Rajawali Emas Chapter 36

Cui Bi kehabisan tenaga dan maklum bahwa belum tentu ia kuat meloncat lima kali lagi. Dan setelah ia tidak kuat meloncat, tentu ular-ular itu akan membelit kakinya merayap ke atas, menggigiti kakinya sampai ia roboh untuk dikeroyok dan diperlakukan seperti yang telah dibayangkan oleh Giam Kin tadi.

Akan tetapi baru saja meloncat tiga kali, ia sudah kehabisan tenaga dan injakannya tidak mematikan seekor pun ular. Ia sudah tidak kuat meloncat lagi dan sudah meramkan mata untuk menerima kematian yang amat mengerikan.

"Heh-heh-heh, ha-ha-ha, kini pertunjukan mulai..." Giam Kin tertawa terkekeh-kekeh.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan yang terdengar oleh telinga Cui Bi adalah teriakan orang, nyaring sekali.

"Bi-moi... lekas kau berloncatan lagi...! Loncat, pertahankan!"

Suara ini seolah-olah aliran listrik yang memberi kekuatan baru kepada Cui Bi, menyendal kembali harapannya untuk hidup yang tadi sudah terbang ke awang-awang. Dan sebelum kakinya terbelit ular, sekuat tenaga ia meloncat ke atas, sambil meloncat ia membuka kedua mata memandang.

"Hong-ko...!" di dalam dadanya bergema teriakan hatinya ini sebab ia masih belum dapat mengeluarkan suara sama sekali.

Dilihatnya betapa pemuda itu dengan memegang dua batang obor kayu, menggunakan api obor itu untuk mengamuk dan menyerang barisan ular, menyerbu ke arah tempatnya. Tak terasa lagi air mata bercucuran di kedua mata Cui Bi, saking girang dan terharunya. Akan tetapi, kekuatiran besar memenuhi hatinya kalau ia melihat Giam Kin masih duduk bersila di tempat tadi sambil memandang ke arah Kun Hong dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi mulutnya mengejek.

Seperti binatang buas apa saja, ular pun sangat takut terhadap api. Mereka yang kurang cepat menyingkir sudah berkelojotan terkena serangan Kun Hong. Ada yang mencoba untuk menyerang pemuda itu, akan tetapi begitu tubuhnya tercium api, lalu berkelojotan, menggigit bagian badan sendiri yang termakan api saking panas dan sakitnya. Sebagian yang lainnya menyingkir ketakutan sehingga terbukalah jalan bagi Kun Hong untuk berlari ke arah Cui Bi.

"Kau pegang ini sebuah, Bi-moi!" teriak pula Kun Hong sambil menyerahkan obor yang tadi dipegang oleh tangan kanannya.

Dengan penuh semangat Cui Bi segera mengacung-acungkan sepasang lengannya yang terbelenggu untuk memberi tahu bahwa tak mungkin ia melakukan apa yang diminta itu.

Melihat ini Kun Hong cepat meletakkan sebuah obor ke bawah, mencabut Ang-hong-kiam dan membabat belenggu kaki dan tangan gadis itu. Ang-hong-kiam tajam bukan main dan tenaga dalam dari Kun Hong juga hebat, maka dengan sekali babat saja putuslah semua belenggu dan terbebaslah Cui Bi.

Sesudah itu, dengan pedang dikempit untuk membebaskan tangan kanannya, Kun Hong yang maklum bahwa gadis ini tentu telah tertotok urat gagunya, menotok belakang leher dan menepuk punggung dua kali.

"Hong-ko...!" sekali ini suara itu keluar dari mulut Cui Bi, disusul isak tangis saking girang dan terharunya.

Tiba-tiba saja Cui Bi merampas pedang dari tangan Kun Hong, matanya memandang liar ketika membalikkan tubuh memandang ke arah Giam Kin. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan marahnya ketika ia tidak lagi melihat manusia iblis itu berada di tempat tadi, sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

"Ke mana dia...?"

"Kau mencari siapa, Adik Bi?" tanya Kun Hong.

"Manusia iblis itu, Giam Kin si keparat, hendak kucincang hancur tubuhnya!"

"Ahh, apa kau maksudkan pengemis buta sebelah yang meniup suling tadi? Aku sudah terheran-heran tadi mengapa ia bisa terus bermain suling sedangkan di depannya terjadi penyerangan ular-ular itu kepadamu. Kenapa ia tidak turun tangan menolongmu?"

"Menolongku? Ahh, Hong-ko dialah yang menyuruh ular-ular itu mengeroyokku. Dia itulah si iblis bernama Giam Kin yang memusuhi Ayah dan karena itu dia hendak membalas dendamnya melalui aku. Dia sengaja mendatangkan ular-ular itu sesudah menawanku secara licik dan curang. Dia hendak melihat ular-ular itu merobohkan aku, menggerogoti kulit dan dagingku, melihat aku berkelojotan melawan maut, melihat aku berubah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, ahh... Hong-ko..."

Gadis itu menubruk, merangkul pundak Kun Hong dan menangis tersedu-sedu. Kun Hong bergidik dan membiarkan gadis itu memuaskan perasaannya, membiarkan dia menangis sesenggukan. Memang inilah obat terbaik untuk menenangkan kembali perasaannya yang tertindih dan tercekam hebat oleh pengalaman yang begitu mengerikan. Baru saja gadis ini lolos dari lubang jarum, lolos dari cengkeraman maut yang nyaris begitu pasti.

Diam-diam Kun Hong berterima kasih kepada Tuhan bahwa ia tidak tertambat datang. Terlambat beberapa menit lagi saja, bayangan ngeri dan seram seperti dikatakan gadis ini tadi pasti akan terjadi.

"Hong-ko... kau telah menolong nyawaku, Hong-ko..."

"Sudahlah, jangan besar-besarkan hal itu, Bi-moi," jawab Kun Hong merendah, padahal hatinya merasa bahagia bukan main.

"Girang sekali hatiku bahwa kaulah yang berhasil menolongku, Hong-ko. Akhirnya kaulah orangnya yang berhasil merenggut aku dari cengkeraman maut, maka sudah sepatutnya pula kalau aku menghambakan diri kepadamu selama hidupku."

Mendengar kesanggupan gadis ini, tanpa terasa lagi Kun Hong memeluk dan mendekap kepala orang yang disayang dan dicintanya itu rapat-rapat ke dadanya.

"Bi-moi... Bi-moi... semoga Tuhan memberkahi kita dan mengabulkan apa yang menjadi cita-cita kita ini... ahh, mari kita lekas menyusul ke tempat ayahmu. Tadi kulihat dia telah dikeroyok banyak orang jahat, dan ibumu serta Li Eng dan Hui Cu juga sudah menyusul ke sana. Aku melihat kau ditawan orang dan dibawa lari, maka cepat aku mengejar. Sama sekali tak kusangka bahwa orang itu adalah pengemis buta sebelah tadi, dan sama sekali tidak kusangka dia itulah yang bernama Giam Kin. Pernah aku mendengar dari ayahku tentang orang itu..."

"Baiklah, Hong-ko, mari kita susul Ayah. Tapi aku tidak kuatir Ayah akan dikalahkan oleh keroyokan orang jahat."

Cui Bi merasa yakin sekali akan kepandaian ayahnya, maka mendengar bahwa ayahnya dikeroyok orang, ia tidak menjadi gelisah. Apa lagi setelah dia mendengar bahwa ibunya telah pula datang ke tempat itu, apa yang harus ditakuti dan dikuatirkan lagi? Masih ada lagi Hui Cu yang cukup lihai dan terutama Li Eng yang berkepandaian tinggi.

Baru saja mereka keluar dari hutan itu, tampak dua orang muda berlari cepat mendatangi dari depan. Mereka ini bukan lain adalah Kong Bu dan Sin Lee.

"Adik Cui Bi, kau tidak apa-apa?" teriak Kong Bu dari jauh, girang melihat Cui Bi sudah berjalan di samping Kun Hong dalam keadaan sehat selamat, hanya mukanya agak pucat.

Cui Bi juga girang melihat Kong Bu, akan tetapi ketika mengingat akan peristiwa di depan jalan terowongan dan ketika melihat Sin Lee juga berada di situ, dia meragu. Betapa pun juga melihat sikap yang begitu memperhatikan, ia segera bertanya,

"Bu-ko hendak ke manakah kau? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terancam bahaya? Dan dia ini...?” Ia mengerling ke arah Sin Lee yang berdiri tegak.

Kong Bu tersenyum, lalu memegang kedua tangan adik tirinya. "Ahh, adikku, jangan kau curiga. Aku tadi melihat kau dibawa lari oleh manusia iblis, lalu aku sengaja mengejarnya. Dia ini juga membantuku turut mengejar untuk menolong adik tirinya. Bukankah begitu?" pertanyaan terakhir ini diucapkan Kong Bu sambil memandang Sin Lee.

Sin Lee mengangguk, tanpa mengeluarkan kata-kata karena perasaannya masih penuh keharuan, juga kebingungan sebab baginya, urusan antara ibu dan ayahnya itu membuat dia ragu-ragu dan serba salah.

Cui Bi terharu sekali, menghampiri Sin Lee dan memegang tangan pemuda ini, menatap wajah Sin Lee dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Kau juga kakakku, kakak tiri putera Ayah. Sin Lee Koko, apakah kau masih juga hendak memusuhi Ayah, memusuhi Ibu, dan memusuhi aku?" Sinar mata yang bening indah itu menatap wajah Sin Lee seakan-akan hendak menembus hatinya.

Sin Lee tertegun, tak dapat menjawab.

"Adik Cui Bi, tentu saja tidak. Tadi Ayah sudah dikeroyok oleh banyak tokoh lihai, terluka dan hampir celaka. Aku dan dia ini turun tangan membantu Ayah, agaknya hati kami tak dapat mengijinkan orang-orang membunuh ayah kami di depan mata kami begitu saja. Ayah telah menderita luka-luka hebat dan sekarang telah dibawa pulang oleh ibumu."

Wajah Cui Bi menjadi pucat seketika. "Ayah terluka...? Ahhh, hayo kita pulang menengok Ayah!" Ia lalu melompat dan berlari cepat menuju ke puncak.

Kong Bu dan Sin Lee saling pandang, bersepakat dalam pandang mata masing-masing, lalu ikut pula berlari. Cui Bi tiba-tiba berhenti dan memandang Kun Hong.

"Ahhh, aku lupa... maaf, Hong-ko. Marilah kita bersama ke puncak. Bu-ko dan Lee-ko, terpaksa kita berlari jangan terlalu cepat agar Hong-ko tidak ketinggalan."

Kun Hong tersenyum. "Larilah Bi-moi, dan aku akan coba mengikutimu dari belakang."

Demikianlah, keempat orang muda itu melanjutkan perjalanan melalui jalan rahasia yang terdekat, dipimpin oleh Cui Bi sebagai penunjuk jalan, tidak terlalu cepat karena mereka kuatir kalau-kalau Kun Hong tidak dapat mengimbangi kecepatan mereka. Di sepanjang jalan dua orang putera Beng San itu mendengar penuturan Cui Bi mengenai perbuatan biadab Giam Kin dan tentang pertolongan Kun Hong.

Meski pun Kun Hong menjawab secara merendahkan diri namun diam-diam dua orang pemuda itu menduga bahwa Kun Hong putera Ketua Hoa-san-pai itu tentulah mempunyai kepandaian yang luar biasa sehingga sanggup mengejar Giam Kin dan dapat memberi pertolongan kepada Cui Bi.

Kedatangan mereka disambut anak murid Thai-san-pai dengan gembira, terutama sekali Hui Ci dan Li Eng yang tidak saja gembira melihat bahwa paman mereka selamat, juga lebih-lebih melihat Sin Lee dan Kong Bu ikut pula datang ke puncak.

"Paman Beng San terluka hebat, sekarang sedang dirawat oleh Bibi," kata Li Eng.

Dengan wajah penuh kegelisahan Cui Bi cepat-cepat memasuki rumah diikuti oleh Kong Bu, Sin Lee, Hui Cu, Li Eng, dan Kun Hong. Mereka memasuki kamar dengan hati-hati dan alangkah kagetnya dan sedih hati Cui Bi ketika melihat ayahnya duduk bersila dengan wajah sepucat mayat, sedangkan ibunya duduk di belakang ayahnya, menempelkan dua telapak tangannya pada punggung ayahnya.

Keduanya meramkan mata. Napas Beng San terengah-engah dan berat, sedangkan Li Cu yang sedang memberi saluran hawa murni ke tubuh suaminya untuk membantu suaminya memulihkah tenaga dan mengobati luka di dalam, kelihatan sangat pucat dan keringatnya membasahi leher dan muka.

Orang-orang muda yang tahu akan ilmu silat tinggi itu maklum apa yang tengah dilakukan oleh dua orang tua di atas pembaringan itu, maka mereka tidak berani mengganggu.

Tiba-tiba Kun Hong melangkah maju dan berkata halus, "Bibi, harap kau suka mengaso, sangat berbahaya bagi kesehatan Bibi sendiri. Biarlah aku yang bodoh mencoba-coba mengobati Paman Beng San."

Semua orang terkejut dan merasa bahwa ucapan Kun Hong ini lancang. Li Cu dan Beng San yang mendengar ada suara orang, segera membuka mata, lalu memandang kepada mereka.

"Ayah, Ibu, Kakak Kong Bu dan Kakak Sin Lee datang..." berkata Cui Bi, menahan isak tangisnya melihat keadaan ayahnya.

Memang hebat sekali penderitaan Beng San. Luka-lukanya adalah luka pukulan lweekang dan senjata yang mengandung racun mematikan. Keadaannya amat berbahaya, cahaya matanya sudah menghilang dan pandang matanya sayu. Akan tetapi begitu melihat Kong Bu dan Sin Lee berdiri di situ, ia pun tersenyum, mengangguk-angguk dan matanya yang pudar itu mengeluarkan cahaya bahagia.

Li Cu yang maklum bahwa suaminya sedang berjuang melawan maut, tanpa melepaskan tangannya berkata, "Anak-anak, harap jangan mengganggu kami, tunggulah di luar."

Akan tetapi Beng San memandang Kun Hong. Melihat pemuda aneh ini tunduk dan sinar mata pemuda itu berkilat-kilat menjelajahi seluruh tubuhnya, dia berkata lemah,

"Biarlah... biarlah dia... mengobatiku... kau beristirahatlah... dia benar... berbahaya bagi kandunganmu..." Setelah berkata demikian, tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak kuat bersila lagi, roboh terguling dan dari mulutnya menyembur darah segar.

Li Cu kaget sekali, cepat-cepat menerima tubuh suaminya dan menidurkannya telentang sambil menahan isaknya ketika turun dari pembaringan. Nyonya ini kelihatan lelah sekali. Dia terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk membantu suaminya dengan pengerahan tenaga lweekang yang berlebihan. Mukanya pucat kehijauan, napasnya terengah-engah.

"Bi-moi, tolong ambilkan kertas dan alat tulis. Ibumu harus segera diberi obat," kata Kun Hong setelah memandang sejenak ke arah Li Cu.

Cui Bi terheran-heran. Ia tidak mengira bahwa orang yang dikasihinya ini ternyata pandai ilmu pengobatan, maka cepat-cepat ia mengambilkan barang yang dimintanya. Kun Hong lalu duduk di kursi, menuliskan huruf-huruf yang indah dan cepat sekali di atas kertas dan memberikan kertas itu kepada Cui Bi.

"Carilah obat ini, campur dengan air tiga mangkok, masak sampai tinggal semangkok lalu beri minum kepada ibumu." Lalu ia menoleh ke arah Li Cu yang sedang membersihkan darah yang dimuntahkan suaminya tadi dengan sehelai sapu tangan.

“Bibi, harap kau suka mengaso untuk menjaga kesehatanmu.”

“Tidak, aku harus menjaga dia….”

Mendengar suara yang penuh cinta kasih dan kesetiaan ini, Kun Hong terharu sekali. Ia dapat melihat bahwa keadaan nyonya ini sangatlah berbahaya, karena dalam keadaan mengandung telah menyalurkan tenaga dalam dan hawa murni. Hal ini benar-benar amat berbahaya, tidak saja bagi kandungannya, juga bagi kesehatan tubuhnya.

“Bibi, percayalah padaku. Apa bila Tuhan menghendaki, Paman Beng San akan sembuh. Bi-moi, kau ajaklah Ibumu beristirahat dan segera kau menyuruh orang mencarikan obat dari resep itu.”

Melihat sikap kekasihnya yang begitu meyakinkan, Cui Bi tidak ragu-ragu lagi. Memang ia selalu mempunyai dugaan bahwa kekasihnya ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang menyembunyikan kepandaiannya. Kiranya kepandaiannya adalah sebagai ahli pengobatan. Ia memeluk Ibunya dan berkata,

“Ibu, kau percayalah kepada Hong-ko, mari mengaso dan minum obat.”

Li Cu memandang kepada Kun Hong dengan mata penuh perasaan, bahkan akhirnya ada air mata yang perlahan-lahan berlinang keluar dari mata itu.

“Kun Hong, kau putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong, tentu saja aku percaya kepadamu. Semoga kau betul-betul dapat menyembuhkannya….”

Kemudian ia menahan isak ketika memandang lagi kepada suaminya yang sudah pingsan terengah-engah itu, dan akhirnya keluar dari kamar sambil dituntun oleh puterinya.

“Kuharap kalian berempat suka pula keluar dan menunggu di luar. Terlalu banyak orang di dalam kamar amatlah tak baik bagi si sakit. Li Eng, tolong kau minta kepada Cui Bi agar memberiku jarum-jarum perak dan sepanci air panas mendidih.”

Tanpa berkata apa-apa lagi Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu dan Li Eng meninggalkan kamar, tetapi tidak meninggalkan ruangan di luar kamar itu. Dari pintu kamar yang tetap terbuka mereka dapat melihat ke dalam, melihat apa yang akan dilakukan oleh Kun Hong untuk mengobati Beng San yang keadaannya nampak sudah amat payah itu. Ada pun Li Eng cepat-cepat pergi mencari Cui Bi untuk minta barang-barang yang dipesan oleh Kun Hong tadi.

Setelah semua orang pergi, Kun Hong lalu mulai memeriksa luka-luka di tubuh Beng San. Kening pemuda itu berkerut, dahinya berkeriput ketika ia mengerahkan segenap kekuatan ingatannya untuk mencari hal-hal tentang pengobatan yang sudah dihafalnya dari semua kitab milik Yok-mo. Ia memeriksa jalannya darah pada nadi, ketukan jantung pada dada kiri, memeriksa jalan-jalan darah pada jalan darah terpenting.

Kun Hong mendapat kenyataan bahwa Beng San menderita luka dalam yang hebat pada tiga tempat, dan darahnya telah terserang racun berbahaya dari luka-lukanya di luar pula. Benar-benar amat parah.

Dengan gerakan perlahan tetapi tepat dan tidak ragu-ragu, Kun Hong menotok beberapa pusat jalan darah di tubuh Beng San, mengurut bagian leher dan dada untuk mencegah menjalarnya racun dan mencegah darah keluar dari mulut, kemudian ia membantu daya tahan ditubuh Beng San dengan pengerahan lweekang pada telapak tangannya yang dia tempelkan pada ulu hati. Usahanya berhasil baik karena pernapasan yang sakit itu tidak seberat tadi.

Pada saat Li Eng datang memasuki kamar membawa air panas sepanci dan sebungkus jarum-jarum perak, Kun Hong melepaskan tangannya dari si sakit, lalu memberi isyarat kepada Li Eng untuk keluar kamar dan menutupkan pintunya.

Li Eng memenuhi permintaan ini. Sekarang empat orang muda itu berdiri di luar kamar, tidak dapat lagi melihat apa yang sedang dilakukan oleh Kun Hong di dalam kamar itu, hanya dapat saling pandang penuh keheranan dan menduga-duga.

“Hebat pamanmu itu,” kata Kong Bu akhirnya kepada Li Eng.

“Apakah kau sebagai keponakannya tidak tahu bahwa dia itu pandai ilmu pengobatan?” Tanya Sin Lee kepada Hui Cu.

Pertanyaan-pertanyaan ini dilakukan berbisik dan secara otomatis empat orang muda itu terbagi menjadi dua rombongan. Kong Bu berdekatan dengan Li Eng sedangkan Sin Lee berdekatan dengan Hui Cu.

“Memang dia orang aneh, mengaku tidak bisa apa-apa tetapi agaknya menyembunyikan kepandaian luar biasa,” jawab Li Eng kepada Kong Bu.

“Aku sendiri tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan, dia tidak pernah bicara tentang kepandaiannya, kecuali kepandaian membaca kitab-kitab,” bisik Hui Cu sebagai jawaban kepada Sin Lee.

Pelayan datang mengantarkan minuman untuk empat orang muda itu. Mereka berpencar lagi, Kong Bu dengan Sin Lee duduk menghadapi meja kecil di sebelah kiri pintu kamar, ada pun dua orang gadis itu duduk menghadapi meja di sebelah kanan pintu kamar.

Tak lama kemudian muncullah Cui Bi di ruangan itu. “Ibu sudah minum obat dan sekarang tidur nyenyak. Aku harus membantu Hong-ko.”

Tanpa memberi kesempatan kepada empat orang muda itu untuk mencegahnya, ia terus saja membuka pintu kamar, lalu masuk dan menutup pintu dari dalam. Empat orang itu saling pandang dan tersenyum maklum. Li Eng dan Kong Bu, juga Sin Lee, berseri-seri wajahnya. Hui Cu menunduk, kelihatan malu dan jengah.

Kun Hong menoleh ketika mendengar ada orang memasuki kamar. Ketika melihat bahwa yang masuk adalah Cui Bi, ia memandang dengan mata bertanya dan alis berkerut.

"Jangan marah, Hong-ko. Aku harus membantumu. Ibu sudah minum obat dan sekarang sedang tidur. Kebetulan obat-obat yang kau tulis itu tersedia di kamar obat kami."

Kun Hong tidak tega menolak permintaan kekasihnya. Ia hanya mengangguk kemudian memasukkan belasan batang jarum ke dalam mangkok yang sudah dia isi dengan air mendidih.

"Kalau begitu, tolong kau buka baju ayahmu."

Dengan sigap Cui Bi melakukan perintah ini. Dia gelisah sekali melihat luka-luka di tubuh ayahnya, terutama sekali luka dalam yang hanya kelihatan membiru dan kemerahan di tempat-tempat berbahaya seperti lambung, dada, dan leher. Dengan hati-hati ia membuka baju ayahnya yang terkena noda darah yang dimuntahkan, lalu menyingkirkan baju itu ke sudut kamar.

Ada pun Kun Hong tetap melanjutkan pekerjaannya memasukkan jarum-jarum ke dalam air panas tadi. Dengan isyarat tangan dia lalu minta bantuan Cui Bi untuk mengangkat tubuh Beng San yang masih tak sadarkan diri dan membaringkan tubuh itu telungkup.

"Bi-moi, jangan dekat, kau mundurlah dan jangan mengeluarkan suara."

Mendengar suara yang penuh wibawa ini, meremang bulu tengkuk Cui Bi. Bukan main laki-laki ini, kadang-kadang dia kelihatan bodoh dan halus lemah lembut, akan tetapi pada saat ini kelihatan amat berpengaruh, penuh wibawa dan suaranya mengandung kekuatan dan kekuasaan yang hebat. Cui Bi cepat melangkah mundur dan berdiri di sudut kamar, memandang penuh perhatian, penuh harapan, dan penuh kekaguman.

Kun Hong mengeluarkan sembilan batang jarum perak dari dalam air panas, memegang jarum-jarum itu pada tangan kiri, mengambil sebatang dengan tangan kanan, dijepit di antara ibu jari dan telunjuk, lalu ia melangkah mundur tiga tindak dari pembaringan.

Jarak antara dia dengan tubuh Beng San ada satu setengah meter, matanya memandang tajam, semangat dikumpulkan, napas ditahan, tenaga lweekang digerakkan dan tiba-tiba dia menubruk ke depan. Jarum yang pertama telah dia tusukkan tepat pada jalan darah tiong-cu-hiat yang letaknya di belakang leher.

Secepat cara ia menusuk ke depan, ia telah melompat ke belakang pula, lalu mengambil jarum kedua dan ditusukkan pada jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kanan, lalu jalan darah hong-hu-hiat di belakang kedua pundak, di punggung bawah kanan kiri, jalan darah sin-teng-hiat di kedua pergelangan tangan sampai sembilan batang jarum itu semua habis ditusukkan, menancap di pelbagai jalan darah yang penting.

Kun Hong kemudian berdiri tegak dengan mata meram, dua tangan disilangkan, menarik napas panjang memulihkan tenaga dalam yang tadi banyak dikeluarkan untuk melakukan penusukan-penusukan jarum itu. Beberapa menit kemudian dia bergerak lagi, namun kini melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk, menotok mulai dari belakang kepala terus menurun sampai di lutut.

Caranya menotok juga aneh karena ia mempelajari dari kitab pengobatan ajaib Toat-beng Yok-mo. Seperti tadi, ia menotok dari jarak jauh, melompat dan menotok seperti orang menyerang lawan, akan tetapi totokannya selalu tepat mengenai sasaran!

Melihat semua gerakan Kun Hong ini, Cui Bi melongo saking herannya. Ia tidak mengenal ilmu tusuk jarum itu, akan tetapi ilmu menotok tentu saja ia kenal baik. Yang membuat ia kagum adalah cara menotok dengan sebuah jari ini.

Belum pernah ia melihat cara menotok seperti itu. Dia hanya mendengar saja cerita dari ayahnya bahwa di jaman dahulu ada semacam ilmu menotok yang disebut It-ci-san, akan tetapi Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) ini sekarang hanya tinggal dongengan saja. Ayahnya sendiri belum pernah melihat ada tokoh silat yang menggunakan totokan ini dalam pertandingan. Akan tetapi sekarang dia melihat Kun Hong menggunakan ilmu itu, hanya bukan untuk bertanding, melainkan untuk mengobati secara hebat sekali.

Kali ini, setelah menotok semua jalan darah yang penting, Kun Hong nampak lelah sekali, Cepat ia duduk bersila di atas lantai untuk mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga sampai sepuluh menit lebih, baru ia bangun dan memeriksa detik nadi tangan Beng San.

Wajahnya nampak berseri karena tepat seperti petunjuk di dalam kitab pengobatan, cara pengobatan pada babak pertama ini berhasil apa bila detik nadi menjadi cepat luar biasa, dan detik nadi yang dipegangnya itu pun cepat sekali. Dengan tenang tapi amat cepat ia mencabuti jarum-jarum itu dan memasukkannya kembali ke dalam mangkok lainnya yang sudah diisi air panas. Air di mangkok itu segera berubah menjadi kehitaman!

"Bi-moi, mari bantu aku." Ia memerintah dan Cui Bi cepat-cepat melangkah maju, penuh kekaguman.

Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan nona ini dan ia bersama Cui Bi mengangkat tubuh Beng San untuk ditelentangkan kembali. Alangkah leganya hati Cui Bi ketika melihat betapa wajah ayahnya yang tadinya pucat seperti mayat sekarang merah kembali, malah terlalu merah dan pada saat ia membantu tadi, tubuh ayahnya dirasakan panas seperti api.

Kun Hong memberi isyarat supaya gadis itu mundur lagi, kemudian ia mulai lagi dengan pengobatan babak ke dua, yaitu dengan cara menusuk-nusukkan sembilan batang jarum perak ke pelbagai jalan darah di tubuh bagian depan. Setelah mengaso sebentar, Kun Hong kembali melakukan totokan-totokan seperti tadi. Sekali ini seluruh tubuh Kun Hong mengeluarkan peluh dan terpaksa ia beristirahat lebih lama dari tadi.

Cui Bi mendekat. Melihat wajah dan pernapasan ayahnya, girang bukan main hatinya. Ia memandang pemuda yang bersila di lantai itu penuh kekaguman, penuh cinta kasih dan ingin rasa untuk memeluknya. Ia berterima kasih sekali dan memandang dengan mesra.

Cepat dia menuangkan arak yang tersedia di kamar itu ke dalam sebuah cawan, lalu ikut duduk bersila di dekat Kun Hong, cawan arak di tangannya, menanti sampai pemuda itu menyudahi semedhinya.

Tercenganglah Kun Hong ketika ia membuka mata, ia melihat Cui Bi duduk mendeprok di depannya, memandang mesra dan mengangsurkan secawan arak.

"Kau minumlah dulu...," suaranya merdu sekali, bisikan yang membuat wajah Kun Hong seketika menjadi merah dan jantungnya berdebar keras.

Cepat ia menindas perasaan ini, sambil tersenyum menerima cawan itu dan meminum isinya.

"Terima kasih, memang perlu bagiku...," jawabnya sambil mengembalikan cawan yang telah kosong.

Kemudian ia mencabuti jarum-jarum itu dan terdengarlah Beng San mengeluh. Pendekar sakti itu batuk-batuk tiga kali, kemudian membuka matanya. Dengan gerakan ringan dia mengangkat kedua tangannya, lalu seperti orang kaget dan heran ia bangun duduk.

"Ayah, kau sembuh...!" teriak Cui Bi.

"Ahhh... Orang muda, kau benar-benar luar biasa...," kata Beng San.

"Harap Paman jangan bergerak lebih dahulu, perlu mengembalikan tenaga dalam, maaf, akan saya bantu, harap Paman mengerahkan tenaga dari pusar ke dalam rongga dada, terutama ke sebelah kiri untuk memperkuat jantung. Bi-moi, kau hangatkan arak untuk ayahmu nanti."

Sambil berjingkrak-jingkak dan menari-nari kegirangan Cui Bi membuka pintu, keluar dari kamar itu. Empat orang muda yang menunggu di luar kaget, akan tetapi mereka girang sekali ketika dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar gadis itu berkata,

"Ayah sembuh... ohh, Ayah sembuh... Hong-ko hebat...!" Ia lalu lari untuk menghangatkan arak dan menyampaikan berita girang ini kepada ibunya.

Mendengar ucapan ini, empat orang itu segera melongok melalui pintu kamar yang sudah terbuka oleh Cui Bi tadi. Dengan penuh kekaguman dan juga keheranan mereka melihat Beng San sudah duduk bersila tanpa baju. Wajahnya tampak merah, bibirnya tersenyum dan matanya meram. Di belakangnya duduk Kun Hong bersila pula sambil menempelkan tangan kiri di belakang leher dan tangan kanan di belakang punggung Beng San. Pemuda ini juga memeramkan matanya.

Terdengar tindak kaki tergesa-gesa dan ketika mereka menengok, ternyata Li Cu yang berlari-lari datang, matanya berlinang air mata. Seakan-akan tidak melihat adanya empat orang muda di depan pintu itu, dia terus langsung memasuki kamar, terhenti di ambang pintu, dan menahan napas. Matanya memandang ke arah suaminya, lalu ia terisak-isak ditahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, menangis perlahan.

Kong Bu dan Sin Lee yang melihat ini semua tiba-tiba mendengar isak lirih di belakang mereka dan ternyata ketika mereka menengok, Hui Cu dan Li Eng juga sedang terisak menangis!

"Ehh, mengapa menangis?" Sin Lee berbisik kepada Hui Cu.

"Karena girang!" jawab Li Eng dan ternyata ketika menurunkan tangan, wajah gadis ini berseri-seri.

"Girang tapi menangis?" Kong Bu menyela. "Aneh, kalau girang menangis, habis kalau berduka bagaimana?"

"Tentu saja menangis juga," sekarang Hui Cu yang menjawab, dan baru kali ini terdengar gadis pendiam ini bergurau, agaknya saking gembira hatinya melihat betapa pamannya betul-betul dapat menyembuhkan Ketua Thai-san-pai itu.

Agaknya Beng San mendengar juga isak tertahan itu. Ia membuka matanya memandang kepada Li Cu yang sedang berlutut di pinggir pembaringan, lalu tersenyum. "Kwa-hiante, cukuplah, aku sudah yakin sekarang bahwa aku akan sembuh. Kau turunlah."

Mendengar ini, Kun Hong melepaskan kedua tangannya. Mukanya agak pucat, namun wajahnya berseri. Ia segera turun dari pembaringan ketika isteri Beng San berlutut di situ. Beng San memandang dengan wajah berseri.

"Tak kusangka bahwa hari ini nyawaku tertolong oleh putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong. Hiante, tidak perlu aku mengucapkan terima kasih, cukup kalau kunyatakan bahwa aku telah berhutang nyawa kepadamu. Hiante, kalau aku boleh bertanya, dari siapakah kau mendapat ilmu pengobatan yang luar biasa ini?"

Kun Hong sudah berdiri di tengah kamar, tunduk kemalu-maluan dan di belakangnya berdiri empat orang muda yang tadi menanti di luar kamar, sedangkan Li Cu kini pun sudah duduk di pinggir pembaringan.

Dengan malu-malu dan merendah Kun Hong menjawab, "Paman sakit dan aku berusaha merawat, soal seperti ini harap Paman jangan besar-besarkan. Andai kata saya yang menderita sakit, saya yakin Paman juga tentu akan merawat saya. Ada pun tentang ilmu pengobatan, saya membaca dari kitab-kitab pengobatan Toat-beng Yok-mo."

Beng San beserta isterinya saling pandang penuh keheranan. Toat-beng Yok-mo adalah seorang tokoh jahat, seorang manusia berhati iblis yang selalu membunuh setiap orang yang berobat kepadanya. Lalu bagaimana putera Ketua Hoa-san-pai ini dapat membaca kitab-kitab pengobatannya?

Kalau sekali membaca terus ingat hal ini tidak aneh bagi Beng San karena dia sendiri pun seorang yang amat cerdas dan sanggup sekali membaca terus ingat. Akan tetapi, hanya membaca saja, bagaimana dapat melakukan pengobatan-pengobatan yang memerlukan tenaga lweekang?

"Hiante, keteranganmu itu cukup, memang Yok-mo adalah seorang ahli pengobatan yang tiada keduanya di dunia ini. Akan tetapi caramu mengerahkan lweekang membantu penyaluran tenaga dalam padaku, hemmm, apakah itu kau pelajari pula dari kitab-kitab Yok-mo? Aku tahu betul lweekang Hoa-san-pai tidak begitu, malah lweekang yang kau salurkan tadi sejalan atau masih satu sumber dengan lweekang Thai-san-pai. Sukakah kau memberi keterangan?"

Kun Hong menjadi bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tidak suka berbohong, akan tetapi juga tidak berani membuka rahasia gurunya yang sudah tidak ada dan yang tidak pernah dilihatnya itu. Karena itu ia hanya menundukkan muka tak dapat menjawab.

Melihat ini, Li Cu memandang suaminya, berkedip yang hanya diketahui oleh mereka berdua, lalu berkata,

"Hal itu kukira tidaklah aneh betul. Aku mendengar bahwa kepandaian Yok-mo sebetulnya adalah warisan yang terjatuh di tangannya, yaitu warisan dari Yok-ong (Raja Obat), ada pun lweekang dari Yok-ong ini kabarnya sesumber dengan lweekang dari Pendekar Sakti, nenek moyang perguruan kita."

Beng San mengangguk-angguk dan tak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu Cui Bi berlari masuk membawa arak hangat.

"Hong-ko, ini araknya!" katanya penuh kegembiraan dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mesra.

Akan tetapi ketika melihat semua orang berada di situ dan semua orang termasuk ibu dan ayahnya memandangnya, ia menjadi sadar. Dengan malu-malu ia meletakkan mangkok arak di atas meja, lalu menghampiri ayahnya.

"Ayah, kau sudah sembuh betul?" Ia memeluk ayahnya.

"Bi-ji, ayahmu sudah selamat, hanya tinggal memulihkan tenaga saja berkat pertolongan Kwa Kun Hong Hiante. Dan kau sendiri, ahh... Cui Bi, karena melihat kau ada dalam cengkeraman manusia iblis Giam Kin itulah yang membuat ayahmu ini sampai menderita luka-luka. Bagaimana kau bisa selamat, anakku? Apakah kedua orang kakakmu itu yang menolongmu?"

"Ayah belum tahukah kau, Ayah? Yang menolongku adalah Hong-ko ini juga! Kalau tidak lekas-lekas dia datang, sekarang aku sudah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, daging dan kulitku tentu sudah habis..." sampai di sini Cui Bi menangis, ngeri mengingat semua pengalamannya.

Kun Hong merasa semakin tidak enak, ia memang pemalu dan tidak suka menghadapi pujian-pujian. Ia cepat-cepat mengambil arak hangat dan diangsurkan kepada Beng San, katanya,

"Arak hangat ini baik sekali untuk Paman, harap suka minum dan selanjutnya, untuk waktu tiga hari sebaiknya minum obat yang akan saya buat resepnya. Maafkan, Paman, saya hendak membuat resep di luar dan mengaso."

Saking herannya mendengar keterangan Cui Bi tadi, Beng San menerima mangkok arak hangat sambil memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda yang lemah-lembut itu, meski pun dia sudah dapat menduga dari sinar matanya bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, dapat menolong puterinya dari tangan Giam Kin manusia iblis Si Raja Ular Kecil!

Ia lalu minum araknya, dan memberi tanda kepada Kong Bu dan Sin Lee sambil berkata, "Anak-anakku, kalian mendekatlah..."

Kong Bu dan Sin Lee dengan terharu lalu melangkah maju dan berlutut pula dekat Cui Bi di depan tempat tidur.

Melihat betapa orang tua dan anak-anaknya itu berkumpul di situ diam-diam Hui Cu dan Li Eng saling mengangguk. Mereka segera keluar dari kamar itu, mencari Kun Hong yang ternyata sedang berjalan-jalan di dalam taman menghirup hawa udara segar.

Dua orang gadis ini menggandeng tangan Kun Hong di kanan kiri dan keduanya tiada hentinya memuji-muji dengan bangga sampai akhirnya Kun Hong membentak mereka disuruh diam.

Ada pun di dalam kamar itu tampak pemandangan yang amat mengharukan. Bergantian Beng San memeluk dan membelai kepala puteranya, lalu mereka semua mendengarkan penuturan Cui Bi tentang pertolongan Kun Hong.

Mendengar cara Kun Hong menolong Cui Bi, kembali mereka semua menjadi tertegun dan ragu-ragu. Kalau melihat cara mengusir ular-ular itu mempergunakan api, adalah cara orang biasa, bukan cara seorang ahli silat tinggi.

"Aneh sekali anak itu," Beng San berkata, "sepak terjangnya penuh keberanian, memiliki kepandaian ilmu pengobatan yang luar biasa pula, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Pernahkah kalian melihat dia memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang ahli silat kelas tinggi?"

Cui Bi menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan lawan berat dan betapa Kun Hong secara aneh sekali berani menantang kemudian mempermainkan Kang Houw yang secara aneh memukuli batu sampai seratus kali, juga bagaimana pemuda itu menantang dan dikeroyok oleh Tok Kak hwesio dan Toat-beng Yok-mo akan tetapi akhirnya dua orang tokoh itu saling gebuk sendiri.

Mendengar ini Beng San mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala seperti tidak percaya akan semua penuturan aneh itu.

Demikianlah, kalau di luar kamar dalam taman dua orang gadis Hoa-san-pai memuji-muji paman mereka, adalah di dalam kamar itu Beng San yang baru saja bebas dari ancaman maut, bergembira ria, bercakap-cakap dengan anak-anaknya dan mendengar penuturan mereka seorang demi seorang…..

********************

Pada hari yang ditentukan, hari ke lima belas bulan itu, pagi-pagi sekali Beng San telah menampakkan diri. Mukanya masih agak pucat, tubuhnya masih agak lemah karena biar pun sudah sehat kembali namun tenaganya belum pulih seluruhnya. Namun ia kelihatan gagah tenang seperti biasa.

Keluarnya pendekar ini diiringkan para anak muridnya yang mengangkat panji-panji dan benda-benda pusaka yang akan dijadikan lambang partai baru ini. Beng San berpakaian sederhana, pedangnya tergantung di punggung, hanya kelihatan gagangnya saja yang menonjol di atas pundak. Sikapnya tenang dan kereng, tidak merendah dan malu-malu seperti pada waktu mudanya. Langkahnya tegap dan pribadinya membayangkan wibawa besar.

Di sebelah kirinya berjalan Li Cu. Nyonya ini meski sedang mengandung tiga bulan, tidak kelihatan kegendutan perutnya. Pakaiannya ringkas, mukanya tetap cantik jelita biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Sinar matanya tajam menyapu ke kanan kiri, ke arah para tamu. Gagang pedang yang persis sama dengan pedang Beng San tampak di belakang pundaknya. Nyonya ini membayangkan sifat yang berani, keras hati akan tetapi lemah lembut.

Yang menarik perhatian semua orang, terutama para tamu muda, adalah tiga orang gadis yang berjalan di belakang nyonya Ketua Thai-san-pai ini. Mereka ini adalah Cui Bi, Li Eng, dan Hui Cu. Tiga orang gadis remaja ini kelihatan cantik-cantik manis, masing-masing memiliki kelebihan sendiri, akan tetapi ketiganya nampak gagah dan bersemangat, jelas membayangkan kepandaian ilmu silat tinggi.

Di belakang Beng San berjalan dua orang pemuda yang tampan gagah, yang berjalan sambil membusungkan dada, mengangkat dada tinggi-tinggi dan kepala tegak dengan mata memandang lurus ke depan, dua orang muda yang membayangkan kekuatan hebat. Mereka ini adalah Kong Bu dan Sin Lee.

Di belakang dua orang muda ini, kelihatan Kun Hong yang kelihatan lemah lembut dan semua orang tentu mengira bahwa dia merupakan seorang pemuda pelajar yang lemah. Pedang Ang-hong-kiam dia simpan di balik jubahnya sehingga tidak kelihatan dari luar. Langkahnya lambat dan lebar, bibirnya tersenyum akan tetapi pandang matanya serius, seperti pandang mata orang-orang yang sudah tergembleng oleh pengalaman dan derita hidup.

Memang Kun Hong merasa agak kuatir, juga Li Cu. Kun Hong mengusulkan tadi agar hari pendirian ini ditunda dan diundurkan. Kesehatan pamannya itu walau pun sudah tidak menguatirkan lagi, akan tetapi tenaga dalamnya belum pulih sama sekali sehingga kalau menghadapi orang pandai, bisa-bisa akan celaka.

Kun Hong sudah dapat meramalkan bahwa dalam pertemuan itu sudah pasti orang-orang jahat akan maju mempergunakan kesempatan ini untuk mengacau. Mendengar ini, Li Cu juga membujuk suaminya supaya menunda dan mengundurkan hari itu. Akan tetapi dengan bersikeras Beng San menolak.

"Pendirian sebuah partai tidak boleh dibuat main-main. Kita sudah mengumumkan dan orang-orang gagah dari semua penjuru membanjir datang, bagaimana dapat ditunda lagi? Apa lagi kalau alasannya hanya karena aku kurang sehat. Hemmm, pendirian ini lebih penting dari pada keselamatanku. Biarlah mereka yang bermaksud buruk maju, aku masih ada kekuatan untuk melawannya."

"Tidak usah Ayah maju, aku sendiri pun sanggup mewakilinya memberi hajaran kepada manusia-manusia iblis!" seru Cui Bi dengan muka gemas karena ia teringat kepada Giam Kin dan ingin sekali berhadapan dengan manusia licik itu.

"Ibu tidak usah kuatir, aku Kong Bu tidak percuma berada di samping Ayah," kata Kong Bu penuh semangat.

"Aku pun tidak akan membiarkan orang menghina Ayah!" kata Sin Lee.

"Paman dan Bibi, kalau membolehkan kami berdua juga sanggup untuk mewakili Paman menghadapi orang-orang yang hendak mengacau," kata Li Eng dan Hui Cu mengangguk membenarkan.

Mendengar ucapan orang-orang muda yang penuh semangat ini, Beng San lalu tertawa gembira.

"Nah, ke mana semangatmu yang dulu-dulu?" dia menegur isterinya. "Sikap mereka ini mengingatkan aku akan semangatmu pada masa dahulu. Dahulu kau pun bersemangat seperti bocah-bocah ini."

Mereka tertawa dan Li Cu hilang kekuatirannya. Ia cukup maklum akan kelihaian dua orang anak tirinya, juga maklum bahwa selain Cui Bi, Li Eng cukup boleh diandalkan. Apa lagi di situ ada dia sendiri, takut apa lagi?

Juga tidak semua tamu memusuhi mereka, banyak juga teman-teman baik yang tentu tak akan membiarkan Thai-san-pai dikacau oleh orang jahat. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan hal ini tidak mau ia sembunyikan.

"Bukannya aku kehilangan semangat," katanya kemudian. "Akan tetapi yang agak berat dilawan adalah tosu itu. Entah siapa dia? Gerakan tangannya saja menunjukkan tenaga lweekang yang hebat sekali."

Beng San mengerutkan kening, "Ahh, kau maksudkan suheng dari Siauw-ong-kwi yang bernama Pak-thian Locu itu? Memang dia hebat. Hemmm, tak usah kuatir, aku sanggup menghadapinya."

Padahal diam-diam Beng San harus mengakui bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tak mungkin ia dapat memandang rendah kepada kakek itu. Ia boleh mengandalkan ilmu pedangnya, akan tetapi dalam hal tenaga, ia kalah jauh. Kalau di waktu sehat saja ia sudah kalah lihai dalam tenaga dalam, apa lagi sekarang. Tenaganya belum ada enam puluh prosen yang kembali. Tetapi kekuatiran ini ia tekan saja di dalam hatinya dan tidak diperlihatkan keluar.

Setelah rombongan tuan rumah ini sampai di tempat yang sudah disediakan, yaitu di belakang panggung, Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya.

Dengan rapi dan teratur anak murid Thai-san-pai berbaris mendekati panggung. Beberapa orang naik ke panggung dengan gaya loncatan khas Thai-san-pai, ringan dan gesit tetapi tanpa kelihatan mengerahkan tenaga. Beberapa orang ini mengatur meja sembahyang yang semenjak tadi memang sudah dipasang di sudut panggung. Dengan hormat mereka menyalakan lilin, mengatur meja sembahyang lalu berdiri di kanan kiri merupakan barisan penghormatan.

Beng San melangkah maju, terus tubuhnya melayang ke atas panggung seperti seekor burung terbang, menghampiri meja, memasang hio dan melakukan sembahyang dengan khidmat. Dengan suara lantang pendekar ini mengucapkan sumpah dan mohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya Thai-san-pai dapat berdiri kokoh kuat dan para murid tidak menyeleweng dari peraturan-peraturan yang disumpahkan itu.

Setelah Beng San selesai bersembahyang, sebagai sumpah anggota, Li Cu dan Cui Bi meloncat ke atas panggung. Ibu dan anak ini gerakannya ringan seperti bulu terbawa angin saja, kemudian mereka lalu bersembahyang.

Kemudian datanglah giliran para anggota yang jumlahnya tiga puluh tujuh orang itu untuk melakukan sembahyang dan selesailah sudah upacara sembahyangan ini. Kini tiba giliran para tamu untuk memberi selamat kepada Thai-san-pai dan menyampaikan bingkisan-bingkisan sebagai tanda mata.

Bukan main gembiranya suasana di saat itu. Apa lagi ketika berbondong-bondong datang rombongan sahabat-sahabat Ketua Thai-san-pai, terjadilah gelak tawa, wajah berseri-seri dan berisiklah orang bercakap-cakap. Betapa hati Beng San tidak akan girang menerima sahabat-sahabat lama dari partai-partai persilatan besar Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai, dan Go-bi-pai. Bahkan yang membuat ia luar biasa bergembira adalah hadirnya Ketua Kun-lun-pai, sahabat lamanya yang bernama Bun Lim Kwi bersama puteranya, Bun Wan.

Tentu saja sahabat dan calon besan ini mendapat penyambutan hangat sekali dan suami isteri Thai-san-pai ini diam-diam merasa makin gembira melihat calon mantu mereka, Bun Wan. Pemuda itu ternyata gagah sekali, dengan tubuh tinggi besar dan tegap. Alisnya hitam berbentuk golok, matanya penuh kejujuran dan kesetiaan, sedang gerak-geriknya membayangkan bahwa dia merupakan seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, patut menjadt putera ketua Kun-lun-pai, dan calon mantu Ketua Thai-san-pai.

Akan tetapi, ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah tunangannya, Cui Bi membuang muka dan bersembunyi di belakang para anak murid Thai-san-pai. Ia diam-diam harus mengakui bahwa tunangannya itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi karena hatinya telah terampas oleh pemuda Hoa-san-pai yang sederhana itu, mana ia mau memandang tunangannya lagi?

Ketika ibunya menarik tangannya ke depan, terpaksa dia memberi hormat kepada ‘calon ayah mertuanya’ tanpa sepatah kata-kata pun, lalu dia bersembunyi lagi.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar