Raja Pedang Chapter 30

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Tentu saja gerakan ini terlampau jelas bagi Beng San dan sekiranya mau, pemuda ini dengan mudah akan dapat mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia sengaja diam saja, membiarkan hiat-to (jalan darah) di tubuhnya tertotok. la mengeluh dan roboh lemas.

"Perempuan keji, kau apakan San-ko?" Kwa Hong membentak marah sekali dan gadis ini melangkah maju.

Akan tetapi Thio Eng sudah mencabut pedangnya yang tadi dia dapatkan di dalam kamar, dengan sikap menantang ia berdiri menghadapi Kwa Hong dan berkata dingin.

"Kau perempuan tak tahu malu! Mestinya tinggal di rumah mentaati perintah ayah sebagai seorang anak yang berbakti, eh, malah minggat dan mengejar-ngejar laki-laki! Perempuan macam engkau ini patut mampus di ujung pedangku!"

"Keparat!" Kwa Hong juga mencabut pedangnya yang tadi sudah dapat ia ketemukan di sudut ruangan itu. "Peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kau-kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau cemburu! Ya, kau cemburu dan iri hati melihat kami saling mencinta. Cih, tak tahu malu!"

"Tutup mulutmu!" Thio Eng makin marah, mukanya sebentar merah sebentar pucat.

"Laki-laki tak berbudi semacam ini, siapa menaruh hati? Mulutnya terlalu manis, satu hari mencinta gadis, lain hari mencinta lain orang gadis. Seperti engkau, dia pun juga harus mampus!"

Kwa Hong pucat mukanya dan mengerling ke arah Beng San. Mungkinkah Beng San juga pernah menyatakan cinta kasih kepada gadis ini? Akan tetapi hatinya sudah terlampau panas, sepanas hati Thio Eng.

Tanpa dapat dicegah lagi dua orang gadis ini sudah saling terjang, bertanding pedang dengan hebatnya seperti dua ekor harimau betina memperebutkan seekor kelinci!

“Trang-tring-trang-tring…!” bunyi pedang mereka dan bunga api berkilat di dalam ruangan yang sunyi itu.

Thio Eng adalah murid tunggal Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, kepandaiannya tentu saja hebat. Kwa Hong adalah cucu murid Lian Bu Tojin yang sudah menerima latihan langsung dari ketua Hoa-san-pai ini sendiri, maka ilmu pedangnya juga tak boleh dipandang ringan.

Betapa pun juga, menghadapi Thio Eng, ia menemukan lawan terlalu berat dan segera ia mendapat kenyataan bahwa biar pun ilmu pedangnya tak usah mengaku kalah dari ilmu pedang lawannya, namun dalam hal tenaga Iweekang ia toh kalah banyak. Setiap kali dua pedang bertemu, tangannya tergetar dan makin lama ia semakin terdesak oleh gadis baju hijau itu.

Beng San merasa batinnya tersiksa bukan main menyaksikan pertempuran ini. Dengan amat terheran-heran dia tadi mendengarkan percakapan antara dua orang gadis itu dan benar-benar dia tak mengerti. Mengapa dua orang gadis yang disukai dan disayanginya ini seperti bertempur karena dia?

Beng San masih terlampau hijau untuk bisa menangkap bahwa sesungguhnya dua orang gadis ini mencintanya dan sekarang mereka bertanding karena iri hati dan cemburu, atau secara kasarnya, untuk memperebutkan dia. Dalam kekecewaan hatinya bahkan Thio Eng mempunyai nafsu untuk membunuh Kwa Hong dan dia pula.

Dengan penuh kekhawatiran dia melihat betapa Kwa Hong makin terdesak hebat. Setiap saat ujung pedang di tangan Thio Eng mengancam keselamatan nyawanya.

"Eng-moi! Hong-moi! Sudahlah, jangan berkelahi!"

Tiba-tiba Thio Eng dan Kwa Hong tergetar mundur ketika pedang mereka saling bertemu dan pada saat itu Beng San sudah berdiri di antara mereka.

Diam-diam Thio Eng merasa kaget sekali. Dia terheran-heran kenapa pemuda itu begitu cepat sudah dapat bebas dari pengaruh totokannya. “Apakah totokanku tadi kurang tepat sehingga pengaruhnya juga kurang lama?” pikirnya.

Tentu saja dia dan Kwa Hong tidak tahu bahwa mereka tadi keduanya mundur tergetar bukan disebabkan pertemuan pedang mereka, melainkan karena getaran hawa dorongan tangan Beng San yang sengaja melerai mereka.

Kiranya dalam kebingungannya tadi, terbayang oleh Beng San ketika Thio Eng di dalam perahu pernah menangis dalam pelukannya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, maka perasaannya membisikkan dugaan yang membuat dia segera melompat dan mencegah perkelahian itu. Memang sejak tadi dia tidak terpengaruh totokan karena begitu tertotok, dia telah menghentikan jalan darahnya dan hanya pura-pura roboh lemas.

"Eng-moi dan Hong-moi, jangan berkelahi...," katanya pula.

"Kau mau bicara apakah? Hayo bicara cepat, atau kau hendak membantu dia ini?" bentak Thio Eng yang sudah tidak sabar lagi

"Bukan, Eng-moi, bukan begitu..."

"Hemmm, San-ko, apakah kau hendak membela siluman hijau ini?" Kwa Hong bertanya dengan suara dingin.

"Tidak, tidak sekali-kali... ahhh...” Beng San menggeleng-gelengkan kepalanya, mukanya merah sekali lalu berganti kehijau-hijauan karena dia merasa marah, menyesal, malu dan bingung.

"Kalian berdua jangan salah paham, aku... aku tidak berat sebelah... aku sayang dan suka kepada Eng-moi, sama seperti aku juga sayang dan suka pada Hong-moi. Aku tidak pilih kasih, kalian berdua kuanggap seperti adikku sendiri, maka jangan... jangan bertempur..."

Seketika pucat wajah Kwa Hong, sepucat wajah Thio Eng.

"San-ko... jadi kau... kau tadi...?" Kwa Hong tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya jatuh berderai.

"Setan, sudah kuduga! Kau palsu! Di perahu dulu itu...? Ah, laki-laki tak berbudi!" Agaknya Thio Eng tidak sesabar Kwa Hong karena segera ia menggerakkan pedangnya menusuk dada Beng San.

Akan tetapi kali ini Beng San tidak berpura-pura lagi, cepat dia mengelak sambil berkata. ”Di perahu aku berbuat apa? Eng-moi, aku hanya kasihan dan suka kepadamu, juga aku suka dan sayang pada Hong-moi, tapi keduanya kuanggap seperti dua orang teman baik, atau sebagai adik-adikku yang akan kubela, bu... bukan... sebagai kekasih..."

"Ah, kau mempermainkan aku..." Kwa Hong menjadi malu sekali kalau ia ingat betapa tadi ia telah menyatakan cinta kasihnya begitu terus terang, tidak hanya didengar oleh Beng San, malah juga oleh Thio Eng. Pikiran ini membuat ia marah bukan main dan otomatis pedangnya juga digerakkan menyerang Beng San.

Dua orang gadis yang dikecewakan hatinya itu kini hanya mempunyai satu kandungan hati, yaitu membunuh laki-laki yang mereka cinta dan yang kini mereka benci karena tidak membalas cinta kasih mereka. Dua pedang yang tadinya saling gempur itu kini saling bantu untuk berlomba dalam merenggut nyawa Beng San.

Aduh, Beng San bergidik. Benar-benar berbahaya permainan cinta. Cinta kasih dua orang dara ini sama bahayanya dengan dua ujung pedang mereka. Ia terpaksa mengeluarkan kepandaiannya, sekali tangannya bergerak dia telah dapat merampas dua pedang itu dari tangan Thio Eng dan Kwa Hong.

Kedua orang gadis itu seketika melongo karena tidak tahu bagaimana caranya tahu-tahu pedang mereka sudah terampas dan kini Beng San dengan muka sedih mengembalikan pedang mereka, mengangsurkan dengan gagang pedang di depan. Kwa Hong dan Thio Eng seperti mendapat komando lalu merenggut pedang masing-masing dari kedua tangan Beng San dan otomatis kedua pedang mereka sudah menyerang lagi!

Tapi kembali dengan gerakan aneh, tahu-tahu pedang mereka sudah berpindah tangan. Lagi-lagi Beng San mengangsurkan pedang itu terbalik sambil berkata,

"Adik-adikku yang baik, kasihanilah aku. Aku benar-benar sayang kepada kalian."

Mendadak dua orang gadis itu bercucuran air mata.

"San-ko... kiranya kau... kau tidak hanya mempermainkan cinta orang... tetapi juga telah mempermainkan orang dengan berpura-pura tolol dan bodoh..." Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Kwa Hong membalikkan tubuh dan lari pergi.

"Orang she Tan... jadi kau... sejak di perahu dulu... kau sudah mempermainkan aku? Ah, alangkah kejamnya kau..." Sambil menangis Thio Eng juga berlari pergi dari situ dengan terhuyuhg-huyung dan lemas.

Tinggal Beng San yang berdiri melongo, memandangi dua pedang di kedua tangannya, berulang-ulang menarik napas panjang dan menjadi bingung. Apakah artinya itu semua? Benarkah dua orang gadis itu mencintanya? Ah, tak mungkin rasanya. Mencinta dia, cinta sebagai seorang kekasih yang mengharapkan dia menjadi suami mereka?

Aneh! Dengan kedua pedang masih dipegangnya, segera terbayanglah wajah gadis gagu, tersenyum-senyum kepadanya dengan wajah diliputi kesayuan. Kemudian terngiang pula di telinganya pesan mendiang Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mengawini perampas Liong-cu Siang-kiam kalau pencurinya itu wanita. Maka terbayang pula wajah puteri Cia yang cantik jelita, gadis yang luar biasa ilmu pedangnya itu.

Hatinya terasa perih kalau teringat kepada dua orang gadis tadi. Akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Mereka cinta kepadanya, itu bukanlah kesalahannya. Tak mungkin dia mengimbangi cinta kasih setiap orang gadis. Dan memang sesungguhnya hatinya masih bersih dari perasaaan ini. Agaknya hanya kepada gadis gagu itulah dia dapat mencinta, atau... kepada puteri pencuri pedangkah?

"Setan!" Beng San memaki diri sendiri mengusir bayangan semua gadis itu.

Sepasang pedang rampasannya dia simpan, dijadikan satu dan disembunyikan di balik jubahnya. "Tak mungkin aku memikirkan gadis-gadis itu, paling perlu sekarang aku pergi mencari kakakku di kota raja."

Makin diingat semakin yakinlah hatinya bahwa pemuda she Tan yang dahulu datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Souw Kian Bi itu tentulah Tan Beng Kui, kakaknya. Masih ingat betul dia akan muka kakaknya itu. Hanya satu hal yang amat meragukan. Andai kata benar pemuda itu kakaknya, bagaimana dia bisa menjadi seorang yang kedudukannya begitu tinggi dan menjadi sahabat si Pangeran Mongol. la harus menemui Tan Beng Kui atau pemuda itu dan bicara secara terang-terangan.

Dengan cepat Beng San lalu kembali ke kota raja, berusaha sekuat hatinya untuk dapat melupakan peristiwa yang dia alami dengan Kwa Hong dan Thio Eng. Setibanya di kota raja, dia mendengar berita yang amat mengejutkan hatinya.

la sengaja bermalam di rumah penginapan di mana dulu dia mengintai lima orang gagah itu, dan mendengar berita bahwa empat orang kakek gagah itu, ialah Kim-mouw-sai Lim Seng jago Kwi-bun, Kang-jiu Bouw Hin jago Bi-nam murid Siauw-lim-pai dan dua orang kakek Phang pejuang dari Hun-lam, telah tewas semua dikeroyok prajurit-prajurit kerajaan yang dipimpin oleh Tan-ciangkun (Panglima Tan)!

Jadi kakaknya sendiri yang telah memimpin barisan serta membunuh empat orang tokoh pejuang gagah perkasa! Sebetulnya apakah yang terjadi di situ?

Seperti telah diketahui di bagian depan, Phang Khai dan Phang Tui dua orang kakek itu, gagal menangkap Kwee Sin. Bahkan mereka sendiri hampir celaka kalau tidak tertolong oleh penolong rahasia. Setelah mereka sadar dan mendapatkan diri mereka berada di halaman kelenteng di mana mereka bermalam, keduanya menjadi sangat terheran-heran dan juga marah terhadap seseorang yang mereka anggap telah mengkhianati mereka.

Pada malam ketiga, seperti sudah dijanjikan, mereka mengunjungi rumah penginapan itu dan mengadakan pertemuan dengan Kang-jiu Bouw Hin, Kim-mouw-sai Lim Seng, serta nyonya Liong yang jadi perantara dan orang kepercayaan Ji-enghiong dan Si-enghiong, yaitu dua orang tokoh perjuangan yang menjadi pemimpin-pemimpin dari gerakan rahasia atau jelasnya menjadi kepala jaringan mata-mata yang bergerak di dalam kota raja!

Bouw Hin dan Lim Seng sudah hadir di situ lebih dulu. Nyonya Liong belum juga datang. Terhadap Bouw Hin dan Lim Seng, kedua orang kakek Phang tidak mau menceritakan pengalaman mereka di gedung Kwee Sin.

Akhirnya datang juga nyonya Liong yang kelihatan gelisah dan berduka. Semua ini tidak terlepas dari pandang mata dua kakek Phang yang penuh selidik. Mereka melihat betapa mata yang bening itu sekarang nampak sayu dan ada bekas-bekas air mata.

Begitu memasuki kamar itu, nyonya Liong segera memberikan pesannya dengan suara perlahan dan tergesa-gesa.

"Kalian lekas pergi dari sini, keadaan berbahaya. Saudara Bouw Hin dan Lim Seng harap segera berangkat ke tempat markas para pendekar yang dipimpin oleh saudara Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang. Katakan bahwa Ji-enghiong sendiri yang memesan agar mereka memutar pasukan ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan besar Panglima Kok Ci Seng, dan ji-wi Saudara Phang-lopek harap segera mencari pasukan saudara Tan Hok dan minta pasukannya membantu teman-teman di barat yang mengalami pukulan hebat. Harap kalian cepat-cepat pergi dan jalankan tugas dengan baik, keadaan amat gawat di sini." Sambil berkata demikian, nyonya itu memandang kepada dua orang saudara Phang itu dengan sinar mata menyesal.

Phang Tui yang tidak sabar lalu berkata, "Tentu saja semua tugas itu kami terima dengan baik dan akan kami jalankan seperti biasa. Akan tetapi ada satu hal yang kami minta supaya nona Lee bicara terus terang dan memberi penjelasan yang sewajarnya."

Mendengar Phang Tui menyebutnya nona Lee, ‘nenek’ itu mengeluarkan suara tertahan. "Phang-lopek, apa... apa maksudmu...?"

Dalam kegugupannya, nenek ini lupa akan penyamarannya. Suaranya tidak parau seperti biasanya melainkan merdu dan halus, suara seorang wanita muda!

Kini Phang Khai berdiri di samping adiknya, suaranya terdengar kereng penuh tuntutan. "Nona Lee, tak usah kau berpura-pura lagi, kami sudah tahu bahwa kau adalah seorang nona muda yang menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi dan Tan-ciangkun. Semua itu tidak apa dan kami takkan peduli karena kenyataannya kau bekerja untuk perjuangan kita. Akan tetapi apa artinya pengkhianatanmu kepada kami dan memberi tahu kepada Kwee Sin akan ancaman kami hendak menangkapnya? Katakanlah, apa artinya semua ini? Siapa sebenarnya engkau ini? Seorang teman pejuang ataukah seorang pengkhianat, ataukah seorang mata-mata musuh?" Suara Phang Khai lerdengar penuh ancaman.

Tubuh ‘nenek’ itu gemetar. "Phang-lopek, ahhh... tiada kesempatan lagi. Terlalu panjang untuk diceritakan, juga rahasia... ahhh, kalian percayalah kepadaku. Pergilah cepat-cepat meninggalkan kota raja, aku tidak sempat bercerita... entah lain kali, sudahlah, pergilah kalian...”

"Kau harus terangkan lebih dulu!" Phang Tui membentak.

Sedangkan dua orang lain, yaitu Bouw Hin dan Lim Seng, hanya memandang dengan heran. Mereka belum tahu apa yang telah terjadi dan melihat sikap dua orang saudara Phang itu, timbul pula kecurigaan mereka terhadap nyonya Liong yang sekarang jelas adalah seorang nona muda she Lee adanya.

"Tidak...tidak bisa, tak sempat lagi..."

"Kalau begitu, kami akan memaksamu!" Phang Tui dan Phang Khai bergerak dan siap menghadapi ‘nenek’ itu dengan pedang di tangan.

Pada saat itu terdengar suara gerakan orang di luar dan terdengarlah bentakan keras, "Tangkap mata-mata pemberontak!" Sinar senjata rahasia melayang masuk kamar dan terdengar suara keras disusul padamnya lampu penerangan.

Phang Khai, Phang Tui, Bouw Hin dan Lim Seng cepat mencabut senjata dan menerjang keluar. Akan tetapi mereka disambut oleh gerakan pedang yang amat cepat, dihujani pula dengan senjata-senjata rahasia. Karena keadaan amat gelap, maka mereka repot sekali dan beberapa buah senjata rahasia telah mengenai tubuh mereka.

“Tan Ciangkun, kau sudah ada di sini? Ha-ha-ha, ternyata kau lebih cepat dari pada aku. Bunuh semua mata-mata ini! Ha-ha-ha, tikus-tikus ini belum kenal kelihaian Pangeran Souw Kian Bi!" Orang yang bicara ini mainkan pedangnya dengan hebat sekali.

Empat orang pejuang itu biar pun sudah mempertahankan diri, namun mereka tidak kuat menghadapi desakan dua pedang dan hujan senjata rahasia itu. Dalam beberapa jurus kemudian mereka roboh, terluka parah oleh pedang dan senjata rahasia. Di dalam gelap, Phang Khai dan Phang Tui yang sudah roboh itu mendengar bisikan suara merdu dan halus, suara ‘nenek Liong’.

Demi mendengar bisikan ini, Phang Tui berseru. "Ayaaaaa, celaka..., bodoh benar aku...”

Phang Khai berseru pula. "Aduhhh... kalau begitu aku pantas mampus!"

Penerangan dinyalakan dan ternyata empat orang pejuang itu sudah tewas semua.

Tentu saja Beng San hanya mendengar berita tentang kematian empat orang mata-mata pemberontak di tempat itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa yang membuka rahasia mereka itu adalah seorang tokoh yang amat terkenal di kota raja yaitu Lee-siocia.

Beng San membayangkan wajah nona cantik yang menemui Kwee Sin di malam itu, lalu teringat pula dia akan nyonya Liong. Diam-diam dia berpikir keras, tetapi tidak juga dapat mengerti apa maksudnya semua itu. Pada waktu dia mendengar pula bahwa pemimpin penyerbuan yang akhirnya menewaskan empat orang mata-mata pemberontak itu adalah Tan-ciangkun, diam-diam Beng San menjadi sedih sekali.

"Hemmm, ternyata kakakku telah menjadi kaki tangan Mongol, agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi yang jahat itulah. Celaka sekali, kalau orang-orang Han seperti kakakku dan Kwee Sin menjadi kaki tangan penjajah, seperti ribuan orang lainnya yang dapat dipikat dengan harta dan pangkat, lalu bagaimana rakyat bisa terhindar dari penindasan penjajah? Aku harus mengingatkan Kui-ko," demikian Beng San mengambil keputusan di dalam hatinya.

Malam hari itu juga dia berada di depan rumah gedung besar tempat tinggal Tan-ciangkun yang terjaga kuat oleh prajurit-prajurit tinggi besar. Sengaja Beng San memilih waktu pada malam hari agar dapat bicara dengan bebas, dan memilih waktu tuan rumah telah selesai tugas dan sedang beristirahat. la menduga-duga apakah kakaknya itu sudah berkeluarga dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gedung tempat tinggalnya itu betul-betul megah dan mewah.

Melihat Beng San longak-longok di depan pintu gerbang, seorang penjaga menghampiri dan membentaknya.

Beng San malah melangkah maju menghampiri penjaga itu dan berkata ramah. "Harap kau suka memberi tahukan kepada Tan-ciangkun bahwa adiknya Tan Beng San datang hendak bertemu."

Penjaga itu tertegun, memandang lebih teliti lalu memberi hormat karena dia pun melihat persamaan wajah antara pemuda ini dengan komandannya.

"Silakan Kongcu masuk dan menanti di ruang tamu, saya akan melaporkan kedatangan Kongcu," katanya.

Tidak lama kemudian Beng San dipersilakan masuk dan penjaga itu sendiri pergi keluar. Beng San memasuki ruangan dalam dengan hati berdebar tegang. Dia akan berhadapan dengan Beng Kui, orang yang selama ini selalu dirindukan, yang selalu dia bayangkan dan dia impikan. Kakak kandungnya!

"Ada keperluan apakah kau datang ke sini?" Suara yang angkuh dan dingin, makin seram karena suasana di ruangan itu remang-remang dan dingin, lagi sunyi.

Beng San mengangkat muka. Dihatnya orang yang dianggap kakak kandungnya itu duduk di kursi menghadapi meja besar di ruangan yang kosong, pakaiannya dari sutera warna biru. Matanya bersinar-sinar tajam dan mulutnya menyeringai seperti orang mengejek dan memandang rendah.

Sejenak Beng San tidak dapat berbicara, berdiri tegak di depan meja. Kemudian setelah saling berpandangan, ia berkata, "Kau... bukankah kau kakakku Tan Beng Kui? Bukankah aku ini adik kandungmu? Kui-ko, di mana ayah dan ibu? Apa yang telah terjadi padaku waktu aku kecil.”

Suara Beng San mulai menggetar saking terharunya. Sikap dingin kakaknya tak membuat hatinya kecil, tidak mengusir keharuannya bertemu dengan kakaknya ini.

"Aku tidak memiliki adik seperti kau," jawaban ini terdengar dingin sekali sehingga amat mengagetkan hati Beng San. "Pergilah, kau jangan menggangguku."

Beng San menjadi marah, mukanya berubah merah. "Kenapa kau hendak menyangkal? Kenapa hendak membohong dan merahasiakan? Aku yakin bahwa kau adalah kakakku Beng Kui. Kui-ko, apakah kau sudah lupa? Bukankah di punggungmu ada dua tahi lalat? Apa kau lupa bahwa jidat ayah ada goresan bekas luka dan lupa betapa lemah lembut ibu kita? Kui-ko..."

"Diam!" Beng Kui menggebrak meja sambil bangkit berdiri. Kedua matanya memancarkan api kemarahan. "Andai kata dahulu aku mempunyai seorang adik, maka adikku itu sudah mati hanyut di air bah. Lebih baik mempunyai adik mati dibawa banjir dari pada seorang pengacau yang goblok, seorang yang tolol akan tetapi bersikap pintar sendiri, membiarkan dirinya terseret dalam pemberontakan jahat. Sudahlah, kau pergi dari sini, aku tidak kenal kau!”

"Tapi... tapi, aku..." Beng San tergagap, "... aku ingin mengetahui di mana ayah ibuku..." Hampir dia menangis karena sikap kakaknya ini benar-benar di luar dugaannya. Teringat dia ketika di Hoa-san-pai dahulu kakaknya ini pun membuang ludah ketika melihat dia.

"Sudah mati semua.. mati ditelan Sungai Huang-ho..."

Bercucuran air mata di kedua pipi Beng San yang sekarang menjadi pucat. "Di mana... dikuburnya? Aku... aku ingin menyambangi makam mereka... ingin bersembahyang... ah, ayah ibu…"

Kini suara Beng Kui juga terdengar serak dan menggetar. "Di dekat Kiu-liong-kiauw di Shan-si..."

Mendengar suara kakaknya ini, makin terharulah Beng San. la melangkah maju. "Kui-ko... kakak kandungku... tak maukah kau memelukku...?"


Pada saat itu terdengar suara nyaring penjaga dari luar, "Pangeran Souw datang hendak berkunjung kepada Tan-ciangkun!"

"Pergilah!" kata Beng Kui. "Kau hanya mengacau dan merusak kedudukanku. Aku tidak mau kenal kau lagi. Pergi sekarang, melalui pintu belakang ini, jangan kau datang lagi, kalau nekat, akan kutangkap dan kujatuhi hukuman sebagai pemberontak!"

Seketika menjadi panas hati Beng San. Tidak disangkanya kakak kandungnya sejahat ini moralnya.

"Kau... anjing Mongol, kau sudah membunuh para orang gagah di rumah penginapan dan sekarang kau mengancam hendak membunuh adik kandung sendiri?"

"Tutup mulutmu dan pergilah! Siapa sudi bicara dengan segala macam pemberontak?! Pergi!"

Dengan dada panas seperti hendak dibakar rasanya, Beng San melangkah pergi melalui pintu yang ditunjuk tadi. Begitu keluar, dia tiba di taman belakang dan seorang penjaga sudah siap mengantarnya keluar.

Setelah tiba di tempat gelap, dengan kepandaiannya Beng San menyelinap dan meloncat masuk lagi, langsung dia melayangkan tubuhnya naik ke atas genteng dan di lain saat dia telah mengintai ke dalam ruangan di mana tadi kakaknya menyambut kedatangannya. la melihat Pangeran Souw Kian Bi tertawa-tawa memasuki ruangan itu, disambut dengan penuh kehormatan oleh Tan Beng Kui.

"Ha-ha-ha-ha, Tan-ciangkun, mengapa kau main kucing-kucingan? Bukankah dia itu adik kandungmu yang betul-betul dan yang selama bertahun-tahun ini kau cari-cari?" Pangeran itu tertawa. "Alangkah lucunya kalau kuingat bahwa ketika kecilnya dulu pun aku pernah melihatnya. Ha-ha-ha, adikmu itu tolol akan tetapi berani, sayang... dia mau diperalat oleh pemberontak-pemberontak."

"Hemmm, siapa yang sudi mempunyai adik macam dia? Pangeran, satu kali ini saja aku mengampuni dia karena mengingat keturunan. Akan tetapi jika lain kali dia berani muncul, di dalam hatiku aku sudah menganggap dia seorang anggota pemberontak, bukan adik lagi. Lain kali tanganku sendiri akan menggunakan pedang memenggal lehernya."

"Bagus! Tentu saja aku sudah ketahui semua isi hati dan kesetiaanmu pada pemerintah, Ciangkun. Sekarang marilah kita bicarakan hal penting. Kau tentu tahu bahwa usahaku dengan pasukan melakukan pengejaran atas Kwee-ciangkun yang dilarikan orang-orang Pek-lian-pai tidak berhasil. Tadinya kusangka adikmu yang tolol itu yang berubah lihai dan melarikannya, eh, kiranya dia masih berada di sini. Jadi terang kalau di belakangnya ada tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Maka aku lalu mengerahkan lima orang perwira dan membawa sepasukan yang kuat, dibantu oleh dua cianpwe (orang tua gagah), pergi menyusul ke Hoa-san. Perbuatan kekerasaan menculik Kwee-ciangkun yang telah menjadi perwira ke Hoa-san, cukup dijadikan alasan bahwa Hoa-san-pai hendak membantu pemberontak."

Tan Beng Kui mengangguk-angguk. "Bagus sekali tindakan Pangeran. Akan tetapi kenapa tidak memimpin sendiri atau setidaknya mewakilkan padaku untuk membereskan urusan besar itu."

Souw Kian Bi tertawa bergelak, menyambar cawan arak yang dibawa masuk pelayan lalu diminumnya sekali teguk. "Ha-ha-ha, untuk urusan itu sudah cukup ditangani dua cianpwe itu. Lebih penting sekali adalah urusan di sini, yang terjadi di depan mata kita, Ciangkun."

"Urusan apakah itu?"

"Tan-ciangkun, kita benar-benar sudah dipermainkan oleh musuh. Dari surat-surat yang kudapatkan di tubuh mata-mata pemberontak itu, jelas bahwa kota raja ini penuh dengan jaringan mata-mata yang dipimpin oleh dua orang yang disebut-sebut sebagai Ji-enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-enghiong (Pendekar ke empat). Ternyata kedua orang tokoh mata-mata yang ini sudah berada di sini bertahun-tahun lamanya."

"Aku pun sudah mengetahui tentang surat itu. Akan tetapi apakah surat-surat itu dapat dipercaya? Kenapa tidak disebutkan siapa orangnya dan di mana rumahnya? Pangeran, jangan-jangan surat itu hanyalah siasat untuk membingungkan kita saja."

Pangeran itu menggelengkan kepalanya. "Hemmm, wawasanku tidak sesederhana itu, Ciangkun. Tadinya aku sendiri menganggap demikian, akan tetapi setelah aku renungkan dan kuhubung-hubungkan semua kejadian yang lalu, aku malah hampir yakin bahwa aku tahu siapa adanya Ji-enghiong dan Si-enghiong pemimpin mata-mata itu."

"Bagus sekali kalau begitu. Biar pun baru dugaan, lebih baik kita tangkap dulu orangnya, paksa supaya mengaku. Apa sukarnya?" Tan Beng Kui berkata cepat dengan girang.

"Hemmm, kiranya kau masih belum dapat menduga siapa mereka itu? Benar-benar aku heran kalau kau yang biasanya amat cerdik ini masih tidak dapat menduga siapa adanya Ji-enghiong dan Si-enghiong itu?"

"Dalam hal ini aku harus mengakui kekuranganku, Pangeran. Siapakah dua orang tokoh pemberontak itu? Harap suka memberi tahukan dan biarlah aku akan turun tangan sendiri menangkap mereka."

"Seorang di antaranya adalah Kwee Sin."

"Apa...?!" Wajah Beng Kui berubah sekali dan dia benar-benar terkejut mendengar ini. "Pangeran, harap kau jangan main-main!"

"Tidak, Ciangkun. Dugaanku ini tidak mungkin keliru, seorang di antara mereka itu, entah Ji-enghiong entah Si-enghiong, adalah Kwee Sin. Dan yang seorang lagi, sudah tentu adalah Lee Giok..."

"Tidak mungkin!" Beng Kui sampai melompat dari bangkunya, kemudian dia pun tertawa bergelak. "Sekali ini Souw-taijin benar-benar main-main. Lee-siocia adalah puteri keluarga bangsawan Lee yang sudah terkenal, juga dia telah banyak membantu kita. Mana bisa dia dituduh kepala mata-mata? Ahh, aku mana bisa percaya akan hal ini?"

"Tuduhanku bukan hanya serampangan saja, Tan-ciangkun, akan tetapi juga berdasarkan perhitungan. Selama ini segala rahasia kita bocor sehingga gerakan para pemberontak dapat cepat dan semakin mengancam kedudukan kita. Akan tetapi kejadian kali ini, coba Ciangkun pikir. Kwee Sin lenyap, katakanlah diculik musuh-musuhnya akan tetapi kenapa nona Lee Giok terlihat menyamar sebagai seorang nenek dan mengadakan pertemuan dengan dua orang kakek yang mencoba untuk menculik Kwee Sin, kemudian nona Lee Giok bahkan diam-diam menghilang dari kota raja? Dan menurut penyelidikan, nona Lee Giok mengejar Kwee Sin ke Hoa-san."

"Begitukah? Tetapi, bisa jadi kalau nona Lee Giok bermaksud menolong Kwee Sin dari tangan para pemberontak."

Souw Kian Bi tertawa. "Betul ada kemungkinan itu, akan tetapi biarlah kita sama lihat saja. Aku sudah mengutus pasukan itu menyusul dan membawa mereka berdua kembali ke kota raja, kalau perlu menghancurkan Hoa-san-pai."

"Hoa-san-pai adalah partai yang kuat, banyak terdapat orang pandai di sana dan Lian Bu Tojin sendiri mempunyai kesaktian yang tinggi. Mana bisa dihancurkan begitu saja oleh sebuah pasukan?" tanya Tan Beng Kui.

"Ha-ha-ha, kau tidak tahu siapa adanya dua orang cianpwe itu? Seorang adalah Hek-hwa Kui-bo dan orang ke dua adalah Siauw-ong-kwi Locianpwe. Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak cukup kuat untuk menghancurkan Hoa-san-pai?"

"Hebat! Benar-benar aku takluk kepadamu, Pangeran. Bagaimana kau dapat menarik dua orang locianpwe itu untuk membantu kita menumpas Hoa-san-pai?"

Souw Kian Bi tertawa girang sekali. Jarang dia bisa mendapat pujian Tan Beng Kui yang biasanya amat cerdik dan banyak membuat jasa itu.

"Baiklah, aku berterus terang kepadamu. Hek-hwa Kui-bo dapat ditarik karena permintaan muridnya, Kim-thouw Thian-li..."

"Hemmm, tentu kekasih Kwee Sin itu, bukan? Bagus!"

"Selain kekasih Kwee Sin, Kim-thouw Thian-li dengan Ngo-lian-kauw yang dipimpinnya, harus diakui sudah sangat banyak jasanya terhadap kita, apa lagi dalam hal mengadu domba golongan-golongan pemberontak. Ada pun Siauw-ong-kwi Locianpwe, biar pun dia seorang pertapa yang aneh, tetapi dia berasal dari utara, tentu saja suka membantu kita. Aapa lagi dia ditangisi muridnya yang ingin mendapatkan seorang gadis anak murid dari Hoa-san pai."

"Kau maksudkan si Raja Ular Giam Kin itu, Pangeran?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?" Souw Kian Bi tertawa. "Siluman cilik itu sudah tergila-gila kepada murid Hoa-san-pai yang bernama Thio Bwee. Ha-ha-ha!"

Tan Beng Kui juga tertawa sehingga dua orang berpangkat ini tertawa bergelak. Suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu.

Beng San dengan hati gemas dan kaget cepat pergi dari situ untuk menyusul ke Hoa-san. Hoa-san-pai terancam bahaya besar, pikirnya. Dia harus cepat pergi ke Hoa-san untuk membantu Hoa-san-pai dari kehancuran. Juga kalau betul apa yang dia dengar dari Souw Kian Bi tadi bahwa Kwee Sin adalah seorang pemimpin pasukan mata-mata pejuang, dia harus menyelamatkannya.

Diam-diam Beng San bingung, juga terharu. Betulkah Kwee Sin seorang pejuang? Malah menjadi pemimpin di kota raja, di ‘mulut harimau’? Dan nona muda Lee Giok itu? Betulkah dia pemimpin pejuang pula? Ahhh, rasanya tak masuk di akal…..

********************

Biar pun mulutnya memaki-maki Kwee Sin yang berlutut di depannya bersama Bun Lim Kwi, akan tetapi di dalam hatinya Pek Gan Siansu menjadi terharu sekali dan juga girang bahwa bekas muridnya ini sekarang mau menyerahkan diri dan bersedia membersihkan nama baik Kun-lun-pai.

"Kau murid murtad, kembalikan pedang kami!" kata Pek Gan Siansu setelah mendengar penuturan Bun Lim Kwi dan mendengar permohonan ampun Kwee Sin yang menangis di depan suhu-nya.

Dengan air mata berlinang Kwee Sin meloloskan pedangnya yang dahulu dia terima dari gurunya. Dengan berlutut dan dengan kedua tangan dia mengembalikan pedang itu.

Pek Gan Siansu memegang pedang dengan dua tangan, mengerahkan tenaga dalamnya dan…

"Pletakkk!" pedang itu patah menjadi dua potong.

Dilemparkannya potongan pedang ke atas tanah sambil berkata, "Semenjak saat ini kau bukan anak murid Kun-lun-pai lagi. Karena kau sudah dianggap sebagai orang luar yang mencemarkan nama baik Kun-lun-pai dan mengadu Kun-lun-pai terhadap Hoa-san-pai, maka kau adalah tangkapan ketua dan hendak kami antarkan ke Hoa-san-pai. Gara-gara perbuatanmulah pinto kehilangan murid-murid terkasih yang dulu terkenal dengan nama Kun-lun Sam-heng-te! Karena kaulah maka hubungan baik Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai menjadi pecah-belah. Lim Kwi, bersiaplah, kau dan aku sendiri akan mengantarkan orang tangkapan ini ke Hoa-san-pai untuk menebus dosa."

Bun Lim Kwi yang sudah beberapa lamanya melakukan perjalanan berdua dengan Kwee Sin, sudah mendengar penuturan bekas murid Kun-lun-pai ini, dengan suara terharu terus memintakan ampun dan mengingatkan gurunya bahwa sebenarnya Kwee Sin tak pernah melakukan semua perbuatan jahat itu, yang melakukan semua itu adalah orang-orang dari Ngo-lian-kauw.

"Dia sudah begitu rendah untuk jatuh oleh rayuan siluman wanita Ngo-lian-kauw, dengan sendirinya semua perbuatan Ngo-lian-kauw yang tidak ditentangnya menjadi tanggung jawabnya juga." Hanya demikian jawaban Pek Gan Siansu singkat.

Lim Kwi tidak berani membantah lagi dan berangkatlah tiga orang ini ke Hoa-san.

Lian Bu Tojin, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa bersama tosu Hoa-san-pai menyambut kedatangan Pek Gan Siansu, Lim Kwi, dan Kwee Sin.

"Lian Bu Tojin," kata Pek Gan Siansu setelah mereka saling memberi hormat, "bekas murid yang durhaka ini sekarang sudah datang untuk mempertanggung jawabkan semua kesalahannya kepada Hoa-san-pai. Silakan kau mengambil keputusan dan mengadili dia. Kau mau menghukum dia atau apa saja, tidak ada hubungannya lagi dengan kami dari Kun-lun-pai. Maka, dengan datangnya dia ini, kuharap kau suka menghabiskan segala permusuhan dan suka menerima usulku untuk menjodohkan muridku Bun Lim Kwi dengan seorang di antara anak muridmu."

"Pek Gan Siansu, urusan perjodohan adalah urusan baik dan hal ini dapat dibicarakan lain hari. Sekarang yang penting adalah mengadili orang yang selama ini menjadi biang keladi segala keributan. Pinto hendak mendahulukan pengadilan ini."

Ketua Hoa-san-pai itu lalu memberi tanda dengan tepukan tangan dan memerintahkan beberapa orang tosu untuk membawa Kwee Sin ke dalam ‘ruang pengadilan’. Ruangan pengadilan ini berada di tengah-tengah, merupakan ruang yang lebar dan biasanya di sinilah para anak murid Hoa-san-pai Yang melakukan penyelewengan diadili dan dijatuhi hukuman.

Lian Bu Tojin sudah duduk di atas bangku. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa berdiri di kanan kirinya, lalu berturut-turut muncul Thio Ki, Thio Bwee dan Kui Lok yang berdiri di belakang ketua Hoa-san-pai itu. Di pinggir ruangan itu berjajar murid-murid Hoa-san-pai tingkat paling tinggi dan keadaan di situ amatlah angkernya.

Sebagai tamu, Pek Gan Siansu dan Bun Lim Kwi mendapat tempat duduk di samping. Wajah kakek Kun-lun-pai ini nampak muram, demikian pula Bun Lim Kwi. Hal ini tidak mengherankan oleh karena orang yang hendak diadili ini adalah bekas murid Kun-lun-pai.

Oleh seorang tosu penjaga, Kwee Sin dibawa masuk dan disuruh berlutut di depan ketua Hoa-san-pai. Akan tetapi Kwee Sin tak mau berlutut, dan hanya menjura dengan memberi hormat sambil berkata,

"Saya Kwee Sin menghaturkan hormat kepada ketua Hoa-san-pai. Terhadap Hoa-san-pai saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, oleh karena itu saya terpaksa menolak untuk berlutut sebagai seorang pesakitan, saya hanya suka menghadap sebagai seorang yang hendak ditanyai tentang hal-hal yang menjadikan salah paham dan menimbulkan keributan." Suara Kwee Sin tetap dan sama sekali tidak gugup, hanya pandang matanya yang berani menentang siapa saja di situ, tetapi dia selalu menghindarkan pandang mata ke arah Liem Sian Hwa.

Kwa Tin Siong bertugas mewakili gurunya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mendengar ucapan Kwee Sin itu, dengan muka keren dia berkata, "Kwee Sin, kau dengan enak menyatakan tidak mempunyai kesalahan apa-apa kepada Hoa-san-pai. Kalau begitu coba kau jawab dan terangkan soal-soal yang terjadi selama ini, yang sekarang hendak kami tuduhkan kepadamu. Pertama, bukankah ayah sumoi Liem Sian Hwa tewas dalam tanganmu atau setidaknya akibat perbuatanmu? Ke dua, pada saat kau diantar oleh dua orang suheng-mu ke sini beberapa tahun yang lalu, kemudian kau ternyata bersekongkol dengan Ngo-lian-kauw dan malah menipu kami, lari bersama Hek-hwa Kui-bo sehingga terjadi bentrok antara suheng-suheng-mu dengan kami pihak Hoa-san-pai. Bukankah hal ini menjadikan permusuhan dan disebabkan oleh kecuranganmu? Ke tiga, kau lalu lari berkomplot dengan Ngo-lian-kauw, kemudian kau juga menyerbu ke Hoa-san-pai, berhasil membunuh dua orang sute-ku dan melukai kami dengan bantuan Ngo-lian-kauw beserta Hek-hwa Kui-bo pula. Ke empat, kau kini menjadi pembesar di kota raja di samping pihak Ngo-lian-kauw, membiarkan kami dan Kun-lun-pai bermusuhan, saling bunuh-membunuh, sengaja kau diam saja dan membiarkan permusuhan berlarut-larut. Bukankah ini sesuai dengan siasat pemerintah dan memang kau sengaja bermaksud mengadu domba serta menghancurkan Hoa-san-pai? Nah, sekarang coba kau jawab empat macam tuduhan ini lalu katakan bagaimana kau berani bilang tidak bersalah terhadap Hoa-san-pai?"

Wajah Kwee Sin menjadi pucat. Akan tetapi dia berdiri tegak dan matanya bersinar penuh semangat.

”Sekali penyesalan yang layak kutebus dengan nyawa. Demi keutuhan hubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, biarlah pada saat ini aku Kwee Sin, seorang bekas murid Kun-lun-pai..." sampai di sini suaranya menggetar karena terharu, "...aku akan berterus terang. Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong, baiklah aku akan menjawab dan menerangkan pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan itu satu demi satu. Pertanyaan pertama tentang kematian Liem Lo-enghiong, seperti juga dahulu pernah kunyatakan, kematiannya sama sekali bukan sebab perbuatanku. Aku tidak membunuhnya, bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Hal ini berani kunyatakan dengan sumpah sebagai bekas murid Kun-lun..."

"Jangan sebut-sebut nama Kun-lun-pai," kata Pek Gan Siansu, tenang namun berwibawa.

"Maafkan teecu..." Kwee Sin cepat berkata, suaranya parau, kemudian dia menghadapi Kwa Tin Siong lagi. "Aku berani bersumpah sebagai seorang laki-laki, demi kehormatan dan namaku, aku tidak membunuh Liem Lo-enghiong."

Kwa Tin Siong dan yang lain-lain pernah mendengar dari Beng San tentang hal ini, akan tetapi karena menurut anggapan mereka tetap saja Kwee Sin yang telah menjadi biang keladinya, Kwa Tin Siong mendesak terus, "Kalau kau begitu yakin bahwa kau bukan pembunuhnya, sudah tentu kau tahu siapa pembunuhnya yang menggunakan pukulan Pek-lek-jiu? Liem-sumoi menuduh bahwa ayahnya kau bunuh karena ada tanda luka bekas pukulan Pek-lek-jiu, diperkuat dugaan bahwa tentu kau malu dan marah terlihat oleh ayahnya ketika kau berpesiar bersama ketua Ngo-lian-kauw."

Wajah Kwee Sin yang tadinya pucat berubah merah sebentar, lalu pucat lagi.

"Tadinya aku tidak tahu siapa pembunuhnya, baru kemudian ini aku mengetahui semua bahwa memang orang menggunakan namaku dengan maksud mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."

"Siapa orang itu?"

Kwee Sin tampak ragu-ragu, akan tetapi kemudian berkata, "Pembunuh ayah nona Liem adalah Kim-thouw Thian-li ketua Ngo-lian-kauw bersama anak buahnya yang menyamar sebagai anggota-anggota Pek-lian-pai!"

Sunyi seketika, hanya terdengar isak tangis Liem Sian Hwa dan disusul bisikannya, "Aku, harus membasmi Ngo-lian-kauw..."

Akan tetapi kesunyian itu segera dipecahkan oleh suara Kwee Sin yang melanjutkan lagi keterangannya dan kini semua orang kembali mendengarkannya penuh perhatian.

"Keterangan untuk menjawab tuduhan ke dua dapat kujelaskan dengan sumpah pula bahwa ketika aku datang ke sini diantar oleh kedua orang suheng-ku, aku benar-benar bermaksud hendak memberi keterangan seperti yang kulakukan pada ini hari. Akan tetapi, Cuwi sekalian di sini telah mengetahui betapa aku yang hendak mengakhiri hidupku untuk menebus dosa, tidak berdaya ketika disambar pergi oleh Hek-Hwa Kui-bo. Terhadap kepandaian nenek itu, aku yang bodoh bisa berbuat apakah? Dan memang aku mengakui bahwa sejak itu aku bekerja di kota raja sebagai perwira, ada pun hal ini adalah rahasia pribadiku dan tak perlu kuterangkan kepada siapa pun juga."

Pek Gan Siansu mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya. Kakek itu merasa terpukul mendengar betapa bekas muridnya tanpa malu-malu mengaku sudah bekerja sebagai perwira di kota raja, berarti bekerja sebagai anjing penjajah. Padahal dahulu dia tahu betul betapa besar semangat Kwee Sin untuk menentang penjajah dan membantu perjuangan kaum patriot.

"Tentang pertanyaan ketiga, terang aku mengakui bahwa memang ada niat di hatiku untuk melakukan pembalasan dendam atas kematian dua orang suheng-ku di tempat ini. Pada waktu itu kupikir bahwa dua orang suheng-ku itu sama sekali tidak bersalah. Mereka datang hanya untuk mengantar aku dan memaksa aku menjelaskan duduknya perkara. Siapa kira... dua orang suheng-ku itu, orang-orang gagah perkasa yang berbudi, menemui kematian di sini secara menyedihkan. Karena itulah aku datang melakukan pembalasan, dibantu oleh pihak Ngo-lian-kauw. Sebagai pengganti nyawa dua orang suheng-ku, aku berhasil merenggut nyawa dua orang murid Hoa-san-pai, bukankah itu sudah pantas?"

Sampai di sini Kwee Sin tersenyum pahit, jelas dia memperlihatkan sikap menyesal bukan main.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar