Rajawali Emas Chapter 39

Tongkat itu lewat kemudian langsung membabat kembali dan menyerang dada. Kun Hong terhuyung-huyung mundur, kakinya bergerak…

"Set-set-set!"

Dengan tubuh melengkung ke sana ke mari, dua tangannya dikembangkan, kadang kala ia berdiri di kedua ujung jari kakinya seperti penari balet! Gerakannya lucu seperti badut menirukan penari-penari balet, namun hebatnya, semua serangan Toat-beng Yok-mu tak pernah menyentuh kulitnya.

Sin Lee, Cui Bi, Li Eng dan Hui Cu biar pun sudah mengenal baik pemuda itu, kini tetap meragu dan gelisah.

"Wah, Saudara Kun Hong benar-benar gegabah sekali. Kakek itu lihai dan berbahaya," kata Kong Bu perlahan.

Sin Lee melongo dan memandang dengan mata terbelalak. "Aneh... aneh..."

Ia mengucapkan kata-kata ini berkali-kali karena makin lama makin jelas melihat gerakan-gerakan yang menyerupai gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari ibunya. Kaki itu, tangan itu yang dikembangkan, memang agak berbeda dan tidak ‘asli’ lagi, tapi lebih praktis lebih hebat. Apakah hal ini kebetulan saja?

Akan tetapi orang-orang ini menjadi tenang ketika mendengar suara Beng San perlahan, "Tak usah kuatir. Yok-mo takkan dapat menangkan Kun Hong. Hebat... Hebat orang muda itu..."

Toat-beng Yok-mo menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Ia merasa penasaran sekali, juga merasa dipermainkan di depan banyak tokoh kang-ouw. Tongkatnya bergerak makin cepat tenaganya dikerahkan sehingga tongkatnya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang yang menghadang dan menyerang tubuh Kun Hong dari segala penjuru.

Akan tetapi gerakan pemuda itu hebat sekali. Kelihatannya terhuyung-huyung, jongkok, berdiri, berloncatan ke kanan kiri, malah ada kalanya membanting tubuh bergulingan, ada kalanya menari-menari dengan kedua lengan dikembangkan dan berdiri di ujung jari kaki. Akan tetapi seluruh gerakan ini seirama dengan jurus-jurus serangan Toat-beng Yok-mo sehingga semua penyerangan itu gagal. Menyerang pemuda ini sama susahnya dengan menyerang bayangan sendiri!

"Iblis! Siluman! Hayo balas serang kalau kau memang laki-laki!" teriak Yok-mo dengan suara keras, saking marahnya.

"Sudahlah, Yok-mo. Kau tidak bisa mengalahkan aku, tidak bisa merobohkan aku, apakah kau masih belum mau terima juga?" kata Kun Hong sambil mengelak lagi dari sambaran tongkat dengan cara yang aneh, yaitu tubuhnya bagian atas meliuk ke kanan kiri tanpa menggeser kaki, seperti sebatang rumput alang-alang tertiup angin besar.

Para penonton mulai bersorak-sorak dan terheran-heran. Bahkan golongan tua yang juga menonton pertunjukan ini saling pandang tidak percaya. Apakah Yok-mo yang main-main ataukah mata mereka yang sudah tidak terang lagi? Benar-benar belum pernah mereka melihat hal semacam itu, bahkan teori persilatan yang mana pun belum pernah mereka mendengar apa lagi melihat.

Hanya Beng San seorang yang mengangguk-angguk puas. Dugaannya ternyata tidak keliru. Pemuda itu ternyata mempunyai kepandaian tinggi, malah dia dapat merasa bahwa dasar ilmu yang berupa langkah-langkah sakti itu mirip dengan dasar ilmu silatnya sendiri, mirip dengan dasar Im-yang Sin-hoat.

Hanya bedanya, kalau Im-yang Sin-hoat dikembangkan menjadi ilmu pedang yang sakti, adalah ilmu yang dimiliki pemuda itu bercampur dengan gerakan-gerakan seekor burung sakti. Cara mengelak itu tidak salah lagi mempergunakan unsur Im dan Yang, akan tetapi gayanya adalah gaya pengelakan seekor burung.

Ia makin kagum, lebih-lebih kalau ia ingat betapa pemuda itu dengan rapat sekali dapat menjaga menutupi kepandaiannya yang jelas membayangkan sifat merendah, watak yang tidak suka menonjolkan diri, apa lagi berdasar watak welas asih yang tidak suka melihat bunuh-bunuhan.

"Iblls cilik, buat apa kau memegang pedang? Hayo serang aku bila kau memang memiliki kepandaian!"

"Aku tidak berkepandaian apa-apa, akan tetapi kalau kau minta aku balas menyerang, boleh, Nah, jaga pedangku ini!"

Kun Hong menggerakkan pedangnya yang masih terbalik cara memegangnya itu. Tangan kanannya bergerak seperti memukul biasa dan tahu-tahu pedang itu membabat di pinggir lengannya, seperti seekor ayam jantan menggunakan jalu kakinya untuk menyerang, atau seperti seekor burung menerjang lawan menggunakan kakinya.

Yok-mo menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat pedang lawan terlepas. Akan tetapi, begitu terdengar suara nyaring beradunya dua senjata itu, Yok-mo merasa lengannya sakit-sakit dan tubuh Kun Hong terpental ke atas!

Ternyata tubuh itu ringan sekali sehingga benturan senjata dapat membuat dia terpental, tetapi tidak mempengaruhi keadaannya, malah dari atas ia lalu menukik ke bawah seperti seekor burung mematuk. Pedangnya mendahuluinya menusuk, kedua kakinya bergantian menendang sedangkan tangan kirinya juga menampar dari samping. Sekaligus Yok-mo menghadapi dua tendangan, satu tamparan dan satu tusukan!

"Ahhhh!" Sin Lee berseru sambil berdiri dari kursinya. Itulah gerakan Rajawali Mematuk! Tapi yang ini hebat sekali, lebih hebat dari pada gerakannya sendiri.

Yok-mo terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah pedang sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkatnya terhenti dan tahu-tahu tongkat itu sudah dicengkeram oleh tangan kiri Kun Hong! Ketika Yok-mo hendak membetot, kaki Kun Hong sudah menendang ke arah tangannya sehingga kakek ini terpaksa melepaskan tongkatnya dan melompat mundur. Akan tetapi terlambat, ujung pedang Kun Hong sempat menggaris tengkuknya, membuat luka memanjang yang tidak dalam namun cukup merobek baju dan kulit.

"Ahhh, aku menyesal sekali. Aku tidak sengaja..." Kun Hong berseru dan mengembalikan tongkat kepada Yok-mo.

Saking malunya, muka Yok-mo menjadi merah menghitam. Dia segera menerima tongkat dan tiba-tiba ia menekuk tubuhnya, membungkuk-bungkuk dan merintih-rintih,

"Aduh... aduh... perutku... kambuh sakitnya..."

Kun Hong adalah seorang yang penuh welas asih, sama sekali tidak menaruh dendam kepada kakek itu. Melihat muka orang yang menyeringai kesakitan, dia cepat menyimpan pedangnya dan menghampiri.

"Ada apa? Apanya yang sakit? Biarlah aku memeriksanya, Yok-mo."

Ia lalu berlutut dan mengulurkan kedua tangan memeriksa bagian perut kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba Yok-mo menggerakkan tongkatnya menghantam kepala Kun Hong sambil menendang dengan kaki ke arah dada pemuda itu!

"Heh! Curang!" Tubuh Beng San melayang ke atas panggung.

Juga para penonton berteriak-teriak, "Curang... curang...!"

Kun Hong kaget sekali, tapi dengan cepat tubuhnya meliuk ke belakang, pukulan tongkat pada kepalanya meleset, akan tetapi dadanya kena tendang sehingga ia terjengkang dan bergulingan ke belakang. Anehnya, ia bangun lagi dan sama sekali tidak apa-apa! Namun sebaliknya, Yok-mo muntah-muntah darah lantas roboh dan napasnya putus!

Apa yang terjadi? Kiranya tadi Kun Hong benar-benar hendak mengobatinya dan ketika itu pemuda ini dengan kedua tangannya sudah mencengkeram jalan darah di kanan kiri perut kakek itu. Tentu saja ia melakukan hal ini dengan maksud baik karena hendak mengobati. Siapa kira kakek itu malah memukul dan menendangnya.

Gerakan ini sebetulnya sama sekali pantang bagi orang yang urat perutnya dicengkeram, maka begitu menendang, kakek itu merasa perutnya muak dan sakit. Kiranya urat-urat di dalam perutnya sudah hancur dan membanjir ke dalam perut sehingga nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi.

Kun Hong berdiri melongo. Ia masih belum tahu apa yang menjadi sebab kematian kakek itu. Wajahnya menjadi agak pucat.

"Aku... aku tidak bermaksud membunuhnya... aku tidak membunuh...," katanya berulang kali kepada Beng San yang sudah berada di panggung.

Beng San menepuk-nepuk pundak Kun Hong lalu diajaknya pemuda itu turun panggung. Dia lalu memerintahkan anak buah Thai-san-pai untuk menurunkan mayat Yok-mo dan mengurusnya baik-baik.

"Jangan berduka, Kun Hong, Yok-mo tewas karena kesalahannya sendiri, bukan karena kau." Beng san menghibur, melihat wajah muram pemuda itu. "Kau hendak menolongnya, sebaliknya ia justru membalas dengan tendangan dan pukulan, memang telah kehendak Thian bahwa siapa yang jahat takkan selamat."

Pada saat itu di atas panggung sudah muncul seorang kakek tua bertubuh kecil dengan muka tersenyum-senyum dan sepasang mata liar. Inilah Siauw-ong-kwi, kakek tokoh dari utara yang amat terkenal di dunia kang-ouw.

Kakek ini sebetulnya jeri menghadapi Beng San yang dia tahu memiliki ilmu silat hebat. Akan tetapi karena dalam pengeroyokan kemarin dulu dia yakin betul bahwa Beng San telah terluka dalam parah sekali, sekarang ia hendak mempergunakan kesempatan untuk mengalahkan musuh ini dan mengangkat nama sendiri, sekalian untuk membalas dendam atas kematian muridnya, Giam Kin, di tempat itu. Giam Kin celaka dan tewas oleh Kwa Hong, tapi sekarang Kwa Hong sudah tewas pula, maka sudah sepatutnya ia membalas kepada Beng San.

"Aku menantang kepada Ketua Thai-san-pai untuk menunjukkan kepandaiannya sebagai Ketua Thai-san-pai. Jika ketua Thai-san-pai bersembunyi di belakang orang-orang muda, biarlah kuanggap dia tak berani karena aku tidak sudi melawan orang-orang muda."

Beng San maklum bahwa kakek dari utara ini sengaja menantang dia karena tahu bahwa dia kemarin dulu terluka. Malah harus ia akui bahwa sekarang pun tenaganya belum pulih kembali sedangkan Siauw-ong-kwi terkenal sebagai seorang ahli ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam.

Tentu saja kakek ini baginya bukan apa-apa kalau ia tidak terluka sedemikian hebatnya sehingga hampir saja nyawanya melayang kalau tidak tertolong oleh Kun Hong. Sekarang pun andai kata mereka harus bertanding dengan senjata, pedangnya sudah pasti akan dapat mengatasi kakek ini. Ia bangkit dari tempat duduknya perlahan-lahan.

"Perlu apa melayani orang gila itu?" Li Cu segera melarang. "Biarlah aku saja yang maju melayaninya."

Beng San menggeleng kepalanya dan memberi isyarat kepada isterinya supaya duduk kembali, "Kau tidak boleh bertempur, jaga kandunganmu," jawabnya perlahan.

"Ayah, aku sanggup menghadapinya!" Cui Bi bangkit. "Kesehatanmu belum pulih, biar aku mewakilimu menghajar kakek gila itu."

"Aku pun sanggup menghadapinya," kata Kong Bu.

"Biar aku saja, Ayah," kata pula Sin Lee.

"Paman masih belum sehat benar, biarlah saya mewakili Paman," bahkan Li Eng pun tak mau ketinggalan.

Beng San tersenyum dan hatinya bangga, tapi ia menggeleng kepalanya lagi.

"Siauw-ong-kwi tadi menyatakan takkan melayani orang muda dan ia sengaja menantang kepadaku. Walau pun aku harus menghemat tenaga memulihkan kesehatan, akan tetapi setidaknya satu kali aku harus naik panggung, kalau tidak demikian Thai-san-pai akan dipandang rendah orang. Biarlah, aku masih kuat melayani dia.”

Setelah berkata demikian, Beng San lalu berjalan menuju panggung dengan langkah lebar dan tenang, kemudian meloncat ke atas panggung disambut sorak-sorai para tamu yang mengaguminya. Dengan hormat Beng San menjura kepada tamunya, lalu menjura kepada Siauw-ong-kwi yang kini berdiri di hadapannya sambil memandang tajam dan tersenyum menyeringai.

"Siauw-ong-kwi apakah kau merasa penasaran karena kegagalan kemarin dulu dan ingin merobohkan aku selagi terluka hebat? Mengapa kau begini membenciku, juga membenci Thai-san-pai yang pendiriannya sama sekali tidak merugikan dan menganggumu?"

Sikap sabar mengalah dari Beng San ini diterima keliru oleh Siauw-ong-kwi, dikira bahwa Ketua Thai-san-pai ini takut.

"Ha-ha-ha, kau berani mendirikan perkumpulan persilatan baru, sudah sepatutnya berani menghadapi tantangan. Kebetulan sekali perhitungan lama dapat dibereskan sekarang, kini perlihatkanlah kemampuanmu mempertahankan nama Thai-san-pai yang kau dirikan dengan mengalahkan aku, ha-ha-ha!"

"Siauw-ong-kwi, semenjak dulu kau gemar berkelahi, gemar memperlihatkan kepandaian, apa kau kira di dunia ini tidak ada lain orang yang lebih pandai dari padamu? Kau tahu aku terluka karena pengeroyokan curang, sekarang kau hendak menggunakan keadaanku untuk mendapatkan kemenangan, apakah ini sikap yang patut dipuji dari seorang tokoh besar sepertimu?"

"He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau takut? Ha-ha-ha, lihatlah, aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, kalau takut, pakailah pedangmu, pedang Liong-cu-kiam, biar aku bertangan kosong saja karena kau bilang bahwa kau sedang tidak enak badan," kakek itu tertawa-tawa lagi. Ucapannya ini dikeluarkan dengan keras agar semua tamu mendengar.

Beng San maklum bahwa kata-kata itu dikeluarkan justru agar ia tidak mempergunakan pedangnya. Dia maklum akan kelicikan orang ini, maka ia mengeraskan hatinya, hendak melawan Siauw-ong-kwi tanpa pedang! Ia hendak memperlihatkan bahwa biar pun dalam keadaan terluka, biar pun tanpa pedang, dia masih sanggup mempertahankan kebesaran Thai-san-pai yang baru saja didirikannya.

"Siauw-ong-kwi, dengan senjata mau pun tidak, aku selalu siap melayanimu!" jawabnya dengan tenang, tapi di dalam suaranya yang tenang ini terkandung kekerasan.

Terdengar suara Kun Hong berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu, "Ketua Thai-san-pai sedang menderita sakit, tenaganya belum pulih semua, bagaimana orang tak tahu malu menantangnya berkelahi? Kalau dengan senjata masih mendingan, tapi tanpa senjata, bukankah itu berarti orang mempergunakan tipu muslihat dan hendak mencapai kemenangan secara curang?"

Beng San berterima kasih kepada Kun Hong, akan tetapi ia menoleh dan memberi isyarat dengan tangan agar supaya pemuda itu duduk kembali.

Benar saja, keterangan Kun Hong ini mendatangkan suara berisik di antara para tamu yang sekarang menganggap bahwa Siauw-ong-kwi bersikap licik sekali. Sudah tahu akan keadaan tuan rumah tapi hendak menggunakan kesempatan itu mencapai kemenangan.

Dan diam-diam mereka amat kagum melihat tuan rumah, biar pun tengah menderita sakit tapi berani menyambut tantangan tanpa senjata. Hati mereka berdebar penuh ketegangan karena maklum bahwa sebentar lagi tentu terjadi pertempuran mati-matian.

Siauw-ong-kwi tidak senang mendengar seruan pemuda itu, maka supaya jangan sampai berlarut-larut pikiran dan pendapat para tamu, ia segera menerjang sambil berseru, "Tan Beng San, jagalah pukulanku ini!"

Beng San menangkis pukulan pertama itu.

"Dukk!" dua lengan bertemu.

Siauw-Ong-kwi mundur tiga langkah dan Beng San hanya mundur selangkah, akan tetapi Ketua Thai-san-pai ini merasa dadanya sesak sehingga diam-diam ia mengeluh.

Ia tadi sengaja hendak mencoba tenaga lawan, juga hendak memeriksa keadaan sendiri. Ternyata walau pun tenaganya sebagian besar sudah pulih dan dia sanggup mengatasi lawan, tetapi pengerahan tenaga yang terlalu besar akan membuat lukanya di dalam dada kambuh kembali!

Di lain pihak, Siauw-ong-kwi kaget setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Beng San masih akan mempunyai tenaga sehebat itu. Bukankah kemarin dulu ia melihat sendiri betapa hebat luka-luka yang diderita Ketua Thai-san-pai?

Yok-mo sendiri sebagai seorang ahli pengobatan kemarin dulu menyatakan bahwa Ketua Thai-san-pai itu tidak akan dapat hidup lebih dari tujuh hari melihat luka-lukanya. Mengapa sekarang tidak saja kelihatan sehat, malah tenaganya masih sehebat itu? Diam-diam ia meragu dan mulai menyesal mengapa ia gegabah menantang. Kemarin dikeroyok begitu banyak orang saja mereka tidak mampu menewaskan Beng San, apa lagi sekarang satu lawan satu.

Akan tetapi karena sudah tidak dapat mundur lagi, Siauw-ong-kwi menjadi nekat. Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring tokoh dari utara ini kembali menerjang maju, menggunakan ilmunya yang paling lihai, yaitu pukulan-pukulan dengan ujung lengan baju yang menyembunyikan pukulan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga lweekang hebat, di samping ini diselingi pula dengan ilmu menangkap dan mencengkeram model Mongol.

Makin lama Beng San merasa dadanya makin sesak. Akan tetapi seujung rambut pun ia tidak mundur, sama sekali ia tidak memperlihatkan penderitaannya, malah ia menandingi serangan Siauw-ong-kwi dengan cara keras lawan keras. Semua serangan serta pukulan kakek itu ia tolak mundur dengan pukulan-pukulannya yang mengandung uap putih.

Akan tetapi pukulan-pukulan ini membutuhkan pengerahan lweekang yang hebat, maka tentu saja makin lama keadaan dalam tubuh Beng San semakin payah dan tidak dapat dicegah pula, gerakannya menjadi lambat meski pun ia masih bertekad mempergunakan tenaga dalamnya sekuat mungkin tanpa mempedulikan keselamatan sendiri.

Kelambatan gerakan Beng San ini, kepucatan wajahnya dan sedikit darah yang keluar dari pinggir bibirnya, membuat Siauw-ong-kwi girang sekali. Kini tahulah kakek itu bahwa lawannya ini sebetulnya terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya akan tetapi nekat dan pura-pura tidak menderita.

Melihat gerakan lawan menjadi kendur, cepat seperti kilat Siauw-ong-kwi mencengkeram dan tidak dapat dicegah lagi pergelangan tangan kanan Beng San terancam cengkeraman yang berbahaya sekali. Tidak ada lain jalan bagi Beng San kecuali melawan keras dengan keras. Dia membuka jari-jari tangan kanannya dan menyambut cengkeraman itu dengan cengkeraman pula.

Siauw-ong-kwi tertawa mengejek. Ilmu mencengkeram merupakan ilmu khusus baginya, sedangkan Beng San adalah seorang ahli pedang dan ahli pukulan, bagaimana dalam keadaan terluka dalam berani menyambut cengkeramannya?

Dua buah tangan itu bertemu, tak dapat dicegah lagi jari-jarinya saling cengkeram. Beng San merasa dadanya bagaikan tertusuk-tusuk. Akan tetapi ia menahan napas, kemudian mengerahkan tenaga melawan desakan tenaga dalam lawan.

Sambil menggereng seperti binatang, Siauw-ong-kwi mengangkat tangan kanannya untuk menghantam ke arah kepala Beng San. Ketua Thai-san-pai ini tentu saja tidak mau begitu saja menerima hantaman. Ia mangangkat juga tangan kirinya dan menyambut hantaman itu dengan jotosan pula.

"Dukkk!"

Dua pukulan tangan bertemu di udara, sementara tangan yang satunya masih saling cengkeram. Siauw-ong-kwi mengeluarkan suara seperti orang kena ditendang perutnya sedangkan Beng San gemetar seluruh tubuhnya. Dengan nekat Siauw-ong-kwi memukul lagi, segera diterima lagi oleh kepalan tangan Beng San. Setiap kedua pukulan bertemu, Siauw-ong-kwi tentu mengeluarkan suara,

"Hukkk!" seperti tertendang perutnya sedangkan tubuh Beng San makin keras menggigil.

Akan tetapi kakek itu yang menjadi penasaran dan nekat, memukul terus, selalu ditangkis seperti tadi oleh Beng San.

Pergulatan mati-matian ini diikuti oleh para tamu dengan hati penuh ketegangan dan pihak tuan rumah tentu saja merasa cemas bukan main. Sin Lee, Cui Bi dan Kong Bu sudah berdiri dengan pucat. Hanya karena pencegahan Li Cu saja ketiga orang muda ini tidak meloncat ke atas panggung untuk menolong ayah mereka.

"Jangan bantu, jangan...," Li Cu berkata perlahan dengan suara mengandung isak, "ayah kalian akan marah... hal itu akan hina baginya dan lebih hebat dari pada mati..."

Dapat dibayangkan alangkah gelisah hati Li Cu. Akan tetapi nyonya ini kenal betul akan watak suaminya. Malah ia sendiri pun sebagai puteri pendekar besar dan isteri pendekar sakti, juga mempunyai pandangan yang sama.

Dalam pertandingan satu lawan satu seperti itu, biar pun harus menyaksikan suami tewas di depan mata, tidak mungkin dia mau turun tangan membantu. Berbeda soalnya kalau suaminya dikeroyok seperti yang terjadi kemarin dulu.

Sekarang mereka bertempur di atas panggung, disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, dan Siauw-ong-kwi tadi mengajukan tantangan yang diterima oleh Beng San. Tidak ada kecurangan atau main paksa di sini, yang ada hanya pertandingan bebas seorang lawan seorang, cukup adil biar pun keadaan suaminya sedang sakit.

Kun Hong beberapa kali menutup mukanya. Dia tidak tahan melihat pertandingan yang merupakan perjuangan antara mati dan hidup ini. Namun telinganya masih mendengar pertemuan dua kepalan bertubi-tubi itu.

"Dukk...! Dukk...!"

Ingin dia mencegahnya. Akan tetapi mendengar ucapan Li Cu tadi, dia pun tidak berani bergerak. Tak tega ia melihat muka Beng San karena tadi ia terlihat pucat dan bahkan kehijauan seperti bukan muka manusia lagi, lebih pucat dari muka mayat.

Dia memang tidak mengenal keadaan Beng San yang sebenarnya, tidak tahu bahwa di dalam tubuh pendekar sakti ini sudah mengalir hawa Im dan Yang, yaitu dua hawa yang bertentangan dan amat kuat, yang menghuni tubuhnya sehingga sewaktu-waktu mukanya bisa merah sampai menghitam, dan ada kalanya muka yang gagah itu bisa berubah pucat sampai menghijau. Perubahan warna wajah Beng San adalah pengaruh dari dua macam hawa sakti di tubuhnya itu, terdorong dari keadaan dan perasaannya di waktu itu.

"Dukk...! Dukk...! Dukk...!"

Kedua kepalan tangan itu masih saling bertemu bertubi-tubi dan makin lama makin keras. Siauw-ong-kwi yang merasa penasaran memandang dengan mata mendelik, sebaliknya Beng San yang mukanya kehijauan itu menatap tajam.

Keduanya berhenti sebentar, tangan mereka yang saling mencengkeram masih menjadi satu, napas mereka terengah-engah. Kemudian Siauw-ong-kwi meramkan dua matanya, menahan napas atau lebih tepat menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh tenaganya pada tangan kanannya. Beng San yang maklum akan hal ini pun mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya pada lengan kiri sehingga lengan itu mengeluarkan uap putih.

Siauw-ong-kwi mengayunkan tangan kanan, jari-jarinya dibuka, dengan tangan terbuka menghantam ke depan hebat bukan main. Beng San juga mengayun tangan kiri dengan jari-jari terbuka, didahului uap putih.

"Dessss!"

Kedua telapak tangan berseru, hampir tak mengeluarkan suara, namun akibatnya hebat sekali. Tubuh Siauw-ong-kwi terpelanting sampai ke bawah panggung, bergulingan di atas tanah, sedangkan tubuh Beng San terpental ke belakang, terhuyung-huyung, akan tetapi pendekar ini masih dapat berdiri, lalu tiba-tiba mulutnya dibuka dan... ia muntahkan darah segar banyak sekali.

Li Cu merintih dan mencelatlah tubuhnya ke atas panggung, lalu memeluk suaminya dan dituntun turun panggung perlahan-lahan.

Ada pun Siauw-ong-kwi, sesudah bergulingan kemudian merangkak bangun, tertawa-tawa dengan suara menyeramkan, namun melihat mukanya yang membiru, para tokoh berilmu di sana maklum bahwa kakek ini menderita luka dalam yang luar biasa parahnya. Dari pinggir mulutnya juga mengalir darah menghitam!

Sambil terkekeh-kekeh Siauw-ong-kwi menengok ke sana ke mari, lantas menghampiri tempat tamu di mana rombongan Kun-lun-pai duduk. Ia menghampiri Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi yang segera berdiri dengan ragu-ragu dan curiga karena kakek aneh itu jelas hendak mendekatinya. Siauw-ong-kwi berdiri di depan Bun Lim Kwi dan Bun Wan yang juga sudah bangkit berdiri di sebelah ayahnya menjaga segala kemungkinan.

Siauw-ong-kwi meroboh saku bajunya, mengeluarkan kertas yang digumpal-gumpal lalu... menyambitkan kertas ini ke arah Bun Wan. Pemuda ini cepat-cepat mengulur tangan dan menyambut gumpalan kertas itu. Dia merasa tangannya tergetar namun kertas itu dapat ditangkapnya. Ini saja menandakan bahwa ia telah mewarisi kepandaian ayahnya.

"Heh-heh-heh, selamat... selamat...!"

Secara aneh Siauw-ong-kwi mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi selamat. "Selamat berbesan dengan ketua Thai-san-pai yang sakti!" Lalu ia membalikkan tubuh, terhuyung-huyung, menghampiri Pak-thian Lo-cu, berkata perlahan,

"Suheng, balaskan nyawaku..." lalu ia melompat dan lari terhuyung-huyung, sebentar saja lenyap dari tempat itu.

Bun Wan dan ayahnya duduk kembali. Pemuda ini membuka gumpalan kertas, kedua matanya membaca, wajahnya tiba-tiba pucat dan matanya terbelalak seakan-akan tidak percaya akan isi kertas bertulis itu. Ayahnya melihat hal ini, lalu mengambil kertas dari tangan anaknya dan membacanya. Ketua Kun-lun-pai ini juga membelalakkan sepasang matanya, mukanya merah sekali.

Dia melihat Bun Wan bergerak di kursinya hendak berdiri, lalu ia menyentuh lengannya, diberi isyarat supaya tenang dan duduk kembali. Kadang-kadang dia menengok ke arah rombongan tuan rumah, mukanya sebentar pucat sebentar merah.

Dengan cepat Kun Hong memeriksa keadaan Beng San setelah Ketua Thai-san-pai ini duduk kembali di kursinya.

"Syukur..." bisik pemuda ini perlahan, "isi dada Paman memang tergetar hebat, tenaga dalam hampir habis, akan tetapi benar-benar Paman hebat sekali, dapat menahan semua itu. Tak berbahaya, dengan istirahat beberapa pekan akan sembuh kembali. Tapi Paman sekarang tidak boleh mengerahkan tenaga dalam lagi, bisa berbahaya sekali."

Beng San mengangguk dan tersenyum duka. Tidak disangkanya bahwa perkumpulannya baru dibuka saja sudah harus menghadapi persoalan sehebat ini. Ia juga menyesal akan kenekatan Siauw-ong-kwi yang ia tahu menderita luka parah dan agaknya sukar tertolong nyawanya. Pihak tuan rumah demikian sibuk dan gelisah tadi menyaksikan keadaan Beng San sehingga peristiwa di rombongan Kun-lun-pai tadi tak seorang pun di antara mereka melihatnya.

Sementara itu, di atas panggung berdiri seorang kakek tua renta. Kakek ini bukan lain adalah Pak-thian Locu, Di atas panggung ia kelihatan begitu tua dan kelihatannya lemah sekali sehingga tubuhnya tak pernah dapat berdiri diam, selalu bergoyang-goyang seperti rumput tertiup angin. Agaknya kalau ada angin keras tubuh itu takkan kuat berdiri lagi. Tapi dalam penglihatan para ahli, tubuh yang bergoyang-goyang ini bahkan menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga lweekang yang sudah mencapai puncaknya!

"Haaii, Ketua Thai-san-pai! Kau benar-benar kosen, sudah mampu menewaskan sute-ku. Hayo jangan kepalang, majulah lagi dan lawanlah aku, suheng dari Siauw-ong-kwi. Kalau hari ini aku Pak-thian Locu tewas di tanganmu, aku pun takkan merasa penasaran lagi!"

Mendengar suara ini, Beng San bergerak dalam kursinya. Akan tetapi Li Cu merangkul dan membujuknya, "Kau tidak mungkin sanggup melawannya. Kau tidak boleh bertanding lagi!"

"Ayah, biarkan aku mewakilimu!" kata-kata ini hampir berbareng keluar dari mulut Cui Bi, Kong Bu dan Sin Lee.

Beng San menggoyang-goyang tangannya. "Tidak boleh... tidak boleh... dia lihai sekali. Pukulannya penuh hawa yang tak terlawan, aku pun hampir tidak kuat menandinginya. Tidak boleh kalian maju, kalian... anak-anakku... bisa celaka di tangannya!" Ia bangkit berdiri. "Hanya aku seorang yang kuat menghadapi tenaganya yang mukjijat."

"Jangan... sekarang kau sudah terluka hebat, mana bisa melawannya? Biarlah aku yang melawannya, belum tentu pula aku kalah melawan tua bangka itu!" Li Cu berkata sambil memandang marah ke arah panggung.

"Apa aku gila membiarkan kau dan anak yang kau kandung terancam bahaya? Tidak, ini adalah urusan Thai-san-pai, urusanku. Apa artinya mati dalam mempertahankan nama dan kehormatan? Anak-anak pun tidak boleh maju karena aku tahu pasti bahwa seorang di antara kalian bukan lawannya. Aku seoranglah yang bertanggung jawab!"

"Paman!" tiba-tiba Kun Hong memegang tangan Beng San dan berkata tegas, "Aku tidak mendahului kehendak Tuhan. Akan tetapi aku yakin betul bahwa kalau kali ini Paman bertanding, jangankan bertemu dengan ahli lweekang, biar pun bertemu dengan seorang yang lebih rendah tingkatannya dari Siauw-ong-kwi tadi, Paman akan terluka hebat dan sukar ditolong lagi. Paman biarlah aku saja menandinginya, aku mempunyai akal untuk mengalahkannya."

Beng San tersenyum, menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Kau memang hebat, akan tetapi kakek itu lain lagi, Kun Hong. Tak bisa kau samakan dengan Yok-mo. Kau memang bisa mengendalikan langkah-langkah ajaib itu untuk menyelamatkan diri dari semua serangan cepat, akan tetapi tak mungkin kau dapat menggunakannya untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga lweekang luar biasa. Tidak, tidak layak aku mengorbankan kau yang sudah berjasa sangat besar terhadap Thai-san-pai dan aku." Keputusan Beng San sudah bulat, ia sudah nekat.

Di atas panggung, kakek itu tertawa-tawa, "He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau sedang meninggalkan pesan-pesan terakhir kepada sanak keluargamu? Mengapa kau tak juga muncul? Ataukah barangkali kau takut mati? Kalau begitu kau tak patut menjadi pendiri Thai-san-pai."

Beng San sudah berdiri dan tangan kanannya meraba gagang pedang di punggungnya. "Dengan ilmu pedangku aku akan dapat mengatasinya," katanya lirih.

"Paman, aku mempunyai satu cara untuk membangkitkan tenaga dalammu dalam waktu singkat. Harap Paman suka duduk, biarlah aku mengerjakannya."

Karena sudah percaya betul akan kepandaian Kun Hong mengobati, Beng San percaya saja bahwa pemuda aneh ini benar-benar akan dapat melakukan hal yang luar biasa ini. Memang ia merasa betapa hawa murni di dalam dirinya berputaran kacau, dan ia merasa lemah sekali. Ia lalu duduk dan meramkan mata hendak menerima pengobatan aneh itu.

Kun Hong mendekatinya, berkedip aneh kepada Li Cu, meraba punggung dan leher lalu menotok jalan darah kedua tempat itu dengan amat cepatnya. Seketika Beng San menjadi lemas, tak mampu bergerak lagi dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Pendekar ini kaget bukan main, akan tetapi apa dayanya. Ia hanya dapat memandang kepada pemuda itu yang sekarang telah berjalan menuju ke panggung, kemudian tubuh pemuda itu tahu-tahu melayang ke atas panggung.

Sekarang Kun Hong tidak mau berpura-pura lagi. Ia menghadapi keadaan gawat, maka ia mempergunakan kepandaiannya naik ke panggung. Gerakan ini disambut seruan-seruan heran, bahkan juga dari mulut Li Cu dan para muda.

Li Eng dan yang lain sama sekali tidak tahu cara apa yang dipergunakan oleh Kun Hong untuk melayang naik. Tidak kelihatan pemuda itu menggerakkan kaki mengenjot tanah, tidak kelihatan menekuk lutut untuk menghimpun tenaga meloncat, tapi tahu-tahu kedua lengannya berkembang dan tubuhnya naik ke panggung seperti burung terbang saja. Sin Lee mengenal gerakan ini, akan tetapi ia sendiri tidak akan mampu melakukannya tanpa menekuk dan mengenjot tanah.

Kakek tua renta menyambut kedatangan Kun Hong dengan senyum mengejek kemudian mendengus, "Huh, kau pemuda yang melawan Yok-mo tadi? Apakah, Thai-san-pai begitu pengecut untuk ajukan seorang bocah semacammu? Apa kehendakmu ke sini? Jangan main-main, usiamu masih muda, sayang kalau kau mampus sia-sia saja, orang muda. Heee, Thai-san-pai, lebih baik mengirim tokoh yang lebih sakti dan matang, jangan malah mengirim seorang bocah cilik!"

"Locianpwe, tenanglah dan dengarlah lebih dulu omonganku, biar disaksikan oleh sekalian cianpwe yang hadir di sini," Kun Hong berkata, suaranya terdengar aneh dan menggema seperti suara yang datang dari angkasa sehingga membuat terkejut semua orang, juga kakek itu sendiri.

"Tak perlu disembunyikan lagi bahwa Paman Tan Beng San Ketua Thai-san-pai sedang menderita luka parah dan tidak mungkin dapat bertanding pula. Mungkin para Cianpwe tidak mengetahui, tapi hal ini kau mengetahui baik-baik Locianpwe, bahwa Paman telah menderita luka berat akibat pengeroyokan yang curang. Kau pun termasuk pengeroyok-pengeroyoknya. Namun karena semangatnya sebagai seorang gagah sejati, Paman tadi masih mau melayani Siauw-ong-kwi sehingga berhasil mengalahkan Siauw-ong-kwi, biar pun lukanya menjadi makin parah. Sekarang Paman tidak mungkin dapat melawanmu. Kalau kau orang tua begini bernafsu hendak bertanding melawan Paman Tan Beng San, kau kembalilah barang tiga empat pekan lagi, tentu dengan senang hati Paman akan melayanimu. Kami bersumpah takkan mengeroyokmu seperti yang kau lakukan kemarin dulu terhadap pamanku itu. Sekarang kalau kau suka bersabar dan menanti sampai tiga empat pekan, kau pergilah dan Paman akan menanti kembalimu. Akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kelicikan, menantang Paman selagi beliau tak dapat bergerak, benar-benar kau tidak tahu malu dan biarlah aku yang muda mewakili Paman untuk menghadapimu!"

Semua orang yang hadir tercengang mendengar ucapan yang bergema ini. Mereka heran akan keberanian pemuda ini, dan juga terkejut mendengar betapa Tan Beng San sudah terluka kemarin dulu karena dikeroyok. Orang-orang menjadi berisik.

"Heii, bocah sombong, kau siapakah? Siapa namamu dan apakah kau juga anak murid Thai-san-pai?"

"Namaku Kwa Kun Hong, aku bukan anak murid Thai-san-pai, melainkan anak dari Ketua Hoa-san-pai. Biar pun aku tidak berkepandaian, akan tetapi aku menyediakan selembar nyawaku untuk memberantas ketidak adilan ini. Kakek tua, kau sudah tua, seharusnya kau mencari jalan terang. Pergilah dan padamkan nafsumu, atau kalau kau tetap hendak berkelahi dengan Paman, kembalilah empat pekan lagi."

"Keparat, aku tetap menantang Ketua Thai-san-pai sekarang juga!"

"Kalau begitu, akulah lawanmu."

"Kau berani melawan aku, bocah ingusan?"

"Yang benar tidak akan penah mengenal takut, kalah menang bukan soal."

"Monyet kecil, bila kau tidak roboh dalam sepuluh jurus pukulanku, kau akan kusembah!"

"Aku tidak butuh kau sembah, kalau mau pukul terserah."

Tidak kelihatan tangan kakek itu bergerak, tapi tahu-tahu angin menyambar mendahului gerakan tangan kanan kakek itu mendorong ke arah tubuh Kun Hong.

Pemuda ini sudah kuat sekali nalurinya, maka dia segera mengerjakan langkah-langkah Kim-tiauw-kun. Ujung bajunya berkibar terkena angin pukulan, akan tetapi tubuhnya sama sekali tidak terkena. Angin pukulan ke dua datang menyambar. Kakek itu masih berdiri di tempatnya, hanya kini kuda-kudanya miring, tangan kirinya mendorong dari samping.

Kun Hong masih terus melangkah terhuyug-huyung dan…

"Brakkk!"

Papan di belakang Kun Hong amblong terkena angin pukulan yang hebat itu! Para tamu mengeluarkan suara kaget. Ilmu pukulan sehebat itu baru sekali ini mereka saksikan dan tadinya mereka sangka hanya terdapat dalam dongeng belaka.

Makin lama makin penasaran kakek itu, pukulannya makin hebat sehingga di sana-sini papan menjadi pecah dan amblong. Namun dengan gerakan tenang tetapi aneh, bukan main pemuda itu menjalankan langkah-langkah ajaibnya sehingga pukulan terdekat hanya membuat rambutnya berkibar awut-awutan, namun belum juga mengenai tubuhnya.

“Sudah sepuluh jurus!" terdengar teriakan dari bawah panggung, teriakan seorang tamu yang merasa penasaran terhadap kakek itu.

Pak-thian Locu berhenti, tubuhnya bergoyang-goyang, tertawa lalu tiba-tiba ia berlutut.

"Orang muda, sekarang aku akan menyembahmu!" Kedua tangannya bergerak dan pada saat itu terdengar seruan nyaring sekali.

"Orang muda, awasss!"

Akan tetapi terlambat! Kun Hong yang tadinya terheran-heran karena melihat kakek itu benar-benar berlutut dan hendak menyembah, tiba-tiba merasa ada angin yang luar biasa keras dan kuatnya menyambar dari depan. Ia cepat merendahkan dirinya, melipat diri dan menutupi muka seperti trenggiling melingkar sambil mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya.

Tubuhnya seperti didorong oleh tenaga raksasa dan melayang keluar hingga turun dari panggung! Ia terbanting dan bergulingan, akan tetapi segera meloncat berdiri dan tidak apa-apa! Dengan tenang sekali Kun Hong melompat lagi ke atas panggung.

Akan tetapi di atas panggung telah berdiri seorang kakek tinggi besar, Song-bun-kwi yang memandang kepada Pak-thian Lo-cu dengan mata mendelik.

"Tua bangka gila! Tak tahu malu benar engkau, melawan seorang bocah mempergunakan akal muslihat curang!"

"He-he-heh, Song-bun-kwi iblis jahat. Apakah kau pun sekarang hendak menjilat pantat Thai-san-pai?"

Dari bawah panggung terdekar suara Beng San. "Gak-hu (Ayah Mertua), harap jangan mengeroyok!"

Ternyata setelah Kun Hong bertempur, Li Cu membebaskan totokan pada diri suaminya sehingga pendekar ini dapat bergerak dan bersuara lagi. Ia tahu bahwa betapa pun juga, dalam diri Kun Hong bersembunyi kepandaian yang sukar dijajaki, maka melihat cara Kun Hong menerima pukulan tadi, ia menjadi lega dan harapannya membesar.

Karena pemuda ini sedang berjuang atas nama Thai-san-pai, maka dia tidak setuju kalau mertuanya membantu, membikin cemar nama Thai-san-pai, sungguh pun ia girang sekali menyaksikan perubahan sikap ayah mertua yang aneh ini.

"Kakek, jangan mengeroyok, memalukan saja!" Kong Bu juga berseru kepada kakeknya.

Song-bun-kwi menoleh, matanya mendelik, "Tak puas hatiku kalau aku belum memukul!" tubuhnya merendah hampir berjongkok, kedua tangannya mendorong ke depan.

Itulah ilmu pukulan jarak jauh dari Ilmu Silat Yang-sin Kun-hoat yang paling diandalkan. Kakek tua renta itu cepat menolak dengan kedua tangannya pula dan tubuh Song-bun-kwi terlempar sampai dua meter ke belakang, hampir saja terguling dari atas panggung.

"Hebat tenagamu, tua bangka!" berseru Song-bun-kwi dan ia tak dapat turun tangan pula karena pada saat itu Kun Hong sudah berkelebat lewat di sampingnya.

"Orang muda Hoa-san-pai, kau berhati-hatilah!" Song-bun-kwi berseru sambil melompat turun.

Kakek yang gagah ini baru sekarang selama hidupnya melihat orang muda yang begini aneh, malah lebih aneh dari pada Beng San ketika masih muda dahulu, maka timbullah simpatinya. Melihat Kun Hong tidak apa-apa dan sudah naik, kakek itu tercengang, lalu ia mengeluarkan sebatang pedang yang tipis dan ringan sekali berwarna putih seperti perak.

Ia tahu bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun agaknya memiliki kesaktian, maka ia tidak mau mencoba-coba lagi seperti tadi. Melihat kakek tua itu mengeluarkan pedang, Kun Hong juga mencabut Ang-hong-kiam dari balik jubahnya. Sinar merah lantas memancar ketika ia mencabut pedangnya.

"Heh, bukankah itu Ang-hong-kiam? Dari mana kau dapat?" Kakek itu menegur, kelihatan kaget.

Akan tetapi dasar manusia licik, sebelum dijawab pedangnya sudah menerjang dengan lambat sekali, tapi jangan dikira tidak berbahaya karena angin serangan pedang ini sudah cukup memisahkan kepala lawan dari badannya!

Kun Hong cepat mengelak dan bersilat dengan Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dahulu ia latih di dalam goa. Gerakan-gerakannya aneh sekali, caranya memegang gagang pedang juga aneh dan lucu. Berkali-kali Kun Hong diserang dan ia masih belum juga membalas. Ia sedang memperhatikan cara lawan mempergunakan pedang, akan tetapi sebegitu jauh belum dapat ia menjajaki.

Ilmu pedang lawannya juga aneh dan banyak ragamnya. Memang kakek setua ini sudah terlalu banyak mempelajari ilmu silat sehingga jurusnya ia robah-robah dan ia ganti-ganti. Baiknya Kun Hong terus menggunakan langkah-langkah ajaib sehingga dapat menghindar dengan tepat.

"Hong-ko, balas serangan!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring.

Itulah suara Cui Bi. Suara ini membuat dua orang di antara para tamu menengok dengan mata terbelalak marah, yaitu mata Bun Lim Kwi dan Bun Wan.

Mendengar seruan ini, barulah Kun Hong teringat bahwa di dalam pertempuran, ia harus membalas serangan kalau tidak mau kalah. Maka dia lalu mulai menyerang. Akan tetapi alangkah ganjilnya, pedangnya tidak menyerang tubuh orang melainkan menyerang udara di sekitar tubuh lawan itu.

Hebatnya, kakek itu berseru keras dan selalu menangkis atau mengelak tiap kali pedang Kun Hong berkelebat. Kiranya hanya gayanya saja menyerang udara untuk membuat lawan lengah, padahal dilanjutkan dengan serangan yang berbahaya dan jitu. Tiba-tiba malah Kun Hong membentak dan pedangnya menusuk ke arah dadanya sendiri!

Cui Bi sampai terteriak kaget melihat ini, tapi ayahnya menyentuh tangannya menyuruh ia diam. Sejenak kakek tua renta itu pun kaget dan heran, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika pedang yang hampir menyentuh dada Kun Hong itu, tiba-tiba saja membalik dan mempergunakan kesempatan selagi ia terheran-heran, ujung pedang sudah dekat sekali dengan lehernya.

"Celaka, mengelaklah, orang tua!" seru Kun Hong.

Jurus ini adalah jurus yang mukjijat dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun, maka tak dapat ia tarik kembali dan ia sudah ngeri melihat betapa ujung pedangnya akan menembus leher kakek itu. Hanya dengan menggulingkan diri ke atas papan saja kakek itu dapat menyelamatkan diri. Ia bergulingan terus dan…

"Brakk!" tahu-tahu kakinya terjeblos kedalam lubang di papan yang tadi amblong oleh pukulannya sendiri.

Lucu sekali keadaan kakek itu. Ia terperosok sampai ke pinggangnya, dan hanya badan bagian atas saja yang tampak, kedua tangannya melambai-lambai ke atas.

"Tolongg...!"

Dasar sudah tua sekali ia menjadi pikun. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari lubang itu. Akan tetapi ketuaannya dan kepikunannya membuat ia kebingungan setengah mati dan berseru minta tolong!

Di antara para tamu ada yang tertawa-tawa dan bersorak-sorak saking gelinya melihat ini. Para tokoh tua, termasuk Song-bun-kwi, menyumpah-nyumpah dan menggeleng-geleng kepala.

Kalau Kun Hong pada saat itu menyerang, kiranya kakek itu takkan mampu membela diri lagi karena sedang kebingungan, berkutetan dalam usahanya membetot tubuhnya keluar. Akan tetapi, bukan kakek itu saja yang pikun sehingga kelakuannya aneh, pemuda ini malah lebih aneh lagi. Ia memegang pedang dengan tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan mendekati kakek itu dan berkata lembah-lembut bagai seorang dewasa menolong seorang kanak-kanak.

"Mari kubantu, Locianpwe, peganglah tanganku nanti kutarik keluar."

Pak-thian Locu girang. Dia memegang tangan kanan Kun Hong yang segera menariknya keluar dari lubang itu. Akan tetapi begitu dirinya sudah tertolong kakek itu ingat kembali akan pertandingan mereka. Pedang di tangan kanannya mendadak menyambar ke arah leher Kun Hong.

Pada saat itu, tangan kanan Kun Hong masih saling berpegang dengan tangan kiri kakek itu sedangkan pedangnya masih ia pegang dengan tangan kiri, keadaannya amat tidak menguntungkan. Namun berkat nalurinya yang tajam, menghadapi serangan ini ia dapat bereaksi cepat sekali. Tangan kirinya mengangkat pedang dan menangkis sambil menarik kembali tangan kanan yang menolong kakek itu tadi.

"Tranggg!"

Dua pedang bertemu, pedang putih dan pedang merah, dan... Kun Hong langsung roboh terguling-guling saking hebatnya tenaga kakek ini.

Pak-thian Locu tertawa senang, pedangnya terus menyambar ke arah tubuh Kun Hong yang cepat mengelak sambil bergulingan dan segera meloncat berdiri lagi. Akan tetapi kini permainan pedang kakek itu aneh sekali gerakan-gerakannya, membuat ia bingung dan hanya dapat berloncatan ke sana ke mari mengandalkan langkah-langkah ajaib. Memang kepandaian kakek itu amat tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian Kun Hong.

Sekali ini Kun Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk balas menyerang, bahkan langkah-langkah ajaibnya hampir tidak manjur lagi setelah bertempur seratus jurus lebih lamanya. Pak-thian Locu bukanlah orang yang terlalu bodoh. Setelah langkah-langkah ini terus menerus dilakukan oleh Kun Hong, maka Pak-thian Lo-cu mulai dapat mengikutinya dan dapat mengocar-ngacirkan gerak langkah Kun Hong.

Sekarang pemuda itu mulai didesak hebat, kadang-kadang langkahnya bahkan dipapaki serangan, membuat dia bingung dan kacau gerakan kakinya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar