Jaka Lola Jilid 09

"Ahh, kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tetapi masih belum saling mengenal. Namaku… orang menyebutku Jaka Lola, Nona."

"Jaka Lola? Ayah bundamu... sudah tiada?"

Yo Wan mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya, "Kau sendiri? Siapakah namamu kalau aku boleh bertanya?"

"Orang-orang di dusun itu, para petani itu menyebutku Cui-beng Kwan Im. Sedangkan namaku... ahh, kau juga tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan namaku?"

Kembali Yo Wan tersenyum. "Namaku Yo Wan, hidupku sebatang kara, tiada sanak tiada kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit, lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan bintang."

Siu Bi tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak serta suara Yo Wan ia berkata, "Namaku Siu Bi, hidupku sebatang kara, tiada sanak kadang, tidak punya tempat tinggal tertentu, rumahku di mana aku berada, atap, lantai dan dindingnya, apa pun jadi!" Dan ia tertawa lagi.

Yo Wan mau tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan menambah gemilangnya sinar matahari pagi.

"Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi siapakah she-mu (nama keturunan)"

"Cukup Siu Bi saja, tidak ada tambahan di depan mau pun embel-embel di belakangnya. Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau bersiaplah dan keluarkan senjatamu!" kata Siu Bi sambil mencabut Cui-beng-kiam yang tadinya ia selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di depan dada dengan sikap hendak menyerang.

Yo Wan terkejut. "Eh… ehh… ehhh, apa pula ini?"

"Artinya, aku hendak menguji kepandaianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka."

"Wah, aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian apa-apa, jangan kau main-main dengan pedang itu, Nona."

"Tak usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, tetap harus melayani aku beberapa jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!"

Serta merta Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.

"Wah, gila...!" Yo Wan mengeluh di dalam hatinya.

la cepat membuang diri mengelak, maklum akan keampuhan pedang bersinar hitam itu. Akan tetapi Siu Bi sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu sudah mulai menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-in-kang!

Yo Wan yang menangkis sambaran tangan kiri ini terpental. Ia merasa betapa lengannya yang menangkis terasa panas dan sakit. Dia terkejut sekali dan timbul rasa gemasnya. Gadis ini benar-benar liar pikirnya.

Akan tetapi pedang bersinar hitam itu sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling pula dengan pukulan yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat! Gadis ini ternyata mempunyai ilmu yang amat ganas dan dahsyat. Jika aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus berkepala batu dan tinggi hati.

Cepat tangan kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan di lain saat pedang kayu cendana sudah berada di tangannya, pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar hitam menyambar dia menangkis.

"Dukkk!"

Siu Bi melangkah mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia kenapa pedang lawannya itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu, tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia memandang lebih jelas, betul saja bahwa pedang itu memanglah sebatang pedang kayu!

Mukanya seketika menjadi amat merah. Ia penasaran, masa pedangnya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang pedang kayu? la segera mengeluarkan seruan keras dan kembali maju menerjang, mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang untuk membabat putus pedang kayu itu.

Akan tetapi ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biar pun hanya terbuat dari kayu cendana yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa sinkang dan mempunyai tenaga dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya. Bukan saja pedang kayu itu tidak rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena tangannya terasa panas dan sakit apa bila kedua senjata itu bertemu.

Ia mulai kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun penasaran dan marah sekali. Masa dia yang berjulukan Cui-beng Kwan Im, hanya dilawan dengan pedang kayu saja? Bukan pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang hanya patut dipakai mainan anak kecil. Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak semakin ganas dan dahsyat.

Yo Wan diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar berbahaya sekali, apa lagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa beracun, benar-benar sukar dilawan bila mana tidak mempergunakan sinkang yang kuat. Dia pun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari Sin-eng-cu.

Namun, ilmu pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dari Siu Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesak dengan pukulan-pukulan Hek-in-kang. Sekarang Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi pertandingan mati-matian.

"Benar-benar kau aneh sekali, Nona,” seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu.

Tangan kiri itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, namun khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu. Sambil berjungkir balik ini, dia mencabut keluar cambuknya yang melingkar di pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan…

"Tar-tar-tar!" cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir di atas kepala Siu Bi.

“Ayaaa...!" Siu Bi kaget bukan main. Apa lagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan.

Seketika itu juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir terlibat cambuk lawan. Akan tetapi, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar. Dia malah makin bersemangat.

"Wah, benar-benar keras hati dia...,” pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan langkah-langkah Si-Cap-it Sin-po.

Seketika Yo Wan lenyap dari depan Siu Bi dan dalam kebingungannya, gadis itu cepat berbalik ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu kembali lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap, muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia dibuatnya sehingga kepalanya menjadi pening!

"Sudahlah, cukup, Nona. Kau lihai sekali...," berkali-kali Yo Wan berseru.

Namun mana Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit bibir dan menerjang seperti seekor harimau gila, nekat dan tidak takut mati.

"Awas pedangmu!" Yo Wan berseru dan lenyap.

Pada waktu Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit pundak. Ternyata cambuk lawannya yang sudah melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh!

Dengan marah sekali Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, lalu membanting-banting kaki dan memandang penuh kebencian.

“Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja. Kau telah mengalah..."

Akan tetapi Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat, tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak di atas tanah.

"Heee, nona Siu Bi... tunggu... pedangmu...!" Yo Wan mengambil pedang itu dan cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah berlari jauh dan menghilang di balik pohon-pohon di dalam hutan.

Yo Wan berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik nafas panjang.

"Wah, benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!" Akan tetapi diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya. "Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian dan watak segila itu."

Kemudian ia mengejar lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan hati gadis itu agak mendingin. Kalau sedang panas dan marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik.

Seorang gadis luar biasa yang masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Benarkah dia pun sebatang kara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu mengalami mala petaka atau menjadi rusak.

Hati Yo Wan mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat bayangan Siu Bi.

"Nona Siu Bi! Tunggu...!" Yo Wan berseru sambil mengerahkan khikang hingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan berhenti melangkah. Di depan kakinya tergeletak sehelai sapu tangan sutera kuning. Bukankah ini sapu tangan yang dia lihat tadi mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya sapu tangan itu dan jari-jari tangannya menggigil. Sapu tangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat ke atas pohon, memandang ke sana ke mari.

"Nona Siu Bi! Di mana kau...?!" la berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.

"Celaka, apa artinya ini...?" Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi sapu tangan di tangannya. "Jangan-jangan..." la tidak berani melanjutkan kata-kata hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi.

Apakah yang terjadi dengan diri Siu Bi?

Gadis itu merasa amat marah, penasaran, malu dan kecewa sekali setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan. Memang Siu Bi berwatak aneh, mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh besarnya. Akan tetapi sesudah ternyata dia kalah jauh, dia menjadi kecewa dan marah, lalu pergi sambil menangis! Malah dia tinggalkan begitu saja pedangnya yang terlepas dari tangan.

Siu Bi menggunakan ilmu lari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya, maka ia lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak goanya yang gelap dan terbuka seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini, memilih sebuah goa yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.

Goa itu gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya langsung diselimuti kegelapan, sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan dalam goa itu membelok ke kiri sehingga ia terbebas sama sekali dari sinar matahari. Terlalu gelap di situ, melihat tangan sendiri pun hampir tidak kelihatan.

Siu Bi meraba-raba dan ketika mendapatkan sebuah batu yang licin dan bersih, ia duduk di situ terengah-engah. Disusutnya air matanya dengan ujung lengan bajunya.

Tiba-tiba ia hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apa lagi ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Secara otomatis tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena terkejut, maka sekaligus dia mengerahkan Hek-in-kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan bagian perut yang lunak.

"Bukkk!" orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang.

Siu Bi melompat bangun. Akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa, yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang, terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat!

Beberapa detik kemudian, dua orang lelaki tinggi besar yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, melompat keluar dari dalam goa. Salah seorang di antara mereka, yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya di luar goa, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa.

"Ha-ha-ha, luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!"

Kawannya yang mukanya pucat tertawa masam. "Bidadari namun pukulannya seperti setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang, kiranya isi perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya hebat dan pukulannya dahsyat."

"Dia tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari kita cepat bawa pergi. Gong-twako bersama perahunya tentu berada di pantai. Hayo, cepat!"

Dua orang itu berlari cepat sekali menuju ke barat. Tidak lama kemudian mereka tiba di pinggiran Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.

"Hee, kalian membawa seorang gadis, untuk apa? Siapa dia?"

Dua orang tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan itu ke dalam bilik perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.

"Kami tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!" katanya.

"Bidadari yang pukulannya seperti setan!" sambung si muka pucat dan tiba-tiba meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam.

Dua orang temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang dengan kening berkerut. "Bian-te, kau terluka dalam yang hebat."

"Lekas kita pergi ke Ching-coa-to. Gong-twako, gadis itu seorang yang cantik dan pandai, tentu kongcu (tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya toanio (nyonya) seorang yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat sekali dan agaknya mengandung racun yang aneh."

Si rambut putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda. "Kau menjaga di sini, kami akan ke pulau," pesannya dan didayunglah perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur dengan lajunya.

Beberapa jam kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk membantu pengerahan sinkang, namun hasilnya tidak banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernafas lebih leluasa. Mukanya makin pucat dan matanya beringas.

"Keparat, aku harus membalas ini." la bangkit hendak memasuki bilik perahu.

"Bian-te, sabarlah," cegah si brewok.

"Perjalanan ini masih lama, agaknya aku tak akan kuat. Tidak lama lagi aku mati, dan sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran."

"Jangan bunuh dia, Bian-te...," cegah si rambut putih. "Agaknya dia sudah terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan kongcu, ha-ha-ha, tentu tak lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu."

"Aku tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya di sana, tentu aku sudah menjadi mayat. Gong-twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku mati."

"Bian-te, dia hendak kami berikan kepada kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan dihukum kongcu."

"Kongcu tidak tahu tentang dia, laginya, kalau sebentar lagi aku mati, kongcu mau bisa berbuat apa kepadaku?" Si muka pucat memasuki bilik dan dua orang kawannya hanya saling pandang.

"Dia sudah terluka hebat dan agaknya betul-betul tak akan dapat ditolong, biarkanlah dia menebus kekalahan dan membalas dendam," kata si rambut putih sambil mengeluarkan pipa tembakaunya dan mengisap. Si brewok juga mengangkat pundak.

Siu Bi sudah kena bubuk beracun Ang-hwa-tok (Racun Kembang Merah) yang membuat dia mabuk dan pingsan. Akan tetapi gadis ini adalah murid dari Hek Lojin, seorang tokoh dunia hitam. Ketika gadis ini mempelajari Iweekang, latihannya dengan berjungkir balik sehingga dalam pengerahan Hek-in-kang, jalan darahnya membalik dan sinkang dalam tubuhnya membentuk hawa Hek-in-kang yang beracun hitam.

Oleh karena itu, ketika ia terkena pengaruh racun Ang-hwa-tok, hanya sebentar saja ia tercengkeram dan pingsan. Pada saat itu, ia telah mulai bergerak biar pun masih pening, dan ketika ia membuka matanya, cepat ia meramkan lagi karena segala yang tampak berputaran sedangkan darahnya di kepala berdenyut-denyut.

Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh memabukkan ini. Untung baginya, pada saat tadi terkena racun Ang-hwa-tok, dia baru mengerahkan Hek-in-kang sehingga tenaga mukjijat inilah yang menolak sebagian besar pengaruh racun. Sekarang dengan sinkang ia berhasil mengusir hawa beracun, akan tetapi pikirannya masih belum sadar benar dan ia merasa seakan-akan melayang di angkasa, belum sadar benar dan belum ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. la merasa seperti dalam alam mimpi.

Mendadak ada orang menubruk dan memeluknya sambil mencengkeram pundak. Siu Bi kaget bukan main, cepat membuka matanya. Hampir dia menjerit ketika melihat bahwa yang menindihnya adalah seorang lelaki bermuka pucat bermata beringas dan mulutnya menyeringai liar, dari ujung bibirnya bertetesan darah menghitam!

Dia tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang mengerikan ini terhadap dirinya. Dia menyangka bahwa ia akan dibunuh dan dicekik, maka cepat Siu Bi mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang yang ada pada dirinya, kemudian sambil meronta ia menggunakan kedua tangannya menghantam dengan pengerahan Hek-in-kang.

Lambung dan leher orang yang bermuka pucat itu dengan tepat kena dihantam. Dia memekik keras, tubuhnya terpental dan roboh terguling ke bawah dipan. Pada waktu Siu Bi melompat bangun, ternyata orang itu sudah rebah dengan mata mendelik dan dari mulutnya bercucuran darah, nafasnya sudah putus!

Siu Bi bergidik mengenangkan bahaya yang hampir menimpa dirinya. Dengan penuh kebencian ia lalu menendang mayat itu sehingga terlempar ke luar dari pintu bilik kecil.

Sementara itu, si brewok dan si rambut putih yang sedang enak-enakan duduk di atas perahu, terkejut bukan main mendengar pekik tadi. Cepat-cepat mereka melempar pipa tembakau ke samping dan melompat, langsung menyerbu ke dalam bilik.

Sesosok bayangan menyambar mereka. Si brewok menyampok dan bayangan itu adalah temannya sendiri, si muka pucat yang sekarang sudah menjadi mayat! Tentu saja di samping rasa kaget, mereka berdua marah sekali melihat seorang teman mereka tewas dalam keadaan seperti itu. Bagaikan dua ekor beruang luka mereka berteriak keras dan menyerbu ke dalam bilik.

Siu Bi menjadi nekat. la sudah siap dan telah mengerahkan Hek-in-kang untuk melawan. Akan tetapi sedikit banyak racun Ang-hwa-tok masih mempengaruhinya. Dia mencoba untuk menerjang kedua orang yang menyerbu itu dengan pukulan Hek-in-kang.

Namun dua orang lawannya bukanlah orang lemah. Mereka itu, terutama si rambut putih, adalah jagoan-jagoan dari Ching-coa-to. Mereka sudah tahu akan kelihaian ilmu pukulan Siu Bi, maka cepat mereka mengelak lalu balas menyerang.

"Gong-twako, kita tangkap hidup-hidup!" seru si brewok.

Si rambut putih maklum akan kehendak kawannya ini. Memang, setelah gadis ini berhasil membunuh seorang kawan, bila dapat menangkapnya dan menyerahkannya hidup-hidup kepada kongcu mereka di Ching-coa-to, jasanya tidak kecil. Pertama, dapat menangkap musuh yang membunuh seorang anggota Ang-hwa-pai (Perkumpulan Kembang Merah), kedua kalinya, dapat menghadiahkan seorang gadis yang cantik molek kepada kongcu!

Siu Bi melawan dengan nekat, menangkis sepenuh tenaga dan mencoba merobohkan mereka dengan pukulan Hek-in-kang. Namun, kedua orang musuhnya ini amat kuat dan gesit, sedangkan kepalanya masih terasa pening.

Tiba-tiba tampak sinar merah. Siu Bi cepat-cepat menahan nafasnya, namun terlambat. Kembali dia mencium bau yang amat harum dan tiba-tiba dia menjadi lemas dan roboh pingsan lagi! Ternyata bahwa si rambut putih sudah berhasil merobohkannya dengan bubuk racun merah, senjata rahasia yang menjadi andalan para tokoh Ching-coa-to.

Siapa mereka ini? Mereka bukan lain adalah tokoh-tokoh yang menjadi anggota sebuah perkumpulan yang disebut Ang-hwa-pai. Sesuai nama perkumpulannya, para tokoh ini memiliki tanda setangkai bunga berwarna merah, menghias sebagai sulaman pada baju yang menutupi dada kiri. Ang-hwa-pai bersarang di Pulau Ching-coa-to, yaitu Pulau Ular Hijau.

Kiranya para pembaca cerita Pendekar Buta masih ingat akan nama Ching-coa-to. Pulau ini adalah tempat tinggal Ching-toanio, ibu dari Giam Hui Siang dan ibu angkat dari Hui Kauw isteri Pendekar Buta. Setelah Ching-toanio meninggal dan kedua orang puterinya itu menikah serta meninggalkan Ching-coa-to, pulau itu menjadi kosong, hanya ditinggali bekas anak buah Ching-toanio yang hidup sebagai perampok dan bajak sungai.

Beberapa bulan kemudian, muncul seorang wanita yang kulitnya agak kehitaman dengan pakaiannya yang serba merah. Wanita galak yang genit, yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi masih kelihatan pesolek dan genit sekali. Dia ini bukanlah wanita sembarangan dan para pembaca dari cerita Pendekar Buta tentu mengenalnya. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara Ang-hwa Sam-cimoi yang amat lihai ilmu silatnya.

Di dalam cerita Pendekar Buta, tiga orang kakak beradik ini bertanding hebat melawan Pendekar Buta. Dua di antara mereka, yaitu Kui Biauw dan Kui Siauw, tewas dan yang tertua, Kui Ciauw, berhasil melarikan diri sambil membawa mayat dua orang saudaranya. Wanita yang datang ke Ching-coa-to adalah Kui Ciauw inilah. Tentu saja para anak buah Ching-coa-to telah mengenalnya.

Di dunia hitam, siapa yang tidak mengenal Ang-hwa Sam-cimoi yang bahkan lebih lihai dari pada suci mereka, si wanita iblis Hek-hwa Kui-bo yang sudah tewas pula? Karena percaya akan kelihaian Kui Ciauw, para anak buah Ching-coa-to mengangkat Kui Ciauw menjadi kepala dan wanita ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Ang-hwa-pai, sesuai dengan julukannya, yaitu Ang-hwa Nio-nio.

la lalu mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang memiliki kepandaian tinggi. Malah ia lalu melatih mereka dan menurunkan kepandaian melepas bubuk racun kembang merah kepada para pembantunya. Setelah masa peralihan kekuasaan, dengan memanfaatkan keadaan yang kacau, perkumpulan hitam ini lantas merajalela, merampok membajak dan keadaan mereka menjadi makin kuat karena banyak perampok ternama dan lihai yang melihat kemajuan dan pengaruh Ang-hwa-pai, lalu menggabungkan diri.

Ang-hwa Nio-nio atau Kui Ciauw ini tidak pernah melupakan dendam hatinya terhadap Pendekar Buta yang sudah membunuh dua orang adiknya. Akan tetapi maklum bahwa tidak mudah membalas dendam kepada orang sakti itu, ia tekun memperdalam ilmunya. Bahkan ia lalu menyusun kekuatan partainya dengan maksud kelak akan menyerang ke Liong-thouw san.

Ang-hwa Nio-nio, seperti lainnya para tokoh dunia gelap, biar pun sudah berusia hampir setengah abad, namun masih merupakan seorang wanita cabul yang gila laki-laki. Maka, bukan rahasia lagi bagi para anak buahnya akan kesukaan ketua ini mengumpulkan pria yang masih muda dan tampan, menjadikan mereka itu kekasih atau ‘selir’. Tentu saja banyak di antara mereka yang melakukan hal ini karena dipaksa dengan ancaman maut.

Setelah muncul seorang pemuda tampan bernama Ouwyang Lam, kerakusannya dalam mengumpulkan pemuda-pemuda tampan baru berhenti. Ouwyang Lam adalah seorang pemuda dari daerah Shan-tung, bertubuh tegap kuat berwajah tampan, anak seorang bajak tunggal. Bersama ayahnya, Ouwyang Lam menggabungkan diri pada Ang-hwa-pai dan tentu saja pemuda tampan ini tidak terlepas dari incaran Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi, kali ini Ang-hwa Nio-nio betul-betul ‘jatuh hati’ kepada Ouwyang Lam.

Agaknya cinta tidak memilih umur sehingga dalam usia hampir setengah abad, Ang-hwa Nio-nio kali ini benar-benar jatuh cinta! Segala kehendak Ouwyang Lam selalu dituruti dan pertama-tama yang diminta oleh pemuda pintar ini adalah mengusir atau membunuhi puluhan orang ‘selir’ laki-laki itu! la ingin memonopoli ketua Ang-hwa-pai, bukan karena cantiknya, melainkan karena kedudukannya yang mulia dan karena pemuda ini ingin pula mewarisi kepandaiannya.

Dan demikianlah kenyataannya. Ouwyang Lam lalu diambil sebagai ‘putera angkat’ oleh Ang-hwa Nio-nio, mendapat sebutan kongcu (tuan muda), dihormat oleh seluruh anggota Ang-hwa-pai dan selain kedudukan yang tinggi ini, juga pemuda yang cerdik ini setiap hari memeras ilmu-ilmu kesaktian dari ‘ibu angkat" alias kekasihnya ini untuk dimilikinya.

Terdorong cinta kasih yang membuatnya tergila-gila, Ang-hwa Nio-nio tidak segan-segan menurunkan semua ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Ouwyang Lam sangat hebat. Bahkan Ilmu Pedang Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang) yang menjadi kebanggaan Ang-hwa Sam-cimoi dahulu, telah diajarkan kepada Ouwyang Lam.

Dasar Ouwyang Lam memang pandai mengambil hati, maka dia bersumpah kepada kekasihnya bahwa kelak dia sendiri yang akan membalaskan dendam kekasihnya itu kepada Pendekar Buta. Tentu saja untuk ini dia memerlukan ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat berhasil.

Tidak ini saja, malah pemuda tampan ini begitu dimanja sehingga segala permintaannya dituruti, termasuk pula kegemarannya akan wanita cantik. Ang-hwa Nio-nio yang sudah setengah tua itu tidak memiliki hati cemburu, bahkan rela membagi cinta kasih Ouwyang Lam.

Demikianlah sekelumit keadaan Ang-hwa-pai di Ching-coa-to. Kalau kepalanya bergerak ke utara, tak mungkin ekornya menuju selatan demikian kata orang-orang tua. Dengan pimpinan macam Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, dapat dibayangkan betapa bobrok moral para anak buah dan anggota Ang-hwa-pai.

Mereka seperti mendapat contoh dan demikianlah, seluruh wilayah di sebelah barat dan selatan kota raja, penuh dengan orang-orang Ang-hwa-pai yang bergerak dan merajalela menjadi perampok atau bajak yang malang-melintang tanpa ada yang berani melawan mereka. Asal ada penjahat yang memakai tanda bunga merah di dada yang melakukan gerakan, tidak ada yang berani berkutik!

Ouwyang Lam amat pandai dan cerdik sehingga untuk memperkuat kedudukannya, dia tidak segan-segan mempergunakan uang untuk menyuap sana-sini, menghubungi para pembesar dan menghamburkan uang secara royal kepada para pembesar korup yang memenuhi negara pada masa itu. Para pembesar korup sangat berterima kasih dan menganggap orang-orang Ang-hwa-pai amat baik. Mereka tidak peduli bahwa uang yang dipakai menyogok dan menyuap mereka itu adalah uang hasil rampokan!

Siu Bi sungguh malang nasibnya, terjatuh ke tangan tiga orang tokoh Ang-hwa-pai. Akan tetapi baiknya ia memiliki wajah yang amat jelita sehingga hal ini menggerakkan hati dua orang penawannya untuk mencari jasa hendak mempersembahkan dia kepada Ouwyang Lam!

Tentu saja hal ini baik baginya, karena dalam keadaan pingsan di perahu itu, nasibnya sudah berada di tangan si rambut putih dan si brewok. Namun, mengingat akan hadiah dan kedudukan yang mungkin dinaikkan, dua orang itu tidak berani mengganggu Siu Bi, ingin mempersembahkan gadis ini kepada kongcu mereka dalam keadaan utuh! Mereka hanya mengikat kaki tangan Siu Bi, kemudian cepat-cepat mereka mendayung perahu, langsung menuju ke Ching-coa-to.

Dan inilah sebabnya mengapa Yo Wan sia-sia saja mengejar. la tidak mengira bahwa Siu Bi ditangkap orang di dalam goa kemudian dilarikan dengan perahu. Terlalu lama dia mencari-cari di dalam hutan, berputar-putar tanpa hasil. Baru setelah menjelang senja, ia sampai di pinggir Sungai Fen-ho, berdiri termangu-mangu di tepi sungai…..

********************

Pada saat tersadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya dalam keadaan terikat kaki tangannya serta rebah di atas pembaringan dalam perahu, Siu Bi menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak merasakan sesuatu, juga tidak menderita luka. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk mengerahkan tenaga melepaskan diri dari belenggu, ia mendapat kenyataan bahwa tali-tali yang mengikat kaki tangannya amatlah kuat, tak mungkin diputus mempergunakan tenaga.

la mengeluh dan mulailah ia menyesal. Kenapa ia melarikan diri meninggalkan Yo Wan? Kalau ada Yo Wan di dekatnya, tak mungkin ia sampai mengalami bencana seperti ini. Lebih menyesal lagi ia mengapa pedangnya, Cui-beng-kiam, ia tinggalkan di depan kaki Yo Wan. Kalau perginya membawa senjatanya yang ampuh itu lebih baik lagi. Kalau ia tidak bertanding melawan Yo Wan, kalau... kalau... ahh, tidak akan ada habisnya hal-hal yang sudah terlanjur dan sudah lalu disesalkan. Sesal kemudian tiada guna.

Perahu itu dengan cepatnya meluncur sepanjang Sungai Fen-ho, sampai masuk Sungai Kuning di selatan. Kemudian membelok ke timur melalui Sungai Kuning yang lebar dan diam.

Selama beberapa hari melakukan perjalanan melalui air ini, Siu Bi tetap dalam belenggu. Akan tetapi gadis ini tidak diganggu dan karena mengharapkan sewaktu-waktu mendapat kesempatan membebaskan diri, Siu Bi tidak menolak suguhan makan minum yang setiap hari diberi oleh dua orang penawannya. la harus menjaga kesehatannya dan memelihara tenaga agar dapat dipergunakan sewaktu ada kesempatan.

Perjalanan dilanjutkan melalui darat. Kedua orang itu dengan mudah mendapatkan tiga ekor kuda dari kawan-kawan mereka yang memang banyak terdapat di sekitar daerah itu, merajalela dan boleh dibilang menguasai keadaan di sebelah selatan dan barat dan kota raja.

Akhirnya mereka menyeberang telaga dan mendarat di Pulau Ching-coa-to di tengah telaga. Pulau ini sekarang berubah keadaannya jika dibandingkan belasan tahun yang lalu. Setelah Ang-hwa-pai berdiri dan pulau ini dijadikan pusat, pulau ini dibangun dan dari jauh saja sudah tampak bangunan-bangunar yang besar dan megah. Taman bunga yang dulu menjadi kebanggaan Ching-toanio dan puteri-puterinya, terpelihara baik-baik, malah dilengkapi pondok-pondok mungil karena tempat ini terkenal pula sebagai tempat Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam bersenang-senang.

Siu Bi merasa heran dan kagum juga sesudah ia dibawa mendarat dari perahu yang menyeberangi telaga. Pulau itu benar-benar indah, juga megah. Apa lagi ketika mereka mendarat di pulau, mereka disambut oleh sepasukan penjaga yang berpakaian lengkap, berseragam dan bersikap gagah. Di dada kiri mereka tampak sebuah lencana, yaitu sulaman berbentuk bunga merah.

Si rambut putih yang agaknya mempunyai kedudukan lumayan tinggi di pulau ini, segera menyuruh seorang penjaga lari melapor kepada pangcu (ketua) dan kongcu (tuan muda). Penjaga itu berlari cepat. Siu Bi digiring berjalan memasuki pulau itu dengan perlahan, diiringkan sepasukan penjaga dan diapit oleh kedua orang penawannya.

Tak lama kemudian rombongan ini berhenti dan dari depan tampak serombongan orang berjalan datang dengan cepat. Siu Bi membelalakkan mata, menatap penuh perhatian.

la melihat barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang pedang telanjang di tangan, berjalan dengan teratur di kanan dan kiri. Di tengah-tengah tampak berjalan dua orang.

Yang seorang adalah wanita tua yang berkulit hitam dan pakaiannya biar pun terdiri dari sutera mahal dan amat mewah, akan tetapi benar-benar tidak serasi karena warnanya merah darah dan berkembang-kembang, amat tidak cocok dengan kulit hitam itu. Apa lagi karena muka itu meski pun dibedaki dan ditutupi gincu, tetap saja memperlihatkan keriput-keriput usia tua.

Seorang nenek yang amat pesolek dan sinar matanya tajam dan liar. Akan tetapi langkah kakinya sedemikian ringannya seakan-akan tidak menginjak bumi, menandakan bahwa ginkang dari nenek ini luar biasa hebatnya.

Orang kedua adalah seorang laki-laki muda, kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tegap, agak pendek namun wajahnya tampan sekali dengan kulit yang putih kuning, alis hitam panjang dan matanya bersinar-sinar.

Mereka ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio atau paicu, ketua dari Ang-hwa-pai, dan Ouwyang Lam atau kongcu yang sesungguhnya mempunyai kekuasaan tertinggi di sana karena si ketua itu berada di telapak tangan si pemuda ganteng!

Tempat itu kini penuh dengan para anggota Ang-hwa-pai dan semua orang memandang Siu Bi penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika ketua mereka muncul. Si rambut putih dan si brewok juga segera berlutut memberi hormat, lalu berdiri lagi.

Pandang mata Ouwyang Lam untuk sejenak menjelajahi Siu Bi, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia menoleh kepada si rambut putih. Ada pun Ang-hwa Nio-nio segera menegur.

"Betulkah seperti yang kudengar bahwa bocah ini sudah membunuh A Bian? Mengapa kalian tidak segera membunuhnya dan perlu apa dibawa-bawa ke sini?"

"Maaf, kami sengaja menangkap dan membawanya ke sini supaya mendapat putusan sendiri tentang hukumannya dari Paicu dan Kongcu," kata si rambut putih dengan nada suara menjilat. "Lagi pula, bagaimana kami dapat membuktikan tentang kematian A Bian kalau pembunuhnya tidak kami seret ke sini?"

"Hemmm, bocah yang berani membunuh seorang pembantuku, apa lagi hukumannya selain mampus? Biar aku sendiri membunuhnya!" Tangan nenek ini bergerak, terdengar angin bercuitan ketika angin pukulan meluncur ke arah dada Siu Bi.

Gadis ini terkejut bukan main. Hebat pukulan ini dan karena kedua tangannya masih dibelenggu, hanya kedua kakinya saja yang bebas, ia terpaksa melompat cepat ke kiri.

"Srrrttt…!"

Pinggir bajunya tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan. Wajah Siu Bi berubah. la maklum bahwa nenek ini merupakan lawan yang berat, seorang yang amat lihai ilmunya.

"Ihhh, kau berani mengelak?" Nenek itu memekik, suaranya melengking tinggi.

Kembali tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher Siu Bi. Gadis ini kembali mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya terhajar. Baiknya ia telah siap dan mengerahkan Hek-in-kang di tubuhnya, maka ia tidak mengalami luka, hanya terhuyung dan roboh miring di atas tanah.

Muka nenek itu berubah. Baru kali ini ia mengalami hal yang seaneh ini. Biasanya, kalau pukulannya sudah dilakukan, tentu seorang lawan akan roboh binasa. Apa lagi kalau pukulannya yang mengandung hawa racun merah ini mengenai sasaran, tentu yang terkena akan terluka dalam.

Akan tetapi gadis ini hanya terhuyung dan roboh, tetapi tidak terluka. Ini membuktikan bahwa gadis ini ‘ada isinya’. Saking penasaran, ia lalu mengerahkan tenaga dan hendak memukul lagi. Akan tetapi Ouwyang Lam mencegah, menyentuh lengan nenek itu sambil berkata,

"Nio-nio, harap sabar dulu..."

"Apa?" Kau masih belum puas dengan mereka itu dan hendak mengambil dia? Hati-hati, perempuan seperti ia bukan untuk hiburan, sekali ia lolos akan mendatangkan bencana!" kata Ang-hwa Nio-nio sambil menuding ke arah Siu Bi yang sudah melompat bangun lagi dan memandang mereka dengan mata terbelalak penuh hawa amarah dan kebencian. Sedikit pun gadis ini tidak memperlihatkan rasa takut.

"Bukan begitu, Nio-nio. Ingat, Nona ini mempunyai kepandaian, akan tetapi menghadapi seorang nona muda, dua orang kita menawannya dan membelenggunya seperti itu, sudah merupakan hal yang meremehkan nama besar kita. Apa lagi sekarang kau hendak membunuhnya dalam keadaan terbelenggu, aku khawatir nama besarmu akan ternoda. Nio-nio, biarkan aku menghadapinya setelah belenggunya dilepas, agaknya ia lihai, patut aku berlatih dengannya. Ehh, Nona, sesudah kau lancang tangan membunuh seorang pembantu kami dan kau telah ditangkap ke sini, kau hendak berkata apa lagi?"

Siu Bi mengerutkan alisnya, matanya seolah-olah mengeluarkan api ketika memandang kepada wajah tampan itu. "Kenapa banyak cerewet lagi? Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mampus? Pura-pura akan membebaskan, hemmm, kalau benar-benar kedua kakiku bebas, aku akan membunuh kalian semua, tak seekor pun akan kuberi ampun!"

Inilah makian dan hinaan yang sangat hebat. Semua orang sampai melongo. Alangkah beraninya bocah ini. Sudah tertawan, sedang berada di tangan musuh dan tak berdaya, nyawanya tergantung di ujung rambut, tapi masih begitu besar nyalinya. Benar-benar hal yang amat mengherankan untuk seorang gadis remaja seperti ini.

Akan tetapi Ouwyang Lam tertawa girang. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini. Cantik jelita dan gagah perkasa. Walau pun baginya tidaklah sukar untuk mencari gadis cantik, malah boleh jadi lebih cantik dari pada Siu Bi, akan tetapi takkan mudah mendapatkan seorang gadis yang begini gagah perkasa dan bernyali harimau.

Kalau dia bisa mendapatkan seorang seperti itu di sampingnya, selain dia mendapatkan pasangan yang setimpal, juga gadis ini dapat merupakan tambahan tenaga yang amat penting dan memperkuat kedudukan mereka. Memang Ouwyang Lam orangnya cerdik, penuh tipu muslihat dan akal yang halus sehingga biar pun di hatinya dia mempunyai niat yang tidak baik, namun pada lahirnya dia bisa kelihatan amat baik dan peramah.

"Nona, karena kau seorang gagah, maka kuberi kesempatan untuk membela diri. Kami dari Ang-hwa-pai juga orang-orang gagah dan menghargai kegagahan. Kau kubebaskan dari belenggu dan boleh membela diri dengan kepandaianmu!"

Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu belenggu pada kedua tangan Siu Bi sudah putus. Kiranya itu tadi adalah sinar pedang di tangan Ouwyang Lam!

Siu Bi kagum. Ia maklum bahwa pemuda ini juga merupakan lawan yang berat. Namun, mana ia menjadi gentar karenanya? la tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir rasa pegal.

Berhari-hari sudah dia dibelenggu dan hal ini membuat kedua lengannya terasa pegal. la mengerahkan tenaga sinkang untuk mendorong peredaran darahnya, terutama di bagian kedua lengan sehingga ia dapat mengusir semua rasa kaku dan dapat bergerak lincah kembali. Setelah merasa dirinya sehat kembali, ia lalu menghadapi Ouwyang Lam dan berkata,

"Nah, aku telah siap. Siapa yang akan maju menghadapi aku? Ataukah barangkali kalian hendak mengandalkan kegagahan dengan cara pengeroyokan?" Ucapan ini merupakan tantangan yang mengandung ejekan.

Saking marahnya muka Ang-hwa Nio-nio yang hitam sampai berubah menjadi semakin hitam. Gadis ini benar-benar memandang rendah Ang-hwa-pai. Akan tetapi Ouwyang Lam tersenyum dan melangkah maju. Pedangnya masih berada di tangan, akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berkata halus,

"Nona, aku sudah siap dengan pedangku. Harap kau suka mengeluarkan senjatamu."

Diam-diam Siu Bi menghargai sikap pemuda tampan ini, setidaknya pemuda ini memiliki watak yang gagah, tidak seperti nenek yang tak tahu malu menyerangnya ketika masih terbelenggu kedua tangannya tadi. Akan tetapi pedang Cui-beng-kiam dia tinggalkan di depan kaki Yo Wan.

”Aku mengandalkan kedua kepalan tangan dan kakiku. Kalau pedangku Cui-beng-kiam berada di sini, mana orang-orangmu mampu menghinaku?"

Rasa kagum Ouwyang Lam makin besar dan dia yakin bahwa gadis ini tentulah seorang pendekar wanita yang gagah. Dia segera menyimpan kembali pedangnya dan berkata, "Kalau begitu, marilah kita main-main dengan tangan kosong. Majulah, Nona."

Siu Bi tak mau sungkan-sungkan lagi. Setelah sekarang ia ditantang dan tidak dikeroyok, ini merupakan keuntungannya dan ia harus membela diri sekuat tenaga. Sambil berseru panjang ia lalu menerjang maju. Akan tetapi betapa pun juga, ia ingat akan budi pemuda ini.

Biar pun merupakan seorang musuh, pemuda ini harus ia akui telah menolong nyawanya tadi ketika ia hendak dibunuh dalam keadaan terbelenggu oleh nenek yang lihai itu. Maka ia pun hanya ingin merobohkan pemuda ini saja, kalau mungkin tanpa melukainya, apa lagi membunuhnya. Oleh karena inilah maka ia lalu memainkan ilmu silat biasa yang ia pelajari dari ayahnya dan dari Hek Lojin. Gerakannya sangat gesit, serangannya ganas dan dahsyat, juga tenaga dalamnya amat kuat.

"Bagus!" Ouwyang Lam berseru ketika menyaksikan ketangkasan lawannya.

la juga menggerakkan kaki tangannya, bersilat dengan gaya yang indah. Dalam sekejap mata saja, keduanya sudah saling terjang, saling serang dengan hebat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata karena bayangan itu sudah menjadi satu. Angin pukulan dan gerakan tubuh menyambar-nyambar ke kanan kiri dan empat puluh jurus lewat dengan amat cepatnya.

Diam-diam Ang-hwa Nio-nio mendongkol melihat murid dan kekasihnya itu tidak segera menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, yaitu Ilmu Silat Bintang Terbang yang merupakan ilmu silat tertinggi yang dimilikinya.

Sementara itu, diam-diam Siu Bi mengeluh. Kiranya pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga jangankan bicara tentang merobohkan tanpa melukai, mengalahkan pemuda ini saja masih merupakan hal yang belum tentu kecuali kalau ia mainkan Hek-in-kang. Akan tetapi kalau dia keluarkan ilmu ini, tak mungkin lagi mengalahkan tanpa membahayakan jiwa lawannya.

"Kenapa tidak keluarkan Hui-seng (Bintang Terbang)?" tiba-tiba saja nenek itu berseru menegur murid dan kekasihnya.

Melihat Ouwyang Lam sampai puluhan jurus belum juga mampu mengalahkan lawan, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran. Hal ini akan membikin malu dirinya, merendahkan nama Ang-hwa Nio-nio sekaligus Ang-hwa-pai! Memang hal ini amat luar biasa bagi para anggota Ang-hwa-pai.

Biasanya, Ouwyang Kongcu adalah orang yang amat lihai, hanya kalah oleh Ang-hwa Nio-nio dan begitu ia turun tangan semua tentu beres. Belum pernah para anggota ini melihat ada lawan yang mampu melawan Ouwyang Kongcu lebih dari sepuluh jurus.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar