Rajawali Emas Chapter 34

Setelah berhasil memisah dua orang muda yang bertanding hebat itu, Beng San berdiri memandang dengan penuh kekaguman dan keheranan. Ia bingung juga karena menurut puterinya, Cui Bi, di sini ia akan bertemu dengan puteranya, putera Bi Goat yang bernama Kong Bu. Tidak tahunya sekarang ada dua orang pemuda yang bertanding sedemikian hebatnya, sama-sama muda, sama-sama gagah dan yang aneh, ia merasa seakan-akan sudah mengenal wajah keduanya!

Cui Bi serta merta menghampiri Kong Bu dan menarik tangan kakak tirinya ini, dibawa mendekat kepada ayahnya. "Bu-ko, inilah Ayah. Ayah, inilah Kakak Kong Bu!"

Keduanya berdiri saling pandang seperti terpesona. Beberapa detik kemudian, menitiklah dua air mata dari mata Beng San. Dia seakan-akan melihat Bi Goat dalam diri Kong Bu, mulut itu, mata itu...

"Ayah...!" Kong Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng San.

"Anakku... kau anakku...!"

Beng San lalu memeluk pundaknya, mendekap kepala puteranya itu seperti ia mendekap kepala Bi Goat, isteri yang amat dikasihinya dahulu.

"Terima kasih, Tuhan. Kau telah mempertemukan kami dalam keadaan begini..."

Memang selama ini Beng San selalu berkuatir kalau-kalau anak-anaknya dari Bi Goat dan Kwa Hong akan dididik orang untuk membenci dan memusuhinya.

"Ayah, terus terang saja, memang tadinya anak datang mengandung pikiran yang tak baik terhadap Ayah. Syukur anak bertemu dengan Adik Cui Bi...," kata Kong Bu yang jujur.

Berseri wajah Beng San. "Cui Bi anak baik!"

Ia berdiri dan Li Cu lalu mendekati Kong Bu, memandang dengan wajah berseri.

"Kong Bu-koko, ini ibuku," kata Cui Bi memperkenalkan.

Kong Bu memandang sejenak, melihat wajah cantik berseri-seri, lalu ia pun menjatuhkan diri berlutut. "Anak Kong Bu menghaturkan hormat."

Sepasang mata yang bening itu menjadi basah. Suaranya menjadi serak karena terharu ketika wanita ini merangkul Kong Bu sambil berkata, "Kau anakku! Belasan tahun aku menanti-nanti datangnya saat ini. Ayahmu sangat banyak menderita karena memikirkan kau, Anak."

Diam-diam Kong Bu terharu sekali. Sama sekali tak pernah ia membayangkan bahwa ibu tirinya adalah seorang wanita yang selain cantik jelita dan gagah, juga demikian baik hati dan mau menerimanya sebagai anak dengan tulus ikhlas. Hal ini tak dapat disangkal lagi, tidak mungkin sikap seperti ini dibuat-buat dan diam-diam ia makin bersyukur bahwa ia telah percaya akan segala omongan adik tirinya, Cui Bi.

Dalam kegirangan dan keharuannya, Kong Bu teringat kepada lawannya, maka ia segera berkata kepada ayahnya, "Ayah, dia adalah anak... siluman betina Kwa Hong yang telah merusak hidup mendiang ibuku! Harap Ayah jangan kuatir, biar kubinasakan dia!"

"Hemm, Kong Bu bocah sombong, kau ingin mengandalkan teman banyak untuk menjual lagak? Kau kira aku takut? Boleh maju mengeroyok, aku Sin Lee takkan mundur setapak!"

Sementara itu, ketika Beng San dan Li Cu mendengar kata-kata Kong Bu tadi, suami isteri ini berdiri terkesima dan mereka memandang kepada Sin Lee seperti patung. Anehnya, wajah Beng San pucat sekali dan air mata makin deras mengalir dari sepasang mata Li Cu.

"Thian Yang Maha Adil!" Beng San akhirnya mengeluh. "Sudah terasa di hatiku tadi, aku... aku seperti mengenali wajahnya..."

Beng San melangkah mendekati Sin Lee yang memandang dengan mata tajam curiga.

"Kau... kau anak Hong Hong? Kau... kau juga anakku... anakku...!" Dengan kedua lengan dikembangkan, Beng San hendak memeluk Sin Lee.

Pucat seketika wajah Sin Lee dan ia cepat-cepat menghindarkan diri. "Bohong! Aku bukan anakmu! Bukankah kau yang bernama Tan Beng San?"

Berseri wajah Raja Pedang ini, girang bahwa puteranya, keturunan Kwa Hong, ternyata mengenal namanya. Dengan penuh gairah dia menjawab, "Betul, anakku, betul... akulah Tan Beng San!"

Muka Sin Lee mengeras. "Bagus, memang kedatanganku ini hendak bertemu dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai. Menurut ibuku, engkaulah salah seorang di antara mereka yang menjadi sebab kematian ayahku dan sebab kesengsaraan hidup ibuku. Tan Beng San, kau harus ikut dengan aku ke Lu-liang-san untuk menghadap Ibuku dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Ibu sendiri!"

Semuanya kaget mendengar ini, kecuali Beng San yang mendengarnya dengan senyum duka.

"Kanda Sin Lee...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru dan mendekati pemuda ini. Dalam sedih dan bingungnya nona ini sampai lupa diri dalam panggilannya yang demikian penuh perasaan dan mesra. "Jangan... jangan kau memusuhi Paman Tan Beng San... ahh, kenapa jadi begini...?" Gadis itu lalu menangis terisak-isak.

Kening Sin Lee berkerut. Kekerasaan hatinya tertusuk dan kelemahannya tersinggung. Akan tetapi ia mengeraskan perasaan, menyentuh tangan Hui Cu yang diulurkan. Hanya sedetik saja tangan mereka bersentuhan, dan pemuda ini berkata, suaranya halus namun penuh ketegasan,

"Dinda Hui Cu... menjauhlah kau... urusan ini tak dapat dirubah lagi. Ini kehendak Ibu dan aku harus berbakti kepada Ibu, biar untuk itu aku harus berkorban nyawa sekali pun. Ibu selamanya hidup menderita, ditinggal Ayah dan dihina banyak orang, kalau aku sebagai putera tunggalnya tidak berbakti kepadanya, habis apa balasku terhadap Ibu yang telah melahirkan aku? Dinda, jangan kau turut-turut, jangan beratkan hatiku, mundurlah..."

"Kalau begitu. kau memang patut mampus!" Tiba-tiba Kong Bu membentak dan pemuda ini mengirim pukulan keras sekali.

Sin Lee mendengus dan mengangkat tangan menangkis.

"Dukkk!"

Dua lengan tangan yang sama kuatnya bertemu, membuat tubuh keduanya terpental ke belakang tiga langkah. Kong Bu masih hendak menyerang lagi namun Beng San segera berseru,

"Kong Bu, tahan! Jangan kau serang dia! Sin Lee, kau adalah anakku, kau mau mengaku atau tidak, kau adalah anakku!" Beng San berseru dengan suara parau.

Kong Bu terpaksa melompat mundur dengan hati gemas, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak ayahnya. Juga Cui Bi yang sudah tahu akan semua hal ini karena ia pernah mendengar dari ibunya tentang Kwa Hong, sekarang mendekati Kong Bu dan memegang tangannya, memberi isyarat agar supaya kakak tirinya ini tidak ikut campur.

Melihat betapa suaminya meratap-ratap dengan hati hancur, sementara Sin Lee berdiri tegak dan tegap, sikapnya angkuh membayangkan sikap Kwa Hong dahulu, Li Cu dapat merasakan betapa hancurnya hati suaminya itu, betapa suaminya saat ini seperti ditampar mukanya, seperti dibuka matanya akan akibat dari perbuatannya yang lalu.

Li Cu adalah seorang wanita bijaksana, seorang yang berpandangan luas dan memang pada dasarnya berbudi mulia. Ia tidak hanya berkasihan kepada suaminya yang tercinta, akan tetapi juga kasihan kepada Sin Lee yang tidak berdosa apa-apa tetapi seakan-akan sekarang memikul akibat dari dosa yang dilakukan ayah bundanya.

"Aku tidak percaya kau ayahkul" Sin Lee membentak. "Ayah sudah mati dan kau adalah seorang di antara mereka yang menyebabkan kematiannya. Aku harus percaya kepada ibuku seorang dan kau mau tidak mau harus ikut aku menghadap ibuku!"

Li Cu bergerak ke depan dan menghadapi Sin Lee. Ia menahan-nahan keluarnya air matanya. Memang harus dikasihani wanita ini. Kalau ada wanita yang merasa perih dan tertusuk hatinya menghadapi semua peristiwa ini dialah orangnya.

Pada waktu yang sama, dia harus menyaksikan pertemuan antara suami dan dua orang anak yang terlahir dari dua orang isteri suaminya yang lain. Akan tetapi dasar ia berwatak baik, ia tidak merasa sakit hati malah merasa kasihan sekali, baik kepada suaminya mau pun kepada anak-anaknya itu.

"Sin Lee, aku adalah Cia Li Cu, isteri Tan Beng San. Akulah saksi utama bahwa kau adalah benar-benar anak suamiku ini, kau anak Tan Beng San dan Kwa Hong, jangan kau melawan ayahmu sendiri, Nak. Kau anak suamiku, juga anakku, meski pun anak tiri tapi kuanggap kau anakku sendiri. Majulah, berilah hormat kepada ayahmu, Sin Lee, seperti yang kau lihat tadi dilakukan oleh Kong Bu, juga anak kami yang lahir dari Kwee Bi Goat. Berdosa melawan orang tua sendiri, Sin Lee."

Pemuda itu memandang dengan mata terbelalak tajam. "Hanya Ibu yang kupercaya! Ibu menyatakan bahwa Tan Beng San adalah musuh Ibu, yang harus kuseret ke depan Ibu di Lu-liang-san. Malah Ibu bepesan, wanita yang bernama Cia Li Cu adalah musuh besarnya dan harus kubunuh."

Terdengar jerit kemarahan dan Cui Bi sudah melompat maju menerjang dengan pedang terhunus.

"Traangggg!"

Pedang gadis ini terangkis oleh pedang Sin Lee. Demikian keras pertemuan senjata ini sampai keduanya mundur tiga langkah, saling pandang dengan mata berapi-api. Dengan pedangnya Cui Bi menuding ke arah muka Sin Lee sambil berseru marah,

"Keparat kau! Sombong dan jahat, seperti orang yang menjadi ibumu! Ketahuilah, ibumu itulah yang jahat, bagaikan iblis betina. Dunia kang-ouw tahu belaka akan hal ini. Ibunya iblis, anaknya pun setan!"

"Cui Bi... diam kau...!" Li Cu membentak dan menarik tangan anaknya.

"Memang betul ucapan Cui Bi!" Tiba-tiba saja Li Eng berteriak dan gadis ini pun sudah mencabut pedang. "Siluman betina Kwa Hong orang terjahat di dunia, anaknya pun bukan orang baik! Aku masih ada perhitungan dengan siluman Kwa Hong yang belum kutagih!"

Seperti juga Cui Bi tadi, Li Eng saking marah melihat anak musuh besarnya, menerjang dengan pedang diputar. Hebat sekali serangan ini, sinar pedang itu sampai menyerupai payung lebar yang mengurung diri Sin Lee. Kembali Sin Lee menggerakkan pedangnya menangkis dan dua orang muda itu terpental ke belakang.

"Adik Li Eng, jangan...!" Hui Cu mengejar sambil terisak-isak dan menarik tangan Li Eng mundur. "Janganlah... kau jangan serang dia..." bisik Hui Cu dengan muka pucat dan pipi basah air mata.

Menghadapi Kong Bu, Cui Bi, dan Li Eng yang memandang padanya seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat itu, Sin Lee tersenyum mengejek, "Hemmm, ada kabar akan didirikannya Thai-san-pai, yang katanya diketuai seorang ahli pedang yang berkepandaian tinggi. Kiranya hanya tukang keroyok. Hayo Tan Beng San, kalau memang kau tidak suka kuseret ke Lu-liang-san, terpaksa aku menggunakan kekerasan. Ataukah engkau hendak menggunakan anak-anakmu untuk mengeroyok? Majulah kalian, siapa takut kepadamu?"

"Jahanam jangan sombong kau!" Kong Bu yang berdarah panas itu tak dapat menguasai hatinya lagi, segera ia menerjang dengan pedang di tangannya.

Gerakan Kong Bu ini otomatis disusul oleh Cui Bi dan Li Eng, sehingga sekaligus Sin Lee menghadapi serangan tiga orang muda itu! Tingkatnya adalah tak berbeda jauh dengan seorang di antara mereka, bahkan dibandingkan Cui Bi, kiranya sukarlah dia mengatasi gadis ini. Akan tetapi Sin Lee memiliki keberanian yang tak kenal batas dan ketabahan hatinya membuat dia nekat. Pedangnya diputar dan…

“Trang-trang-trang!” terdengar suara nyaring disusul muncratnya bunga api.

Li Cu dan Beng San berteriak-teriak melarang, juga Hui Cu berteriak-teriak memanggil nama Li Eng. Hanya Kun Hong yang berdiri seperti patung, tak tahu harus berbuat apa. Ia sudah mulai mengerti akan duduknya perkara, dan ia benar-benar merasa bingung.

Kun Hong menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Hukum karma... orang tua yang menanam, anak-anak yang memetik buahnya!"

Mendadak berkelebat bayangan orang yang didahului oleh lengking tinggi, sinar pedang menderu dan bunyi cambuk berdetar-detar di udara sehingga membuat tiga orang muda yang mengeroyok Sin Lee terkejut dan cepat meloncat mundur sambil melindungi tubuh dengan pedang masing-masing karena entah dari mana datangnya, ujung cambuk yang ada anak panahnya menyerang bagian-bagian berbahaya tubuh mereka.

"Hi-hi-hi, Beng San pengecut! Melepaskan anjing-anjing cilik untuk mengeroyok Sin Lee. Anakku Sin Lee, jangan takut! Ibumu datang!"

Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik dan bermata liar, memegang cambuk yang berekor lima batang anak panah hijau. Kwa Hong, wanita yang selama belasan tahun menyembunyikan diri itu sekarang muncul tiba-tiba di tempat itu dengan sinar mata penuh mengandung nafsu membalas dendam, sepasang mata yang masih bening akan tetapi amat liar dan ganas!

"Hong-moi...!" Beng San berseru.

Akan tetapi suaranya terhenti karena lehernya serasa tercekik. Ia sudah melangkah maju dua tindak lalu berdiri seperti patung, sinar matanya membayangkan kedukaan hebat.

"Ha-ha-ha-ha, Beng San, masih merdu suaramu memanggil aku. Hong-moi... alangkah merdunya. Ahh, Beng San, kau masih pandai merayu, hik-hik-hik!"

"Hong-moi, apakah kau tidak dapat menyudahi saja urusan lama? Lihat, anak kita sudah begitu besar, Hong-moi, dan demi Tuhan, janganlah kau bawa anak kita terseret-seret ke dalam urusan kita...," kata pula Beng San dengan suara menggetar.

Kembali Kwa Hong tertawa. "Beng San, apakah kau tidak ingat betapa dahulu kau selalu menyakiti hatiku, menolakku dan membiarkan aku hidup merana sendiri? Membiarkan aku berubah menjadi iblis? Hi-hi-hik, sejak kecil kupelihara, kugembleng supaya setelah besar dapat membalaskan sakit hatiku terhadapmu, sekarang tibalah saatnya. Sin Lee, anakku, inilah orangnya yang sudah merusak hidup ibumu. Kau turun tanganlah, bunuh dia. Kau jangan takut, ada ibumu di sini!"

Tangan Sin Lee yang memegang pedang menegang, lalu menggetar, akan tetapi bibirnya bertanya, lirih, "Ibu..., benarkah dia itu ayahku?"

"Tak peduli dia itu apamu, dia seorang yang jahat melebihi binatang, patut kau binasakan. Dia menyia-nyiakan kau. Dia makhluk jahat, perusak hati wanita. Bunuh dia!"

Tiba-tiba Li Eng yang sejak tadi memandang marah kepada Kwa Hong, menerjang maju menggerakkan pedangnya mengancam Kwa Hong, "Kwa Hong, kau siluman betina jahat, dengarlah! Aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai! Ingatkah kau betapa kau mengusir ayah dan ibuku memasuki Im-kan-kok, membiarkan mereka mati tidak hidup pun tidak? Sekarang kau hendak mengacau lagi di Thai-san, ahhh... dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, hari ini aku akan membalaskan sakit hati orang tuaku!"

Pedang gadis ini menyerang seperti kilat cepatnya sehingga Kwa Hong menjadi terkejut juga dan cepat mengelak. Untuk sejenak wanita ini tercengang, dan hanya mengelak ke sana ke mari atas desakan Li Eng.

"Kau... kau... anak Thio Bwee dan Kui Lok? Kau lahir di Im-kan-kok? He-he, lucu sekali... kau berani melawan aku?" Mulailah ia menangkis dan balas menyerang.

Sementara itu, Sin Lee sudah memandang kepada Beng San dengan mata mendelik. Dan melihat ibunya sudah bertempur, ia melempar semua keraguan dan menganggap bahwa dia dan ibunya sedang berada di tempat musuh. Maka, cepat ia menusukkan pedang ke arah dada Beng San sambil berseru,

"Kau musuh ibuku, harus kubunuh!"

Beng San mengeluarkan keluhan panjang. Peristiwa yang terjadi di hadapan matanya ini membuat seluruh tubuhnya lemas, matanya berkunang dan hatinya rusak, maka serangan Sin Lee puteranya sendiri itu tak dihiraukan.

"Trangggg!"

Pedang Sin Lee membentur sebatang pedang lain yang digerakkan secepat kilat. Cui Bi sudah menangkis pedang itu dengan mata berapi-api.

"Keparat, jangan ganggu Ayahl"

Pedangnya terus menyerang dan di lain detik Sin Lee sudah bertanding hebat melawan Cui Bi.

Tadinya Kong Bu hanya menonton saja. Biar pun munculnya Kwa Hong mendatangkan rasa panas di hatinya karena teringat bahwa wanita inilah yang menyebabkan ibunya mati ngenes, namun karena Kwa Hong sedang berhadapan dengan ayahnya, dia tidak berani mencampuri dan menanti saat baik.

Sekarang saat itu tiba, yaitu setelah Kwa Hong bertempur melawan Li Eng, kekasihnya. Tentu saja ia tidak bisa tinggal diam, apa lagi karena maklum bahwa wanita itu lihai sekali dan Li Eng bisa berbahaya kalau melawannya seorang diri saja.

"Kwa Hong wanita busuk, ibuku Kwee Bi Goat meninggal dunia akibat merana karena kejahatanmu. Lihat pedangku menamatkan riwayatmu!" bentaknya sambil menerjang.

Tidak heran hati Kwa Hong mendengar ini karena memang ia sudah tahu akan pemuda ini. Sudah lama juga ia mengikuti puteranya sehingga ia tadi mendengar bahwa pemuda gagah ini adalah putera Kwee Bi Goat. Tanpa berkata apa-apa ia segera menangkis dan menghadapi Kong Bu dan Li Eng dengan gerakan aneh dari pedang dan cambuknya.

Beng San susah sekali hatinya melihat pertempuran-pertempuran itu. Beberapa kali Li Cu hendak mencabut pedang dan ikut menerjang maju, akan tetapi melihat betapa suaminya menjadi amat sedih, ia pun tidak tega. Li Cu dapat menyelami sepenuhnya kesedihan hati suaminya. Siapa tak akan sedih melihat kedatangan seorang putera yang datang-datang menjadi musuh?

Kun Hong yang bingung juga melihat Hui Cu dengan muka pucat berdiri memandang Sin Lee, merasa bahwa enci tirinya itu memang keterlaluan. Kalau ada urusan lama, mengapa diteruskan sampai sekarang, malah seorang anak disuruh melawan ayahnya sendiri. Tak terasa lagi kakinya melangkah mendekati pertempuran, langsung ia mendekati Kwa Hong dan berkata, suaranya lantang,

"Enci Kwa Hong, kalau Ayah melihat kelakuanmu hari ini, tentu akan marah sekali!"

Kwa Hong kaget dan melirik heran. Biar pun dikeroyok dua oleh Kong Bu dan Li Eng, ia masih sempat memperhatikan pemuda tampan yang aneh, yang berani menegurnya dan memanggil enci ini.

"Bocah, kau siapa?"

“Aku adalah adik tirimu, ayahku Kwa Tin Siong ibuku Liem Sian Hwa! Kelakuanmu hari ini sungguh tidak patut. Seharusnya kau mempertemukan anakmu dengan Tan Beng San Taihiap sebagai anak dan ayah dengan mengubur persoalan-persoalan lama."

"Keparat, tutup mulut kau!"

Sebuah anak panah hijau di ujung cambuk menyambar pundak Kun Hong. Akan tetapi anehnya, anak panah itu tidak mengenai sasaran biar pun tadi kelihatan sudah jitu. Kwa Hong terkejut, apa lagi ketika melirik ke arah gerak kaki Kun Hong yang tidak karuan itu.

"Siapa namamu?"

"Kwa Kun Hong. Enci, kau turutlah permintaanku...," kata Kun Hong girang.

"Kun Hong, kau adikku, seharusnya kau membantuku. Tan Beng San itu orang jahat, dia harus membayar hutangnya."

Terpaksa Kwa Hong memutar cepat cambuknya untuk mendesak Li Eng dan Kong Bu karena selagi dia bercakap-cakap, dua orang muda itu mendapatkan kesempatan untuk menekannya.

"Tidak bisa, Enci Hong. Kau yang tidak patut..."

"Setan, mampuslah!"

Kini dua batang panah menyambar, satu ke ulu hati satu lagi ke arah kepala Kun Hong. Serangan ini hebat sekali dan memang amat keji hati Kwa Hong, menyerang adik tirinya sendiri secara mendadak seperti itu. Akan tetapi kembali ia melengak karena dua batang anak panahnya tidak mengenai sasaran, sedangkan Kun Hong hanya terhuyung-huyung saja.

Semakin kuatir hati Kwa Hong. Baru orang-orang muda ini saja sudah begini hebat. Kalau sampai Beng San dan Li Cu turun tangan, jangan harap ia akan dapat membalas dendam, malah-malah sangat boleh jadi ia dan puteranya akan tewas di tempat itu!

Sementara itu, melihat Kwa Hong dan puteranya terdesak, Beng San tak dapat menahan lagi. Betapa pun lihainya, tapi menghadapi Cui Bi yang marah itu Sin Lee mulai terdesak, sedangkan Kwa Hong juga payah menanggulangi kemarahan Kong Bu dan Li Eng yang amat lihai ilmu pedangnya. Tentu saja ia tidak ingin melihat pertumpahan darah terjadi di antara keluarganya sendiri.

"Berhenti...! Tahan senjata, hentikan pertempuran...!" serunya berkali-kali.

Ketika orang-orang muda itu nekat tidak mau berhenti, Beng San menggerakkan kedua lengannya berkali-kali dan... angin dingin yang luar biasa kuat menyambar ke depan dan membuat mereka yang bertempur itu terhuyung-huyung ke belakang.

Kwa Hong mengeluarkan bunyi lengking marah dan kecewa. "Sin Lee anakku, hayo kita pergi saja!" Ia menyambar tangan Sin Lee dan membawanya pergi melompat dari tempat itu.

Setetah bayangan dua orang ini lenyap, terdengar suara Kwa Hong, melengking nyaring, "Beng San manusia tak berjantung! Boleh kau tertawa atas kemenanganmu, akan tetapi tunggu saja pada hari pembukaan, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi Ketua Thai-san-pai, hi-hi-hik!"

"Bu-ko mari kita kejar dan bunuh mereka!" Cui Bi berseru.

"Hayo!" Kong Bu menjawab dan keduanya berlari maju hendak mengejar, malah Li Eng juga tidak ketinggalan.

"Kong Bu...! Kenapa kau tidak melakukan perintahku?!"

Mendadak sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu seorang kakek tinggi besar bermuka bengis sudah berdiri menghadang. Li Eng sampai mengeluarkan teriakan saking kagetnya karena ia segera mengenal kakek ini yang pernah menculik dia dan Hui Cu.

"Kongkong...!" Kong Bu juga berseru, girang dan kaget.

Sementara itu, ketika Beng San melihat munculnya kakek ini, wajahnya berubah. Cepat ia mengangkat tangan menjura dan berkata, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."

Song-bun-kwi, kakek itu, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sebutan palsu itu masih saja kau pakai? Siapa yang tidak tahu akan kepalsuan hatimu? Eh, Kong Bu, kenapa kau berbaik dengan mereka ini?"

"Kakek, aku mengejar Kwa Hong, bukankah dia musuh besar kita?"

"Betul, akan tetapi kau melupakan laki-laki ini." Dia menuding ke arah Beng San. "Dialah yang membuat ibumu tidak panjang usia. Dia tergila-gila pada wanita lain, meninggalkan ibumu sampai ibumu mati merana. Kita harus memusuhi dia!"

"Kakek... akan tetapi dia… ayahku..."

"Huh! Ayah macam apa! Kau kena dibujuk orang!" Matanya liar menyapu ke kanan kiri. "Hayo pergi, tempat ini tak patut untukmu."

"Tapi... Kongkong..." Kong Bu meragu dan menoleh kepada ayahnya.

"Tidak ada tapi, hayo kau ikut aku pergi! Kau berat ayah keparat yang baru saja kau lihat sekarang ini ataukah kakekmu yang memelihara dan mendidikmu sejak kau masih bayi?" Suara Song-bun-kwi menggeledek dan matanya melotot.

Terjadi pertarungan dalam hati Kong Bu. Baru saja dia mengalami kebahagiaan bertemu dengan ayahnya, terutama sekali dengan Li Eng di tempat yang penuh damai itu. Baru saja hatinya dipenuhi dengan kebanggaan akan ayahnya, yang menyentuh hati baktinya untuk membela ayah dan memusuhi Kwa Hong.

Akan tetapi kemunculan kakeknya ini sekaligus membuyarkan segala yang indah-indah itu, membuka matanya bahwa di sana masih ada arwah ibunya yang menghendaki dia menuntut balas, tidak hanya kepada Kwa Hong, akan tetapi juga kepada Beng San yang meninggalkan ibunya. Hati dan perasaan Kong Bu ketika itu terbelah-belah, terbagi-bagi, sebagian besar condong kepada Li Eng, sebagian lagi pada ayahnya dan sebagian pula kepada kakeknya.

"Kong Bu...!" Suara Song-bun-kwi menggetar penuh kemarahan. "Jika kau tidak mau pergi bersamaku, biarlah mulai saat ini juga aku Song-bun-kwi bukan kakekmu lagi, melainkan musuh besarmu, biarlah lain saat aku mengadu nyawa denganmu!"

"Kongkong..."

Tetapi Song-bun-kwi sudah tidak mau menjawab lagi, melainkan membalikkan tubuh dan melompat pergi dari situ. Dengan muka pucat dan wajah sedih sekali Kong Bu terpaksa melompat juga, kemudian mengikuti kakeknya meninggalkan tempat yang disenanginya, orang-orang yang disayanginya.

Sunyi keadaan di situ setelah kakek dan cucunya itu lenyap bayangannya. Li Eng dan Hui Cu saling pandang dengan muka sedih dan kecewa. Kun Hong sejenak berpandangan dengan Cui Bi, akan tetapi Cui Bi segera menundukkan muka, ngeri melihat wajah Beng San yang berdiri di situ dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan bertumpang di atas dada. Li Cu memandang suaminya dengan mata basah.

Orang gagah ini berdiri tegak. Mukanya yang tampan dan gagah itu merah sekali, malah hampir hitam. Alisnya terangkat, matanya menakutkan seperti mengeluarkan api dan kilat. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundak kirinya.

Beng San melirik dan melihat wajah isterinya yang berusaha tersenyum membesarkan hatinya. Perlahan-lahan warna merah kehitaman pada mukanya itu berubah menjadi putih lalu kehijauan. Ia menarik napas berulang-ulang. Barulah ia menurunkan dua tangannya dan memandang ke arah Kun Hong, Li Eng dan Hui Cu yang sudah menghadap dengan sikap hormat.

"Inikah mereka anak-anak Hoa-san-pai?" terdengar dia bertanya, suaranya masih agak gemetar karena pukulan batin tadi.

Cui Bi segera maju dan memperkenalkan tiga orang muda Hoa-san-pai itu kepada ayah bundanya. Ketiga orang itu, dipimpin oleh Kun Hong, segera menjura dan menghaturkan penghormatan mereka.

Kalau saja Beng San tidak baru saja menderita pukulan batin yang sangat hebat, kiranya pertemuan ini akan menggembirakannya sekali. Mereka ini adalah anak-anak para tokoh Hoa-san-pai yang dikenalnya dengan baik. Akan tetapi karena perasaannya sudah terluka oleh peristiwa tadi, ia hanya berkata kepada Cui Bi,

"Kau ajaklah mereka masuk dan beristirahat di puncak."

Cui Bi maklum akan keadaan hati ayahnya, maka ia lalu mengajak tiga orang muda itu melalui jalan terowongan menuju ke puncak, tempat tinggal ayahnya. Ada pun Beng San dan Li Cu yang ditinggalkan mereka, saling pandang penuh pengertian dan keharuan.

"Aku harus menyusul mereka, aku harus dapat merubah kekerasan hati Hong-moi...," kata Beng San kemudian, seperti kepada diri sendiri.

Li Cu mengerutkan keningnya. "Hatinya keras sekali, juga puteranya. Aku kuatir kau tak akan berhasil. Kenapa tidak menanti sampai selesainya ucapara pendirian Thai-san-pai?"

Beng San menggeleng kepala. "Justru aku tidak mau dia muncul di waktu upacara. Tentu dia akan mempergunakan urusan itu untuk merusak nama dan menggagalkan pendirian Thai-san-pai, Soal namaku, aku tidak peduli, akan tetapi kalau Thai-san-pai gagal berdiri, hal ini lebih hebat dari pada kehilangan nyawa."

Li Cu memegang tangan suaminya. "Akan tetapi, bagaimana kalau kau gagal? Kau akan dihina, kau... kau... biarlah aku ikut bersamamu."

Beng San cepat memegang kedua lengan istrinya. "Tidak! Jangan kau mencampurinya. Ini urusan antara aku dan Kwa Hong. Kalau perlu aku pun bisa menggunakan kekerasan. Kukira aku masih dapat mengatasi mereka ibu dan anak. Kau tak boleh banyak bergerak, isteriku, kau ingatlah kandunganmu. Kau tunggu saja di rumah dan percayalah padaku."

Li Cu menatap wajah suaminya, terisak dan menjatuhkan kepala pada pundak suaminya yang lalu mengelus-elus rambutnya. Awan gelap menyelubungi sepasang suami isteri ini, awan gelap yang timbul dari urusan-urusan lama. Beberapa kali Beng San menarik napas panjang, hatinya penuh penyesalan kepada diri sendiri. Akan tetapi, sesal kemudian tiada guna…..

********************

"Ibu, aku benar-benar tidak mengerti!" Sin Lee mendesak ibunya.

Mereka berdua duduk di bawah pohon dalam tengah sebuah hutan yang gelap karena penuh dengan pohon-pohon raksasa yang tinggi dan berdaun lebat.

"Kau banyak cerewet!" Kwa Hong mengomel. "Sudah kukatakan dia adalah musuh besar kita, habis perkara."

Sin Lee mengerutkan kening, lalu menggeleng kepala. "Aku ingin mengetahui duduknya perkara yang betul-betul, Ibu. Aku takkan suka diam kalau belum diberi penjelasan. Dia mengaku ayahku, bagaimana kau bilang dia adalah musuh besarku dan harus kubunuh? Bukankah ini aneh sekali? Ibu, dari pada berbohong kepadaku, lebih baik kau berterus terang, apa betul Tan Beng San itu ayahku dan suamimu, dan apa bila betul demikian mengapa terjadi permusuhan ini?"

Kwa Hong meloncat bangun, membanting kaki sambil membentak, "Kau kepala batu! Dulu kau tidak pernah begini cerewet!"

Sin Lee juga meloncat berdiri dan menghadapi ibunya dengan tegak.

"Sudah sepatutnya anak menanyakan ayahnya. Ibu yang terlalu jual mahal, kenapa terus menyimpan rahasia?"

Dua orang itu berdiri berhadapan, ibu dan anak yang sama keras hatinya, dua pasang mata yang sama tajam saling tentang. Akhirnya Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu memeluk puteranya dan menarik tangannya untuk diajak duduk kembali.

"Kau memang bandel sekali seperti... seperti dia! Baiklah kau mendengar kalau hendak mengetahui. Tan Beng San itu memang ayahmu, tapi dia bukan suamiku."

"Bagaimana pula ini? Dia ayahku tapi bukan suami ibu?"

"Karena dia tidak mau mengawiniku, dan meninggalkan aku untuk kawin dengan wanita lain anak Song-bun-kwi si iblis tua itu."

Sin Lee adalah seorang yang cerdik, akan tetapi belum dapat ia menghubungkan cerita yang disingkat-singkat ini. "Kau maksudkan Ayah tidak mau mengawini ibu, pergi menikah dengan lain wanita? Kenapa begitu? Apakah Ayah tidak suka kepada Ibu?"

Merah wajah Kwa Hong, matanya memancarkan sakit hati. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia tidak cinta padaku, hanya suka seperti seorang kakak terhadap adiknya."

"Tapi... tapi Ibu cinta kepadanya?"

Kwa Hong mengangkat tangan hendak menampar, tetapi ditahannya. "Kau lancang mulut. Sudahlah. Pendeknya dia itu meninggalkan kau dalam kandunganku dan tidak mau peduli lagi, lalu menikah dengan Kwee Bi Goat. Malah ketika Bi Goat mati dia menikah dengan isterinya yang sekarang itu, padaku ia sama sekali tidak mau peduli."

Sin Lee berpikir keras. "Jadi... dia telah melakukah perhubungan dengan ibu, kemudian Ibu mengandung aku dan... dan Ibu ditinggalkan begitu saja?"

Wajah Sin Lee sebentar pucat sebentar merah ketika melihat ibunya mengangguk dan dua titik air mata keluar dari sepasang mata ibunya.

"Si keparat... kalau begitu dia memang jahat...," kata Sin Lee dengan suara mendesis dan dengan hati penuh dendam.

"Kwa Hong, kau tidak adil! Kenapa tidak kau ceritakan tentang racun yang memabokkan kita ketika itu?" tiba-tiba muncul Beng San, begitu tiba-tiba sehingga Sin Lee dan Kwa Hong terkejut sekali.

Wanita ini semenjak dulu amat gentar menghadapi ilmu kepandaian Beng San. Biar pun sekarang di situ ada puteranya, namun ia masih ragu-ragu apakah mereka berdua akan dapat menang menghadapi Beng San yang amat hebat kepandaiannya. Namun, karena niatnya membalas dendam sudah ditahan-tahan semenjak bertahun-tahun, ia pun menjadi nekat dan cepat mencabut senjatanya, diturut oleh Sin Lee yang memandang Beng San dengan mata berapi-api.

"Hemmm, kau mengejar kami?" tegurnya, penuh selidik.

Beng San tersenyum pahit. "Kwa Hong, semenjak dulu kau selalu menyembunyikan diri, menyembunyikan anak kita, kiranya kau sudah jejali dia dengan kebencian dan dendam terhadap diriku. Sekarang aku sudah datang, seorang diri, coba katakan, engkau hendak berbuat apakah terhadap diriku?"

"Aku... aku hendak membunuhmu!"

"Kau kira begitu mudah? Hong-moi, kau tahu bahwa kau takkan mampu melakukan hal itu kepadaku."

"Akan kucoba, bersama anakku. Kami akan mengadu nyawa! Sin Lee, hayo kita bunuh keparat jahanam ini, musuh besar kita!"

Sin Lee sudah menggerakkan pedangnya.

Beng San bertanya, "Hong-moi, sebelum kau dan anak kita bergerak, maukah kau pergi dengan tenang dan tidak mengganggu pendirian Thai-san-pai kalau nanti kalian berdua ternyata dapat kukalahkan?"

"Tak sudi! Aku akan bunuh kau, akan kubuka semua rahasia busukmu, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi ketua Thai-san-pai!" Kwa Hong berteriak-teriak dan mencak-mencak.

Beng San mengerutkan keningnya. "Kwa Hong, dengarlah baik-baik! Semenjak dulu aku sudah merasa menyesal dengan peristiwa yang terjadi antara kita. Kalau kau hendak menyalahkan aku, biarlah kuterima. Bahkan dulu pun aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Akan tetapi kau tahu, bagi seorang gagah nama lebih berharga dari pada nyawa! Pendirian Thai-san-pai sangat penting dan siapa pun juga, juga kau sendiri, tidak boleh menghalanginya!"

"Kalau aku tetap hendak mengganggunya, kau mau apa?"

"Kwa Hong, kesabaran manusia ada batasnya, Aku sudah cukup banyak mengalah, dan aku berjanji, kalau kau pergi sekarang dengan baik-baik, aku akan datang ke Lu-liang-san setelah selesai pendirian Thai-san-pai dan aku akan menurut apa kehendakmu kelak, biar kau bunuh sekali pun."

"Aku tidak sudi."

"Hemm… hemm, tiada jalan lain bagiku kecuali menggunakan kekerasan, mengalahkan dan menawan kalian sampai selesainya upacara pendirian Thai-san-pai." Sambil berkata demikian, tangan Beng San bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya. Itulah Liong-cu-kiam yang amat ampuh!

"Beng San, jangan kau kira aku takut. Sin Lee, hayo serang!"

Ibu dan anak itu lalu menggerakkan senjata mereka, serentak mereka menyerang Beng San dengan hebat. Pada mulanya Sin Lee masih ragu-ragu, merasa betapa ibunya agak keterlaluan tidak mau mendengar janji orang yang sebenarnya ayahnya ini.

Akan tetapi begitu pedangnya terbentur pedang Beng San dan tangannya kesemutan, tahulah ia bahwa Ketua Thai-san-pai ini benar-benar lihai bukan main. Maka ia pun tidak ragu-ragu lagi dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengeroyok.

Namun, dengan rasa heran dan kagum, juga rasa penasaran memenuhi hatinya, Sin Lee merasa seakan-akan semua serangannya itu lenyap tak berbekas, seperti menyerang bayangan atau menyerang angin belaka. Semua jurus serangannya bagai tertelan habis oleh gelombang permainan pedang Beng San, sama sekali tidak ada artinya.

Juga Kwa Hong yang mainkan pedang dan cambuknya, merasa betapa akan sia-sia saja dia dan puteranya mengeroyok orang ini. Kebenciannya semakin memuncak, akan tetapi kekagumannya juga meningkat.

"Kwa Hong kau benar-benar kejam sekali, menyuruh anakku sendiri memusuhi aku. Kwa Hong, kau berdua takkan menang, lebih baik pulanglah. Kelak aku akan datang padamu untuk menerima hukuman..." berkali-kali Beng San membujuk sambil terus menangkis sambaran anak panah hijau yang mengarah bagian tubuh yang berbahaya.

Diam-diam Beng San gelisah juga kalau ingat bahwa tempat ini adalah tempat di luar dari jalan rahasia, sehingga tiap saat bisa saja datang tamu-tamu yang mengandung maksud jahat. Ia maklum bahwa di antara para tamunya, tentu tidak sedikit terdapat bekas-bekas musuhnya yang sengaja datang untuk mengacau atau untuk membalas dendam.

Oleh karena itu, ia membujuk agar Kwa Hong suka mengalah dan segera pertempuran itu selesai. Kalau ia mau, sudah tentu saja dengan mudah ia dapat merobohkan Kwa Hong dan Sin Lee. Akan tetapi ia tak menghendaki hal ini terjadi, karena selain ia harus melukai mereka, juga hal itu pastl akan menambah sakit hati Kwa Hong. Merobohkan dua orang lawan selihai mereka tanpa melukai, merupakan hal yang amat sukar, biar oleh dia sekali pun.

Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang aneh, disusul suara orang tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ini namanya sekali tepuk mendapat dua lalat ditambah seekor lalat cilik!" terdengar suara orang.

Mendengar suara suling ini Beng San kaget sekali. Ia menahan serangan dua orang ibu dan anak itu, akan tetapi ketika ia melompat mundur, Kwa Hong dan Sin Lee yang sudah penasaran sekali terus saja menyerang. Terpaksa Beng San memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dan sementara itu ia memperhatikan orang-orang yang baru datang dan yang sekarang sudah berada di hutan itu.

Beng San menekan debar jantungnya ketika ia mengenal beberapa orang tokoh luar biasa yang ia tahu tak akan mengandung maksud hati baik terhadapnya. Pertama-tama adalah Hek-hwa Kui-bo, nenek yang sejak dahulu selalu memusuhinya itu. Orang ke dua adalah Siauw-ong-kwi yang sudah nampak tua namun sepasang matanya masih bergerak-gerak liar membayangkan kenakalan dan kejahatannya.

Kalau Hek-hwa Kui-bo merupakan tokoh nomor satu dari selatan, adalah Siauw-ong-kwi ini merupakan tokoh nomor wahid dari utara. Keduanya merupakan iblis-iblis di samping tokoh besar seperti Song-bun-kwi.

Di samping dua orang ini dia mengenal tokoh yang tidak kalah jahatnya, yaitu Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio, yaitu seorang perampok tunggal yang setelah tua menjadi hwesio dan yang telah ia ketahui pula macamnya. Empat orang ini saja sudah merupakan lawan yang berbahaya, di samping Kwa Hong dan Sin Lee.

Apa lagi di situ masih terlihat seorang tosu tua sekali yang memakai kopyah seperti anak kecil, memegang tongkat berwarna merah dan kelihatannya lemah sekali, seakan-akan kalau ada angin besar bertiup, kakek ini tentu akan roboh terjengkang. Namun, kakek yang belum pernah dikenal Beng San ini malah yang menimbulkan kekuatiran hatinya.

Di samping ini, masih terdengar suara tiupan suling aneh itu, akan tetapi peniupnya tidak kelihatan. Tiupan suling itu mengingatkan Beng San akan seorang tokoh yang sering kali mendatangkan ular-ular dengan sulingnya, tokoh yang sudah belasan tahun tak pernah ia dengar, yang kabarnya sudah mati, yaitu murid Siauw-ong-kwi yang malah lebih jahat dari gurunya, bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin!

Akhirnya perhatian Kwa Hong tertarik pula oleh rombongan ini dan ketika ia menengok, wajahnya berubah. Cepat ia menarik tangan puteranya dan berseru, "Mundur dulu!"

Setelah Sin Lee melompat mundur di samping Ibunya, wanita ini berkata sambil tertawa, "Kau lihat saja, Hi-hik-hik, hari ini keparat Beng San akan menerima hukumannya!"

Sin Lee tidak mengerti akan maksud kata-kata ibunya, dia hanya memandang dengan kening berkerut dan pedang tetap terpegang di tangan kanan.

Tadinya agak lega hati Beng San melihat Kwa Hong dan Sin Lee menghentikan serangan mereka, akan tetapi mendengar ucapan Kwa Hong itu, dia tersenyum perih. Terpaksa ia lalu menyimpan pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi rombongan itu.

"Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang mengunjungi Thai-san, harap maafkan siauwte yang tidak dapat melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hari pendirian Thai-san-pai masih dua malam dua hari lagi, harap Cu-wi sekalian sudi untuk bersabar dan menanti di tempat peristirahatan yang sederhana dan yang telah kami sediakan."

Siauw-ong-kwi tertawa terkekeh-kekeh, juga Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio ikut tertawa, kemudian orang-orang tua ini menggerakkan tubuh mengambil sikap mengurung. Jelas bahwa mereka ini berusaha memotong jalan keluar dari Beng San.

Ada pun kakek yang tua renta bertongkat merah itu lalu melangkah maju, langkahnya gontai. Ketika sampai di depan Beng San dalam jarak dua meter ia berkata, suaranya lirih agak menggigil seperti suara kakek yang sudah tua sekali,

"Inikah Raja Pedang pengganti Cia Hui Gan? Masih muda sekali... masih muda sudah menjagoi, selayaknya pinto (aku) memberi hormat!"

Kakek ini mengempit tongkat merahnya lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dengan sikap menjura. Sambaran hawa pukulan yang menimbulkan angin halus mengejutkan Beng San.

Ia tidak kaget karena diserang secara demikian karena hal seperti ini sudah biasa terjadi di kalangan ahli-ahli silat tinggi. Namun yang mengejutkannya adalah angin halus sekali yang menyambar ke arahnya, karena semakin halus angin yang ditimbulkan oleh hawa pukulan, berarti makin hebatlah tenaga lweekang-nya.

Cepat dia mengerahkan hawa murni di tubuhnya, balas menjura sambil berkata, "Siauwte yang muda mana berani menerima penghormatan Locianpwe?"

Biar pun kelihatannya ia menjura dengan hormat, namun diam-diam Beng San menangkis pukulan yang tidak kelihatan itu dan sebagai seorang calon ketua, tentu saja ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Sengaja dia menerima serangan gelap itu dengan keras lawan keras!

Dua pasang tangan diangkat ke depan dada, dua tenaga tak kelihatan bertemu di udara dan biar pun kedua kaki Beng San masih tetap dalam kuda-kuda, tetapi ternyata ia telah tergeser mundur tiga jengkal!

Juga kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, lalu cepat ia menggunakan tongkat yang tadi dikempitnya untuk menunjang tubuhnya sehingga dia tidak jadi terhuyung ke belakang. Sejenak mata yang tua itu terbelalak kagum, lalu katanya,

"Hebat... hebat... patut dipuji!"

"Ah, Locianpwe terlalu merendah. Bolehkah siauwte yang bodoh mengetahui nama besar Locianpwe?" tanya Beng San, diam-diam ia mengeluh karena kakek tua ini benar-benar merupakan lawan yang paling berat yang pernah ia jumpai selama ia berkecimpung di dalam dunia persilatan.

Kakek itu tertawa sehingga kelihatan gusi mulutnya yang sudah tak bergigi lagi. "Ha-ha-ha pinto orang gunung, mana ada nama? Di utara sana, pinto disebut Pak-thian Locu (Nabi Locu dari utara), tentu saja Sicu tidak pernah mendengarnya."

Memang nama ini tak pernah dikenal Beng San.

Siauw-ong-kwi segera berkata sambil mendengus, “Thai-san amat tinggi sehingga kadang kala membuat orang lupa bahwa di atasnya masih ada langit! Calon ketua Thai-san-pai sampai tak mengenal twa-suheng-ku (kakak seperguruan tua), benar-benar telah merasa diri paling tinggi."

Beng-San terkejut. Kiranya kakek ini twa-suheng dari Siauw-ong-kwi. Pantas saja begitu hebat.

"Ah, maafkan... maafkan... ini hanya menunjukkan bahwa siauwte kurang pengalaman."

"Tan Beng San, selama bertahun-tahun ini telah banyak kau menghina kami, dan secara pengecut kau menyembunyikan diri di balik jalan-jalan rahasia. Kini dengan sombong kau hendak mengumumkan pendirian Thai-san-pai. Heran, apakah kau sudah merasa dirimu menjadi guru besar?" kata Toat-beng Yok-mo sambil melangkah maju dan menggerakkan tongkatnya yang hitam.

"Hutangmu kepadaku belum kau bayar lunas!" pekik Hek-hwa Kui-bo sambil mengerling ke arah Kwa Hong dan Sin Lee. "Kalian dua anjing cilik tunggulah giliranmu." Nenek yang mengerikan ini sudah mencabut pedang dan selampai yang beraneka warna.

Melihat betapa lima orang itu mengurungnya dan telah siap mengeroyoknya, Beng San tersenyum lalu berkata dengan nada mengejek, "Aku tahu isi hati kalian! Dua hari lagi, di atas panggung, disaksikan semua tokoh kang-ouw, sudah pasti kalian takkan dapat maju mengeroyok, melainkan seorang lawan seorang. Hari ini sengaja kalian menggerebek di sini dengan dalih membalas dendam sehingga kalian punya kesempatan mengeroyokku, bagus!"

Namun Hek-hwa Kui-bo sudah menyerbu dengan pedang dan selampainya, menyerang dari kiri dan dibarengi oleh Siauw-ong-kwi yang menyerang dari kanan.

Seperti biasa, Siauw-ong-kwi menggunakan sepasang lengan bajunya yang menerjang untuk melakukan totokan dengan ujung baju mengarah jalan darah. Serangan ini tak kalah bahayanya dibandingkan dengan penyerangan Hek-hwa Kui-bo.

Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio sambil tertawa juga menyerang cepat. Yok-mo menggunakan tongkat hitamnya, ada pun Tok Kak Hwesio menggunakan kepandaiannya yang diandalkan, yaitu cengkeraman monyet.

Empat orang ini menyerang dari empat penjuru, mengurung tubuh Beng San. Sedangkan kakek tua renta itu tanpa menggeser kedua kakinya, dari tempat ia berdiri, ia mengirim pukulan-pukulan jarak jauh ke arah Beng San.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar