Pendekar Buta Jilid 23

Kun Hong terkejut juga karena baru saja dia terhindar dari bahaya maut, sebab ujung pedang itu sebenarnya tadi mengarah leher dilanjutkan ke ulu hatinya. Lebih hebat lagi, pada saat itu dari belakang menyambar gerakan pedang yang amat cepat membabat ke arah lehernya.

Inilah pedang di tangan The Sun yang kemudian membentak pula, "Mampuslah engkau, jembel buta!"

Akan tetapi The Sun terlalu memandang rendah kepada Kun Hong kalau mengira bahwa sekali babat akan berhasil memenggal leher Pendekar Buta. Tongkat di tangan Kun Hong bergerak cepat.

"Tranggg...!"

The Sun kaget setengah mati karena begitu bertemu, tongkat itu terus menyerong melalui bawah lengannya, menusuk ke arah tenggorokannya secara amat aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka olehnya.

"Celaka...!" Dia berseru keras dan cepat tubuhnya mencelat ke belakang dalam usahanya menghindarkan diri dari bahaya maut ini.

Kun Hong yang sudah marah sekali kepada The Sun juga melesat dalam pengejarannya tanpa menghentikan ancaman tongkatnya ke arah tenggorokan lawan.

"Penjahat buta, jangan sombong kau!" tiba-tiba terdengar seruan yang amat berpengaruh, dibarengi melayangnya lengan baju yang membawa serta angin pukulan dahsyat sekali.

"Plakkk!"

Tanpa dapat ditangkis atau dihindarkan lagi oleh Kun Hong yang pada saat itu tubuhnya sedang mengapung dalam usahanya mengejar The Sun, ujung lengan baju itu tahu-tahu sudah menghantam punggungnya. Kun Hong segera mengerahkan tenaga Iweekang-nya untuk menahan pukulan, akan tetapi pukulan itu hebat bukan main sehingga dia merasa seolah-olah terpukul benda keras yang ribuan kati beratnya.

Tubuh Kun Hong terlempar dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan! Dua batang pedang lain mengejarnya dan langsung menyambar dari kanan kiri.

"Wuuuttt! Singgg!"

Kun Hong melenting ke atas. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, otomatis dia telah membuat gerakan jurus Sakit Hati.

"Tranggg! Wesss!"

Tongkat dan tangan kirinya telah bergerak tanpa dapat dicegah lagi. Dua orang perwira yang tadi berlomba untuk membunuhnya setelah melihat dia terluka dan bergulingan, kini berdiri tegak bagai patung, kemudian pelan-pelan roboh terguling dan... pinggang mereka ternyata telah putus dan kepala mereka remuk-remuk!

Bukan main ngerinya hati para perwira menyaksikan ini. Malah orang-orang sakti yang kini sudah berada di situ melengak heran.

"Penjahat keji!" Terdengar Sin-kiam-eng Tan Beng Kui berseru marah dan pedangnya menyambar dengan suara mendesing-desing.

Kun Hong merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Luka di pangkal paha makin panas dan perih, gatal dan sukar ditahan nyerinya. Luka di dagu dan dada terus mengucurkan darah sedangkan punggungnya terasa patah-patah tulangnya oleh hantaman ujung lengan baju yang amat hebat tadi.

Dia terheran-heran, siapakah gerangan si pemukul ini. Melihat hebatnya hantaman itu, dia taksir tingkat kepandaian orang ini tidak di bawah Song-bun-kwi. Celaka, kiranya di kota raja telah berkumpul begini banyak orang sakti! Karena ini, dengan pikiran sudah pening, Kun Hong berlaku nekat dan menanti setiap lawan dengan jurus Sakit Hati!

Sambaran pedang yang datang cepat laksana kilat dari Sin-kiam-eng itu sudah ditunggu oleh Kun Hong. Dia tidak ingat lagi siapa lawannya, yang teringat olehnya hanya bahwa dia harus melindungi surat rahasia di dalam mahkota dan harus mengalahkan tiap orang musuhnya untuk dapat melarikan diri dari kepungan. Setelah serangan itu tiba, tubuhnya bergerak, tongkatnya menyambar berbareng dengan tangan kirinya mencengkeram.

"Ayaaaa…!" Sin-kiam-eng berteriak keras.

Tubuhnya melayang sampai lima enam meter jauhnya, lalu dia terbanting ke atas tanah dan terengah napasnya, mukanya pucat. Nyaris dia menjadi korban jurus Sakit Hati yang amat mukjijat itu.

Meski pun dia tidak menjadi korban, namun tetap saja hawa pukulan tangan kiri Kun Hong yang mengandung hawa Yang-kang itu telah membuat dadanya serasa panas terbakar. Cepat-cepat Sin-kiam-eng duduk bersila mengatur napas memulihkan tenaga agar jangan sampai isi dadanya terluka.

"Omitohud, ilmu siluman apakah ini?" kembali terdengar suara berpengaruh yang tadi dan segumpal hawa dingin menyambar ke arah Kun Hong.

Pemuda buta ini maklum bahwa lawannya yang bersenjata ujung lengan baju, yang tadi berhasil menghantam punggungnya, ternyata adalah seorang hwesio. Maklumlah dia kini bahwa semakin lama dia berada di tempat ini, semakin besar pula bahayanya. Hantaman kali ini yang mendatangkan segumpal hawa dingin menandakan bahwa dalam hal ilmu tenaga dalam hwesio ini sudah mencapai tingkat tertinggi sehingga sukar dilawan.

Akan tetapi dia sudah nekat. Tiada artinya kalau dia hanya mengelak ke sana ke mari, akhirnya tentu celaka juga. Lebih baik mengadu tenaga dan tinggal pilih satu antara dua. Menang dan lolos, atau kalah dan tewas! Dengan pikiran ini, sambaran dingin itu lalu dia sambut dengan jurus Sakit Hati.

"Dess! Bukkk!"

Tubuh Kun Hong serasa didorong oleh tenaga yang maha kuat sehingga kuda-kuda jurus Sakit Hati itu biar pun masih tetap, namun sudah tidak di tempatnya lagi karena kedua kakinya itu bergeser sejauh dua meter lebih, membuat garis pada tanah yang dalamnya sampai dua dim lebih!

Dari tempat lima enam meter jauhnya terdengar hwesio itu berseru heran, "Omitohud... hebat... hebat"

Diam-diam Kun Hong mengeluh. Tadi tongkat yang dia gerakkan bertemu dengan benda lemas, agaknya ujung lengan baju, ada pun tangan kirinya bertemu dengan lengan hwesio itu yang mengandung getaran tenaga dalam yang hebat pula.

Berkat dua ilmu sakti Kim-tiauw-kun dan Im-yang Sin-kiam, dia tadi dapat menggunakan tenaga mukjijat. Kalau diukur berdasarkan benturan tadi, dia sama sekali tidak kalah. Tapi hwesio yang dapat menyambut jurus Sakit Hati ini sudah terang merupakan lawan yang paling berat! Dia sudah memasang kuda-kuda lagi dan bersiap sedia mengadu nyawa.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk, dari atas terdengar pula suara bentakan nyaring.

"Jago-jago kawakan yang mengaku para tokoh istana, kiranya hanya cacing-cacing busuk yang beraninya mengeroyok seorang pemuda buta!”

Pada waktu itu terdengar sorak-sorai, disusul dengan suara senjata saling beradu, tanda terjadi pertempuran besar di tempat itu antara para perwira dan banyak orang yang baru datang dipimpin oleh orang yang membentak tadi. Kun Hong mengerutkan kening dan mencoba mengingat-ingat, dia merasa kenal suara tadi.

Pada saat itu pula suara tadi berkata perlahan kepadanya, "Pangcu (ketua), silakan pergi mengaso."

"Hwa-i Lokai...!" Kun Hong berseru kaget.

Memang benar. Yang datang adalah Hwa-i Lokai bersama anak buahnya yang dengan nekat sekarang bertanding melawan para jagoan istana itu. Karena tidak ada kesempatan untuk bicara lagi setelah Hwa-i Lokai kini bertanding melawan tokoh-tokoh istana, Kun Hong lantas mengamuk, menggunakan jurus Sakit Hati sambil melompat ke sana ke mari. Para perwira yang lancang berani menyambut atau menghadangnya langsung roboh tak bernyawa lagi.

Dengan jalan membuka jalan darah ini, akhirnya Kun Hong berhasil keluar dari kepungan yang ketat itu. Mulailah dia melarikan diri karena merasa betapa tubuhnya sudah makin lemas dan gemetar. Ia mengerahkan tenaga terakhir dan lari sekuatnya di malam gelap, lari secara ngawur karena tidak dapat melihat. Ia hanya menyerahkan nasibnya ke tangan Thian Yang Maha Kuasa.

Agaknya Thian memang masih melindunginya karena secara aneh sekali Kun Hong dapat berlari jauh meninggalkan tempat itu. Akan tetapi akhirnya, di tempat yang sunyi, agaknya daerah penduduk kota yang miskin, dia menabrak pohon besar yang berdiri di belakang sebuah pondok kecil. Karena dia tertumbuk pada batang pohon itu dengan dahi di depan, pendekar buta ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Hening sejenak sesudah suara kepala beradu dengan batang pohon dan robohnya tubuh Kun Hong. Lalu pintu pondok berderit terbuka dan sinar lampu menyorot keluar mengantar bayangan seorang anak laki-laki yang agaknya kaget mendengar suara tadi.

Anak ini melangkah ke luar pintu belakang dan memandang ke kanan kiri. Seorang anak laki-laki yang tabah. Biasanya anak sebesar itu, berusia sekitar enam tujuh tahun, suka takut-takut terhadap tempat gelap. Akan tetapi anak ini meski pun tadi mendengar suara gedebukan aneh, masih berani membuka pintu belakang dan keluar di tempat gelap.

Tidak lama kemudian dia sudah menghampiri tubuh yang menggeletak miring di bawah pohon itu dan terdengar teriakannya.

"Ibu...! Ibu... mari ke sini, ada orang jatuh... mari bantu aku...!"

Tanpa ragu-ragu sedikit pun anak itu sudah mulai berusaha membangunkan Kun Hong yang masih pingsan. Kali ini kembali membayangkan ketabahan hati anak itu, bahkan juga membayangkan wataknya yang baik dan suka menolong orang lain.

Seorang wanita muda muncul dari pintu belakang. Dia ragu-ragu sejenak, ngeri melihat kesunyian dan kegelapan malam.

"A-wan...! Kau di mana? Siapa yang jatuh?"

"Di sini, Bu. Lekas, jangan-jangan dia mati."

Ibu muda itu datang menghampiri, tersentak kaget mendengar ucapan terakhir.

"Apa...? Ma... mati...?"

"Mungkin juga belum. Aduh beratnya, lekas bantu, Bu. Mari kita bawa masuk dan beri pertolongan."

Ibu muda itu membulatkan hatinya dan melangkah maju. Dengan susah payah Kun Hong diangkat dan setengah diseret oleh ibu dan anak itu, lalu dibawa masuk ke dalarn rumah melalui pintu belakang yang segera ditutup kembali.

"Inkong...!"

"Paman buta...! Betul, dia paman buta...!"

Ibu dan anaknya itu terbelalak memandang wajah Kun Hong yang kini sudah direbahkan di atas tempat tidur bambu yang sangat sederhana. Keduanya menubruk, memeluk serta mengguncang-guncang tubuh Kun Hong.

Terdengar Kun Kong mengeluh, bibirnya bergerak perlahan. "...terlalu banyak musuh... terlalu banyak..." Kemudian dia menjadi lemas dan mengigau tidak karuan.

"Inkong, ingatlah... Inkong, ini aku janda Yo..."

"Paman, aku A Wan..."

Kun Hong mendengar suara ini, nampak terheran-heran, lalu berkata lirih, "Yo-twaso...? A Wan...? Bagaimana... ahhhhh..." Dia menjadi lemas dan pingsan lagi.

"Celaka! Inkong terluka hebat. Lihat darahnya begini banyak. Wah, bagaimana ini? A Wan lekas kau buka pakaiannya, bersihkan luka-lukanya, aku akan memasak air..."

Janda itu dengan gugup sekali lalu lari ke sana ke mari mempersiapkan segala keperluan, akan tetapi sesungguhnya tidak tahu betul bagaimana ia harus menolong Kun Hong yang mandi darah itu.

A Wan adalah seorang anak yang tabah. Biar pun ngeri juga dia melihat semua baju Kun Kong penuh darah, akan tetapi dengan cepat dia membuka pakaian, lalu menurunkan buntalan dari punggung Kun Hong. Pada saat dia membuka buntalan itu untuk mencari pengganti baju, dia melihat mahkota kecil dari emas yang mencorong terkena sinar lampu. Terkejutlah dia dan diambilnya mahkota itu, diamat-amatinya penuh perhatian.

A Wan adalah anak yang cerdik, otaknya lantas bekerja. Tadi paman buta bicara tentang musuh banyak, tentu habis berkelahi dan dikeroyok oleh banyak musuh, pikirnya. Kenapa berkelahi? Paman buta ini adalah seorang miskin, pendekar berbudi yang miskin, lalu dari mana bisa mempunyai benda begini indah? Tak salah lagi, tentu paman buta berebutan benda ini dengan banyak orang jahat, akhirnya dikeroyok dan luka-luka.

Pikiran ini membuat A Wan cepat membawa lari mahkata itu keluar kamar. Agak lama dia pergi ke belakang rumah di luar tahu ibunya yang sibuk memasak air. Setelah dia kembali menyelinap ke dalam kamar, dia sudah tidak membawa mahkota tadi. Dengan cepat A Wan membersihkan luka-luka di badan Kun Hong, menggunakan sehelai kain bersih.

Ibunya datang membawa air panas. Janda ini cepat mengusir rasa jengah dan malu ketika melihat keadaan Kun Hong yang setengah telanjang itu, malah perasaan ini lenyap sama sekali dan terganti rasa ngeri dan cemas melihat betapa dada pemuda buta itu tergurat membujur dari atas ke bawah, juga dagunya terluka serta pangkal paha sebelah belakang biru mengembung, punggungnya pun kebiruan. Badan pemuda ini panas sekali, napasnya terengah-engah.

Dengan air mata mengalir saking bingung dan cemasnya, janda itu lalu membersihkan luka-luka Kun Hong dengan kain yang dicelup air panas. Hilang sudah semua rasa malu dan sungkan. Air matanya mengalir semakin deras ketika dia melihat betapa wajah yang tampan itu nampak pucat dan mulutnya terbuka menahan nyeri.

"A Wan, lekas kau pergi panggil sinshe (tukang obat) Thio di jalan raya utara. Katakan di rumah ada orang sakit, luka-luka, lekaslah!"

"Baik, Ibu. Kasihan paman buta, bagaimana kalau dia... mati...?"

"Hushh...? Jangan bicara dengan siapa juga mengenai dia, ini rahasia, mengerti? Lekas pergi dan lekas kembali!"

A Wan mengangguk dan melompat ke luar, lenyap di dalam kegelapan malam.

Setelah anak itu pergi, janda muda ini tak sanggup menahan sedu-sedannya lagi. Sambil membersihkan luka-luka itu, dia merangkul dan mengguncang-guncang tubuh Kun Hong sambil berseru lirih memanggil, "Inkong...! Inkong... sadarlah, Inkong..."

Melihat betapa muka itu makin lama seakan-akan makin pucat, dia menjadi amat cemas. Terbayanglah dia akan semua pengalamannya dulu ketika pemuda buta ini menolongnya, dan sekarang melihat penolong yang selama ini tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu sedang menggeletak seperti mayat di depannya, nyonya janda Yo tak dapat menahan luapan perasaan hatinya.

"Inkong...!" Dia mendekap kepala itu, diciuminya penuh perasaan dan dibanjirinya dengan air mata. "Jangan mati, Inkong... jangan tinggalkan aku lagi setelah Thian mengembalikan kau kepadaku..."

Kemudian kegelisahan lebih menguasai hatinya. Dia berhenti menangis dan memeriksa dengan teliti luka-luka pada tubuh Kun Hong di bawah sinar lampu remang-remang. Dia bergidik, jelas bahwa luka-luka itu adalah luka bekas bacokan. Nampak tanda-tanda yang jelas bahwa penolongnya ini baru saja habis berkelahi dengan hebat.

Wajahnya tiba-tiba pucat. Kalau penolongnya terluka seperti ini, berarti musuh-musuhnya masih ada. Siapa tahu melakukan pengejaran sampai ke sini! Ia tahu bahwa penolongnya sakti, akan tetapi dalam keadaan pingsan seperti ini, jika musuh datang lalu bagaimana? Ia kembali bergidik dan merasa ngeri, lalu menoleh ke kanan kiri, matanya jelalatan penuh ketakutan.

Melihat tongkat Kun Hong menggeletak di atas lantai, cepat ia mengambilnya dan dengan tangan gemetar ia menyusupkan tongkat itu ke bawah tilam pembaringan. Matanya cepat mencari-cari lagi, siap menghapus tanda-tanda akan adanya Kun Hong di situ.

Pakaian Kun Hong yang penuh darah berada di sudut kamar. Cepat dia menyambarnya dan melemparkannya ke kolong pembaringan. Lalu dengan cekatan ia menggosok-gosok dan menghapus tanda-tanda darah di lantai dengan sehelai kain.

Setelah keadaan kamar itu normal kembali, dia lalu duduk lagi di pinggiran pembaringan, memegang lengan tangan Kun Hong dan memandang bingung. Bagaikan seekor kelinci bersembunyi dari kejaran harimau, sebentar-sebentar dia menoleh ke arah pintu depan, bibirnya gemetar berbisik lirih,

"A Wan... kenapa kau belum juga pulang...?"

Terdengar suara langkah kaki di luar rumah. Janda muda itu berseri wajahnya.

"A Wan dan sinshe datang...," pikirnya dan ia sudah bangkit berdiri.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendengar suara seorang laki-laki di luar pintu pondoknya itu, suara halus tapi penuh ejekan.

"Hemmm, si buta keparat itu menghilang di sini."

"Tok-tok-tok!" terdengar pintu itu diketuk dari luar.

Menggigil kedua kaki janda Yo, sesaat ia seperti terpaku dan tak mampu menjawab atau bergerak sedikit pun juga.

"Tok-tok-tok!” kembali pintu diketuk dari luar.

“Hee, sahabat pemilik rumah, harap buka pintu sebentar, aku ingin bertanya!" suara halus tadi kini terdengar berteriak.

Seperti kilat menyambar sebuah pikiran menyelinap ke dalam kepala janda muda itu. Dia tahu benar bahwa orang di luar pondoknya itu tentu musuh penolongnya yang datang membawa niat buruk. Berdegup jantungnya kalau ia ingat bahwa orang itu datang untuk membunuh Si Pendekar Buta!

Hanya beberapa detik pikiran ini memenuhi kepalanya dan timbullah akal seorang wanita yang dengan sepenuh perasaannya berusaha menolong seorang yang sangat dikasihinya dan dipujanya dari bahaya maut. Rasa takut dan cemas sekaligus lenyap ketika timbul kenekatan di dalam hatinya untuk membela serta melindungi penolongnya itu. Wajahnya memancarkan kecerdikan dan tubuhnya tidak menggigil lagi.

Cekatan sekali ia meraih selubung lampu minyak, menggosokkan jari-jari tangannya pada langes yang menempel pada selubung lampu, lalu menghampiri Kun Hong dan memupuri muka pemuda itu dengan langes. Dalam waktu sekejap saja muka itu sudah berubah jadi hitam, menyembunyikan muka yang asli dari pemuda itu. Tangan lain meraih dinding yang masih ada sisa kapurnya, digosok-gosokkan seperti tadi lalu ia menggosokkan kapur yang menempel di tangannya pada rambut Kun Hong.

Melihat hasilnya kurang memuaskan, ia segera memutar otak, memandang ke kanan kiri, lalu mengambil tempat bedaknya dan menaburkan bedak itu pada kepala Kun Hong yang kini berubah menjadi keputih-putihan seperti rambut ubanan seorang laki-laki tua!

"Tok-tok-tok! Sahabat, bukakan pintu, kalau tidak kau buka, terpaksa akan kurobohkan!" suara di luar mendesak tidak sabar lagi.

"Tunggu sebentar...!" Janda muda itu berseru kaget, menarik selimut menutupi tubuh Kun Hong sampai ke leher.

Ia lalu melangkah ke pintu kamar, menoleh sekali lagi. Lega hatinya melihat bahwa kini tak ada lagi tanda-tanda bahwa yang berbaring dalam kamar itu adalah seorang pemuda yang pingsan, akan tetapi kelihatan seperti seorang laki-laki tua tidur pulas!

Tergesa-gesa ia keluar kamar. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu, pikirannya yang cerdik bekerja keras dalam usahanya menolong Pendekar Buta itu. Dia melirik ke arah pakaian di tubuhnya dan cepat dia membuka dua buah kancing di dekat leher dan melonggarkan ikat pinggangnya, mengusutkan pakaiannya di sana sini, melepaskan sebagian rambut dari pita rambutnya yang ia kendurkan, kemudian cepat ia berlari-lari ke arah pintu yang sudah mulai digedor lagi oleh orang di luar itu.

"Aku datang...! Tunggu sebentar... siapa sih yang suka mengganggu orang tidur?" kata nyonya janda ini dengan suara yang tiba-tiba berubah genit!

Di ruang tengah ia menyambar lilin yang sudah menyala, kemudian dengan lilin dipegang tinggi-tinggi dengan tangan kiri, ia membuka palang pintu depan dengan tangan kanan.

"Kriiiiitt!"

Daun pintu berderit pada saat dibuka perlahan oleh tangan nyonya janda Yo yang sedikit gemetar. Sinar lilin bergerak-gerak tertiup angin, menerangi wajahnya serta wajah orang yang berdiri di luar pintu.

"Ohhhhh...!" Dua buah mulut mengeluarkan seruan sama dan dua pasang mata saling pandang.

Mata nyonya Yo memandang dengan perasaan cemas, heran dan seruannya tadi yang memang ia sengaja untuk melengkapi aksinya bergenit tadi menjadi sumbang karena rasa heranannya ini. Sama sekali dia tidak menyangka akan melihat seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang kongcu terpelajar, yang sikapnya halus dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda orang jahat. Hal ini membuatnya ragu-ragu dan sejenak dia hanya bengong, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

Di lain pihak, seruan yang keluar dari mulut orang muda itu adalah seruan tercengang dan kagum, lalu sepasang matanya menjelajahi pemandangan di hadapannya itu dari atas ke bawah lalu kembali lagi dari bawah ke atas.

Sanggul rambut yang awut-awutan, sebagian rambut terurai menutupi sebuah muka yang berkulit putih kuning berbentuk bulat telur, mata yang jernih, hidung mancung mulut kecil manis. Pakaian yang biar pun sederhana akan tetapi membayangkan bentuk tubuh yang padat dan bagus, baju yang terbuka kancingnya di bagian atas memperlihatkan sebagian leher dan dada yang berkulit halus bersih.

Apa lagi di bawah cahaya api lilin yang mobat-mabit karena angin. Wanita yang berdiri di depannya benar-benar amat manis dan menggairahkan hati!

Orang muda itu bukan lain adalah The Sun. Pemuda cerdik ini diam-diam meninggalkan gelanggang pertempuran karena maklum bahwa para pengemis anggota Hwa-i Kaipang itu tidak akan mungkin dapat lepas dari pada hantaman para perwira yang selain menang banyak, juga dibantu oleh tokoh-tokoh lihai.

Yang dia pentingkan adalah Kwa Kun Hong, maka cepat dia mengejar ketika melihat Si Pendekar Buta itu mampu meloloskan diri dari pada kepungan. Akan tetapi karena dia pun maklum bahwa Pendekar buta itu memiliki jurus aneh yang amat dahsyat, dia lalu berlaku hati-hati dan mengejar secara diam-diam.

Dia maklum bahwa orang itu sudah terluka parah dan dia akan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira bahwa lawannya itu yang bermata buta dapat berlari secepat itu sampai dia kehilangan jejaknya.

The Sun penasaran dan melakukan pengejaran ke sana ke mari. Dengan penuh perhatian dia mencari jejak si buta itu dan akhirnya pemuda cerdik ini dapat menyusul sampai ke pondok janda Yo!

Hanya sebentar saja The Sun terpesona oleh kemanisan wajah nyonya janda muda itu. Ia memang seorang pemuda yang romantis dan kadang kala tidak melewatkan kesempatan baik untuk melayani wanita-wanita cantik yang tergila-gila kepada ketampanan wajahnya atau kepada kedudukannya yang tinggi.

Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa The Sun adalah seorang mata keranjang atau hidung belang yang suka mengganggu wanita, sama sekali bukan. Hanya dapat dikatakan bahwa pertahanan terhadap kecantikan wanita tidaklah begitu kuat.

Ketika dia teringat lagi akan buronannya, secepat kilat dia menarik ke luar pedangnya dan mengelebatkan pedangnya yang tajam itu di depan muka nyonya Yo yang menjadi pucat seketika.

"Katakan di mana jahanam buta itu, hayo cepat mengaku sebelum pedangku memenggal lehermu yang putih itu!" The Sun mengancam, tapi matanya tak lepas dari kulit leher putih yang mengintai dari balik baju yang terbuka dua buah kancingnya.

"Apa... apa maksudmu? Ehh, Kong-cu, harap kau jangan main-main dan cepat simpanlah senjatamu itu yang bisa membikin aku mati ketakutan! Aku sedang pusing dan jengkel memikirkan suamiku tua bangka yang berpenyakitan ini, kau datang-datang mengganggu dengan gedoran pintu dan sekarang menuduh yang bukan-bukan, bicara tentang jahanam buta yang sama sekali tidak kumengerti artinya! Apa sih maksudmu sebenarnya dan kau ini siapakah, Kongcu?"

Aneh sekali, ucapan dan nada suara nyonya janda ini jauh berbeda dari pada biasanya. Sekarang kata-katanya centil, sikapnya genit dan matanya yang bagus itu menyambar-nyambar wajah tampan The Sun!

"Hemmm, tak usah kau pura-pura!" bentak The Sun tanpa menurunkan pedangnya. "Aku mengejar seorang penjahat buta dan jejaknya lenyap di tempat ini. Tentu dia bersembunyi di dalam rumahmu ini, hayo lekas mengaku dan tunjukkan aku di mana dia!"

Jantung di dalam dada nyonya janda itu serasa hendak meloncat ke luar saking takutnya. Akan tetapi ia pura-pura marah dan memandang kepada The Sun dengan mata melotot akan tetapi malah menambah kemanisan wajahnya karena bibir yang mungil itu mengarah senyum dan sikapnya menantang.

"Apa kau bilang, Kongcu? Hemmm... harap kau jangan pandang rendah kepadaku! Biar pun suamiku tua bangka dan berpenyakitan, tapi jangan kira aku mau berdekatan dengan seorang penjahat, apa lagi kalau dia itu buta. Cih, menjijikkan!" Kembali lirikan matanya menyambar dalam kerlingan yang amat manis memikat.

Mau tak mau The Sun tersenyum, jantungnya mulai berdebar. Hemm, jelas sekali wanita muda yang cantik manis ini ‘memberi hati’ kepadanya dengan sikapnya menantang sekali. Benarkah suaminya tua bangka serta berpenyakitan? Hal ini saja sudah menjadi alasan kuat. Akan tetapi, betulkah Kun Hong tidak bersembunyi di situ? Dia tidak boleh sembrono dan lebih baik menyelidiki lebih dulu.

"Aku tidak percaya! Hayo lekas kau tunjukkan di mana suamimu dan biar aku melakukan penggeledahan dulu. Dengan siapa saja kau di sini?"

Janda Yo sengaja cemberut, bibirnya yang merah itu diruncingkan ketika ia melangkah ke samping memberi jalan kepada The Sun. "Kongcu begini halus dan tampan, tapi galaknya bukan main!" ia bersungut-sungut. "Sudah terang suamiku tua bangka muka hitam yang buruk dan berpenyakitan, kau masih ingin menjenguknya lagi, apakah untuk bahan ejekan dan memperolokku?"

Kembali The Sun berdebar dan tersenyum. "Mana bisa aku percaya kalau belum melihat sendiri? Siapa dapat percaya seorang cantik jelita seperti kau ini suaminya tua bangka berpenyakitan?"

"Ihh, Kongcu ceriwis!" Janda Yo membuang muka dengan lagak yang genit dan memikat sekali. Di dalam hatinya nyonya janda ini berdoa supaya musuh penolongnya ini akan percaya dan tidak akan memeriksa ke dalam kamar.

Akan tetapi The Sun bukan orang bodoh. Dia amat cerdik dan biar pun kali ini jantungnya sudah berjungkir-balik terkena pengaruh kecantikan janda muda itu, akan tetapi dia tidak kehilangan kewaspadaannya dan mendahulukan tugasnya dari pada kesenangan hatinya.

"Hayo, perlihatkan aku kamar suamimu!"

Janda Yo mengangkat lilin dan dengan kaki agak menggigil ia melangkah ke arah pintu kamarnya. Dia berdoa semoga penolongnya itu masih pingsan seperti tadi.

Pada saat dia dan The Sun melangkahkan kaki ke ambang pintu kamar, janda Yo sengaja menggoyang-goyang tempat lilin sehingga api lilin itu bergerak-gerak dan keadaan dalam kamar itu tidak begitu jelas, hanya tampak remang-remang oleh The Sun betapa seorang laki-laki bermuka kehitaman dan berambut penuh uban sedang berbaring tidak bergerak, tidur pulas agaknya!

"Sshhhhh, harap jangan berisik. Kalau dia bangun, batuknya akan kumat dan akulah yang berabe harus terus mengurut-urut dadanya..." bisik nyonya janda Yo sambil mendekatkan mukanya di telinga The Sun sehingga orang muda itu mencium bau sedap yang agaknya keluar dari rambut wanita muda itu.

Terpikat oleh ini, The Sun tidak jadi melangkah masuk, hanya melepas pandang dengan tajamnya ke arah ‘kakek’ itu lalu sinar matanya berkeliaran ke seluruh kamar yang hanya kecil sederhana itu. Tiba-tiba pedangnya berkelebat dan mengeluarkan bunyi mendesing menyambar ke depan!

"Crakkk!" Papan ujung pembaringan itu tahu-tahu telah terbelah.

"Oh-ohh... jangan... ahh...!" Janda Yo kaget setengah mati dan menubruk lalu merangkul pundak The Sun, lilin yang dipegangnya jatuh dan padam.

The Sun tersenyum lega. Kakek itu ternyata masih enak tidur saja. Kalau di dalam kamar itu terdapat Kun Hong yang bersembunyi, sebagai seorang ahli silat sudah pasti akan keluar mendengar desingan pedangnya tadi. Terang di situ tidak terdapat orang yang dia kejar, sedangkan kakek tua bangka suami wanita muda yang cantik jelita ini jelas adalah orang yang tiada guna.

Dia menyimpan pedangnya kembali, kemudian tertawa perlahan sambil menarik tangan nyonya Yo yang masih gemetar ketakutan itu keluar kamar. Gelap pekat di luar kamar karena sekarang tidak ada lilin lagi.

"Kau cantik manis..."

"Ah, pergilah... jangan kau ganggu kami yang tidak berdosa... pergilah dari sini, kasihani aku dan suamiku yang tua dan sakit..."

The Sun tertawa, tidak halus seperti biasanya lagi, melainkan suara tertawa yang parau dan mengandung nafsu kotor. "Manis, kalau aku tidak kasihan dan cinta kepadamu, tentu pedangku tadi sudah memenggal leher suamimu si tua bangka tiada guna, ha-ha-ha!"

Tak lama kemudian yang terdengar hanya desah napas dan rintih perlahan…..

********************

The Sun sudah lama pergi meninggalkan pondok tempat tinggal janda muda itu. Kini dia tampak terguguk menangis menahan isaknya sambil memeluki dada Kun Hong. Dengan rambutnya yang kusut dan seluruh mukanya basah air mata, janda muda ini merintih-rintih dalam tangisnya.

"Inkong... bangunlah... jangan mati, Inkong, sembuhlah kembali, jangan engkau sia-siakan pengorbananku..." kembali ia menangis dengan amat sedihnya sampai-sampai napasnya menjadi sesak.

Pada saat itu pula, dari pintu kamar melayang masuk sesosok bayangan orang yang amat ringan dan gesit. Begitu masuk bayangan ini lantas menendang sehingga tubuh nyonya janda ini terguling roboh.

"Ahh... Ahh...!" Nyonya Yo bersambat lirih, tapi rasa nyeri pada tubuhnya tak ia pedulikan lagi karena hatinya dipenuhi kekhawatiran terhadap keselamatan Kun Hong yang masih pingsan.

Tadinya ia mengira bahwa sosok bayangan itu adalah orang muda musuh Kun Hong yang tadi datang dan sudah siap untuk menegur. Akan tetapi alangkah kaget dan heran serta takutnya ketika dia melihat wajah yang jauh berlainan tertimpa sinar api lilin di kamar itu.

Wajah seorang wanita! Tubuh ramping seorang wanita! Seorang wanita muda dengan muka kehitaman dan pedang di tangan, kelihatan berdiri dengan penuh amarah.

Nyonya Yo segera menubruk Kun Hong dan memeluk dadanya untuk melindungi pemuda itu. "Jangan ganggu dia...! Jangan bunuh dia...!" dia berteriak dengan suara mengandung isak tangis.

Wanita itu kembali bergerak. Sekali lagi tubuh nyonya Yo terlempar dari tepi pembaringan, malah kini terguling-guling sampai di sudut kamar.

"Perempuan jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!" bentak wanita itu yang sudah menyarungkan pedangnya dan melangkah maju mendekati pembaringan. Cekatan sekali dia membungkuk dan kedua tangannya bergerak, tahu-tahu tubuh Kun Hong sudah dikempitnya.

"Heeeiiiii... jangan ganggu dia.….!"

Meski merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, dengan nekat Nyonya Yo berdiri dan hendak merampas tubuh Kun Hong dari tangan wanita itu.

"Diam kau, perempuan hina!" wanita itu membentak lagi. "Dia ini adalah sahabat baikku, tak boleh berada di tempat hina ini berdekatan dengan perempuan lacur macam kau!"

Mata janda muda itu terbelalak, diam-diam bersyukur bahwa orang ini bukanlah musuh penolongnya. "Aku... aku... tidak... ahhh, dia adalah... penolongku...," katanya gagap.

Wanita itu mendengus marah. "Huh, dia penolong semua orang, akan tetapi perempuan rendah macam engkau tidak perlu ditolong!"

"Nona, kau siapa? Mengapa engkau memaki-maki aku? Meski pun aku miskin... aku... aku betul-betul berusaha mengobatinya dan..."

"Tutup mulutmu! Apa kau kira aku tidak tahu betapa kau main gila dengan setiap orang laki-laki? Hemmm, siapa laki-laki yang barusan keluar dari sini? Bukankah dia kekasihmu pula? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong? Menyebalkan!"

Bayangan wanita itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja dia dan Kun Hong yang dipondongnya sudah lenyap dari situ.

Nyonya janda Yo berdiri terkesiap, mukanya pucat bagai mayat, matanya terbelalak lebar dan dari kedua matanya itu turun air mata bertitik-titik, deras mengalir di sepanjang kedua pipinya. Untuk sesaat tidak ada suara keluar dari mulutnya, kecuali napas yang terengah-engah. Teringat dia akan segala hal yang tadi menimpa dirinya, akan segala yang sudah dilakukannya.

Kedatangan The Sun tadi membuat ia berada dalam ketakutan hebat. Takut dan cemas akan keselamatan penolongnya membuat ia bertekat untuk melindungi dan membelanya, menyelamatkannya dengan jalan apa pun juga. Sebagai seorang wanita yang lemah dan tak berdaya, dia tahu bahwa satu-satunya senjata miliknya hanyalah kecantikannya. Dan dia sudah pergunakan itu, sudah memberikan dirinya dengan kata-kata manis dan mulut tersenyum namun dengan hati perih dan seperti disayat-sayat. Namun usahanya berhasil.

Dia telah menyelamatkan Kun Hong, telah membeli keselamatan penolongnya itu dengan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia. Akan tetapi sekarang muncul wanita gagah itu yang memaki-makinya, yang telah melihat perbuatannya tadi.

"Ya Tuhan... aku perempuan hina... perempuan rendah..." Janda Yo tak kuat lagi. Kedua lututnya lemas dan dia pun jatuh nglumpruk di atas lantai, menutupi muka dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba dia terbelalak memandang ke kanan kiri, menatap pembaringan yang kini sudah kosong, telinganya terus mendengar gema wanita tadi memaki-makinya.

"Perempuan jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!" lalu terdengar lagi, "Bukankah laki-laki tadi kekasihmu? Uh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong?"

"Ooohhhhh...!" Janda Yo menangis lagi, sekarang tersedu-sedan, kemudian dia menubruk pembaringan yang kosong itu. "Kwa Kun Hong... jadi namamu Kwa Kun Hong, Inkong? Setidaknya wanita itu berjasa memberi tahu namamu. Orang mengatakan aku kotor, hina, jalang, lacur... Inkong (Tuan penolong), tidak apalah, asalkan kau selamat. Badan dan namaku kotor bisa dicuci dengan... ini..."

Janda muda itu melolos ikat pinggangnya dan matanya memandang ke atas, mencari-cari tiang atau usuk genteng rumah itu.

"A Wan...!" Hanya jerit ini saja terdengar satu kali dari dalam pondok di malam sunyi itu, kemudian sunyi tak terdengar suara apa-apa lagi.

"Ibu...!" A Wan lari memasuki rumah itu.

Anak ini tidak berhasil mengundang datang sinshe Thio. Hal ini tidaklah mengherankan. Sinshe mana yang sudi dipanggil oleh keluarga miskin? Selain tidak dapat mengharapkan pembayaran yang banyak, jangan-jangan malah harus merogoh saku untuk membelikan obat!

Pada saat Sinshe Thio mendengar permintaan A Wan supaya suka datang ke rumahnya mengobati seorang paman yang ‘jatuh’ dan luka-luka, dia hanya menggelengkan kepala sambil mengebulkan asap huncwe (pipa tembakau) yang tebal dan berbau apek ke muka A Wan. Tanpa ‘uang muka’ dua tail perak dia tidak akan sudi berangkat, katanya. A Wan terus membujuk-bujuk, memohon dan bahkan menangis, akan tetapi sinshe Thio tetap tak melayaninya, malah ditinggal masuk.

A Wan adalah anak yang keras hati, dia tidak putus asa, terus saja dia mengetuk-ngetuk pintu dan merengek-rengek. Akhirnya, bukan dituruti permohonannya, malah kepalanya mendapat benjol-benjol karena pukulan huncwe sinshe itu pada kepalanya.

Sambil menangis akhirnya A Wan berlari pulang dan dia merasa hatinya amat tidak enak memikirkan keadaan si paman buta. Jarak ke rumahnya yang amat jauh itu ditempuhnya sambil berlari-lari. Seperti ada firasat tidak baik dia kemudian mempercepat larinya, malah telinganya serasa mendengar suara ibunya memanggil-manggilnya.

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri, dan bingungnya ketika dia memasuki pondok, dia melihat tubuh ibunya sedang tergantung pada ikat pinggang yang ditalikan ke atas tiang. Ikat pinggang itu melilit leher ibunya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua kaki ibunya masih berkelojotan.

Biar pun merasa ngeri dan takut, namun A Wan adalah anak cerdik. Dia hanya terpaku sebentar saja. Cepat dia merayap naik tiang sambil memekik-mekik dan memanggil nama ibunya. Jari-jari tangannya gemetar pada saat dia merenggut-renggut ikat pinggang yang terikat kuat-kuat pada tiang.

Bagaikan seekor kera dia melorot kembali, berlari ke dapur mengambil pisau dan merayap naik lagi. Akhirnya dia dapat memotong ikat pinggang itu sampai putus dan tubuh ibunya jatuh berdebuk di atas tanah.

"Ibu...! Ibu...!"

A Wan menubruk dan merangkul ibunya, menangis sambil menciumi muka ibunya yang pucat membiru. "Ibu... kenapa Ibu... ahhh, bagaimana ini...? Ibuuuuu...!"

Jeritan terakhir yang keluar dari mulut A Wan ini seakan-akan sanggup membetot kembali semangat janda muda itu yang sudah mulai meninggalkan tubuhnya. Bibir yang biru itu berkomat-kamit, biji mata yang sudah melotot tanpa cahaya itu bergerak-gerak perlahan, lalu terdengar suara janda muda yang bernasib malang itu berbisik-bisik.

"A Wan... balas... budi Kwa Kun Hong... balas... dendam The Sun..."

"Ibu...! Ibuuu...!! Ibuuuuuu...!!!"

A Wan menggoncang-guncang tubuh ibunya yang makin lama makin lemas dan makin dingin karena pada saat itu janda muda ini sudah terbebas dari pada duka nestapa dan derita sengsara dunia. Matanya yang tadi melotot sudah meram, mulutnya menyungging senyum dan biar pun muka itu kini pucat dan rambutnya awut-awutan, namun kelihatan tenang dan damai, makin nyata kecantikan aslinya.

Sebaliknya, puteranya yang masih hidup, yang masih sedang berkembang dalam hidup, menangis menggerung-gerung dan memanggil-manggilnya. Alangkah ganjil penglihatan ini.

Yang hidup menangisi yang mati. Yang hidup merasa penuh duka lara. Yang mati tenang diam begitu damai dan tenteram. Tidak janggalkah ini? Sudah benarkah itu kalau yang hidup menangisi yang mati? Ataukah harus sebaliknya…..?

********************

Kita tinggalkan dulu Yo Wan atau A Wan yang sedang menangis menggerung-gerung memenuhi malam sunyi itu, suara tangisannya tersaing oleh kentung peronda dan dengan suara doa dari kelenteng-kelenteng berdekatan.

Mari kita mengikuti keadaan Kun Hong yang dalam keadaan pingsan dibawa lari oleh seorang gadis aneh. Kun Hong benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan dirinya sejak dia menabrak pohon dan roboh pingsan di belakang pondok itu. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan janda Yo setelah dia siuman sebentar hanya untuk mengenal suara mereka ibu dan anak. Malah dia pun tidak sadar ketika tubuhnya dikempit oleh seorang wanita dan dibawa lari berlompatan di dalam gelap dengan gerakan ringan dan cepat.

Dengan kesigapan dan kecepatan gerakan yang luar biasa hebatnya, wanita itu akhirnya membawa tubuh Kun Hong meloncat tinggi ke atas genteng sebuah rumah gedung, kemudian bagaikan seekor kucing saja ringan dan cepatnya, ia telah melayang turun dan menerobos masuk ke sebuah kamar di dalam gedung itu melalui jendela yang terbuka daunnya.

Sebuah kamar yang besar dan sangat indah, dengan pembaringan, meja rias, kursi-kursi dan perabotan lain yang serba halus dan mahal. Sebuah kamar milik seorang gadis yang kaya-raya, atau patutnya kamar puteri seorang bangsawan besar.

Gadis itu dengan cepat merebahkan tubuh Kun Hong di atas pembaringan yang bertilam kasur dan kain merah berkembang. Dengan cekatan ia melakukan pemeriksaan di bawah penerangan lampu yang cukup terang dan besar. Keningnya berkerut dan sepasang mata yang bening itu menjadi cemas ketika ia melihat luka membiru di punggung dan kulit yang membengkak di pangkal paha karena sebuah luka bergurat panjang yang menghitam!

"Keji!" Perlahan dia memaki. "Senjata beracun dan pukulan maut yang amat kuat..."

Tanpa ragu-ragu lagi dia merobek lebih lebar pakaian yang menutupi pangkal paha Kun Hong, lalu mencabut pedangnya dan dengan ujung pedangnya yang tajam dan runcing itu ia menggurat luka membengkak yang darahnya sudah mengering. Pecahlah kulit itu dan keluar darah yang menghitam.

Gadis itu meletakkan pedangnya di atas ranjang, berlutut di atas ranjang di sebelah Kun Hong, lalu dia membungkuk dan... tanpa ragu-ragu lagi dia menggunakan mulutnya yang mungil untuk mengecup dan menyedot ke luar darah hitam dari luka di pangkal paha itu! Beberapa kali meludahkan darah yang telah disedotnya ke atas lantai, lalu menyedot lagi tanpa mempedulikan bau darah menghitam yang tidak enak itu. Baru ia berhenti setelah ia menyedot darah yang merah segar.

"Hebat..." gumamnya. "Kun Hong benar-benar mempunyai sinkang (hawa sakti) yang luar biasa di dalam tubuhnya sehingga meski pun dia pingsan, racun itu tidak dapat menjalar terus ke dalam tubuh, hanya berhenti di sekitar luka. Kalau tidak demikian, ahh, tentu dia tidak akan dapat disembuhkan lagi..."

Gadis itu kemudian duduk bersila, menempelkan dua telapak tangan pada punggung Kun Hong yang dia dorong miring, kemudian dia menyalurkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan luka di dalam dada Kun Hong.

Sejam kemudian Kun Hong bergerak, mengeluh panjang. Gadis itu cepat menarik kembali kedua tangannya. Gerakan ini perlahan sekali akan tetapi cukup membuat Kun Hong maklum bahwa dia sedang berbaring dan di dekatnya ada seorang yang sedang duduk bersila. Serentak Kun Hong menggerakkan tubuhnya dan di lain saat dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan berdiri dengan bingung tetapi siap dan waspada.

"Kun Hong, syukur kau telah siuman..."

"Hui Kauw...!"

Hampir saja Kun Hong tidak percaya ketika mendengar suara itu, akan tetapi sekarang hidungnya mencium keharuman yang biasa keluar dari rambut gadis itu. Apa lagi suara itu tidak mungkin dapat dia lupakan. Di antara seribu macam suara orang dia pasti akan mengenal suara Hui Kauw si nona bidadari!

"Betul Kun Hong. Aku Hui Kauw dan kau berada di dalam kamarku."

Kini Kun Hong teringat segalanya dan dia meraba luka di belakang pangkal pahanya. Dia menjadi heran sekali. Luka itu sudah bersih dari pada racun yang tadinya mengeram di sekitar luka. Dia menunduk dan tiba-tiba tercium olehnya bau tak enak dari darah yang kotor oleh racun, bau darah yang agaknya berada di lantai.

"Hui Kauw... kau... kau... dengan cara bagaimana kau tadi mengeluarkan racun dari luka di pahaku?"

"Lukamu tadi menghitam, berbahaya sekali kalau menjalar sampai ke jantung. Aku tidak mengerti cara lain, maka tadi kusedot keluar sampai bersih."

Menjawab begini, agak berubah air muka gadis ini karena sekarang dia teringat betapa perbuatannya tadi sesungguhnya amat tidak sopan dan memalukan.

Kun Hong sudah menduga akan hal ini dan dia menyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw, "Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai begitu?"

Dengan suara tegas akan tetapi agak gemetar gadis itu menjawab, "Kun Hong, ingatlah bahwa bagiku, kau adalah... suamiku, dan bagiku menolongmu adalah kewajibanku."

"Hui Kauw... Hui Kauw...." Kun Hong terharu sekali.

Untuk sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan. Mereka diam saja tidak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan pelepasan dari pada hati yang penuh keharuan dan kerinduan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar