Pendekar Buta Jilid 20

Nagai Ici dengan muka berseri-seri dan mulut tersenyum lalu mendekati gadis pertama, tangannya bergerak maju seperti orang hendak memeluk, mukanya pun mendekat seperti orang hendak mencium! Gadis itu menjadi merah mukanya dan mundur selangkah, akan tetapi Nagai Ici maju terus dan di lain saat tali yang membelenggu kedua tangan gadis itu sudah putus oleh sekali renggutan tangan Nagai Ici yang amat kuat.

Gadis itu tercengang, melihat kedua tangannya yang telah bebas dan dengan bingung kini memandang pemuda asing yang telah menghampiri gadis ke dua, melepaskan belenggu, kemudian maju untuk menolong gadis-gadis yang lain. Setelah lima orang gadis itu bebas semua, dia mundur dan membungkuk dengan dalam di depan lima orang gadis itu yang kini hanya dapat berdiri melongo memandangnya dengan sinar mata bingung, heran, dan juga terima kasih bercampur keraguan.

Nagai Ici kemudian menghampiri dua kotak tadi, membukanya dan mengambil perhiasan-perhiasan berharga itu, membagi-bagikan kepada kelima orang gadis tadi sekuat tenaga mereka membawa, malah ia membantu mengalung-ngalungkan perhiasan pada leher dan lengan mereka.

Semua ini ditonton oleh Lauw Teng yang tertawa-tawa, juga para perampok tertawa-tawa akibat merasa geli melihat tingkah laku pemuda Jepang yang agaknya hendak mengambil hati para gadis itu sebelum memaksa mereka menjadi selir-selirnya. Benar-benar seorang pemuda yang cerdik, pikir mereka. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanjiri para gadis itu dengan barang-barang hadiah untuk merebut hati dan kasih!

Yang paling mendongkol adalah Loan Ki. Hatinya lantas memaki-maki, "Laki-laki ceriwis! Pemuda gila perempuan! Si mata keranjang menyebalkan!"

Akan tetapi semua orang menjadi terheran-heran, juga Loan Ki, ketika melihat Samurai Merah itu sekali lagi menjura dalam sampai kepalanya hampir menyentuh tanah di depan para gadis itu sambil berkata, "Sekarang, Nona sekalian silakan pulang ke rumah masing-masing. Kalian kubebaskan!"

Lima orang gadis itu menjadi lebih heran dan bingung lagi. Mereka saling pandang, tidak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu serta bingungnya, hanya nampak mereka menggeleng kepala, malah ada yang mulai menangis.

Nagai Ici memandang dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya yang tebal, menggeleng-geleng kepala dan berkata,

"Ahh, agaknya Nona sekalian tidak berani pulang sendiri? Baiklah, silakan kalian mengaso di sana, di bawah pohon besar itu, biar aku menyelesaikan urusanku dengan orang-orang ini. Nanti saya yang akan mengantar Nona semua pulang ke kampung dan rumah masing-masing.”

Lima orang gadis itu menjadi girang bukan main. Mulailah wajah mereka berseri-seri dan senyum-senyum manis tersembul di balik keharuan dan air mata, menambah jelita wajah dara-dara muda itu. Dengan langkah halus dan tertatih-tatih karena beban barang-barang berharga itu terlampau berat, mereka mentaati permintaan Nagai Ici dan pergi ke bawah pohon besar, lalu duduk bersimpuh di atas akar pohon.

Loan Ki yang bersembunyi di atas pohon itu, diam-diam menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri yang tadi telah memaki-maki pemuda Jepang itu dengan tuduhan yang bukan-bukan. Sekarang ia kembali mencurahkan perhatiannya pada pendekar muda dari Jepang itu.

Sementara itu, Lauw Teng mulai curiga dan marah. Dia melangkah maju, meraba gagang goloknya dan suaranya sudah kehilangan keramahannya ketika dia bertanya, "Nagai Ici, apa maksudmu dengan semua ini? Jangan kau main-main denganku!"

Dengan senyum mengejeknya pemuda Jepang itu membalikkan tubuh menghadapi ketua Hui-houw-pang, membungkuk dengan caranya yang dalam pandangan Loan Ki amat lucu itu dan berkata, "Hui-houw Pangcu Lauw Teng. Kau tadi menyanggupi tiga macam syarat, dan yang dua sudah kau penuhi, terima kasih. Tinggal sebuah syarat lagi, kalau ini kau penuhi, aku Nagai Ici Si Samurai Merah berjanji akan suka menjadi muridmu atau malah pembantumu sekali pun."

"Hemmm, kau katakan lekas, apa syarat ke tiga itu?"

"Kau dan anak buahmu bukanlah manusia baik-baik. Orang macam kau ini mana patut menjadi guruku? Andai kata kau sepuluh kali lipat lebih pandai sekali pun, tidak sudi aku menjadi murid dari seorang penjahat keji yang suka menculik gadis dan merampok harta orang lain. Lauw Teng, dengarlah. Syaratku ketiga adalah, kalau kau bisa memenangkan samuraiku dan mampu memenggal batang leherku, barulah aku suka menjadi murid atau pembantumu."

Loan Ki di atas pohon terkikik menahan tawa. Geli hatinya melihat Lauw Teng si gendut yang menjadi melongo penuh amarah dan kecewa itu, di samping hatinya merasa girang bahwa pemuda Jepang yang menarik hatinya serta mengagumkannya itu ternyata benar seorang gagah yang hebat. Kembali ia bersiap sedia untuk membantu Samurai Merah itu andai kata terancam bahaya.

Memang marah sekali Lauw Teng. Sambil berseru keras dia mencabut goloknya yang tajam berkilauan. "Bagus, kau Jepang keparat! Kalau kau ingin mampus, mengapa tidak sejak tadi bilang terus terang? Manusia tak tahu diri, diberi hati merogoh jantung, keparat!"

Golok Lauw Teng berkelebat dan dengan kemarahan meluap-luap ketua Hui-houw-pang itu menerjang Ici. Serangannya hebat dan dahsyat, golok menyambar menjadi kilat maut menyilaukan mata.

Samurai Merah terkejut juga dan maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang pandai. Oleh karena itu ia pun tidak berani memandang ringan. Cepat dia melompat ke belakang sejauh dua meter dan tangannya meraih pinggang.

"Srattt!"

Sinar berkilau ketika samurai yang merupakan pedang panjang melengkung itu tercabut dari sarungnya.

Baru sekarang Loan Ki dapat melihat pedang itu dengan jelas. Dia kagum dan heran. Kagum karena sebagai puteri seorang pendekar pedang, tentu saja ia juga seorang ahli pedang dan tahu akan pedang-pedang baik. Biar pun hanya melihat dari tempat jauh, ia dapat menduga bahwa pedang aneh itu terbuat dari pada bahan yang baik sekali. Bukan baja yang baik kalau tidak dapat mengeluarkan suara mengaung seperti itu ketika dicabut dari sarungnya.

Pedang itu tajam seperti silet, bermata sebelah dan termasuk golongan pedang panjang. Akan tetapi karena agak melengkung, tentu cara memainkannya seperti orang bermain golok. Anehnya, gagangnya terlampau panjang sehingga Loan Ki meragu apakah dengan gagang pedang macam itu orang dapat bersilat dengan baik?

Dengan hati berdebar Loan Ki melihat betapa pemuda Jepang itu sudah siap, memasang kuda-kuda yang amat teguh. Tubuhnya merendah, mata tenang tajam memandang lawan dan... kedua tangannya memegang gagang pedang itu. Hampir Loan Ki tertawa. Inilah aneh, pikirnya.

Walau pun tadi sudah menyaksikan sendiri betapa lihainya Samurai Merah ini membabat buntung tangan ketiga orang pembantunya, akan tetapi melihat pasangan kuda-kuda jago muda Jepang itu, Lauw Teng hanya memandang rendah. Sambil membentak nyaring dia menerjang lagi, goloknya bagaikan baling-baling yang diputar makin lama semakin cepat, merupakan gulungan sinar putih mengurung diri lawan.

"Haiiiiit!" Samurai Merah mengayun samurai sambil meloncat.

Terdengar suara nyaring disusul bunga api muncrat pada saat dua senjata itu bertemu di udara. Diam-diam mereka memuji tenaga lawan yang sanggup membuat tangan masing-masing bergetar. Namun Lauw Teng yang sudah banyak pengalaman itu terus menerjang, mempergunakan kegesitannya karena melihat betapa ilmu pedang lawan ini kurang gesit nampaknya.

Dugaannya keliru. Biar pun gerak-geriknya kaku dan aneh, kiranya jago muda Jepang itu sanggup mengimbangi permainannya, melompat-lompat dan seakan-akan bukan dia yang memainkan pedang, tapi pedangnya yang bergerak-gerak dan membawa serta tubuhnya. Tubuh Nagai Ici dan pedangnya seakan-akan menjadi satu ketika mencelat ke kanan kiri untuk menangkis dan balas membacok!

Kalau sudah bersilat seperti itu, tidak banyak bedanya kedudukan tubuhnya dengan para ahli pedang di Tiongkok. Akan tetapi setiap kali ada kesempatan dan tidak terdesak, tentu dia akan berdiri tegak memasang kuda-kuda di atas tanah, diam tak bergerak bagaikan patung, hanya biji matanya saja yang liar bergerak mengikuti gerakan lawan, sedangkan pedangnya yang dipegang dengan kedua tangan itu diacungkan ke depan dada, ujungnya mengikuti gerakan lawan pula.

Loan Ki tertawa senang. Boleh juga bocah ini, pikirnya. Apa lagi kalau dia sedang berdiri seperti itu mengikuti gerakan lawan, gagah juga!

"Keparat, mampuslah!" teriak Lauw Teng yang sudah menerjang lagi.

Sejenak dia berhenti dan mengkal hatinya melihat lawannya laksana patung tidak balas menyerang atau lebih tepat, tidak mau mendahului menyerang itu. Akan tetapi begitu dia kembali menyerang, Samurai Merah itu selain menangkis dan mengelak, juga cepat balas membacok. Bahkan kali ini tidak ada bacokan golok yang tidak dibalas. Setiap bacokan dibalas dengan bacokan pula sehingga pertandingan itu ramai bukan main. Amat seru dan setiap kali pedang atau golok berkilat, berarti tangan maut menjangkau mencari nyawa!

"Aduh sayang...," diam-diam Loan Ki menyesal melihat jalannya pertandingan seperti itu. "Ilmu pedangnya aneh dan boleh juga, akan tetapi mengapa demikian lambat dan banyak membiarkan kesempatan berlalu percuma? Kurang agresip, wah, sayang benar. Jika lebih agresip sedikit saja, hanya dalam belasan jurus saja si katak gendut itu tentu sudah dapat dikalahkan."

Memang pendapat Loan Ki ini benar. Ilmu pedang Samurai Merah itu sangat kuat dalam pertahanan, bahkan setiap kali bertahan selalu dirangkai dengan serangan balasan. Akan tetapi kurang cepat dan kurang agresip.

Biasanya, pemain pedang malah menghujani serangan dengan maksud membuat lawan bingung dan pertahanannya menjadi lemah sehingga banyak tercipta lowongan-lowongan untuk dimasuki. Akan tetapi, permainan pedang gaya Jepang ini agaknya hanya mencari lowongan di waktu lawan menyerang.

Memang hal itu benar juga karena setiap penyerangan berarti membuka pintu pertahanan, akan tetapi karena dia sendiri sudah diserang, maka tentu saja penyerangan balasannya kurang kuat karena tidak dilakukan dengan tenaga dan perhatian sepenuhnya. Sebagian tenaga dan perhatian sudah dipakai untuk mempertahankan diri dari penyerangan lawan.

Betapa pun juga, lambat laun Samurai Merah dapat pula mendesak Lauw Teng. Memang harus diakui bahwa selain ilmu pedangnya aneh dan sulit diduga perkembangannya, juga pemuda ini menang gesit dan menang kuat. Kini penyerangan Lauw Teng makin lemah dan balasan dari Samurai Merah itu makin hebat. Malah setiap bacokan dibalas dengan dua tiga kali bacokan sekaligus yang membuat Lauw Teng kelabakan!

Karena makin lama semakin repot, timbullah rasa takut di hati Lauw Teng sehingga ketua Hui-houw-pang yang amat terkenal di Propinsi Shan-tung sebagai perkumpulan perampok yang ganas ini mulai berteriak-teriak minta tolong dan bantuan dari anak buahnya!

Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh para perampok itu. Semenjak tadi mereka sudah mendongkol dan marah sekali terhadap pemuda yang agaknya akan diambil hatinya oleh ketua mereka. Begitu mendengar teriakan sang ketua, serentak mereka lalu melakukan pengeroyokan dengan senjata di tangan.

Samurai Merah tertawa bergelak, lalu mengamuk. Berkali-kali terdengar pekiknya yang dahsyat.

"Yaaaattt!"

Setiap kali dia memekik, tentu seorang di antara pengeroyoknya roboh mandi darah, dan samurainya selalu berhasil mendapatkan korban, membabat putus tangan, kaki, hidung, telinga, bahkan ada dua orang yang buntung lehernya!

Pertempuran semakin hebat mengerikan. Walau pun jagoan muda Jepang itu mengamuk seperti seekor harimau muda, menghadapi pengeroyokan para perampok yang nekat dan rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu, akhirnya dia kewalahan juga.

Loan Ki merasa sudah cukup lama menjadi penonton. Ia melayang turun dari atas cabang pohon, membuat kelima orang gadis yang sudah ketakutan setengah mati menyaksikan orang-orang bertempur, darah muncrat serta tubuh luka-luka itu, kini terkejut bukan main melihat betapa dari atas pohon tiba-tiba ada seorang manusia ‘terbang’ melewati kepala mereka!

"Hemmm, Lauw Teng perampok hina, masih beranikah kau menjual lagak mengandalkan pengeroyokan menghina orang?"

Lauw Teng menengok dan wajahnya seketika menjadi pucat. Tentu saja dia mengenal gadis yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dengan sikap gagah itu. Siapa lagi kalau bukan dara lincah yang amat gagah perkasa, yang pernah tanpa gentar merobohkan banyak anak buah Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang digabung menjadi satu.

Apa lagi kalau dia ingat bahwa munculnya gadis sakti ini mungkin sekali disusul pula oleh pendekar buta yang seperti iblis itu. Hatinya sudah setengah membeku saking takut dan gentarnya.

"Kawan-kawan... mundur...!" Ia memekikkan aba-aba ini sambil mendahului anak buahnya lari tunggang-langgang meninggalkan gelanggang pertempuran.

Tentu saja para anak buahnya juga sangat ketakutan melihat munculnya Loan Ki yang sudah mereka kenal kelihaian pedangnya. Jago muda Jepang itu saja sudah cukup berat dilawan, apa lagi muncul dara hebat ini.

Maka terjadilah perlombaan yang menarik, yaitu lomba lari tunggang-langgang bersicepat meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan lagi teman-teman yang tewas atau terluka. Bahkan mereka yang terluka berusaha pula ikut melarikan diri, walau pun mereka harus merangkak-rangkak dan terhuyung-huyung.

Sebentar saja keadaan di situ sudah sunyi. Para penjahat yang tinggal hanyalah mereka yang sudah tewas, yaitu dua orang yang putus lehernya karena mereka ini tentu saja tak mungkin dapat berlari lagi. Selain mayat dua orang penjahat ini, di situ berserakan pula potongan-potongan tangan, kaki, hidung, telinga dan ceceran darah. Mengerikan sekali!

Sampai lama Nagai Ici berdiri melongo memandang Loan Ki yang masih tersenyum geli menyaksikan tingkah laku para perampok itu. Hampir saja jago muda dari Jepang ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri serta pendengaran telinga sendiri. Mimpikah dia? Ataukah dia betul-betul melihat bidadari turun dari kahyangan dan begitu melihat bidadari ini para perampok yang ganas dan kejam itu lari tunggang-langgang ketakutan?

Inilah hal aneh yang baru pertama kali selama hidupnya dia saksikan. Seorang dara jelita berpakaian bagai seorang pendekar, yang membawa-bawa pedang di pinggangnya, gadis cilik berusia belasan tahun, ditakuti kawanan perampok yang ganas dan kejam?

Hampir Nagai Ici tertawa geli. Melihat lima orang gadis tawanan tadi, timbul kasihan dalam hatinya karena sifat mereka itu sama dengan wanita-wanita di negerinya, lemah-lembut dan tidak berdaya, membutuhkan pertolongan pria yang kuat. Akan tetapi dara muda ini, yang membawa-bawa pedang, sama sekali tak membutuhkan perlindungan dan bantuan dirinya, malah sebaliknya seperti sudah membantunya karena kemunculannya mengusir para penjahat yang tadi sudah membuat dia kewalahan dan repot terdesak.

Laki-laki atau perempuankah orang ini? Melihat dari sikap dan gerak-geriknya yang begitu gesit cekatan dan gagah, patutnya seorang pria. Akan tetapi melihat wajah yang begitu manis dan kulit yang begitu halus, bentuk tubuh yang begitu ramping dan padat tanpa otot-otot tentunya seorang wanita. Malah wanita yang cantik jelita, dengan mata seperti bintang kejora, pipi sehat kemerahan, mulut yang amat manis. Bukan main! Manusiakah atau bidadarikah?

Setelah semua penjahat itu melarikan diri, tiba-tiba saja Loan Ki merasa seakan-akan ada sesuatu yang menarik dan memaksanya menoleh. Dia membalikkan tubuh memandang dan... dua pasang mata saling pandang, dua sinar mata bertemu di udara. Seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan saling tempel sulit dilepaskan lagi! Pandang mata si pemuda penuh keheranan, kekaguman, dan penghormatan. Pandang mata si pemudi penuh keramahan, pengertian, kegigihan dan setengah mengejek bahkan menantang!

Bibir Loan Ki bergerak mengarah senyum. Geli dan senang hatinya melihat betapa orang itu melongo seperti orang yang lupa ingatan, pedang bengkok itu masih dipegang dengan kedua tangan, kedua kaki masih memasang kuda-kuda yang lucu dan aneh itu. Alangkah bagusnya kalau orang itu menjadi patung dan dipasang di depan jalan masuk Pek-tiok-lim tempat tinggal ayahnya, pikir dara nakal ini. Pikirannya itu membuat senyumnya melebar sehingga berkilatlah deretan gigi putih.

Agaknya kilauan gigi putih ini menyadarkan pula Nagai Ici yang terpesona itu. Dia menarik dua kakinya, memasukkan pedang Samurai ke dalam sarung pedang, merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, ditempelkan di depan dada lalu membungkuk dalam sekali sampai tubuhnya hampir berlipat dua.

Makin geli hati Loan Ki menyaksikan penghormatan seperti ini, tapi sebagai seorang gadis ia membalas pula dengan mengangkat dua tangan ke depan dada dalam bentuk kepalan, dan tubuhnya dibongkokkan sedikit dengan cara menekuk sedikit lutut kirinya.

"Bolehkah hamba bertanya... tuan ini siapakah? Manusia ataukah dewa?" tanya Nagai Ici dengan bahasanya yang kaku namun cukup jelas.

Segera dia melengak kaget dan kembali melongo pada saat melihat betapa makhluk yang disangkanya dewa itu mendadak terkekeh, tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan tangan, ciri kewanitaan yang berlaku juga di Jepang!

"Hi-hi-hik... aduh lucunya... hi-hi-hik, maafkan aku... tak tahan aku... ahh, kau lucu sekali. Ehh, Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah, pertanyaanmu tadi kukembalikan kepadamu, coba kau terka, aku ini manusia ataukah dewa? Wah, jangan-jangan kau malah tidak tahu pula dari jenis apa aku ini, laki-laki ataukah perempuan..."

Merah seluruh muka Nagai Ici. Makin bingunglah dia. Juga makin heran dan kaget. Kalau disebut dewa, terang bukan karena ujudnya jelas manusia, menginjak tanah, tak memiliki sayap, dan malah ada bau yang harum menyentuh hidungnya. Tetapi apa bila dikatakan manusia, mengapa begini aneh dan datang-datang sudah mengenal nama dan julukannya segala!

"Saya... saya tidak tahu... ehh, maksud saya... ehh, tuan seperti manusia... dan tentunya seorang wanita pula, tapi... ehh, kalau wanita masa ditakuti para perampok dan apa bila manusia, mana mungkin manusia wanita bisa meloncat turun dari atas pohon yang begitu tinggi? Dan tuan... ehh, sudah tahu akan nama saya pula..."

Kembali Loan Ki tertawa. "Nagai Ici, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi sungguh amat bodoh. Sudah pasti aku manusia, dan sudah jelas aku bukan laki-laki, masa kau tidak dapat membedakan? Tentang namamu, tentu saja aku tahu karena sudah sejak tadi aku mengintai dari atas pohon. Tentang meloncat turun dari pohon, apa sih sukarnya? Yang lebih tinggi lagi aku sanggup meloncati. Perkara perampok-perampok itu takut kepadaku, apa pula anehnya kalau mereka itu pernah kuhajar?"

Kini pandang mata Nagai Ici berubah kagum, kagum bukan main karena baru pertama kali ini selama hidupnya dia menyaksikan seorang wanita yang begini perkasa.

"Maaf, Nona... wah, kau hebat sekali." Tiba-tiba pandang matanya berubah dan dia lalu mendekat, matanya lekat-lekat memandang arah mulut Loan Ki.

"Astaga! Jadi kau malah pencurinya?"

Kini Loan Ki yang menjadi bingung dan heran, juga geli melihat tingkah orang Jepang yang aneh ini. Baru saja begitu ketakutan seakan-akan hendak berlutut menyembahnya karena mengira ia dewa, kemudian berubah kemalu-maluan dan ramah, tetapi sekarang tiba-tiba seperti kurang ajar!

"Apa maksudmu? Pencuri apa?" tanyanya dengan kening berkerut.

Pemuda Jepang itu meloncat-loncat, kaki tangannya bergerak-gerak dan mukanya seperti orang marah, "Siapa lagi kalau bukan kau. Ya, kau pencurinya! Tidak usah menyangkal, kau gadis nakal. Kau minta pun akan kuberi, kenapa mencuri? Hayo kau mengaku!"

Loan Ki makin terheran dan makin lama ia makin marah. "Setan alas kau! Jangan kurang ajar, ya? Kau kira aku takut kepadamu?"

Nagai Ici tersenyum mengejek. "Wah, ini mana dapat dibilang gagah kalau tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatan sendiri? Sudah pandai mencuri, kemudian pandai berpura-pura dan menyangkal pula. Hayo, di kanan dan kiri bibirmu yang merah itu masih berlepotan minyak, malah ujung hidungmu yang mancung itu pun berminyak. Kau belum sempat mencucinya, ya? Wah, agaknya sudah habis kau ganyang semua panggang paha macan punyaku tadi. Celaka!"

Loan Ki melongo dan baru teringatlah ia akan perbuatannya yang nakal tadi, yaitu mencuri panggang paha macan orang yang sedang mandi. Tiba-tiba saja mukanya menjadi merah bagai udang direbus dan otomatis tangan kirinya diangkat untuk menghapus bibirnya yang kiranya benar-benar penuh minyak!

Wah, repotlah Loan Ki sekarang menggunakan dua tangannya. Karena malu dan bingung, Loan Ki menjadi marah sekali. Dengan telunjuknya yang runcing dia menuding ke arah hidung Nagai Ici, pandang matanya melotot.

"Setan kau! Berani kau memperolokku?"

Nagai Ici tertama, tubuhnya bergerak-gerak. "Kau... kau pencuri daging, tukang nyolong!"

Kemarahan Loan Ki bukan kepalang lagi, "Kau... tikus, cacing, kadal, anjing, monyet, babi, kuda!" Ia memaki-maki sejadinya dan menyebut nama semua binatang. Paling akhir dia mencabut pedangnya dan menantang. "Hayo kita buktikan di antara kita siapa yang lebih gagah!"

Memang sebenarnya inilah yang dikehendaki Samurai Merah. Begitu bertemu dengan dara ini, semangatnya langsung terbetot, perhatiannya tertarik, hatinya terpikat tanpa dia sadari lagi. Tadinya dia hampir percaya bahwa dara jelita dan gagah perkasa ini adalah sebangsa peri atau bidadari. Akan tetapi setelah ‘bidadari’ itu bersuara, tahulah dia bahwa makhluk ini ternyata adalah seorang dara jelita yang wajar, seorang manusia yang hidup dan segar gembira lahir batinnya.

Dia kagum bukan main dan melihat cara gadis ini tadi bergerak turun dari pohon, dia pun menduga bahwa tentu ilmu kepandaian gadis ini juga hebat. Apa lagi kalau diingat bahwa menurut kata gadis itu sendiri, para perampok jahat itu tadi ketakutan melihatnya karena pernah ia beri hajaran. Tentu saja hal ini dia sendiri tidak dapat begitu saja mempercayai.

Inilah sebabnya, ketika melihat bibir dan ujung hidung yang amat lucu indah itu berlepotan minyak, dia sengaja menuduh dan mengejek, dengan maksud membangkitkan amarah gadis itu dan mendapat alasan untuk menguji kepandaiannya. Dia kurang percaya kalau seorang gadis sehalus dan secantik ini, masih amat muda lagi, dapat ‘memberi hajaran’ kepada seorang kepala penjahat seperti Lauw Teng dan anak buahnya.

Akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa gadis yang ‘besar mulut’ ini sedikitnya tentu memiliki ilmu pedang yang lumayan, terbukti dari caranya mencabut pedang yang cukup cepat dan cekatan itu. Karena itu dia tidak berani memandang rendah dan dia pun segera melolos pedang samurainya dari sarungnya.

"Nona cilik..."

"Jangan sebut-sebut nona cilik. Apa kau sudah tua bangka? Kau sendiri pun masih cilik, paling-paling hanya beberapa tahun lebih tua dari pada aku. Lagaknya seperti orang tua saja!"

Nagai Ici tertawa. Dia sebetulnya seorang yang berwatak pendiam dan serius (sungguh-sungguh), akan tetapi berhadapan dengan dara lincah seperti ini mau tidak mau bangkit kegembiraannya. Sepasang matanya yang biasanya tenang dan tajam itu kini bersinar-sinar, wajahnya yang gagah tampan berseri-seri.

"Hayo, kau mau bilang apa lekas bilang sebelum pedangku bicara, jangan cuma cengar-cengir seperti kunyuk mencium cuka!" Loan Ki membentak lagi. Dasar gadis lucu jenaka, sedang marah pun lucu, sama sekali tidak membuat orang takut.

"Nona... besar, maksudku... ehhh, apa perlunya kita mengadu senjata? Senjata pedang adalah benda tajam yang berbahaya, bagaimana kalau sampai melanggar tubuh? Lebih baik kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong saja."

"Ihhh, siapa sudi? Tadi sudah kulihat bahwa hanya dengan pedangmu yang bengkok itu kau pandai berkelahi. Kalau bertangan kosong, kau hanya mengandalkan cengkeraman dan tangkapan. Mana aku sudi bersentuh tangan dengan kau? Hayo lekas serang dengan pedangmu!"

Nagai Ici tetap ragu-ragu. Ia telah belasan tahun mempelajari ilmu pedang, dan selama ini samurainya amat ganas dan dikenal sebagai Samurai Merah. Ilmu pedangnya adalah ilmu pedang khusus untuk merobohkan lawan, begitu samurainya berkelebat, tentu membabat putus sesuatu. Mana dia tega melukai nona yang dia kagumi ini?

"Wah, kenapa bengong saja? Apa kau kira aku takut melihat pedangmu yang bengkok dan jelek itu? Pedang apa itu, pantasnya untuk potong babi!"

Diejek begini, panas juga hati Nagai Ici. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya dan tentu saja dia akan berhati-hati agar jangan sampai salah tangan melukai dara ini.

"Hemmm, kau hendak mengenal Samurai Merah? Bersiaplah!" bentaknya.

"Samurai Merah atau samurai belang bonteng, peduli apa aku? Hayo serang kalau berani, ngomong saja dari tadi kerjanya!" ejek Loan Ki.

Ia sendiri memang berwatak aneh, mudah marah, mudah gembira, namun lebih banyak gembiranya dari pada marahnya. Sekarang pun kemarahannya karena tadi dimaki tukang nyolong sudah mereda dan ia menghadapi pedang jago muda Jepang itu terutama sekali karena ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu pedang aneh itu.

"Awas!" teriak Nagai Ici.

Samurainya berkelebat membuat gerakan segitiga di depan tubuhnya. Indah sekali gaya pertahanan pertama ini. Dan dia lalu diam tak bergerak, hanya biji matanya yang hidup meneliti setiap gerakan lawan, terutama gerakan kedua lengan.

Loan Ki sudah tahu bahwa ilmu pedang orang ini memang aneh, sifatnya diam menanti serangan. Kalau ia pun diam menanti, agaknya mereka berdua akan berdiri berhadapan memasang kuda-kuda dan berdiam terus seperti patung sampai seorang di antara mereka kalah karena menjadi kesemutan akibat berdiri diam terlalu lama. Akan tetapi dia tak sudi menjadi patung. Cepat bagai kilat menyambar, pedangnya berkelebat menjadi segunduk sinar menerjang maju.

"Haaaaiiiiit!"

Nagai Ici berseru keras saking kagetnya melihat betapa seakan-akan ujung pedang gadis itu berubah menjadi belasan batang, tergetar dan menerjang kepadanya secara aneh, sukar diduga ke arah mana ujung pedang itu akan menusuk! Dia segera, memutar samurainya sekuat tenaga, membabat ke arah bayangan ujung-ujung pedang itu dengan maksud mempergunakan tenaganya untuk menghantam pedang gadis itu agar terlepas dari pegangan.

"Wuuuuuttttt!"

Samurainya yang berat, tajam dan bergerak cepat itu ternyata hanya menghantam angin belaka karena secara tiba-tiba belasan ujung pedang lawan itu sudah lenyap dan kembali berubah menjadi segundukan sinar pedang menyerangnya, kini dari kanan kiri atas bawah tak tentu ujung pangkalnya.

"Bagus...!" Mau tak mau Nagai Ici berseru memuji.

Inilah hebat, pikirnya. Ilmu pedang yang luar biasa, jauh lebih hebat dari pada ilmu golok ketua Hui-houw-pang tadi. Maklumlah dia bahwa gadis itu benar-benar bukan sekedar memiliki ilmu ‘gertak sambal’ belaka, tetapi benar-benar seorang gadis muda yang ‘berisi’, yaitu yang memiliki kepandaian tinggi.

Hatinya makin gembira dan berkurang keraguannya karena sekarang dia tidak takut lagi untuk salah tangan sebab maklum bahwa gadis itu cukup mampu menjaga diri. Cepat dia memutar samurainya sehingga sinar pedang samurai itu berkilat-kilat menyambar ke arah gulungan sinar pedang Loan Ki.

Dari angin sambaran pedang samurai, Loan Ki maklum bahwa orang muda itu memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat kuat, maka ia tidak berani mengadu pedang, kuatir kalau-kalau pedangnya akan rusak bertemu dengan samurai yang digerakkan oleh tenaga gajah itu. Ia menggunakan kegesitannya dan bersilat dengan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang luar biasa.

Gerakannya indah dan lemah lembut, seperti seorang bidadari kahyangan tengah menari. Pinggangnya yang ramping bergerak-gerak lemas dan lehernya ikut pula bergerak-gerak. Langkahnya berlenggang-lenggok dan untuk melengkapi ilmu pedang ini yang memang mengharuskannya sebagai taktik, ia pun tersenyum-senyum dan mengerling dengan amat manis dan ayunya.

Memang dahulu pencipta ilmu pedang ini, yaitu Si Pendekar Baju Merah Ang I Niocu, sengaja menciptakan ilmu pedang yang luar biasa untuk mengalahkan lawan-lawan berat. Bentuk tarian indah gemulai disertai senyum dikulum dan kerling memikat sesuai dengan wajah yang cantik jelita, semata-mata merupakan taktik untuk mengacaukan konsentrasi (pemusatan pikiran) dan melemahkan daya tempur lawan.

Tentu saja Nagai Ici pun melihat ini semua dan hatinya berdebar tak karuan. Bukan main indahnya ilmu pedang yang seperti tarian itu dan wajah gadis lincah itu makin lama makin cantik menarik.

Akan tetapi pemuda Jepang ini bukan seorang manusia biasa yang mudah lumpuh oleh kecantikan wanita. Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh seorang daimyo (pendekar bernama besar) yang sakti, tidak saja diwarisi ilmu bermain samurai yang ampuh, juga sudah digembleng memperkuat batin dengan cara bersemedhi dan menyatukan pikiran.

Oleh karena ini, biar pun dia amat tertarik dan kagum melihat lawannya, dia segera dapat menekan perasaannya dan memperhebat gerakan samurainya, malah kini dia menguras semua jurus pilihan dan yang paling rahasia dari ilmu pedangnya untuk menghadapi ilmu pedang lawan yang lemah-gemulai akan tetapi mengandung daya serangan yang sangat dahsyat.

Diam-diam Loan Ki kagum juga. Ilmu silat aneh dengan pedang aneh pula ini, sesudah bergebrak kiranya tidaklah selambat yang dia duga. Pertahanannya kokoh kuat dan biar pun serangannya tidak terlalu sering, namun tiap kali menyerang laksana kilat menyambar dari udara cerah.

Inilah inti ilmu pedang lawannya dan inilah pula yang membuat samurainya itu berkali-kali berhasil tiap kali berkelebat. Kiranya inti ilmu lawannya memang mengandung gerakan menyerang tersembunyi seperti kilat yang menyambar dari angkasa yang sehingga sama sekali tidak tersangka-sangka datangnya. Ia pun merasa malu kalau sampai kalah, maka ia kemudian mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua simpanan jurus ilmu pedangnya.

Hebat bukan main pertandingan itu. Jauh lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi sekarang tidak nampak mengerikan sehingga lima orang gadis tawanan itu yang sejak tadi melongo dan terheran-heran, sekarang pada berdiri menonton dengan kagum.

Bagi mereka yang tidak mengerti ilmu silat, dua orang muda itu terlihat seperti sedang menari-nari secara indah dan aneh. Pedang dan samurai itu lenyap dari pandangan mata mereka, yang tampak hanyalah segulung sinar pedang seperti awan putih bergerak-gerak, dibarengi melesatnya sinar seperti kilat menyambari awan itu!

Seratus jurus lebih mereka bertanding, hampir satu jam lamanya. Mereka berdua sudah gobyos (bermandi peluh) dan sudah mulai lelah karena dalam pertandingan itu mereka mempergunakan semua tenaga dan kepandaian.

Loan Ki mulai penasaran dan tak sabar. Ia menanti kesempatan baik dan tiba-tiba dengan pengerahan tenaga lweekang-nya ia menghantam samurai lawan sekuatnya.

"Tranggggg!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan amat kerasnya. Nagai Ici mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tubuhnya terhuyung mundur tiga langkah. Loan Ki sendiri tergetar telapak tangannya dan cepat dia memindahkan pedang pada tangan kirinya. Oleh karena sempat melompat ke samping, maka dia tidak sampai terhuyung seperti lawannya.

Keduanya memeriksa pedang, kemudian saling pandang dengan napas terengah-engah. Nagai Ici tertawa lebih dahulu. Kagumnya bukan kepalang, akan tetapi dia juga puas dan merasa bangga karena betapa pun juga, gadis luar biasa itu sudah berkenalan dengan samurainya yang lihai.

"Heh-heh, kau benar hebat, Nona. Selama hidupku baru kali ini aku melihat seorang gadis muda yang begini hebat. Sebelum ini, mendengar pun belum pernah. Ilmu pedangmu luar biasa, kepandaianmu hebat bukan main. Akan tetapi, betapa pun juga kau takkan mampu mengalahkan aku."

"Ihh, sombongnya! Baru mengandalkan pedang bengkok itu saja sudah berani membuka mulut besar. Kau tidak merasa bahwa aku tadi sengaja mengalah mengingat bahwa kau orang asing? Huh, benar-benar tidak punya perasaan dan tidak malu. Pedang bengkokmu itu siapa sih yang takut? Kalau mau, dalam segebrakan saja aku sanggup membikin putus lehermu, tahu?"

"Ha-ha-ha, Nona sungguh-sungguh pandai berkelakar! Sudah jelas kita bertanding sampai mandi keringat belum ada yang terluka, belum ada yang kalah atau menang, bagaimana kau bisa bilang dalam segebrakan dapat memenggal leherku? Ha-ha-ha, lucu!"

"Hemm, dasar tak tahu malu, tak berperasaan. Kau mau bukti?"

Tentu saja Nagai Ici tidak percaya, dia merasa penasaran sekali. Dia, Samurai Merah yang di Jepang sudah terkenal sekali, mana mungkin dalam segebrakan saja terpenggal lehernya oleh seorang gadis cilik?

"Boleh! Kau buktikanlah dan coba kau penggal leherku, jangan dalam segebrakan, malah dalam seribu gebrakan sekali pun boleh!" dia menantang dan sengaja dia mengulurkan lehernya.

"Huh, kau kira aku adalah algojo?" Loan Ki mendengus marah. "Biar pun kau kurang ajar setengah mati, tadi kau menentang penjahat, berarti kau bukan penjahat. Aku tidak biasa membunuh orang yang bukan penjahat. Tetapi aku bisa membuktikan bahwa aku seribu kali lebih pandai dari padamu dan bahwa tadi aku sudah sengaja mengalah, hanya kau yang buta perasaan dan tidak tahu diri."

"Heh-heh, kau tekebur sekali. Bagaimana kau akan membuktikan?"

"Kau boleh gunakan pedang bengkok pemotong babi itu untuk melawan aku yang akan melayanimu dengan bertangan kosong!" Loan Ki tersenyum mengejek. Tanpa pedulikan wajah lawan yang kelihatan kaget itu ia menyambung, "Lebih dari itu malah, dengar wahai kadal, kuda, babi! Tidak saja aku melayani pedang bengkokmu itu dengan tangan kosong, juga aku akan membiarkan kau menyerang sesukamu tanpa membalas. Kalau nanti aku membalas sekali pukulan saja boleh dianggap kalah!"

Nagai Ici melengak. Benar-benar terlalu gadis liar ini, pikirnya dengan perut terasa panas. Menghina orang tanpa takaran. Mana ada aturan seperti ini? Seorang jantan tulen seperti dia menyerang seorang gadis bertangan kosong menggunakan samurai? Dan gadis itu malah tidak akan membalas sama sekali? Waduh, dia dianggap anak kecil yang masih ingusan saja oleh gadis nakal itu. Keparat!

"Nona, apakah otakmu waras?"

Kini Loan Ki yang melengak, lalu membanting-banting kaki tanda marah. "Kau yang edan! Kau yang gila, gendeng dan miring otakmu!" Ia memaki-maki marah lagi sejadi-jadinya asal hatinya yang mengkal dapat merasa ‘plong’.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, mulai meragulah hati Nagai Ici. Siapa tahu gadis ini bicara sungguh-sungguh? Wah, hebat kalau begitu.

"Nona, begini saja sekarang. Bukan watakku untuk menyerang seorang lawan, apa lagi seorang gadis seperti kau, menggunakan samurai sedangkan yang kuserang bertangan kosong dan tidak akan membalas. Sekarang begini saja, aku menerima tantanganmu tapi caranya begini. Aku akan menyerangmu selama tiga jurus dan aku tanggung dalam tiga jurus itu, aku akan dapat memilih dengan samuraiku satu di antara empat macam benda di tubuhmu, yaitu pertama pita rambutmu, ke dua ujung ikat pinggangmu, ke tiga ujung ronce pedangmu dan ke empat ujung lengan bajumu. Dalam tiga jurus saja pasti sebuah di antara yang empat tadi dapat kubabat putus, bahkan mungkin lebih dari satu atau keempatnya sekaligus! Tetapi kalau hal ini terjadi, kau harus menyatakan bahwa aku tidak kalah olehmu dan bahwa ilmu kepandaianku tidak berada di bawah kepandaianmu. Nah, bukankah ini adil namanya!"

Loan Ki mengernyitkan hidungnya, ditarik ke atas ujung hidungnya sehingga nampak lucu sekali. "Aduh-aduh, sombongnya! Tiga jurus katamu? Jadikan tiga puluh jurus baru aku sudi melayani. Nah, tiga puluh jurus kau boleh menyerangku dengan pedang pemotong babi itu. Kalau dapat kau tebas sedikit saja sebuah di antara yang empat itu, biarlah aku mengaku kalah. Akan tetapi kalau dalam tiga puluh jurus tak berhasil bagaimana?"

"Tiga puluh jurus? Tidak berhasil? Tak mungkin!"

"Janji tinggal janji, jangan menyombong dulu. Wah laki-laki kok ceriwis amat, bicara saja!"

"Biarlah aku berjanji, kalau dalam tiga puluh jurus pedangku ini tidak berhasil membabat putus sebuah di antara empat benda tadi, biarlah aku mengangkat kau menjadi guruku!"

"Hi-hi-hik, punya murid macam kau bikin repot saja! Kau berjanji akan merubah sikapmu, tidak ceriwis dan cerewet lagi dan akan taat serta menuruti segala perintahku, bersedia menjadi bujang atau pelayanku?"

Merah wajah Nagai Ici. Inilah penghinaan besar. Akan tetapi dia yakin sekali bahwa dia tidak mungkin kalah dalam taruhan ini. Andai kata dia kalah, hal itu berarti bahwa gadis ini benar-benar seorang dewi yang sakti, bahkan lebih sakti dari pada gurunya di Jepang, maka sudah sepatutnya kalau dia angkat menjadi gurunya yang baru dan sebagai murid, tentu saja dia harus mentaati gurunya dan rela mengabdi dan menjadi pelayan.

"Baik, aku berjanji!" Dia berkata sambil mengacungkan samurainya ke atas di depan dahi sebagai tanda sumpah.

"Nah, mulai seranglah!" seru Loan Ki setelah menyimpan pedangnya.

Sengaja ia memiringkan tubuh dan melambai-lambaikan ujung lengan baju, ikat pinggang, pita rambut dan ronce pedangnya agar mudah dibabat pedang lawan! Melihat ini, Nagai Ici berseru keras lalu mulai menyerang. Samurainya berkilat menyambar, kemerahan dan dengan kecepatan yang dahsyat.

Namun tiba-tiba jago muda Jepang itu berseru terheran-heran. Dia melihat betapa gadis itu sekarang bergerak amat aneh, jauh bedanya dengan gerakan tadi ketika melawannya dengan pedang.

Tadi gadis itu gerakannya lemah gemulai, seperti seorang penari dari surga, begitu indah menarik. Sekarang, gadis itu melangkah ke sana ke mari dengan gerakan kaku dan aneh, terhuyung-huyung serta meloncat-loncat sambil jongkok berdiri tidak karuan. Tubuhnya ditekuk ke sana ke mari, miring ke kanan kiri depan belakang.

Pendeknya gerakan gadis itu sekarang sangat buruk dilihat seperti gerakan orang mabuk. Akan tetapi hebatnya, semua sambaran samurainya mengenai angin belaka dan betapa pun cepat dan kuat dia menerjang, dia seakan-akan sedang menghadapi dan menyerang bayangannya sendiri.

Tentu saja jago muda Jepang ini tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sekarang sedang menggunakan langkah ajaib dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, ilmu yang tergolong di deretan paling tinggi di dunia persilatan. Inilah ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi) dan yang dipelajari oleh Loan Ki dari Si Pendekar Buta Kwa Kun Hong!

Kiranya karena memiliki modal ilmu ini maka Loan Ki berani menantang dan bersombong di depan Samurai Merah itu. Tadi ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun ia maklum bahwa untuk merobohkan lawan tangguh ini, bukanlah hal mudah baginya. Akan tetapi sebaliknya, Samurai Merah juga tak akan mungkin dapat merobohkannya, apa lagi kalau ia menggunakan Hui-thian Jip-te untuk menyelamatkan diri.

Makin lama Nagai Ici menjadi makin penasaran, ia pun bertekad mencapai kemenangan. Ia mengeluarkan pekiknya yang dahsyat, samurainya menyambar-nyambar laksana naga sakti mengamuk, namun hanya tampaknya saja samurainya hampir mengenai sasaran, kenyataannya selalu hanya berhasil membacok angin kosong.

Setelah belasan kali serangannya tidak berhasil, mulailah dia merasa terkejut, heran, dan kagum, bahkan kemudian bulu tengkuknya berdiri meremang saking ngerinya melihat betapa dengan berjongkok dan melompat-lompat seperti katak atau seperti seorang anak kecil bermain-main, gadis itu dengan sangat mudahnya menghindarkan diri dari sambaran samurainya! Ilmu ibliskah yang dipergunakan gadis ini?

Tiga puluh jurus lewat dan jangankan samurai itu mengenai sasaran. Mencium sedikit pun tak pernah. Nagai Ici adalah seorang lelaki sejati. Tepat sesudah jurus ke tiga puluh lewat tanpa hasil, dia lalu menghentikan serangannya, melempar samurainya ke atas tanah lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Ki dan berkata, "Mulai saat ini murid mentaati segala petunjuk dan perintah Guru."

Terbelalak mata Loan Ki memandang. Namun yang dipandangnya tetap berlutut dengan kepala tunduk sehingga yang tampak olehnya hanya rambut hitam digelung ke atas itu. Inilah sama sekali tidak pernah diduganya! Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa pemuda ini benar-benar hendak memenuhi janjinya dan mengangkatnya sebagai guru!

"Gila!" teriaknya. "Siapa sudi menjadi gurumu? Apa bila kau muridku, berarti aku gurumu dan kau akan menyebut ibu guru kepadaku? Setan, jangan kau menghina, ya? Aku belum tua, lebih muda dari padamu, mana bisa menjadi guru orang dewasa?"

Nagai Ici mengangkat kedua tangannya ke depan dada memberi hormat dalam keadaan masih berlutut. "Saya sudah menikmati kehebatan ilmu kepandaian Guru dan sudah kalah janji. Terserah bagaimana kehendak Guru, murid hanya akan menurut dan mentaati."

"Baik, kalau begitu dengarkan perintahku. Pertama, kau tidak boleh berlutut, hayo lekas berdiri. Aku bukan ratu, bukan pula puteri istana dan kau lebih tua dari padaku. Bisa kualat aku kalau kau sembah-sembah. Berdirilah!"

Nagai Ici bangkit berdiri dengan sikap hormat.

"Nah, sekarang dengarkan perintahku selanjutnya. Namaku Loan Ki, Tan Loan Ki dan di dunia kang-ouw aku diberi julukan Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Kau tidak boleh menyebut aku ibu guru, sebut saja namaku dan aku pun akan menyebutmu Nagai Ici begitu saja. Mengerti?!"

Nagai Ici mengangguk, di dalam hatinya bingung dan juga geli melihat sikap gadis yang luar biasa dan yang sekaligus meruntuhkan hatinya ini. Juga kelima orang gadis tawanan yang sejak tadi menonton, diam-diam saling pandang dan tersenyum simpul.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar