Rajawali Emas Chapter 37

Di pihak Bun Lim Kwi yang sekarang sudah kelihatan setengah tua dan masih gagah, ia tertawa terbahak-bahak menyaksikan sikap calon menantunya yang malu-malu itu. Sikap demikian adalah wajar, maka dia tidak merasa tersinggung malah tertawa bergelak.

Ada pun Bun Wan yang mengerling pada saat gadis itu tadi memberi hormat kepada ayahnya, merasa jantungnya berdebar. Bukan main tunangannya itu! Cantik jelita seperti bidadari, melampaui segala yang pernah ia impikan. Diam-diam ia memberi selamat pada diri sendiri atas kemujuran ini.

Cui Bi diam-diam gelisah sekali melihat betapa akrab pergaulan antara orang tuanya dan Ketua Kun-lun-pai itu. Ia tetap bersembunyi sampai tamu-tamu yang disambut hangat ini sudah dipersilakan duduk kembali ke daerah kursi kehormatan.

Hidangan berupa arak dan daging mulailah dikeluarkan dan keadaan menjadi semakin meriah.

Dengan amat singkat Beng San membuka pertemuan itu sambil berdiri di atas panggung. Suaranya lantang terdengar jelas karena semua orang menghentikan percakapan mereka untuk mendengarkan.

"Cuwi sekalian yang terhormat. Sebagai Ketua Thai-san-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih dan selamat datang atas kunjungan dan perhatian saudara sekalian sebagai saksi dari pendirian partai baru yang kami dirikan, yaitu Thai-san-pai. Terima kasih pula kami ucapkan atas pemberian selamat dan bingkisan-bingkisan, semoga hal ini akan bisa mempererat persaudaraan di antara kita dan semoga Thian yang akan membalas segala kebaikan saudara sekalian. Kepada para saudara yang datang dengan kandungan hati yang tulus ikhlas kami persilakan menikmati hidangan sekedarnya. Ada pun mereka yang mengandung maksud lain, segala rasa penasaran yang terpendam, sekaranglah kiranya terbuka kesempatan bagi mereka itu untuk mengeluarkannya agar disaksikan oleh semua tamu yang terhormat."

Setelah berpidato singkat ini, Beng San kembali ke tempat duduknya. Kata-katanya yang terakhir itu singkat saja, namun langsung menikam mereka yang memang datang bukan mengandung niat baik

Kata-kata ini diucapkan bukan tanpa alasan, tetapi karena memang sudah ada kejadian yang menunjukkan bahwa di antara para tamu yang datang terkandung pula niat yang buruk. Hal ini terbukti dari adanya orang yang membunuh anak murid Thai-san-pai, juga mereka yang berusaha mati-matian untuk memecahkan jalan rahasia, dan mereka yang telah menculik Cui Bi serta mengeroyoknya.

Beng San terpaksa mengeluarkan pernyataan ini karena dari atas panggung tadi ia masih belum melihat tokoh-tokoh yang mengeroyoknya dua hari yang lalu, juga tidak kelihatan adanya Giam Kin.

Dari tempat ia duduk, sepasang mata Beng San yang amat tajam itu menyapu para tamu dan terlihat jelas olehnya kini betapa di antara para tamu itu terdapat bekas-bekas lawan dan orang-orang yang selama ini menganggapnya sebagai musuh. Diam-diam pendekar ini menggolongkan para tamunya menjadi tiga golongan.

Pertama-tama tentu saja golongan para sahabat baik yang datang khusus untuk memberi selamat dan ikut bergembira dengan pendirian Thai-san-pai, mereka ini antara lain adalah Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, tokoh-tokoh Pek-lian-pai dan beberapa tokoh kang-ouw yang dikenalnya baik.

Golongan ke dua adalah golongan yang selama ini memusuhinya dan di antara golongan ini ia mengenal beberapa tosu Ngo-lian-kauw, orang-orang Bu-eng-pai yang dipimpin oleh seorang wanita tua yang ia kenal, yaitu Ang Kim Nio. Juga ia melihat adanya tokoh-tokoh bajak sungai dari Huang-ho yang tentu tidak senang hati mereka sejak Ho-hai Sam-ong terbunuh oleh Li Cu.

Ada pula Koai-sin-kiam Oh Tojin yang dulu membantu kakak kandungnya yang jahat, Tan Beng Kui, dan masih banyak lagi orang-orang dari golongan jahat. Dia menduga bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok kemarin dulu, tentu bersembunyi dan nanti juga akan muncul kalau sudah tiba saatnya. Orang-orang itu memang termasuk tokoh-tokoh aneh, tidak seperti kebanyakan.

Ada pun golongan ke tiga adalah yang tidak mudah diraba bagaimana nanti sikapnya. Di dalam golongan ini termasuk pula para wakil Siauw-lim-si, dan sungguh pun Siauw-lim-pai tidak langsung memusuhinya, namun ia melihat dua orang di antara mereka adalah Hek Tung Hwesio dan Pek Tung Hwesio yang dahulunya dianggap sudah melarikan diri dari Siauw-lim-pai dan menjadi musuh mendiang Cia Hui Gan. Malah pernah dua orang ini dikalahkah oleh Li Cu.

Juga guru silat kota raja Lai Tang si pongah itu yang sukar dijajaki isi hatinya. Dan masih banyak orang-orang aneh dari selatan yang tidak dikenalnya namun yang jelas memiliki kepandaian tinggi.

Suasana makin menegang ketika para tamu sudah minum arak dan minuman keras ini agaknya membuat mereka mulai terlepas bicaranya dan keadaan makin berisik. Namun keadaan tuan rumah dan orang-orang muda yang menemaninya itu tetap tenang-tenang saja, seakan-akan tidak tahu akan perbuatan ini.

Beng San maklum bahwa perkumpulan yang baru didirikannya itu hanya mempunyai tiga puluh lebih orang anggota, tak boleh dibilang cukup kuat untuk menghadapi bahaya. Akan tetapi ia percaya kepada diri sendiri, apa lagi di situ ada isterinya yang lihai dan terutama sekali karena sekarang di samping Cui Bi yang ia tahu tak lihai dari ibunya, terdapat pula anaknya yang baru tiba, Sin Lee, Kong Bu.

Ia maklum bahwa dua orang puteranya ini adalah bocah-bocah gemblengan, bahkan ia boleh mengandalkan tenaga murid-murid Hoa-san-pai terutama Li Eng. Hui Cu memang belum begitu tinggi ilmunya sedang Kun Hong tetap merupakan tokoh penuh rahasia bagi Beng San.

Pemuda ini sama sekali tidak pernah mau mengaku bahwa ia memiliki kepandaian tinggi, dan karena Beng San merasa berhutang nyawa, maka pendekar ini tidak berani untuk mencoba-coba. Biar pun masih amat muda, sikap Kun Hong seperti seorang yang sudah tua, membuat orang tidak berani main-main kepadanya.

Di samping kekuatan keluarga sendiri yang cukup membesarkan hati ini, di sana masih banyak sahabat-sahabat yang kiranya takkan berpeluk tangan kalau melihat Thai-san-pai diganggu penjahat. Terutama sekali tentu saja, calon besan dan calon mantunya Bun Lim Kwi dan Bun Wan.

Cuma seorang saja yang kadang-kadang membuat Beng San berdebar, yaitu Pak-thian Locu. Apa bila kakek itu nanti muncul, tidak ada orang lain yang boleh diandalkan untuk menghadapinya kecuali dia sendiri. Kakek itu terlampau lihai, dan tingkatnya sudah tinggi sekali sehingga dia sendiri pun masih ragu-ragu apakah akan dapat mengatasinya.

Beberapa orang tamu sudah mulai mabuk dan tiba-tiba Lai Teng guru silat pongah yang tinggi besar itu berdiri dari bangkunya. Agaknya teman-temannya semeja sudah berhasil menghasutnya dan sekarang dia berdiri dengan kaki terpentang dan dia bertepuk tangan beberapa kali untuk menarik perhatian.

Setelah semua orang memandangnya, ia pun mulai berkata dengan suara nyaring, "Heii! Thai-san-pai ini partai macam apa sih? Perkumpulan para pengejar huruf, para pengejar konde, ataukah perkumpulan orang-orang gagah? Jika ketuanya seorang ahli silat tinggi, seorang raja pedang, kenapa perayaan ini begini adem? Membosankan!"

Ucapan ini terang merupakan penghinaan yang sengaja dikeluarkan untuk memancing keributan. Akan tetapi Beng San dan keluarganya hanya memandangnya dengan sikap tenang-tenang saja.

Terdengarlah pekik sorak di sana-sini, terutama dari mereka yang memang ingin segera menyaksikan keributan terjadi di tempat itu. Ada suara dari sudut berseru, "Lai-kauwsu, kau mempunyai julukan Si Cakar Naga, di kota raja siapa yang tidak pernah mendengar nama besarmu? Tetapi di sini, jangan kau main-main. Apa kau berani memperlihatkan kepandaianmu di panggung? Jangan-jangan kau akan diketawai Thai-san-pai!"

Semua orang menengok untuk melihat Si Pembicara, akan tetapi tidak ada yang tahu betul siapa yang menguacapkan suara tadi. Hanya orang-orang pandai di antara tamu dan tentu saja pihak tuan rumah yang tahu bahwa suara ini dikeluarkan oleh seorang pandai yang mempunyai ilmu khikang tinggi sehingga dapat memindahkan arah suaranya. Orang yang pandai dengan ilmu ini, biar pun ia berdiri di sebelah barat, suaranya dapat terdengar seperti datang di sebelah timur.

Beng San maklum bahwa orang yang memusuhinya mulai ‘membakar’ suasana. Namun dia tenang saja dan memang sudah siap menghadapi segala kericuhan yang disengaja oleh para lawannya. Sebagai sebuah partai baru, Thai-san-pai harus bisa memperlihatkan keangkerannya, harus dapat menjaga nama, dan keadaan yang sekarang dia hadapi ini merupakan ujian berat namun baik sekali.

Lai Tang Si Cakar Naga ikut menengok juga akan tetapi karena tidak dapat melihat orang yang mengeluarkan kata-kata itu, ia segera melihat ke arah panggung dan kemarahannya sudah meluap.

"Siapa takut diketawai dan siapa berani menertawai aku?"

Tubuhnya melayang dan ia sudah naik ke atas panggung yang memang disediakan itu. Ketika melayang ke atas papan panggung itu, tubuhnya seperti daun kering saja, amat ringan dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara. Menyaksikan ginkang yang cukup hebat ini, para tamu yang muda dan yang tidak begitu tinggi tingkat ilmunya, segera bertepuk tangan riuh-rendah memuji.

Lai Tang yang disoraki ini ‘mendapat hati’. Sambil petantang-petenteng ia berkata ke arah rombongan tuan rumah.

"Tidak ada partai baru didirikan tanpa diuji. Thai-san-pai adalah partai baru, tapi siapa pernah mendengar tentang ilmu silat Thai-san-pai? Dalam perayaan semacam ini, sudah sepatutnya Thai-san-pai memperlihatkan isinya. Biarlah aku menjadi orang pertama untuk belajar kenal dengan kelihaian ilmu siiat Thai-san-pai!"

Kong Bu bergerak dari bangkunya, juga Sin Lee mengepal tinju, akan tetapi Beng San memberi isyarat kepada dua orang puteranya itu untuk menahan diri dan bersikap sabar, kemudian ia menggapai kepada Oei Sun, murid kepala yang berdiri di rombongan para murid Thai-san-pai.

Isyarat ini cukup dapat dimengerti oleh Oei Sun yang dengan langkah tenang kemudian menghampiri panggung. Setelah menjura ke depan Beng San dan Li Cu, murid kepala ini lalu melompat ke atas panggung, menghadapi Lai Tang sambil tersenyum dan memberi hormat.

"Lai-kauwsu, atas perkenan ketua kami, saya diwajibkan melayani Kauwsu yang datang sebagai tamu dan kami Thai-san-pai sebagai tuan rumah wajib melayani semua kehendak tamu. Harap Kauwsu ketahui bahwa Thai-san-pai didirikan bukan sekali-kali bermaksud untuk menjagoi, terlebih-lebih pula sama sekali bukan didirikan dengan maksud mencari permusuhan dengan orang atau pihak mana pun juga."

"Ha-ha-ha-ha!" Lai Tang tertawa bergelak. "Kalau begitu, apakah Thai-san-pai merupakan sebuah perkumpulan yang mengajar seni tari, ataukah kebatinan, apakah perkumpulan bermain judi? Apakah Thai-san-pai bukan perkumpulan silat?"

Merah muka Oei Sun mendengar ejekan ini, namun mulutnya masih tersenyum ramah dan tenang. "Lai-kauwsu, sudah tentu saja guru kami mendirikan sebuah perkumpulan silat dan Thai-san-pai adalah perkumpulan silat karena ketuanya adalah seorang ahli silat yang sudah dikenal oleh seluruh dunia. Akan sama sekali bukan perkumpulan silat yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi orang pongah dan sombong. Semua anak murid Thai-san-pai mempelajari ilmu silat hanya untuk memenuhi kehendak guru dan memenuhi sumpah Thai-san-pai, yaitu menggunakan kepandaian silat untuk memberantas kejahatan dan kelaliman, menegakkan kebenaran serta keadilan, mengabdi kebajikan, bukan untuk menjadi jagoan yang berlagak tengik!"

Lai Tang merasa disindir dan matanya melotot. "Bagus sekali! Kalau begitu ingin sekali aku menguji ilmu silat Thai-san-pai, apakah sudah cukup tinggi untuk sanggup membuat anak-anak muridnya menjadi pendekar. Silahkan ketuanya maju, biar aku Lai Tang mohon sedikit pelajaran."

Oei Sun juga sudah marah. "Lai-kauw-su, aku Oei Sun adalah murid Thai-san-pai. Suhu sudah memerintahkan aku untuk melayanimu, jadi kalau kau sebagai tamu menghendaki pertandingan untuk menguji ilmu silat, silakan, aku bisa melayanimu."

"Ahh, begitukah? Nah, kau terimalah seranganku ini!"

Lai Tang serta merta menerjang dengan serangannya dan agaknya guru silat ini hendak mencapai kemenangan dalam waktu singkat karena begitu menerjang dia telah mainkan ilmu silatnya yang paling diandalkan dan yang membuat dia dijuluki Si Cakar Naga, yaitu ilmu silat yang dia namakan Liong-jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga).

Ilmu silat ini dimainkan dengan kedua tangan terbuka, dan jari-jari tangan dipergunakan untuk mencengkeram sedangkan pukulan dilakukan oleh pangkal tangan. Disertai tenaga lweekang yang kuat, ilmu Liong-jiauw-kang ini memang berbahaya sekali karena selain memukul, kedua tangan itu dapat mencengkeram atau menangkap.

Pada hakekatnya ilmu Liong-jiauw-kang ini tiada bedanya dengan ilmu Eng-jiauw-kang. Akan tetapi dasar Lai Tang orangnya sombong, ia mengadakan perubahan pada ilmu Silat Eng-jiauw-kang ini dan menganggap bahwa ilmu silat ini merupakan ciptaannya, malah ia memakai julukan Si Cakar Naga segala!

Oei Sun adalah murid pertama dari Beng San. Biar pun bakatnya tidak amat baik, namun karena ketekunannya mempelajari ilmu silat selama belasan tahun, bahkan selama dua puluh tahunan ini, tentu saja ilmu silatnya sudah cukup tinggi.

Beng San serta Li Cu memang tidak melihat bakat baik pada dirinya, namun Oei Sun memiliki kejujuran, kesetiaan dan keteguhan hati. Pasangan suami isteri ini menemukan Oei Sun ketika pemuda ini di suatu dusun mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok untuk membela penduduk di situ, padahal ia sama sekali tidak tahu ilmu silat.

Sifat gagah dan jiwa ksatria inilah yang menarik hati Beng San. Karena Oei Sun tidak mempunyai sanak keluarga, dia lalu diajak ke Thai-san dan diberi pelajaran ilmu silat. Oei Sun amat setia dan malah sampai sekarang dia tidak pernah beristeri.

Tentu saja Beng San tidak menurunkan ilmu-ilmu seperti Im-yang Sin-hoat atau ilmu silat isterinya Sian-li Kun-hoat kepada Oei Sun, hanya puteri mereka saja yang mewarisi kedua ilmu ini. Namun Beng San mengajarnya Thai-san Kun-hoat yang dia ciptakan bersama isterinya. Dalam Ilmu Silat Thai-san Kun-hoat ini terkandung beberapa pukulan-pukulan penting dari kedua ilmu silat di atas.

Melihat datangnya penyerangan Lai Tang yang cepat dan bertubi-tubi itu, Oei Sun dengan tenang menggeser kaki ke belakang dan beberapa kali ia mengelak dengan cepat sambil memperhatikan gaya permainan lawan. Memang beginilah sikap anak murid Thai-san-pai, apa bila diserang lawan, tidak buru-buru membalas melainkan menangkis atau mengelak beberapa kali sambil memperhatikan gaya lawan untuk mencari kelemahannya.

Pada hakekatnya, dasar ilmu silat Lai Tang tidaklah hebat, maka setelah mengelak lima kali saja Oei Sun sudah dapat mengetahui kelemahan lawan. Cengkeraman yang menjadi pokok penyerangan itu dilakukan dengan tangan bergerak dari depan dada sehingga siku lengan itu menjulur ke depan dan inilah kelemahah Lai Tang.

Setelah mengelak dan menangkis beberapa belas jurus lamanya, Oei Sun mulai mencari kesempatan. Pada waktu dia mengelak dari cengkeraman tangan kanan, tangan kiri Lai Tang sudah siap, lengannya ditekuk dengan tangan di depan dada. Saat itulah Oei Sun cepat memukul ke depan, tepat pada siku kiri Lai Tang, mengarah ke jalan darah pada sambungan siku.

"Aduh...!" Lai Tang terhuyung mundur, mukanya pucat dan tangan kanannya memegangi siku kiri yang terlepas sambungannya oleh pukulan tadi!

Oei Sun cepat menjura sambil tersenyum, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu sudah suka mengalah kepadaku."

'"Keparat! Jangan sombong dulu, aku belum kalah!" teriak guru silat kasar ini dan tangan kanannya tahu-tahu telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya.

Biar pun lengan kirinya sudah lumpuh karena sambungan sikunya terlepas ia masih dapat bergerak cepat dan goloknya menyambar ke arah leher Oei Sun. Semua orang terkejut melihat gerakan golok yang amat cepat datangnya, namun Beng San yang menonton dari kursinya hanya tersenyum tenang saja. Muridnya itu biar pun kurang berbakat, namun cukup teliti dan terlatih sehingga kalau hanya menghadapi seorang lawan kasar macam Lai Tang saja pasti tak akan memalukan.

"Eh, Lai-kauwsu hendak main-main dengan senjata?” seru Oei Sun sambil menundukkan kepala dan menggeser kaki ke kiri, tangan kanannya bergerak dan tercabutlah sebatang pedang dari pinggangnya.

Ketika golok lawannya menyambar lagi dari samping, dia menangkis sambil menyelinap maju dan tahu-tahu pedangnya sudah melanjutkan tenaga tangkisan atau benturan itu merupakan tusukan ke arah lambung. Lai Tang dapat menangkis pula dan bertandinglah dua orang ini dengan seru.

Harus dipuji juga keuletan Lai Tang. Lengan kiri yang lumpuh itu menghambat gerakan-gerakannya, tapi dia tidak mau menyerah mentah-mentah dan goloknya yang digerakkan dengan tenaga besar menyambar-nyambar ganas.

Namun menghadapi ilmu pedang Oei Sun, jelas bahwa ia kalah setingkat. Ilmu pedang Thai-san-pai yang dimainkan Oei Sun adalah pecahan dari Im-yang Kiam-hoat dan Sian-li Kiam-hoat, hebatnya bukan kepalang, juga amat indah ditonton.

Belum sampai dua puluh jurus pandang mata Lai Tang menjadi kabur, kepalanya pening dan melihat lawan seakan-akan sudah berubah menjadi banyak sekali. Baiknya Oei Sun sebagai murid Beng San, bukanlah seorang kejam. Ketika mendapat kesempatan baik, ia berhasil menggurat pergelangan tangan kanan Lai Tang sehingga guru silat pongah ini berteriak sambil melepas goloknya. Darah bercucuran dari luka di pergelangan tangan, luka yang tidak berbahaya tapi cukup mengeluarkan banyak darah.

Oei Sun sudah menyimpan pedangnya, membungkuk untuk memungut golok kemudian menyerahkannya kepada Lai Tang sambil berkata, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu telah mengalah dua kali kepadaku.”

Lai Tang menerima goloknya dan memandang dengan mata mendelik, mendengus sekali lalu meloncat turun dari panggung, diiringi sorak sorai tamu yang memuji-muji Oei Sun. Di tengah sorak sorai itu, sebelum Oei Sun meloncat turun, tiba-tiba saja nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang tosu tua sudah berdiri menghadapi Oei Sun di atas panggung.

Pendeta ini berjubah kuning ringkas, pada punggungnya tampak gagang sebuah pedang. Sambil tersenyum ia menjura dan berkata, "Kepandaian Sicu sangat hebat, tidak kecewa menjadi murid Thai-san-pai. Lebih-lebih ilmu pedang tadi, amat indah dilihat sungguh pun kegunaannya belum tentu sehebat keindahannya! Sicu, maukah kau memperlihatkan ilmu pedang Thai-san-pai kepada pinto (aku)?"

Melihat tosu ini, Beng San mengerutkan alisnya. Dia mengenal tosu itu yang bukan lain adalah Koai-sin-kiam Oh Tojin, dahulu pun pernah membantu Tan Beng Kui, kakaknya. Dari julukannya saja, Koai-sin-kiam (Pedang Sakti Aneh), dapatlah diduga bahwa tosu ini merupakan seorang ahli pedang dan seingat Beng San muridnya itu tidak akan menang menghadapi tosu ini yang lebih tinggi tingkatnya.

Akan tetapi, melihat bahwa muridnya itu tak menolak tantangan tosu itu, sudah tentu saja dia tidak dapat menyuruh muridnya untuk mundur sebelum mereka bergerak. Dia hanya memandang dengan alis berkerut.

Ada pun Oei Sun, sebetulnya dia adalah seorang yang cukup mempunyai kesabaran. Apa bila dia yang dihina orang kiranya ia takkan mudah menjadi marah. Akan tetapi ucapan tosu itu tadi merupakan penghinaan bagi Thai-san-pai, merupakan ucapan memandang rendah ilmu pedang Thai-san-pai, maka ia menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk menjaga nama baik suhu-nya dan partainya. Ia pun balas memberi hormat sambil berkata,

“Tentu saja sebagai tamu Totiang berhak meminta sesuatu dan sudah menjadi kewajiban tuan rumah untuk melayani tamunya. Akan tetapi, siapakah Totiang ini, hendaknya sudi memberi nama yang benar agar aku, Oei Sun murid Thai-san-pai, dapat terbuka mata dan mengenalnya."

"Ha-ha-ha-ha, kau orang muda yang pandai merendah, Oei-sicu. Bagus, karena sikapmu inilah kau akan selamat dari tanganku. Ketahuilah, pinto adalah Oh Tojin, dan bergelar Koai-sin-kiam. Seperti kau ketahui, dari julukan pinto itu sudah sepatutnya pinto tertarik akan ilmu pedang. Nah, pergunakanlah pedangmu untuk menyerang, supaya pinto dapat merasakan kelihaian ilmu pedang Thai-san-pai!"

Tanpa banyak cakap Oei Sun mencabut pedangnya. "Harap Totiang suka mengeluarkan pedang Totiang"

"Ha-ha-ha!" tosu itu tertawa dengan sikap jumawa sekali. "Sudah kukatakan tadi, sikapmu menolongmu. Pinto tak perlu menggunakan pedang karena sekali menggunakan pedang, tentu kau celaka. Jangan ragu-ragu, kau pergunakanlah pedangmu."

Oei Sun mendongkol sekali. "Totiang sendiri yang minta, harap jangan menyesal. Lihat pedang!"

Pedang Oei Sun berkelebat menyambar. Tosu itu dengan gerakan yang baik dan cepat sekali telah berhasil menghindarkan diri. Oei Sun menyerang terus dengan hati-hati, akan tetapi benar-benar tosu di depannya ini tidak dapat dipersamakan dengan Lai Tang yang sombong tadi.

Gerakan tosu ini ringan sekali dan berdasarkan ilmu silat yang tinggi. Geseran-geseran kakinya teratur dan walau pun bertangan kosong, belum pernah pedang Oei Sun dapat menyentuh bajunya.

"Hemmm, Oei Sun terlalu sungkan, kalau ia bersungguh melakukan serangan maut, tosu badut itu tentu akan repot," kata Li Cu yang duduk di sebelah kiri suaminya.

Beng San mengangguk. "Memang, mendengar bahwa tosu itu takkan mencelakakannya, cukup membuat Oei Sun juga ikut sungkan melukainya. Kesalahan besar, terhadap orang yang begitu tinggi hati harus memberi hajaran. Tetapi betapa pun juga, Oei Sun bukanlah lawannya."

Tosu itu benar-benar mempermainkan lawannya. Sambil mengelak dan meloncat ke sana ke mari, mulutnya terus mengoceh. "Ah, jurus ini seperti jurus Hoa-san-pai. Orang muda, sudah banyak kuketahui tentang ilmu pedang, banyak yang kelihatannya indah dan bagus tapi tidak berisi, seperti misalnya ilmu pedang Hoa-san-pai itu. Memang bagus dipandang, tapi kalau dipergunakan dalam pertempuran, tidak ada gunanya." Ia mengelak ke kiri dan menyambung. "Seperti jurusmu yang ini, apa gunanya? Lihat, ini baru gerakan istimewa yang disebut Udang Sakti Mencapit Ikan!"

Pada saat itu, pedang Oei Sun menyambar dari atas ke bawah membacok pundaknya. Oh Tojin miringkan tubuh dan pada saat pedang itu menyambar di dekat tubuhnya, tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu punggung pedang benar-benar telah di ‘capit’ oleh dua buah jari tangannya yang telah ditekuk.

Hebatnya, betapa pun Oei Sun berusaha membetot kembali pedangnya, ia tidak berhasil. Capitan atau jepitan kedua jari tangan yang ditekuk itu benar-benar sangat kuat seperti jepitan baja!

"Ha-ha-ha, inilah jurus saktiku, Oei-sicu. Tangan kirimu masih bebas, apakah kau hendak memukul? Bisa, tapi jagalah capit saktiku," kata tosu itu sambil tertawa-tawa.

Oei Sun tentu saja tidak mau mengalah secara demikian. Meski pedangnya sudah dijepit dan tak dapat ia tarik kembali, tapi ia belum boleh dibilang kalah. Mendengar tantangan ini, ia lalu menggerakkan tangan kirinya memukul bukan ke arah tubuh tosu itu melainkan ke arah tangan yang menjepit pedangnya. Usaha ini ia lakukan supaya tangan itu suka melepaskan jepitannya dan pedangnya dapat terlepas.

Akan tetapi sekarang tosu itu menggerakkan tangan kirinya pula dan...

"Capp!"

Lengan tangan Oei Sun pada pergelangannya kena dijepit pula sehingga sekarang Oei Sun tak dapat menggerakkan kedua lengannya sama sekali! Jepitan pada pergelangan itu mengakibatkan rasa nyeri yang menusuk jantung.

"Ha-haha, Oei-sicu, apakah kau belum menerima kalah?"

Oei Sun adalah murid seorang pendekar sakti, mana bisa dia menyerah kalah sebelum roboh? Ia menggeleng kepala, lalu kaki kanannya bekerja, menendang keras ke depan. Tetapi tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang dan karena kakinya sedang menendang, otomatis ia terjengkang dan roboh.

Pedangnya masih dalam jepitan tangan tosu lihai itu yang tertawa-tawa bergelak. Sekali tangan kanan tosu itu bergerak, pedang yang dijepit itu sudah menancap ke atas papan panggung sampai setengahnya!

Oei Sun merayap bangun, berdiri dan menjura kepada tosu itu, "Aku Oei Sun mengaku kalah, tingkat Totiang lebih tinggi dari padaku."

Setelah berkata begitu, Oei Sun mengerahkan tenaga mencabut pedangnya dan meloncat turun, memberi hormat kepada suhu-nya dengan wajah muram.

Beng San hanya menegurnya singkat, "Lain kali jangan terlalu sungkan bila berhadapan dengan lawan, Oei Sun!" Murid itu mengangguk dan berdiri di pinggiran.

Pada saat itu, Li Eng sudah berdiri di depan Beng San dan berkata, "Paman, aku akan menghadapi Si Sombong itu!"

Anehnya, dia berlari-lari menghampiri panggung berdua dengan Hui Cu. Beng San tidak keberatan, namun terheran-heran dan ingin mencegah dua orang gadis itu naik bersama. Apa maksud Li Eng? Apakah hendak mengeroyok?

Adanya Beng San memberi persetujuan, karena ia maklum akan isi hati gadis itu. Tadi Oh Tojin menyebut-nyebut dan memburuk-burukkan nama Hoa-san-pai, sudah sepatutnya kalau gadis itu hendak membela nama baik perguruannya dan ia maklum bahwa dengan kepandaiannya itu, Li Eng sudah pasti akan dapat mengatasi Oh Tojin.

Akan tetapi, kalau gadis itu hendak maju berdua mengeroyok Oh Tojin, ahh, hal itu akan sangat memalukan Hoa-san-pai! Sebelum ia sempat mencegah, dua orang gadis itu telah melompat ke atas panggung dengan gerakan yang ringan dan cepat, gerakan khas dari Hoa-san-pai.

Pada saat itu, para tamu sedang bersorak dan bertepuk tangan memuji Oh Tojin. Setelah mendengar pujian orang, tosu ini menjadi girang sekali dan lagaknya dibuat-buat. Ia lalu menjura ke empat penjuru dan berkata nyaring,

''Tidak ada harganya untuk dipuji! Pinto belum memperlihatkan kepandaian karena hanya menghadapi seorang lemah, mana ada kesempatan memperlihatkan kepandaian asli?"

Akan tetapi tepuk tangan semakin bergemuruh. Ia mengira bahwa orang-orang itu sedang memuji-muji dia, tidak tahunya yang disoraki adalah gerakan dua orang gadis muda yang cantik-cantik dan yang gerakannya benar-benar mengagumkan itu. Oh Tojin cepat-cepat menoleh, kemudian memandang dan senyumnya melebar.

"Aha, kiranya Thai-san-pai mempunyai pula murid-murid wanita yang cantik dan pandai! Tentunya kalian lebih pandai dari pada Oei Sun tadi. Akan tetapi kalian maju berdua, ini bagus sekali. Memang sepatutnya... bagus sekali kalian maju berdua jadi berimbang dan agar jangan dikatakan bahwa aku orang tua mau menang sendiri. Ha-ha-ha!"

Li Eng tertawa-tawa dan Hui Cu yang pendiam hanya berdiri tegak. Tadi memang Li Eng yang membisikkan akalnya untuk menggoda tosu ini. Sebenarnya Hui Cu tak setuju, tapi karena ia maklum akan kenakalan Li Eng dan pula memang ia mendongkol mendengar betapa tosu ini menghina Hoa-san-pai, di samping kepercayaannya akan kelihaian Li Eng, maka ia menuruti kehendak adiknya itu.

"Eh, tosu tua yang bernama Oh Tojin berjuluk Koai-sin-kiam! Kami berdua ini juga menjadi tamu-tamu Thai-san-pai dan kami naik ke sini karena kau tadi sudah menyingung nama Hoa-san-pai, perguruan kami!"

"Ha-ha-ha-ha, kalian anak murid Hoa-san-pai, ya? Aha, kalian naik mau apakah? Jangan main-main, biar pun ilmu pedang Thai-san-pai yang diperlihatkan bocah tadi tidak berapa hebat, akan tetapi kalau ditandingi dengan ilmu pedang Hoa-san-pai saja kiraku belum tentu kalian akan dapat mengalahkan." Tosu itu memotong ucapan Li Eng.

"Bukan begitu, Totiang. Kami berdua tadi mendengar ocehanmu tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai yang hanya indah dilihat namun tidak ada gunanya. Apakah benar begitu anggapanmu?"

Oh Tojin gelagapan mendengar pertanyaan Li Eng. Sebenarnya tadi dia berani mencela Hoa-san-pai karena ia tidak melihat adanya tokoh-tokoh Hoa-san-pai hadir di tempat itu. Sekarang muncul dua orang gadis muda ini yang mengaku sebagai murid Hoa-san-pai, sedangkan ia sudah terlanjur mengeluarkan kata-kata mencela ilmu pedang Hoa-san-pai, terpaksa ia tidak dapat mundur lagi.

"Jika memang betul begitu, kalian mau apakah? Apakah kalian bisa membuktikan bahwa ucapanku tadi tidak benar?" tantangnya sambil pringas-pringis.

Li Eng tersenyum, bukan main manisnya kalau dia tersenyum sambil memainkan kedua matanya itu. "Totiang, tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai, kami sendiri tak akan menyombong dan aku yang muda tidak berani pula membantah. Akan tetapi gerakanmu tadi ketika menjepit pedang Oei-enghiong agaknya tidak menang hebatnya dengan jurus Hoa-san-pai yang bernama Kepiting Sakti Mencapit Ikan!"

Tosu itu melengak. "Tidak bisa jadi! Ilmu mencapit dengan dua buah jari itu merupakan ciptaanku, mana bisa Hoa-san-pai memiliki ilmu seperti itu? Dan bukan kepiting melainkan udang sakti. Jangan kau main-main!"

"Hi-hik, siapa main-main? Kau mau bukti? Lihatlah! Eh, Enci Hui Cu, kau cabut pedangmu dan bacok aku seperti yang dilakukan Oei-enghiong tadi!" kata Li Eng kepada Hui Cu.

Mau tidak mau Hui Cu menahan ketawanya sehingga ia tersenyum-senyum lalu mencabut pedangnya. Dengan gerakan perlahan dan lambat sekali ia membacok ke arah Li Eng.

Dengan lagak dibuat-buat seperti lagak tosu tadi, Li Eng mengelak dan ketika pedang itu begitu lambat menurun di dekatnya ia lalu mencapit pedang itu dengan dua jari tangannya yang ditekuk. Gerakannya begitu persis dengan gerakan tosu tadi, akan tetapi karena baik bacokan mau pun jepitan dilakukan perlahan dan lambat sekali, terang bahwa dua orang gadis cantik itu mempermainkan Si Tosu.

Meledaklah suara ketawa para tamu. Para tokoh-tokoh besar yang melihat pertunjukan ini bahkan tidak sanggup menahan ketawa mereka. Benar-benar seorang bocah yang nakal sekali, pikir mereka.

Li Cu tak dapat menahan ketawanya, menutupi mulut dengan sapu tangannya, sedangkan Beng San tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Cui Bi terkekeh-kekeh dan memegangi perutnya, juga Sin Lee dan Kong Bu terbahak-bahak.

Hanya Kun Hong yang menggeleng-geleng kepala sambil menggerutu. "Kurang ajar sekali dia... kurang ajar sekali..."

Sementara itu, Oh Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Anak setan, apakah kau sengaja hendak menghina pinto?"

"Aih-aih, siapa menghina, keledai tua? Siapa yang tadi mengatakan bahwa Hoa-san-pai memiliki ilmu pedang yang tiada gunanya? Kau yang menghina perguruan kami, sekarang kau berbalik bilang kami yang menghina. Hemm, sungguh tak tahu malu, tosu bau hidung kerbau!"

Memang Li Eng nakal dan pintar bicara, hal ini sudah pernah dialami oleh Kong Bu yang ketika itu hampir terpelanting dari kursinya saking tertawa bergelak-gelak melihat lagak kekasihnya mempermainkan tosu sombong itu.

"Perempuan sombong! Bocah setan, apakah kau berani menghadapi pedangku?" Sambil berkata begitu Oh Tojin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkan pedangnya agar cahayanya berkilau tertimpa sinar matahari.

Li Eng menunjukkan sikap ketakutan. "Wah-wah, Enci Hui Cu, lebih baik kau lekas turun panggung, jangan-jangan kau keserempet pedang. Pedang tajam di tangan orang mabuk yang tidak mampu main pedang, benar-benar lebih berbahaya dari pada di tangan orang yang baru belajar."

Sambil tersenyum-senyum saking gelinya Hui Cu melayang turun dari atas panggung lalu menghampiri kembali tempat duduknya, disambut tertawa lebar semua orang yang duduk di pihak Thai-san-pai. Juga para tamu tadi terpingkal-pingkal menyaksikan ini, sehingga tempat itu benar-benar menjadi meriah seakan-akan di situ sedang terdapat pertunjukan pelawak-pelawak yang pandai mengocok perut.

Kemarahan Oh Tojin tak dapat ditahannya lagi. "Bocah setan, kau bersiaplah menghadapi pedangku. Hemmm, kalau aku tidak bisa memberi hajaran kepadamu, jangan sebut aku Koai-sin-kiam lagi!"

"Ehh, betulkah? Nah, biarlah kini kau berkenalan dengan ilmu pedang Hoa-san-pai yang kelihatan indah tapi tak berguna ini. Awas pedang!"

Tosu itu tercengang, juga para tamu, karena gadis itu mengancam ‘awas pedang’ akan tetapi belum kelihatan memegang pedang. Tiba-tiba saja, belum juga hilang keheranan Oh Tojin, tahu-tahu di depan mukanya berkelebat sinar seperti kilat diikuti hawa pedang yang dingin menyambat hidungnya!

"Ayaaa...!" ia berseru kaget.

Cepat ia mencelat ke belakang sambil menyabet-nyabetkan pedangnya ke depan untuk menjaga diri. Ia masih berjumpalitan sambil menyabet-nyabetkan pedang dan baru berani turun ketika ia tidak merasa adanya desakan. Ketika berdiri kembali, ia mendengar suara tertawa ramai. Kiranya gadis itu masih berdiri di tempatnya yang tadi, hanya sekarang tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan.

Hebat, pikirnya dengan hati kecut. Jurus apa yang diperlihatkan gadis ini tadi? Ia berlaku hati-hati dan tanpa menyombong lagi ia berkata,

"Majulah, aku telah siap menghadapi pedangmu."

Li Eng tersenyum mengejek.

Tiba-tiba terdengar seruan orang, "Tahan dulu."

Dua orang itu memandang, juga semua tamu. Kiranya Kun Hong yang berseru itu dan pemuda ini menaiki anak tangga yang menuju ke panggung dengan tergesa-gesa.

Dari tempat duduknya tadi, Kun Hong telah menyaksikan kepandaian Oh Tojin. Ia maklum bahwa menghadapi Li Eng, tosu itu tak akan menang. Ia cukup mengenal pula watak Li Eng yang selain jenaka dan nakal, juga keras hati. Mendengar bahwa Hoa-san-pai dihina orang, ia kuatir kalau Li Eng mendendam dan menjatuhkan tangan besi kepada tosu itu. Maka, tanpa dipikir panjang ia lalu berseru menahan pertempuran dan naik ke panggung, tidak dengan cara meloncat seperti yang lain, melainkan lari melalui anak tangga.

"Eng-ji, kau hendak bermain pedang dengan totiang ini, berhati-hatilah jangan sampai kau membunuhnya. Kau tahu aku tidak suka kau membunuh orang!"

Li Eng tertawa, "Jangan kuatir, Paman Hong. Aku tidak akan membunuh orang ini."

"Juga tidak melukai secara hebat."

"Tidak, aku hanya ingin membuat dia kapok supaya tidak menghina Hoa-san-pai lagi."

Sementara itu, semua orang yang mendengarkan percakapan ini menjadi bengong dan terheran-heran sejenak, kemudian meledaklah suara tawa mereka. Sikap Kun Hong tadi seperti seorang nenek bawel yang memberi nasehat cucunya. Justru sikap kedua orang ini menimbulkan kesan bahwa mereka amat memandang rendah kepada Oh Tojin.

Kalau sampai pemuda halus itu melarang gadis keponakannya membunuh atau melukai berat kepada tosu itu, bukankah itu hanya boleh diartikan bahwa Si Pemuda ini sudah yakin akan kemenangan keponakannya? Inilah yang lucu dan tentu saja Oh Tojin menjadi marah dan mendongkol sekali.

Dari tempat duduknya, Beng San berbisik kepada Li Cu, "Kulihat Kun Hong ini sungguh seorang pemuda yang luar biasa wataknya, dan halus budi pekertinya."

Li Cu tersenyum. "Dia seperti bayanganmu pada waktu kau masih muda."

Kedua suami isteri itu saling pandang lalu, tersenyum.

Sementara itu, Kun Hong lega hatinya. Ia kembali menuruni anak tangga meninggalkan panggung, dan juga Oh Tojin yang membanting-banting kakinya.

"Orang-orang Hoa-san-pai memang benar-benar sombong luar biasa! Apa yang dia bilang tadi? Kau tidak boleh membunuhku, tidak boleh melukai aku? Lihat, sebaliknya pintolah yang akan merobohkanmu dalam beberapa jurus saja. Lihat pedangku!"

Dengan gerakan yang penuh kemarahan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Li Eng. Tapi ia tertegun karena selain pedangnya hanya mengenai angin belaka, juga gadis di depannya itu telah lenyap dari depan matanya. Selagi ia bingung, ia mendengar suara ketawa lirih di belakangnya.

Cepat ia membalik sambil mengayun pedang menyerang lagi. Tapi kembali ia kehilangan lawannya yang ternyata dengan ginkang yang luar biasa telah lenyap dan sudah berada di belakangnya. Berkali-kali ia menyerang akan tetapi hasilnya sama dan tak pernah ia dapat melihat lawannya yang cepat sekali gerakannya, seperti setan.

Suara ketawa serta seruan kagum terdengar di sana sini ketika para tamu menyaksikan gerakan tubuh gadis itu yang memang luar biasa cepatnya, melebihi cepatnya gerakan pedang lawan. Tosu itu mulai marah, tapi diam-diam hatinya mengecil.

"Hai, bocah setan. Jangan hanya melarikan diri, bertandinglah secara berdepan kalau kau memang laki-laki!"

"Hi-hik, tosu bau, apakah kau sudah-gila? Aku memang seorang wanita, bukan seorang laki-laki!"

Suara ketawa makin riuh-rendah menyambut kelakar ini dan wajah Oh Tojin makin merah. Kini ia melihat gadis itu berdiri tegak di depannya dan ketika ia menyerang lagi, Li Eng sengaja tidak mau mengelak melainkan menggunakan pedangnya untuk menangkis dan balas menyerang.

Kini Li Eng sengaja mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat menyambar-nyambar sehingga dalam belasan jurus saja Oh Tojin sudah terdesak hebat, mengelak dan menangkis ke sana ke mari tanpa dapat membalas sedikit pun juga.

"Tosu bau, kau bilang ilmu pedang Hoa-san-pai tak ada gunanya? Nah, rasakanlah ilmu pedang yang kumainkan ini. Inilah Hoa-san Kiam-hoat!"

Oh Tojin memang pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai, tetapi selama hidupnya tak pernah dia mengira bahwa Hoa-san Kiam-hoat dapat dimainkan seperti ini hebatnya. Diam-diam ia terkejut dan menyesal sekali. Wajah yang tadinya merah sekarang menjadi pucat, napasnya terengah-engah dan makin sibuklah dia menangkis hujan ujung pedang yang tak terhitung banyaknya itu.

"Koai-sin-kiam Oh Tojin, jagalah serangan ilmu pedang Hoa-san-pai ini!" gadis itu berseru keras dan pedangnya makin hebat menekan.

Oh Tojin berteriak kaget, jenggotnya terbabat putus dan beterbangan ke bawah dan pada detik berikutnya ia memekik kesakitan, tangannya berdarah dan pedangnya terlepas dari pegangan! Sambil mengerang kesakitan tosu ini melompat turun dari panggung dan terus melarikan diri tanpa menoleh lagi.

Terdengar sorak-sorai riuh-rendah, sebagian menyoraki tosu yang lari itu, sebagian lagi bersorak karena melihat Li Eng kini memperlihatkan pertunjukan hebat, yaitu pedangnya sudah dapat menyambar pedang tosu itu dan pedang lawan itu sekarang terputar-putar bagai kitiran di ujung pedangnya!

Melihat lawannya lari tunggang-langgang, Li Eng berseru keras, "Oh Tojin, ini pedangmu, terimalah kembali...!"

Sekali ia mengerakkan pedang di tangannya, maka pedang lawan yang tadinya berputar cepat seperti kitiran itu terlempar melayang ke arah Oh Tojin yang sedang berlari. Hebat sekali bidikan Li Eng karena dengan tepat gagang pedang itu menimpa kepala orang dan jatuh ke bawah.

Sejenak Oh Tojin pucat saking kagetnya. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepalanya tidak bocor, ia cepat-cepat memungut pedangnya dan terus melarikan diri pergi meninggalkan tempat itu diikuti gelak tawa para penonton. Gelak tawa para penonton sirap kembali ketika mereka melihat seorang tosu tua sudah meloncat ke atas panggung.

Tosu ini pun berpakaian kuning dan rambutnya yang panjang digelung ke atas. Biar pun pakaiannya kuning sederhana sebagai tosu, namun rambutnya dihias dengan lima bunga teratai dan pada bajunya terdapat tanda-tanda jasa dari istana. Inilah Thian It tosu, salah seorang di antara tujuh orang pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti, juga seorang tokoh Ngo-lian-kauw dan pernah menjadi tangan kanan Kim-thouw Thian-Li.

Melihat naiknya tosu ini, Kun Hong yang mengenalnya menjadi tidak enak hatinya, lalu berkata perlahan tapi cukup keras untuk didengar oleh Beng San.

"Heran betul, dia itu seorang di antara pengawal-pengawal istana Pangeran Mahkota, mau apa ke sini?"

Kagetlah Beng San mendengar ucapan Kun Hong ini. Dia memandang penuh perhatian. Ia maklum dari tanda bunga teratai itu bahwa tosu ini adalah seorang tosu Ngo-lian-kauw, akan tetapi apakah orang ini muncul sebagai tokoh Ngo-lian-kauw, ataukah dia sebagai pengawal istana Pangeran?

Tosu itu sudah menjura ke arah tuan rumah dan berkata, suaranya yang rendah parau membayangkan lweekang tinggi, "Pinto Thian It Tosu ingin sekali berkenalan dengan ilmu silat Thai-san-pai. Syukur apa bila Ketua Thai-san-pai sendiri berkenan memberi petunjuk karena pinto sudah lama mendengar nama besarnya."

Sin Lee segera menghadap Ayah, "Ayah, biarlah saya menghadapi tosu ini."

Beng San mengangguk. Ia pun ingin mengenalkan putera-puteranya kepada para tokoh kang-ouw yang datang dari pelbagai tempat itu.

"Boleh, kau hati-hatilah. Dia seorang Ngo-lian-kauw, pandai menggunakan senjata rahasia dan pandai ilmu sihir, biasanya curang, maka kau yang waspada. Juga karena dia orang istana, jangan sampai membunuh."

Sin Lee mengangguk. Ketika kakinya mengenjot tanah, tubuhnya dari tempat itu langsung melayang ke atas panggung dengan kedua lengan tangan dikembangkan.

Sorak sorai menyambut kehadirannya dan Thian It Tosu kaget sekali menyaksikan cara melompat yang seperti burung raksasa ini. Ia pun memandang pemuda tampan gagah itu penuh selidik, lalu menegur,

"Orang muda, caramu meloncat tadi tidak sama dengan gaya loncatan para anak murid Thai-san-pai tadi. Siapakah kau dan pinto menantang Thai-san-pai atau ketuanya, kenapa kau yang maju?"

"Thian-It Tosu, memang jitu wawasanmu. Aku bukan anak murid Thai-san-pai, akan tetapi Ketua Thai-san-pai adalah ayahku. Karena kau tadi menantang ayahku, sudah sepatutnya bila aku mewakilinya untuk menghadapimu. Thian-It Tosu, kau sendiri sekarang ini berdiri di sini mewakili siapakah? Apa bila kau sebagai tokoh Ngo-lian-kauw datang menantang, bukanlah hal aneh dan akan kulayani. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa kau telah menjadi seorang pengawal istana Pangeran Mahkota, maka kalau kedatanganmu ini sebagai pangawal istana, harap kau turun lagi saja. Kami orang-orang dunia persilatan tidak mempunyai urusan dengan kaki tangan kota raja.”

Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini, tanda bahwa sebagian besar orang kang-ouw memang tidak melibatkan diri dengan orang-orang pemerintah. Wajah Thian It Tosu menjadi merah karena sekaligus pemuda ini membuka kedoknya.

Pada saat itu terdengar lengking tinggi dan di atas panggung berkelebat bayangan orang, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang yang tua sekali. Alangkah kaget gentarnya semua tamu ketika mengenal nenek ini sebagai tokoh yang dianggap manusia iblis, bukan lain adalah Hek-hwa Kui-bo!

"Berikan dia padaku! Dia pembunuh muridku!" teriaknya dengan suara parau.

Namun, kembali orang-orang tercengang karena tanpa mereka lihat datangnya, tahu-tahu Ketua Thai-san-pai sudah berdiri di situ pula menghadapi Hek-hwa Kui-bo.

Beng San berdiri tegak dengan sepasang mata berkilat-kilat, lalu berkata kepada Hek-hwa Kui-bo, "Kui-bo, pertemuan ini kuadakan dengan peraturan dan kesopanan. Apa bila kau mempunyai penasaran, tunggulah giliranmu, harap jangan mengacau. Mundurlah!"

Sinar mata Beng San berkilat-kilat seperti halilintar menyambar sehingga Hek-hwa Kui-bo gentar juga menghadapi sikap musuh lamanya ini. Ia meragu. Ia tahu betul bahwa orang ini telah terluka hebat dalam pengeroyokan kemarin dulu, akan tetapi mengapa sekarang masih dapat meloncat seperti terbang saja cepatnya? Untuk menutupi kegugupannya, ia tertawa,

"Hi-hi-hik, Beng San, betul juga kata-katamu. Baiklah, aku menanti giliranku." Sambil tertawa-tawa ia lalu melayang turun dan sekejap mata saja ia sudah lenyap entah ke mana.

Juga Beng San dengan tenang meloncat turun dan kembali ke tempat duduknya. Semua tamu menahan napas, terhadap tokoh seperti Hak-hwa Kui-bo tentu saja tak seorang pun berani mentertawai.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar