Pendekar Dari Hoa-San Chapter 01 Tiga Murid Ho Sim Siansu

BUKIT HOA-SAN terletak di pegunungan Jeng-leng-san sebelah selatan dan di kaki bukit ini mengalir Sungai Han yang lebar dan berair jernih. Bunga-bunga beraneka macam warna memenuhi lereng bukit ini di sebelah timur, menimbulkan pemandangan yang amat permai sedangkan hawa udara di bukit amat sejuk. Di lereng sebelah barat banyak sekali ditumbuhi pohon-pohon obat yang banyak khasiatnya, sedangkan di lereng sebelah selatan penuh dengan hutan-hutan liar.

Bukit Hoa-san sungguh merupakan tempat yang amat baik dan ideal bagi para pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Bukit ini amat terkenal, bukan hanya karena keindahan bunga-bunga yang menghias lereng timur, atau karena banyaknya daun-daun dan akar-akar obat yang sering didatangi para ahli pengobatan untuk mengambil daun dan akar, atau pun karena keindahan tamasya alam yang terdapat di bukit itu, akan tetapi terutama sekali oleh karena seperti banyak bukit-bukit besar dan pegunungan luas di Tiongkok, juga Hoa-san merupakan sumber semacam cabang ilmu silat yang disebut Hoa-san-pai atau cabang ilmu silat bukit Hoa-san.

Semenjak puluhan tahun yang lalu amat banyak pendekar-pendekar yang muncul dari bukit Hoa-san, yakni anak-anak murid cabang persilatan ini. Banyak pula orang-orang sakti yang bertapa di puncak Hoa-san, yang namanya sangat terkenal sebagai guru besar-guru besar yang berkepandaian tinggi.

Pada waktu cerita ini terjadi, yang sedang bertapa di puncak Hoa-san adalah seorang kakek tua pemeluk Agama Tao yang bernama Ho Sim Siansu. Kakek ini telah berusia amat tinggi, sedikitnya enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan rambutnya yang telah putih semua itu dibiarkan terurai di atas pundaknya. Juga kumis serta jenggotnya sudah putih semua, tergantung memanjang sampai ke dadanya. Walau pun rambut dan cambangnya ini tidak terawat, akan tetapi selalu nampak bersih bagaikan benang-benang perak.

Wajahnya yang sudah penuh keriput selalu berwarna kemerah-merahan, tanda kesehatan tubuhnya yang amat sempurna. Pakaian yang menutupi tubuhnya sederhana sekali, seperti pakaian para petani biasa, hanya warnanya saja yang selalu kuning. Sepatunya terbuat dari pada rumput kering yang dianyam bagus sekali.

Sudah lebih dari dua puluh tahun Ho Sim Siansu mengasingkan diri di puncak Hoa-san dan biar pun telah lama ia tidak mencampuri urusan dunia ramai, namun di kalangan kang-ouw namanya amat terkenal karena selama bertapa di puncak Hoa-san itu ia tidak menganggur bahkan telah berhasil menciptakan semacam ilmu pedang yang lihai sekali dan yang diberi nama Hoa-san Kiam-hoat.

Selain tosu (pendeta pemeluk Agama To) ini, di puncak Hoa-san itu juga tinggal tiga muridnya yang amat terkasih dan yang telah mengejar ilmu di bawah pimpinan Ho Sim Siansu selama hampir sepuluh tahun.

Murid pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bernama Lie Ciauw In. Ciauw In orangnya pendiam, lemah-lembut, dan wajahnya tampan sekali. Tubuhnya agak kurus dan tinggi, akan tetapi bahunya bidang serta kedua lengannya berisi tenaga yang mengagumkan. Sinar mata pemuda ini kadang kala nampak bercahaya ganjil, sukar sekali untuk diukur dan dimengerti wataknya, dan kadang kala bersinar tajam membuat orang merasa jeri untuk menatap wajahnya lama-lama.

Hanya pemuda inilah yang benar-benar sanggup mewarisi Hoa-san Kiam-hoat dari Ho Sim Siansu sehingga pendeta merasa amat bangga dan suka pada muridnya ini. Harapannya hanya terletak kepada Ciauw In untuk memperkembangkan dan memperluas ilmu pedang yang diciptanya itu.

Murid kedua juga seorang pemuda bernama Ong Su. Berbeda dengan suheng-nya (kakak seperguruannya), pemuda yang berusia delapan belas tahun ini bertubuh tinggi besar dan kekuatan tubuhnya dinyatakan oleh urat-urat besar yang mengembung di lengan tangan dan kakinya membuat ia nampak hebat dan gagah sekali.

Baru melihat tubuhnya saja, orang akan memperhitungkan dulu sampai seratus kali sebelum mengambil keputusan mengajaknya berkelahi! Sesuai dengan bentuk tubuhnya, Ong Su ini berwatak jujur dan polos, meski pun sedikit kasar. Memang orang-orang yang berhati jujur sering kali bertabiat kasar.

Wajah Ong Su tidak dapat disebut tampan, akan tetapi ia tidak buruk rupa dan ia bahkan memiliki sesuatu pada wajahnya yang amat menyenangkan hati orang untuk mendekati dan bergaul kepadanya. Juga Ong Su sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-san-pai, namun keistimewaannya ialah permainan silat toya. Tenaganya besar sekali dan dengan sebatang toya di tangan, ia merupakan seekor harimau ganas yang tumbuh tanduk pada kepalanya. Juga kepada murid kedua ini, Ho Sim Siansu amat menyayangi karena suka dan kagum akan kejujurannya.

Murid ketiga merupakan orang yang paling disayang oleh tosu itu, dan murid ini memang menimbulkan rasa sayang dalam hati siapa saja yang melihatnya. Ia adalah seorang murid wanita bernama Gak Bwee Hiang, seorang dara muda berusia tujuh belas tahun. Wajahnya manis sederhana dan yang membuat semua orang merasa suka dan sayang kepadanya ialah wataknya yang selalu gembira dan jenaka.

Dengan adanya dara ini di dekatnya, setiap orang akan selalu merasa gembira dan matahari seakan-akan bercahaya lebih terang dari pada biasanya. Bwee Hiang pandai bicara, tidak suka marah, selalu tersenyum dan suka menggoda orang. Wataknya yang amat peramah dan baik ini ditambah oleh kelincahannya yang mengagumkan. Ia pandai menari, pandai menyanyi dan suaranya amat merdu.

Tidak heran apa bila suhu-nya sangat menyayanginya, juga kedua suheng-nya. Dalam hal ginkang dan kegesitan, ia tak usah merasa kalah terhadap dua suheng-nya. Keahliannya ialah memainkan sepasang siang-kiam (pedang berpasang) yang dimainkan dengan ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat. Biar pun ilmu pedangnya tidak sematang dan selihai Ciauw In, akan tetapi oleh karena ia mempergunakan dua pedang dan gerakannya cepat dan gesit, maka tidak sembarangan orang akan dapat mengalahkan dara manis ini!

Hubungan tiga orang anak muda murid-murid Hoa-san ini amat erat dan baiknya bagaikan saudara-saudara sekandung, bahkan lebih dari itu. Diam-diam bersemilah tunas asmara di dalam hati Ong Su terhadap dara itu dan setelah mereka menjadi dewasa, tunas itu tumbuh makin kuat di lubuk hatinya.

Tentu saja pemuda ini merasa malu untuk menyatakan perasaannya terhadap Bwee Hiang, akan tetapi pandang matanya secara jujur dan terus terang membayangkan cinta kasihnya yang besar. Wataknya yang jujur itu membuat segala gerak-geriknya mudah sekali diketahui oleh semua orang bahwa ia mencintai gadis itu.

Tentu saja sebagai seorang wanita yang memiliki perasaan lebih halus dari pada pria dan yang memang amat tajam perasaannya, dalam hal ini, Bwee Hiang telah lama maklum akan isi hati Ong Su. Akan tetapi, gadis ini sudah lama jatuh hati kepada twa-suheng-nya, yakni Ciauw In yang pendiam dan tampan itu.

Sering kali gadis ini menderita dalam hatinya melihat betapa sikap Ciauw In demikian dingin dan pendiam terhadapnya. Ia sering kali membayangkan betapa akan bahagianya apa bila sikap Ong Su terhadapnya itu berada dalam diri Ciauw In. Akan tetapi karena memang wataknya gembira, tak seorang pun dapat mengetahui isi hatinya dan terhadap Ciauw In ia bersikap seperti biasa semenjak mereka masih kanak-kanak dan mula-mula belajar silat di Hoa-san.

Pada suatu hari, seorang laki laki yang bersikap gagah dan menunjukkan bahwa ia pandai ilmu silat, naik ke puncak Hoa-san melalui lereng timur yang penuh dengan bunga-bunga indah. Sambil berjalan mendaki tebing, orang ini tiada hentinya mengagumi keindahan bunga-bunga yang tumbuh memenuhi lereng. Berkali-kali ia menarik napas panjang melalui hidungnya, menikmati keharuman bunga yang membuat ia merasa segan untuk meninggalkan tempat itu.

“Benar kata orang bahwa lereng Hoa-san sebelah timur merupakan taman sorga yang amat indah,” katanya dalam hati. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dan orang akan merasa kagum melihat betapa dia mempergunakan ilmu lari cepat, melompat-lompati jurang dan berlari di jalan yang sukar dengan amat mudahnya.

Ketika sampai di dekat puncak, orang itu melihat seorang pemuda sedang bekerja mencangkul tanah di ladang sayur. Ia menahan tindakan kakinya dan memandang kagum. Pemuda yang sedang bekerja keras itu hanya mengenakan celana sebatas lutut dan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dada yang penuh dan bidang itu bergerak-gerak, sedang urat-urat yang besar dan hebat menggeliat-geliat ketika ia mengayun cangkul di kedua tangannya.

Memang pemuda itu bekerja secara aneh sekali. Setiap petani mencangkul tanah dengan hanya sebatang cangkul yang dipegang oleh kedua tangan, akan tetapi pemuda bertubuh besar dan kuat itu memegang dua batang cangkul di kedua tangannya dan dua cangkul itu digerakkan berganti-ganti mencangkul tanah dengan gerakan yang amat cepat dan kuat! Dengan cara demikian, maka hasil pekerjaannya pasti akan lebih cepat dan banyak melebihi pekerjaan dua orang!

“Hebat sekali! Kalau semua petani dapat bekerja seperti kau, tanah di seluruh negara akan menghasilkan padi dan gandum dua kali lipat banyaknya!” seru orang itu gembira.

Pemuda itu yang bukan lain adalah Ong Su yang sedang bekerja, menunda cangkulnya dan memandang kepada orang yang berbicara tadi. Ia melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bersikap gagah dan garang, pedangnya nampak tersembul dari balik punggungnya.

“Orang gagah dari manakah datang mengunjungi Hoa-san yang sunyi?" tanya Ong Su.

Orang itu tersenyum dan masih memandang ke arah tubuh Ong Su dengan kagum.

“Anak muda, kau tentu salah seorang anak murid Hoa-san, bukan? Di manakah aku dapat bertemu dengan Ho Sim Siansu?"

"Aku memang murid kedua dari Ho Sim Siansu, kau siapakah dan datang dari mana?”

“Aku adalah seorang anak murid Go-bi-pai yang disuruh oleh suhu untuk menyampaikan surat kepada suhu-mu.”

“Ahhh, tidak tahunya kami kedatangan seorang pendekar dari Go-bi-pai! Selamat datang, sahabat!" kata Ong Su yang segera menjura dan dibalas oleh orang itu sepantasnya.

Ong Su segera mengambil kedua cangkulnya, mencuci tangan dan kaki lalu mengenakan pakaian yang tadi ditaruh di pinggir ladang. Setelah itu ia lalu berkata kepada orang itu,

"Marilah kau kuantar menjumpai suhu."

Setelah berkata demikian, Ong Su kemudian berlari cepat dan ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya untuk mencoba kepandaian orang yang mengaku menjadi murid Go-bi-pai. Bukan main kagumnya orang itu ketika melihat betapa Ong Su berlari dengan amat ringan dan cepatnya, jauh berlawanan dengan tubuhnya yang tinggi besar.

Dengan mengerahkan kepandaian seluruhnya, barulah ia bisa menyusul dan tidak sampai tertinggal. Pada saat Ong Su melihat hal ini, diam-diam ia mengakui bahwa anak murid Go-bi-pai ini pun memiliki ilmu kepandaian yang cukup lumayan.

Ciauw In dan Bwee Hiang melihat kedatangan tamu itu dengan merasa heran oleh karena memang jarang sekali tempat itu kedatangan tamu. Sebaliknya, pada saat memandang kepada Ciauw In dan Bwee Hiang, murid Go-bi-pai itu semakin kagum dan diam-diam memuji bahwa murid-murid Hoa-san benar-benar gagah dan luar biasa.

Ho Sim Siansu menerima tamunya dengan sabar dan tenang. Setelah orang itu memberi penghormatan sambil berlutut di depan pertapa itu, Ho Sim Siansu lalu berkata,

"Sicu, kau datang dari tempat jauh membawa perintah apakah dari suhu-mu?”

Pertapa ini tadi telah diberitahu oleh Ong Su mengenai kedatangan seorang anak murid Go-bi-pai yang hendak menyampaikan surat dari suhu-nya.

“Pertama-tama teecu menghaturkan hormat kepada locianpwe dan juga suhu minta kepada teecu untuk menyampaikan salamnya. Di samping itu, suhu menyuruh teecu menyampaikan sepucuk surat ini kepada loocianpwe.” Sambil berkata demikian, orang itu mengeluarkan sebuah sampul surat tertutup.

Sambil menerima surat itu Ho Sim Siansu tersenyum dan berkata,

"Suhu-mu bukankah Pek Bi Hosiang si Alis Putih?”

Anak murid Go-bi itu mengangguk membenarkan, membuat ketiga orang murid Hoa-san itu terkejut mendengar ini karena mereka telah mendengar nama Pek Bi Hosiang, ketua dari Go-bi-san yang sangat terkenal namanya karena memiliki ilmu silat yang amat lihai. Jadi orang ini adalah murid hwesio tua itu? Mereka menaruh perhatian kepada tamu yang datang ini.

Sementara itu, Ho Sim Siansu lalu membuka dan membaca surat dari Pek Bi Hosiang yang ketika mudanya menjadi kenalan baiknya itu. Wajahnya yang penuh keriput itu kini berseri dan bibirnya tersenyum seakan-akan menahan geli hatinya membaca isi surat itu.

"Ahh Pek Bi, kau masih seperti anak kecil saja," katanya dan ia lalu berkata kepada anak murid Go-bi-pai tadi.

"Sicu, suhu-mu memang suka main-main. Kau katakanlah kepadanya bahwa sedikit sekali kemungkinan aku dapat memenuhi permintaannya, akan tetapi betapa pun juga, aku pasti mengirim wakil ke tempat yang telah ditentukan.”

"Teecu mengerti, locianpwe. Suhu bahkan berpesan supaya teecu menyampaikan kepada locianpwe bahwa dalam pertemuan besar ini akan diundang semua tokoh persilatan dari berbagai cabang. Suhu telah mengirim surat-surat undangan yang kini dibawa dan akan disampaikan oleh lima belas orang anak murid Go-bi.”

"Bagus, memang biar pun suhu-mu itu suka main-main, tapi ia pandai menyelenggarakan sesuatu yang besar dan megah. Aku kenal baik keadaannya dan dalam usia tua ia masih sanggup mengatur pertemuan ini, benar-benar membuat aku merasa kagum. Sampaikan salamku kepadanya dan doaku semoga usianya lebih panjang dari pada usiaku.” Setelah berkata demikian, Ho Sim Siansu kemudian masuk ke dalam gubuknya dengan langkah perlahan.

Anak murid Go-bi-pai itu setelah memberi hormat sekali lagi, lalu berpaling kepada Ciauw In dan dua orang saudara seperguruannya, dan menjura sambil berkata, "Selamat tinggal, sahabat-sahabat baik, sekarang sudah tiba waktunya bagiku untuk pergi dari sini."

Ong Su menahannya dan berkata, "Sobat, kau datang dari tempat yang jauh dan sudah lama kami mendengar nama Pek Bi Hosiang yang tersohor dan sering dipuji-puji oleh suhu. Pertemuan dengan kau yang menjadi murid orang tua itu amat menggembirakan hati kami, mengapa kau tergesa-gesa hendak pergi? Kau bermalamlah disini dan tinggal barang dua hari agar kita dapat bicara dengan senang."

Orang itu tersenyum. "Terima kasih, kalian baik dan peramah sekali. Akan tetapi, aku datang membawa tugas, bukan sedang melancong maka terpaksa aku harus segera kembali untuk memberi laporan mengenai tugasku kepada suhu. Biarlah lain kali kita bertemu pula."

Setelah berkata demikian, ia menjura lagi dan segera lari pergi menuruni lereng bukit.

Setelah orang itu pergi, Ho Sim Siansu lalu memanggil ketiga orang muridnya. Sambil memperlihatkan surat yang baru saja diterimanya, ia berkata,

"Murid-muridku, surat yang kuterima dari Pek Bi Hosiang ini adalah surat undangan untuk menghadiri pertemuan besar pada permulaan musim semi yang akan datang dua bulan lagi. Pertemuan diadakan di puncak Bukit Kui-san agar para pengunjung dapat menempuh jarak sama jauhnya karena tempat itu berada di tengah-tengah. Dan maksud pertemuan itu ialah untuk mengadakan pibu (pertandingan ilmu silat) untuk menentukan siapa yang tertinggi ilmu silatnya dan untuk saling menukar pengalaman. Memang maksud Pek Bi Hosiang ini baik sekali karena selain perhubungan di antara orang gagah menjadi lebih erat, juga kesalah pahaman dapat dilenyapkan dalam pertemuan itu."

"Bagus sekali! Kalau suhu datang ke sana, pasti suhu akan dapat menduduki tingkat teratas karena dengan Hoa-san Kiam-hoat, teecu merasa pasti bahwa suhu tentu takkan menemui tandingan!" kata Ong Su gembira.

“Hush, jangan kau sombong!” cela suhu-nya, "Orang yang mengagulkan kepandaiannya sendiri akan kecewa karena itu merupakan tanda dari kebodohan! Sungguh pun bukan maksudku merendahkan ilmu silat kita, akan tetapi kita tetap harus berlaku waspada dan hati-hati, jangan sekali-kali memandang rendah ilmu kepandaian orang lain.”

"Suhu, mengapa suhu tadi menyatakan tak dapat datang? Datanglah suhu dan bawalah teecu!” kata Bwee Hiang dengan suara membujuk.

Ho Sim Siansu memandang kepada murid perempuan itu dengan tersenyum.

"Bwee Hiang, aku sudah tua."

"Justeru sudah tua maka sebaiknya suhu melakukan perjalanan untuk menghibur hati, Marilah kita bergembira di sana, suhu." Bwee Hiang membujuk pula dengan gembira.

Suhu-nya menggeleng kepala.

"Tidak ada hiburan yang lebih mengamankan hati dari pada di tempat ini bagiku, Bwee Hiang. Kau dan kedua suheng-mu yang perlu mendapat pengalaman dan hiburan itu. Oleh karena itu, aku bermaksud untuk mewakilkan kehadiranku kepada kalian bertiga."

Bwee Hiang dan Ong Su menyambut kata-kata ini dengan penuh kegembiraan, wajah mereka berseri-seri, mulut tersenyum senang. Akan tetapi Ciauw In yang semenjak tadi diam saja mendengar percakapan ini, lalu berkata kepada suhu-nya,

"Maaf, suhu. Kepandaian teecu bertiga masih rendah dan pertemuan yang dimaksudkan itu adalah pertemuan mengadu kepandaian. Kalau teecu bertiga yang pergi dan mewakili Hoa-san-pai, apakah takkan mengecewakan? Teecu berkuatir nama Hoa-san-pai akan turun apa bila teecu bertiga tak berhasil mendapat kemenangan."

Ho Sim Siansu tersenyum dan di dalam hatinya ia merasa amat girang mendengar ucapan muridnya yang amat hati-hati dan pandai merendahkan diri itu. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, Ciauw In telah dapat memiliki seluruh kepandaiannya dan Hoa-san Kiam-hoat telah dapat dikuasainya dengan baik, maka kiranya tak akan mudah bagi jago-jago silat lain untuk mengalahkan ilmu pedang muridnya ini.

"Ucapanmu memang benar, Ciauw In dan memang seharusnya kita berhati-hati dan tidak mengagulkan kepandaian sendiri. Akan tetapi, kau tak perlu merasa kuatir, oleh karena menurut pendapatku, kepandaian yang kalian bertiga miliki sudah cukup untuk digunakan dalam pertandingan pibu di mana pun juga. Aku yakin hasilnya tak akan mengecewakan. Andai kata kalian kalah, kenapa hal itu kau anggap menurunkan nama Hoa-san-pai. Ingatlah bahwa bukan kelihaian ilmu silat yang menjunjung tinggi dan mengharumkan nama sebuah cabang persilatan, akan tetapi sepak terjang para anak murid cabang itu. Kalau kalian dapat menggunakan kepandaianmu untuk melakukan hal-hal yang betul dan sepatutnya dilakukan oleh orang orang berkepandaian tinggi, mengapa aku harus kuatir bahwa nama cabang persilatan kita akan turun? Kekalahan atau kemenangan dalam sesuatu pertandingan pibu adalah lazim dan tak dapat dihubungkan dengan keharuman nama."

Ketiga murid yang masih muda itu mendengarkan petuah guru mereka dengan khidmat.

“Ong Su dan Bwee Hiang,” kata pula pertapa itu, "Kalian sebagai saudara-saudara muda harus tunduk dan menurut kepada suheng-mu dalam segala tindakan. Jangan menurutkan nafsu hati dan dalam pertandingan kau harus menyontoh sikap twa-suheng-mu, merendah dan tidak sombong, akan tetapi cukup tabah dan tenang menghadapi lawan yang bagai mana tangguh pun. Ilmu toya yang dimiliki Ong Su cukup untuk menghadapi lawan yang bertenaga besar, ada pun siang-kiam dari Bwee Hiang boleh digunakan untuk menghadapi lawan yang cepat dan gesit. Sedangkan jika kalian menghadapi seorang yang benar-benar tangguh dan telah tinggi tingkat kepandaiannya, kalian harus memberikan kesempatan kepada twa-suheng-mu untuk menghadapinya. Ciauw In, hanya kau yang sudah mampu mewarisi Hoa-san Kiam-hoat secara baik, maka kau pakailah pedangku ini."

Sambil berkata demikian, pertapa itu memberikan pedang berikut sarungnya kepada Ciauw In yang menerimanya sambil berlutut.

"Ciauw In," orang tua itu berkata lagi, “ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang kuciptakan belum pernah digunakan untuk menghadapi musuh, oleh karena itu, rahasianya belum pernah terlihat oleh siapa pun juga. Sungguh pun demikian, orang-orang di kalangan kang-ouw sudah mendengar tentang Hoa-san Kiam-hoat, karena itu kau harus dapat menyimpan ilmu pedang ini dan jangan kau pergunakan apa bila tidak menghadapi lawan yang benar-benar pandai. Waktu pertemuan itu masih sebulan lagi, ada pun perjalanan dari sini ke Kui-san sedikitnya makan waktu sepuluh hari. Maka kalian pergilah turun gunung sekarang juga supaya kelebihan waktu yang dua puluh hari itu dapat kalian pergunakan untuk mencari pengalaman dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ingat, dalam membasmi kejahatan-kejahatan, batasilah nafsu membunuhmu dan kalau tidak sangat terpaksa, jangan kau membunuh manusia.”

“Bagus, kalau begitu teecu dapat lebih dulu pulang ke rumah orang tuaku,” kata Ong Su dengan girang sekali.

"Dan teccu juga sudah amat rindu kepada ibu di rumah." kata pula Bwee Hiang.

Hanya Ciauw In sendiri yang tak dapat ikut bergembira seperti sumoi (adik perempuan seperguruan) dan sute-nya (adik lelaki seperguruan).....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar