Jaka Lola Jilid 14

Siapakah tiga orang sakti ini? Seperti dapat diketahui dari percakapan antara si jangkung dan si pendek yang didengarkan oleh Lee Si tadi, si jangkung adalah seorang tokoh dari barat berbangsa India sebelah timur, seorang pertapa dan pendeta yang disebut Maharsi (Pendeta Agung).

Maharsi ini merupakan kakak seperguruan dari Ang-hwa Sam-cimoi, yaitu Kui Ciauw, Kui Biauw dan Kui Siauw. Sebagaimana kita ketahui, Kui Biauw dan Kui Siauw sudah tewas ketika Ang-hwa Sam-cimoi bentrok dengan Pendekar Buta beserta teman-temannya, ada pun Kui Ciauw sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio.

Sudah bertahun-tahun lamanya Ang-hwa Nio-nio menaruh dendam pada Pendekar Buta karena kematian kedua orang saudaranya, dan untuk membalas dendam dia telah minta bantuan Maharsi. Tetapi, karena maklum betapa lihainya Pendekar Buta, mereka berdua menunda niat membalas dendam ini dan masing-masing menggembleng diri lebih dahulu untuk membuat persiapan menghadapi musuh lama yang amat sakti itu.

Ada pun si pendek itu adalah seorang tokoh dari daerah Mongol. Bo Wi Sianjin dahulu mempunyai seorang suheng (kakak seperguruan) bernama Ka Chong Hoatsu yang telah tewas di tangan Raja Pedang Tan Beng San.

Oleh karena maklum betapa lihainya musuh besar ini, Bo Wi Sianjin tidak tergesa-gesa dan berlaku sembrono, tetapi dia malah menyembunyikan diri untuk meyakinkan sebuah ilmu ampuh untuk menghadapi musuhnya. Dia lalu menggembleng diri selama dua puluh tahun lebih dan sekarang dia mulai turun dari tempat persembunyiannya untuk mencari musuh lamanya, yaitu Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Di tengah perjalanan kebetulan dia bertemu dengan Maharsi dan kebetulan pula terlihat oleh Lee Si.

Hwesio tua renta yang tinggi besar dan amat lihai itu bukanlah seorang yang tak dikenal para pembaca cerita Pendekar Buta. Dia bukan lain adalah Bhok Hwesio, seorang tokoh yang amat terkenal dari perkumpulan besar Siauw-lim-pai.

Akan tetapi, berbeda dengan para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai pendeta-pendeta berbudi yang hidup suci dan biasanya menggunakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang hebat untuk membela kebenaran dan keadilan, Bhok Hwesio ini semenjak dulu merupakan seorang anak murid atau tokoh yang murtad. Ilmu kepandaiannya memang tinggi dan lihai sekali. Bahkan boleh dibilang bahwa jarang ada tokoh Siauw-lim-pai yang dapat menandinginya, kecuali para pimpinan dan ketuanya saja.

Di dalam cerita Pendekar Buta diceritakan betapa Bhok Hwesio ini, dua puluh tahun yang lalu, dapat terbujuk oleh mereka yang memusuhi Pendekar Buta serta kawan-kawannya. Akhirnya dia ditawan oleh Thian Ki Losu, yaitu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti dan menjadi suheng-nya sendiri, lalu dibawa kembali ke Siauw-lim-pai.

Seperti sudah menjadi peraturan keras Siauw-lim-pai bila ada anak murid menyeleweng, Bhok Hwesio di ‘hukum’ di dalam ‘kamar penunduk nafsu’ selama sepuluh tahun! la tidak boleh keluar dari kamar yang pintunya di ‘segel’ dengan tulisan ‘hu’ (surat jimat), hanya diberi makan melalui lubang sehari sekali, dan diharuskan bersemedhi serta menindas hawa nafsu duniawi.

Karena yang menjaga agar hukuman ini terlaksana baik adalah Thian Ki Losu sendiri, Bhok Hwesio tidak berdaya dan terpaksa dia menyerah. Suheng-nya itu terlampau sakti baginya.

Akan tetapi sesungguhnya hanya pada lahirnya saja dia menyerah. Di dalam hatinya dia menjadi marah dan sakit hati terhadap Pendekar Buta, Raja Pedang, serta lain-lainnya yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaannya ini. Diam-diam dia bersemedhi untuk menggembleng diri, memupuk tenaga dan mendalami ilmu silat dan ilmu kesaktian di dalam kamar kecil dua meter persegi itu!

Saking tekunnya melatih diri, sudah sepuluh tahun lewat dan sudah lama Thian Ki Losu yang amat tua itu meninggal dunia, akan tetapi dia malah tidak mau keluar dari kamar hukuman ketika pintu dibuka sendiri oleh ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Akhirnya dia dibiarkan saja karena hal ini dianggap malah amat baik dan bahwa Bhok Hwesio agaknya sudah mendekati ambang pintu ‘kesempurnaan’!

Demikianlah, setelah bertapa menyiksa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para hwesio Siauw-lim-pai kehilangan hwesio tua yang mereka anggap hampir berhasil dalam tapanya itu. Tidak ada seorang pun di antara para tokoh Siauw-lim-si itu menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah untuk mencari musuh-musuhnya yang dia anggap telah membuat dia menderita selama dua puluh tahun untuk membalas dendam!

Dan secara kebetulan sekali dia melihat Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia kenal namanya. Gembira hatinya mendengar bahwa mereka berdua itu pun mempunyai tujuan yang sama, maka ia kemudian muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis yang dia ketahui sejak tadi mengintai.

Sengaja dia menggunakan tenaga sakti dalam lemparan itu untuk ‘menguji’ kelihaian dua orang tokoh utara dan barat yang akan menjadi teman seperjuangan dalam menghadapi musuh-musuh besarnya yang sakti, yaitu Pendekar Buta, Raja Pedang dan teman-teman mereka.

Maharsi dan Bo Wi Sianjin selama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan masing-masing dan sudah lama tidak turun gunung. Karena itu mereka tidak mengenal hwesio tua renta yang tinggi besar dan bermuka pucat seperti mayat itu.

Ketika mereka tadi memandang wajah pucat tak berdarah itu, sebagai orang-orang sakti hanya dengan sekilas pandang saja mereka maklum bahwa hwesio tua itu benar-benar sudah menguasai ilmu mukjijat yang dinamakan I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)! Hanya orang yang sinkang atau hawa sakti dalam tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu ‘hoan-hiat’ ini yang berarti bahwa hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar diukur tingginya.

Sekarang melihat tubuh seorang gadis muda melayang ke arah mereka, tahulah kedua orang itu bahwa hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si dan biar pun jelas bahwa gadis itu mengintai, namun mereka tidak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan.

Namun karena gadis itu sudah dilontarkan ke arah mereka, Maharsi mengeluarkan suara melengking tinggi sambil mendorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh Lee Si sambil mengerahkan sinkang dengan tenaga lembut.

Demikian pula Bo Wi Sianjin yang mengeluarkan suara berkokok sambil mendorongkan lengannya, juga dengan tenaga lembut karena seperti Maharsi, dia pun tak mau melukai atau mencelakakan gadis yang tak dikenalnya.

Untung bagi Lee Si bahwa dia telah berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak menggunakan ginkang untuk berusaha melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya sementara saja melepaskan dirinya. Begitu kedua orang kakek itu menyambut, Bhok Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi ke arah tubuh yang melayang itu.

Lee Si merasa betapa ada tenaga berhawa panas yang hebat sekali datang menyambar dan menyangga punggungnya dari belakang. Ketika itu, dari depan datang menyambar dua tenaga gabungan dari kakek jangkung dan kakek pendek. Gabungan tenaga ini lalu bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga tubuh Lee Si yang tergencet di tengah-tengah di antara dua tenaga sakti yang saling bertentangan itu berhenti di tengah udara, seakan-akan tertahan oleh tenaga mukjijat dan tidak dapat jatuh ke bawah.

Memang hal ini sebetulnya tampak amat tidak masuk di akal, karena menyalahi hukum alam. Akan tetapi harus diakui bahwa di dalam tubuh manusia terdapat banyak sekali rahasia-rahasia yang belum mampu dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mukjijat yang masih merupakan rahasia di dalam diri manusia. Di antaranya adalah sinkang (hawa sakti) yang selalu terdapat dalam diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang tidak pernah sadar akan hal ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula mempergunakannya.

Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, sungguh pun tingkatnya belum setinggi itu, namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Dia dijadikan alat untuk mengukur tenaga sinkang. Andai kata diambil perumpamaan, dia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk main dorong-dorongan mengadu tenaga otot. Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang dipertandingkan, melainkan tenaga sinkang yang merupakan dorongan-dorongan dari jarak jauh!

Lee Si tidak begitu bodoh untuk mencoba-coba mengerahkan sinkang-nya sendiri dalam arena pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau dia memiliki tenaga yang mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya mengimbangi.

Dia sengaja mengendurkan seluruh tenaga dan sedikit pun tidak melawan, tetapi dengan penuh perhatian dia lalu merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong melalui tubuhnya itu. Segera dia dapat menduga bahwa di antara tiga orang kakek itu, si hwesio tinggi besar inilah yang paling hebat tenaganya, juga tenaga sinkang hwesio ini yang mencengkeramnya.

Akan tetapi bila dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek yang digabung menjadi satu, ternyata hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu diselidiki oleh Lee Si dalam waktu singkat.

Tentu saja ia tak sudi menjadi ‘alat’ mengukur sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan saja, akibatnya amatlah buruk. Jika hanya berakibat tenaga sinkang-nya sendiri melemah saja masih belum apa-apa, akan tetapi kalau ada kurang hati-hati sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya.

Lee Si sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Setelah mengukur tenaga semua orang yang bertanding, tiba-tiba saja ia mengeluarkan jeritan keras sekali sambil mengerahkan sinkang di tubuhnya, membantu atau lebih tepatnya ‘menunggangi’ tenaga gabungan Si Jangkung dan Si Pendek, kemudian dia turut mendorong hawa hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya.

Benar saja perhitungannya. Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa jika adu sinkang ini dilanjutkan dengan dikeroyok dua dia tentu akan kalah, tiba-tiba menjadi terkejut karena dorongan pihak lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia mendengus dan menurunkan kedua lengannya.

Begitu terlepas dari gencetan dari kedua pihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah. Namun gadis cerdik ini sudah menggunakan ginkang-nya dan melompat dengan selamat ke atas tanah. Sedikit pun ia tidak terpengaruh atau menjadi gugup meski baru saja ia terbebas dari ancaman bahaya maut. la malah segera menggunakan kesempatan untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang itu bersatu memusuhinya, terang ia akan celaka.

"Hemmm, hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman terhadap orang muda, kiranya justru sebaliknya, datang-datang kau menghina. Jelas bahwa kau sengaja hendak menyombongkan kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun memandang rendah pada dua orang Locianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, hwesio tua renta, betapa pun ingin kau menyombongkan kepandaian, kenyataannya dalam adu tenaga tadi kau telah kalah!"

Bhok Hwesio tercengang, demikian pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis itu membuktikan bahwa Lee Si bukanlah orang sembarangan dan malah mengerti akan adu sinkang tadi serta dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang!

Perhitungan Lee Si memang tepat. Ucapannya tadi membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi merah sehingga kelihatannya aneh sekali, mukanya demikian pucat tapi kedua telinga merah seperti dicat!

"Siapa yang kalah? Biar Maharsi dari barat dan Bo Wi Sianjin dari utara terkenal lihai, dikeroyok dua sekali pun pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau lancang mulut!" Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan bajunya.

Akan tetapi Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.

"Kalau menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi cucu buyutmu, apa sih gagahnya? Tetapi mengalahkan kedua orang Locianpwe yang sakti ini? Huh, omong sih gampang! Kalau kau bisa menangkan mereka tak usah kau bunuh aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu!"

Di ‘bakar’ seperti itu, keangkuhan Bhok Hwesio langsung tersinggung. la tersenyum lebar menghampiri Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya sambil berkata, "Hayo kalian layani aku beberapa jurus, baru tahu bahwa pinceng (aku) lebih unggul dari pada kalian!" Setelah berkata demikian, hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yang meniupkan angin pukulan seperti taufan.

Maharsi dan Bo Wi Sianjin sangat terkejut. Akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang berkedudukan tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh hwesio yang tidak mereka kenal ini. Cepat mereka bersiap, Maharsi menangkis dengan gerakan lengan dari atas ke bawah, ada pun Bo Wi Sianjin telah berjongkok dan dari mulutnya keluar suara berkokok seperti katak buduk.

Di lain saat, tiga orang sakti ini sudah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap gerakan mengandung sinkang dan Iweekang yang sanggup membunuh lawan dari jarak jauh. Hebat bukan main!

Inilah yang diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah mengadu tiga orang sakti itu agar supaya dia dapat menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maka begitu tiga orang itu saling gempur dengan gerakan lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera menyelinap ke belakang batang pohon dan siap hendak melarikan diri.

"Hendak lari ke mana kau, bocah liar?" Suara ini adalah suara Bhok Hwesio.

Tiba-tiba ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Si. Gadis ini terkejut bukan main, cepat mengelak sambil melompat dan...

"Brakkk!" pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang!

Wajah Lee Si menjadi pucat. Bukan main hebatnya hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok dua oleh Maharsi dan Bo Wi Sianjin, tetapi masih tetap dapat melihatnya dan mengetahui niatnya melarikan diri, bahkan dari jarak jauh dapat mengirim serangan yang demikian dahsyatnya.

"Huh, kau kira dapat lari dari Bhok Hwesio?"

Hwesio tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi Sianjin, sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh yang membuat Lee Si melompat ke sana kemari dengan cepat.

"Ahh, kiranya Bhok-taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-lim-pai? Maaf... maaf..."

Bo Wi Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini segera menghentikan serangannya.

Lee Si terkejut dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal dan agaknya tidak akan bermusuhan lagi, dan hal ini berarti dia akan celaka! Menggunakan kesempatan terakhir selagi Bhok Hwesio terpaksa membalas penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan ginkang-nya.

Akan tetapi tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting diri ke kiri sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan merogoh gin-ciam (jarum perak) dengan tangan kiri. Sambil membalik dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Lele Meloncat) dia segera menggerakkan tangan kirinya, menyerang dengan jarum perak ke arah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar mengejarnya. Dalam keadaan terpojok ini, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap untuk melawan dengan gagah berani sebagaimana sikap seorang pendekar sejati.

Penyerangan Lee Si dengan jarum-jarum perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang ringan. Ilmunya melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang dia pelajari dari ibunya dan boleh dibilang dia telah mahir dengan Ilmu Pek-po Coan-yang (Timpuk Tepat Sejauh Seratus Kaki).

Serangannya tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan segenggam jarum sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan. Biar pun jarum-jarum itu hanya disambitkan dengan sekali gerakan, namun benda-benda halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung menerjang ke arah bagian-bagian yang berbahaya pada perut, dada, leher, dan mata.

Serangan ini masih disusul oleh terjangan Lee Si sendiri yang telah memutar pedangnya melakukan serangan. Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang sekarang tahu bahwa tidak mungkin dia akan dapat membebaskan diri kalau hanya lari dari hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu untuk mencari kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang lebih tangguh.

"Eh, kau anak Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru pada saat lengan bajunya dikibaskan menyampok runtuh semua jarum perak dan cepat dia menggerakkan tubuh ke belakang karena melihat bahwa sinar pedang gadis muda itu tak boleh dipandang ringan.

"Kalau sudah tahu, masih berani menghinaku?" Lee Si menjawab dan kembali tangannya yang sudah menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum.

Sekarang karena berhadapan dan dapat mencurahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan Boan-thian Hoa-i (Hujan Bunga di Langit), gerakan yang tidak saja sangat indah, akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jarum itu tersebar mekar laksana payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya, jarum-jarum itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.

"Ho-hoh-hoh, siapa takut Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru.

Tubuhnya tiba-tiba rebah bergulingan dan di lain saat dia sudah melompat berdiri sambil menggerakkan kedua tangannya. Benda-benda hijau lalu meluncur ke depan, menangkis jarum-jarum itu sehingga di lain saat rumput dan daun hijau yang tertancap jarum perak runtuh ke atas tanah.

Kini Lee Si yang kaget setengah mati. Kiranya kepandaian hwesio itu luar biasa sekali, sudah amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada ibunya dalam hal menggunakan senjata rahasia.

Baru saja hwesio tua itu mendemonstrasikan kelihaiannya menggunakan senjata rahasia dengan ilmu Cek-yap Hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan bunga dan daun. Tadi hanya dengan rumput-rumput dan dedaunan yang direnggutnya sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul runtuh semua jarum yang dilepas oleh Lee Si.

Namun Lee Si sama sekali tidak menjadi gentar atau putus asa. Cepat pedangnya sudah bergerak dengan jurus-jurus yang dia gabungkan dari kedua ilmu pedang warisan ayah bundanya.

Bhok Hwesio tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya. la mengenal baik Ilmu Pedang Hoa-san-pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-san-pai, bukan Ilmu Pedang Hoa-san-pai asli, namun malah lebih hebat!

Yang amat mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung di dalam ilmu pedang ini, karena kadang kala mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan tetapi di lain detik berubah menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar. Mirip dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya, yaitu Pendekar Buta dan terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris dari Ilmu Im-yang Sin-hoat.

Selama dua puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman ‘penebus dosa’ dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri, memang dia khusus mencari ilmu untuk menghadapi Im-yang Sin-hoat. Karena itu, sekarang menghadapi ilmu pedang Lee Si yang memang mengandung penggabungan kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang lengan bajunya lantas bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam tenaga pula sehingga sebentar saja Lee Si sudah terdesak hebat!

Memang kalau bicara tentang tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat kakek ini. Bhok Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki ilmu yang amat iinggi dari Siauw-lim-pai, juga dia mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun lamanya. Hanya dua hal yang membuat Lee Si dapat bertahan sampai tiga puluh jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang memiliki ilmu kepandaian asli yang bersih dan sakti, kedua karena Bhok Hwesio sendiri merasa rendah untuk merobohkan gadis yang patut menjadi cucu buyutnya seperti dikatakan Lee Si tadi.

Apa bila dia mau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi Lee Si roboh. Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak leluasa lagi gerakannya karena sudah terbungkus oleh gulungan sinar dua ujung lengan baju Bhok Hwesio.

Gulungan sinar itu bagaikan lingkaran besar yang luar biasa kuatnya, yang meringkus sinar pedangnya, makin lama lingkaran itu menjadi makin kecil dan sempit. Ruang gerak pedang Lee Si juga makin sempit.

Gadis itu mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa hwesio ini benar-benar amat kosen dan sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin lama makin berat untuk memamerkan kepandaiannya. Dia tahu bahwa akhirnya dia tak akan dapat menggerakkan pedangnya lagi kecuali untuk membacok tubuhnya sendiri!

"Hayo cepat kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubunganmu dengan ketua Thai-san-pai!" berkali-kali Bhok Hwesio membentak.

Karena melihat betapa ilmu pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia menduga bahwa tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si Raja Pedang.

Lee Si maklum bahwa hwesio ini tentu bukan sahabat baik kakeknya Si Raja Pedang. Akan tetapi ia pun mengerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka lebih baik baginya mati sebagai cucu Raja Pedang yang berani dan tak takut mati dari pada harus mengingkari kakeknya yang merupakan seorang pendekar sakti yang bernama besar.

"Hwesio jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San ketua Thai-san-pai adalah kakekku!"

Bhok Hwesio tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang sekali karena sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang kepada cucunya.

"Bhok-taisuhu, kita tawan saja cucunya!" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.

"Betul kita jadikan cucunya sebagai jaminan!" Maharsi menyambung.

Akan tetapi, tepat pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang di antara mereka berseru, "Bhok-suheng, tahan...!"

Bhok Hwesio mengeluarkan seruan rendah bagaikan kerbau mendengus. Akan tetapi dia cepat-cepat mundur sehingga Lee Si merasa terhindar dari tekanan hebat.

Wajah Lee Si pucat, mukanya yang cantik penuh dengan keringat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh ketabahan. Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur dan memandang kepada tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan teliti.

Orang pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang pendeta pula, seorang hwesio tua, sedikitnya berusia tujuh puluh tahun. Mukanya hitam dan ada cacad bekas korban penyakit cacar. Biar pun mukanya bopeng dan buruk, tapi sepasang mata hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya.

Hwesio ini membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok Hwesio. Mereka saling pandang seolah-olah keduanya sedang mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata.

Hwesio ini memang bukan orang sembarangan, sebab dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh tingkat tiga dari Siauw-lim-pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio. Ada pun dua orang yang lainnya adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan Kong-thong-pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tosu tingkat dua dari Kong-thong-pai.

Thian Ti Losu ini adalah seorang utusan Siauw-lim-pai yang sengaja keluar dari pintu kuil untuk mencari Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Leng Ek Cu, sahabat baiknya. Kemudian setelah mendengar bahwa suheng-nya itu tengah dalam perjalanan melalui Pegunungan Bayangkara, ia lalu mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa lihai serta berbahayanya suheng temannya itu.

Belum lama mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang juga mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun-pai. Tosu ini sedang pulang menuju Kun-lun-san di sebelah barat, maka mereka kemudian mengadakan perjalanan bersama. Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee Si berada di ambang kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.

"Thian Ti Sute, mau apa kau datang ke sini?" Bhok Hwesio menegur sute-nya dengan pandang mata penuh selidik dan curiga.

"Bhok-suheng, siauwte diutus oleh ketua kita untuk mencari Suheng, dan mengajak Suheng kembali ke Siauw-lim-si," jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang.

Sepasang mata Bhok Hwesio yang biasanya setengah meram itu kini terbuka sebentar, memandang dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari balik bulu mata.

"Sute, pulanglah dan jangan membikin kacau pikiranku. Aku tidak punya urusan apa-apa lagi dengan kau atau dengan Siauw-lim-si."

"Tapi, Suheng. Siauwte hanya utusan dan ketua kita memanggilmu pulang."

"Cukup! Thian Seng Suheng boleh jadi ketua Siauw-lim-si, akan tetapi aku bukan orang Siauw-lim-pai lagi. Hukuman yang dijatuhkan padaku telah cukup kujalani sampai penuh. Mau apa lagi? Pergilah!"

"Kau tahu sendiri, Bhok-suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Biar dengan taruhan nyawa, tugas tetap harus dilaksanakan. Dan kau pun cukup maklum, lebih maklum dari pada siauwte yang lebih muda dari padamu, apa artinya tidak mentaati perintah ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut denganku kembali menghadap ketua kita dan percayalah, apa bila kau minta diri dengan baik-baik, Suheng kita yang menjadi ketua itu tentu akan meluluskanmu."

"Thian Ti! Kautonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku? Huh, jangankan baru kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-suheng sendiri bangkit dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan tidak sudi kembali ke Siauw-lim-si. Nah, kau mau apa lagi?"

"Inilah pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-lim-pai yang murtad dan berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus menentangnya. Suheng, sekali lagi, kau mau taat dan ikut dengan aku pulang atau tidak?"

Bhok Hwesio hanya tertawa mengejek. Dia maklum bahwa sute-nya ini juga mempunyai kepandaian hebat, terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai tingkat tinggi, terkenal pula sebagai seorang ahli lweekang yang tenaganya hampir sama dengan tingkat yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia tidak takut dan merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sute-nya ini.

"Bhok-taisuhu, mengapa masih terlalu banyak sabar menghadapi adik seperguruan yang cerewet?" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berseru dari samping kanan Bhok Hwesio. "Kalau mau bicara tentang ketaatan, maka seorang adik seperguruanlah yang harusnya taat kepada suheng-nya!"

"Ha-ha-ha, benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukannya anak kecil, bagai mana dapat bersikap begini tidak tahu malu mencampuri urusan dalam dua orang murid Siauw-lim-pai?" Sung Bi Tosu sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin dan memandang tajam.

Bo Wi Sianjin si kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa tosu itu bisa mengenal namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal tosu itu membuktikan bahwa dia cukup dikenal oleh para tokoh kang-ouw.

"Ehh, kau ini tosu bau dari mana berani lancang mulut? Aku bicara dengan Bhok-taisuhu, ada sangkut-paut apa denganmu?"

"Pinto adalah Sung Bi Tosu dari Kun-lun-pai. Memang pinto tidak ada urusan denganmu, akan tetapi kau juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan saudara seperguruan Siauw-Lim-pai."

”Eh, keparat. Apa yang kau lakukan, bagaimana kau bisa ikut campur? Tosu Kun-lun-pai selamanya sombong, apa kau kira aku takut mendengar nama Kun-lun? Heh-heh-heh, tosu cilik, berani kau menentangku?"

"Menentang kelaliman adalah tugas setiap orang yang menjunjung kebenaran! Kalau kau mencari perkara, pinto tidak akan mundur setapak pun!" jawab tokoh Kun-lun-pai dengan suara gagah.

Si kakek pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak. "Bagus, kau sudah bosan hidup!"

Setelah berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang kuda-kuda dengan tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak menjadi semakin pendek lagi. Dari mulutnya terdengar suara berkokok, sedangkan kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak meloncat.

”Hemmm, pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut di sini...?" Belum habis Sung Bi Tosu bicara, tiba-tiba kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua tangan ke depan.

Tubuh Sung Bi Tosu terjengkang ke belakang, lantas roboh telentang dan bergulingan. Ternyata dia sudah terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang lihai, begitu tadi merasai datangnya pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan sinkang-nya, sehingga biar pun dia telah terpukul dan roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain yang terkena hawa pukulan sehebat itu tentu akan tewas di saat itu juga, akan tetapi tokoh Kun-lun-pai ini hanya terluka dan masih kuat melompat bangun dengan muka pucat dan mata merah.

"Iblis jahat!" serunya. Tubuhnya sudah melayang maju, dan sinar pedangnya berkelebat cepat menyambar.

Akan tetapi sekali lagi terdengar suara berkokok dan sambil mengelak dari sambaran pedang, kakek gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama membuat pedang Sung Bi Tosu terpental, pukulan kedua membuat tubuhnya terlempar sampai lima meter lebih dan tosu Kun-lun-pai itu roboh tak bangun lagi karena nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya!

Muka Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai menjadi pucat saking marahnya menyaksikan pembunuhan atas diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga merasa kagum dan ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Bo Wi Sianjin yang demikian hebatnya sehingga seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah amat tinggi tingkatnya bisa terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.

"Keji... keji sekali...!" katanya sambil melangkah maju. "Mati hidup manusia bukanlah hal aneh, seperti angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan tak berarti, benar-benar keji sekali. Apa lagi kalau yang melakukan itu seorang yang sudah menamakan dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah pinto terpaksa bertindak!" Sambil berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang tangguh.

Akan tetapi mendadak dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil mengibaskan pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa pukulan. Kiranya pendeta tinggi bersorban itulah yang sudah menggerakkan lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya tanpa berkata sesuatu.

"Heh, siapa kau?! Pendeta asing, jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak tokoh Kong-thong-pai itu sambil melintangkan pedang di depan dada.

Penyerangnya adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini lalu mengeluarkan suara tertawa seperti suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara asing. "Sudah berani mencabut pedang tentu berani menghadapi siapa juga, termasuk aku, Maharsi orang bodoh dari barat."

Setelah berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang memekakkan telinga. Dua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring dalam kedudukan kuda-kuda yang ganjil. Akan tetapi dari dua lengannya itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Inilah ilmu Pukulan Pai-san-jiu!

Leng Eng Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai. Ilmu pedangnya merupakan ilmu pedang kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, lagi pula dia memiliki ginkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat Sung Bi Tosu.

Melihat gerakan aneh dari pendeta asing ini, Leng Ek Cu tak berani memandang rendah dan tidak mau menyambut langsung. Dia mengandalkan ginkang-nya, dengan lincah dia mengelak dan tubuhnya meliuk ke samping, terus balas mengirim tusukan diiringi tenaga Iweekang yang membuat pedang itu berdesing menuju ke arah sasarannya, yaitu perut si pendeta India!

Maharsi kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikit pun juga, agaknya tidak mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun tidaklah demikian kiranya karena sebelum pedang itu mencium kulit perutnya lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam, lalu tangannya yang berlengan panjang itu telah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala lawan.

Hebat memang pendeta ini, sebab begitu dia menjulurkan lengannya dan mengempiskan perutnya, selain pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih panjang jangkauannya. Kalau Leng Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolong-bolong!

Tentu saja Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andai kata tadi Sung Bi Tosu tidak berlaku sembrono dan tidak memandang rendah lawannya seperti halnya Leng Ek Cu sekarang, belum tentu dia dapat dirobohkan demikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin yang memiliki Ilmu Katak Sakti.

Leng Ek Cu amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, pendeta asing ini, memiliki kepandaian yang luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat-cepat menarik pedangnya yang dikelebatkan merupakan lingkaran membabat kedua lengan lawan. Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang.

"Bagus!" Maharsi berseru gembira.

Memang demikianlah wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, semakin gembira pula hatinya untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar mengandalkan tenaga sinkang mukjijat yang bercampur dengan ilmu sihir, namun harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lemas dan lincah, walau pun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya selalu digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit.

Sepasang lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-san-jiu. Makin lama makin cepat kedua lengannya bergerak. Kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya, sepuluh buah jari itu bergerak-gerak bagai ular-ular kecil dan terbentanglah jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata. Sepuluh batang jari itu bergerak-gerak amat cepat menjadi ratusan dan dari jari-jari itu menyambar hawa pukulan Pai-san-jiu!

Inilah ilmu yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai yang memiliki kiam-hoat pilihan, berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya, namun dia hanya dapat bertahan sampai dua puluh lima jurus saja. Pandang matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa pukulan yang merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan. Pertahanannya semakin lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.

Maharsi makin kuat saja. Kini hawa pukulan yang dapat menyelinap di antara sambaran sinar pedang makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan ribuan jarum beracun menusuk-nusuk. Pakaian tosu Kong-thong-pai itu sudah bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan mengakibatkan titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanyalah merupakan sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin gencar datangnya.

Leng Ek Cu seorang gagah sejati, sedikit pun tidak mengeluh biar pun rasa nyeri pada tubuhnya hampir tidak tertahankan lagi. Akhirnya dia melakukan serangan balasan yang nekat, pedangnya membacok dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya seolah-olah dia tubrukkan dengan tubuh lawan supaya bacokannya tidak dapat dihindarkan Maharsi.

Maharsi melengking tinggi. Dua tangannya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan dengan pukulan Pai-san jiu sekerasnya.

"Hukkk!"

Demikianlah suara yang keluar dari mulut Leng Ek Cu. Tubuhnya sejenak berdiri tegak, seakan-akan tubuh itu kemasukan aliran listrik dari sambaran halilintar, kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama semakin keras dan robohlah Leng Ek Cu dengan pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku, tapi sudah tak bernafas lagi!

Dapat dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini. Dua orang tosu itu, tokoh Kun-lun-pai dan tokoh Kong-thong-pai, keduanya merupakan orang-orang gagah yang melakukan perjalanan bersamanya. Sekarang mereka berdua tewas dalam keadaan yang sangat menyedihkan, semua gara-gara urusan dia dengan suheng-nya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan Bhok Hwesio, kiranya tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya itu tidak akan mengorbankan nyawa.

"Bhong-suheng, benar-benar kau telah tersesat jauh sekali," serunya dengan suara keras penuh kemarahan. "Kau membiarkan kawan-kawanmu membunuh dua orang tosu tidak berdosa dari Kun-lun dan Kong-thong. Bhok-suheng, kau insyaflah, jauhkan dirimu dari pergaulan sesat dan mari pulang bersama siauwte, menghadap twa-suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam asal!"

Akan tetapi Bhok Hwesio yang telah menyimpan rasa sakit hati dan juga rasa penasaran terhadap Siauw-lim-pai, mana mau mendengar nasehat ini? la membuka kedua matanya dan menegur,

"Thian Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, kenapa banyak cerewet? Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau aku mengampunimu. Lekaslah kau pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi."

"Bhok Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf? Terpaksa pinceng mentaati perintah twa-suheng, menjalankan peraturan Siauw-lim-pai yang kami junjung tinggi. Berlututlah!"

Thian Ti liosu mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditaruh miring berdiri di depan dada. Inilah pasangan kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh seorang tokoh Siauw-lim-pai untuk memberi hukuman kepada murid murtad.

Menurut peraturan, murid-murid yang sudah tak diakui lagi oleh Siauw-lim-pai menerima hukuman yang paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan menjadi seorang pendeta cacad di dalam tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi, membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki sinkang lagi.

"Hu-huh-huh, siapa sudi mendengar ocehanmu?!" bentak Bhok Hwesio marah.

"Bhok-taisuhu, kenapa begini sabar? Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong ini!" Bo Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya berjongkok dan kedua lengannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan bunyi berkokok dari kerongkongannya.

"Omitohud, pendeta sesat!" Thian Ti Losu mengeluarkan teguran.

Dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dari bawah ke atas, untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, maka hwesio Siauw-lim ini mendorong dari atas ke bawah. Dua pasang telapak tangan itu tampaknya perlahan saja bertemu, akan tetapi akibatnya hebat.

Tubuh Thian Ti Losu mencelat ke atas sampai dua kakinya meninggalkan tanah setinggi setengah meter, ada pun tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai pinggang dalamnya! Ini saja telah membuktikan bahwa Ilmu Katak Sakti yang mengandung tenaga sinkang luar biasa itu ternyata masih belum sanggup melawan kekuatan si hwesio tokoh Siauw-lim-pai.

"Bi Wi Sianjin, biar pinceng bereskan sendiri bocah ini!" kata Bhok Hwesio.

Bhok Hwesio lalu menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sute-nya. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua yang sedang mengukur kekuatan dan keberanian hati sebelum mulai bertanding.

Ada pun Maharsi lalu menghampiri Bo Wi Sianjin. Sekali kakek jangkung ini menyendal tangan temannya, tokoh Mongol itu sudah ‘tercabut’ keluar dari tanah. Wajahnya menjadi merah karena dalam segebrakan tadi saja sudah bisa dibuktikan bahwa ilmu kepandaian tokoh Siauw-lim-pai itu masih terlampau kuat baginya.

Diam-diam dia harus mengakui kehebatan Siauw-lim-pai yang bukan kosong. Dua orang hwesio ini sudah cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai memang hebat.

Sementara itu, Bhok Hwesio dan Thian Ti Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa lihainya hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya. Begitu bergebrak, dia telah mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat. Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan ujungnya bergetar lalu pecah menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya.

Bo Wi Sianjin dan Maharsi memandang kagum penuh perhatian. Mereka sudah sering menyaksikan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang tersohor dimainkan orang, akan tetapi baru kali ini melihat permainan tongkat yang demikian dahsyatnya.

Bhok Hwesio sendiri pun maklum akan kelihaian sute-nya ini. Tentu saja sebagai tokoh Siauw-lim-pai, dia mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan tenang tapi tangkas dia melayani tongkat itu dengan kedua ujung lengan bajunya.

Thian Ti Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali bertemu dengan dua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa bekas suheng-nya itu luar biasa kuatnya dan dia kalah banyak dalam hal tenaga sakti.

Selain ini, dia melihat gerakan suheng-nya amat aneh. Meski pun dasar-dasarnya masih memakai dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat, akan tetapi perkembangannya berubah banyak seakan-akan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang tidak asli lagi.

Memang demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalankan hukumannya sambil bertapa di dalam kamar, Bhok Hwesio sudah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua lengan bajunya, yang sedianya dia ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang lihai.

Ilmu pukulan ini dasarnya memang ilmu Silat Siauw-lim-pai yang dia pelajari sejak kecil, akan tetapi perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu silat yang mengandung penggabungan hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahli-ahli dalam hal ilmu silat gabungan tenaga itu. Kini, menghadapi bekas sute-nya dia malah mendapat kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin dan Maharsi, menggunakan sekaligus mencoba ilmu ciptaannya itu.

Kepandaian Bhok Hwesio memang amat hebat. Hawa sinkang dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun. Memang dasar latihan semedhi dan peraturan bernafas dari Siauw-lim-pai sangat kuatnya, berasal dari sumber yang bersih dan diperuntukkan bagi para pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan.

Agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguh pun setelah sampai pada batas yang tinggi, akhirnya ilmunya menjadi menyeleweng dari garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar