Jaka Lola Jilid 12

Siu Bi mengedikkan kepalanya. "Siapa membantunya? Aku tak sudi membantu sahabat baik musuh besarku, akan tetapi aku pun tidak sudi membantu kecurangan, walau pun yang curang adalah teman sendiri. Kau mau apa?!"

"Mari kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan di belakang hari."

"Kau mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, ketua Ang-hwa-pai telah melawannya dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah tidak adil, masa kau mau ajak aku mengeroyok lagi? Aku tak sudi mengambil kemenangan secara rendah begitu!"

"Tetapi, Moi-moi, dia itu termasuk musuh kita. Ayahnya adalah ketua Thai-san-pai, bukan saja sahabat baik Pendekar Buta, malah masih terhitung gurunya!"

"Ahhh..."

Ouwyang Lam mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian. Siu Bi terkejut memang, akan tetapi ia terkejut karena teringat bahwa gadis itu saja sudah begitu lihai, apa lagi Pendekar Buta!

"Lihat, Moi-moi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!"

Sesudah berkata demikian, dengan pedang terhunus Ouwyang Lam lantas menerjang ke medan pertempuran. Dia sudah menyebar bubuk anti ular pada sepatu serta celananya sehingga seperti halnya Ang-hwa Nio-nio, dia tak akan diganggu lagi oleh ular-ular itu.

Sesudah Liong-cu-kiam berada di tangannya, Cui Sian memang hebat luar biasa. Boleh jadi dalam hal keuletan, pengalaman, dan keahlian, dia masih belum mampu menandingi Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi biar pun belum matang betul karena usianya masih muda, akan tetapi ilmu pedang yang ia mainkan adalah raja sekalian ilmu pedang, yaitu Im-yang Sin-kiam.

Ilmu pedang inilah yang dulu sudah membuat ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi di dunia persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya yang sakti. Kini, dengan ilmu pedang sakti itu, ditambah pula dengan pedang pusaka Liong-cu-kiam yang amat ampuh di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan.

Betapa pun juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-hwa Nio-nio saja dia sudah harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang wanita itu amat ganas dan berbahaya, apa lagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam yang tidak rendah kepandaiannya.

Oleh karena itu, sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri benar-benar membuat ia sibuk sekali dan ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, maka nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi. Sudah puluhan ekor ular terbabat mati oleh pedangnya, sehingga bangkai ular itu bertumpuk serta berserakan di sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung racun pula.

Cui Sian terkejut bukan main. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menahan nafas sambil mengerahkan sinkang melawan bau yang sangat memuakkan itu. Akan tetapi karena di lain pihak ia diserang hebat oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dan diancam pula oleh semburan ular-ular beracun, berkali-kali perhatiannya terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu.

Kepalanya mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih dia gerakkan secara cepat, diputar-putar melindungi tubuhnya. Akan tetapi akibat matanya makin lama semakin gelap, akhirnya dia terkena tusukan ujung pedang Ouwyang Lam yang melukai pundaknya.

Dengan hati merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi dia akan menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok ular-ular hijau. Untuk menolong, dia tidak sudi karena bukankah gadis perkasa itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh besarnya?

la harus membenci gadis itu, biar pun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa itu, bahkan ada rasa kagum di lubuk hatinya. Namun, dia harus membenci semua yang ‘berbau’ Pendekar Buta! Betapa pun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini tidak melebihi rasa tidak senangnya terhadap Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam yang dia anggap berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak memiliki sifat-sifat gagah sedikit pun juga.

"Tranggg! Tranggg!" Bunga api berpijar.

Ang-hwa Nio-nio, juga Ouwyang Lam, melompat ke belakang, kaget bukan main karena pedang mereka tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir mereka terpaksa melepaskan pedang. Sinar hitam masih terus berkelebatan dan matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian dalam jarak dua meter!

Siu Bi melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang pedang bersinar hitam itu. Itulah pedangnya dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!

"Kau...?!?" serunya, kaget dan heran.

Yo Wan cepat merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tidak ingat diri dengan Liong-cu-kiam masih tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh ke arah Siu Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cui-beng-kiam. "Nona, ini pedangmu kukembalikan. Terimalah!"

Pedang itu melayang dengan gagang di depan ke arah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah. Mata gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, melihat Yo Wan memondong tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah!

Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa hari ini, setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal orang-orang muda ini sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw.

Namun, melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian yang pingsan, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio melompat diikuti oleh Ouwyang Lam.

"Jahanam, jangan harap dapat keluar dari Ching-coa-to dalam keadaan bernyawa!" seru Ang-hwa Nio-nio.

Tangannya bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang ampuh serta tak kalah jahatnya dengan Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang dahulu dimiliki oleh majikan pulau itu.

Kedua-duanya memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. Akan tetapi, tentu saja Ang-hwa Nio-nio lebih lihai dalam menggunakan senjata halus ini karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada mendiang Ching-toanio. Oleh karena itu pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya.

Bagi si penyambit dan orang lain, jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulungan sinar merah itu agaknya pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan, hilang di antara pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan!

Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu berhati-hati, apa lagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah menggunakan langkah ajaib Si-cap-it Sin-po. Dengan langkah-langkah ajaib ini, apa lagi ditambah oleh pendengarannya yang sangat tajam karena terlatih sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang.

Betapa pun lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di pulau itu, sama sekali tidak mengenal jalan. Dia hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, karena itu dalam kejar mengejar ini sebentar saja Ouwyang Lam serta Ang-hwa Nio-nio yang mengambil jalan memotong dapat menyusulnya. Bahkan dua orang ini tahu-tahu sudah muncul di depan, menghadang larinya Yo Wan!

Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apa lagi dengan tubuh gadis itu dalam pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tak dapat menghindarkan pertempuran kalau menghendaki selamat.

Segera dia meraih pedang di tangan gadis itu yang walau pun dalam keadaan pingsan masih memegangnya erat-erat. Sekali renggut dia dapat merampas pedang ini dan tepat di saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio serta pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya dengan ganas.

Yo Wan memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kirinya. Tangan kanannya memutar pedang dan sekali bergerak dia berhasil menangkis dua pedang lawannya. Pertempuran hebat segera terjadi dan karena tiga batang pedang itu kesemuanya merupakan pedang-pedang pusaka, maka berhamburanlah bunga api setiap kali ada pedang beradu.

”Uuhhh..." Cui Sian mengeluh meronta.

Yo Wan yang memondongnya cepat-cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar menjauh dari sinar pedang dua orang pengeroyoknya.

"Nona, kau sudah kuat betul?"

Cui Sian adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil. Sinkang di tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama menguasai dirinya. Setelah siuman hanya sejenak ia nanar, akan tetapi segera teringat akan segala pengalamannya dan seketika dia maklum bahwa pemuda yang dikeroyok oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dengan mempergunakan pedangnya secara aneh itu adalah penolongnya.

"Sudah, terima kasih. Harap kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang curang ini!"

Yo Wan menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga dua orang lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengembalikan pedang Liong-cu-kiam kepada pemiliknya. Dengan hati gemas Cui Sian lalu memutar pedang itu dan menerjang kedua orang lawannya.

"Nona, tidak baik mengacau tempat orang lain, lebih baik lari selagi ada kesempatan," kata Yo Wan sambil mencabut pedang kayu dari balik jubahnya.

Pemuda ini sebetulnya mempunyai sebatang pedang pusaka pula, yaitu pedang pusaka pemberian isteri Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan pedang ini dan hanya menggunakan pedang kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan Himalaya. Ilmu batin yang dalam dipelajarinya dari Bhewakala membuat hatinya dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tak akan menggunakan senjata tajam untuk menyerang orang apa bila keselamatannya sudah cukup dilindungi dengan pedang kayunya.

Serangan Cui Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang dia tahu malah lebih lihai dari pada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget, heran, dan kagumnya pada saat dia mendapat kenyataan bahwa pedang kayu di tangan pemuda itu sanggup menahan senjata pusakanya, Ang-hwa-kiam! Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat.

Ada pun Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa gebrakan sudah nampak terdesak hebat. Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap kata-kata Yo Wan.

Gadis ini diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biar pun dia akan dapat menangkan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah pulau yang terkurung air, dan anak buah Ang-hwa-pai amat banyak. Selain ini, pulau itu sangat berbahaya dengan ular-ularnya, juga Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya pandai menggunakan racun-racun jahat. Melanjutkan pertempuran hanya berarti mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apa lagi permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?

"Kau benar, Sahabat, mari kita pergi!” katanya.

Yo Wan kagum dan girang sekali. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan berpandangan jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya amat sembrono. Mereka berdua lalu melompat jauh ke belakang, kemudian lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai.

Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menangkan dua orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-hwa Nio-nio dengan muka keruh memberi tanda rahasia dengan suitan nyaring kepada anak buahnya agar supaya menghalangi kedua orang musuh itu, dan berusaha menangkap mereka di dalam air.

Akan tetapi, Yo Wan dan Cui Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tidak mungkin lagi ada anak buah Ang-hwa-pai yang akan dapat mengejar mereka. Perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangan-tangan sakti, maka gagallah harapan terakhir Ang-hwa Nio-nio untuk menangkap mereka dengan cara menggulingkan perahu.

Ketika dua orang ini kembali ke tengah pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada di situ lagi. Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun gadis yang dicarinya tidak ada, karena memang dalam keributan tadi, diam-diam Siu Bi sudah lari meninggalkan pulau itu.

Setelah kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui Sian sempat berhadapan dengan Yo Wan. Dengan perasaan kagum gadis ini kemudian menjura memberi hormat yang dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.

"Hari ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang gagah perkasa. Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan julukan sahabat yang mulia?"

Akan tetapi orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian penuh selidik. Kadang-kadang kepala pemuda itu miring ke kanan, kadang-kadang ke kiri, wajahnya membayangkan rasa keheranan dan kegirangan yang besar.

Cui Sian mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia anggap luar biasa, gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai menjadi merah, pandang matanya yang penuh kagum dan hormat mulai berapi-api.

Akan tetapi semua ini buyar seketika dan berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu tertawa bergelak dengan amat gembira, kemudian seperti orang gila hendak memegang tangannya sambil berseru,

"Ya Tuhan...! Benar sekali, tidak salah lagi... ahhh, kau Cui San... ehh, maksudku, kau... ehhh, Tan-siocia (nona Tan). Ha-ha-ha, sungguh hal yang tidak tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!"

Tentu saja Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. Dia mengelak dan dengan suara ketus dia bertanya, "Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?"

"Ha-ha-ha, tidak aneh kalau Anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah Yo Wan!"

"...Yo Wan..? Yang mana... siapa...?" Cui Sian mengingat-ingat.

"Wah, sudah lupa benar-benar? Saya A Wan, masa lupa kepada A Wan yang dahulu pernah... ha-ha-ha, pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-thouw-san bersama kakek Sin-eng-cu Lui Bok?"

Mendadak wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu. "A Wan! Ahh, tentu saja aku ingat...! A Wan, kau... kau A Wan? Ahh, siapa duga..."

Sejenak jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, namun segera dilepasnya kembali dan kedua pipinya menjadi merah. "...ahhh... ehh, sungguh tidak sangka... siapa kira kau sendiri yang akan menolongku? Tentu saja aku tak dapat segera mengenalmu, kau sekarang menjadi begini... begini, gagah perkasa dan lihai. Benar-benar aku kagum sekali!"

Wajah Yo Wan juga menjadi merah karena jengah dan malu, biar pun hatinya berdebar girang dengan pujian itu. "Kaulah yang hebat, Nona... tidak mengecewakan kau menjadi puteri Raja Pedang Tan-locianpwe ketua Thai-san-pai."

"A Wan, di antara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut nona kepadaku? Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari ayah bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai seorang murid, yaitu engkau, akan tetapi mengapa gerakan pedangmu tadi... serasa asing bagiku?"

Yo Wan menarik nafas panjang, "Memang sebetulnya aku adalah murid suhu Kwa Kun Hong, akan tetapi... aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain, yaitu dari mendiang Sin-eng-cu locianpwe dan mendiang Bhewakala locianpwe."

Sejenak kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekali tidak mengira bahwa bocah perempuan yang dulu itu, yang sering digodanya akan tetapi juga sering dia ajak bermain-main di Pegunungan Liong-thouw-san, dia carikan kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika gadis ini jatuh dia gendong di belakang, bocah yang dahulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis yang begini hebat. Berkepandaian amat tinggi, berpandangan luas, bersikap gagah perkasa, wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya, seorang dara yang hebat.

Cui Sian segera menundukkan muka. Kedua pipinya menjadi makin merah, jantungnya berdegupan secara aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar serta kepalanya menjadi pening? Mengapa ia yang tadinya berani menghadapi siapa pun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang tiba-tiba merasa amat canggung dan malu terhadap pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang asing baginya? Dia merasa benar-benar bingung dan tidak mengerti. Belum pernah Cui Sian merasakan hal seperti ini.

Biasanya dia amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung meski pun berhadapan dengan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan A Wan yang kini telah berubah menjadi seorang lelaki yang berpakaian sederhana, wajah yang membayangkan kematangan jiwa, dengan kepandaian yang sudah terbukti amat tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!

"Non... eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke pulau yang menjadi sarang orang-orang jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-san bersama orang tuamu?"

Di dalam hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu sekitar dua puluh tiga tahun. Dalam usia demikian, sudah semestinya kalau puteri ketua Thai-san-pai ini telah menjadi isteri orang. Mungkin suaminya tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar.

Cui Sian amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia menjawab, "Aku masih tinggal dengan ayah bundaku di Thai-san dan sekarang ini... aku memang sedang merantau, turun gunung. Kebetulan di telaga ini aku bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang dihina orang-orang Ang-hwa-pai. Karena Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik ayahku, maka aku tidak tinggal diam dan membantu mereka. Siapa sangka, dengan cara amat curang Ang-hwa-pai menawanku..." selanjutnya dengan singkat ia menceritakan pengalamannya di telaga itu.

"Baiknya bagaikan dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku dapat terbebas dari maut. Kau sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada di sini? Apakah tempat tinggalmu sekarang dekat-dekat sini... ehh, Twako? Kau lebih tua dari padaku, sepatutnya kusebut twako, Yo-twako!"

Yo Wan tersenyum. "Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Tadi kau tanya tentang tempat tinggalku? Ahh, aku tiada tempat tinggal, juga tiada sanak kadang, hidup sebatang kara dan merantau tanpa tujuan."

"Oohhh..." Cui Sian menghela nafas dan hatinya pun berbisik, "Dia masih... sendiri, seperti aku, dia kesepian, seperti aku pula."

Dengan kepala tunduk Cui Sian lalu mendengarkan cerita Yo Wan.

"Datangku ke Ching-coa-to hanya kebetulan saja, gara-gara... seorang gadis yang aneh. Dia lihai, wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah." Secara singkat Yo Wan bercerita tentang pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas, dimasukkan dalam tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.

"Dia aneh sekali," Yo Wan menutup ceritanya, "tanpa sebab dia menguji kepandaian denganku, tetapi kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri, meninggalkan pedangnya. Aku lalu mengejarnya untuk mengembalikan pedang, dan ternyata jejaknya membawaku ke Ching-coa-to dan agaknya bukan dia yang membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah kuduga!"

Cui Sian mengangguk. "Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan orang-orang jahat dari Ang-hwa-pai. Bagaimana pun juga, dia telah menolongku dengan mengembalikan pedangku ketika aku dikeroyok ular."

"Aku pun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada di sana? Ahh, agaknya dia memang memiliki hubungan dengan Ang-hwa-pai... sungguh tak kuduga sama sekali!" Wajah Yo Wan membayangkan kekecewaan besar.

Diam-diam Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan tadi, pemuda ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah begitu tertarik dan amat memperhatikan keadaannya. Cui Sian mencoba untuk membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik jelita, akan tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.

"Agaknya dia hanya seorang tamu di sana. Sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok di sana, dia tetap tidak sudi melakukan pengeroyokan biar pun mereka belum juga berhasil merobohkan aku. Ini saja menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan orang-orang pulau itu. Akan tetapi, jika ia selalu berdekatan dengan mereka, akhirnya ia pun mungkin akan rusak..."

Tiba-tiba saja Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat ke arah gerombolan pohon di sebelah kiri.

Siu Bi muncul dari balik pohon, pedang Cui-beng-kiam di tangan. Wajahnya keruh dan matanya berapi-api memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal siapa orangnya yang bersembunyi di balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah menyusul.

Sebetulnya bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-coa-to. Ketika melihat Yo Wan menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas dan tak senang. la marah-marah, dia sendiri tidak tahu marah kepada siapa, pendeknya ia amat marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang Lam, kepada Ang-hwa Nio-nio dan kepada semua penghuni Ching-coa-to.

Diam-diam ia lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke darat. Tak ada seorang pun anggota Ang-hwa-pai melihatnya karena mereka sedang bingung dan bersiap-siap melakukan pengepungan terhadap musuh apa bila diperintah. Andai ada yang melihatnya pun, mereka tentu tak akan berani mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi ‘orang sendiri’ dan sahabat baik kongcu?

Setibanya di darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika melihat munculnya perahu yang didayung cepat oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi di balik pepohonan dan sempat mendengarkan percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung dirinya membuat ia tak dapat tenang, sehingga gerakannya segera dapat ditangkap oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam dan terlatih.

"Kalian berdua adalah orang-orang yang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita bermain pedang, kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain mulut, menggoyang lidah tak bertulang?"

"Eh-eh-ehh, Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?" Yo Wan mengangkat kedua alisnya, bertanya.

Cui Sian juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo Wan tadi, betapa aneh watak dara remaja itu. Akan tetapi diam-diam dia juga harus mengakui, betapa cantik moleknya Siu Bi.

"Marah-marah tidak karuan? Pandai memutar balikkan fakta!" Siu Bi membentak marah sekali, pedangnya yang terhunus itu ia acung-acungkan. "Kalian yang mengumbar mulut jahat, menggoyang lidah membicarakan orang semaunya dan tidak karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku tak mendengarkan kasak-kusuk kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, laki-laki dan wanita kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?"

Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apa lagi dara remaja itu sudah menolongnya di Ching-coa-to. Akan tetapi ucapan yang galak ini benar-benar menyinggung hatinya, karena mengandung sindiran tentang dia berdua Yo Wan.

"Nanti dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi bukan membicarakan hal yang buruk..."

"Cih! Bicarakan hal buruk atau pun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku! Apa peduli kalian kalau aku rusak atau tidak? Apa sangkutannya kalian dengan apa yang aku lakukan, dengan siapa aku bergaul? Huh, sekarang aku sudah rusak, nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita bertanding sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!"

"Siu Bi...!" dalam kagetnya Yo Wan lupa menyebut ‘nona’. Dia takut gadis aneh ini akan kumat (kambuh) lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang orang bertanding. "Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian) sama sekali tidak bicara buruk tentang..."

"Diam kau! Atau... kau hendak membela moi-moi-mu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh maju sekalian mengeroyokku. Aku tidak takut!"

Celaka benar, pikir Yo Wan kewalahan. Tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. Gadis ini sudah cukup berpengalaman, cukup bijaksana sehingga dia tidak terseret ke dalam gelombang kemarahan akibat sikap gadis muda yang liar ini.

Akan tetapi hatinya terasa perih. Dia harus mengakui bahwa dalam pertemuan yang tidak terduga-duga dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk, runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng ia pun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan hatinya ini agaknya mencinta Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja ini menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat cinta!

Dengan suara lembut dia lalu berkata, "Bertanding sih mudah, memang bermain pedang merupakan kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tak sudi bertanding tanpa alasan tepat. Di pulau tadi, kau tidak mau mengeroyokku, malah kau telah membantuku dengan mengembalikan pedang ini. Sekarang kau menantangku, apa alasannya?"

"Peduli apa dengan alasan? Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!"

"Berani sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur dengan kau atau pun dengan siapa juga."

Panas hati Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat baik hati dalam pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di hadapan pemuda itulah maka gadis ini bersikap begitu sabar dan tenang, biar dipuji!

"Kau mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau!”

"Itu bukan alasan, Biar ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan ayah, tak mungkin bermusuhan dengan ayah, mana bisa dijadikan alasan?"

"Aku memusuhi ayahmu!"

"Ihhh, kenapa?"

"Karena ayahmu sahabat baik, bahkan gurunya Pendekar Buta!"

"Ahhh...!" Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi.

Apakah nama Pendekar Buta demikian besar dan hebatnya sehingga Yo Wan juga kaget ketika mendengar dia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan, suaranya lantang dan ketus.

"Aku telah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, juga isterinya dan semua keturunannya, dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Si Raja Pedang sahabat Pendekar Buta, kau pun tentu sahabatnya, maka kau musuhku. Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!"

Wajah Yo Wan seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat merasakan juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la tahu bahwa Pendekar Buta adalah penolong dan guru Yo Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru sekarang pemuda ini mendengar kenyataan yang amat menusuk perasaan, yaitu kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta.

Oleh karena itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan dengan melayani kenekatan Siu Bi.

Sesudah berhasil menekan perasaannya yang kacau balau, Yo Wan segera melangkah maju. Matanya memandang tajam kepada Siu Bi ketika dia berkata,

"Nona, kau... kau benar-benar sudah tersesat jauh sekali! Harap kau singkirkan jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu, tidak mungkin itu... Beliau adalah seorang pendekar yang berbudi, seorang gagah perkasa dan bijaksana yang tiada duanya di dunia ini. Aku tak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati oleh Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan lengan keluarganya? Tak mungkin ini!”

"Hemmm, begitukah pendapatmu? Kiranya kau hanya berpura-pura berlaku baik padaku karena hendak mengubah kehendakku? Tidak mungkin ini! Aku sudah mempertaruhkan nyawaku. Biar Pendekar Buta seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam buah lengan, aku tidak akan mundur setapak pun. Boleh jadi dia pendekar besar, boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap mendiang kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Lengan Kakek Hek Lojin menjadi buntung oleh Pendekar Buta, dan karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan sakit hati ini, aku telah bersumpah akan membuntungi lengan..."

"Jangan... jangan kau berkata begitu...,” Yo Wan melompat dan laksana seorang gila dia menggunakan tangannya mendekap mulut Siu Bi!

"Ahhh... aku... uppp, lepaskan… lepaskan...!"

Siu Bi tentu saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan dia lalu membalikkan pedangnya hendak menusuk. Akan tetapi Yo Wan sudah memegangi lengannya dan dia sama sekali tidak dapat melepaskan diri.

Diam-diam Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring, "Yo-twako, aku pergi dulu ke Liong-thouw-san."

la melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas dan tajam pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hatinya. Cui Sian maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, lebih baik kalau dia pergi meninggalkan dua orang itu.

Siu Bi sedang dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya. Juga, tak mungkin ia dapat memukul Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai permusuhan dengannya.

la pernah mendengar nama Hek Lojin dari ayah ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah seorang tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa duga, gadis yang tadinya dia sangka seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti setan!

Yo Wan sedang gugup, bingung, berduka dan kecewa. Karena itulah maka dia hanya menyesal sebentar bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang menangis terisak, dia sadar akan perbuatannya yang luar biasa ini.

Dia sedang merangkul Siu Bi, mendekap mulutnya dan memegangi lengannya. Setelah sadar, dengan tersipu-sipu ia cepat melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.

"Kau... kau... mau kurang ajaran, ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah dapat menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau laki-laki kurang ajar, kau laki-laki sombong, kau... kau... jangan kira aku takut, kau harus mampus...!" Serta merta Siu Bi menerjang dengan pedangnya.

Tentu saja Yo Wan cepat mengelak dan berkata, "Siu Bi... ehh, Nona..., tunggu dulu...”

"Tunggu apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap mulutku, siapa beri ijin? Kurang ajar! Kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena kau tampan, karena kau gagah, karena kau lihai? Cih, tak bermalu!" Pedangnya menusuk leher dan kembali Yo Wan mengelak.

"Sabar...!" Dia sempat berkata, tetapi cepat mengelak lagi karena sinar pedang hitam itu sudah menyambar. "Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan penuh gelisah setelah menemukan sapu tanganmu ini..." la mencabut sapu tangan kuning dari sakunya. "Kukira kau terancam bahaya maut... kiranya kau menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau malah ingin aku mati..."

"Makan ini!" kembali pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet ke arah hidung.

Cepat Yo Wan meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.

"Kau mau menggunakan lidah tak bertulang? Jangan coba bujuk aku, he... Jaka Lola tak tahu diri. Kau bilang gelisah memikirkan aku, tetapi kenyataannya, dengan menyolok kau hanya datang untuk membantu Cui Sian. Wah, kau gendong-gendong dia. Mesra, ya? Cih, tak bermalu! Sekarang kau hendak membela Pendekar Buta lagi? Nah, matilah!"

Mau tidak mau Yo Wan tersenyum geli. Gadis ini memang luar biasa aneh. Tapi... tapi... agaknya marah-marah karena dia telah menolong Cui Sian? Hatinya berdebar. Benarkah dugaannya ini? Benarkah Siu Bi tak senang dia menolong gadis lain? Cemburu? Susah berurusan dengan gadis yang begini galak, pikirnya.

"Nanti dulu, Siu Bi, berhenti dulu...”

"Berhenti kalau kau sudah mati!" teriak Siu Bi.

Siu Bi mengirim tusukan cepat dan kuat sekali. Kalau terkena lambung Yo Wan, tentu pemuda itu akan di ‘sate’ hidup-hidup. Akan tetapi langkah ajaib menolong Yo Wan dan pedang itu meluncur lewat belakang punggungnya. Cepat dia memutar tubuh ke kiri dan tangan berikut gagang pedang itu sudah dikempit di bawah lengannya. Siu Bi tak dapat bergerak lagi!

"Nanti dulu, dengarkan dulu omonganku. Bila sudah dengar dan tetap menganggap aku salah, boleh kau sembelih aku dan aku Yo Wan tak akan mengelak lagi!"

Tangan kiri Siu Bi tadinya sudah bergerak hendak mengirim pukulan. Mendengar ucapan ini dia tampak ragu-ragu dan bertanya. "Betulkah itu? Kau tak akan mengelak lagi kalau nanti kuserang?"

"Tidak, tapi kau harus dengarkan dulu omonganku, bersabar dulu, jangan terlalu galak."

"Sumpah?"

"Sumpah...? Sumpah apa?"

"Sumpah bahwa kau tak akan melanggar janji?"

"Pakai sumpah segala?" Yo Wan melepaskan kempitannya dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Aku..."

"Tidak usah, bersumpah pun percuma! Mana bisa dipegang sumpah laki-laki? Sebagai gantinya sumpah, hayo bersihkan tanganku ini!" la mengasurkan tangannya ke depan.

Yo Wan melongo. "Bersihkan tanganmu? Kenapa?" la mengerutkan alisnya. Tak sudi dia demikian direndahkan, apakah dia akan diperlakukan sebagai seorang bujang?

Siu Bi merengut, marah lagi, terbayang pada matanya yang bersinar-sinar seperti akan mengeluarkan api.

"Memang kau tak bertanggung jawab, berani berbuat tak berani menanggung akibatnya. Kau tadi mengempit tanganku di ketiakmu, apa tidak kotor?"

Hampir saja Yo Wan meledak ketawanya, begitu geli hatinya sehingga perutnya terasa mengkal dan mengeras. Gadis ini benar-benar... ah, gemas dia, kalau berani tentu sudah dicubitnya pipi dara itu.

Tapi ia maklum bahwa gadis ini tidak berpura-pura, memang benar-benar bersikap wajar, sikap kanak-kanak yang nakal dan manja. Yo Wan lalu menggunakan ujung baju untuk menyusuti tangan yang berjari dan berkulit halus itu. Makin berdebar jantungnya hingga jari-jari tangannya agak gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Siu Bi yang ‘dibersihkan’.

Tiba-tiba Siu Bi merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Yo Wan. "Sudahlah...! Lama-lama amat membersihkan saja, agaknya kau memang senang pegang-pegang tanganku, ya?"

Tentu saja kedua pipi Yo Wan seketika menjadi merah sekali saking malu dan jengah mendengar teguran yang benar-benar tidak mengenal sungkan lagi ini akan tetapi yang langsung menusuk hati dengan tepatnya.

"Nah, sekarang kau omonglah! Awas, jika dari omonganmu ternyata kau masih bersalah terhadapku, pedangku akan menyembelih lehermu!" Mata Siu Bi memandang ke arah leher Yo Wan, penuh ancaman.

Akan tetapi Yo Wan sama sekali tidak merasa ngeri. Meski gadis ini merupakan kenalan baru, akan tetapi dia seperti telah mengenal luar dalam, sudah hafal akan wataknya yang memang aneh itu. Dia yakin bahwa sampai mati Siu Bi tak akan sudi melakukan hal itu, menyembelih orang yang tidak melawan seperti orang menyembelih ayam saja!

Dia tersenyum dan duduk di atas rumput. Ketika Siu Bi juga menjatuhkan diri duduk di depannya, dia merasa gembira dan lega hatinya, timbul kembali rasa aneh yang sangat bahagia di hatinya seperti ketika dia bersama gadis itu makan berdua menghadapi api unggun.

"Aku tidak berbohong, tak pernah membohong dan juga takkan suka membohong kalau akibat perbuatan itu aku merugikan orang lain." Yo Wan mulai dengan kata-kata memutar karena dia maklum bahwa menghadapi seorang seperti Siu Bi, ada perlunya sekali-kali membohong, maka dia tadi sengaja menambahi kata-kata ‘kalau akibat membohong itu akan merugikan lain orang’! "Pada waktu kau lari itu, pedangmu tertinggal. Aku menyesal sekali telah membikin kau marah dan kecewa, maka aku mengambil pedangmu dan lari mengejar. Celaka, kiranya ilmu lari cepatmu luar biasa sekali. Mana aku mampu untuk mengejar? Aku tidak dapat mengejarmu dan ketika kulihat sapu tangan ini... ada darah di situ... aku menjadi gelisah bukan main. Aku khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan orang jahat...”

"Memang aku terjatuh ke tangan orang jahat, anak buah Ang-hwa-pai yang menculikku setelah membuat aku pingsan dengan bubuk racun merah yang harum."

"Ahhh...! Sudah kukhawatirkan terjadi hal seperti itu...! Kemudian bagaimana?"

Siu Bi meruncingkan bibirnya. Yo Wan terpaksa meramkan kedua matanya melihat mulut yang kecil itu meruncing seperti hendak menusuk ulu hatinya. "Huh, yang mau omong ini engkau atau aku? Kaulah yang harus meneruskan omonganmu. Hayo, lalu bagaimana?"

Yo Wan tersenyum. Timbul lagi kegembiraannya. Ah, alangkah akan nikmat dan bahagia hidup jika bisa seperti ini terus. Heran dia, kenapa selalu terasa seperti ini, bunga-bunga makin indah, daun hijau makin segar, bahkan batang-batang pohon bentuknya menjadi penuh keindahan, semua hal aneh ini terjadi apa bila Siu Bi berada di dekatnya, dengan sikapnya yang nakal, aneh, menggemaskan dan kadang-kadang membingungkan.

"Aku lalu menyimpan sapu tangan pembungkus rambutmu ini yang... ehhh, yang harum baunya tapi ternoda darah... tadinya kusangka darahmu..."

"Bukan darahku. Kupukul seorang penjahat sampai berdarah. Pada waktu aku pingsan, agaknya dia sudah mengambil sapu tangan itu dan menggunakannya untuk mengusap darahnya..."

"Celaka..." pikir Yo Wan dan hidungnya dikernyitkan, alisnya berkerut.

"Ehhh, kenapa kau? Mukamu seperti... seperti monyet kalau begitu!"

Yo Wan tidak menjawab, hanya cemberut. Celaka, pikirnya. Teringat dia betapa kadang-kadang dia menciumi sapu tangan berdarah itu, mengira itu darah Siu Bi. Kiranya darah penjahat. Pantas baunya tak sedap.

"Sudahlah, sapu tanganku itu boleh kau miliki, teruskan omonganmu. Sampai di sini aku belum melihat kesalahan-kesalahan."

Belum ada kesalahan? Kesalahan besar yang patut diberi hukuman tamparan tiga kali, pikir Yo Wan.

"Aku mengejar terus sampai akhirnya aku berhenti di pinggir Sungai Fen-ho. Di sana aku dihadang oleh bajak sungai. Kukalahkan tiga orang itu, kutangkap seorang dan kupaksa mengaku. Dari bajak itulah aku tahu bahwa kau telah menjadi tawanan Ang-hwa-pai dan dibawa ke Ching-coa-to. Aku lalu melakukan pengejaran, akan tetapi karena aku belum mengenal jalan dan di sepanjang jalan harus berhenti untuk bertanya-tanya, maka tentu saja bajak itu sampai ke Ching-coa-to lebih dulu."

"Stop dulu! Awas, apakah pada bagian ini kau tidak membohong? Agaknya di jalan kau bertemu dengan Cui Sian dan itulah yang menyebabkan kau terlambat datang."

"Tidak sama sekali!"

"Kalau tidak, bagaimana bisa begitu kebetulan? Nah, lanjutkanlah,"

"Ketika mendarat di Ching-coa-to, aku sama sekali tidak tahu bahwa di situ ada Cui Sian, malah aku tidak pernah kenal siapa dia. Yang kukhawatirkan tentu saja kau, karena aku menyusul tergesa-gesa ke Ching-coa-to adalah karena hendak menolongmu."

"Hemmm..." Siu Bi menggerakkan mulut mengejek, tanda tak percaya. "Teruskanlah..." kata-kata ini membayangkan bahwa dia amat tertarik. Diam-diam Yo Wan geli hatinya.

"Tapi, ketika aku tiba di tempat pertempuran, aku melihat hal yang amat aneh dan sama sekali di luar dugaanku."

"Apa itu?"

"Ehh, kulihat kau yang kukhawatirkan setengah mati itu sedang berdampingan dengan seorang pemuda tampan dan ganteng, sama sekali kau tidak ditawan, apa lagi terancam! Sekali pandang saja aku maklum bahwa kau memang tidak membutuhkan pertolongan, maka perhatianku lalu tertarik oleh keadaan Cui Sian yang terancam bahaya maut. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan orang-orang jahat menyiksa orang seperti itu, maka aku kemudian turun tangan menolongnya. Karena maklum bahwa berlama-lama di sana akan berbahaya, aku lalu membawa pergi Cui Sian yang masih pingsan, melarikan diri dengan perahu meninggalkan Ching-coa-to."

"Tanpa pedulikan aku lagi, ya?"

"Lho, kau kan tidak apa-apa! Aku sama sekali tidak merasa khawatir meninggalkan kau di sana karena agaknya kau tidak bermusuhan dengan orang-orang Ang-hwa-pai."

"Hemmm, tadi kau bilang tidak kenal Cui Sian, padahal sesudah kau dengan dia berada di sini, kalian bicara kasak-kusuk begitu mesra. Kau menyebutnya moi-moi segala!"

Yo Wan tersenyum dan mukahya menjadi merah. Benar-benar gadis ini belum mengenal sungkan, bicara secara blak-blakan tanpa malu-malu dan sungkan lagi, malah dia yang menjadi jengah dan untuk sejenak tak mampu menjawab.

"Pringas-pringis! Hayo beri keterangan, bagaimana? Atau, barangkali kau bohong ketika bilang tidak mengenal dia?"

"Begini, Nona..."

"Huh, aku yang lebih dulu kau kenal, masih kau sebut nona-nona segala. Dia baru saja kau jumpai, sudah kau sebut moi-moi. Coba pikir, bukankah hal ini sangat memanaskan perut?"

Senyum Yo Wan melebar. Benar-benar seperti anak kecil. "Kalau begitu, biar kusebut kau moi-moi. Aku tadinya takut menyebut kau moi-moi, kau begitu galak sih.”

”Siapa kegilaan dengan sebutanmu? Teruskan!”

"Begini sebenarnya. Ketika aku menolong Cui Sian, aku benar-benar tidak mengenal dia, dan aku menolong hanya karena tidak dapat berdiam diri saja melihat seorang wanita muda terancam maut. Akan tetapi sesudah kami berdua bercakap-cakap, baru aku tahu bahwa dia itu adalah seorang temanku bermain ketika kami masih kecil. Ketika itu dia baru berusia tiga empat tahun, dan aku berusia enam tujuh tahun. Tentu saja pertemuan yang tak terduga-duga itu menggembirakan dan kami bicara tentang masa lalu."

Siu Bi mengangguk-angguk, wajahnya agak berseri, tidak marah lagi seperti tadi.

"Dan kalian kasak-kusuk? Bicara tentang diriku, ya?"

"Tapi kami tidak bicara buruk. Cui Sian bukan macam gadis yang suka memburukkan orang lain."

"Aku tahu. Dia gagah perkasa memang. Tapi... tapi dia sahabatnya Pendekar Buta. Dan kau...!" Tiba-tiba Siu Bi berdiri, "Kau juga hendak membela Pendekar Buta? Mengapa? Kau siapa? Apamukah Pendekar Buta itu?"

"Eeittt, sabar dan tenanglah. Aku sama sekali tidak membelanya. Dengar baik-baik, Siu Bi Moi-moi. Aku mencegah kau memusuhi Pendekar Buta, sama sekali bukan dengan maksud lain kecuali untuk mencegah kau menghadapi bahaya maut. Kau tahu, Pendekar Buta adalah seorang yang teramat sakti, tak terkalahkan, dan mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat di dunia ini, sahabat-sahabat yang sakti-sakti pula. Karena itu, harap kau jangan sembarangan bicara dan ingat baik-baik lebih dulu sebelum memusuhinya, karena hal itu teramat berbahaya bagi keselamatanmu."

Sejenak Siu Bi termenung, kemudian matanya bersinar dan dia menyimpan pedangnya. Yo Wan menarik nafas panjang, dadanya lapang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar