Raja Pedang Chapter 34

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Seperti orang gila, Beng San menjambak-jambak rambutnya, menampar kedua pipinya dengan tangan sampai darah mengalir dari mulut dan hidungnya, menjambak-jambak lagi rambutnya sambil menangis.

"Apa yang kulakukan...? Ahhh, Tuhan apa yang kulakukan? Mampus saja kau, mampus!" Ia menampari lagi mukanya yang sudah tidak karuan macamnya itu.

Tiba-tiba dia dipeluk orang. "San ko... San-ko... kau kenapa... ?"

"Hong-moi... tidak... tidak! Biar aku mampus! Aku harus mampus…!”

la merenggutkan tubuhnya sampai Kwa Hong terpelanting. Tapi gadis ini menubruk lagi sambil menangis, memeluk tubuh Beng San, rambutnya terlepas, terurai membelai leher Beng San. Hal ini lebih-lebih mengingatkan Beng San akan peristiwa malam tadi. Kembali dia merenggutkan diri dan terlepaslah pelukan Kwa Hong.

“San-ko... kau ingatlah... San-ko, lihatlah aku. Aku Hong-moi, aku ini isterimu... San-ko, suamiku..."

Ucapan ini seperti garam pada hati yang terluka, membuat Beng San roboh terguling dan kembali dia menghantam muka sendiri. Darah mengucur dari pinggir matanya. Ia bertekad untuk memukul kepalanya dengan pukulan maut.

Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya wejangan-wejangan para hwesio di kelenteng dahulu tentang orang yang membunuh diri. Di waktu dia masih kecil, dia melihat seorang petani membunuh diri setelah membunuh isterinya sendiri karena keadaan mereka yang terlampau miskin. Hwesio kepala dari kelenteng di mana dia bekerja berkata tentang itu,

"Membunuh diri untuk menyesali perbuatan dosa adalah perbuatan yang amat pengecut, malah menambah berat dosanya. Dosa harus ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik. Membunuh diri karena rasa menyesal berarti tidak mau dan tak berani mempertanggung jawabkan kesalahanannya, tidak berani menghadapi hukuman atas perbuatannya itu."

Seketika dia menjadi tenang. Dia lalu mengusap darah yang memenuhi mukanya, yang membuat mulutnya terasa sesak bernapas dan matanya terasa pedas sukar dibuka. Dia lalu bangkit berdiri dan ketika Kwa Hong hendak memeluknya, dia mengulur kedua tangan menolaknya halus.

"Jangan, Kwa Hong. Jangan ulangi perbuatan kita yang biadab!”

"Apa katamu? San-ko, kau bilang perbuatan biadab? San-ko, aku adalah isterimu, isteri yang mencintamu sepenuh jiwa ragaku."

"Diam, Kwa Hong! Kita sudah melakukan pelanggaran susila. Aku harus mampus untuk itu, akan tetapi biarlah kau saja yang membunuhku. Aku... aku tak dapat membunuh diri. Hong-moi, aku telah menodaimu, nah, kau cabut pedangmu dan, kau bunuh aku."

"Tidak, San-ko. Kau adalah suamiku..."

"Bukan, Hong-moi. Aku tidak bisa menjadi suamimu..."

"Tapi... tapi aku isterimu yang mencinta. Aku... aku cinta padamu..."

Beng San menarik napas panjang, menggeleng kepala. "Dulu sudah kukatakan padamu. Aku tidak mencintaimu sebagai seorang kekasih. Aku cinta kepadamu sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Hong-moi, memang aku sudah berdosa kepadamu. Aku tidak sengaja... hemmm, tak perlu aku membela diri, pendeknya, aku sudah berdosa padamu. Hanya tepat bila ditebus nyawa. Kau bunuhlah aku sebelum orang lain tahu, Hong-moi... bunuhlah aku, bunuhlah!" Beng San menjerit-jerit minta dibunuh.

Namun Kwa Hong terhuyung-huyung mundur, mukanya pucat sekali. Rambutnya yang terurai dan hitam itu menambah kepucatan mukanya. Air matanya bercucuran.

"Sanko... kau... kau tetap tidak mau mengambil aku sebagai isteri setelah... setelah apa yang terjadi malam tadi...?"

Beng San merasa jantungnya seperti diremas-remas.

"Tidak, Hong-moi. Kalau aku memaksa diri, dosaku akan makin besar. Hal itu berarti aku membohongimu, membohongi diriku sendiri. Kau akan lebih tersiksa lagi kelak. Aku... aku tidak bisa menjadi suamimu.”

"San-ko... katakanlah, apakah... apakah ada orang lain...?"

Beng San tersenyum pahit, lalu dia mengangguk. "Sungguh pun sekarang aku tidak ada harganya lagi untuk mencintanya, namun... di dalam hatiku aku bersumpah... aku hanya dapat mencinta dia seorang..."

”Siapa dia? Bilang, siapa dia?"

Karena sedang bingung dan gelisah, pikirannya kacau-balau, Beng San menerangkan juga. "Dia seorang gadis gagu, puteri Song-bun-kwi..."

Kwa Hong menjatuhkan diri berlutut, lalu menangis terisak-isak. Hati Beng San semakin hancur melihat gadis itu berurai rambut sambil menangis demikian sedihnya.

"Hong-moi, kau... kau bunuhlah aku sekarang juga. Aku sudah tidak suka lagi hidup di dunia ini...," katanya dengan suara serak.

Tiba-tiba Kwa Hong meloncat bangun, mukanya pucat sekali, sepasang matanya tidak lagi menangis.

"Beng San! Kau... kau manusia berhati kejam! Kau sudah dua kali menghinaku, menolak cintaku dan kau... ahhh, seharusnya kubunuh engkau!"

"Bunuhlah, aku akan berterima kasih..."

Tiba-tiba Kwa Hong tertawa, nyaring dan aneh bunyinya sampai meremang bulu tengkuk Beng San.

"Jangan tertawa seperti itu Hong-moi, kau bunuhlah aku orang kejam dan hina ini..."

"Ha-ha-ha, tidak! Aku tak akan membunuhmu, biar kau hidup menderita dan gila karena perbuatanmu tadi malam. Dan aku... Ha-ha-ha, kau dengar Beng San, aku akan kawin dengan laki-laki yang paling buruk, yang paling bodoh, kawin dengan laki-laki mana saja yang pertama kali kujumpai..."

Setelah berkata demikian Kwa Hong melompat dan berlari pergi dari situ. Dari kejauhan, mengatasi suara hiruk-pikuk peperangan, terdengar jeritnya melengking tinggi, terdengar seperti tertawa akan tetapi juga seperti tangis sedih.

Beng San menjatuhkan diri berlutut dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Akan tetapi dia tidak lama berada dalam keadaan seperti ini. Ketika dia teringat akan semua peristiwa yang dialami, kemarahannya memuncak terhadap Pangeran Souw Kian Bi dan kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Dua orang itu yang menjadi gara-gara sehingga dia mabuk dan melakukan perbuatan hina itu.

Serentak dia bangun, matanya kemerahan dan liar. Lalu, melihat orang-orang berperang tanding, dia mengeluarkan suara menggeram keras kemudian lari menyerbu ke tengah pertempuran. Seperti menggila dia mengamuk, entah berapa banyaknya tentara musuh dia robohkan dengan tangan kosong saja.

Setiap memegang seorang tentara musuh, dia tanya di mana adanya Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Kalau tentara itu menjawab tidak tahu, lalu dibantingnya orang itu sampai remuk kepalanya. Dan memang dua orang yang dia cari itu sudah tidak ada lagi di situ, sudah sejak tadi pergi setelah melihat bahwa keadaan benteng tak dapat dipertahankan lagi.

Malah Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi, Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin juga sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Mereka pun maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, mereka tentu akan menjadi korban karena selain pada pihak lawan banyak terdapat orang tangguh, juga jumlah lawan makin lama makin membanjir datangnya, amat banyaknya. Jelas sudah benteng itu tidak dapat dipertahankan lagi, korban pihak tentara pemerintah luar biasa banyaknya dan yang masih sempat lari mulai menyelamatkan diri.

Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang yang dicarinya itu tidak ada di situ, Beng San lalu berlari pergi dalam keadaan yang amat mengerikan. Mukanya bengkak-bengkak, hidung dan mulutnya masih berdarah, matanya merah sekali, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat kehijauan.

Berulang-ulang bala tentara pemerintah diserbu dan dihancurkan oleh pihak para pejuang. Bahkan kini para pejuang sudah berani mengganggu dan kadang-kadang menyerbu kota raja secara bergerilya. Di sekeliling kota raja, di luar tembok kota, keadaan sudah mulai tidak aman. Para bangsawan, pembesar dan keluarga kerajaan mulailah merasa gelisah, bahkan ada yang sudah pergi mengungsi jauh ke utara.

Semua usaha yang telah dilakukan oleh para perwira, terutama sekali Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui untuk menghancurkan para pejuang, selalu gagal. Bahkan setiap rencana penyerbuan mereka, tiap gerak-gerik dan taktik perang mereka, agaknya selalu diketahui lebih dahulu oieh pihak pejuang sebelum taktik itu dilaksanakan.

Misalnya seorang penjaga dan penyelidik melapor akan adanya sepasukan musuh di luar tembok kota. Pangeran Souw Kian Bi segera mengatur sebuah pasukan yang lebih besar untuk menyergap dan membinasakan pasukan lawan itu. Tetapi sesampainya di sana, tak seorang pun tentara pejuang yang kelihatan! Bahkan dalam perjalanan kembali, pasukan pemerintah ini tahu-tahu sudah dikurung oleh musuh yang lebih banyak jumlahnya dan kemudian dihancurkan!

Dinasti Goan yang dibangun oleh Jengis Khan itu sekarang sudah berada di pinggir jurang kehancuran. Kejayaan bangsa Mongol di Tiongkok agaknya sudah hampir berakhir.

Justru kekacauan di kota raja ini yang membuat Beng San selalu tidak berhasil dalam usahanya mencari Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Berkali-kali dia menyerbu ke istana di kota raja, namun selalu tidak menemukan dua orang itu yang agaknya amat repot dalam menghadapi penyerbuan-penyerbuan para pejuang.

Akhirnya dia teringat akan tugasnya yang belum dia laksanakan, yaitu merampas kembali pedang Liong-cu Siang-kiam. Maka pergilah dia ke Thai-san karena dia teringat bahwa saatnya telah tiba untuk diadakan perebutan gelar Raja Pedang seperti yang sering dia dengar di luaran.

la merasa yakin bahwa gadis she Cia yang mencuri Liong-cu Siang-kiam itu pasti akan muncul di dalam arena perebutan gelar Raja Pedang itu mengingat akan ilmu pedangnya yang amat hebat ketika gadis she Cia itu mendemonstrasikan kepandaiannya di puncak Hoa-san setahun yang lalu dengan mengalahkan Pek Tung Hwesio beserta Hek Tung Hwesio. Apa lagi sudah jelas bahwa pada masa ini yang memegang gelar Raja Pedang adalah Cia Hui Gan, ayah gadis itu.

Teringat akan semua ini, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat ke Thai-san supaya kedatangannya tidak sampai terlambat…..

********************

Pagi-pagi benar di puncak Gunung Thai-san sudah nampak kesibukan. Cia Hui Gan atau terkenal pula sebagai Raja Pedang tinggal di salah sebuah puncak bukit ini. Cia Hui Gan adalah seorang pendekar besar yang sangat terkenal namanya sebagai ahli waris Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dahulu diciptakan oleh pendekar wanita sakti Ang I Niocu.

Akan tetapi pendekar ini jarang sekali turun gunung. Sesungguhnya, semenjak isterinya yang tercinta meninggal dunia, Cia Hui Gan menjadi bosan di dunia ramai. Dia kini hidup sebagai pertapa di puncak Thai-san bersama puteri tunggalnya, Cia Li Cu.

Sebelum bangsa Mongol menjajah di Tiongkok memang dia adalah keturunan bangsawan kaya raya. Maka biar pun hidup mengasingkan diri di puncak Gunung Thai-san, dia hidup serba berkecukupan. Apa lagi setelah berada di tempat sunyi itu, dia tidak membutuhkan banyak keperluan. Ada pun untuk makan sehari-hari bersama puteri dan pelayan-pelayan serta murid-muridnya, dia mendapatkan hasil dari sawah ladangnya.

Cia Hui Gan amat mencinta puteri tunggalnya sehingga seluruh ilmu pedangnya telah dia turunkan kepada Cia Li Cu. Bahkan untuk menyenangkan hati puterinya yang agak manja, pendekar ini sengaja mendatangkan dua belas orang pelayan wanita-wanita yang semua muda-muda dan cantik-cantik untuk menjadi teman Li Cu, malah berkenan menurunkan ilmu pedang yang cukup lihai bagi para pelayan atau teman anaknya ini.

Pagi hari itu, tidak seperti biasanya, pagi-pagi sekali Cia Hui Gan sudah duduk di ruangan depan rumahnya yang amat lebar. Semua bangku dan kursi di dalam ruangan dikeluarkan dan diatur di pekarangan itu, memutari pekarangan yang berlantai rumput hijau.

Pendekar yang usianya telah lima puluh tahun ini nampak gagah dalam pakaiannya yang ringkas berwarna kuning. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dan dia nampak gesit. Wajahnya yang biasanya muram kini terlihat berseri.

Para pelayan yang berjumlah dua belas orang dan cantik-cantik itu pun berpakaian serba ringkas, juga pada pinggang setiap orang pelayan tergantung sebatang pedang. Karena pakaian para pelayan ini semuanya sama, berwarna kuning berkembang merah, mereka tampak angker dan juga cantik-cantik, seperti puteri-puteri dalam pesta di istana.

Yang hebat adalah Cia Li Cu sendiri. Gadis itu seperti biasanya berpakaian serba merah, sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam tergantung pada punggungnya. Rambutnya yang panjang menghitam itu digelung ke atas sehingga tampak jelas kulit lehernya yang putih kuning. Di dekat nona ini kelihatan seorang nona lain, juga cantik manis berpakaian serba kuning. Nona ini bukan lain adalah Lee Giok!

Mengapa Lee Giok yang dikenal sebagai Ji-enghiong pemimpin mata-mata pemberontak itu berada di situ? Hal ini tidak aneh kalau diketahui bahwa Lee Giok sebenarnya masih murid Cia Hui Gan yang kepandaiannya pun hebat, sungguh pun ia hanya mewarisi ilmu pedang ciptaan Raja Pedang itu sendiri. Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut terlalu tinggi untuk dapat dipelajari oleh Lee Giok. Tidak sembarang orang dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini karena membutuhkan dasar dan tenaga murni yang kuat.

"Sumoi (adik seperguruan), sekali ini tentu ramai nanti di sini," berkata Lee Giok sambil tersenyum, kelihatan gembira dan tidak sabar menanti datangnya para tamu yang hendak memperebutkan gelar Raja Pedang.

"Suci (kakak seperguruan), dahulu pada saat diadakan perebutan gelar Raja Pedang, aku masih kecil dan kau belum menjadi murid ayah. Aku pun ingin sekali melihat apakah ada orang yang akan dapat mengalahkan ilmu pedang ayah kali ini," kata Li Cu.

Walau pun dalam tingkatan kepandaian, Li Cu jauh lebih tinggi dari pada Lee Giok, akan tetapi karena usia Lee Giok lebih tua, maka Li Cu menyebutnya suci dan nona she Lee ini menyebutnya sumoi.

Melihat puteri dan muridnya bicara sambil tertawa-tawa, Cia Hui Gan menegur, "Kalian kelihatan gembira amat. Kiraku kalian takkan segembira ini kalau tahu bahwa kali ini yang datang ke sini tentulah orang-orang sakti yang sangat lihai kepandaiannya. Aku sendiri meragukan apakah aku masih akan mampu mempertahankan gelar Raja Pedang yang sesungguhnya kosong melompong itu." Orang tua ini menarik napas panjang. "Apa lagi setelah umum mengetahui bahwa murid-murid Thai-san banyak yang menjadi pejuang. Kali ini aku tidak akan dapat menyembunyikan rahasiaku lagi, aku akan berterus terang bahwa memang kita adalah pejuang-pejuang yang benci melihat penjajahan di negeri kita. Oleh karena itulah maka aku sengaja menahan Lee Giok, biar mereka tahu bahwa Lee Giok yang terkenal di kota raja adalah muridku!"

Ucapan terakhir ini diucapkannya dengan nada suara bangga. Lee Giok menjadi merah mukanya, kemudian terbayang kesedihan.

"Suhu, teecu telah gagal dalam tugas teecu... sehingga teecu terlambat pula menolong... Kwee-taihiap..."

"Hemmm, Kwee Sin harus dipuji. Dia adalah seorang patriot sejati yang untuk tanah air dan bangsanya rela mengorbankan nama baik, mengorbankan perguruan, mengorbankan tunangan dan akhirnya mengorbankan jiwanya. Di masa sekarang jarang terdapat orang seperti dia." Setelah orang tua ini berkata demikian, keadaan di sana menjadi sunyi dan terdengarlah isak tertahan dari Lee Giok.

Semua orang, termasuk gurunya sendiri tidak tahu bahwa nona ini selama bekerja sama dengan Kwee Sin, telah jatuh cinta kepada pemuda Kun-lun-pai itu. Hanya sebentar Lee Giok terisak karena ia segera dapat menekan perasaannya.

"Suci, memang menyedihkan kalau diingat nasib Kwee-taihiap. Akan tetapi, sesudah kau dikenal sebagai pejuang, apakah kiranya tak akan ada pasukan pemerintah yang datang mengejarmu ke tempat ini? Ayah, apa sekiranya pertemuan kali ini tidak akan memancing datangnya pasukan musuh?" tanya Li Cu.

”Biarkan mereka datang! Aku akan melawannya. Pula, kiraku teman-teman seperjuangan kita tidak akan tinggal diam begitu saja. Pek-lian-pai juga sudah siap sedia. Memang pertemuan kali ini hanya kupergunakan sebagai kedok saja. Yang paling penting adalah bisa mengumpulkan para orang gagah untuk kubujuk dan bersama-sama menggulingkan pemerintah penjajah yang sudah makin lemah ini."

"Sumoi dan Suhu harap tidak berkhawatir. Agaknya sudah pasti barisan besar penjajah akan datang ke sini, akan tetapi semua ini sudah diatur oleh dia di kota raja. Pek-lian-pai juga sudah bersiap-siap bersama pasukan-pasukan pejuang yang lain. Sudah dapat teecu bayangkan, Suhu, bahwa pada saat di sini kita merayakan perebutan gelar Raja Pedang, kota raja pasti akan mengalami hal-hal yang hebat sekali!" Kembali wajah yang tadinya sedih ini berseri-seri dan penuh semangat.

"Mudah-mudahan dia berhasil..." kata Li Cu. Segera muka gadis cantik jelita ini berubah merah, semerah bajunya ketika melihat betapa Lee Giok mengerlingnya dengan senyum menggoda.

Tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dari bawah puncak, disusul berkelebatnya bayangan orang yang berlari-lari naik sambil berteriak-teriak, "Wah celaka... celaka betul... mana ada aturan begitu...?"

Ketika semua orang memandang, ternyata yang berlari-lari dengan napas sengal-sengal itu adalah seorang kakek yang tubuhnya bongkok dan matanya besar sebelah. Biar pun dia lari sambil terbongkok-bongkok, namun kedua kakinya ternyata dapat bergerak cepat sekali.

Cia Hui Gan segera mengenal orang ini dan bertanya. "Yok-mo (Setan Obat), kenapakah kau datang berlari-lari seperti dikejar setan?"

"Hayaaa, memang setan yang mengejarku. Malah raja setan, iblis sendiri..." Kakek itu terengah-engah sambil menoleh ke belakang ketakutan. "Coba kau pikir, Kiam-ong (Raja Pedang), mana ada aturan begini? Ada orang memaksa-maksaku untuk menyembuhkan penyakit, ke mana pun aku pergi aku dikejar terus dan nyawaku terancam..."

"Yok-mo, kau adalah ahli pengobatan, sudah sewajarnya kalau ada orang minta tolong kepadamu," kata Cia Hui Gan tenang.

Mata yang besar sebelah itu melebar. ”Apa yang kau bilang? Namaku adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), mana bisa aku menyembuhkan orang? Boleh saja kusembuhkan penyakitnya, tapi nyawanya harus kucabut."

Wajah Raja Pedang yang angker itu nampak tak senang, lalu kata Cia Hui Gan, suaranya angkuh, "Hemmm, setiap orang memang berhak mempunyai pendapat sendiri. Toat-beng Yok-mo, habis apa keperluanmu datang berlari-lari ketakutan ke tempat kami ini?"

"Kiam-ong, kau tolonglah aku kali ini.”

Diam-diam Cia Hui Gan merasa heran juga. Orang seperti Toat-beng Yok-mo ini memiliki kepandaian yang tinggi. Tidak sembarang tokoh kang-ouw mampu mengalahkannya, apa lagi membuat dia ketakutan seperti itu. Pendekar ini mengeluarkan dengus mengejek.

"Hemmm, kau sendiri pantang menolong orang tapi masih tidak malu minta tolong kepada orang lain! Yok-mo, kalau kedatanganmu hanya minta tolong, kau pergilah lagi. Aku tidak suka mencampuri urusanmu."

Toat-beng Yok-mo adalah seorang yang amat cerdik biar pun kadang-kadang dia seperti tidak normal otaknya. Cepat dia berkata, "Bukan, bukan hanya ingin minta tolong, tetapi terutama sekali untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang. Bukankah diadakannya hari ini? Kiam-ong, aku hari ini menjadi tamumu yang pertama!"

Pada saat itu terdengar bentakan, "Yok-mo, kau hendak lari ke mana?!"

Suara ini nyaring dan parau, terdengar dari jauh sekali akan tetapi cukup keras sehingga Cia Hui Gan kembali terkejut. Jelas bahwa orang yang mengeluarkan bentakan ini adalah seorang yang memiliki Iweekang tinggi sekali.

Cia Hui Gan lebih-lebih kaget dan heran ketika berbareng dengan bentakan dari jauh itu berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu seorang gadis muda berpakaian merah sudah menyambar dekat. Sinar pedangnya lantas berkelebat dan bergulung-gulung mengurung tubuh Setan Obat itu!

"Bagus...!" Cia Li Cu tak terasa lagi mengeluarkan seruan memuji karena sebagai seorang ahli pedang, puteri tunggal Raja Pedang, tentu saja ia segera mengenal ilmu pedang yang amat hebat ini.

Juga Cia Hui Gan mengeluarkan seruan kagum. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa yang ditakuti Setan Obat ini hanya seorang gadis muda dan melihat gerakan pedangnya, memang gadis itu benar-benar seorang ahli pedang yang hebat ilmu pedangnya. Saking kagumnya pendekar ini sampai lupa akan bahaya yang mengancam diri Yok-mo dan mendiamkan saja.

Yang repot adalah Yok-mo sendiri. Baiknya dia adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi, maka biar pun digulung oleh sinar pedang dan amat gugup, dia masih dapat menyelamatkan dirinya, mengelak ke sana ke mari, lalu tiba-tiba dia menjatuhkan diri dan bergulingan menuju ke belakang Cia Hui Gan.

Barulah pendekar ini sadar bahwa sebagai tuan rumah, dia harus mencegah terjadinya pembunuhan terhadap seorang tamunya. Tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus. Nona ini ilmu pedangnya luar biasa sekali, sebaiknya dicoba dengan ilmu pedang puterinya.

"Li Cu, halangi Nona ini mengacaukan tempat kita," katanya.

Li Cu memang telah gatal tangannya. Sebagai seorang pendekar, tangannya gatal-gatal melihat ilmu pedang orang lain begitu bagusnya tanpa mengujinya. Secepat kilat ia lantas melompat maju dan menyambar sebatang pedang dari tangan seorang pelayan.

Bayangan merah berkelebat ketika Li Cu dengan pedang di tangan melompat ke arah gadis yang mengejar Yok-mo tadi. Mereka kini berhadapan, seakan-akan saling mengukur
kepandaian dan kecantikan masing-masing dengan sinar mata mereka yang bening.

Memang keduanya sebaya, keduanya cantik jelita dan anehnya, keduanya berpakaian serba merah pula! Hanya bedanya, gadis pengejar Yok-mo ini sepasang matanya indah menyinarkan cahaya yang diliputi kelembutan dan kedukaan, sebaliknya sinar mata Li Cu penuh semangat dan keangkeran. Dalam hal kecantikan, keduanya memiliki sifat-sifat tersendiri, keduanya menarik dan jelita.

"Kau cantik...” Li Cu mengeluarkan pujian.

Gadis itu menggerakkan pedangnya ke bawah dan mencoret-coret ke atas tanah. Tampak beberapa huruf indah di atas tanah itu. Ketika Li Cu membacanya, ternyata huruf-huruf itu berbunyi, ‘Kau lebih cantik lagi’.

Cia Li Cu terheran. Kenapa orang ini tidak bicara, sebaliknya menyatakan pendapatnya dengan bentuk tulisan. Betapa pun juga, ia kagum melihat gerakan pedang gadis itu saat membuat coretan-coretan itu, karena semua itu dilakukan dengan gerakan ilmu pedang yang tinggi.

"Bi Goat, sudah kau tangkap Setan Obat itu?" tiba-tiba terdengar suara parau bertanya dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang kakek kecil kurus berpakaian serba putih.

Gadis itu yang bukan lain adalah gadis gagu Kwee Bi Goat, menoleh kepada kakek ini lalu menggelengkan kepalanya sambil mengerling ke arah Yok-mo yang masih bersembunyi di belakang Cia Hui Gan.

"Ha-ha-ha, agaknya Si Raja Pedang melindungi Setan Obat!" kata kakek itu yang ternyata adalah Song-bun-kwi.

"Hemmm, Song-bun-kwi Kwee Lun. Kiranya kau yang muncul ini! Pantas saja begitu kau muncul terjadi kekacauan di sini. Ketahuilah, tidak sekali-kali kami melindungi Setan Obat, hanya karena dia pada saat ini menjadi tamuku untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang, maka terpaksa sebagai tuan rumah aku tidak mengijinkan orang mengganggu tamuku. Song-bun-kwi, apakah kedatanganmu hanyalah untuk mengejar Yok-mo? Kalau begitu halnya, harap kau turun gunung lagi dan menanti saja Yok-mo di bawah gunung. Apa bila kau juga menghadiri perebutan gelar, kau pun menjadi tamuku dan silakan kau duduk!"

"Ha-ha-ha, Bu-tek Kiam-ong, setelah menjadi Raja Pedang kau ternyata sombong sekali. Kau tak ada bedanya dengan orang-orang yang begitu menduduki tempat tinggi lalu lupa kepada asalnya, berubah menjadi manusia sombong yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling besar dan paling berkuasa. Kedatanganku bersama muridku ini memang hendak menangkap Yok-mo dan sekalian hendak merebut gelar Raja Pedang. Bi Goat, kau lanjutkan permainanmu, kau coba ilmu anak Raja Pedang itu!"

Bi Goat menggerakkan pedangnya, demikian pula Li Cu yang sudah bersiap sedia sejak tadi. Gerakan Pedang Li Cu amat indahnya seperti seorang bidadari kahyangan sedang menari. Sebaliknya, gerakan Bi Goat cepat dan keras, mendasarkan gerakannya pada kekuatan dan kekerasan serta kecepatan.

Segera dua orang gadis ini sudah saling serang. Terdengar bunyi tang-ting-tang-ting dan bunga api berhamburan. Diam-diam kedua orang gadis ini terkejut dan harus mengakui kelihaian lawan masing-masing.

Sementara itu, dengan penuh perhatian Song-bun-kwi menonton puteri atau muridnya memainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut untuk menghadapi ilmu pedang lawan yang benar-benar amat hebat dan indah itu. Sambil bertolak pinggang Cia Hui Gan menonton pula dengan kagum.

Semenjak menjadi Raja Pedang, baru kali ini dia melihat ilmu pedang yang tak dikenalnya dan hebat pula. Bahkan banyak sekali tanda-tanda bahwa ilmu pedang gadis gagu itu memiliki sumber yang sama dengan ilmu pedangnya sendiri. Karena ini dia memandang penuh perhatian, penuh keheranan dan penuh penyelidikan.

"Heeei, Song-bun-kwi iblis tua bangka, kau mau borong sendiri gelar Raja Pedang?"

Begitu kumandang suara lenyap, muncul orangnya. Seorang nenek yang masih kelihatan cantik genit, seorang kakek bertangan baju panjang dan tertawa-tawa nakal, diikuti oleh seorang wanita cantik berpakaian indah pesolek dan seorang laki-laki muda bermuka pucat. Mereka ini adalah Hek-hwa Kui-bo, Siauw ong-kwi, Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin.

Melihat munculnya Hek-hwa Kui-bo, cepat sekali Song-bun-kwi memerintah puterinya, "Bi Goat, mundur kau!"

Bi Goat cepat menarik kembali pedangnya, melompat dan berdiri di sebelah kiri ayahnya. Sementara itu Cia Hui Gan sibuk menerima para tamu karena di belakang empat orang ini muncul pula tamu-tamu lain.

Makin tinggi matahari naik, makin banyak para tamu datang di tempat itu. Partai-partai persilatan besar hadir pula, diwakili beberapa orang jagonya. Ada pula yang membawa pengikut sampai puluhan orang anak murid yang diperlukan untuk memberi suara dan menambah semangat.

Tampak hadir wakil-wakil dari partai Siauw-lim-pai, dari Go-bi-pai, Thai-san-pai, dan partai lainnya. Bahkan ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin dan ketua Kun-lun-pai Pek Gan Siansu, berkenan hadir juga. Dua orang kakek ini sekarang telah menjadi anggota-anggota pejuang yang gigih, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tentu saja mereka tidak mau melewatkan kesempatan ini, menyaksikan perebutan gelar Raja Pedang.

Yang ikut dengan Lian Bu Tojin hanyalah Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Ada pun Pek Gan Siansu diikuti oleh Bun Lim Kwi. Semua pendatang ini terheran-heran melihat adanya Lee Giok di pihak tuan rumah, akan tetapi oleh karena di situ terdapat banyak tamu, pula karena kedatangan mereka hanya berhubungan dengan akan diadakannya perebutan gelar, maka mereka tak mendapat kesempatan membuka mulut. Ada pun Lee Giok tanpa ragu-ragu lagi menyambut semua orang penuh penghormatan di samping Li Cu.

Yang kegirangan adalah Giam Kin. Kali ini tidak saja dia dapat melihat gadis pujaannya, Thio Bwee, tetapi juga mendapat kesempatan mengagumi sekian banyaknya gadis-gadis cantik jelita sehingga berkali-kali mulutnya berkemak-kemik, dan matanya diobral ke sana ke mari sehingga kadang-kadang dia ditempur oleh pandang mata Kim-thouw Thian Li.

Sungguh banyak tamu di Thai-san kali ini. Muncul pula di situ Ban-tok-sim Giam Kong, hwesio Tibet hitam tinggi besar yang memegang tongkat hwesio besar dan berat. Hwesio ini biar pun datang dari Tibet, akan tetapi sudah amat terkenal di daratan Tiongkok karena dia pun seorang tokoh yang anti Mongol dan ilmu silatnya hebat. Juga muridnya, Koai Atong, amat terkenal, akan tetapi anehnya pada saat itu Koai Atong tidak kelihatan hadir.

Selain kakek ini, hadir pula Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang bersama muridnya, Thio Eng. Begitu memasuki ruangan dan bertemu pandang dengan Bun Lim Kwi yang agaknya memang dicari-cari dengan sudut matanya, wajah gadis ini menjadi kemerahan, begitu pula wajah Lim Kwi.

Hadirnya Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang memperlengkap para tokoh besar di situ karena sekarang hadirlah semua tokoh nomor satu. Dari barat, Song-bun-kwi. Tokoh nomor satu dari timur, Swi Lek Hosiang. Tokoh nomor satu dari utara, Siauw-ong-kwi, dan tokoh nomor satu dari selatan, Hek-hwa Kui-bo!

Melihat sekian banyaknya tokoh besar yang hadir, diam-diam Cia Hui Gan terkejut dan amat bangga. Kali ini jauh lebih banyak jago-jago yang datang dari empat penjuru untuk memperebutkan gelar Raja Pedang.

Untuk melawan mereka mengandalkan kepandaian, ia merasa amat berat karena maklum bahwa tingkat mereka itu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Akan tetapi kalau yang dimaksud ini pertandingan ilmu pedang, dia boleh merasa yakin akan menang.

Ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan telah dikenalnya semua dan kiranya tidak akan ada yang dapat memenangkan ilmu pedangnya, Sian-li Kiam-sut. Hanya agak gelisah juga hatinya kalau dia teringat akan gerakan ilmu pedang yang dimainkan gadis gagu tadi.

Setelah rombongan tamu berhenti datang, Cia Hui Gan berdiri dan mengucapkan pidato sambutan singkat. la menghaturkan selamat datang kepada semua tamu, kemudian dia menambahkan keterangan tentang pertandingan.

"Siauwte sudah terlalu tua untuk main gila memperebutkan gelar kosong Raja Pedang. Oleh karena itu siauwte hendak memberi kesempatan kepada yang muda-muda dan yang masih haus akan gelar itu. Siauwte mengadakan tiga macam peraturan. Para peserta harus mempelihatkan ilmu pedangnya lebih dahulu untuk dinilai, lalu siauwte mengajukan jago yang sekiranya akan mampu mengalahkannya. Di pihak kami ada tiga tingkat, yaitu pertama tingkat terendah adalah murid-murid siauwte yang juga merangkap pelayan di Thai-san, jumlahnya ada dua belas orang. Peserta yang tingkatnya siauwte anggap masih rendah, akan dilayani oleh dua belas orang pelayan itu. Kalau dia menang, barulah dia akan berhadapan dengan murid siauwte yang termuda, yaitu Lee Giok. Setelah dapat memenangkan Lee Giok, barulah akan berhadapan dengan anak siauwte sendiri Cia Li Cu. Sayang bahwa murid kepala siauwte tidak hadir di sini karena sedang bertugas. Jika ada peserta muda yang dapat mengalahkan Li Cu, kemudian mengalahkan murid kepala siauwte apa bila dia datang, maka dia berhak menerima gelar Raja Pedang dari kami. Para cianpwe boleh maju pula, dan tentu saja lawannya adalah siauwte sendiri."

Ucapan ini jujur, singkat dan juga penuh tantangan sehingga membikin jeri hati beberapa orang yang hadir. Akan tetapi mereka yang merasa dirinya berkepandaian, menjadi amat penasaran juga. Cia Hui Gan tak peduli atas reaksi para tamunya, malah menggunakan kesempatan itu untuk menyatakan maksud sesungguhnya pertemuan itu.

"Cu-wi sekalian yang mulia. Memperebutkan gelar merupakan perbuatan bodoh dan gelar adalah kosong melompong, tidak berjiwa. Apa artinya sampai berpuluh tahun kita semua ini mempelajari kepandaian? Apakah hanya berebutan gelar kosong belaka? Apa artinya kalau kepandaian kita tidak dipergunakan untuk membuat jasa terhadap tanah air? Cuwi sekalian, sekarang tanah air sedang terancam bahaya, perjuangan suci sedang bergolak, kalau kita tidak mempergunakan kepandaian untuk mengabdi pada nusa dan bangsa, alangkah kecewanya!"

"Cia Hui Gan! Urusan perebutan gelar jangan kau campur adukkan dengan segala urusan pemberontakan!" Hek-hwa Kui-bo mencela dengan suaranya yang nyaring dan galak.

Cia Hui Gan tersenyum. "Mengapa tidak? Selama kita masih menginjak tanah air, masih menghirup hawa udara tanah air, kita harus memperjuangkan kesuciannya. Begitu baru bisa disebut sebagai orang gagah."

"Apa-apaan semua pidato kosong ini? Aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sian-li Kiam-sut dari Raja Pedang!" Orang yang berkata ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi kurus, di tangan kanannya sudah memegang pedang yang tajam berkilau. Dia ini adalah Bhe Liong, seorang jago pedang anak murid Bu-tong-pai yang berwatak kasar dan mau menang sendiri.

"Raja Pedang, kau boleh menilai permainan pedang Bu-tong-pai ini!" Pedangnya diputar cepat sampai mengeluarkan suara mengiung-ngiung.

Melihat beberapa jurus saja, Cia Hui Gan tersenyum lalu memberi tanda kepada dua belas orang pelayannya. "Kalian layani Bhe-taihiap ini."

Bagaikan barisan yang diatur, dengan gerak lincah seperti kupu-kupu melayang-layang sehingga para pelayan yang beraneka warna pakaiannya ini kelihatan seperti penari-penari indah, sebentar saja orang she Bhe telah dikurung di tengah-tengah.

"Silakan, Bhe-taihiap," seorang pelayan yang paling cantik berkata.

Bhe Liong tertegun, agak malu juga dikurung oleh gadis-gadis cantik itu yang ketika dekat sudah menyiarkan ganda harum. Namun karena dia hendak memperlihatkan kepandaian dan kalau mungkin merebut gelar Raja Pedang, dia sudah memutar pedangnya dan berkata, "Hati-hati kalian!"

Ilmu pedang Bu-tong-pai memang boleh dibilang tinggi juga tingkatnya, dan ternyata ilmu pedang orang she Bhe ini tidak rendah. Akan tetapi, dia sekarang dikurung oleh Sian-li Kiam-tin (Barisan Pedang Bidadari), dua belas orang pelayan itu bergerak berbareng dan berlari-lari mengitari dirinya. Pedang di tangan dua belas orang pelayan itu silih berganti menyerangnya, kalau menangkis juga sekaligus ada empat pedang menangkisnya, maka biar pun Bhe Liong lebih kuat tenaganya dan lebih gesit gerakannya, sebentar saja dia sudah menjadi pening.

Lewat tiga puluh jurus, permainannya kacau dan beberapa guratan pedang di lengannya membuat dia terpaksa melepaskan pedangnya. Dia melompat keluar dari kalangan dan kembali ke rombongan Bu-tong-pai sambil berseru, "Lihai sekali. Aku terima kalah!"

Para tamu tertawa, akan tetapi ada pula yang memuji sifat orang she Bhe ini yang biar pun kasar namun jujur dan tidak malu-malu mengakui kekalahannya. Setelah orang she Bhe ini, maju lagi beberapa orang, ada yang dilayani oleh dua belas orang pelayan, ada pula yang dilayani oleh Lee Giok, tapi kesemuanya dikalahkan dengan mudah.

Kim-thouw Thian-li berbisik-bisik kepada Giam Kin. Pemuda muka pucat ini tertawa lalu meloncat maju menghadapi Lee Giok yang baru saja mengalahkan seorang jago dari Thai-san-pai dengan susah payah.

Sambil menyeringai dan cengar-cengir Giam Kin kemudian berkata, "Nyonya Liong... ehh, Ji-enghiong... ehh, salah lagi, nona Lee Giok. Kiranya kau adalah murid dari Raja Pedang! Pantas saja kau berani banyak lagak di kota raja. Hemmm, kebetulan sekali kita bertemu di sini, biarlah aku mencoba kepandaianmu!" Sambil berkata demikian, dia mencabut keluar sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang suling di tangan kiri.

Angin bertiup dan Cia Hui Gan sudah berdiri di depan pemuda itu dengan sikap kereng. "Giam Kin, aku tahu kau murid Siauw-ong-kwi! Akan tetapi kalau kedatanganmu hanya untuk mengacau, aku orang she Cia tak akan takut untuk mengusirmu. Hanya yang ingin berlomba ilmu pedang boleh bertempur."

"He..he..he, aku pun ingin jadi Raja Pedang!"

"Tetapi pertandingan ini hanya terbatas dalam ilmu pedang, sedangkan kau bersenjata suling beracun."

"Ehh, suling ini hanya pelengkap saja.”

"Ha-ha-ha, Raja Pedang! Kalau kau takut terhadap suling muridku, jangan berani pakai gelar Raja Pedang segala. Kalau muridmu Lee Giok itu takut menghadapi muridku, suruh dia bersembunyi di dapur. Ha-ha-ha!" Siauw-ong-kwi yang nakal wataknya itu mengejek, membuat banyak orang tertawa.

Cia Hui Gan berpaling kepada Lee Giok dan melihat sinar mata muridnya penuh cahaya kemarahan. "Lee Giok, ilmu pedangnya sih tidak seberapa, tapi kau hati-hatilah terhadap sulingnya."

"Teecu tak akan mengecewakan Suhu," jawab Lee Giok sambil memutar pedangnya.

Giam Kin tertawa lagi dan segera kedua orang ini bertempur dengan seru. Akan tetapi segera ternyata bahwa Lee Giok bukanlah lawan Giam Kin. Sebentar saja ia sudah amat terdesak. Baiknya Giam Kin adalah seorang pemuda mata keranjang, melihat kecantikan Lee Giok, tentu saja hatinya tidak tega untuk melukai nona ini. Andai kata Lee Giok bukan seorang wanita, tentu dalam belasan jurus saja Giam Kin sudah menjatuhkan tangan keji. Sekarang Giam Kin hanya cengar-cengir sambil menggoda, mengeluarkan kata-kata yang kotor tidak sopan.

"Ehm, begini saja kepandaian Ji-enghiong? Kalau kau benar-benar seorang nyonya Liong yang tua dan buruk, tentu pedangku sudah akan menebas lehermu. Tapi kau... hemmm, sayang kalau terluka lecet kulitmu. Kalau aku menjadi Raja Pedang, kau akan kujadikan selir Raja Pedang, maukah? Heh-heh-heh!"

"Si keparat bermulut kotor!" tiba-tiba saja dari pihak Hoa-san-pai melompat keluar seorang pemuda yang bukan lain adalah Thio Ki adanya.

Pemuda yang patah hati karena cinta kasihnya tidak terbalas oleh Kwa Hong ini, sejak melihat kemunculan Lee Giok di Hoa-san dahulu, sudah sangat tertarik oleh gadis ini. Menyaksikan kegagahan Lee Giok, apa lagi sesudah mendengar bahwa Lee Giok adalah ‘Ji-enghiong’, sekaligus timbul kagum dan sukanya. Malah kenyataan bahwa Lee Giok dengan berterang mengaku cinta kepada Kwee Sin, tidak mengurangi rasa sukanya.

Sekarang melihat gadis ini dipermainkan Giam Kin, hatinya menjadi panas dan tak dapat menahan kesabarannya pula. Dengan pedang di tangan dia menyerbu dan langsung menyerang Giam Kin dengan serangan maut.

Pada saat itu, Giam Kin sedang mendesak Lee Giok dan telah mengirim tusukan yang ditujukan untuk merobek pakaian sebelah atas gadis itu. Lee Giok sudah terkejut sekali dan maklum bahwa dia akan menderita malu yang bukan main besarnya andai kata serangan ini berhasil dan bajunya akan terobek ujung pedang. Maka ia merasa berterima kasih ketika tiba-tiba Thio Ki melompat dan menyerang Giam Kin sehingga pemuda muka pucat ini terpaksa menarik kembali serangannya dan dengan marah menghajar Thio Ki dengan sebuah tendangan kilat.

Kepandaian Thio Ki masih kalah jauh oleh Giam Kin, akibatnya tendangan itu langsung merobohkannya. Akan tetapi dengan nekad Thio Ki bangkit kembali, kemudian dengan kaki terpincang-pincang dia menerjang lagi, tidak memberi kesempatan kepada Giam Kin untuk mendesak Lee Giok.

"Thio Ki, kau mundur!" Dari tempat duduknya Lian Bu Tojin menegur muridnya.

"Li Cu, kau hadapi manusia sombong itu!" Cia Hui Gan memerintah puterinya.

"Orang she Giam! Biar pun kau sudah mengalahkan Enci Lee Giok, jangan kira kau boleh bersombong dan sudah menjadi Raja Pedang. Lihat pedangku!"

Cia Li Cu menggerakkan sebatang pedang yang ia pinjam dari pelayannya. Gerakannya cepat sehingga sinar pedangnya menyilaukan mata.

Giam Kin cepat melompat mundur dan memutar senjatanya pula. Hatinya berdebar-debar tidak karuan menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari lawan barunya.

Sementara itu, Thio Ki dan Le Giok mundur keluar dari kalangan pertempuran.

"Thio-enghiong, terima kasih atas pertolonganmu," kata Lee Giok sambil menjura.

"Ahh, tidak apa, Nona. Untuk membantumu yang gagah dan mulia, biar berkorban nyawa, aku Thio Ki akan rela!”

Ucapan yang sifatnya terang-terangan menyatakan cinta ini membuat Lee Giok menjadi merah wajahnya. Dia cepat-cepat mundur ke dekat suhu-nya, dan Thio Ki juga mundur ke rombongannya sendiri.

Pertempuran kali ini hebat sekali. Meski Giam Kin adalah murid utama dari Siauw-ong-kwi dan kepandaiannya pun tinggi, namun menghadapi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dari Li Cu, dia repot bukan main. Sudah kalah murni ilmu pedangnya, ditambah lagi kecantikan lawan membuat dia kacau pikirannya.

Dalam jurus ke lima puluh, sulingnya kena dibabat putus dan lengan kanannya tergores pedang. Tanpa malu-malu lagi Giam Kin melompat mundur dan lari mendekati gurunya. Sorak-sorai menyambut kemenangan nona rumah ini.

Siauw-ong-kwi menjadi pucat mukanya. Dia telah berdiri hendak maju sendiri menghadapi Cia Hui Gan untuk menebus kekalahan muridnya. Akan tetapi pada waktu itu berkelebat sesosok bayangan merah dan Bi Goat, si gadis gagu, sudah berdiri di hadapan Li Cu dengan pedang di tangan!

Semua penonton tertegun menyaksikan dua orang nona yang sama-sama berpakaian merah dan keduanya cantik jelita ini.

”Bagus, sekarang baru ramai!" Toat-beng Yok-mo bertepuk-tepuk dan bersorak gembira sambil melangkah maju untuk mencari tempat duduk lebih dekat supaya enak menonton.

la sudah sering kali menghadapi ilmu pedang Bi Goat dan merasa ngeri karena kehebatan Yang-sin Kiam-sut dan sekarang melihat Bi Goat hendak bertanding melawan Cia Li Cu, dia merasa gembira sekali.

Cia Li Cu tersenyum dan bukan main manis wajahnya ketika ia tersenyum. "Eh, adik gagu, apakah kau juga hendak merebut gelar Raja Pedang?"

Bi Goat yang mengerti kata-kata orang, menggelengkan kepalanya, hanya menudingkan pedangnya ke arah Toat-beng Yok-mo yang seketika menjadi pucat.

Kembali Cia Li Cu tersenyum. "Ahh, jadi kau penasaran karena Yok-mo itu? Dengarlah, adik yang manis. Apa bila sudah selesai pertemuan ini, kau boleh saja mengejar dia dan boleh kau bacok putus lehernya, mana sudi aku ikut campur? Tapi sekarang karena dia seorang tamu, kau tidak boleh mengganggunya." Di dalam hatinya Li Cu amat suka dan kasihan kepada Bi Goat, maka bicaranya manis.

"Bi Goat, lekas serang, jangan bikin malu orang tua," terdengar Song-bun-kwi berkata.

Kagetlah banyak orang mendengar ini. Baru mereka tahu bahwa gadis cantik yang gagu ini kalau bukan anak tentulah murid Song-bun-kwi. Gembira hati mereka karena sebagai murid Song-bun-kwi yang sudah mereka ketahui kesaktiannya, gadis gagu itu tentu lihai sekali dan pertandingan ini tentu akan hebat.

Tetapi siapa sangka, begitu Bi Goat menggerakkan pedangnya menyerang dan ditangkis Li Cu, terdengar suara nyaring dan pedang Li Cu patah menjadi dua! Banyak orang menahan napas karena kalau dalam pertandingan ilmu pedang sampai ada pedang yang terpatahkan, maka orang itu boleh dianggap kalah.

Wajah Li Cu agak pucat dan terdengar jerit tertahan dari para pelayannya. Akan tetapi Bi Goat sama sekali tidak menyerang lagi. Gadis gagu ini dengan wajah tenang memberi isyarat dengan tangannya agar supaya Li Cu mempergunakan pedang baru. Merah wajah Li Cu karena malu, akan tetapi diam-diam ia memuji kehalusan budi lawannya.

Sekarang dia maklum bahwa lawannya menggunakan pedang pusaka yang ampuh dan kuat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan tangan kanannya. Sinar menyilaukan berkelebat pada waktu pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut dari sarungnya. Yang panjang masih tinggal di dalam sarung.

Semua orang kaget dan kagum sekali, terdengar golongan tua berbisik, "Inikah Liong-cu Siang-kiam?"

"Bi Goat, hati-hatilah dan jangan sampai beradu pedang!" Song-bun-kwi berseru kepada anaknya.

Akan tetapi mana Bi Goat mau percaya bahwa pedangnya akan kalah oleh pedang lawan? Dia sudah menyerang lagi dan dua orang gadis berbaju merah ini sebentar saja sudah bertanding hebat.

Makin lama gerakan mereka semakin cepat sampai tubuh mereka lenyap tergulung dua sinar pedang. Yang nampak hanya dua bayangan merah terbungkus oleh dua gulungan sinar pedang yang keemasan dan keperakan, segulung putih berkilau, yang lain kuning emas.

Semua tamu menahan napas, kagum sekali menyaksikan dua ilmu pedang yang hebat ini. Juga Cia Hui Gan menahan napas. Makin lama dia makin terheran, kemudian berseru.

"Song-bun-kwi, apakah ini Yang-sin Kiam-sut yang berhasil kau dapatkan itu?"

Song-bun-kwi merah mukanya, lalu dia menjawab. "Yang-sin Kiam-sut apa? Masih belum dapat menangkan Sian-li Kiam-sut punyamu!"

"Trang! Tranggg!"

Pertempuran terhenti, Bi Goat meloncat mundur dengan muka pucat. Pedangnya sudah patah! Li Cu menahan pedangnya, nampak bangga lalu berkata.

"Adik gagu, kau ambillah lain pedang."

Song-bun-kwi marah sekali kepada Bi Goat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia telah mengambil pedang dari pinggang seorang tamu tanpa si tamu mengetahuinya! Pedang ini sudah melayang ke arah Bi Goat disertai seruannya. "Pakailah ini!"

Semua orang kaget. Pedang telanjang itu meluncur seperti anak panah dan seakan-akan hendak menembus dada gadis gagu berpakaian merah itu. Akan tetapi dengan mudah Bi Goat menekuk lututnya dan menyambar pedang dari bawah dengan kedua tangan.

Kembali mereka bertempur, tapi hanya dalam tiga jurus pedang ini pun patah menjadi tiga potong! Kembali Song-bun-kwi ‘mencopet’ pedang yang dilemparkan kepada Bi Goat. Patah lagi. Berkali-kali Bi Goat berganti pedang dengan paksaan ayahnya, tapi mana ada pedang yang dapat menahan pedang Liong-cu-kiam? Pertandingan itu tidak menarik lagi, lebih berupa demonstrasi ketajaman pedang Liong-cu-kiam.

"Bi Goat belum kalah!" Song-bun-kwi membentak pada saat terdengar suara para tamu supaya pertandingan itu disudahi saja dan gadis gagu dinyatakan kalah. "Pedangnya patah bukan karena dalam ilmu pedang, melainkan karena pedangnya kalah baik. Kalau dia sudah roboh mandi darah, barulah boleh disebut kalah. Bi Goat, serang lagi, biar dengan gagang pedang atau kepala!"

Bi Goat memang sudah merasa malu sekali karena berkali-kali pedangnya dipatahkan. Sekarang mendengar suara ayahnya, ia pun menjadi nekat dan menubruk maju dengan pedang sepotong!

Li Cu kaget sekali, tidak mengira bahwa gadis gagu yang gagah ini akan berlaku nekat. Kepandaiannya memang tidak terlalu jauh selisihnya, maka menghadapi serangan nekat ini ia tentu akan celaka kalau tidak mendahului. Liong-cu-kiam di tangannya bergerak naik turun dan ia sudah mematahkan lagi pedang Bi Goat yang tinggal sepotong lalu ditambah dengan serangan balasan.

Bagai anak panah Liong-cu-kiam meluncur deras ke arah tenggorokan Bi Goat. Baiknya sebelumnya telah timbul perasaan suka dan kasihan dalam hati Li Cu, maka gadis ini pun memaksa diri menurunkan tusukannya mengarah pundak. Para tamu menahan napas, bahkan Song-bun-kwi sendiri mengepal tinjunya melihat puterinya terancam bahaya.

"Plakkk!"

Pedang di tangan Li Cu tergetar dan gadis ini sendiri terhuyung mundur dua langkah dengan wajah pucat. Pedangnya tadi telah kena dihantam oleh sebuah benda hitam kecil yang membuat tangannya gemetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan.

"Song-bun-kwi, jangan main gila!" Cia Hui Gan membentak marah, mengira bahwa tentu Song-bun-kwi yang menolong gadis gagu dan mengirim serangan gelap kepada Li Cu.

"Cia Hui Gan, jangan sembarangan menuduh!" Song-bun-kwi balas membentak marah.

Dua orang tua itu sudah berdiri dan saling pandang dengan mata menantang dan saling mengancam. Keadaan menjadi tegang. Akan tetapi tiba-tiba banyak orang berseru kaget dan heran. Semua perhatian sekarang ditujukan kepada bayangan seorang laki-laki yang baru saja naik ke tempat itu dengan langkah limbung.

Laki-laki ini masih seorang pemuda, namun keadaannya mengerikan sekali. Rambutnya awut-awutan, mukanya berwarna hijau bagaikan orang terserang racun hebat, matanya merah, mukanya luka-luka berdarah, pakaiannya kusut tidak karuan.

Selagi semua orang terheran-heran, mereka dibikin lebih heran dan kaget ketika melihat Bi Goat mengeluarkan suara "uh-uh" kemudian gadis gagu yang cantik jelita ini berlari menyambut orang itu, terus dipeluknya sambil menangis!

Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo segera mengenal orang ini, bahkan yang lain-lain pun akhirnya mengenalnya pula. Orang itu bukan lain adalah Beng San!

Memang dia Beng San. Pemuda ini hampir menjadi gila semenjak terjadi peristiwa antara dia dan Kwa Hong di dalam benteng tentara kerajaan. Sekarang, bertemu dengan Bi Goat yang amat mencintanya sehingga tanpa ragu-ragu menunjukkan cinta kasihnya di tempat ramai seperti itu, hatinya semakin perih seperti ditusuk-tusuk, merasa berdosa.

Dengan halus dia membelai rambut gadis gagu itu, lalu berkata perlahan dan mendorong Bi Goat ke samping, "Bi Goat, kau mengasolah..."

Kemudian dengan sekali melompat dia telah berdiri menghadapi Li Cu yang memandang dengan wajah pucat.

"Kau... kau pencuri pedang! Kembalikan Liong-cu Siang-kiam kepadaku!" kata Beng San, matanya yang merah memandang tajam seakan-akan hendak menusuk dada gadis cantik itu dengan pandang matanya.

Li Cu yang tadinya merasa ngeri, sekarang berbalik marah ketika mendengar dia dimaki pencuri. Dia tidak mengenal lagi pemuda yang hanya satu kali ia lihat dahulu di puncak Hoa-san-pai sebagai seorang sastrawan lemah yang berani mati mencampuri urusan Hoa-san-pai dengan Kun-lun-pai.

"Keparat, kau barang kali sudah gila. Pergi!" Li Cu mengancam dengan pedangnya.

Namun sekali melangkah maju Beng San mengulur tangan hendak merampas pedang itu. Hampir saja pedangnya kena dirampas kalau Li Cu tidak segera cepat menarik kembali pedangnya. Ia kaget. Gerakan orang ini cepat dan tidak terduga sekali. Teringat ia akan sambitan gelap tadi.

"Kaukah penjahat yang menyambit pedangku tadi?"

Beng San mengangguk. "Tidak boleh kau melukai Bi Goat. Dan pedang-pedang itu, dia milikku, kembalikan sekarang juga. Aku segan mempergunakan kekerasan terhadapmu." Ucapan ini keras sehingga terdengar semua orang.

Orang yang belum mengenalnya tertawa geli, menyangka bahwa dia betul-betul seorang gila. Akan tetapi Beng San tidak peduli dan melangkah lagi. Kini Li Cu tidak ragu-ragu. Tentu orang ini berilmu tinggi, maka tidak memalukan kalau kuserang dia.

"Banggat, kau mencari mati sendiri. Lihat pedang!" Pedangnya langsung menusuk seperti kilat menyambar.

Bi Goat kebingungan dan memandang pucat. Akan tetapi sedikit miringkan tubuhnya saja Beng San berhasil mengelak. Li Cu penasaran dan mengirim serangan berantai. Namun, tujuh kali sambaran pedangnya, selalu mengenai tempat kosong seakan-akan pemuda ini sudah tahu ke mana pedang hendak menyerang.

Ia makin penasaran dan hendak menyerang mati-matian akan tetapi tiba-tiba Cia Hui Gan melompat datang.

"Saudara muda, kau siapakah dan apa sebabnya kau mendakwa anakku mencuri pedang Liong-cu Siang-kiam darimu?" tanyanya.

Beng San mengangkat muka memandang. Cia Hui Gan adalah seorang pendekar besar, akan tetapi dia bergidik ketika melihat muka yang bersinar kehijauan ini. Diam-diam dia kaget, karena orang yang bermuka seperti ini hanyalah orang keracunan atau orang yang memiliki Iweekang yang sudah mencapai dasar tenaga Im. Melihat seorang tua gagah, Beng San segera memberi hormat.

"Agaknya aku berhadapan dengan Raja Pedang Cia Hui Gan. Ketahuilah, anakmu ini telah menyamar sebagai aku dan menipu mendiang guruku sehingga Liong-cu Siang-kiam diberikan kepadanya. Sebelum mati guruku berpesan kepadaku supaya aku mencari pencuri pedang itu. Apa bila sudah bertemu, kalau laki-laki harus kubunuh dan kalau... hemmm..." Beng San dalam gugupnya tak dapat bicara lagi, dia merasa diri bodoh sekali dan menyesal setengah mati mengapa dia menceritakan hal ini.

"Dan kalau perempuan bagaimana...?" Cia Hui Gan mendesak, mata pendekar pedang bersinar-sinar.

Sekarang baru tampak olehnya wajah Beng San yang asli, wajah seorang pemuda yang tampan dan jujur, membayangkan kehalusan budi. Seketika sinar kehijauan yang meliputi wajahnya lenyap berubah putih segar seperti biasa, kemudian berubah merah sekali sampai hitam. Kembali Cia Hui Gan kaget setengah mati. Inilah wajah seorang yang memiliki Iweekang yang sudah mencapai dasar tenaga Yang!

"Kalau wanita..." kata Beng San "menurut mendiang suhu harus menjadi..., ehh, menjadi isteriku..."

"Ha-ha-ha-ha-ha... lucu betul si maling Lo-tong Souw Lee...," kata Cia Hui Gan.

Beng San merasa lengannya dipegang orang erat sekali. la menoleh dan ternyata yang memegang lengannya adalah Bi Goat yang memandang dengan air mata berlinang. Ia menepuk-nepuk tangan Bi Goat, lalu berkata cepat-cepat.

"Cia-enghiong, meski mendiang suhu memesan demikian, aku... aku tak akan mengambil isteri puterimu... ehh, tidak siapa pun juga, ehhh... aku hanya ingin mengambil kembali Liong-cu Siang-kiam..." la menoleh lagi lalu mendorong pergi Bi Goat.

Gadis ini tersenyum dan segera mengundurkan diri. Pertunjukan romantis ini ditonton oleh semua orang dan di sana-sini orang tertawa, ada juga yang terharu. Jelas sekali terlihat bahwa antara pemuda yang mukanya berubah-ubah seperti bunglon dan gadis yang gagu terdapat jalinan kasih sayang yang amat besar.

Sekarang Cia Hui Gan menoleh kepada puterinya, suaranya kereng ketika bertanya. "Li Cu, kau bilang berhasil merampas kembali Liong-cu Siang-kiam. Bagaimana sekarang pemuda ini menuduhmu menipu?"

Li Cu melangkah maju dan membentak Beng San, "Orang gila, kau berani menuduhku. Siapa namamu?"

"Aku... namaku Beng San..." Pemuda ini gugup juga menghadapi nona cantik jelita seperti bidadari yang marah itu.


Seketika wajah Li Cu berubah merah "Ayah... aku... aku bertemu Lo-tong Souw Lee. Dia... dia mengira aku... aku muridnya yang bernama Beng San. Karena pada waktu itu aku berpakaian sebagai pria dan dia... dia buta, dia lihai dan aku... aku khawatir tidak akan berhasil merampas maka aku membiarkan saja dia menyangka bahwa aku muridnya, dan dia memberikan pedang kepadaku...”

"Hemmm, kau memalukan!" bentak Cia Hui Gan, kemudian jago pedang ini berpaling kepada Beng San. "Beng San, kau dengar sendiri. Anakku sudah mengaku, memang licik perbuatannya. Akan tetapi kau hanya tahu satu tetapi tidak tahu dua. Pedang Liong-cu Siang-kiam sebetulnya adalah hakku, karena pedang itu dahulu ratusan tahun yang lalu adalah milik sucouw kami, Ang I Niocu. Setelah terjatuh dalam tangan kaisar, lalu dicuri oleh Lo-tong Souw Lee. Kalau sekarang kami kembali merampas dari dia, bukankah itu sudah sewajarnya?"

"Tidak bisa! Suhu mengambilnya dengan kepandaian, puterimu mengambilnya dengan tipu daya. Dan aku sudah bersumpah di depan suhu..."

"Hemmm, kau boleh sekarang merampasnya kembali kalau kau ada kepandaian!" tantang Li Cu.

"Baik, kau jagalah!"

Beng San menubruk maju, sekaligus kedua tangannya bergerak, yang kiri menotok leher yang kanan merampas pedang. Cia Hui Gan melompat mundur membiarkan anaknya menghadapi Beng San.

Gadis itu marah sekali dan memutar pedang membabat tangan Beng San. Akan tetapi gerakan Beng San ini hanya gerak tipu belaka, tahu-tahu pemuda ini sudah menyelinap ke belakang tubuh Li Cu. Sekali dia menggerakkan tangan, pedang Liong-cu Siang-kiam yang panjang dan yang tadinya tergantung di punggung gadis itu sudah kena dia rampas!

Pucat wajah Li Cu. "Keparat, hari ini juga aku Cia Li Cu hendak bertanding mati-matian denganmu!"

Pedang pendeknya diputar cepat, merupakan segulungan sinar keemasan menerjang diri Beng San. Beng San juga menggerakkan pedangnya dan dua pedang bertemu sehingga mengeluarkan bunga api menyilaukan mata.

Di saat berikutnya dua orang muda ini sudah bertanding seru.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar