Pendekar Buta Jilid 30

Kembali Nagai lci meloncat lantas menerkam Gui Hwa karena melihat betapa Loan Ki hampir kalah. Dia khawatir sekali kalau-kalau gadis pujaan hatinya itu akan terluka hebat, maka dengan nekat dia menerjang lagi tanpa mempedulikan larangan Loan Ki.

Gui Hwa sudah siap. Begitu melihat tubuh pemuda itu maju selagi pedangnya bertemu dengan pedang Loan Ki, dia memapaki dengan tendangan.

"Bleeeggg!"

Tubuh Nagai Ici terjengkang dan pemuda ini muntahkan darah segar. Namun dia bangkit lagi, menekan dada dan dengan nekat dia hendak maju menerjang lagi untuk membantu Loan Ki.

Sementara itu, melihat Nagai Ici tertendang, Loan Ki menjadi kaget dan marah sehingga perasaan ini membuat langkah-langkah ajaibnya menjadi kacau balau. Ketika pedang Gui Hwa menyambar, tak dapat ia mengelak lagi dan terpaksa menerima dengan pedangnya. Dua pedang menempel dan kedudukan Loan Ki sudah terjepit. Gui Hwa sudah mengulur tangan kiri hendak merobek pakaian gadis itu.

"Tahan...!" terdengar bentakan mengguntur.

Mendadak Gui Hwa terjengkang ke belakang, terhuyung dan cepat menarik pedangnya lantas bersiap sedia. Kiranya tadi Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang mendorongnya untuk menolong puterinya. Semua orang memandang ke arah ayah dan anak yang kini sedang berhadapan muka.

"Ayah, kau membiarkan anakmu dihina orang, sekarang kau mau apa lagi? Aku tidak tahu menahu tentang surat, dan aku pun tidak sudi digeledah, lebih baik mati!" Loan Ki berkata dengan sikap menantang, lehernya tegak, kepala dikedikkan, kedua mata bersinar-sinar akan tetapi air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya, bibirnya pucat tetapi digigitnya sendiri untuk memperkuat kenekatan hatinya.

"Loan Ki, berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu menahu akan surat rahasia itu?" bentak ayahnya.

"Aku bersumpah, demi arwah Ibu!"

Terpukullah hati Beng Kui mendengar sumpah ini, seakan dia diingatkan bahwa puterinya ini semenjak kecil tidak lagi ditunggui ibunya. Hatinya perih sekali. Tiba-tiba dia menoleh kepada Nagai Ici yang masih berdiri tegak dengan muka pucat, tetapi dengan sikap nekat membela Loan Ki.

"Siapa dia?" tanya Sin-kiam-eng.

"Dia sahabat baikku, Ayah, tadinya hendak kubawa kepadamu agar menjadi muridmu. Dia bernama Nagai Ici."

"Apa...? Seorang Jepang? Bajak laut...?" Tan Beng Kui kaget sekali, kaget dan kecewa.

"Siapa bilang dia bajak laut?" Loan Ki juga berteriak, tidak kalah nyaringnya dengan suara ayahnya. "Dia adalah seorang pendekar, berjuluk Samurai Merah! Dia orang gagah yang datang ke sini dengan maksud mencari guru yang pandai. Dia sahabatku, Ayah, buktinya tadi, kalau ayahku sendiri tidak peduli akan keadaanku, dia membantuku mati-matian!"

Tan Beng Kui menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berpaling kepada Bhok Hwesio. "Bhok-losuhu, aku percaya bahwa anakku tidak membawa surat itu. Aku minta supaya dia dan sahabatnya dilepas dan jangan diganggu lagi."

"Hemmm, mana mungkin begitu, Sicu? Pinceng pernah mendengar dari pengawal istana Tiat-jiu Souw Ki bahwa yang merampas mahkota dahulu dari tangannya adalah puterimu inilah, dibantu oleh Kun Hong si pemberontak buta. Jelas bahwa anakmu ini membantu para pemberontak. Mana bisa pinceng percaya bahwa surat itu tidak berada padanya? Kalau memang sudah digeledah tidak ada, biarlah pinceng memandang persahabatan di antara kita dan pinceng perbolehkan dia pergi."

"Bhok-losuhu, apakah kau tidak percaya kepadaku?"

Kembali hwesio itu tertawa dengan tenang. "Tan-sicu, memang biasanya, seorang gagah di dunia kang-ouw paling memegang teguh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tetapi sekarang kedudukan kita lain lagi. Kita bekerja demi keselamatan negara, dan karenanya peraturan yang berlaku juga peraturan negara, bukan peraturan kang-ouw lagi. Sebagai petugas, mau tidak mau pinceng harus mendahulukan kepentingan negara. Pinceng kira bagimu juga seharusnya demikian, kepentingan tugas lebih tinggi dari pada kepentingan antara ayah dan anak. Biarkan It-to-kiam Gui Hwa memeriksanya, kalau memang dia tidak membawa surat, itu, boleh dia pergi."

"Aku tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menyerah di bawah penghinaan kalian!" Loan Ki berseru marah.

"Jangan takut, Loan Ki. Aku membantumu, kalau perlu kita mati bersama!" berkata pula Nagai Ici dengan tabah dan gagah.

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui kembali menghadapi puterinya, memandang tajam pada dua orang muda itu sampai lama sekali, kemudian suaranya terdengar menggetar, "Nagai Ici, kau siap melindunginya dengan jiwa ragamu?"

"Siap!" seru Nagai Ici dengan sikap tegak.

"Kau... kau mencinta Loan Ki dengan seluruh jiwa ragamu?"

"Ya!" jawab pemuda itu pula, tanpa ragu-ragu. "Aku siap mati untuk Loan Ki!"

Tan Beng Kui tersenyum getir, kemudian berkata kepada Loan Ki, "Anakku, kau merasa bahagiakah di samping Nagai Ici?"

Merah muka yang pucat itu seketika dan air matanya deras mengalir.

"Ayah... dia baik sekali...," jawabnya perlahan.

"Cukup! Nagai Ici, mulai saat ini aku menyerahkan keselamatan anakku ke tanganmu. Nah, sekarang pergilah jauh-jauh dan jangan mencampuri urusanku, jangan mencampuri urusan negara lagi. Pergilah! Cepat!"

Agaknya Nagai Ici maklum akan isi hati pendekar pedang ini. Dia lalu menggandeng tangan Loan Ki dan diajaknya gadis itu pergi dari tempat itu.

"He, jangan pergi dulu!" seru Lui-kong Thian Te Cu.

"Siinngggg…!"

Sinar pedang berkelebat dan tahu-tahu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sudah menghadang Thian Te Cu dengan pedang di tangan serta sikap yang kereng dan gagah menantang. Sepasang matanya menyala-nyala ketika menatap tiga orang di depannya, Bhok Hwesio, Thian Te Cu dan Gui Hwa.

"Aku mengganti mereka dengan nyawaku! Siapa yang berniat mengejar mereka akan berhadapan dengan pedangku." Suaranya nyaring sehingga bergema, terdengar pula oleh Loan Ki yang menoleh dan menoleh lagi sambil terisak menangis, akan tetapi Nagai Ici terus menyeretnya pergi.

"Omitohud! Tan-sicu apakah hendak memberontak?"

"Bhok Hwesio, baru kali ini kau muncul dalam urusan negara, tetapi kau sudah hendak membuka mulut besar bicara mengenai pemberontakan? Huh, kau mau bersikap sebagai pahlawan? Dengarlah kalian bertiga! Di jamannya mendiang kaisar ketika masih menjadi pejuang Ciu Goan Ciang, aku Tan Beng Kui sudah menjadi pejuang mengusir penjajah Mongol. Kalian bertiga tahu apa tentang perjuangan? Kalian hanya datang dan enak-enak mendapatkan kedudukkan tinggi dan kemuliaan, sekarang sudah akan bersikap sombong menganggap diri sendiri benar? Menjemukan sekali !"

"Tan Beng Kui, apa yang kau bicarakan ini?" Bhok Hwesio marah. "Kalau kau memang tidak mempunyai hati memberontak terhadap kaisar seharusnya kau akan mementingkan urusan tugas, tidak memberatkan anakmu. Kau telah membiarkan anakmu terlepas, apa kau kira pinceng tak dapat mengejarnya?"

"Harus melalui pedang beserta mayatku!" teriak Tan Beng Kui marah. "Anakku sudah bersumpah demi arwah ibunya. Ini jauh lebih kuat, lebih penting dari pada segala urusan tetek-bengek. Selama aku masih dapat menggerakkan pedang, jangan harap kalian akan dapat mengganggu Loan Ki!"

"Kau memang pemberontak! Dahulu pun pernah menjadi pemberontak, siapa tidak tahu?"' Lui-kong Thian Te Cu berseru marah.

Dengan senjatanya tanduk rusa dia sudah bergerak menyerang. Juga It-to-kiam Gui Gwa sudah menerjang dengan pedangnya.

Sambil memutar pedang, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui maju menghadapi dua orang itu. Ilmu pedangnya hebat bukan main. Ilmu Pedang Sin-li Kiam-sut yang sudah dikuasainya benar sehingga baik It-to-kiam Gui Hwa mau-pun Lui-kong Thian Te Cu yang lihai merasa terkesiap dan terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung itu.

"Omitohud, semua pemberontak harus dibasmi, baru aman negara!" Bhok Hwesio berseru sambil melangkah maju.

Dia bertempur dengan tangan kosong saja, akan tetapi jangan dikira bahwa dia boleh dipandang ringan karena tidak bersenjata. Sepasang ujung lengan bajunya merupakan sepasang senjata yang amat ampuh, kalau digunakan memukul melebihi kerasnya ruyung baja dan kalau menotok tiada ubahnya senjata toya. Juga kibasan kedua tangannya sama ampuhnya dengan tebasan pedang tajam. Jangan kata sampai kena terpukul, baru angin pukulannya saja sudah mendatangkan angin dingin yang terasa tajam menusuk kulit.

Sesungguhnya ilmu pedang dari Tan Beng Kui sangat hebat. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia adalah murid tertua dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding). Kalau mau bicara tentang ilmu pedang, kiranya tiga orang lawan yang mengeroyoknya ini tidak akan ada yang mampu menandinginya, biar pun It-to-kiam Gui Hwa juga memiliki ilmu pedang tingkat tinggi dari Kun-lun-pai.

Akan tetapi, ilmu pedang semata bukan merupakan ilmu yang mutlak dapat menentukan kemenangan, sebab dalam banyak hal lain, dia kalah ampuh oleh ketiga orang lawannya.

It-to-kiam Gui Hwa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, setingkat lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri sehingga dengan keringanan tubuhnya itu, It-to-kiam Gui Hwa dapat menutupi kekurangannya dalam hal ilmu pedang.

Lui-kong Thian Te Cu mempunyai khikang yang hebat, sehingga setiap kali mengeluarkan bentakan dalam pertempuran, membuat jantung Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tergetar dan mengacaukan permainan pedangnya.

Lebih hebat lagi adalah Bhok Hwesio, karena hwesio ini benar-benar kosen dan gagah sekali. Hwesio Siauw-lim ini memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Dorongan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang selalu berhasil memukul miring pedang di tangan Tan Beng Kui.

Tan Beng Kui mempertahankan diri mati-matian. Dia pun maklum bahwa kalau dia terlalu cepat jatuh, keselamatan Loan Ki masih terancam bahaya besar. Dia rela mengorbankan diri asal anaknya itu sudah lari jauh dan tidak akan dapat dikejar lagi oleh tiga orang ini.

Dia tadi sudah menyaksikan kesetiaan dan kecintaan hati pemuda Jepang itu dan hatinya lega. Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, Loan Ki sudah terjamin hidupnya, sudah ada orang yang menggantikan kedudukannya, bahkan yang agaknya lebih mencintainya dengan segenap jiwa raganya.

Kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang Jepang tidak mengecewakan hatinya. Dia sudah sering kali mendengar betapa bangsa di seberang lautan itu pada jaman dahulunya juga serumpun dengan bangsanya, malah dia mendengar bahwa bangsa itu mempunyai kecerdikan tinggi.

"Siaaattttt!"

Ujung lengan baju sebelah kiri dari Bhok Hwesio menghantamnya dari pinggir. Biar pun dia sudah berhasil mengelak, tetapi angin pukulannya memanaskan telinga membuat dia agak nanar. Pada saat itu, pedangnya beradu dengan pedang It-to-kiam Gui Hwa dan pada detik berikutnya, tanduk rusa di tangan Thian Te Cu sudah menusuk ke arah perut.

"Siiiinggggg!"

Tarikan pedang Tan Beng Kui membuat It-to-kiam menjerit kesakitan karena pedangnya sendiri tergetar hebat dan telapak tangannya terasa panas hingga dia terpaksa melompat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Beng Kui untuk membabat ke depan dan menangkis tanduk rusa, kemudian mementalkan pedangnya ke kanan untuk mengirimkan tusukan maut ke arah leher Bhok Hwesio yang sudah mendekatinya.

"Omitohud, kau bosan hidup...!" seru hwesio itu.

Ujung lengan bajunya yang kanan menyambar, bertemu dengan ujung pedang, membuat Tan Beng Kui merasa kaget sekali karena tahu-tahu ujung lengan baju itu sudah melibat pedangnya, tak dapat dia tarik kembaii. Dia masih mampu merendahkan tubuh mengelak dari pada sambaran pedang Gui Hwa yang mengarah lehernya, juga serangan Thian Te Cu dia gagalkan dengan sebuah tendangan kilat ke pergelangan tangan yang memegang tanduk rusa. Namun pada saat itu, tangan kiri dengan telapak tangan yang besar lebar dari Bhok Hwe-sio sudah menyambar dan tidak dapat dia hindari lagi punggungnya kena ditampar.

"Plaakkkk...!"

Tan Beng Kui mengaduh, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya lepas dari tangan. Mukanya pucat sekali. Ia telah menerima tamparan maut yang mengandung tenaga lweekang dan yang telah merusak isi dadanya.

Akan tetapi dia benar-benar gagah perkasa karena begitu merasa bahwa dadanya terluka hebat sebelah dalam, dengan nekat dia lantas menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah Bhok Hwesio sambil mengerahkan semua tenaganya. Bhok Hwesio tersenyum mengejek, menerima pukulan ini dengan tangan yang dibuka.

Kedua tangan itu bertumbukan di udara. Akibatnya tubuh Tan Beng Kui kembali mental ke belakang, akan tetapi Bhok Hwesio juga terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah hwesio ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dalam keadaan terluka hebat, lawan itu masih memiliki tenaga demikian besarnya.

Tan Beng Kui roboh dan bangkit lagi sambil muntahkan darah segar dari mulutnya, malah masih sempat mengelak dari sambaran tanduk rusa dan membalas serangan Thian Te Cu ini dengan sebuah pukulan tangan kiri. Namun tenaganya sudah hampir habis sehingga begitu Thian Te Cu menangkisnya, dia kembali roboh. Pada saat itu It-to-kiam Gui Hwa sudah meloncat maju dan pedangnya berkelebat menusuk dada.

"Criiiinggggg...!"

Gui Hwa menjerit sambil meloncat mundur ketika terlihat berkelebatnya sinar kilat disusul suara keras dan patahnya pedang di tangannya. Tiga orang itu terkejut memandang dan tahu-tahu di situ sudah berjongkok seorang laki-laki gagah perkasa yang memeluk leher Beng Kui dengan tangan kiri, sedangkan sebatang pedang yang berkilauan terpegang di tangan kanan.

"Omitohud... bukankah yang datang ini adalah ciangbunjin (ketua) Thai-san-pai, Tan Beng San taihiap...?" seru Bhok Hwesio terkejut ketika mengenal laki-laki itu.

Memang tidak salah. Laki-laki itu adalah Tan Beng San, ketua dari Thai-san-pai yang tadi menggunakan pedang Liong-cu-kiam menyelamatkan Tan Beng Kui dari tusukan pedang It-to-kiam Gui Hwa sehingga sekaligus mematahkan pedang nyonya itu.

Dia tidak menjawab kata-kata Bhok Hwesio, melainkan cepat mengangkat kepala Beng Kui dan dipangkunya. Dengan sedih dia mendapat kenyataan bahwa keadaan kakaknya ini sudah tidak dapat ditolong lagi karena menderita luka dalam yang amat parah.

Beng Kui membuka matanya, terbelalak seperti orang terheran-heran dan tidak percaya, kemudian dia tersenyum dan mengedipkan mata lalu merangkul Beng San.

"Aduh, kau Beng San... adikku... siapa kira kau malah orangnya yang akan menunggui kematianku..." Kemudian dia tertawa terbahak-bahak dan terpaksa berhenti ketawa sebab kembali dia muntahkan darah.

Beng San cepat mengurut dada kakak kandungnya serta menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan muntah darah ini dan mengurangi rasa nyeri. Mendadak Beng Kui mendapatkan kembali tenaganya. Dia mendorong Beng San minggir, lalu berdiri dengan susah payah. Kembali dia tertawa menghadapi tiga orang lawannya itu.

"Beng San, adikku, terima kasih... jangan kau mencampuri urusanku."

"Kui-koko, mereka ini orang-orang tak tahu malu, melakukan pengeroyokan atas dirimu..."

"Tidak! Mereka adalah orang-orangnya kaisar yang hanya melakukan tugas mereka dan aku... ha-ha-ha, aku sekarang berani menentang mereka, demi anakku... ahh... Beng San, aku titip Loan Ki kepadamu... dia dan sahabat baiknya, pemuda perkasa Jepang, Nagai... eh, Nagai Ici, ha-ha-ha! Hayo, Bhok Hwesio, Thian Te Cu, dan It-to-kiam, aku bilang tadi, kalian baru dapat mengejar Loan Ki melalui mayatku. Aku belum menjadi mayat dan... anakku sudah pergi jauh... tidak mungkin kalian kejar, ha-ha-ha!"

Mendadak Tan Beng Kui menubruk maju, mengirim pukulan kilat kepada tiga orang itu secara mengawur.

Melihat adegan itu, tiga orang tokoh ini sudah merasa tidak enak hati. Kini serangan Tan Beng Kui tentu saja tidak mereka layani, berbereng mereka melompat mundur dan Beng Kui terjungkal dengan sendirinya, tidak mampu bangun kembali.

Beng San cepat menghampirinya, berlutut.

"Beng San... kau melupakan semua kesalahanku dahulu... bagus, beginilah adikku sejati... huh... aku titip Loan Ki... Loan... Ki..."

Pendekar pedang ini menghembuskan napas terakhir dalam rangkulan adik kandungnya yang sejak dahulu dimusuhinya.

Sambil menghela napas panjang Beng San meletakkan tubuh kakak kandungnya di atas tanah, kemudian perlahan-lahan dia bangkit, berdiri sambil menatap wajah tiga orang itu berganti-ganti. Akhirnya terdengar suaranya, sangat jelas, lambat-lambat, namun nyaring berwibawa.

"Aku mentaati permintaan terakhir kakakku, tidak akan mencampuri urusan kalian bertiga dengannya. Akan tetapi, aku melarang kalian melanjutkan pengejaran terhadap Loan Ki puteri kakakku. Kalau kalian tidak terima, hayo kalian maju mengeroyokku seperti yang kalian bertiga lakukan kepadanya!" Dengan pedang melintang di depan dada, Beng San menantang, sikapnya garang, kemarahannya ditahan-tahan.

"Omitohud...!" Bhok Hwesio merangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Selamanya Siauw-lim tidak pernah bermusuhan dengan Thai-san..."

"Losuhu tidak usah membawa-bawa nama partai. Ini urusan pribadi antara Tan Beng San dan tiga orang tokoh yang baru saja mengeroyok dan membunuh kakakku!"

Lui-kong Thian Te Cu dan It-to-kiam Gui Hwa nampak ragu-ragu, jelas bahwa mereka merasa jeri terhadap ketua Thai-san-pai ini. Sudah sering kali mereka mendengar nama besar Raja Pedang ini, apa lagi tadi dengan sekali gebrak saja Raja Pedang ini berhasil mematahkan pedang It-to-kiam Gui Hwa.

Hanya Bhok Hwesio yang masih tenang, lalu dia tersenyum tawar. "Tugas pinceng adalah mengamankan negara, membasmi para pemberontak yang ingin membikin kacau negara, sama sekali bukan menanam permusuhan dengan siapa pun juga, Tan-taihiap, selamat berpisah."

Dia lalu membalikkan tubuhnya, mengambil dua keping potongan mahkota lalu bergegas meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kedua temannya.

Beng San masih berdiri tegak dengan pedang melintang di dada. Besar keinginan hatinya untuk melompati mereka, untuk menyerang mereka, mengajak mereka memperhitungkan kematian kakak kandungnya.

Biar pun kakak kandungnya ini selalu memusuhinya, banyak sudah mendatangkan derita dalam hidupnya, namun dia tetap mengasihi kakak kandungnya. Akan tetapi perasaan itu dia tahan-tahan karena masih berdengung di telinganya pesan terakhir kakaknya itu, pula, ia pun meragu apakah orang sakti seperti Bhok Hwesio itu berada di pihak yang salah.

Setelah tiga orang itu tidak tampak bayangannya lagi, kembali ke jurusan kota raja, dia lalu berjongkok dan dengan perasaan berat sekali dia lalu memondong jenazah kakaknya, mencarikan tempat yartg baik tanahnya di dalam hutan sebelah timur kota raja, kemudian menguburnya dengan penuh hormat dan khidmat.

Tubuh pendekar pedang ini tampak kurus dan agak pucat. Memang dia telah menderita tekanan batin yang hebat sekali. Anaknya, Cui Sian, diculik orang, Thai-san-pai dirusak binasakan musuh, banyak anak murid yang tewas, isterinya marah-marah dan melarikan diri mencari Cui Sian.

Dia sendiri sudah berkelana mencari jejak isterinya dan menyelidiki tentang musuh-musuh yang sudah menyerbu Thai-san dan yang telah menculik anaknya. Dari beberapa orang kenalan di dunia kang-ouw, dia dapat mendengar bahwa tiga orang wanita yang berilmu tinggi itu sangat boleh jadi adalah Ang Hwa Sam-ci-moi yang belum pernah dia dengar namanya karena ketiga orang tokoh ini baru beberapa tahun saja memasuki pedalaman, datang dari See-thian.

Akan tetapi ketika mendengar bahwa tiga orang kakak beradik ini adalah para sumoi (adik seperguruan) Hek-hwa Kui-bo, kecurigaannya menebal. Apa bila mereka itu sumoi-sumoi dari Hek-hwa Kui-bo, sangat boleh jadi mereka melakukan perbuatan itu untuk membalas dendam terhadap suci (kakak seperguruan) mereka. Akan tetapi, agaknya mereka tidak bekerja bertiga saja, tentu ada orang-orang lain. Sukarnya, tidak seorang pun yang tahu di mana adanya Ang Hwa Sam-ci-moi itu.

Dia seakan-akan meraba di dalam gelap dan perantauannya membawanya ke kota raja karena dia berpendapat bahwa segala sesuatu mengenai keadaan orang-orang besar di dunia kang-ouw, lebih mudah diselidiki di kota raja. Apa lagi karena urusan di Thai-san ini agaknya ada hubungannya dengan kematian Tan Hok, berarti ada hubungannya dengan urusan kerajaan, karena semenjak dahulu Tan Hok adalah seorang pejuang dan bahkan akhir-akhir ini menjadi pembesar yang dipercaya oleh kaisar pertama Ahala Beng.

Demikianlah, secara kebetulan sekali, di luar kota raja dia melihat pengeroyokan atas diri Tan Beng Kui. Sayang dia agak terlambat sehingga kakak kandungnya itu tewas dalam pertempuran. Setelah dia selesai mengubur jenazah kakaknya, Beng San ragu-ragu untuk memasuki kota raja.

Dia lalu teringat akan Loan Ki. Setelah pertemuan terakhir dengan kakak kandungnya, timbullah secara tiba-tiba kerinduan hatinya untuk bertemu dengan keturunan kakaknya ini, dengan keponakan tunggalnya. Semenjak berpisah dengan kakaknya belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah bertemu lagi dan tidak tahu keadaan kakaknya itu. Sekarang pertemuan terakhir membangkitkan kembali kasih sayang lama.

Loan Ki, Tan Loan Ki, demikian nama keponakannya. Dengan pemuda Jepang? Pesan terakhir kakaknya terngiang di telinganya. Lebih baik sekarang menyusul Loan Ki. Kenapa tidak? Selain dia dapat bertemu dengan keponakannya itu dan dapat menjaganya serta memberi petunjuk, juga dari keponakannya itu dia dapat mendengar banyak hal tentang kakaknya, tentang keadaan kota raja. Siapa tahu keponakannya itu akan mendengar pula tentang Thai-san-pai. Maklumlah, puteri seorang pendekar seperti kakaknya tentu tidak asing pula dengan keadaan dunia kang-ouw.

Berpikir demikian, Beng San kemudian melompat dan berlari cepat sekali, menyusul keponakannya yang agaknya lari ke arah timur seperti yang tadi ditunjuk oleh kakaknya. Ilmu lari cepat yang digunakan oleh Beng San ini adalah Ilmu Lari Cepat Liok-te Hui-teng Kang-hu, ilmu lari cepat yang dilakukan sambil melompat-lompat dan kecepatannya seperti terbang saja. Wusssssss.....

********************

"Kanda Bun Wan...!"

Seruan girang ini mengagetkan Bun Wan yang sedang berjalan dengan kepala tunduk dan hati penuh kekecewaan. Dia mengangkat mukanya dan kaget melihat bahwa yang memanggilnya dengan suara merdu dan gembira itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis dari Pulau Ching-coa-to itu!

Pertemuan ini sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Sekarang dia berada jauh dari Ching-coa-to, di sebuah hutan di luar kota raja. Baru saja dia mengalami kekecewaan dan penyesalan karena dia kalah dalam perebutan mahkota kuno.

"Hui Siang! Kau dari mana, bagaimana bisa berada di sini?" tanyanya, tersenyum sambil mengusap rambut kepala gadis yang telah merangkulnya dengan sikap manja dan penuh cinta kasih itu.

"Kanda Bun Wan, kau benar-benar tidak tahu dicinta orang," Hui Siang berkata manja. "Kenapa kau tinggalkan aku di Ching-coa-to? Kenapa kau pergi secara diam-diam? Aku kesepian di sana, Ibu belum pulang dan karena kau bilang ingin pergi ke kota raja, aku lalu menyusulmu. Sungguh kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini, bukankah ini tanda bahwa kita benar-benar berjodoh, kanda Bun Wan?"

Bun Wan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Hui Siang, kau seperti anak kecil saja. Apakah kau tidak percaya bahwa aku akan datang kembali ke sana menjemputmu?"

Hui Siang merengut dan mukanya yang cantik itu kelihatan susah. "Wan-koko, banyak sudah kudengar laki-laki yang tidak memegang teguh janjinya dalam hubungan mereka dengan wanita. Hanya bermanis mulut menjual madu di bibir kalau berhadapan, akan tetapi begitu berpisah lalu bercabang hati dan lupa akan sumpah dan janji. Banyak sudah contohnya. Ibu sendiri bertahun-tahun menderita karena Ayah. Kata Ibu, di dunia ini tidak ada lelaki yang boleh dipercaya janjinya terhadap wanita."

"Hui Siang, kau kira aku ini laki-laki macam apa?" Bun Wan berseru keras dan penasaran. "Sungguh pun hubungan kita ini tadinya kuanggap karena engkau yang membujuk, akan tetapi akhirnya aku insyaf bahwa aku pun bersalah terlampau menuruti nafsu hati. Aku seorang laki-laki, keturunan tunggal dari Kun-lun-pai, tidak mungkin aku menyia-nyiakan wanita yang sudah kujatuhi cinta, tidak mungkin aku mengingkari pertanggungan jawabku. Hui Siang, sudah kukatakan kepadamu bahwa apa pun yang terjadi, kau tetap akan menjadi isteriku, hanya aku harus menyelesaikan lebih dulu tugasku yang maha penting."

"Kanda Bun Wan, bukan sekali-kali aku tidak percaya kepadamu. Akan tetapi setelah kau meninggalkan aku, aku kesepian dan amat khawatir. Biarkan aku ikut denganmu, Koko, dan biarlah aku membantu tugasmu sampai selesai."

"Tugasku berat, mungkin mempertaruhkan nyawa, Moi-moi," kata Bun Wan halus karena dia terharu pula menyaksikan besarnya cinta kasih gadis jelita ini.

"Apa lagi kalau harus mempertaruhkan nyawa, tidak boleh aku melepaskan kau, Koko. Biarlah pertanggungan itu kita pikul berdua, akan lebih ringan."

Bun Wan menggandeng tangan Hui Siang, dituntunnya gadis itu dan diajaknya duduk di tempat teduh, di bawah pohon yang tinggi dan besar. Mereka duduk bersanding di atas akar pohon itu dan dengan sikap manja dan mesra Hui Siang tidak pernah melepaskan tangan kekasihnya.

"Hui Siang, lebih baik kau pulang ke Ching-coa-to dan kau tunggulah aku di sana. Hatiku akan lebih tenteram mengingat bahwa kekasihku menanti di sana, dari pada harus melihat kau terancam bahaya bersamaku."

"Tidak, aku tidak mau. Biar bahaya atau mati sekali pun asal bersamamu," kata gadis itu dengan nekat.

"Wah, repot kalau kau rewel begini," Bun Wan menggerutu, kemudian berkata lagi sambil memandang wajah yang cantik itu, "Hui Siang, ketahuilah bahwa tugasku ini bertentangan sama sekali dengan ibumu, malah mungkin sekali aku akan menjadi lawan ibumu."

Agak terkejut Hui Siang mendengar kata-kata ini. Dia balas memandang, agaknya tidak percaya, akan tetapi melihat kesungguhan wajah Bun Wan, ia pun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh, "Kalau sampai Ibu memusuhimu, aku akan berada di pihakmu."

Kembali Bun Wan menarik napas panjang, "Kau mana tahu urusannya? Tak ada urusan pribadi yang membuat ibumu mungkin memusuhiku. Akan tetapi, ini semata-mata urusan tugas. Ketahuilah, Hui Siang, aku yang kau jadikan pilihan hatimu, aku adalah seorang utusan Raja Muda Yung Lo di utara." Sambil berkata demikian, pemuda itu dengan penuh selidik menatap wajah kekasihnya.

Sejenak Hui Siang terpukul. Inilah hebat. Kalau begitu, kekasihnya ini merupakan seorang mata-mata pemberontak! Alangkah beraninya, sudah menggabungkan diri pula dengan Ching-coa-to. Betapa berani, pandai dan sama sekali tidak disangka-sangka. Akan tetapi ia segera menjawab mesra.

"Kau adalah laki-laki pilihanku, kau suamiku. Andai kata kau ternyata seorang utusan dari neraka sekali pun, aku akan tetap menyertai dan membantumu. Aku tidak peduli urusan negara."

Bun Wan terharu dan merangkul leher Hui Siang. Hatinya mulai besar dan bangga. Tidak keliru dia mencintai gadis ini. Kecantikan Hui Siang luar biasa dan jarang bandingannya. Kepandaiannya lumayan dan ternyata sekarang memiliki kesetiaan pula.

"Hui Siang, aku girang mendengar pernyataanmu ini. Ketahuilah, sejak dahulu aku adalah keturunan orang-orang pejuang. Kun-lun-pai terkenal sebagai sumber pahlawan-pahlawan pejuang dan dulu banyak tokoh-tokoh Kun-lun-pai membantu perjuangan mendiang kaisar pendiri Kerajaan Beng. Karena itu, Raja Muda Yung Lo yang menjadi keturunan kaisar menaruh kepercayaan penuh kepada Kun-lun-pai. Sekarang sedang terjadi pergolakan sesudah kaisar tua meninggal dunia. Kaisar muda agaknya tidak benar dan Raja Muda Yung Lo merasa lebih berhak menggantikan kedudukan kaisar dari pada keponakannya, kaisar muda sekarang ini. Aku sudah dipiiih sebagai orang kepercayaan dan utusan untuk menyelidiki keadaan di selatan serta mengadakan hubungan dengan paman Tan Hok. Sebetulnya aku harus mendapatkan surat wasiat yang kabarnya oleh mendiang kaisar diberikan kepada paman Tan Hok yang sudah meninggal pula. Kuduga surat itu berada di dalam mahkota kuno itu, maka aku ikut pula memperebutkan. Sayang gagal..."

Tiba-tiba pemuda ini berhenti bicara, menarik tangan Hui Siang dan cepat melompat dari tempat yang tadi diduduki itu sambil mengangkat muka memandang ke atas. Hui Siang juga memandang dan... alangkah kaget hati mereka melihat seorang laki-laki tua berkulit hitam seluruhnya, duduk di atas cabang pohon itu dengan kedua kaki tergantung.

Kakek ini sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput. Pakaiannya sederhana berwarna kuning sehingga kehitaman kulitnya semakin nyata. Mukanya yang hitam itu hampir tidak kelihatan di antara daun-daun pohon, yang tampak jelas hanyalah biji matanya. Kakek tua renta berkulit hitam itu kini terkekeh-kekeh dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah.

Kagetlah hati Bun Wan dan Hui Siang pada waktu melihat betapa kakek itu jatuh seperti sebatang balok. Terpelanting dan kaku dengan kepala lebih dahulu! Namun, kekagetan dalam hati mereka berubah kagum dan terheran-heran ketika kepala itu menyentuh tanah dengan enaknya, sama sekali ttdak bersuara seakan-akan kepala yang temyata gundul pacul itu terbuat dari pada karet yang lembek dan lunak.

Sejenak kakek itu berjungkir seperti itu, kemudian dia tertawa pula dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan kini dia berdiri di atas kedua kakinya. Kiranya dia seorang yang tinggi dan kulitnya memang hitam semua, memegang sebatang tongkat yang berwarna hitam pula, lucunya, biar pun usianya sudah ada tujuh puluh tahun, akan tetapi mulutnya masih bergigi penuh, gigi yang putih berkilau di balik kulitnya yang kehitaman ftu.

"Heh-heh-heh, orang-orang Kun-lun-pai memang semenjak dahulu pemberontak semua! Mendiang Pek Gan Siansu juga pemberontak, cucu-cucu muridnya sekarang juga kaum pemberontak. Heh-heh-heh!"

Bun Wan cukup maklum bahwa kakek hitam ini adalah seorang yang memiliki kesaktian seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi mendengar betapa Kun-lun-pai dicela, betapa kakek gurunya dimaki pemberontak, dia menjadi penasaran dan mendongkol juga. Namun dia mempertahankan kesabarannya dan dengan hormat dia menjura dan bertanya.

"Locianpwe ini siapa, dan apa dosanya hingga Locianpwe memaki Kun-lun-pai sebagai pemberontak?"

"Heh-heh-heh, bocah berlagak pahlawan, mana kau tahu namaku. Aku orang biasa saja, bukan pahlawan macam orang-orang Kun-lun-pai, dan aku dipanggil orang Hek Lojin dari Go-bi-san. Heh-heh-heh, kau penasaran karena kukatakan bahwa Pek Gan Siansu dan semua anak murid Kun-lun adalah pemberontak hina? Hemmm, bocah berlagak patriot. Setiap orang yang melawan kekuatan pemerintah yang ada dialah pemberontak! Dahulu melawan kekuasaan Pemerintah Goan (Mongol), kakek-kakekmu adalah pemberontak. Kau sekarang hendak melawan kekuasaan kaisar yang berkuasa, kau pun pemberontak. Dan aku adalah orang yang paling benci terhadap pemberontak. Hayo kalian dua orang pemberontak cilik ini menyerah, menjadi tawananku dan kubawa ke kota raja."

Sekarang Bun Wan marah sekali. Dia memang tidak pernah mendengar nama Hek Lojin, karena memang tokoh sakti dari Go-bi-san ini jarang muncul di dunia kang-ouw dan sudah mengasingkan diri. Biar pun dia tahu bahwa yang dia hadapi adalah seorang sakti, mana dia sudi dijadikan tawanan?

Sementara itu, Hui Siang sudah tidak dapat menahan kemarahannya karena kekasihnya dimaki-maki. Ia seorang gadis yang manja dan selalu mengandalkan kepandaian sendiri. Begitu melihat gelagat tidak baik, diam-diam ia sudah menyiapkan jarum-jarum beracun, senjata rahasia yang amat dia andalkan karena mengandung racun ular di Ching-coa-to. Jarum ini amat ganas dan jahat, sedikit saja mengenai kulit lawan tentu akan mengancam keselamatan nyawanya.

"Kakek hitam sombong, makanlah ini!" bentaknya dan sekali kedua tangannya bergerak, puluhan batang jarum melesat keluar dari kedua tangannya, menyerang tubuh kakek itu dari kepala sampai kakinya.

"Ihh, ilmu keji!"

Tiba-tiba kakek itu lenyap dari situ, kiranya dia tadi menggunakan tongkat hitamnya untuk menjejak tanah sehingga tubuhnya melesat ke atas, tangan kirinya menyambar beberapa barang jarum dan dari tengah udara dia berseru, "Nih, kau makan sendiri jarum-jarum racunmu!"

Bukan main kagetnya hati Hui Siang ketika serangkum hawa yang amat dahsyat datang menyambarnya. Ia dapat menduga bahwa itulah pukulan jarak jauh yang amat kuat, pula disertai sambitan jarum-jarumnya sendiri. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun terlambat, masih ada tiga batang jarum dengan tepat sekali menancap di atas dadanya. Gadis itu menjerit dan roboh, tak berkutik lagi karena seketika ia menjadi pingsan.

Dapat dibayangkan alangkah terkejut dan gelisahnya hati Bun Wan. Dia mengira bahwa kekasihnya sudah terpukul tewas, maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun menerjang kakek itu dengan pedangnya.

Hek Lojin tertawa bergelak, melayani pedang Bun Wan dengan tongkat hitamnya yang ternyata amat kuat dan setiap kali bertemu pedang, Bun Wan merasa betapa tangannya tergetar dan sakit-sakit. Akan tetapi kemarahannya melihat Hui Siang roboh membuat dia menjadi nekat dan dengan kemarahan meluap-luap dia memainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang sepenuh tenaga.

"Bagus! Kun-lun Kiam-sut ternyata masih ampuh. Akan tetapi melawan aku si tua bangka dari Go-bi, tiada artinya, heh-heh-heh!"

Memang sesungguhnyalah, Bun Wan merasa betapa sinar pedangnya yang dia dorong dengan sepenuh semangatnya, seakan-akan menghadapi benteng hitam dari tongkat itu, bahkan beberapa kali membalik dengan keras sehingga pedang itu hampir terlepas dari pegangannya.

Setelah lewat tiga puluh jurus, dia menjadi pening. Benteng hitam itu makin melebar dan makin mendesak sehingga akhirnya mengurungnya, membuat pandangan matanya gelap dan bayangan kakek itu sendiri sudah lenyap tertelan gulungan sinar hitam. Akhirnya dia tidak tahu lagi di mana adanya kakek itu dan tahu-tahu tengkuknya telah kena tampar tangan kiri kakek itu.

Perlahan saja tamparan itu, namun cukup membuat Bun Wan berteriak keras. Tubuhnya lantas terguling, roboh pingsan di dekat tubuh Hui Siang yang juga belum dapat bergerak sama sekali.

"Heh-heh-heh, segala pemberontak hijau. Biarlah kalian mati di sini, tidak perlu kubawa lagi, membikin repot saja." Sambil berkata demikian, Hek Lojin menyeret tongkat hitamnya yang panjang, hendak pergi dari tempat itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar lengking panjang yang memekakkan telinga, dari atas datangnya. Dia merasa kaget bukan main dan cepat berdongak. Mulutnya yang hitam melongo terbuka, matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung rajawali emas yang besar sekali menukik ke bawah, ditungganggi oleh seorang laki-laki muda yang agaknya buta kedua matanya.

"Kim-tiauw-ko, jangan menyerang orang!" Kun Hong, pemuda yang menunggang rajawali emas itu, berseru ketika mendengar gerakan kim-tiauw, dan dia pun melompat turun ke atas tanah.

Seperti kita ketahui, selama beberapa hari ini Kun Hong berada di dalam hutan bersama-sama kim-tiauw, menghibur diri dan kadang-kadang dia menunggang punggung burung itu dan menyuruhnya terbang berputaran di atas hutan.

Pagi hari itu, entah kenapa kim-tiauw menukik ke bawah dan kiranya hendak menyerang orang. Karena itu cepat dia mencegahnya dan meloncat ke atas tanah karena hidungnya mencium bau daun dan tanah, tanda bahwa burung itu sudah turun dan mendekati tanah.

Akan tetapi burung rajawali emas itu tetap saja marah-marah. Dia memekik-mekik dan mengeluarkan suara melengking tinggi, bersiap untuk menyerang Hek Lojin yang sudah hilang kagetnya dan kini kakek itulah yang berbalik menjadi marah.

Ia adalah seorang yang sakti, biasanya ditakuti orang. Melihat mukanya yang hitam saja, orang-orang sudah pada takut, apa lagi menyaksikan sepak terjangnya yang sakti. Kini ada seorang bocah buta dan burung rajawali datang-datang menimbulkan kekagetannya, tentu saja dia marah.

"Burung keparat, kau kira kau ini luar biasa gagahnya maka berani membikin kaget Hek Lojin. Apa kau sudah bosan hidup? Keparat!"

Rajawali emas adalah seekor burung sakti, burung yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang sakti. Andai kata dia tidak dapat menangkap ucapan kakek itu, setidaknya, dia dapat merasa bahwa kakek itu marah dan memaki-maki serta menantangnya. Maka dia pun lalu membuka sepasang sayapnya, matanya memandang berapi-api, siap untuk menerjang. Mulutnya mengeluarkan pekik tantangan mengagetkan Kun Hong.

"Kim-tiauw-ko, sabarlah. Locianpwe, harap suka mengalah kepada burung sahabat baikku ini..."

"Burung jahat ini harus dibunuh, kalau tidak dia hanya akan mendatangkan kekacauan belaka!"

Hek Lojin yang merasa ditantang oleh burung itu, sudah menggerakkan tongkatnya untuk memukul. Hebat sekali pukulan ini, mendatangkan angin berdesir. Agaknya dia hendak menewaskan burung itu dengan sekali pukul! Rajawali emas itu agaknya tahu pula akan kehebatan pukulan ini, maka dia cepat melejit dan mengelak.

Kun Hong yang dapat menangkap angin pukulan, dia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek yang berangasan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan lawan burungnya. Tahu pula bahwa kakek itu benar-benar hendak membinasakan rajawali maka cepat-cepat dia menjura dan berkata,

"Locianpwe, sudahlah. Biarlah aku yang mintakan maaf apa bila burungku bersalah, dan biarlah kami pergi tidak mengganggumu lagi."

Akan tetapi Hek Lojin sudah semakin panas perutnya. Dia seorang ahli silat kelas tinggi, seorang yang kesaktiannya telah menggemparkan Go-bi-san, masa sekarang sekali pukul tak dapat mengenai tubuh burung celaka itu? Apa lagi melihat kini kim-tiauw lincak-lincak (berloncatan) seakan-akan mengejek, hawa amarah sudah naik ke ubun-ubunnya.

"Burung iblis, mampuslah!"

Sekarang tongkatnya diputar cepat dan sekali terjang dia sudah mengirim belasan jurus. Kagetlah Kun Hong. Terlebih kaget lagi burung itu sendiri, karena meski pun dia sudah mengibaskan sayap, sudah mengelak dan menangkis dengan cakarnya, namun tetap saja punggungnya terkena gebukan satu kali, membuat dia terlempar beberapa meter dan banyak bulunya yang kuning emas rontok.

Akan tetapi dasar burung sakti. Walau pun pukulan itu mendatangkan rasa nyeri, namun tidak melukainya. Hal ini membuat Hek Lojin kaget dan heran, akan tetapi malah makin marah.

Ketika dia menerjang lagi, ternyata Kun Hong sudah berdiri menghadangnya. Pemuda ini maklum bahwa burungnya tidak mungkin dapat melawan kakek ini dan kalau dia diamkan saja, berbahayalah bagi kim-tiauw.

"Locianpwe, sekali lagi, harap kau suka maafkan kami. Di antara kita tiada permusuhan, maka untuk apakah urusan kecil ini dibesar-besarkan dan pertempuran yang tidak ada gunanya ini dilanjutkan?"

Melihat sikap pemuda buta ini, Hek Lojin menahan kemarahannya. Dia dapat menduga bahwa kalau burungnya demikian hebat, pemiliknya tentu bukan orang lemah pula. Hanya saja orang ini masih sangat muda, apa lagi buta, kepandaian apakah yang dimilikinya?

Maka dia memandang rendah dan berkata, "Kalau kau pemiliknya dan mintakan maaf, aku mau memberi ampun asal kau bisa menyuruh dia berlutut dan mengangguk tujuh kali di depanku untuk minta ampun."

Kun Hong kaget dan bingung. Dia cukup mengenal watak kim-tiauw. Burung itu angkuh sekali, mana sudi merendahkan diri dan berlutut minta ampun seperti itu? Tidak mungkin!

"Menyesal sekali, hal itu tidak mungkin dapat kulakukan, Locianpwe, karena burung itu tidak pernah diajar berlutut, tentu tidak bisa dan tidak mengerti kalau kusuruh berlutut." Dalam hal ini Kun Hong membohong, karena kalau dia mau, burung itu akan melakukan ini dengan amat mudahnya. Soalnya, burung itu tentu tidak sudi berlutut di depan orang tua galak ini.

"Hemm, burungnya jahat dan sombong, pemiliknya amat baik," kakek itu menggerutu. "Sudahlah, kalau dia tidak bisa disuruh berlutut, biar kau yang mewakili juga tidak apa."

Hebat kesombongan kakek ini. Akan tetapi, memang pada dasarnya Kun Hong adalah seorang yang sangat penyabar dan luas pandangannya. Apa salahnya berlutut di depan seorang kakek yang memiliki kepandaian tinggi ini, pikirnya.

Kalau dia tidak mau memenuhi permintaan ini tentulah terjadi pertempuran hebat yang sama sekali tidak ada sebabnya, pertempuran yang tiada gunanya. Maka dia tersenyum dan segera menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala tujuh kali.

Kakek itu tampak girang sekali dan agaknya hendak menguji kelihaian Kun Hong. Karena itu dia segera mengangkat sebelah kakinya dan dilayangkan ke atas kepala Kun Hong. Penghinaan yang hebat!

Kun Hong menggigit bibirnya karena biar pun matanya buta, tentu saja telinganya dapat menangkap gerakan ini dan kalau dia mau, sekali menggerakkan tangan tentu dia mampu merobohkan kakek sombong itu ketika si kakek melakukan gerakan yang menghina dan juga berbahaya bagi diri kakek itu sendiri. Dia pura-pura tidak tahu dan kakek itu tertawa bergelak-gelak sambil menyeret tongkatnya, pergi dari situ.

Masih terdengar suaranya dari jauh terkekeh-kekeh sambil berkata, "Ajaib sekali, burung yang demikian kuatnya memiliki majikan begitu lemah, heh-heh-heh!"

Sesudah suara kakek itu tidak terdengar lagi, Kun Hong baru bangkit sambil menggerutu, "Berbahaya sekali..." Dia maksudkan berbahaya kalau dia tidak mampu mempertahankan kesabarannya tadi, tentu akan terjadi pertempuran hebat karena dia pun dapat menduga bahwa ilmu kepandaian kakek itu memang amat tinggi.

"Kim-tiauw-ko, kenapa kau mencari gara-gara?" Dia menegur burung itu.

Burung rajawali meloncat mendekatinya, menyambar ujung lengan bajunya dan dengan suara menggerang panjang burung itu menariknya dari situ. Kun Hong amat heran dan mengikuti. Burung itu berhenti dan menarik dia supaya berjongkok.

Dengan hati mengandung penuh pertanyaan Kun Hong berjongkok, tangannya meraba dan... jari-jari tangannya menyentuh tubuh seorang laki-laki yang pingsan dan menderita luka dalam yang hebat. Tangannya meraba lagi ke kiri dan... sekali ini menyentuh tubuh seorang wanita.

Dia berseru kaget karena wanita ini malah lebih hebat lagi keadaannya. Tubuhnya panas membara seperti terbakar, napasnya sesak, tanda bahwa ia menderita luka yang hampir mencabut nyawanya.

"Celaka... ahhh, kim-tiauw-ko, kiranya aku benar-benar buta!" Dia menyumpahi diri sendiri karena sekarang mengertilah dia bahwa burung itu tadi menyerang seorang kakek yang baru saja merobohkan dua orang muda secara ganas dan keji!

Cepat dia memeriksa laki-laki itu. Segera dia tahu bahwa laki-laki itu menderita pukulan dengan tenaga lweekang yang sangat hebat pada punggungnya. Dia cepat mengurut dan menotok beberapa jalan darah. Hatinya menjadi lega sesudah dia mendapat kenyataan bahwa orang ini tidak berbahaya lagi sekarang keadaannya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar