Pendekar Buta Jilid 26

Nyonya itu juga seperti tercengang melihat Hui Kauw, keningnya berkerut mengingat-ingat karena ia merasa seperti pernah melihat wajah gadis ini. Hanya muka yang kehitaman itu membuat dia menjadi ragu-ragu karena seingatnya belum pernah dia mengenal seorang nona bermuka hitam seperti nona ini.

Melihat adanya The Sun dan Bhong Lo-koai yang sudah dikenalnya, ia segera menjura dengan hormat yang cepat dibalas oleh kedua orang tamu itu, kemudian ia menghadapi suaminya sambil berkata halus, "Ada keperluan apakah maka aku dipanggil ke sini?"

Karena hatinya masih merasa tegang, Kwee-taijin hanya menuding ke arah Hui Kauw sambil berkata, "Nona ini... dia bilang tahu tentang... Ling-ji (anak Ling)...”

Seketika wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, kedua mata yang sayu itu memandang terbelalak kepada Hui Kauw. Kedua kakinya yang kecil lalu melangkah maju sampai dekat. "Kau tahu... kau tahu... mana dia Ling Ling anakku...?"

Hati Hui Kauw seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia terharu sekali dan diam-diam ia merasa bahagia karena ibu ini ternyata sangat kasih kepada puterinya yang hilang diculik orang. Akan tetapi dia tidak boleh sembrono, tak boleh begitu saja mengaku-aku sebagai anak mereka, karena biar pun hubungan darah di antara mereka telah menggetarkan jiwanya, akan tetapi ia tidak mempunyai bukti yang sah. Bagaimana kalau wanita ini bukan ibunya?

"Nyonya...," suaranya gemetar dan sukar keluarnya, "Dapatkah Nyonya katakan, apakah anakmu yang hilang itu memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tertentu sehingga dapat dikenal kembali?"

Nyonya itu memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak membayangkan kembali anak kecil yang lenyap di waktu malam itu, ingat ketika dengan amat gembira dan penuh bahagia dia memandikan anak itu setiap hari, anak tunggal yang sangat disayanginya.

Dengan jelas tampak dalam bayangan ini betapa anaknya memiiki sebuah tanda merah di belakang leher, seperti tahi lalat tapi merah, dan dulu sering kali ia menggosok-gosok agar tanda itu hilang. Malah suaminya menghiburnya bahwa tanda tahi lalat seperti itu tidaklah buruk. Apa lagi bila anak itu sudah besar kelak, tentu tanda itu akan tertutup oleh rambut. Pula, tanda sekecil itu kiranya malah menjadi penambah manis pada leher yang berkulit putih.

"Ada... ada..." katanya sambil membuka mata dan memandang suaminya. "...kau tentu masih ingat, tahi lalat merah di belakang leher..."

Kwee-taijin mengerutkan kening mengingat-ingat, kemudian dia berkata sambil tersenyum penuh harapan, "Betul, ada tahi lalat merah di tengkuk, ibunya selalu meributkan hal itu."

Mendengar ini menggigil kedua kaki Hui Kauw dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan nyonya itu, memeluk kedua kakinya sambil menangis!

The Sun dan Bhong Lo-koai sudah mencelat dari tempat duduk masing-masing karena mereka tadinya mengira bahwa gadis aneh itu hendak melakukan penyerangan. Akan tetapi melihat Hui Kauw hanya menangis sambil memeluk dan menciumi kaki nyonya itu, mereka saling pandang dan berdiri bengong. Juga Kwee-taijin berdiri dari kusinya dan memandang dengan penuh keheranan.

"Nyonya... kau periksalah ini..."

Sambil menangis dan dengan kepala tunduk Hui Kauw menyingkap rambutnya sehingga kulit tengkuknya dapat terlihat. Nyonya Kwee, suaminya dan juga kedua orang tamu itu memandang. Karena Hui Kauw berlutut di atas lantai, mudah bagi mereka untuk melihat betapa pada kulit yang kuning halus dari tengkuk itu ternoda oleh sebuah tahi lalat merah sebesar kedele.

Hening sejenak di situ, semua orang bagai kena sihir, kemudian Nyonya Kwee mengeluh, membungkuk meraba tengkuk Hui Kauw, memandang lagi, mulutnya berbisik-bisik, "...ah, mungkinkah ini...? Kau... Ling Ling...? Kau anakku...?"

Juga Kwee-taijin tak dapat menahan diri berseru, "Mungkinkah ini? Tidak kelirukah...?"

Mendengar keraguan suami isteri itu, dengan terisak-isak Hui Kauw bangkit berdiri, tegak memandang suami isteri itu dan berkata, suaranya tegas.

"Taijin dan Nyonya, memang sangatlah berat bagiku untuk memperkenalkan diri setelah melihat bahwa ayah dan ibuku adalah orang-orang kaya raya dari golongan bangsawan berpangkat. Alangkah mudahnya aku dituduh sebagai penipu! Lihatlah baik-baik mukaku, mataku, diriku, dan andai kata Taijin berdua memang tak mengenalku sebagai anak yang diculik orang belasan tahun yang lalu, biarlah aku pergi dari sini."

Keadaan tegang sekali. The Sun dan Bhong Lo-koai merasai ketegangan ini dan mereka hanya berdiri tegak menjadi penonton. Kwee-taijin nampak bingung sekali, ragu-ragu dan pandang matanya tidak pernah lepas dari pada wajah Hui Kauw.

Harus dia akui bahwa wajah ini cantik sekali dan mirip wajah isterinya pada waktu muda, akan tetapi mengapa hitam sehingga tampak buruk? Dia ingat betul bahwa dahulu Ling-ji tidak berwajah hitam, malah kulit muka anaknya dahulu itu putih sekali. Bagaimana dia bisa menerima gadis yang bermuka hitam, yang menjadi seorang gadis kang-ouw dengan pedang selalu di pinggang ini sebagai puterinya?

Nyonya Kwee mengejar maju kemudian memegang tangan kiri Hui Kauw dengan kedua tangannya yang dingin dan gemetar, bibirnya berbisik lirih, "...lihat tanganmu... aku ingat betul... di bawah jari manis kiri terdapat guratan seperti huruf THIAN..."

Dia membalikkan tangan gadis itu, menariknya dekat dan memandang penuh perhatian. Benar saja, di situ di antara guratan-guratan telapak tangan itu, terdapat guratan yang mirip dengan huruf THIAN, yaitu dua tumpuk garis melintang dipotong garis tegak lurus yang di bawahnya bercabang dua!

"...ahh... kau betul Ling Ling... kau anakku...!"

"Ibuuuu...!" Dua orang wanita itu berpelukan, berciuman dan mereka bertangis-tangisan. Pertemuan yang amat mengharukan.

"Ling Ling... inilah Ayahmu... berilah hormat kepada Ayahmu..."

Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kwee-taijin dan sambil terisak berkata, "Ayahhhh..."

Kwee-taijin mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa kecewa sekali melihat nona ini yang ternyata adalah puterinya sendiri yang dulu diculik orang. Kecewa melihat anaknya bermuka hitam seperti ini. Ia menarik napas dan mengelus-elus rambut Hui Kauw setelah menerima sambaran pandang mata isterinya yang seakan-akan mencelanya.

"Ling-ji... anakku, alangkah banyaknya engkau telah mendatangkan sengsara dalam hati ibumu...," akhirnya dapat juga Kwee-taijin berkata.

Sementara itu, The Sun dan Bhong Lo-koai juga tercengang, kemudian menjadi girang sekali bahwa nona yang kosen itu ternyata adalah puteri Kwee-taijin yang hilang! Cepat keduanya lalu menjura dan menghaturkan selamat kepada Kwee-taijin.

"Kionghi (selamat), Kwee-taijin, kionghi! Siapa kira hari ini begitu baik sehingga tanpa dinyana puterimu sudah kembali!" kata The Sun.

"Tidak hanya sudah kembali, bahkan membawa kepandaian yang hebat. Kionghi, Taijin, selamat bahwa kau mempunyai puteri yang menjadi anak angkat Siauw-coa-ong Giam Kin yang sakti. Ha-ha-ha!" Bhong Lo-koai juga memberi selamat.

Kekecewaan Kwee-taijin agak terhibur pada saat mendengar bahwa puterinya ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi. Apa lagi nama besar Siauw-coa-ong tentu saja pernah dia mendengarnya. Maka ketika dua orang tamunya itu berpamit hendak pergi, dia cepat menahan mereka dan berkata,

"Ji-wi yang membawa datang puteri kami, sudah sepantasnya saya menghaturkan terima kasih dengan tiga cawan arak."

Dua orang itu tertawa-tawa dan tidak dapat menolak. Cepat hidangan disiapkan di meja, sedangkan Kwee-hujin segera mengajak puterinya itu ke dalam sambil memeluknya dan menciuminya.

Setelah berada di rumah ayah bundanya yang asli, Hui Kauw atau Kwee Ling mendengar banyak. Ternyata ibunya hanya mempunyai anak dia seorang saja, ada pun dua orang remaja yang dilihatnya itu adalah anak dari isteri muda Kwee-taijin.

Sebagai seorang kaya raya dan bangsawan yang mempunyai pangkat tinggi pula, Kwee Taijin mempunyai tiga orang isteri di samping beberapa orang selir yang juga dianggap sebagai pelayan. Isteri pertama yang disebut Kwee-huijin adalah ibu Hui Kauw itulah, isteri ke dua atau Ji-huijin (nyonya ke dua) tidak mempunyai anak sedangkan Sam-huijin (nyonya ke tiga) mempunyai anak dua orang yaitu yang bernama Kwee Kian, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dan yang ke dua adalah seorang dara remaja bernama Kwee Siok. Dua orang inilah yang berjumpa dengan Hui Kauw pada waktu dia pertama datang di rumah orang tuanya.

Hui Kauw bisa merasakan betapa kecuali ibu kandungnya, kehadirannya di rumah gedung itu sangat tidak disukai oleh keluarga Kwee. Terutama sekali Sam-hujin dan dua orang anaknya. Hal ini mudah sekali dimengerti karena sebelum hadir Hui Kauw, maka Kwee Kian dan Kwee Siok merupakan dua orang keturunan keluarga Kwee yang menjadi ahli waris. Sekarang datang Hui Kauw yang ternyata adalah anak dari isteri pertama, tentu saja mereka merasa dirugikan dan merasa terancam kedudukan mereka!

Hal ini karena dapat dimengerti oleh Hui Kauw, maka tidak mendatangkan rasa sesal di hatinya. Yang membuat gadis ini selalu murung dan tak enak hati adalah sikap ayahnya. Ayahnya itu adalah ayah kandung, mengapa terhadap dia dingin saja, sikapnya tidak semanis terhadap Kwee Kian dan Kwee Siok? Juga sikap ayahnya terhadap ibunya tidak semanis sikapnya terhadap dua orang isterinya yang lain.

Hui Kauw merasa amat kasihan kepada ibunya dan diam-diam dia tidak puas terhadap ayahnya. Agaknya perasaan tidak puas inilah yang membuat Hui Kauw menyatakan kepada ayah bundanya bahwa dia lebih suka bernama Hui Kauw dari pada Kwee Ling, karena nama ini sudah dipakainya semenjak kecil, maka ia minta agar nama Hui Kauw dijadikan nama alias atau namanya sehari-hari. Hanya ibu kandungnya sajalah yang tetap menyebutnya Ling Ling, sedangkan orang lain menyebut dirinya Hui Kauw, juga ayahnya sendiri.

Pada suatu hari Hui Kauw diajak ayahnya menghadiri pesta yang diadakan di dalam istana oleh kaisar! Kejadian yang luar biasa, apa lagi kalau diingat bahwa kehadiran Hui Kauw itu adalah kehendak kaisar sendiri yang mendengar tentang kelihaian gadis itu dari The Sun.

"Ayah, perlu benarkah itu sehingga saya yang harus ikut ke istana? Saya tidak senang dengan pesta-pesta besar," kata Hui Kauw kepada ayahnya.

Aneh ayahnya kali ini, sikapnya manis sekali dan kini ayahnya tersenyum. "Hui Kauw, anak baik, kau tidak tahu. Adalah kaisar sendiri yang minta supaya kau ikut datang karena beliau telah mendengar bahwa anakku yang diculik dahulu telah pulang dan selain beliau hendak memberi selamat kepadaku, juga ingin bertemu sendiri denganmu. Ini merupakan hal yang baik sekali dan merupakan kehormatan besar, anakku. Baiklah kita berdua akan menggunakan kesempatan ini untuk menghaturkan selamat kepada kaisar atas pemilihan beberapa orang selir baru."

Diam-diam Hui Kauw merasa muak dalam hatinya. Banyak sudah ia mendengar dongeng mengenai kaisar-kaisar dan para pembesar tinggi yang selalu mengumpulkan sebanyak mungkin gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir. Kejadian ini amat memanaskan hatinya. Laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi benar-benar merupakan manusia-manusia yang hanya mau menangnya sendiri saja, yang bertindak sewenang-wenang dan menganggap wanita-wanita hanya sebagai benda permainan belaka!

Sebenarnya tak sudi ia harus menghadapi semua ini, tak sudi ia harus menghadiri pesta itu, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah kehendak ayahnya? Baru beberapa hari ia berkumpul dengan ayahnya, tak mungkin ia mengecewakan hati orang tua itu.

Apa lagi dalam kesempatan ini, ayahnya juga mengajak Kwee Kian dan Kwee Siok yang kelihatan gembira bukan main. Pemuda dan gadis remaja ini berdandan dengan pakaian terbaru. Hui Kauw tidak dapat meniru ini, walau pun ia telah diberi banyak pakaian indah oleh orang tuanya. Gadis ini berpakaian sederhana saja, apa lagi ia pun maklum bahwa mukanya yang hitam itu membuat semua pakaian dan hiasan badan tetap tidak patut.

Bukan main meriahnya pesta yang diadakan dalam taman bunga istana itu. Kaisar baru muncul setelah para undangan memenuhi taman dan semua orang termasuk Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut ketika kaisar berjalan dengan sikap agung menuju ke tempat duduk kehormatan yang telah disediakan untuknya. Dengan kerling mata Hui Kauw dapat melihat bahwa kaisar ini masih muda, berwajah tampan dan bersikap gagah dengan mulut selalu memperlihatkan senyum yang menyembunyikan keangkuhannya.

Sesudah semua orang diperkenankan duduk, Kwee Siok menyentuh lengannya sambil berkata, "Hui Kauw cici, lihat di sana itu duduk rombongan pengawal-pengawal istana dan jagoan-jagoan undangan, semua adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat tertinggi."

Kwee Kian juga tidak mau ketinggalan berkata lirih. "Dan yang duduk di sebelah kiri itu, yang berpakaian serba merah, orang tua yang tinggi kurus dan tersenyum-senyum itu, dialah suhu (guru) kami. Dialah tokoh besar berilmu tinggi yang berjuluk Ang Mo-ko!"

Diam-diam Hui Kauw menaruh perhatian. Memang seorang kakek yang aneh, sudah tua tapi pakaiannya merah semua, duduknya tak jauh dari The Sun yang kelihatan berpakaian serba indah. Ia tahu bahwa dua orang adik tirinya ini belajar ilmu silat dari seorang tokoh pengawal istana yang berjuluk Ang Mo-ko, akan tetapi baru sekarang ia melihat orangnya.

"Cici," kata pula Kwee Siok, "di antara tujuh orang pengawal ketika kaisar masih menjadi pangeran mahkota, suhu adalah orang yang paling lihai di antara mereka."

"Mungkin tidak kalah oleh The-kongcu," kata Kwee Kian.

"Wah, kalau dibandingkan dengan The-kongcu mungkin masih kalah satu tingkat," kata Kwee Siok. "Kian-koko, kau tahu bahwa The-kongcu adalah seorang tokoh muda Go-bi yang mempunyai kesaktian luar biasa, masa di dunia ada keduanya? Akan tetapi, kalau hanya dengan Bhong Lo-koai saja sudah pasti suhu lebih menang!"

Hui Kauw tersenyum di dalam hatinya mendengar perdebatan antara kedua adik tirinya ini dan sekaligus ia dapat menduga bahwa adik tirinya Kwee Siok ini tergila-gila kepada The Sun. Ia termenung dan diam-diam ia berdoa semoga adik ini tak akan mengalami nasib buruk dalam percintaan seperti ia sendiri. Betapa pun adik tirinya ini di dalam hatinya tidak suka kepadanya, namun Hui Kauw memang memiliki watak yang penuh welas asih, dan pribudi yang mulia.

Dahulu pun di Pulau Ching-coa-to, meski ia tahu bahwa Hui Siang diam-diam membenci dirinya, namun ia selalu menaruh iba pada adik angkat ini. Apa lagi sekarang, dua orang ini betapa pun juga adalah adik tirinya, anak-anak dari ayah kandungnya!

Ternyata menurut percakapan yang ia dengar, Hui Kauw tahu bahwa kali ini kaisar telah memilih lima orang selir baru di antara puluhan orang gadis-gadis yang didatangkan dari pelbagai daerah. Seperti telah sering kali terjadi, gadis-gadis yang tidak diterima tentu saja menjadi bagian dari para pembesar yang mengurusnya. Tidaklah mengherankan apa bila mereka kini berpesta pora amat gembira, selain untuk memberi selamat kepada kaisar, juga untuk memberi selamat kepada diri mereka sendiri!

Hui Kauw merasa lega bahwa ayahnya tidak termasuk pembesar yang mengurus tentang penarikan gadis-gadis ini sehingga kali ini ayahnya tak ikut bergembira karena mendapat selir baru pula! Anehnya, selir-selir baru itu tidak hadir di tempat pesta dan yang tampak hanyalah para pengunjung yang membanjiri hadiah-hadiah berupa benda-benda berharga untuk para selir baru itu! Tentu saja hal ini dilakukan untuk menjilat kaisarnya, karena benda-benda berharga yang dikeluarkan itu hanya merupakan umpan untuk memancing ikan yang jauh lebih berharga dari pada umpannya, yaitu berupa kenaikan pangkat dan lain-lain.

Hui Kauw sudah merasa lega bahwa kaisar agaknya tak akan melihat dan mengenalnya, juga agaknya ayahnya tidak akan menyinggung-nyinggung tentang dirinya. Siapa kira tak lama kemudian, seorang pembesar mendatangi ayahnya dan berbisik-bisik. Wajah orang tua itu seketika menjadi berseri-seri gembira dan dengan suara bangga dia berkata,

"Hui Kauw... eh, Ling-ji... Kaisar memanggil aku dan kau menghadap. Mari...!"

Ayah yang bangga ini berdiri, lalu menggandeng tangan puterinya dan menjatuhkan diri berlutut di tempat itu juga untuk menghormati panggilan kaisar, kemudian dia mengajak Hui Kauw berdiri dan berjalan perlahan menuju ke tempat duduk kaisar. Di depan kaisar, ayah dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut lagi, menunduk tanpa berani mengangkat muka untuk memandang kaisar.

"Aha, inikah Nona yang lihai ilmu silatnya itu?"

Betapa pun juga, keadaan dan suara kaisar ini demikian berwibawa sehingga menekan perasaan Hui Kauw dan membuat nona ini merasa mulutnya kaku dan tenggorokannya kering. Tak dapat ia mengeluarkan suara untuk menjawab!

"Betul, Yang Mulia, inilah anak hamba Kwee... Hui Kauw yang bodoh. Hamba berdua menghaturkan selamat atas hari baik ini, semoga Yang Mulia bertambah kebahagiaan dan dikurniai panjang usia selaksa tahun!"

Kaisar ini tertawa senang. "Kwee Lai Kin, tidak kusangka kau mempunyai seorang anak perempuan yang lihai ilmu silatnya, yang katanya malah menjadi murid dan anak angkat Siauw-coa-ong Si Raja Ular! Ha-ha-ha! Eh, kau... Kwee Hui Kauw, benarkah kau diangkat anak oleh Si Raja Ular?"

Tanpa berani mengangkat muka sedikit pun, Hui Kauw yang telah mendapatkan kembali ketenangannya menjawab, "Tidak salah, Yang Mulia..."

"Bagus! Karena ayahmu adalah pembantuku, berarti kau pun pembantu istana pula. Hayo lekas kau mainkan beberapa jurus ilmu silat supaya dinilai oleh para pengawal dan agar menambah kegembiraan pesta ini."

Bingung dan mengkal hati Hui Kauw. Betapa ceriwisnya kaisar ini, pikirnya. Akan tetapi suasana di situ benar-benar amat berwibawa sehingga ia hampir kehilangan ketenangan hatinya, "Mohon ampun sebesarnya, Yang Mulia, hamba tidak berani memperlihatkan ilmu silat yang dangkal di hadapan Yang Mulia."

Semua orang yang hadir di situ kaget dan khawatir. Setiap penolakan kehendak kaisar dapat dianggap sebagai pembangkangan yang sama saja artinya dengan pemberontakan! Wajah Kwee Taijin sudah berubah pucat seperti kertas kosong.

The Sun mengerutkan keningnya. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini cepat berlutut dan berkata, "Mohon Yang Mulia sudi mengampuninya. Sebagai seorang gadis yang baru kali ini berhadapan dengan Yang Mulia, dan baru kali ini menghadiri pertemuan agung, tentu saja Nona Kwee Hui Kauw merasa malu-malu dan canggung sekali. Hamba usulkan agar supaya salah seorang di antara para pengawal suka mengawani dia sehingga selain Nona Kwee tidak akan sungkan, juga akan lebih indah untuk ditonton dan lebih mudah dijadikan ukuran bagi kepandaian Nona Kwee yang hebat!"

Kaisar tertawa girang dan bertepuk tangan. "Bagus, kau memang pintar sekali, The Sun! Kau yang memuji Nona ini kepadaku, tentu kau sudah tahu sampai di mana tingkatnya dan aku beri ijin kepadamu untuk melakukan pemilihan di antara para pengawal itu."

The Sun tentu saja dapat menduga sampai di mana tingkat kepandaian Hui Kauw karena pernah dia melihat gadis itu bertanding melawan Bhong Lo-koai. Tadinya dia hendak mengusulkan supaya Bhong Lo-koai maju melayani nona ini, akan tetapi dia ragu-ragu karena siapa tahu kalau-kalau Bhong Lo-koai akan kalah.

Biar pun pertandingan kali ini hanya sebagai iseng-iseng dan menguji kepandaian belaka, namun kalau sampai pihak istana kalah, bukankah hal ini akan merendahkan nama besar kaisar sendiri yang dianggap mempunyai pengawal yang tidak becus? Oleh karena itu, dia segera memandang Ang Mo-ko, tersenyum dan berkata,

"Menurut pendapat hamba, hanya Ang Mo-ko lo-enghiong yang pantas untuk melayani Nona Kwee, mengingat bahwa kepandaian Nona Kwee sudah amat tinggi dan kalau lain orang yang melayaninya, akan sukarlah dapat digunakan sebagai ukuran."

Semua orang terkejut mendengar ini, sedangkan Bhong Lo-koai menjadi merah mukanya. Terang bahwa The Sun tidak percaya kepadanya, maka mengajukan Ang Mo-ko yang dianggap lebih pandai. Memang semua pengawal di istana juga maklum bahwa sebelum datang The Sun dan para tokoh undangan, di antara para pengawal lama, Ang Mo-ko merupakan tenaga yang paling boleh diandalkan karena ilmu kepandaiannya memang hebat.

Akan tetapi, banyak di antara para pengawal istana merasa penasaran. Untuk menguji kepandaian seorang nona yang begitu muda, mengapa mesti mengajukan Ang Mo-ko? Agaknya beberapa orang pengawal muda saja sudah cukuplah. Benar-benar The-kongcu sekali ini keterlaluan, pikir mereka.

Malah diam-diam Kwee Taijin juga kaget sekali dan melirik ke arah orang muda itu. Apa yang dikehendaki oleh orang muda ini, pikirnya tidak enak. Masa anakku harus diadu dengan Ang Mo-ko yang lihai? Hemm, apakah dia sengaja hendak membikin malu kepada Hui Kauw dan aku?

Akan tetapi The Sun tak mempedulikan semua pandang mata yang ditujukan kepadanya penuh pertanyaan itu. Juga kaisar yang tadinya terkejut pula, setelah memandang wajah The Sun yang bersungguh-sungguh, diam-diam merasa amat kagum. Benarkah gadis ini mempunyai kepandaian demikian tinggi sehingga patut dipertemukan dalam pertandingan melawan Ang Mo-ko?

Kaisar tertawa dan menjawab, "The Sun, kau lebih tahu dalam hal ini. Usulmu diterima, lakukanlah!"

The Sun lalu menghampiri Ang Mo-ko, berkata sambil tersenyum, "Ang lo-enghiong harap suka turun tangan menggembirakan suasana pesta. Akan tetapi hati-hatilah, Nona Kwee benar-benar lihai."

Ang Mo-ko bangkit berdiri, mengangguk-angguk dan berkata, cukup keras sehingga dapat terdengar oleh Hui Kauw. "Sungguh sebuah kehormatan besar untuk berkenalan dengan kelihaian anak angkat Siauw-coa-ong Giam Kin yang sakti."

Yang paling merasa tegang di saat itu adalah Kwee Kian dan Kwee Siok. Dua orang muda ini saling pandang dan muka mereka berubah sebentar pucat sebentar merah. Memang dari ayah mereka, mereka telah mendengar bahwa kakak tiri mereka memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka sendiri yang menjadi murid tokoh besar di istana, Ang Mo-ko, diam-diam memandang rendah kepada Hui Kauw. Malah diam-diam mereka mencari kesempatan baik untuk ‘mencoba’ kepandaian nona muka hitam itu. Siapa tahu sekarang di dalam pesta agung, di hadapan kaisar, kakak tiri itu akan dipertandingkan dengan guru mereka!

Karena yang memerintahnya adalah kaisar sendiri, Hui Kauw tentu saja tidak berani membantah. Setelah memberi hormat dengan berlutut, ia lalu memenuhi isyarat The Sun, bangkit berdiri dan berjalan tenang ke tengah ruangan, di mana terdapat tempat yang agak tinggi dan memang sengaja dikosongkan.

Di dalam taman itu, Kaisar dan para tamu duduknya mengelilingi tempat ini sehingga tempat itu menjadi pusat perhatian. Ang Mo-ko yang bertubuh tinggi kurus sudah berdiri di sana, menunggu dengan sikap tenang.

Kaisar memerintahkan sesuatu kepada pengawal pribadinya yang cepat lari menghampiri The Sun. Pemuda ini tersenyum mengangguk-angguk, kemudian berlari pula ke arena pertandingan, berkata kepada Hui Kauw dan Ang Mo-ko yang sudah bediri berhadapan.

"Menurut perintah Kaisar, karena di antara para tamu banyak yang tidak tahu ilmu silat, maka untuk menjaga kesusilaan dan mencegah persentuhan tangan, ji-wi (anda berdua) diperintahkan menggunakan senjata dalam pertandingan persahabatan ini. Silakan Nona Kwee memilih senjata apa yang dikehendaki, akan saya sediakan."

Hui Kauw memandang Ang Mo-ko untuk mengetahui pendapat orang tua yang diharuskan menjadi lawannya itu. Dia melihat kakek itu sambil tersenyum lebar sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang huncwe (pipa tembakau) yang putih kemilau bagai perak.

Hun-cwe ini panjangnya ada tiga perempat meter, ujungnya meruncing dan beberapa sentimeter sebelum ujungnya terdapat ‘buahnya’, yaitu merupakan tempat tembakau yang biasanya dinyalakan. Tahulah Hui Kauw bahwa lawannya adalah seorang ahli totok yang berbahaya karena senjata seperti itu memang tepat untuk menotok jalan darah, bentuknya meruncing tapi ujungnya tumpul.

"Aku tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, mengapa harus memakai senjata?" katanya ragu-ragu. "Pula, aku tidak membawa pedangku."

Memang semua pengunjung tidak diperbolehkan membawa senjata, tentu saja kecuali para pengawal yang sudah dipercaya penuh. Aturan ini belum lama diadakan setelah terjadi perebutan kekuasaan dan makin lama makin banyak terdapat mata-mata dari pihak yang anti kaisar berkeliaran di kota raja.

The Sun tersenyum dan mencabut pedangnya, "Kalau kau biasa berpedang, kau boleh mempergunakan pedangku, Nona."

"Terima kasih." Hui Kauw terpaksa menerima pedang The Sun.

"Nah, Kaisar telah memberi tanda. Kalian boleh mulai," kata The Sun yang segera mundur dan berdiri di pinggiran.

Para tamu menahan napas, apa lagi Kwee Taijin ketika melihat betapa anak gadisnya sudah berdiri dengan pedang terhunus di hadapan Ang Mo-ko yang masih berdiri sambil tersenyum-senyum itu.

Dengan gaya lucu Ang Mo-ko sekali lagi berlutut memberi hormat kepada kaisar, lalu berdiri dan berkata, "Nona Kwee, aku yang tua banyak mengharapkan petunjuk darimu."

"Ahh, lo-enghiong mengapa berlaku sungkan? Lekaslah bergerak dan lekas pula akhiri permainan ini, aku mana bisa menang dibandingkan dengan seorang tokoh tua?" jawab Hui Kauw hati-hati, pedangnya sudah melintang di depan dadanya.

Ang Mo-ko tertawa lagi, lalu menggerakkan huncwe-nya sambil berseru, "Awas Nona, aku mulai!"

Hui Kauw maklum bahwa lawannya bukanlah orang lemah, hal ini tidak hanya dapat ia duga dari sikap kakek itu, juga sekarang jelas dapat dilihat dari dahsyatnya sambaran huncwe yang melakukan totokan ke arah leher dan lambungnya. Dua bagian tubuh ini letaknya tidak berdekatan, akan tetapi ujung huncwe itu dapat menotok secara beruntun dengan cepat sekali sehingga sukar diduga bagian mana yang akan diserang lebih dahulu karena seakan-akan ujungnya berubah menjadi dua menyerang dengan berbareng!

"Tring! Tranggggg!"

Bunga api berhamburan menyilaukan mata pada saat pedang yang diputar Hui Kauw itu sekaligus bertemu dua kali dengan huncwe itu. Karena ia menggunakan pedang orang lain, Hui Kauw dengan tabah berani menangkis sekalian hendak menguji tenaga lawan. Ia merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi dengan pengerahan hawa murni ia dapat mengusir getaran itu.

Di lain pihak, Ang Mo-ko berseru keras. Ia melompat mundur, cepat menarik huncwe-nya dan diamat-amati dengan penuh perhatian dan kekhawatiran.

"Wah-wah-wah, untungnya huncwe yang menjadi jimat hidupku ini tidak rusak!" katanya kemudian sambil tertawa. Tadi dia memang takut kalau-kalau huncwe kesayangannya ini lecet. Dengan lagak lucu kakek ini menerjang maju lagi mengirim serangan-serangan kilat.

Hui Kauw juga mainkan pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Makin cepat kakek itu menyerangnya, makin cepat pula ia menggerakkan pedangnya, kini tidak hanya untuk mempertahankan diri, juga untuk balas menyerang.

Hebat pertandingan itu dan juga indah sekali karena sambaran huncwe yang bagaikan kilat menyambar itu selalu lenyap digulung awan putih sinar pedang Hui Kauw. Kadang-kadang dari dalam gulungan awan itu muncrat bunga api dibarengi suara nyaring sekali seakan-akan halilintar menyambar dari gulungan awan mendung.

Tentu saja Ang Mo-ko sudah maklum akan maksud pertandingan ini. Tadinya dia hanya bermaksud menguji, tentu saja dia tidak akan menyerang sungguh-sungguh puteri Kwee Taijin yang juga menjadi kakak dari pada kedua orang muridnya. Akan tetapi makin lama penyerangannya menjadi makin dahsyat ketika dia mendapat kenyataan bahwa nona ini ilmu pedangnya sungguh tak boleh dipandang ringan.

Dia harus memeras keringat dan mengerahkan tenaga dan kepandaian kalau tidak mau dikalahkan dan mendapat malu di dalam pertandingan agung itu! Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, Ang Mo-ko tidak berani main-main lagi dan terpaksa dia mengeluarkan kepandaiannya agar jangan sampai kalah.

Pada lain pihak, Hui Kauw juga hendak menjaga namanya, selain juga hendak menjaga muka ayahnya. Kalau ia mudah saja dikalahkan, bukan hanya dia yang akan ditertawakan orang, apa lagi oleh kedua orang adik tirinya, juga ayahnya tidak luput dari pada ejekan.

Namun, ia tetap tidak mau mempergunakan ilmu silatnya yang ia rahasiakan. Ia sengaja hanya mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibu angkatnya dan ternyata ilmu pedang itu sudah cukup untuk menandingi huncwe di tangan Ang Mo-ko.

Kaisar menjadi amat gembira menyaksikan pertandingan pedang tingkat tinggi melawan huncwe maut ini. Berkali-kali dia bertepuk tangan memuji karena kaisar ini pun seorang yang suka sekali akan ilmu silat.

Setelah seratus jurus lewat, Ang Mo-ko menjadi gelisah dan dia merasa khawatir sekali kalau-kalau akan ditertawai kaisar serta pangkatnya akan diturunkan gara-gara dia tidak dapat lekas-lekas mengalahkan nona muda itu dalam pertandingan ini.

Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras. Tangan kirinya bergerak melakukan serangan pukulan yang aneh sekali, dengan jari tangan terbuka dan dilakukan dari bawah ke atas, akan tetapi pukulan ini membawa angin panas yang luar biasa hebatnya. Kiranya inilah ilmu pukulan simpanan dari Ang Mo-ko atau Iblis Merah, karena sebutan ini bukan saja menyindir pakaiannya yang serba merah, akan tetapi juga ilmu pukulannya Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah).

Ilmu pukulan ini bukan main hebatnya, apa bila dilakukan, tangan kirinya berubah menjadi merah seperti kepiting direbus dan dari tangan ini selain keluar hawa pukulan yang panas dan dapat meremukkan tulang membakar kulit daging, juga mengandung hawa beracun!

Hui Kauw kaget bukan main ketika merasai hawa pukulan yang amat panas ini. Ia adalah puteri angkat dari Ching-toanio dan semenjak kecil ia tinggal di Pulau Ular Hijau, tentu saja ia tahu akan racun-racun berbahaya. Ia dapat menduga bahwa pukulan lawan ini tentu mengandung racun, maka ia tidak berani menerimanya dan cepat mengelak.

Ang Mo-ko semakin penasaran, huncwe-nya terus mendesak diselingi pukulan-pukulan Ang-tok-jiu. Kali ini dia sama sekali tidak mau memberi hati dan niat satu-satunya adalah menjatuhkan atau mengalahkan gadis ini, baik secara halus mau pun kasar. Hal ini dia anggap penting sekali untuk menjaga nama dan kedudukannya di hadapan kaisar.

Setelah Ang Mo-ko menggunakan ilmu pukulan Ang-tok-jiu ini, segera Hui Kauw menjadi terdesak hebat. Gadis ini tidak sanggup mempertahankan diri lagi karena ia harus selalu mengelak dari pukulan tangan kiri lawan sehingga permainan pedangnya tidak dapat lagi membendung banjir serangan huncwe yang bertubi-tubi dan terus menerus mendesaknya dengan totokan-totokan berbahaya.

Celaka, pikirnya, kakek merah ini agaknya tidak main-main lagi dan terlalu bernafsu untuk mengalahkanku, pikirnya. Dan ia tahu bahwa kalau kali ini ia kalah, itu akan terjadi dalam keadaan yang amat berbahaya karena sekali terkena totokan huncwe atau kena pukulan beracun, ia akan terluka parah. Baginya, kalah dari kakek ini di depan kaisar bukanlah hal yang terlalu ditakuti, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi kalau harus menyerahkan diri untuk ditotok atau dipukul sampai terluka parah.

Mendadak dia mengeluarkan seruan nyaring dan ilmu pedangnya segera berubah hebat. Bila tadinya ilmu pedangnya bagaikan ombak-ombak kecil yang amat cepat menggelora, sekarang berubah tenang seperti gelombang lautan besar yang tampaknya tenang dan lambat, namun yang menelan segala yang dihadapinya. Gerakannya menjadi lambat dan aneh sekali.

Akan tetapi bagi Ang Mo-ko amat hebat kesudahannya, karena kakek ini tiba-tiba saja melihat betapa tangan kirinya tahu-tahu berhadapan dengan pedang yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Jika ia melanjutkan serangannya, berarti tangan kirinya akan buntung! Cepat dia menarik tangan kirinya.

Akan tetapi pedang itu dengan gerakan lambat dan aneh namun mengandung tenaga menempel yang luar biasa, tahu-tahu sudah menghantam huncwe-nya. Terdengar suara nyaring dan... huncwe itu terlepas dari tangan Ang Mo-ko yang tiba-tiba merasa betapa tangan kanannya setengah lumpuh!

Ang Mo-ko kaget sekali, mengeluarkan suara keras dan melompat ke belakang. Keringat dingin membasahi lehernya karena maklum bahwa tadi kalau lawannya berniat buruk, tentu dia akan terluka. Ternyata pedang itu tidak mengejarnya dan Hui Kauw hanya berdiri dengan pedang melintang di depan dada.

"Kiam-hoat bagus...!" Terdengar pujian dari salah seorang di antara mereka yang tempat duduknya di dekat The Sun, seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan tampan, yang bermata tajam bersinar-sinar.

Terdengarlah tepuk tangan, ternyata kaisar sendiri yang bertepuk tangan memuji. Semua orang lalu mengikuti gerakan ini dan meledaklah tepuk tangan dan pujian di taman itu. Kaisar mengangkat tangan dan semua suara itu berhenti.

"Kwee Hui Kauw, sebagai seorang gadis muda, ilmu silatmu hebat bukan main. Apa bila engkau sampai mendapat pujian dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, itu berarti bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai tingkat tinggi. Bagus sekali!" kaisar berkata dengan suara gembira.

Hui Kauw baru teringat bahwa ia berada di dalam pertemuan agung di mana kaisar hadir. Dan melihat betapa Ang Mo-ko sudah menjatuhkan diri berlutut, ia pun segera berlutut menghadap kepada kaisar dengan penuh hormat. Diam-diam ia mencatat ucapan kaisar tadi bahwa orang setengah tua yang memujinya itu adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang amat tersohor sebagai juara ilmu pedang!

"Kwee Hui Kauw, menyaksikan kepandaianmu, kami mengangkatmu sebagai pembantu komandan pengawal istana. The Sun yang akan membagi tugas kepadamu. He, The Sun kau perkenalkan Nona perkasa ini kepada para enghiong yang hadir!"

Dengan sikap gembira sekali kaisar itu lalu melanjutkan makan minum dan suasana pesta makin gembira.

Hui Kauw hanya dapat menghaturkan terima kasih sambil berlutut, lalu ia mengiringkan The Sun yang mengajaknya untuk berkenalan dengan beberapa orang tokoh yang duduk di bagian tamu kehormatan. Pertama-tama ia diperkenalkan dengan orang setengah tua yang tadi memujinya, yaitu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!

Tokoh pedang ini memandangnya dengan tajam penuh selidik, kemudian mengangguk dan berkata, "Nona Kwee, sebagai puteri angkat Giam Kin, aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan ilmu pedang yang hebat tadi. Lain waktu bila ada kesempatan aku ingin sekali mengajak kau bercakap-cakap tentang ilmu pedangmu itu."

Suara itu terdengar manis memuji, akan tetapi mengandung sesuatu yang mendebarkan jantung Hui Kauw, karena jelas terasa olehnya bahwa tokoh pedang ini nampak tidak puas. Ia tidak dapat memperhatikan tokoh pedang ini lebih lanjut karena The Sun sudah memperkenalkan dia kepada tokoh-tokoh lain yang banyak terdapat di bagian itu.

Orang ke dua yang diperkenalkan oleh The Sun kepadanya adalah seorang kakek yang berpakaian seperti tosu tua, bertubuh pendek gemuk akan tetapi mempunyai sepasang lengan yang panjang sekali. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun namun mukanya halus seperti muka kanak-kanak. Tosu ini adalah seorang undangan dan dia bukanlah orang sembarangan karena dia ini bukan lain adalah paman guru The Sun sendiri!

Tosu pendek ini adalah seorang pertapa Go-bi, adik seperguruan Hek Lojin yang terkenal dengan sebutan Lui-kong atau Malaikat Guntur! Ada pun julukan atau nama pendetanya adalah Thian Te Cu.

Menilik dari sebutan dan julukan ini, Lui-kong Thian Te Cu, sudah membuktikan bahwa betapa tokoh ini mempunyai watak jumawa. Akan tetapi kejumawaannya tidaklah kosong belaka karena dia memang memiliki kepandaian yang amat luar biasa dan dia bahkan pernah membikin ribut di Go-bi-pai, yaitu partai persilatan Go-bi-san yang amat tersohor.

Berbeda dengan watak suheng-nya, Hek Lojin, yang lebih suka menyembunyikan diri di puncak gunung, tosu pendek ini menerima undangan The Sun dengan gembira karena sesungguhnya dia masih suka bersenang-senang menikmati kemuliaan duniawi.

"Heh-heh, Nona Kwee masih amat muda tapi hebat ilmunya," kata Lui-kong Thian Te Cu sambil memandang dengan matanya yang sipit dan menggerak-gerakkan dua lengannya yang panjang. "Muka yang cantik jelita disembunyikan di balik kehitaman yang disengaja. Heh-heh-heh, Giam Kin si iblis cilik benar-benar luar biasa, sudah mati meninggalkan keturunan begini hebat!"

Bukan main mengkalnya hati Hui Kauw mendengar ini dan diam-diam dia pun terkejut karena kakek pendek itu benar-benar awas pandang matanya sehingga secara menyindir sudah membuka rahasia mukanya yang hitam, agaknya dapat menduga bahwa mukanya menjadi hitam karena racun. Lebih-lebih kagetnya ketika suara ketawa terkekeh yang terakhir dari kakek itu membuat ia hampir roboh karena badannya serasa tertekan hebat membuat kedua kakinya seperti lemah tak bertenaga.

Cepat-cepat nona ini mengerahkan hawa murni di dalam tubuh melindungi jantung karena ia pun maklum bahwa dengan suara ketawa itu, si kakek aneh telah menyerangnya atau menguji tenaga dalamnya. Itulah semacam ilmu khikang yang hebat sekali, yang dapat menggunakan suara ketawa untuk menyerang orang yang dikehendaki tanpa membawa pengaruh terhadap orang lain di sekelilingnya. Hanya seorang yang lweekang-nya sudah tinggi sekali dapat melakukan hal ini!

Cepat ia menjura kepada kakek itu dan mengucapkan kata-kata merendah, "Saya yang muda dan bodoh mana berani menerima pujian Locianpwe?"

Orang ke tiga yang diperkenalkan oleh The Sun adalah seorang yang tidak kalah aneh dan menariknya. Dia ini seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar, berjubah sederhana dengan dada setengah terbuka sehingga tampak bulu dadanya yang lebat. Usianya tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, kepalanya gundul kelimis dan besar sekali sesuai dengan tubuhnya. Matanya lebar bundar tetapi jarang dibuka karena sering kali meram, alisnya tebal berbentuk golok.

Wajah hwesio ini tampak angker dan berwibawa, tidak mencerminkan sifat welas asih melainkan mendatangkan rasa segan dan hormat karena jelas dari pribadinya bersinar sifat keras dan kuat yang sukar ditundukkan. Berbeda dengan para tamu lain, hwesio ini menghadapi meja kecil di mana terdapat hidangan dari sayur-sayuran tanpa daging, tanda bahwa dia seorang yang ciak-jai (pantang daging) akan tetapi suka minum arak, terbukti dari guci besar arak yang disediakan untuknya.

"Nona Kwee, losuhu ini adalah Bhok Hwesio, tokoh besar dari Siauw-lim, seorang patriot sejati yang siap mengorbankan tenaga dan jiwa untuk mempertahankan negara. Apa kau pernah mendengar mengenai Heng-san Ngo-lo-mo (Lima Iblis Tua dari Heng-san)? Nah, begitu Bhok losuhu ini menginjakkan kaki ke Heng-san dan turun tangan, lima iblis tua itu terbasmi habis, sarangnya dibakar dan semua dilakukan oleh Bhok losuhu seorang diri saja!"

Hui Kauw terkejut. Pernah dia mendengar ketika masih berada di Ching-coa-to mengenai Heng-san Ngo-lo-mo ini, yang terkenal kejam dan amat tinggi kepandaiannya, apa lagi kalau maju berlima. Ibu angkatnya sendiri pernah menyatakan rasa jerinya kalau harus menghadapi lima orang iblis tua itu dan sekarang hwesio tua ini seorang diri saja mampu membasminya!

"Omitohud, kaum pemberontak dan pengacau negara kalau tidak dibasmi, tentu membikin sengsara rakyat," komentar hwesio itu tanpa membuka matanya, akan tetapi senyum yang membayang di bibirnya yang tebal itu menjadi tanda bahwa dia merasa senang akan pujian The Sun. "Syukur Nona Kwee sudah terlepas dari ayah angkat macam Giam Kin yang jahat, seterusnya harap meneladani ayah sendiri yang mengabdi kepada negara."

Hwesio itu selanjutnya menutup mata dan mulut tidak peduli lagi kepada Hui Kauw.

Masih banyak tokoh-tokoh diperkenalkan oleh The Sun kepada Hui Kauw, akan tetapi selain dua orang yang sudah disebutnya tadi, hanya ada dua orang lagi yang menarik perhatian Hui Kauw, yaitu seorang laki-laki tinggi kurus berambut keriting berkulit hitam yang diperkenalkan sebagai Bhewakala, seorang pendeta Hindu yang tadinya adalah seorang pertapa di puncak Anapurna di Himalaya. Ia seorang bangsa Nepal yang berilmu tinggi dan dalam perantauannya di timur akhirnya dia bertemu dengan The Sun dan dapat dibujuk membantu kaisar baru dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Seorang lagi tokoh wanita yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, seorang ahli pedang dari Kun-lun-pai. Sebetulnya tokoh wanita ini merupakan seorang pelarian dari Kun-lun-pai beberapa tahun yang lampau karena sebagai anak murid Kun-lun dia sudah melakukan pelanggaran susila dan ketika ditegur oleh ketua Kun-lun-pai pada waktu itu, ialah Pek Gan Siansu, ia melawan dan akhirnya ia dikalahkan dan diusir oleh Pek Gan Siansu.

Semenjak itu, dia melakukan perantauan dan tidak berani kembali ke Kun-lun-pai. Akan tetapi dalam perantauannya ini dia malah mendapat penambahan ilmu kepandaian yang hebat sehingga dia kini merupakan tokoh yang lihai sekali. Wanita ini bernama Gui Hwa dan berjuluk It-to-kiam (Setangkai Pedang).

"Demikianlah, Kun Hong," berkata Hui Kauw mengakhiri penuturannya kepada Kun Hong. "Selanjutnya aku tinggal bersama orang tuaku. Karena tak berani menolak perintah kaisar, aku terpaksa membantu The Sun, akan tetapi bukan membantu di dalam istana, hanya aku berjanji kepada The Sun akan membantu setiap kali tenagaku dibutuhkan. Dia amat baik kepadaku dan memang keadaan di kota raja amat kuat, banyak terdapat tokoh-tokoh pandai. Oleh karena itu, pada saat mendengar bahwa ada seorang buta dikeroyok, hatiku terkejut bukan main. Cepat-cepat aku keluar dan menuju ke tempat pertempuran untuk mencegah mereka yang mengeroyokmu. Akan tetapi ternyata kau telah dapat melarikan diri dan aku tak berdaya melihat penyembelihan yang dilakukan para pengawal terhadap orang-orang Hwa-i Kaipang. Aku menyusul dan mencarimu dengan diam-diam dan aku melihat jejak The Sun di rumah ini..." Hui Kauw memandang kepada mayat janda Yo yang tak bergerak sambil menarik napas panjang. "Karena salah sangka setelah melihat The Sun dilayani janda ini aku pun menjadi marah, menghinanya dan merampasmu, Ah, aku menyesal sekali, Kun Hong."

Selama Hui Kauw berceritera, Kun Hong hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Terutama sekali penuturan Hui Kauw tentang orang-orang kosen di kota raja yang amat menarik hatinya. Agaknya hwesio yang mampu menghadapi jurusnya ‘Sakit Hati’ tentulah Bhok Hwesio, jago tua Siauw-lim itu. Wah, berat kalau begini.

Dia merasa bersyukur bahwa mahkota kuno itu tidak terampas oleh mereka.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar