketika mereka mendesak, terdengarlah pekik dan robohlah beberapa orang pengeroyok!

Sementara itu, pertempuran yang berjalan antara Bwee Hiang dan Gu Ma Ong, berjalan amat ramainya. Gu Ma Ong adalah seorang ahli silat kawakan yang telah banyak sekali mengalami pertempuran-pertempuran besar, dan ilmu goloknya yang berasal dari cabang Bu-tong-pai itu tidak boleh dianggap lemah.

Maka biar pun Bwee Hiang telah memiliki ilmu siang-kiam yang tinggi, akan tetapi ia kalah pengalaman sehingga kelebihan ilmu silatnya bisa diimbangi oleh kelebihan pengalaman lawannya. Berkali-kali senjata mereka bertemu dan bunga api terpencar keluar dibarengi suara nyaring ketika dua senjata beradu.

Gu Ma Ong merasa penasaran sekali karena setelah beberapa lamanya ia menyerang, selalu serangannya berhasil digagalkan oleh lawan yang masih muda ini, maka ia lalu menggereng keras dan tiba-tiba merubah ilmu goloknya. Ia mulai memainkan ilmu golok Hek-lian-pang sendiri yang berasal dari ilmu golok Bu-tong-pai tapi telah dirubah. Golok di tangan kanannya meluncur dan dengan gerakan terputar membabat ke arah pinggang Bwee Hiang, sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sebuah pukulan ke arah kepala gadis itu.

Bwee Hiang tidak menjadi gugup, ia lalu melayani serangan ini dengan gerak tipu Raja Monyet Membagi Buah. Pedang di tangan kirinya dipukulkan dari atas ke bawah untuk menangkis babatan golok ke pinggangnya, sedangkan pukulan tangan kiri lawan yang menyambar ke arah kepalanya itu dielakkan dengan merendahkan tubuh hingga pukulan lawan menyambar lewat di atas kepalanya. Berbareng dengan pertahanan diri itu, tangan kanannya yang menganggur segera menusukkan pedang ke arah dada orang, tepat di bawah tangan kiri Gu Ma Ong yang terangkat dan sedang memukulnya itu!

Akan tetapi Gu Ma Ong benar-benar lihai, karena sungguh pun ia merasa amat terkejut melihat serangan tiba-tiba yang berbahaya ini, ia tidak kehilangan ketenangannya dan tangan klrinya yang telah memukul kepala segera disabetkan ke bawah dengan telapak tangan miring, menghantam pedang Bwee Hiang yang menusuknya dari samping dengan gerak tipu Dewa Mabok Menolak Arak.

Gerakan ini harus dilakukan dengan tepat sekali, oleh karena pedang merupakan senjata yang tajam pada kedua bagian sehingga pukulan telapak tangan harus dapat mengenai permukaan pedang, kalau meleset sedikit saja maka telapak tangan itu pasti akan putus atau sedikitnya menderita luka!

Gerakan Gu Ma Ong amat tepat. Pedang yang menusuk di dadanya itu dapat terpental ke samping sehingga dadanya dapat diselamatkan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar