Jaka Lola Jilid 01

THE SUN memasuki dusun Ling-chung dengan langkah seenaknya. Pemandangan di sepanjang perjalanan tadi amat indah, mendatangkan rasa tenang dan tenteram di hati, menggembirakan perasaannya. Setelah bertahun-tahun berkecimpung di kota dan sibuk dengan segala macam urusan kerajaan, pertempuran dan peperangan, kini keadaan di dusun-dusun terasa amat aman dan tenteram baginya.

Musim panen sudah hampir tiba, padi dan gandum di sawah sudah hamil tua, siap untuk dipotong. Penduduk dusun, tua muda lelaki perempuan agaknya enggan meninggalkan sawah ladang yang mereka pelihara setiap hari seperti memelihara anak-anak sendiri, enggan meninggalkan harta pusaka yang juga merupakan penyambung nyawa mereka, yaitu padi-padi yang sudah menguning. Mereka siang malam menjaga keras terhadap gangguan burung di waktu siang dan tikus-tikus pada waktu malam.

The Sun adalah anak murid Go-Bi-san, putera mendiang The Siu Kai seorang pembesar militer Mongol yang sekeluarganya terbasmi habis oleh Ahala Beng, kecuali The Sun yang dapat menyelamatkan diri.

Di dalam cerita PENDEKAR BUTA, diceritakan betapa The Sun yang cerdik, lihai dan bercita-cita tinggi, berhasil menjadi orang kepercayaan Kaisar Hui Ti atau Kian Bun Ti. Akan tetapi dalam perang saudara antara Hui Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo, Hui Ti kalah dan kerajaan dirampas oleh Raja Muda Yung Lo.

Dalam pertempuran hebat, The Sun beserta teman-temannya kalah oleh Pendekar Buta dan teman-temannya. Nyaris dia tewas kalau saja dia tidak ditolong oleh kakek gurunya, Hek Lojin, yang berhasil membawanya lari. Namun Hek Lojin, tokoh Go-bi itu, juga telah terluka oleh Pendekar Buta, lengan kirinya menjadi buntung! Peristiwa itu baru beberapa bulan saja terjadi.

Setelah mengantar kakek gurunya yang terluka itu ke puncak Go bi-san, The Sun yang tidak betah tinggal di puncak gunung yang sunyi dan dingin itu lalu turun gunung. Akan tetapi alangkah jauh bedanya The Sun dahulu dan sekarang.

la masih tetap tampan dan gagah, gerak-geriknya lemah-lembut, namun pakaiannya kini adalah pakaian sederhana, bukan pakaian pembesar atau pun pelajar yang pesolek lagi. Malah dia tidak membawa-bawa pedang.

la harus menyamar sebagai seorang penduduk biasa, karena tentu saja dia merupakan seorang yang dicari oleh pemerintah baru, yaitu pemerintah Kaisar Yung Lo atau yang sekarang disebut Kaisar Cheng Tsu. Meski kota raja telah dipindahkan ke utara (Peking), namun masih banyak orang-orangnya kaisar baru ini yang akan mengenalnya dan akan senang menangkapnya untuk mencari pahala.

Oleh karena inilah The Sun tidak berani ke selatan, dan sekarang dia hendak melakukan perantauan ke utara. Seenaknya saja dia melakukan perjalanan, menikmati ketentraman dusun-dusun dan diam-diam dia merasa betapa bodohnya dia dahulu, mencari keributan dan kesenangan hampa belaka di kota raja.

Alangkah indah pemandangan di gunung-gunung, sawah-sawah hijau segar, gadis-gadis dusun yang memiliki kecantikan segar dan wajar, sehat dan pipinya merah jambu tanpa yanci (pemerah pipi). Penyamarannya membuat dia berlaku hati-hati sekali.

Biar pun hatinya masih jungkir balik kalau melihat gadis-gadis dusun yang manis segar itu, akan tetapi tidak seperti dahulu kalau melihat wanita cantik dia terus saja berusaha mendapatkannya secara kasar mau pun halus, dia sekarang hanya bisa menelan ludah, menekan perasaan dan kalau gadis itu terlalu cantik apa lagi membalas senyumannya, dia sengaja membuang muka dan mempercepat langkah meninggalkannya.

The Sun sesungguhnya merupakan keturunan orang besar. la menjadi rusak dan dahulu berwatak sombong, mau menang sendiri, mata keranjang, adalah karena dipengaruhi oleh lingkungan dan hubungannya. Buktinya sekarang setelah dia berkelana seorang diri, tidak mempunyai kedudukan dan tidak memiliki sandaran, tidak ada sesuatu yang boleh dia andalkan, dia dapat menguasai perasaan dan nafsunya.

Memang betul kata-kata orang bijak bahwa kesempatan membuat orang menjadi lemah, yaitu lemah terhadap dorongan nafsu-nafsu buruk. Setiap perbuatan maksiat, pertama kali dilakukan orang tentu karena mendapat kesempatan inilah. Kemudian akan menjadi kebiasaan dan membentuk watak.

Dusun Ling-chung tampak amat sunyi karena sebagian besar penghuninya sedang sibuk menjaga sawah dengan wajah gembira penuh harapan. The Sun melihat ke kanan kiri, mencari-cari sebuah warung nasi dengan pandangan matanya, karena pagi hari itu dia merasa amat lapar setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa berhenti.

Mendadak dia mendengar samar-samar suara wanita menjerit. Telinganya yang terlatih dapat menangkap ini. Seketika dia meloncat dan lari menuju ke utara, ke arah suara itu. Di sebelah utara dusun ini sunyi sekali, tak tampak seorang pun manusia, bahkan bagian ini merupakan bagian yang tidak subur dari dusun itu, banyak terdapat rawa yang tidak terurus. Di sudut sana tampak sebuah rumah tua yang agaknya tidak ditinggali orang.

"Tolong...!" sekali lagi terdengar jeritan lemah dan The Sun segera mempercepat larinya menuju ke rumah tua karena dari sanalah pekik itu datangnya.

Dengan gerakan seperti seekor burung garuda melayang, dia melompat dan setibanya di dalam rumah tua melalui pintu yang tak berdaun lagi, dia menjadi tertegun dan matanya membelalak memandang ke dalam.

Mukanya seketika menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api. Apa yang tampak olehnya di sebelah dalam rumah rusak itu benar-benar membuat The Sun marah sekali.

Di atas lantai yang kotor tengah duduk menangis seorang wanita muda yang pakaiannya robek-robek di bagian atas sehingga tampak pundak dan sebagian dadanya yang berkulit putih seperti salju. Wanita ini cantik jelita dan mukanya pucat, rambutnya awut-awutan. Di sana-sini terlihat robekan kain pakaiannya, dan sebagian dari robekan kain masih berada di tangan seorang laki-laki yang berdiri membungkuk di depan wanita itu.

Laki-laki yang amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, rambut panjang terurai, mukanya buruk serta sikapnya kasar dan canggung sekali. Sepasang matanya membuat orang bergidik, karena mata seperti itu biasanya hanya terdapat pada muka orang gila. Mata yang liar, bodoh dan aneh.

"Bangsat kurang ajar! Berani kau mengganggu wanita?" bentak The Sun sambil meloncat ke dalam.

Lelaki tinggi besar itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Mendadak dia tertawa bergelak dan suaranya seperti gembreng pecah. "Pergi kau! jangan ikut campur, dia milikku, heh-heh-heh."

The Sun termangu dan meragu, lalu menoleh kepada wanita itu. Mungkinkah si jelita ini milik orang gila itu? Isterinya?

Sambil tertawa-tawa si gila itu kembali maju mendekat, tangannya yang besar dan kasar hendak meraih si cantik.

Wanita itu bergidik dan berseru lemah, "Jangan sentuh aku...! Kang Moh, jangan... kau... kau bunuh saja aku..."

The Sun makin bingung. "Nona... eh, Nyonya... dia siapakah? Apakah suamimu?"

”Bukan...! Sama sekali bukan! Dia orang gila di dusun ini... ah, Tuan, tolonglah, suruh dia pergi dan jangan biarkan dia ganggu aku... lebih baik aku mati, ya Tuhan…." Ia menangis sedih sekali.

"Keparat! Mundur dan minggat kau!" The Sun kini maju dengan hati tetap. Lega hatinya bahwa wanita ini bukan isteri si gila ini dan kemarahannya timbul kembali, malah lebih hebat dari pada tadi.

Kang Moh buaya gila itu tiba-tiba memekik keras dan menerjang maju, menghantam The Sun. Gerakannya kuat sekali, membayangkan tenaga yang luar biasa besar, sedangkan gerakan tangan kakinya menunjukkan bahwa sedikit banyak orang ini juga pernah belajar silat.

Namun yang diserang kini adalah The Sun. Orang sekampung itu boleh takut kepadanya, akan tetapi menghadapi The Sun, dia bagaikan menghadapi kakek gurunya. Sekali dia memiringkan tubuh dan menggeser kaki ke kiri, The Sun sudah menghindarkan diri dari terjangan lawan, kemudian dua kali tangannya bergerak, sekali menotok leher dan kedua kalinya menusuk ulu hati dengan jari-jari terbuka.

“Ngekkk!”

Terdengar suara dan tubuh Kang Moh yang tinggi besar itu roboh terjengkang seperti pohon ditebang dan... dia tidak bergerak-gerak lagi karena dua kali pukulan tadi ternyata sudah mengirim nyawanya meninggalkan badan. Matanya mendelik, ada pun dari mulut, hidung, dan telinganya keluar darah!

The Sun bekerja cepat. Sekali renggut dia telah membuka jubah si gila itu.

"Nona, kau pakailah ini, untuk sementara lumayan guna menutupi pundakmu."

Wanita itu berdiri dengan lemah, muka yang tadinya pucat menjadi agak merah, tampak gugup dan malu-malu. Kemudian, setelah menutupkan jubah yang berbau apek itu ke atas pundaknya, fia menjatuhkan diri berlutut di depan The Sun.

"Terima kasih... terima kasih, Tuan... tapi tiada gunanya...,. ahh, tiada gunanya lagi aku hidup..." la menangis terisak-isak dan tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Sementara itu, The Sun sudah mendapat kesempatan memandang. Wanita ini bukan main cantik jelitanya dan aneh sekali, jantungnya berdegup tidak karuan. Sudah banyak dia mengenal wanita cantik, akan tetapi agaknya baru kali ini ada seorang wanita yang dapat membuat dia marah bukan main tadi, dan sekarang membuat jantungnya berdebar keras.

Wajah manis itu laksana pisau belati menikam ulu hatinya, mendatangkan rasa kasihan yang tidak ada dasarnya. Mata itu, hidung dan mulut itu, seakan-akan menggurat-gurat kalbunya, menggores-gores jantungnya, minta dikasihani.

Dengan dua kaki lemas, The Sun lalu berlutut pula di depannya. "Jangan berduka, Nona. Kesukaran apakah yang kau hadapi? Dia itu kurang ajar kepadamu? Lihat, sudah kubikin mampus dia! Manusia macam dia berani mengganggumu? Biar pun ada seratus orang macam dia, semua akan kubasmi kalau mereka berani mengganggumu!"

Mendengar ucapan yang penuh dengan kemarahan ini, wanita itu lalu mengangkat muka memandang. Muka yang kini pucat kembali, yang amat sayu dan patut dikasihani, yang basah air mata.

"Saya berterima kasih sekali bahwa Tuan sudah menolong saya dari tangan Kang Moh yang gila itu, akan tetapi... Inkong (Tuan Penolong) semua itu percuma... belum dapat membebaskan diri saya dari kesengsaraan... dan jalan satu-satunya bagi saya hanyalah mati..."

"Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Memilih jalan kematian adalah pikiran sesat. Nona, percayalah kepadaku, aku The Sun siap untuk menolongmu sampai titik darah terakhir. Kau ceritakan saja kepadaku kesukaran apa yang kau derita."

Mendengar ucapan yang tegas dan sikap yang sungguh-sungguh ini, wanita itu menjadi terharu sekali, lalu terisak-isak ia menceritakan penderitaannya.

la bernama Ciu Kim Hoa, semenjak kecil ia sudah diberikan oleh ayah bundanya kepada seorang pamannya, karena ayah bundanya bercerai dan kawin lagi. Pamannya bukanlah orang baik-baik. Selama hidup di rumah pamannya, ia diperas tenaganya, bekerja kasar dan berat. Beberapa kali sudah ia mencoba untuk minggat, akan tetapi selalu gagal dan hasilnya hanya gebukan dan tendangan.

"Kekejaman itu masih dapat saya tahan, Inkong, karena kadang-kadang paman itu pun bersikap baik sehingga kedukaan saya terhibur. Akan tetapi, setahun yang lalu dia sudah menjual saya kepada keluarga Lee di dusun ini dan mulailah penderitaan batin yang tak tertahankan lagi..." la menangis terisak-isak.

Diam-diam The Sun menaruh kasihan. Wanita begini lemah dan cantik jelita, mengapa nasibnya demikian buruk? Dia membiarkan nona itu menangis sejenak, lalu menghibur, "Sudahlah, Nona. Semua penderitaan itu takkan terulang kembali, ceritakan selanjutnya, mengapa kau menderita di rumah keluarga Lee?"

Sesudah menghapus air matanya, wanita itu melanjutkan, "Kalau di rumah paman saya hanya menderita lahir, di rumah keluarga Lee saya menderita lahir batin. Pada mulanya kedua orang tua dari keluarga itu baik terhadap saya, akan tetapi tiga bulan kemudian saya dijadikan permainan oleh tiga orang anak laki-laki keluarga Lee. Usia mereka antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan mereka laki-laki yang kejam. Saya tidak dapat menolak, tidak dapat melarikan diri, beberapa kali mencoba membunuh diri juga mereka halang-halangi, ahhh... In-kong... apa artinya lagi hidup ini...?"

The Sun menggigit gigi hingga mengeluarkan bunyi berkerot. Di samping kasihan kepada wanita ini, dia pun merasa hatinya panas dan marah sekali.

"Teruskan... teruskan...!" Desaknya dengan suara keras dan nafas memburu.

"In-kong... betapa hancur hati saya ketika saya mendapatkan diri saya... mengandung! Saya ceritakan kepada mereka dan menuntut supaya dinikahi dengan sah. Namun apa yang saya dapatkan? Mereka marah-marah. Saya diusir dengan tuduhan telah main gila dengan laki-laki luar, padahal mereka bertigalah yang memaksa serta mempermainkan saya".

"Keparat jahanam!!" The Sun memaki, akan tetapi tiba-tiba mukanya merah sekali dan dia termenung.

Teringatlah ketika dia masih dalam keadaan jaya dahulu, entah berapa banyak wanita yang dia permainkan tanpa mempedulikan akibatnya. Heran sekali. Biasanya mendengar cerita semacam ini baginya malah terasa lucu sekali, dan biasanya mungkin dia akan mentertawakan wanita yang mengalami nasib demikian.

Akan tetapi mengapa sekarang, di depan wanita ini, timbul rasa kasihan dan marah? Apakah ini kemarahan karena dia tidak senang mendengar orang melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, ataukah kemarahan ini timbul justru karena wanita inilah yang dipermainkan? The Sun tidak tahu, pendeknya waktu itu dia marah sekali terhadap mereka yang telah mempermainkan wanita itu.

"Kemudian bagaimana, Nona? Teruskan…"

"Saya diusir dari rumah mereka tanpa diberi apa-apa dan diancam akan dipukuli sampai mati kalau tidak lekas pergi. Dengan hati remuk saya terpaksa pergi dan sampai di rumah tua ini karena tiada lain tempat yang dapat saya datangi. Tak lama kemudian datanglah Kang Moh ini..."

la memandang ke arah mayat itu dan bergidik ngeri. "Dia ini juga orangnya keluarga Lee, dan tadinya saya kira dia menyusul dengan pesan dan maksud baik dari mereka. Tidak tahunya Kang Moh hendak melakukan perbuatan keji dan melanggar susila. Baiknya kau datang menolong, In-kong... akan tetapi setelah In-kong menolong saya, apa artinya bagi saya? Keadaan saya masih belum lagi terlepas dari penderitaan, saya tak punya sanak keluarga, tiada handai taulan, tak ada sahabat. Ke mana saya harus pergi? Bagaimana saya dapat hidup?" Kembali ia menangis sesenggukan.

The Sun bangkit berdiri. Dalam sinar matanya tampak api yang penuh ancaman. "Nona, di mana tempat tinggal keluarga Lee itu? Katakan di mana mereka itu, akan saya paksa mereka menerimamu kembali dan mengawinimu sebagaimana mestinya."

"Percuma, In-kong. Mereka tak akan mau dan harap In-kong jangan memandang rendah mereka. Mereka itu orang-orang kejam dan ganas, pandai main silat dan di dalam dusun ini selain terkenal sebagai keluarga terkaya, mempunyai tanah yang luas, juga terkenal sebagai jagoan-jagoannya. Tiga orang itu ditakuti semua orang di dusun. Jangan-jangan kau akan dipukuli, In-kong, dan kalau hal ini terjadi, ahh, aku akan menyesal karena kau tertimpa mala petaka oleh karena aku."

The Sun tertawa. "Anjing-anjing itu mampu memukul saya? Ha-ha-ha-ha, Nona, boleh mereka coba! Kau tunggu saja di sini sebentar, Nona. Aku tanggung bahwa mereka akan menerimamu secara baik-baik atau mampus, karena hanya itulah pilihan mereka. Nah, di sebelah mana rumah mereka?"

Nona itu menuding ke arah timur. "Rumah mereka mudah dikenal, rumah paling besar, merupakan gedung tembok dan di depannya terdapat banyak gentong-gentong tempat gandum. Mereka siap menerima hasil panen dan gentong-gentong itu sudah dijajarkan di pekarangan depan."

"Nona, kau tunggu saja sebentar di sini, aku akan segera datang lagi." The Sun berkata sambil melangkah lebar menghampiri mayat Kang Moh, lalu dia mencengkeram rambut mayat itu dan menyeretnya ke luar dari dalam rumah tua.

Tentu saja orang-orang menjadi heran dan terbelalak memandang seorang lelaki muda dan tampan berjalan cepat di jalan dusun sambil menyeret tubuh Kang Moh yang sudah menjadi mayat!

Semua orang dusun mengenal siapa Kang Moh dan amat takut kepadanya, karena Kang Moh merupakan tukang pukul keluarga Lee. Siapa kira sekarang Kang Moh sudah mati dan mayatnya diseret-seret seperti bangkai anjing saja oleh seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

Apa lagi melihat pemuda itu menuju ke rumah gedung keluarga Lee, keheranan mereka bertambah dan berbondong-bondonglah orang dusun mengikuti The Sun dari belakang. Akan tetapi, karena rasa ngeri, takut dan juga jeri akan kemarahan keluarga Lee, mereka mengikuti dari jauh dan secara setengah sembunyi.

Memang mudah mengenali gedung keluarga Lee. Di dalam pekarangan depan rumah itu terdapat banyak gentong yang masih kosong dan sebuah alat timbangan digantungkan di sudut. The Sun menyeret mayat Kang Moh ke dalam pekarangan yang masih sunyi itu, kemudian dia mengangkat mayat itu, dilemparkan ke ruangan dalam. Mayat itu melayang ke depan menubruk pintu yang segera terbuka dan menimbulkan suara hiruk-pikuk.

Terdengar pekik kaget di sebelah dalam rumah. "Kau kenapa, Kang Moh? Hei,..dia... dia mati...!”

Di dalam rumah menjadi ribut dan terdengar bentakan keras, "Siapa yang main gila di sini?!"

Lalu melompatlah sesosok bayangan orang tinggi kurus dari dalam. Ketika sudah tiba di luar dan melihat The Sun berdiri sambil bertolak pinggang di dalam pekarangan, orang itu melangkah lebar, menghampiri The Sun.

The Sun memandang dengan senyum mengejek. Orang ini umurnya kira-kira tiga puluh tahun, kelihatan kuat dan gerak-geriknya gesit, tanda bahwa dia juga mengerti ilmu silat. Teringat akan cerita nona itu, dia segera mendahului,

"Apakah kau putera keluarga Lee yang tertua?"

"Jembel busuk, kau ini siapa? Benar, aku tuanmu adalah putera sulung. Mau apa kau mencari Lee-toaya? Eh, mayat Kang Moh itu..." Orang itu ragu-ragu dan melirik ke dalam rumah.

"Tak usah bingung. Mayat itu aku yang melemparkannya ke dalam, malah akulah yang telah membunuhnya."

Orang she Lee Itu kaget setengah mati, juga marah sampai mukanya merah. "Siapa kau dan mengapa kau main gila di sini?"

"Aku The Sun, tadi kulihat anjing gila peliharaanmu itu hendak mengganggu nona yang seharusnya menjadi nyonya rumah di sini. Orang she Lee, kau dan dua orang adikmu sudah berlaku sewenang-wenang terhadap nona Ciu Kim Hoa. Sesudah kalian berbuat mengapa tidak berani bertanggung jawab? Mengapa kalian bahkan mengutus anjing gila peliharaan kalian itu untuk menggigitnya?"

Muka yang pucat itu kini berubah merah. Kemarahan putera sulung Lee ini tidak dapat dikendalikannya lagi.

"Bangsat rendah, jembel busuk, berani kau bicara begini di hadapanku? Beraninya kau mencampuri urusan kami? Setan, kau mau apa?!"

Kalau menurutkan nafsu hatinya, ingin sekali pukul The Sun membinasakan orang ini. Namun dia ingat akan Ciu Kim Hoa dan dia menahan kesabarannya.

"Orang she Lee, sekarang kau pilihlah salah satu. Pertama, kau harus menerima kembali nona Ciu, mohon ampun kepadanya, kemudian mengawininya secara sah, menyerahkan hak kepadanya sebagai nyonya rumah dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Atau yang kedua, kau dan adik-adikmu itu boleh memilih kematian di tanganku, karena demi roh nenek moyangmu, kalau kau tidak memenuhi tuntutanku itu, aku akan membunuh kalian bertiga!"

"Keparat, kau kira aku takut akan ancamanmu yang kosong itu? Kau malah yang harus membayar hutangmu atas nyawa Kang Moh!" Orang she Lee itu lalu membentak keras dan menerjang maju, mengirim pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada The Sun.

Melihat gerakan ini, The Sun tersenyum. Seorang ahli silat biasa saja. Kalau dia mau, sekali sodok dia akan dapat membuat nyawa orang ini melayang ke neraka. Akan tetapi dia tak mau menuruti nafsu hatinya dan hendak memperlihatkan kepandaiannya supaya orang ini kapok dan taat.

Dengan mudah dia mengelak, hanya dengan miringkan tubuh, kemudian tangan kirinya menyambar dan…

"Plak-plak!"

Kedua pipi di muka orang she Lee itu dia tampar dengan keras. Seketika kedua pipi itu menjadi bengkak dan orang itu mengusap-usap kedua pipinya sambil meringis saking nyerinya.

Namun dia membentak lagi dan menerjang makin marah, malah dibarengi teriakan keras memanggil adik-adiknya. Sebetulnya tak perlu dia berteriak karena dua orang adiknya itu setelah tadi ribut-ribut memeriksa tubuh Kang Moh, sekarang sudah berlari ke luar dan mereka marah sekali melihat betapa kakak mereka bertempur dengan seorang pemuda yang tak mereka kenal. Siapa orangnya yang berani berkelahi dengan Lee Kong, kakak mereka? Kurang ajar!

Tanpa berkata apa-apa lagi dua orang pemuda yang usianya kira-kira dua puluh empat dan dua puluh delapan tahun ini serta merta menyerbu dan mengeroyok The Sun.

"Ha-ha-ha, jadi kalian bertiga inikah putera-putera keluarga Lee? Bagus, sekarang dapat kuberi hajaran sekaligus."

Begitu ucapannya terhenti, terdengar pekik kesakitan tiga kali dan tiga orang muda itu terlempar ke belakang lantas roboh bergulingan. Baiknya The Sun hanya ingin memberi hajaran saja, maka mereka tidak terluka hebat, hanya dilemparkan dan roboh saja.

"Nah, sekarang bersumpahlah untuk menerima kembali nona Ciu serta mengawininya secara sah. Kalau kalian tidak mau, sekali lagi roboh kalian takkan mampu bangun lagi!"

Namun dasar pemuda-pemuda hartawan yang semenjak kecil sudah terlalu biasa diberi kemenangan terus, ketiga orang she Lee ini tentu saja enggan mengalah. Selama hidup mereka baru kali ini mereka mendapat pengalaman pahit seperti ini. Biasanya, jangankan merobohkan mereka, melawan pun tidak ada yang berani.

"Jembel busuk, kaulah yang akan mampus!" teriak mereka.

Seperti tiga ekor anjing galak, mereka menyerbu lagi. Sekarang malah dengan senjata di tangan. Kiranya mereka itu masing-masing selalu menyimpan sebatang pisau panjang yang tadi mereka selipkan di ikat pinggang.

Habislah kesabaran The Sun. la maklum bahwa andai kata mereka terpaksa menerima kembali Kim Hoa karena dia tekan, kiranya nona itu kelak takkan terjamin keselamatan dan kebahagiaannya hidup di tengah orang-orang semacam ini. Kasihan nona itu kalau harus menjadi keluarga mereka, tentu hanya siksa dan derita saja yang akan dia alami selama hidupnya.

Kemarahannya memuncak, apa lagi melihat berkelebatnya tiga batang pisau panjang itu, baginya seperti seekor harimau mencium darah. The Sun berseru panjang, melengking tinggi suaranya dan sangat cepat gerakannya sehingga tiba-tiba saja lenyaplah dia dari pandangan mata ketiga orang pengeroyoknya.

Jerit yang terdengar beruntun tiga kali itu sekarang amat mengerikan karena itulah jerit kematian dari tiga orang pengeroyok itu. Tahu-tahu mereka telah roboh berkelojotan dan tepat pada ulu hati mereka tertancap pisau masing-masing, sangat dalam sampai hanya tersisa gagangnya dan ujung pisau tembus sedikit di punggung! Ada pun The Sun sudah tak tampak lagi di tempat itu!

Gegerlah dusun itu. Orang-orang yang tadi menonton sambil sembunyi, sekarang keluar dari tempat persembunyian. Namun ketiga orang muda itu tak tertolong lagi, begitu pisau dicabut nyawa mereka ikut tercabut.

Tinggallah kakek dan nenek keluarga Lee yang menangis meraung-raung. Tampak juga orang-orang dusun, terutama yang wanita, menangis karena terharu. Akan tetapi banyak orang laki-laki dusun itu diam-diam tertawa, bahkan wanita-wanita itu setelah pulang ke gubuk masing-masing juga tertawa lega. Sudah terlalu banyak penderitaan lahir batin yang harus mereka alami dari tiga orang pemuda Lee itu.

The Sun sudah kembali ke dalam rumah tua. Hatinya berdebar cemas, dan dia kembali merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia cemas dan takut kalau-kalau wanita itu sudah tidak berada lagi di situ? Mengapa dia khawatir kalau-kalau Kim Hoa membunuh diri? Bagaikan terbang dia tadi kembali ke tempat ini dan kedua kakinya gemetar ketika dia memasuki rumah tua.

Wajahnya seketika berseri ketika dia lihat Kim Hoa masih berada di situ, berdiri di sudut dengan mata selalu memandang ke luar, agaknya mengharapkan kembalinya. Memang betul dugaannya karena begitu melihat dia muncul, Kim Hoa segera berlari menghampiri.

"Bagaimana, In-kong?"

The Sun tersenyum dan hendak menggodanya. "Mereka dengan senang hati suka untuk menerimamu kembali, Nona, bahkan bersedia mengawinimu. Kau akan menjadi nyonya muda di sana, dihormati dan disegani di samping nyonya tua ibu mereka."

Tiba-tiba nona itu kembali menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya. The Sun mengerutkan keningnya, tetapi sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum karena dia senang melihat bahwa dugaannya benar. la sudah menduga bahwa gadis itu pasti tidak suka kembali ke sana, biar pun dikawini secara sah, dijadikan nyonya rumah, karena memang watak tiga orang laki-laki itu amat buruk.

"Nona, kenapa kau menangis? Bukanlah hal itu baik sekali?"

Kim Hoa menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis, sukar baginya mengeluarkan suara karena menangis tersedu-sedu itu. Akhirnya dia mampu menguasai tangisnya dan berkata, "Tidak, In-kong... saya tidak sudi kembali ke sana. Mereka mau menerima saya dan mengawini saya hanya karena kau paksa. Kalau In-kong sudah pergi, tentu mereka akan melampiaskan kedongkolan hati kepada saya, …aahh... ngeri saya memikirkan hal itu."

”Nona, apakah kau tidak... tidak cinta kepada mereka? Kepada salah seorang di antara mereka?"

"Tidak! Tidak! Aku benci kepada mereka semua! Aku benci kepada yang muda-muda, juga benci kepada yang tua! Mereka orang-orang jahat dan keji!"

The Sun mengerutkan kening dan ragu-ragu untuk mengeluarkan pertanyaan ini, namun dipaksanya, "Maaf, Nona. Tetapi... tapi... bukankah mereka... seorang di antara mereka adalah... ayah dari anak dalam kandunganmu?"

Tiba-tiba Kim Hoa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis dengan sedih.

"Biarkan aku mati... biarlah aku mati saja... ya Tuhan, apa dosa hamba sehingga harus menanggung derita dan hinaan seperti ini?" Nona itu mengeluh panjang dan pingsan.

The Sun berlutut, menggeleng-gelengkan kepala. "Kasihan..."

Dengan hati-hati sekali dia lalu mengurut jalan darah di leher dan punggung. Kembali dia merasa heran dan tak mengerti mengapa dadanya berdebar begitu keras ketika ujung jari tangannya menyentuh kulit leher dan punggung. Apa yang aneh dalam diri nona ini sehingga seakan-akan mempunyai besi sembrani yang menariknya amat kuat?

Kim Hoa siuman kembali, mula-mula hanya termenung memandang kosong, kemudian dia mengeluh panjang. "In-kong, pertanyaanmu tadi... bagaimana saya harus menjawab? Saya dipaksa, saya tak berdaya... saya benci mereka, saya benci diri sendiri dan saya benci anak dalam kandungan ini...”

"Hushhh, jangan bicara demikian. Anak itu tidak berdosa."

"Lebih baik aku bunuh diri, biarlah anak ini tidak sempat terlahir."

”Hushhh, tidak boleh. Kau harus hidup, hidup bahagia, juga anak itu harus lahir dalam rumah tangga bahagia."

"Bagaimana...? Apa maksudmu, In-kong... ?”

Kini The Sun tidak tersenyum lagi, wajahnya yang tampan nampak bersungguh-sungguh. Matanya menatap tajam pada saat dia membantu Kim Hoa duduk.

"Nona, aku The Sun seorang laki-laki sejati, sekali bicara tidak akan kutarik kembali. Aku juga hidup sebatang kara. Terus terang saja, saat melihat kau, hatiku timbul kasihan dan cinta. Aku cinta kepadamu dan kalau kau sudi menerima, aku bersedia menjadi suamimu dan menjadi ayah dari anak di kandunganmu. Sekarang juga, jawablah, kalau kau mau akan kubawa ke Go-bi-san di mana kita hidup berbahagia di tempat yang jauh dari dunia ramai. Kalau kau tidak mau, terpaksa aku harus meninggalkanmu dan kau boleh pilih apa yang baik untukmu, aku tidak berhak mencampuri lagi."

Dapat dibayangkan betapa sukar keadaan Kim Hoa di saat itu. la belum mengenal The Sun, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang seperti ini, yang tampan, gagah perkasa dan aneh. la tahu bahwa ia harus dapat menjawab sekarang juga, tanpa ragu-ragu.

Terang bahwa pemuda ini berbeda dengan keluarga Lee, berbeda dengan pamannya, berbeda dengan ayahnya dulu. Pemuda ini tampan dan memiliki kepandaian luar biasa. Hidup di sampingnya berarti hidup aman tenteram, terbebas dari gangguan orang-orang jahat. Sebaliknya apa bila ia menolak, jalan satu-satunya hanya membunuh diri. la ngeri kalau memikirkan ini.

"Bagaimana, Nona?" The Sun mendesak.

"Aduh, In-kong, bagaimana saya harus menjawab? Saya seorang wanita... bagaimana... ahhh..."

The Sun mengangguk senang. Keadaan lahir nona ini sudah dia lihat, dan dia sangat tertarik dan suka akan kecantikannya. Keadaan batinnya belum dia ketahui, akan tetapi melihat sikap gadis ini, dia pun dapat menduga bahwa Kim Hoa berperasaan halus dan bersusila tinggi. Hanya karena nasibnya yang buruk, tidak mempunyai andalan di dunia ini, maka dia terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan seperti itu.

"Aku tahu betapa sukarnya bagimu untuk menjawab, Nona. Sekarang jawablah dengan anggukan saja. Jika kau mengangguk, berarti kau sudi menerima tawaranku untuk hidup berdua. Apa bila kau menggeleng kepala, aku akan pergi sekarang juga dan tidak akan mengganggumu lebih lama lagi."

Dengan air mata bercucuran saking terharu dan merasa bahagia karena baru sekarang selama hidupnya ia mendapatkan orang yang begini memperhatikan nasibnya, Kim Hoa menganggukkan kepalanya sampai berulang-ulang!

The Sun tertawa bergelak, menubruk maju dan di lain saat Kim Hoa sudah dipondongnya dan dibawa lari ke luar rumah tua. Kim Hoa kaget sekali, apa lagi merasa betapa ia bagai dibawa terbang. Ngeri hatinya. Sedetik ia curiga. Manusiakah atau bukan pemuda ini?

Bagaimana bisa terbang kalau manusia? Akan tetapi ia menyerahkan diri kepada orang ini, yang dekapannya begitu kokoh kuat, begitu sentosa. la meramkan mata dan merasa aman. Desir angin yang mengaung di kedua telinganya makin lama makin merdu seperti dendang yang menina-bobokkannya

Sesudah bertemu dengan Ciu Kim Hoa, The Sun benar-benar sudah berubah menjadi seorang manusia lain. Dia merasa hidupnya tenteram dan penuh damai, tidak bernafsu untuk merantau lagi. Kakek gurunya, yaitu Hek Lojin yang sudah buntung lengan kirinya, menerimanya dengan girang. The Sun bersama Kim Hoa yang ia aku sebagai isterinya, selanjutnya tinggal di puncak Go-bi-san ini bersama Hek Lojin.

Beberapa bulan kemudian Kim Hoa melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan sehat. The Sun menerima kehadiran anak ini dengan gembira dan bahagia, dengan tulus menganggapnya sebagai anak sendiri. Anak itu diberi nama Siu Bi dan diberi nama keturunan The.

Juga Hek Lojin amat sayang kepada bayi ini, sehingga dalam masa tuanya kakek itu pun merasakan kebahagiaan. Memang, kebahagiaan dapat dinikmati dalam hal apa pun juga, dalam soal-soal sederhana, asalkan orang dapat mengenalnya.

Yang paling berbahagia adalah Kim Hoa. Dia bahagia, juga sangat terharu akan sikap suaminya yang benar-benar menganggap Siu Bi seperti anak keturunannya sendiri. Dia sangat kagum akan kebijaksanaan suaminya dan bagi Kim Hoa, manusia yang paling mulia di dunia adalah suaminya, The Sun!

Memang ganjil dunia ini. Banyak sekali orang menganggap The Sun sebagai seorang manusia jahat, keji, pendeknya bukan manusia baik-baik. Akan tetapi coba tanya Kim Hoa, apakah bagi dia ada manusia yang lebih mulia dari pada The Sun? Kelihatannya saja ganjil dan aneh. Keganjilan yang tidak aneh, atau keanehan yang tidak ganjil bagi yang mau memperhatikan.

Hidup manusia dikuasai seluruhnya oleh egoisme (ke-akuan). Maka tidak mengherankan apa bila pandangan orang terhadap orang lain juga terbungkus sifat ke-akuan ini. Orang lain yang menguntungkan dirinya, tentu dipandang sebagai orang baik, sebaliknya orang lain yang merugikan dirinya, tentu dipandang sebagai orang tidak baik.

Dalam hal ini, keuntungan atau kerugian diartikan luas dan mengenai lahir batin. Sifat ke-akuan yang sudah menyelubungi seluruh kehidupan manusia ini sudah menjadi satu dengan kehidupan itu sendiri sehingga sifat ini dianggap umum. Siapa menyeleweng dari sifat ini, dialah yang dianggap tidak umum, malah dianggap tidak normal! Inilah dunia dan manusianya, panggung sandiwara dengan manusia sebagai badut-badutnya
.

Dengan The Sun sebagai ayah dan Hek Lojin sebagai kakek guru, tentu saja semenjak kecil Siu Bi sudah digembleng dengan ilmu silat. Hek Lojin bahkan mengajarnya dengan sungguh-sungguh, sedangkan ayahnya, The Sun, adalah seorang ahli dalam ilmu surat. Oleh karena itu, semenjak kecil Siu Bi menerima gemblengan ilmu surat dan ilmu silat, malah oleh ibunya juga dilatih dalam ilmu kewanitaan, memasak dan menyulam.

Maka, biar pun anak ini hidup di puncak gunung, tidak pernah melihat kota besar kecuali dusun-dusun di sekitar pegunungan, akan tetapi ia menerima pendidikan anak kota, tidak hanya pandai bermain pedang, berlatih ginkang, lweekang dan memelihara sinkang di dalam tubuh, tetapi juga tidak asing akan tata cara dan sopan santun, pandai menulis sanjak, juga tahu akan sejarah, pandai meniup suling dan dapat pula mengganti pedang dengan jarum halus untuk menyulam!

Siu Bi menjadi seorang gadis cantik, secantik ibunya. Rasa kecintaan yang dicurahkan kepadanya oleh ayah, ibu, dan kakeknya, membuat ia menjadi seorang gadis manja dan nakal. Segala keinginannya selalu dituruti dan karenanya gadis ini tak biasa menghadapi penolakan terhadap keinginannya. Apa yang ia kehendaki harus dituruti dan dipenuhi!

Dalam hal ilmu silat, dia sudah mewarisi semua kepandaian ayahnya, bahkan Hek Lojin tidak tanggung-tanggung menurunkan ilmunya yang paling hebat, yaitu ilmu tongkat yang diubah menjadi ilmu pedang untuk disesuaikan dengan gadis itu.

"Ilmu ini kuberi nama Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Roh), cucuku. Jangankan orang lain, bahkan ayahmu sendiri tidak pernah kuwarisi ilmu pedang yang tadinya adalah ilmu tongkatku ini."

"Kongkong, apakah ilmu pedang ini tidak ada tandingannya lagi di dunia ini? Ibu bilang bahwa ayah adalah seorang yang sakti, malah katanya di dunia ini jarang ada yang bisa melawan. Kongkong sebagai gurunya tentu merupakan jago utama di dunia ini, karena itu aku ingin kau beri ilmu yang nomor satu di dunia, agar jangan ada orang lain dapat mengalahkan aku.”

"Ha-ha-ha-ha, kau cerdik… kau sangat pintar." Dengan tangan kanannya, kakek hitam itu mengelus-elus hidungnya. "Mari kau datang ke kamarku, jangan sampai ketahuan ayah ibumu dan aku akan menurunkan ilmu yang paling hebat ini kepadamu."

Siu Bi yang sekarang sudah berusia enam belas tahun itu berjingkrak kegirangan, lalu menggandeng tangan kanan kakeknya dan menyeret orang tua itu ke dalam kamar Hek Lojin yang lebar dan gelap.

"Nah, sekarang kau harus berlutut dan bersumpah, baru aku akan menurunkan Cui-beng Kiam-hoat."

"Bersumpah segala apa perlunya, Kongkong? Apakah kau tidak rela menurunkan ilmu itu kepadaku?" Siu Bi mulai merengek manja.

"Hisss, anak bodoh. Mempelajari ilmu ini ada syaratnya, dan kalau kau mau bersumpah untuk memenuhi syarat itu, kelak baru aku mau menurunkannya dan mati pun aku akan meram." Kakek itu menghela nafas panjang.

"Lho, kau susah, Kek? Ada apakah? Bilang saja, cucumu akan dapat menolongmu." Siu Bi menyombong.

"Kau lihat lengan kiriku ini?" Kakek itu menggerakkan sisa lengan kirinya yang buntung sebatas siku. Tentu saja Siu Bi yang sudah melihatnya sejak kecil tidak merasa ngeri dan sudah biasa.

"Bukankah dahulu kau bilang karena kecelakaan maka lenganmu buntung, Kek? Ataukah ada cerita lain?"

Siu Bi memang cerdik sekali orangnya, jalan pikirannya cepat dan mungkin karena hidup di tempat sunyi dan dekat dengan seorang sakti aneh seperti Hek Lojin, sedikit banyak wataknya juga terbawa aneh. Gadis ini tidak pernah memperlihatkan perasaan terharu. Perasaannya kuat dan tidak mudah terpengaruh.

"Memang akibat kecelakaan, akan tetapi kecelakaan yang dibuat oleh orang lain. Lengan kiriku buntung oleh seorang musuhku yang bernama Kwa Kun Hong, berjuluk Pendekar Buta."

"Buta? Dia buta...? Wah, mana bisa hal ini terjadi? Aku tidak percaya, Kek. Kau bohong!"

Hek Lojin menarik nafas panjang. Ucapan cucunya yang manja dan telah biasa bersikap kasar terhadapnya itu pada saat lain tentu akan membuat dia terkekeh geli, akan tetapi saat itu dia menerimanya seperti sebuah tusukan pada jantungnya.

Memang sungguh memalukan sekali. Dia, tokoh besar Go-bi-san yang namanya sudah sejajar dengan tokoh-tokoh kelas satu di dunia persilatan, menjadi buntung lengan kirinya menghadapi seorang lawan yang buta, dan masih muda lagi!

"Aku tidak bodoh, dan memang dia itu buta kedua matanya, tapi amat lihai."

"Bagaimana kau bisa kalah, Kek? Bukankah kau orang terpandai di kolong langit?"

"Pada waktu itu, delapan belas tahun yang lalu, aku belum lagi menciptakan Cui-beng Kiam-hoat, ilmuku masih merupakan ilmu tongkat yang liar. Juga aku belum menciptakan Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang juga hendak kuajarkan kepadamu sebagai imbangan dari Cui-beng Kiam-hoat."

"Sekarang kau sudah mempunyai kedua ilmu itu, mengapa tidak mencari dia dan balas membuntungi lengannya?"

Karena sejak kecil berada di puncak Go-bi dan tidak pernah menyaksikan sepak terjang Hek Lojin terhadap orang lain, hanya sehari-hari menyaksikan sikap kakek itu terhadap dirinya amat baik dan mencinta, tentu saja Siu Bi juga menganggap kakek ini orang yang amat mulia dan baik hatinya.

Kembali Hek Lojin menarik nafas panjang, tampak berduka sekali. "Aku sudah makin tua, usiaku sudah delapan puluh lebih, sudah lemah, tenaga sudah hampir habis, mana bisa membalas dendam? Musuhku itu sekarang paling banyak setua ayahmu, bahkan masih lebih muda lagi, sedang kuat-kuatnya. Selain itu, dengan hanya sebuah lengan, mana aku dapat menang?

Untuk melawan ilmu pedangnya, dengan pedang yang bersembunyi dalam tongkat, dan menghadapi ilmu pukulannya yang mengeluarkan uap putih, harus memainkan Cui-beng Kiam-hoat dan sekaligus tangan kiri memainkan Hek-in-kang. Bagiku tiada harapan lagi, harus kutelan kekalahan dan penghinaan ini dan aku akan mati dengan mata terbelalak kalau tidak ada orang yang dapat membalaskan dendamku."

"Hemmm, kalau begitu, engkau mau menurunkan kedua ilmu itu kepadaku dengan syarat bahwa aku harus membalaskan dendammu terhadap Pendekar Buta itu, Kek?"

Dengan lengan kanannya, Hek Lojin memeluk pundak cucunya. "Siu Bi, kau benar-benar menggembirakan hatiku. Kau cerdik, kau pintar, kau tahu akan isi hatiku. Benar, cucuku, kau bersumpahlah bahwa kelak kau akan membalaskan hinaan terhadap diriku ini pada Pendekar Buta, dan sekarang juga aku akan wariskan kedua ilmu itu kepadamu."

"Kongkong, tanpa hadiah apa pun juga, sudah menjadi kewajibanku untuk membalaskan sakit hatimu. Terlalu sekali Pendekar Buta itu. Sudah buta matanya, buta pula hatinya, menghina orang sesukanya. Lengan orang dibuntungi, hemmm, padahal kau seorang tua yang baik dan tidak berdosa, apa dikiranya dia seorang saja yang paling pandai di dunia ini? Jangan khawatir, Kek, aku bersumpah, kelak kalau ada kesempatan tentu aku akan membuntungi lengan kirinya, persis seperti yang telah dia lakukan kepadamu."

"Orang hutang harus ada bunganya, Siu Bi. Keenakan dia kalau hanya dibuntungi lengan kirinya seperti aku, harus ada tebusan bagi penderitaanku belasan tahun ini. Tidak hanya dia, juga kalau dia mempunyai anak, semua anaknya harus kau buntungi pula lengan kirinya."

"Bapaknya jahat anaknya pun tentu jahat. Baik, Kek, akan kutaati permintaanmu itu."

Bukan main girangnya hati Hek Lojin dan semenjak hari itu dia menurunkan Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang kalau dimainkan dengan sempurna, dari tangan si pemain akan keluar uap kehitaman yang mengandung racun.

Tanpa ia sadari, gadis yang bersih itu kini dikotori oleh ilmu silat yang mengandung ilmu hitam. Tidak ini saja, malah di dalam hatinya sudah ditanamkan bibit permusuhan yang hanya dapat dipuaskan dengan aliran darah dan buntungnya lengan entah berapa orang banyaknya!

Tidak mudah mewarisi dua macam ilmu itu. Meski pun Siu Bi sudah mempunyai dasar yang kuat, namun untuk memahami dua buah ilmu itu ia harus berlatih sampai setahun lebih lamanya!

Bukan main cepatnya kemajuan gadis Itu setelah ia mewarisi dua macam ilmu silat ini dari kakeknya. The Sun sama sekali tidak tahu akan hal ini, karena kakek dan gadis itu tidak memberi tahu kepadanya. Memang keduanya merahasiakan hal ini, bahkan The Sun sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu telah menciptakan ilmu silat yang begitu hebat dan dahsyat.

Pada suatu senja, secara iseng-iseng ayah ini mengintai kamar anaknya, karena dia merasa heran mengapa sekarang sore-sore gadis itu sudah masuk ke kamar sehabis makan sore. Alangkah herannya saat dia melihat gadis itu berjungkir balik di atas tempat tidurnya, kepala di atas kasur dan kedua kaki lurus ke atas, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak aneh.

Yang amat mengagetkan hatinya adalah cara gadis itu berlatih pernafasan. Mengapa secara berjungkir seperti itu.....?

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar