Rajawali Emas Chapter 40 (Tamat)

Pak-thian Locu mulai gembira, tertawa-tawa dan terkekeh-kekeh. Kadang kala ia sengaja membentak sebagai gertakan supaya Kun Hong terkejut, padahal serangannya terhenti di tengah-tengah. Kakek ini seperti seorang anak kecil menemukan sebuah barang mainan baru, atau bagaikan seekor kucing tua menemukan seekor tikus. Jelas bahwa Kun Hong dibuat main-main dulu sebelum ditusuk mati.

Tiba-tiba saja Kun Hong membentak dengan suara aneh, "Pak-thian Locu, sekarang kau hadapi seranganku. Awas!"

Pak-thian Lo-cu kaget luar biasa. Dia cepat-cepat menghindar sambil memutar pedangnya menangkis, terus saja ia menangkis ke sana ke mari seakan-akan ia didesak hebat oleh lawannya.

Padahal Kun Hong hanya berdiri dan memalangkan pedang di depan dada, sama sekali tidak menyerang. Ternyata pemuda ini setelah terdesak hebat, terpaksa mempergunakan ilmu sihir yang ia pelajari dari Sin-eng-cu Lui Bok.

"Eh, hayo lekas menyerang! Mana seranganmu?" Tiba-tiba kakek itu berhenti menangkis-nangkis sendiri dan berbalik menyerang Kun Hong.

Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak dan pada lain saat kembali ia dihujani serangan. Diam-diam ia kaget dan dapat menduga bahwa tenaga dalam kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga kekuatan batinnya ketika menyihir tadi hanya dapat menguasai kakek itu sebentar saja.

Cepat-cepat ia mengerahkan seluruh kekuatan batin di dalam tubuhnya dan membentak lagi, "Awas serangan ilmu pedangku!"

Kembali kakek itu melompat mundur dan menangkis ke sana ke mari, mengelak ke kanan kiri.

Para tamu melongo menyaksikan pertempuran yang aneh bukan main ini. Mereka hanya mengira bahwa dua orang aneh itu menggunakan ilmu yang demikian tingginya sehingga penyerangan-penyerangan mereka tak dapat dilihat oleh mata orang lain.

Beng San memandang dengan kagum. Tapi setelah kini melihat betapa Kun Hong malah duduk bersila di tengah panggung dengan sikap seperti seorang sedang semedhi, dengan pedangnya diacungkan ke depan muka, tepat di depan hidung, kemudian Pak-thian Locu sekarang bersilat sendiri, menyerang dan menangkis memutari Kun Hong, pendekar sakti Ketua Thai-san-pai ini melongo.

Memang pemandangan di atas panggung sekarang aneh dan lucu bukan main. Kun Hong duduk bersila, pedangnya diacungkan di depan wajahnya, keningnya dikerutkan, ia tidak bergerak sama sekali. Di lain pihak, Pak-thian Locu seperti orang yang kemasukan setan, mencak-mencak tidak karuan bagaikan orang bertanding mati-matian melawan bayangan sendiri, maju mundur mengitari tubuh Kun Hong, pedangnya berkelebatan akan tetapi tak pernah mendekati tubuh Kun Hong. Bahkan agaknya kakek itu tidak melihat Kun Hong dan sedang bertanding mati-matian melawan musuh yang tidak tampak.

Akan tetapi, setelah Beng San melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih, keheranannya lalu berubah menjadi kekaguman hebat. Bukan main, pikirnya. Kiranya pemuda itu sedang mempergunakan semacam ilmu yang aneh dan tinggi, ilmu yang membutuhkan pengerahan tenaga batin dan hawa murni di dalam tubuh. Ia melihat Cui Bi bergerak gelisah dan Li Eng sudah bangun dari kursinya sambil tangannya meraba gagang pedang.

"Sstt, kalian duduklah kembali," Beng San berkata perlahan. "Jangan ganggu, Kun Hong sedang berjuang mati-matian melawan kakek itu."

Mendengar ini, orang-orang muda itu kembali duduk dan hati mereka berdebar gelisah, akan tetapi juga merasa sangat heran. Kun Hong duduk bersila, lawannya ‘mengamuk’ di sekelilingnya, bagaimana bisa dibilang sedang berjuang mati-matian? Apakah bukannya Kun Hong sudah terluka hebat dan menanti kematiannya sedangkan kakek itu berubah gila?

Para tamu saling berbisik-bisik dan keadaan menjadi tegang, aneh, serta berisik pula. Orang-orang mulai tidak sabar menyaksikan pertandingan yang luar biasa ini. Akan tetapi Beng San dan juga Song-bun-kwi serta tokoh-tokoh tua makin tegang karena maklum bahwa pertandingan itu makin hebat juga.

Kini seluruh tubuh Kun Hong menggigil dan bercucuran peluh! Akan tetapi, kakek itu pun bercucuran peluh pada dadanya. Mukanya pucat dan gerakan-gerakannya makin lemah, kelihatan lemah bukan main karena terlampau banyak mengeluarkan tenaga, baik luar mau pun dalam.

Tiba-tiba saja kakek itu memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas panggung, napasnya empas-empis dan tidak lama kemudian napas itu pun terhenti. Ada pun Kun Hong masih duduk seperti patung dengan pedang mengacung ke depan, sama sekali tidak bergerak.

Cui Bi berseru lirih, tubuhnya melesat ke atas panggung. Tanpa ragu-ragu ia menghampiri Kun Hong, menempelkan dua telapak tangan di punggung dan tengkuk pemuda itu sambil mengerahkan tenaga lweekang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Hampir dia menjerit ketika tangannya menempel, sebab tubuhnya tergetar hebat. Akan tetapi dengan mengerahkan tenaga gadis itu memaksa diri, akhirnya seluruh hawa murni di tubuhnya dapat dibuka dan dipaksa memasuki tubuh Kun Hong.

Para tamu melihat ini makin terheran-heran, kecuali mereka yang berilmu tinggi maklum bahwa puteri Thai-san-pai itu sedang menolong Kun Hong. Ketua Kun-lun-pai ayah dan anak menyaksikan ini dengan muka merah sekali.

Melihat perbuatan puterinya, Beng San sebetulnya tidak setuju dan hendak mencegah. Namun melihat bahwa tubuh puterinya tadi tergetar hebat, sekarang dia maklum bahwa jika dicegah mungkin puterinya itu malah mendapat luka berat. Maka ia mendiamkannya saja.

Kun Hong bergerak, menoleh perlahan, lalu tersenyum dan perlahan-lahan ia melepaskan kedua tangan gadis itu dari tempelannya. Lalu ia berdiri akan tetapi tampak kaget sekali melihat tubuh Pak-thian Locu sudah telentang di atas papan tanpa bergerak sedikit pun. Cepat ia berjongkok memeriksa dan... pemuda ini berduka sekali melihat bahwa lawannya sudah tak bernapas lagi.

Kun Hong memberi isyarat kepada Cui Bi supaya turun panggung, sedangkan dia sendiri setelah menyimpan pedangnya lalu berdiri menghadapi para tamu dan berkata, suaranya penuh kedukaan, tapi juga berpengaruh,

"Cuwi sekalian yang hadir di sini, sudah cukup menyaktikan betapa nafsu-nafsu beberapa orang tokoh untuk bertempur mengakibatkan kematian-kematian yang amat menyedihkan. Pamanku Tan Beng San Taihiap mendirikan Thai-san-pai tidak sekali-kali dengan maksud menanam bibit permusuhan, akan tetapi untuk menyebar luaskan ilmu silatnya sehingga kepandaian ini dapat berkembang biak kemudian dapat dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah menumpas si jahat. Maka biarlah di sini aku Kwa Kun Hong, yang muda dan bodoh, mohon dengan hormat dan sangat kepada Cuwi sekalian, agar supaya pertandingan-pertandingan ini disudahi saja. Kepada mereka yang memang tidak mempunyai niat untuk menjual kepandaian dan mencari permusuhan serta mengacaukan pertemuan ini, kami menghaturkan banyak terima kasih, dan kepada mereka yang bernafsu untuk berkelahi, kami harap sudi membuang jauh-jauh nafsu yang tidak baik itu."

Baru sampai di sini pidato Kun Hong, mendadak dari bawah panggung terdengar seruan keras, "Kwa Kun Hong, kau dan dua orang keponakanmu harap menyerahlah untuk kami tangkap dan kami bawa kembaii ke kota raja!"

Kun Hong memandang dan kagetnya bukan main melihat Thian It Tosu bersama enam orang lain sedang berdiri berjajar di bawah panggung. Itulah tujuh orang pengawal istana, lengkap! Mereka bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki, Thian it Tosu, Bu Sek dan Bu Tai, Bhong-lokoai, Sin-twa-to Liong Ki Nam, dan Ang-moko. Tentu para pengawal ini disuruh oleh pangeran mata keranjang itu untuk menangkap kedua anak keponakannya.

"Celaka... Li Eng, Hui Cu, hayo kita lari pergi!" Kun Hong sudah melompat dan berlari ke arah dua orang keponakannya itu.

Akan tetapi Beng San mencegah mereka yang ketakutan ini lari. "Tenanglah, biar aku yang mengurusnya."

Namun, pada saat ketujuh orang pengawal istana itu melompat naik ke atas panggung, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah melayang naik pula.

"Ha-ha-ha-ha, kalian tujuh anjing penjilat pantat! Dahulu yang mengacau di istana adalah aku, Song-bun-kwi. Hayo, kalian mau apa? Kalian datang ke sini apakah ingin menerima gebukan-gebukan dari aku? Ha-ha-ha!"

Dua saudara kembar Bu Sek dan Bu Tai, juga Thian It Tosu, sudah pernah merasakan kelihaian Song-bun-kwi di markas Ngo-lian-kauw dahulu, maka sekarang karena mereka bertujuh dan di situ terdapat pula Ang-moko dan Bhong-lokoai, mereka menjadi tabah dan segera menyerbu Song-bun-kwi tanpa banyak cakap lagi.

Dalam sekejap mata saja Song-bun-kwi telah dikeroyok oleh tujuh orang pengawal istana itu yang semuanya menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Terang bahwa pertempuran kali ini bukanlah adu kepandaian, melainkan pertempuran sungguh-sungguh antara dua pihak bermusuhan dan semua penyerangan ditujukan untuk mematikan lawan.

Para tamu mulai geger, malah sudah ada yang diam-diam meninggalkan tempat itu untuk turun gunung. Memang sebagian besar para tamu segan kalau harus berurusan dengan petugas-petugas dari istana.

Melihat kakeknya dikeroyok tujuh, Kong Bu berseru marah. Tubuhnya melayang ke atas panggung, lantas membantu kakeknya mengamuk. Suara ketawa Song-bun-kwi semakin terbahak, seakan-akan pengeroyokan atas dirinya beserta cucunya ini merupakan sebuah peristiwa yang amat menyenangkan hatinya!

Pada saat itu, para tamu makin gelisah dan banyak yang sudah pergi. Tiba-tiba kelihatan pasukan orang-orang Ngo-lian-kauw yang memegang pedang dan menyerbu, kemudian mengurung tempat itu. Mereka yang terdiri dari lima puluh orang lebih ini berteriak-teriak,

"Bayar kembali nyawa ketua kami!"

Beng San terkejut melihat ini. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi perang kecil yang akan mendatangkan banyak korban, apa lagi ia melihat di belakang pasukan ini masih terdapat barisan lain dari Ngo-lian-kauw yang semua tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya! Sedangkan pertempuran di atas panggung masih amat seru dan ramai.

Tiba-tiba terdengar letusan-letusan. Kiranya orang-orang Ngo-lian-kauw sudah memasang banyak petasan dan obat peledak, mungkin merupakan tanda-tanda atau mungkin juga untuk mengacaukan keadaan.

Tempat tamu sudah banyak yang kosong karena ditinggalkan. Pada saat itulah terdengar sorak-sorai dan dari lereng gunung berlari-lari satu pasukan yang panjang. Setelah dekat, kiranya pasukan ini adalah barisan orang-orang pengemis dan di belakang pasukan ini berlari-lari pula sepasukan kecil prajurit kota raja mengiringkan seorang perwira bertubuh tinggi besar. Samua menuju ke tempat itu.

Agaknya memang sudah ada dendam lama antara orang-orang Ngo-lian-kauw dan para pengemis itu karena begitu bertemu, segera terjadi pertempuran keroyokan. Melihat ini, Kun Hong segera berlari-lari ke depan dan berseru,

"Hee, bukankah kalian ini anggota-anggota Hwa-i Kaipang? Berhenti, jangan bertempur!"

Pada waktu para pengemis itu menengok dan melihat siapa yang bicara, mereka segera meninggalkan lawan, lari-lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Kun Hong mengenal Coa-lokai yang memimpin pasukan itu. Segera dia memegang tangannya dan berkata girang, "Coa-lokai kau yang datang? Saudara-saudara, bangunlah tak usah berlutut. Coa-lokai ceritakanlah mengapa kalian datang dan mau apa?"

“Mendengar bahwa Pangcu ditawan Pangeran, kami mengirim berita ke Hoa-san-pai lalu membawa teman-teman menyusul sampai ke sini. Syukur Pangcu selamat saja, padahal kami semua telah gelisah bukan main."

Pasukan yang dikepalai oleh perwira tinggi besar juga sudah sampai di situ dan segera terdengar perwira itu berseru sambil berlari mendekati Beng San, "Adikku Beng San, apa artinya keributan ini?"

"Twako...!" Beng San berdiri dan dua orang ini berangkulan. Kiranya perwira ini bukan lain adalah Tan Hok atau Tan-taijin, "Memang aku sedang sial, mendirikan perkumpulan juga memancing datangnya keributan-keributan."

Tan Hok menoleh dan melihat betapa tujuh orang pengawal istana sedang mengeroyok dua orang. Ia kaget ketika mengenal bahwa satu di antara dua orang yang dikeroyok itu adalah Kakek Song-bun-kwi! Segera ia melompat maju dan beseru,

"Tujuh saudara pengawal harap berhenti dan turun. Tidak boleh kalian membikin ribut di sini!" Suara Tan-taijin berpengaruh sekali dan pula sangat dikenal oleh para pengawal, maka segera mereka berlompatan turun dari panggung.

Kiranya keadaan mereka amat payah, hampir semuanya sudah menderita luka-luka dan kepala bocor. Di atas panggung, Song-bun-kwi berpelukan dengan cucunya. Wajah kakek ini berseri-seri, matanya terbelalak dan pipinya sebelah kiri mengucurkan darah karena tersayat senjata lawan.

Ketika tujuh orang pengawal itu melapor bahwa mereka hendak menangkap tiga buronan Pangeran, Tan Hok menegur mereka, malah memperlihatkan sehelai surat keputusan dari Kaisar sendiri bahwa mereka tidak boleh mengganggu para anak murid partai persilatan Hoa-san-pai. Melihat cap dan tanda tangan Kaisar, dengan tubuh gemetaran tujuh orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Sudahlah, kalian pulang ke kota raja, jangan membikin ribut lagi dan usir para anggota Ngo-lian-kauw yang hendak mengacau itu."

Terhadap pembesar yang menjadi kepercayaan Kaisar ini, tujuh orang pengawal itu tentu saja mati kutu dan atas perintah Thian It Tosu, orang-orang Ngo-lian-kauw kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Juga anggota Hwa-i Kaipang setelah dijamu lalu disuruh pulang kembali oleh Kun Hong.

Para tamu sudah pulang semua, banyak yang tidak sempat berpamit. Yang masih tinggal di situ hanyalah Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi dan Bun Wan, juga Song-bun-kwi yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik kembali, dan Tan Hok. Sebelum mereka beramai diajak ke puncak, tiba-tiba dari lereng gunung berlari-lari beberapa orang menuju tempat itu dan setelah dekat, segera Kun Hong, Hui Cu, dan Li Eng berlari-lari menyambut.

Mereka ini bukan lain adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai, Lim Sian Hwa isterinya, Lee Giok ibu Hui Cu, dan Thio Bwee ibu Li Eng. Tokoh-tokoh Hoa-san-pai ini menyusul ke Thai-san setelah mendengar berita dari anggota pengemis Hwa-i Kaipang bahwa ketiga anak mereka tertawan Pangeran di kota raja tapi lolos secara aneh. Karena gelisah akan keselamatan mereka, empat orang tua ini menyusul, menyelidik dan akhirnya sampai juga ke Thai-san biar pun sudah agak terlambat.

Kegembiraan keluarga Thai-san-pai sukar dilukiskan. Apa lagi Beng San, bertemu dengan orang-orang yang semenjak dahulu dikenalnya begitu baik, orang-orang Hoa-san-pai yang mendatangkan banyak peristiwa dalam hidupnya, ia menjadi terharu dan juga gembira. Apa lagi karena ia sudah mendengar dari Cui Bi bahwa kedua orang puteranya saling mencinta dengan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, dua orang gadis anak dari Thio Bwee dan Thio Ki, teman-teman lamanya di waktu ia masih kecil! Alangkah akan bahagianya merangkapkan jodoh mereka.

Juga pihak Hoa-san-pai amat gembira melihat anak-anak mereka selamat, malah dapat bertemu dengan orang-orang yang memang sudah lama mereka rindukan. Yang nampak kurang gembira adalah Bun Lim Kwi dan puteranya.

Akan tetapi dalam suasana penuh kegembiraan itu, tiba-tiba buyar dan berubah menjadi suasana penuh duka ketika orang-orang Hoa-san-pai ini mendengar mengenai kematian Kwa Hong yang sekarang jenazahnya masih berada di puncak. Tentu saja yang paling berduka adalah Kwa Tin Siong, sebagai ayah dari Kwa Hong.

Beramai-ramai mereka dipersilakan naik ke puncak melalui jalan rahasia dan terowongan. Jenazah Pak-thian Locu yang lain-lain sudah pula diurus oleh anak buah Thai-san-pai. Sin Lee menangis mengguguk di depan peti mati ibunya, membuat semua menjadi terharu, terutama Hui Cu yang juga menangis sampai kedua matanya menjadi merah.

Song-bun-kwi duduk di kursi menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya yang parau dan dalam, "Ahhh, kalau sudah menjadi begini, barulah kita semua merasa betapa hidup ini tidak akan langgeng. Sekali waktu akan datang maut merenggut nyawa kita dan kita semua akhirnya akan menjadi mayat, habis sudah semua riwayat. Apa bila sudah begini baru kita ingat betapa semua pertikaian, semua keributan dan kegaduhan, semua urusan musuh-memusuhi, berlomba kepandaian, dan lain-lain itu hanyalah perbuatan orang gila saja." Kemudian kakek yang tinggi besar itu berdiri berdongak ke atas dan berseru keras, "Betapa banyak sudah aku membunuh manusia, aku dijadikan alat oleh Maut. Apakah Maut akan berterima kasih kepadaku? Tidak, sekali waktu Maut akan merenggut nyawaku pula. Aku menyesal! Ah, Beng San mantuku, sediakanlah sebuah goa kecil untuk aku, aku hendak mengasingkan diri, menghukum diri menebus dosa!"

Tiba-tiba terdengar suara aneh dari angkasa, "Ho-ho, Song-bun-kwi, akhirnya kau insyaf juga, tetapi amat terlambat, tanganmu sudah terlampau kotor berdarah. Betapa pun juga, keinsyafanmu berguna pula bagi anak keturunanmu, menjadi pengingat dan penyadar!"

Semua orang kaget memandang ke atas dan tampaklah seekor burung rajawali berbulu emas ditunggangi oleh seorang kakek tua renta berpakaian butut. Burung itu menukik ke bawah dan kakek itu meloncat turun.

"Kim-tiauw-ko....!"

Sin Lee dan Kun Hong berbareng lari menghampiri burung itu dan dua orang pemuda ini serentak memeluk leher burung rajawali yang berbulu indah bagai emas itu. Mereka saling pandang dan sekarang mengertilah keduanya mengapa mereka melihat dasar-dasar yang sama dalam ilmu silat mereka.

Burung itu pun mengenal Kun Hong dan Sin Lee. Dengan mengeluarkan suara girang ia menggosok-gosokkan leher dan kepalanya pada dua pemuda itu. Kemudian Kun Hong berlutut memberi hormat kepada kakek yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok ini.

"Ha-ha, Sin-eng-cu Lui Bok! Kalau saja kemarin kau datang, tentu aku akan menantang kau bertanding!" kata Song-bun-kwi sambil tertawa, sikap orang aneh ini sudah berubah pula.

"Bagus, kau sudah insyaf sekarang, tulang-tulangku yang tua selamat dari gebukanmu," jawab kakek itu.

Beng San yang sudah mendengar nama besar Sin-eng-cu Lui Bok segera mempersilakan kakek itu duduk.

Akan tetapi kakek itu menolak dan berkata, "Kedatanganku hanya untuk bicara sedikit dengan Kun Hong."

Ia menoleh kepada pemuda itu sambil mengerutkan kening dan berkata, "Kun Hong, aku tidak hendak mendahului kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Tapi aku minta kepadamu, orang muda yang kukasihi, aku meminta kepadamu dengan sangat, sekarang juga kau ikutlah bersamaku. Marilah kita bertapa dan menjauhkan diri dari keruwetan dunia."

"Tapi... tapi... Susiok, aku..." Ia memandang kepada orang tuanya, kepada orang-orang yang dikasihinya dan terutama kepada Cui Bi. ''Biarlah lain kali aku mengunjungi Susiok."

Kakek itu berdongak ke angkasa, lalu menarik napas panjang. "Thian Yang Maha Kuasa, kehendak-Mu selalu terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini yang mampu mengubah kehendak-Mu. Sudahlah, selamat tinggal semua."

Sin-eng-cu Lui Bok meloncat ke atas punggung rajawali. Burung ini segera terbang sambil mengeluarkan pekik panjang, agaknya ucapan selamat tinggal pula.

Upacara penguburan dilakukan sederhana. Sesudah selesai, Beng San dan isterinya lalu mempersilakan para tamunya untuk makan bersama. Hari itu adalah hari ke tujuh sejak terjadinya keributan pada hari pendirian Thai-san-pai itu.

Mereka makan minum dengan asyik dan gembira. Para tokoh Hoa-san-pai mendengarkan penuh keheranan dan ketakjuban ketika mendengar cerita mengenai sepak terjang Kun Hong. Terutama sekali Kwa Tin Siong yang mendengar semua perihal puteranya itu, dia terheran-heran dan berkali-kali menggelengkan kepala.

"Aku sengaja melarang dia belajar ilmu silat dengan maksud supaya dia jangan sampai tersesat seperti enci-nya. Siapa tahu dia malah mendapatkan ilmu lebih jahat dari pada Kwa Hong," katanya.

Song-bun-kwi tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kwa-sicu mengapa bicara begitu? Tidak ada ilmu yang jahat, tergantung dari orangnya. Kalau ilmu digunakan untuk kejahatan, maka menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan, ilmu yang itu juga menjadi ilmu baik. Puteramu benar-benar luar biasa sekali, dan kalau kau berbesan dengan mantuku, ha-ha-ha, akan benar-benar cocok sekali!" Kakek ini tertawa bergelak, kemudian minum araknya.

Pucat wajah Beng San setelah mendengar omongan mertuanya yang lancang sekali ini. Ia melihat betapa Bun Lim Kwi dan Bun Wan menjadi merah sekali mukanya, maka cepat ia berkata sambil tertawa,

"Ahhh, Gak-hu tidak tahu persoalannya maka bicara main-main. Baiknya kuberi tahukan kepada semua yang hadir bahwa anakku yang bodoh, Tan Cui Bi, sebenarnya sudah kuikatkan jodoh dengan putera Kun-lun-pai, Bun Wan putera dari sahabatku Bun Lim kwi ini."

Song-bun-kwi hanya berkata, "ah-oh-ah-oh" lalu minum araknya lagi untuk menghilangkan ketidak enakan hatinya. Namun muka Kun Hong menjadi pucat seperti mayat. Baiknya pemuda ini cepat dapat menguasai hatinya sehingga mukanya berubah merah lagi.

Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan mata Cui Bi dan Kong Bu yang sudah tahu akan persoalannya. Li Eng dan Hui Cu hanya memandang paman mereka dengan penuh iba, lalu menoleh kepada Cui Bi dengan marah. Ada pun gadis Thai-san-pai itu tak dapat menahan dua butir air matanya yang meloncat turun ke atas kedua pipinya, tetapi cepat diusapnya dan ia menundukkan muka.

Keadaan sunyi senyap, tak ada seorang pun bergerak. Suasana yang mencekam dan tak menyenangkan ini membuat Beng San cepat-cepat bertindak. Dia berkata lagi, suaranya mengandung keramahan dan kegembiraan paksaan,

"Ayah mertuaku Song-bun-kwi tadi hanya main-main saja. Mana bisa terjadi aku berbesan dengan Ketua Hoa-san-pai? Ketua Hoa-san-pai adalah kakek dari anakku Sin Lee, berarti ayah mertuaku pula. Mana ada mantu berbesan dengan mertua? Gak-hu, katakan bahwa kau tadi hanya main-main saja."

Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu minum araknya lagi. Setelah mengusap mulut dengan ujung lengan baju, ia berkata, "Ah, mulut lancang! Aku tidak ingat akan semua itu. Ha-ha, memang aku hanya main-main!"

Pada saat itu, Bun Wan menggebrak meja di depannya. "Ayah, aku tidak dapat menahan lagi!" suaranya serak dan ia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan.

Semua orang memandang dengan heran dan tidak mengerti, karena itu kini semua mata ditujukan kepada Bun Lim Kwi, ketua dari Kun-lun-pai yang pendiam itu. Orang setengah tua ini wajahnya mengeras, agak pucat dan ia kemudian bangkit berdiri, kedua tangannya dikepalkan dah suaranya jelas membayangkan perasaan yang tertindih.

"Sepekan sudah kami ayah dan anak menahan perasaan karena tak baik mengemukakan urusan ini selagi tuan rumah menjalankan perkabungan. Akan tetapi benar kata anakku, tak mungkin kami berdua dapat menahan-nahan hal ini yang benar-benar amat menindih perasaan kami."

"Saudara Bun, demi Tuhan, demi persahabatan kita, katakanlah, apa yang telah terjadi?" Beng San berkata penuh kegelisahan.

Suara Bun Lim Kwi terdengar amat pahit, menyatakan keperihan hatinya ketika ia berkata sambil mengeluarkan segumpal kertas dari sakunya.

"Memang urusan ini amat menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Tetapi saudara Beng San, kita sebagai orang-orang gagah paling suka akan urusan yang terus terang, kita bersama menjunjung nama kehormatan lebih tinggi dibandingkan nyawa. Kun-lun-pai boleh dibilang perkumpulan kecil, apa lagi ketuanya macam aku ini mana ada harganya? Dapat berbesan dengan Thai-san-pai benar-benar merupakan kehormatan yang jatuh dari langit. Akan tetapi betapa pun rendahnya keadaan aku dan anakku, kiranya tidak patut menjadi buah tertawaan orang dan bahan permainan, apa lagi ejekan."

"Saudara Bun, bicaralah sejujurnya, demi Tuhan, apa yang kau maksudkan ini?" Beng San berseru keras.

"Sebelum pergi, Siauw-ong-kwi menghina kami dan menyerahkan tulisan pada kertas ini. Berhari-hari aku menunggu dan menahan, akan tetapi melihat gelagatnya, tak boleh tidak kertas bertulis itu harus kuserahkan padamu dan aku mesti menginsyafi akan kerendahan kami. Nah, kau terimalah kertas ini, baca dan boleh kalian perbincangkan sendiri. Ada pun kami... ah, kami memohon diri. Tentang perjodohan, baik kita bicarakan belakangan saja, itu pun kalau kau merasa perlu untuk mengajakku bicara, Saudaraku."

Ketua ini dengan tajam menatap semua orang yang berada di situ, lalu menarik tangan anaknya. "Wan-ji, mari kita pulang."

Ayah dan anak itu bangkit dan menuju ke pintu.

Beng San berseru, "Saudara Bun, mengapa pergi? Kalau ada urusan, baik kita bicarakan yang betul. Duduklah kembali."

Akan tetapi melihat calon besannya itu tak menjawab, terpaksa Beng San berkata kepada Oei Sun yang duduk di luar ruangan. "Oei Sun, kau antar tamu kita keluar."

Dia menyuruh anak muridnya karena kuatir kalau-kalau kedua orang tamunya itu akan tersesat jalan dan tak dapat keluar dari tempat yang penuh jalan rahasia itu. Kemudian setelah mereka pergi, Beng San mengambil surat di atas meja yang ditinggalkan Bun Lim Kwi itu. Dibukanya surat itu dan seketika wajahnya berubah merah padam malah hampir menghitam.

Li Cu dan Cui Bi maklum akan sifat Ketua Thai-san-pai ini. Tentu Beng San amat marah membaca surat itu, maka mereka menunggu dengan hati berdebar. Beng San menoleh kepada Cui Bi, suaranya gemetar ketika ia menyerahkan surat itu

"Cui Bi, apa artinya ini?” surat itu melayang di atas meja depan Cui Bi.

Tubuh gadis itu mengigil dan tidak berani menjamah surat itu, hanya matanya membaca huruf-huruf besar yang ditulis di situ.

DI BAWAH SINAR BULAN PURNAMA PUTERI THAI-SAN-PAI DAN PUTRA HOA-SAN-PAI BERSUMPAH SALING MENCINTA, MEMBIARKAN KUN-LUN-PAI DITERTAWAI DUNIA.

Seketika pucatlah wajah Cui Bi. Kun Hong yang duduk di seberang gadis itu dapat pula membaca tulisan ini, demikian pula yang lain-lain.

"Kun Hong, apa yang kau lakukan? Betulkah isi tulisan itu?" Kwa Tin Siong membentak kepada puteranya dengan pandang mata tajam.

"Cui Bi, jawablah, tulisan Siauw-ong-kwi itu fitnah ataukah kenyataan?"

Cui Bi tak dapat menjawab, tiba-tiba ia malah menelungkupkan mukanya di atas meja dan menangis! Kun Hong sejenak menatap pandang mata ayahnya, lalu dia bangkit berdiri perlahan dan berkata, suaranya gemetar,

"Aku bersalah... aku berdosa... telah menggoda Bi-moi... aku siap menerima hukuman..."

"Brakkk!"

Cawan arak di depan Kwa Tin Siong melayang menghantam pipi Kun Hong yang kanan sehingga kulit pipinya berlubang dan darah mengucur. Saking marahnya Kwa Tin Siong sudah menyambit muka puteranya dengan cawan itu yang kini jatuh menggeletak di atas meja, berlumuran darah dari pipi Kun Hong.

"Anak celaka! Kiranya engkau mendatangkan cemar lebih hebat dari pada yang diperbuat Hong Hong...," suara Ketua Hoa-san-pai mengandung isak, mukanya pucat sekali.

"Tidak... tidak... Hong-ko tidak bersalah!" tiba-tiba Cui Bi meloncat bangun, mukanya yang pucat penuh dengan air mata. "Akulah yang bersalah! Memang aku bersalah karena tidak memberi tahu kepadanya bahwa aku telah ditunangkan, ditunangkan dengan paksa oleh orang tuaku. Ayah... ibu... aku... cinta kepada Hong-ko, sebaliknya dia pun mencintaiku. Aku tidak sudi menikah dengan orang lain!"

Beng San dan Li Cu saling pandang bingung, tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Akhirnya Beng San berkata lirih, "Kun Hong banyak jasanya kepada kita, malah dia telah menolong nyawaku... tapi... tapi... tapi ini soal kehormatan dan nama baik..."

"Ayah, lebih baik aku mati kalau dinikahkan dengan orang lain. Aku dan Hong-ko saling mencinta, sudah bersumpah..."

"Brakkk!"

Kun Hong menggebrak meja dan ternyata empat kaki meja itu ambles ke bawah saking hebatnya ia menahan gelora hati dan mempergunakan tenaga dalam tanpa ia sadari.

"Bi-moi, tak boleh begini! Kau sudah ditunangkan dengan putera Kun-lun-pai. Urusan ini menyangkut nama serta kehormatan Kun-lun-pai dan Thai-san-pai. Nama kehormatan yang harus dijaga lebih gigih dari pada menjaga nyawa. Apa lagi hanya cinta. Bi-moi, tak mungkin aku membiarkan kau melanggar aturan, menyusahkan orang tua, merusak nama Thai-san-pai, menyebabkan permusuhan dengan Kun-lun-pai hanya untuk memuaskan diriku saja. Tak mungkin! Cintaku tak serendah itu, bukan untuk mementingkan diri sendiri. Kau harus menjaga nama orang tuamu, menikah dengan putera Kun-lun-pai."

"Tidak...! Tidak sudi...! Lebih baik aku mati. Hong-ko... Hongko... sudah lupakah kau akan sumpahmu? Hong-ko, tak boleh kau mengorbankan aku hanya untuk aturan-aturan lapuk. Hong-ko...," gadis itu tersedu-sedu tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.

"Kun Hong! Perbuatanmu amat memalukan. Kau benar-benar sudah mencemarkan nama orang-orang tua. Kun Hong, mulai saat ini aku tak mau mengakui kau sebagai anak lagi!"

"Ayah...!" Kun Hong pucat, memandang ayahnya, kemudian kepada ibunya yang hanya dapat menunduk dan menangis.

Dalam keadaan segawat itu, karena menghadapi urusan besar yang menyangkut nama serta kehormatan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, dan Thai-san-pai, nyonya ini sama sekali tak dapat mengeluarkan perasaan hatinya yang penuh cinta dan kasihan kepada puteranya. Diam-diam ia membandingkan nasib kedua orang muda itu dengan nasibnya sendiri yang pernah mengalami kehancuran dalam pertunangan dahulu.

Dengan tubuh gemetar, wajah pucat serta hati hancur, Kun Hong berdiri perlahan-lahan dari tempat duduknya, kakinya menggigil ketika melangkah, kata-katanya perlahan seperti orang berbisik,

"Aku berdosa... aku durhaka... tak patut hadir di sini...," Ia melangkah hendak keluar dari ruangan besar itu.

"Hong-ko...!" Cui Bi melompat dari tempat duduknya, berlari mengejar, menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, sambil merangkul kedua kakinya, menangis tersedu-sedu, "Hong-ko... jangan tinggalkan aku...!"

Dia mendongak. Mukanya yang pucat penuh dengan air mata, rambutnya awut-awutan, keadaan gadis itu sungguh mengiris jantung Kun Hong.

Kun Hong menunduk, memandang lekat wajah kekasihnya, menelan ludah beberapa kali, menggigit bibir menahan air mata, lalu meramkan mata dan menggelengkan kepalanya keras-keras.

"Tidak, Bi-moi, tidak boleh...! Kau harus menjaga nama baik keluargamu... aku... aku tidak bisa melanggar aturan, kesopanan dan kesusilaan!"

"Hong-ko...,!"

Tapi dengan cepat Kun Hong mengipatkan kedua tangan Cui Bi. Gadis itu tergelimpang, menangis sampai hampir tak dapat bernapas dan Kun Hong melangkah terus keluar.

"Ayah, ini tidak boleh terjadi!" tiba-tiba Kong Bu berteriak kepada ayahnya. "Cui Bi sudah berterus terang kepadaku, dia mencinta Kun Hong dan aku sudah berjanji kepadanya hendak bicara dengan Ayah tentang hal ini! Batalkan perjodohan dengan Kun-lun-pai dan terima Kun Hong sebagai suami Adik Bi!"

Beng San merah mukanya, matanya meram dan ia hanya menggeleng-geleng kepalanya, kelihatan betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum. Li Cu juga menangis dan menahan hatinya yang ingin sekali menubruk serta memeluk puterinya. Akan tetapi tentu saja ia menahan hatinya karena dalam urusan ini, puterinya boleh dibilang telah melakukan suatu hal yang amat memalukan! Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Ia teringat akan semua pengalamannya dahulu, betapa ia pun bertekad dan melawan ayahnya sendiri karena cinta kasihnya kepada Beng San.

Sin Lee yang juga merasa sayang terhadap adik tirinya, mukanya menjadi merah dan matanya meliar. Dia sedang terbenam kedukaan karena kematian ibunya, dan sekarang menghadapi keadaan Cui Bi, satu-satunya orang di samping ayahnya yang amat ia kasihi, ia tak kuat menahan. Tiba-tiba ia melengking keras dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari ruangan mengejar Kun Hong.

Ia berdiri di depan Kun Hong dengan beringas. "Kun Hong! Kau harus berani bertanggung jawab! Kau sudah menjatuhkan hati Cui Bi, tidak boleh kau sekarang meninggalkannya. Apa pun yang terjadi, kau harus melanjutkan cinta kasihmu itu, kau harus menjadi suami Bi-moi!"

Kun Hong menggigit bibirnya, kerongkongannya serasa tersumbat. Sesudah menghela napas dan menelan ludah berapa kali, barulah ia dapat menjawab,

"Sin Lee, justru sebagai orang berani bertanggung jawab, aku menjauhkan diri. Lebih baik aku sengsara dari pada melihat nama baik orang-orang tua dan nama baik Bi-moi sendiri hancur ternoda."

"Kau harus kembali, harus, kataku!" Sin Lee membentak dan maju mendorong Kun Hong untuk memaksa pemuda itu kembali ke ruangan. Akan tetapi sekali mengelak serangan itu luput dan Kun Hong sudah melewati tubuh Sin Lee terus berjalan pergi.

"Kun Hong, tunggu dulu!" tiba-tiba Kong Bu juga sudah menghadangnya, malah dengan pedang di tangan, sikapnya mengancam!

"Kau mau apa, Kong Bu?" suara Kun Hong mengerikan, suara tanpa irama, seperti suara dari balik lubang kubur.

"Kun Hong, tidak ingatkah kau akan sumpahmu dahulu? Bahwa kau mencinta sangat Adik Bi dan bersedia mengorbankan nyawa untuknya? Mengapa sekarang kau malah hendak menghancurkan kebahagiaannya dan meninggalkannya?"

"Aku tetap cinta padanya, aku tetap bersedia mengorbankan segalanya untuknya. Kong Bu, tak tahukah kau bahwa pengorbanan yang kulakukan ini bahkan lebih berat dari pada berkorban nyawa?" Kini suara itu bercampur sedu-sedan dan pada kedua pipi Kun Hong tampak air mata bercucuran.

"Tidak, kau harus kembali dan meminta Bi-moi dari Ayah. Jangan pedulikan pandangan orang lain, kalau pihak Kun-lun-pai marah serahkan saja kepadaku!" bentak Kong Bu.

Kun Hong menggelengkan kepala. "Kau keliru. Aku tidak mau demi cinta kasihku, demi kebahagiaanku, harus mengorbankan hal-hal yang lebih penting lagi. Tidak, Kong Bu, kau kembalilah."

"Aku akan memaksamu!" Kong Bu mengayun pedangnya.

Tapi sekali melejit Kun Hong mengelak dan menyentil dengan jari telunjuknya yang tepat mengenai pergelangan tangan Kong Bu, membuat pemuda ini hampir saja melepaskan pedangnya, sementara itu Kun Hong sudah melewatinya.

"Hong-ko... tunggu...! Hong-ko...!"

Cui Bi berlari-lari mengejar Kun Hong. Gadis ini tadi melihat sendiri betapa kedua orang kakak tirinya membujuk-bujuk, malah dengan kekerasan, namun semuanya tidak berhasil. Maka ia sendiri lalu berlari mengejar.

Mendengar suara kekasihnya ini, Kun Hong berhenti, seakan-akan kedua kakinya terpaku di tanah, tak dapat digerakkan lagi. Ia berhenti berdiri tegak tanpa menoleh, bahkan ia pun tidak menunduk ketika Cui Bi sudah berlutut lagi di depannya sambil menangis.

"Hong-ko... demi Tuhan, Hong-ko... jangan kau tinggalkan aku. Aku... aku tidak akan kuat menahan, Hong-ko... aku takkan dapat hidup bila harus berpisah denganmu dan menikah dengan orang lain... Hong-ko, kau kasihanilah diriku..."

Kun Hong meramkan mata, tunduk pun ia tak berani. Ia tahu bahwa sekali ia memandang wajah Cui Bi yang sangat dikasihinya itu, kekerasan hatinya akan hancur dan dia akan melupakan kesopanan, melupakan aturan, melupakan nama dan kehormatan, dan hanya akan memuaskan cinta kasih dan kebahagiaan perasaan hatinya sendiri. Maka seperti orang dalam mimpi ia meramkan mata dan bibirnya berulang-ulang berbisik,

"Tidak, Bi-moi... tidak... tidak... tidak..."

Tiba-tiba Kun Hong mendengar keluhan panjang.

"Hong-ko...!" suara Cui Bi ini sedemikian anehnya dan ia mendengar gadis itu roboh.

Kun Hong membuka matanya dan... ia terbelalak, menjerit,

"Tidak... ahhh, tidak... jangan, Bi-moi... aduh, Bi-moi...!"

Ia menubruk ke depan, menubruk tubuh yang masih hangat itu, yang kini telah telentang dengan pedang menembus dadanya, dengan mata masih terbuka memandangnya penuh permohohan, dengan bibir masih berkomat-kamit memanggil namanya, berbisik-bisik lirih, "Hong-ko... Hong-ko..."

"Cui Bi...! Dewiku! Ahh, Cui Bi, kekasihku... ahhh, Cui Bi...!" Kun Hong menjerit-jerit dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya sambil menangis dan memanggil-manggil.

Darah mengalir keluar dari dada serta punggung gadis itu, membasahi baju Kun Hong. Ketika ia memandang melalui air matanya ia melihat Cui Bi tersenyum puas dan bahagia, bibirnya bergerak, "Hong-ko, aku cinta padamu..." Dan ucapan ini merupakan hembusan napas terakhir.

Gadis jelita itu mati dalam pelukan kekasihnya, mati dalam keadaan bahagia, terbukti dari bibir yang tersenyum itu. Orang-orang di dalam ruangan itu berlari-lari memburu keluar. Segera terdengar pekik dan jerit memilukan. Li Cu menubruk ke depan, merampas tubuh anaknya dari pelukan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu tidak memberikannya.

"Biar dia kupondong..." katanya sambil berdiri, memondong tubuh gadis itu sambil berjalan lambat-lambat kembali ke ruangan tadi.

Langkahnya satu-satu, kaku, matanya memandang lurus ke depan seperti mata patung, mukanya yang tadi dipergunakan untuk mencium dan mendekap gadis itu penuh air mata bercampur darah. Tubuh Cui Bi terkulai dalam pondongannya, rambut gadis itu terlepas dan terurai ke bawah, kedua kakinya yang masih lemas tergantung dan bergerak-gerak ketika Kun Hong membawanya berjalan ke ruangan.

Li Cu menjerit-jerit, masih mencoba merampas mayat anaknya. Beng San memegang lengannya dan merangkulnya, menuntunnya ke dalam ruangan itu, tapi Li Cu masih terus menjerit-jerit.

"Dia anakku...! Kembalikan anakku...! Ah, mana anakku? Ya Tuhan, Kun Hong, kau telah membunuh anakku. Aduhai, Cui Bi... Cui Bi anakku sayang... kenapa menjadi begini? Kun Hong, kau... kau membunuh Cui Bi. Ah, Cui Bi, biji mataku... Cui Bi bangunlah, anakku."

Beng San merangkul isterinya. "Tenang, kuatkan hatimu..." ia menghibur.

"Tenang bagaimana? Menguatkan hati bagaimana? Aku kehilangan biji mataku dan harus tenang? Ya, dia lebih berharga dari pada biji mataku!"

Nyonya itu menangis lagi sambil menjerit-jerit, membuat semua orang merasa terharu dan terutama sekali Li Eng dan Hui Cu, Lee Giok dan Thio Bwee. Lee Giok yang masih adik seperguruan Li Cu merangkul suci-nya itu dan membujuk-bujuk sambil menangis. Hui Cu dan Li Eng memeluki mayat Cui Bi yang oleh Kun Hong sudah diletakkan di atas bangku panjang. Sin Lee dan Kong Bu berdiri mematung, pucat dan juga dari kedua mata mereka runtuh beberapa butir air mata. Hanya Song-bun-kwi terus menerus menenggak arak, agaknya untuk menguatkan hatinya yang hampir lumer menyaksikan semua itu.

Kun Hong telah membaringkan tubuh Cui Bi di atas bangku, lalu berlutut di depan Li Cu. "Bibi, memang aku yang menyebabkan kematian Bi-moi. Kau kehilangan biji mata, Bibi? Ahhh, aku pun kehilangan, kehilangan matahari hidupku. Bibi, aku tidak dapat mengganti seorang Cui Bi kepadamu, akan tetapi aku sanggup mengganti dengan biji mata pula, apa artinya biji mata bagiku kalau aku tak dapat melihat matahari lagi. Terimalah ini, Bibi, biji mataku..."

Sebelum orang lain dapat menduga apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba saja Kun Hong menggerakkan jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya, ditusukkan ke matanya dan di lain saat dua biji matanya telah ia korek keluar dan berada di telapak tangannya yang sekarang diangsurkan kepada Li Cu.

Semua orang berteriak tertahan. Kun Hong masih berlutut tegak dengan tangan kanan diangsurkan dan di atas telapak tangan itu terdapat dua butir mata yang berlumuran darah. Ada pun mukanya yang pucat itu sekarang menjadi mengerikan sekali. Darah bercucuran keluar dari kedua matanya yang sudah berlubang.

Li Cu memandang dengan mata terbelalak, "Kau... kau... aduh, Kun Hong...!"

Li Cu memeluk pemuda itu yang lalu terguling dan pingsan! Beng San menarik isterinya perlahan, lalu menyerahkan kepada Lee Giok, minta supaya diajak ke dalam.

Kwa-Tin-Siong dengan muka pucat memegangi lengan isterinya yang kini menjerit-jerit, sebentar memandang pada puteranya yang menggeletak dengan muka berlumur darah, lalu tidak kuat dia dan membuang muka, memandang lagi dan kalau tidak dipegangi suaminya tentu ia sudah menubruk anaknya itu.

Wajah Kwa Tin Siong seperti Beng San yang berdiri di hadapannya. Kedua orang ini berpandangan penuh pengertian, penuh sesal, penuh kedukaan dan akhirnya Beng San lalu membungkuk memondong tubuh Kun Hong yang pingsan itu, dibawa ke dalam untuk dirawat.

Sunyi di ruangan itu, hanya isak tangis yang terdengar, bahkan kini Song-bun-kwi yang tadinya minum terus-menerus sekarang menjatuhkan muka ke atas meja, menutupi muka dengan dua lengan dan menangis seperti anak kecil, memanggil-manggil nama isterinya, dan nama anaknya, Bi Goat, yang sudah meninggal…..

********************

Betapa pun janggalnya, namun bukanlah hal yang aneh atau tak mungkin terjadi apa bila kita melihat seorang yang menurut penilaian, kita adalah seorang baik, namun mengalami nasib yang amat menyedihkan. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan hal ini merupakan rahasia bagi manusia.

Ada kalanya, apa bila Tuhan menghendaki, seorang yang hidupnya terkenal jahat dapat mengalami hidup yang serba menyenangkan, sebaliknya seorang yang hidupnya terkenal baik dapat mengalami hidup yang sengsara. Tampaknya tidak adil, tetapi sesungguhnya bukan demikian. Ada sebab-sebab tertentu yang menjadi rahasia Tuhan, dan Tuhan tetap Maha Adil. Betapa pun ganjilnya, betapa pun anehnya, manusia wajib menerima, karena baik yang menyenangkan mau pun yang sebaliknya, kesemuanya itu tetap adalah karunia Tuhan
.

Setelah jenazah Cui Bi dimakamkan, Kun Hong tetap dirawat di Thai-san-pai sampai sembuh. Matanya menjadi buta, tidak berbiji lagi. Beng San sendiri yang merawatnya, bahkan di samping merawatnya, Beng San membisiki semua rahasia Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat kepada orang muda itu dan melatihnya mempergunakan telinga bagai pengganti mata.

Kwa Tin Siong dan isterinya serta semua tokoh Hoa-san-pai, termasuk Li Eng dan Hui Cu, telah kembail ke Hoa-san setelah mendapat janji dari Beng San bahwa lain waktu Ketua Thai-san-pai ini akan mengunjungi Hoa-san-pai untuk membicarakan tentang perjodohan kedua puteranya dengan Hui Cu dan Li Eng. Dengan penuh keharuan Liem Sian Hwa memeluk anaknya yang sudah buta itu, minta supaya kalau sudah sembuh anaknya akan segera kembali ke Hoa-san-pai.

Di samping Beng San yang amat tekun merawat Kun Hong, juga Song-bun-kwi sering kali mengajak pemuda itu bercakap-cakap, bergurau dan malah pada suatu hari Song-bun-kwi memberi hadiah sebatang tongkat kepada Kun Hong. Ketika Kun Hong menerima dan memeriksa dengan rabaan tangannya, ternyata tongkat itu bukan sekedar tongkat untuk membantunya mencari jalan, akan tetapi tongkat yang di dalamnya tersimpan pedang Ang-hong-kiam, pedangnya. Ternyata oleh kakek sakti itu, pedang Ang-hong-kiam telah diberi sarung pedang berupa tongkat…..

********************

Beberapa bulan kemudian, di kala Hoa-san-pai merayakan pesta pernikahan yang amat meriah dari Hui Cu dan Li Eng yang menikah dengan Sin Lee dan Kong Bu, Kun Hong juga hadir. Pada malam harinya, malam yang amat bahagia bagi dua pasang pengantin itu, semua orang mencari-cari Kun Hong, akan tetapi orang muda buta ini tidak nampak bayangannya.

Kalau kita menengok jauh ke lereng Bukit Hoa-san-pai, akan terlihatlah bayangan orang buta itu berjalan perlahan, dibantu tongkat pedangnya, meninggalkan Hoa-san, berjalan di bawah cahaya bulan purnama. Bibirnya terus tersenyum-senyum seakan-akan dia dapat pula merasakan kebahagiaan dua pasang mempelai yang merupakan orang-orang yang sangat disayangnya.....

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar