Raja Pedang Chapter 18

Beng San berjalan cepat siang malam. Hanya kalau sudah hampir tidak kuat lagi saking lelahnya maka dia baru mengaso. la bermaksud pergi ke Shan-si, untuk bersembunyi di Kelenteng Hok-thian-tong di mana dahulu dia pernah bekerja sebagai kacung.

Dia harus dapat menyembunyikan dirinya untuk beberapa tahun lamanya, demikian kata pesan Lo-tong Souw Lee. Sesudah tubuhnya kuat betul dan ilmu-ilmu silat itu sudah dia latih sebaiknya, baru dia boleh memperlihatkan dirinya. Dan ucapan pesanan kakek buta itu sungguh tepat sekali. Buktinya setiap kali dia memperlihatkan diri, pasti timbul hal-hal yang hebat.

Lebih baik dia kembali ke daerah Sungai Huang-ho dan untuk sementara bersembunyi di kelenteng Hok-thian-tong. Terbayang olehnya para hwesio di kelenteng itu yang rata-rata amat sabar dan baik.

Kurang lebih sebulan kemudian sampailah dia di tepi Sungai Huang-ho. Dari tepi sungai itu ke utara, kurang lebih tiga puluh li lagi adalah Shan-si di mana terdapat kelenteng yang ditujunya. la sudah lelah sekali dan hari sudah menjelang senja.

Beng San mencari tempat yang enak di tepi sungai, di bawah sebatang pohon. Ia lalu mengumpulkan daun-daun dan ranting-ranting kering untuk membuat api unggun malam nanti, apa bila hawa udara terasa dingin dan jika banyak nyamuk akan mengganggunya. Sebagian dari daun-daun kering dia jadikan tilam tempat dia tidur.

Perutnya yang lapar tidak dipedulikannya. Beng San sudah terlentang di bawah pohon, mengenangkan pengalaman-pengalamannya selama dalam perjalanan ini. Ada hal yang amat berkesan di hatinya, yaitu ke mana saja dia berjalan, dia selalu melihat para petani bersikap penuh semangat menentang pemerintah Mongol yang sudah banyak membikin sengsara rakyat.

Beng San mulai mendengar nama besar pemimpin-pemimpin rakyat disebut-sebut orang. Yang paling terkenal dan sering kali dia dengar adalah nama besar Ciu Goan Ciang yang menurut para petani itu mempunyai kepandaian seperti dewa, malah memiliki kesaktian yang ajaib-ajaib.

Diam-diam Beng San mengenang semua itu dan mengingat-ingat kembali apa yang dia dengar dari Tan Hok, lalu menghubung-hubungkan semua peristiwa antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai berhubung dengan suasana pemberontakan terhadap pemerintah Mongol ini.

Beng San adalah seorang anak kecil yang sejak dahulu hanya mempelajari ilmu filsafat dan kebatinan, malah akhir-akhir ini mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tentang politik dia sama sekali tidak mengerti.

"Aku tak akan pusing-pusing dengan segala urusan itu kalau aku sudah berada di dalam bangunan Kelenteng Hok-thian-tong yang luas," pikirnya.

Dia mengenang kembali masa dia kecil bekerja sebagai kacung di kelenteng itu. Suasana di dalam kelenteng hanya tenteram, aman dan damai. Apa bila melihat orang luar, tentu hanya orang-orang yang datang hendak bersembahyang, yaitu orang-orang yang datang dengan maksud baik, dengan hati bersih dan bermaksud memohon belas kasihan Yang Maha Kuasa melalui para dewa yang dipuja masing-masing pendatang.

Alangkah senangnya, pikirnya. Hidupnya akan tenteram sehingga dia dapat meneruskan latihan-latihannya dengan aman.

Saking lelah dan laparnya, begitu matahari terbenam Beng San sudah tidur pulas. Enak sekali dia tidur, tidak tahu bahwa dia telah tidur setengah malaman, bahwa bulan hampir purnama sudah naik tinggi, dan bahwa tadi dia lupa membuat api unggun. Tidak tahu dia betapa bahayanya kalau tertidur tanpa api unggun di tempat terbuka seperti itu, di dekat Sungai Huang-ho lagi yang daerahnya masih liar dan dekat dengan hutan-hutan besar.

Dia terbangun sambil menepuk pahanya. Di bagian celana yang robek, nyamuk menggigit pahanya dan mengisap darah sepuasnya.

"Nyamuk keparat!"

Beng San bangun duduk ketika mendengar suara nyamuk berngiung-ngiung di sekeliling kepalanya. Dia kini teringat bahwa dia belum membuat api unggun. Dia menoleh ke arah tumpukan kayu dan daun yang kelihatan jelas di bawah terang sinar bulan purnama yang menerobos di antara celah-celah daun pohon.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selain tumpukan kayu ini dia melihat barang lain lagi yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Sepasang barang berkilauan bagai lampu. Sepasang mata... dan segera terlihat olehnya bahwa mata yang mencorong itu adalah mata seekor binatang yang sebesar lembu muda dan berkulit loreng-loreng! Harimau yang besar sekali! Beng San menggigil.

Biar pun anak ini sudah memiliki kepandaian yang tinggi dalam tubuhnya, akan tetapi dia masih belum menyadari betul akan hal ini. Tentu saja dengan kepandaiannya, dia takkan sukar melawan harimau ini atau setidaknya, akan mudah dia menyelamatkan diri dengan meloncat ke atas pohon. Kepandaiannya memungkinkan dia melakukan hal-hal ini.

Akan tetapi dia sudah lumpuh, ketenangannya lenyap. Dia tidak boleh terlalu disalahkan. Siapa orangnya tak akan menggigil kebingungan dan ketakutan kalau begitu bangun dari tidur sudah menghadapi seekor harimau sebesar ini yang berdiri hanya dalam jarak tiga meter di depannya!

Harimau itu memang sejak tadi sudah mengintainya. Kini melihat bocah itu bergerak, dia segera mengaum dan meloncat, menerkam ke arah Beng San. Beng San terkesima dan tidak dapat bergerak, terpukau seperti kena sihir. Hanya matanya yang lebar itu terbuka melotot memandang, merasa ngeri karena seakan-akan sudah tampak olehnya gigi taring yang runcing serta kuku yang melengkung mengerikan.

Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh harimau itu terhenti di tengah udara, malah terjengkang ke belakang, berkelojotan dan roboh mandi darah. Tepat pada dadanya tertancap sebatang kayu hampir tembus ke punggungnya. Siapakah yang ‘menyate’ harimau ini?

Beng San menengok ke kanan kiri, ke belakang dan alangkah herannya ketika dia melihat munculnya bayangan merah. Dara cilik berpakaian merah, si gagu bernama Bi Goat itu telah berada di depannya.

Beng San sampai bengong terlongong, akan tetapi dia segera tersenyum ramah. Tidak mungkin dia tidak akan gembira kalau bertemu dengan bocah ini, dara cilik cantik manis yang gagu, yang menimbulkan rasa sayang, rasa kasihan dan terharu, yang membuat dia timbul rasa hendak melindungi, hendak membelanya.

"Kau...?" tegurnya sambil berdiri.

Akan tetapi apa bila dahulu Bi Goat tersenyum-senyum gembira, kemudian mengajak dia bermain-main, kini sikapnya jauh berbeda. Gadis cilik ini nampak penuh ketakutan dan kekhawatiran, wajahnya yang biasanya hampir selalu kemerahan itu kini agak pucat. Dia menudingkan telunjuk kiri ke arah bangkai harimau, telunjuk kanan ke arah belakangnya agak ke atas, kemudian menuding ke dada Beng San. Lalu dia meloncat dan menendangi bangkai harimau yang sudah tewas itu.

Beng San memandang bingung, juga kagum betapa setiap kali kaki kecil itu menendang harimau, bangkai harimau yang besar itu pasti tersepak maju ke depan. Sungguh dahsyat tenaga kaki kecil ini, pikirnya.

"Adik Bi Goat, kau hendak bilang apa? Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Kau telah membunuh harimau itu, hebat sekali kepandaianmu!"

Akan tetapi Bi Goat nampak tidak sabar karena Beng San tidak mengerti maksud gerak tangannya tadi. la membanting-banting kakinya, memegang dengan tangan Beng San dan ditarik, diajak pergi.

"Ehh, ehh, malam-malam kau hendak mengajakku ke manakah?" Beng San terheran dan menolak.

Kembali Bi Goat menuding-nuding ke belakangnya dan pada waktu itu dari jauh terdengar suara melengking tinggi bagaikan orang menangis. Seketika muka Beng San menjadi pucat. Celaka, kiranya Song-bun-kwi berada dekat situ. Kiranya Bi Goat ini tadi memberi isyarat bahwa Song-bun-kwi berada dekat dan menyuruh dia pergi bersembunyi.

Tentulah gadis cilik ini tadi hendak menyatakan bahwa karena suara auman harimau tadi, maka Song-bun-kwi akan menyusul ke situ dan Beng San akan celaka. Sebelum Beng San meyakinkan dugaannya, Bi Goat sudah menarik tangannya, diajak lari cepat sekali ke arah utara.

"Betul, ke utara. Tiga puluh li dari sini ada kelenteng besar, kita bisa sembunyi di sana," katanya sambil ikut berlari cepat.

Akan tetapi tiba-tiba Bi Goat menyeretnya meloncat ke dalam... sungai. Gadis cilik itu tentu saja sudah hafal akan gerak-gerik ayahnya yang luar biasa. Dia gagu, tetapi cerdik sekali. Setelah kedua orang anak itu terjun ke dalam Sungai Huang-ho, baru Beng San tahu akan maksud hati Bi Goat.

Gadis ini mengajaknya bersembunyi di bawah alang-alang yang tumbuh di pinggir sungai itu. Untung sekali Bi Goat tidak terlambat dalam tindakannya ini karena baru saja mereka bersembunyi di balik alang-alang dan merendam diri ke dalam air sungai, di situ sudah berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berdiri bagaikan patung memandangi bangkai harimau dan bekas tempat tidur Beng San. Kakek sakti ini terdengar menggerutu seorang diri.

"Hemmm, membunuh harimau dengan timpukan sia-san (panah gunung). Bagus, Bi Goat. Tapi kenapa lari pergi? Hemmm, ada orang lain di sini, siapa...?" Dengan langkah lebar kakek itu lalu berjalan mengejar ke utara, langkahnya lebar jalannya kelihatan perlahan saja akan tetapi sebentar saja lenyap dari situ.

Beng San hendak keluar dari belakang rumput alang-alang, akan tetapi mendadak leher bajunya ada yang mencengkeram dan dia ditarik kembali ke balik alang-alang. Ternyata yang mencengkeramnya adalah Bi Goat. Sebelum dia memprotes, telapak tangan yang kecil dari tangan kanan gadis itu sudah membungkam mulutnya.

Beng San terheran-heran, juga merasa geli. la merasa seperti anak kecil dihadapan gadis ini. Akan tetapi, segera dia mendapat kenyataan betapa cerdiknya gadis ini dan betapa gegabah dan bodohnya dia sendiri.

Bagaikan seorang iblis, tahu-tahu Song-bun-kwi sudah datang lagi ke tempat tadi, berdiri seperti patung memandangi harimau. Ia bergidik dan merasa bulu tengkuknya meremang! Seandainya dia mengeluarkan suara dan mulutnya tidak dibungkam oleh tangan gadis gagu itu, ahh, tentu Si Iblis Berkabung itu sudah akan mendapatkannya.

la menoleh untuk memandang Bi Goat dengan terima kasih. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia sudah kehilangan gadis cilik itu. Entah ke mana perginya Bi Goat yang tadi berada di sebelahnya!

Selagi dia merasa kebingungan, mendadak sekali ada orang yang menarik pundaknya ke bawah sampai kepalanya terbenam ke dalam air. la gelagapan, akan tetapi kembali ada tangan kecil yang menyusupkan setangkai alang-alang yang berlubang ke mulutnya.

Baiknya Beng San juga tergolong anak yang cerdik, maka seketika dia dapat menangkap maksud perbuatan aneh dari Bi Goat ini. Tentu dia disuruh bersembunyi dengan seluruh tubuhnya di dalam air dan tangkai alang-alang itu dapat dipergunakan untuk bernapas.

Maka dia pun mengisap hawa dari tangkai itu yang menyembul ke atas, bersembunyi di antara rumpun alang-alang. Dengan girang dan berterima kasih dia memegang tangan kiri Bi Goat. Dua orang anak itu sambil berendam ke dalam air saling berpegang tangan, hati mereka berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran.

Di dalam air Beng San tidak tahu apa yang terjadi di atas, tapi andai kata tahu dia pasti akan bergidik kengerian. Beberapa detik setelah kepalanya terbenam air, Iblis Berkabung itu menggunakan tangannya mencengkeram remuk sebuah batu, lalu dia menyambitkan pecahan batu ini ke sekelilingnya, juga ke permukaan air dan ke dalam alang-alang! Andai kata kepala dua orang anak tadi masih bersembunyi di dalam alang-alang, tentu akan terkena sambitan pecahan batu yang cukup ampuh untuk menembus kulit kepala!

Setelah mereka berendam kurang lebih satu jam, barulah Bi Goat berani muncul kembali ke permukaan air. Dia lalu memberl isyarat kepada Beng San untuk meloncat keluar dari air. Segera mereka berdiri di tepi sungai, basah kuyup dan saling berpandangan.

Tiba-tiba nampak gadis cilik itu tersenyum lega. Bukan main manisnya setelah tersenyum. Hati Beng San serasa diremas-remas. Ingin dia memeluk Bi Goat, ingin dia memondong gadis cilik itu, menggendongnya seperti anak kecil. Gadis cilik gagu yang sudah menolong nyawanya, yang biar pun gagu tapi luar biasa cerdiknya dan sekarang tersenyum-senyum begitu manisnya. Tiba-tiba dia melihat Bi Goat menggigil kedinginan.

"Kasihan kau, Bi Goat. Kau dingin? Biar kubuatkan api unggun."

Bi Goat segera memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya. Alisnya berkerut dan kepalanya digeleng-gelengkan. Beng San teringat dan dia merasa malu sendiri. Ahhh, bagaimana dia sampai kalah oleh anak perempuan yang jauh lebih muda ini dan gagu pula lagi? Kenapa dia begini kurang hati-hati?

Kalau dia membuat api unggun, sama saja seperti memberi tahukan tempatnya kepada Song-bun-kwi. Meski pun kakek itu sudah jauh, ada tanda sedikit saja pasti cukup untuk memanggil kembali kakek yang lihai sekali itu.

"Bagaimana baiknya? Kau kedinginan, Bi Goat."

Gadis cilik itu hanya menggeleng kepala, lalu memberi isyarat kepada Beng San untuk melanjutkan perjalanan ke utara.

"Kau tentu ikut denganku, bukan? Bi Goat, kau ikut bersamaku, ya?"

Bi Goat mengangguk, meloncat ke dekat sungai yang ada pasirnya, lalu ujung sepatunya bergerak-gerak seperti menari. Beng San memandang dan alangkah herannya ketika dia melihat huruf-huruf besar yang indah dibuat oleh gerakan ujung sepatu itu. Huruf-huruf itu berbunyi: Harus sampai di kelenteng sebelum matahari terbit.

Beng San memegang kedua pundak Bi Goat, dipandangnya wajah itu penuh kekaguman. "Kau hebat! Biar pun gagu, kau pandai menulis dengan kaki malah! Hebat, Bi Goat, kau hebat...!"

Gadis cilik itu hanya tersenyum, lalu menggandeng tangan Beng San diajak lari cepat. Di waktu dua orang anak ini berlari, Beng San merasa betapa dinginnya telapak tangan Bi Goat dan anak itu nampak kedinginan betul. Hal ini tidak mengherankan karena pakaian gadis itu basah kuyup, ditambah berlari-larian di dalam udara yang begitu dinginnya lewat tengah malam itu.

Beng San mendapat akal. Dia sendiri tidak bisa menderita dingin karena dengan hawa di tubuhnya dia bisa menyalurkan hawa panas membuat tubuhnya hangat. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya, melalui telapak tangan Bi Goat dia menyalurkan hawa panas ke tubuh Bi Goat untuk mengusir hawa dingin.

Mendadak Bi Goat mengeluarkan suara. "Uhhh!"

Ia cepat melepaskan pegangannya, malah meloncat mundur dengan muka kaget. Melihat gerak kaki tangannya, gadis cilik ini sudah siap menghadapi pertempuran, matanya yang bening menatap wajah Beng San penuh kecurigaan.

Beng San maklum bahwa gadis cilik ini salah sangka. Diam-diam dia pun merasa kagum sekali. Ternyata penyaluran hawa panas tadi terasa pula oleh Bi Goat. Ternyata bocah ini sudah mahir tentang hawa di dalam tubuh, dapat merasakan serangan tenaga dalam!

"Bi Goat, aku tidak apa-apa, hanya ingin membantumu menghangatkan tubuh," Beng San berkata.

Bi Goat memandang terus, mengangguk-angguk dan nampaknya kagum sekali. Agaknya baru sekarang gadis cilik ini mendapat kenyataan bahwa Beng San juga memiliki ilmu kepandaian. la lalu menggandeng tangan Beng San lagi dan sama sekali tidak melawan ketika sambil berjalan pemuda itu menyalurkan hawa panas yang diterimanya dengan gembira, karena tidak lama kemudian gadis cilik itu merasa tubuhnya hangat, sama sekali tidak menderita kedinginan lagi.

Hari telah menjadi terang ketika dua orang anak ini sambil bergandengan tangan tiba di perbatasan Shan-si. Kelenteng Hok-thian-tong berdiri di luar sebuah dusun, hanya dua li jauhnya dari Sungai Huang-ho. Dengan gembira dan penuh harapan Beng San mengajak Bi Goat lari menuju ke tempat itu.

Betapa kagetnya ketika akhirnya sampai di tempat yang dituju, ia melihat bahwa apa yang dulunya merupakan bangunan-bangunan kelenteng yang besar, tua dan kuat, kini hanya tinggal tumpukan puing-puing belaka. Bangunan-bangunan itu ternyata telah menjadi abu, telah habis dimakan api! Sekelilingnya sunyi, tak kelihatan seorang pun manusia. Melihat keadaan tempat itu, agaknya baru beberapa pekan saja Kelenteng Hok-thian-tong dilanda kebakaran. Beng San berdiri bengong.

Bi Goat yang sejak tadi sudah nampak gelisah karena belum juga mereka mendapatkan tempat berlindung, kini memandang kepada Beng San yang kelihatan sedih. Dia segera menarik-narik tangan Beng San dan menunjuk ke arah puing, seolah-olah bertanya.

"Celaka sekali, Bi Goat," kata Beng San perlahan. "Agaknya terjadi sesuatu yang hebat dengan Kelenteng Hok-thian-tong. Ahhh, bagaimana nasibnya para hwesio dan ke mana perginya mereka itu?"

Dasar Beng San memang seorang yang memiliki hati penuh pribudi, maka sebentar saja dia sudah lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan ancaman yang mengelilingi dirinya dan kini malah menaruh kasihan serta memperhatikan nasib lain orang.

Dengan suara ah-ah-uh-uh-uh, Bi Goat menudingkan telunjuknya ke arah dada Beng San dan dada sendiri, lalu menuding ke arah belakang. Jelas kelihatan dia memperingatkan Beng San akan bahaya yang mengancam mereka.

Barulah dia sadar akan ancaman bahaya hebat berupa Song-bun-kwi yang setelah malam terganti pagi tentu akan lebih memudahkan kakek itu mencari mereka. la ingat bahwa tak jauh dari kelenteng itu terdapat sebuah dusun dan dia sudah kenal dengan beberapa orang tua di dusun itu, yaitu ketika dia dahulu menjadi kacung Kelenteng Hok-thian-tong. Tentu mereka itu akan suka memberi tempat kepadanya untuk bersembunyi.

Setelah berpikir demikian Beng San lalu menarik tangan Bi Goat, diajak berlari menuju ke dusun itu. Hari masih pagi dan dusun itu sunyi sekali. Hal ini mengherankan hati Beng San karena dahulu para petani di dusun itu sudah pada bangun, malah sudah berangkat ke sawah sebelum matahari terbit. Sekarang kenapa sebuah rumah pun belum membuka pintunya?

Sambil menggandeng tangan Bi Goat, Beng San berlari-lari di sepanjang jalan kampung yang sunyi itu. Jangankan manusia, seekor anjing pun tidak tampak di situ. Keadaan sunyi menyeramkan. Beng San seperti mendapat firasat bahwa tentu sudah terjadi hal-hal yang mengerikan di dusun ini, seperti yang telah menimpa Kelenteng Hok-thian-tong.

Dia segera menuju ke rumah kakek Sam, pemilik warung kecil di sudut kampung yang sudah dikenalnya. Kakek Sam seorang duda tua, amat peramah dan baik kepadanya. la dapat mempercayai penuh kakek itu dan kiranya tidak ada tempat persembunyian yang lebih baik dan aman kecuali rumah kakek Sam itu.

Diketuknya pintu rumah yang masih tertutup itu. Biasanya pagi-pagi sekali kakek Sam sudah membuka warungnya, sekarang pintu rumahnya pun masih tertutup. Beng San tak sabar lagi, ingin dia segera bertemu dengan kakek Sam untuk minta keterangan tentang keadaan kampung yang sunyi ini, dan tentang kebakaran Kelenteng Hok-thian-tong.

"Tok-tok-tok!"

Untuk ke empat kalinya dia mengetuk, kali ini agak keras. Belum juga ada jawaban dari dalam dan tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari jauh. Beng San menjadi pucat mukanya.

Bi Goat memegang tangannya dan cepat dia mendorong pergi Beng San sehingga anak ini terhuyung. Dengan muka gelisah Bi Goat menuding-nudingkan jari telunjuknya seperti mengusir pergi Beng San dan pada saat itu pintu rumah terbuka dan...

Beng San meloncat mundur dengan mata terbelalak. Ratusan ekor ular menyerbu keluar dari pintu rumah yang baru terbuka itu!



"Celaka! Bi Goat, mundur...!" teriaknya sambil meloncat lagi menjauhkan diri.

Dahulu pengalaman dengan ular-ular ini pernah dia alami bersama Tan Hok. Dia masih bergidik bila mengenangkannya. Sekarang kembali dia berhadapan dengan ratusan ekor ular yang menjijikkan.

Bi Goat membalikkan tubuh, sama sekali tidak kelihatan takut kepada barisan ular itu. la mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh dan menudingkan telunjuknya kepada Beng San, lalu ke arah belakangnya dari mana masih terdengar lengking tangis sayup sampai.

Celaka betul, pikir Beng San. Dari belakang datang Song-bun-kwi mengejar, dan di depan menghadang barisan ular ini. Bagaimana dia bisa lari lagi pergi meninggalkan Bi Goat? Mungkin Bi Goat tak akan diganggu Song-bun-kwi, akan tetapi ular-ular ini?

Sekali lagi Bi Goat memberi isyarat supaya dia bersembunyi dan gadis ini mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dengan benda yang baru diambilnya itu di tangan, Bi Goat melangkah maju dan... dengan enaknya ia berjalan di antara barisan ular itu yang begitu gadis ini mendekat lalu diam tak bergerak, malah yang di depan cepat-cepat menyingkir, agaknya merasa takut sekali.

Beng San terheran-heran dan dia hanya melihat sebuah benda mengkilap di tangan Bi Goat. Agaknya benda itulah yang membikin takut barisan ular itu.

Suara lengking tinggi makin jelas terdengar dan kini Beng San tak perlu mengkhawatirkan diri Bi Goat lagi. Selain gadis cilik itu memiliki benda yang melindunginya dari ular-ular itu, juga Bi Goat memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak usah khawatir akan dapat dicelakai orang. Apa lagi Song-bun-kwi sudah datang mendekat, siapa yang berani mengganggu anak ini?

Berpikir demikian, Beng San lalu berkata. "Bi Goat, selamat tinggal!"

Dan dia talu lari terus ke utara menjauhkan diri dari tempat itu. Setelah keluar dari dusun itu, dia melihat beberapa orang serdadu Mongol di belakang rumah yang paling pinggir. Anehnya, serdadu itu segera menyelinap dan menyembunyikan diri ketika melihat Beng San lari lewat.

Beng San tidak peduli dan lari terus sampai ke pinggir Sungai Huang-ho, kemudian lari di sepanjang tepi sungai menuju ke barat. Setelah dia berlari belasan li jauhnya dan mulai mengendorkan larinya karena mengira bahwa dia sudah selamat terhindar dari ancaman Song-bun-kwi, tiba-tiba dia mendengar lengking itu sudah dekat di belakangnya!

Beng San menjadi kaget setengah mati dan dia lalu mempercepat lagi larinya. Napasnya sampai hampir putus dan napasnya terengah-engah ketika di sebuah tikungan ia melihat iringan-iringan gerobak. Ada tujuh buah gerobak banyaknya, gerobak yang mengangkut karung-karung gandum.

Iring-iringan gerobak gandum ini adalah gandum-gandum yang merupakan ‘pajak’ dari para petani, dan dipungut oleh pembesar setempat untuk dikirimkan ke kota, disetorkan kepada pembesar atasan. Para petani bisanya menangis apa bila melihat pawai gerobak ini sebab di situlah adanya hasil jerih payah mereka selama setengah tahun, hasil cucuran keringat mereka setiap hari. Boleh dibilang mereka tidak ke bagian apa-apa lagi kecuali sedikit yang mereka makan untuk menyambung hidup.

Beng San melihat belasan orang tentara Mongol mengawal tujuh gerobak gandum ini dan di setiap gerobak terdapat seorang kusirnya. Karena lengking tangis di belakangnya telah makin keras tanda bahwa Song bun-kwi makin dekat, Beng San pun tidak berpikir panjang lagi.

Diam diam dia menyelinap di antara gerobak-gerobak itu. Tanpa diketahui para pengawal, dia lalu meloncat ke dalam gerobak dan bersembunyi di antara karung-karung gandum yang hampir sebesar dia, penuh dengan gandum yang baik dan bersih.

Dia mengintai dari dalam gerobak dan melihat bahwa gerobak itu dikusiri seorang bocah seumur dengannya, yang memakai caping (topi tani) lebar menutupi mukanya. Bocah ini nampak melengut saking ngantuknya. Memang mudah untuk mengusiri gerobaknya oleh karena gerobak yang dikusirinya ini adalah gerobak ke tiga sehingga kuda yang menarik gerobak itu tak usah dikendalikan lagi, hanya tinggal mengikuti yang depan.

Setelah iring-iringan ini berjalan dua tiga li jauhnya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan di luar kemudian gerobak-gerobak itu berhenti. Terdengar suara Song-bun-kwi yang galak berpengaruh.

"Aku mencari seorang anak laki-laki bermuka hitam, kadang-kadang putih, kadang-kadang hijau, Apakah dia turut dengan kalian?"

Terdengar suara makian kotor sebagai jawaban dan seorang di antara para pengawal itu membentak, "Tua bangka gila, hayo pergi jangan ganggu kami!"

Akan tetapi ucapan ini disusul dengan pekik mengerikan, disusul pekik ke dua dan ke tiga. Kemudian terdengar orang-orang minta ampun disusul suara ketawa kakek Song-bun-kwi, ketawa yang seperti orang menangis.

"Anjing-anjing Mongol berani kurang ajar terhadapku? Mau tahu siapa aku? Song-bun-kwi inilah aku!"

Kembali terdengar seruan-seruan ketakutan dan minta ampun.

"Ampun, Locianpwe, ampunkan kami... di sini tidak ada anak laki-laki yang Locianpwe maksudkan tadi..."

"Hah, siapa percaya mulut anjing Mongol? Biar kuperiksa sendiri!"

Song-bun-kwi menyingkap tenda gerobak satu demi satu, tapi tidak melihat adanya Beng San. Tujuh buah gerobak itu hanya berisi gandum belaka, berkarung-karung banyaknya dan bertumpuk-tumpuk memenuhi gerobak-gerobak itu. Dengan marah dan kecewa sekali Song-bun-kwi pergi dari situ sambil mengeluarkan bunyi lengkingnya yang meninggi bagai orang menangis.

Buru-buru para pengawal gerobak-gerobak gandum ini menolong tiga orang teman-teman mereka yang mati oleh pukulan Song-bun-kwi, dimasukkan ke dalam gerobak kemudian iring-iringan itu segera melanjutkan perjalanannya.

Ke manakah perginya Beng San? Bagaimana Song-bun-kwi tidak dapat menemukannya? Kalau saja Song-bun-kwi tidak begitu tergesa-gesa, kiranya pada gerobak ke tiga dia akan melihat sebuah karung gandum yang agak berbeda dari pada yang lain karena di dalam karung ini bukan berisi gandum, melainkan berisi seorang manusia, Beng San!

Anak yang amat cerdik ini telah lebih dulu bersembunyi. Ia mendapatkan karung kosong di situ, maka segera dimasukinya dan ditutup dari dalam. Di antara puluhan karung gandum itu sepintas lalu memang tak akan dapat terlihat perbedaannya.

la bernapas lega ketika Song-bun-kwi sudah pergi dan gerobak-gerobak itu telah berjalan kembali. Akan tetapi dia tidak berani segera meninggalkan rombongan ini, maklum bahwa watak Song-bun-kwi takkan putus asa begitu saja. la segera mencari akal dan keluar dari karung gandum.

Benar saja dugaan Beng San. Belum juga tiga li gerobak-gerobak itu berjalan, mendadak terdengar lagi lengking tangis, dan tak lama kemudian rombongan ini berhenti.

"Apa yang dapat kami lakukan untuk Locianpwe? Ada keperluan apa gerangan Locianpwe kembali?" terdengar kepala penjaga bertanya dengan suara gemetar.

"Buka semua tenda gerobak, hendak kuperiksa lagi!"

Para pengawal sibuk membuka tenda gerobak. Song-bun-kwi lalu meneliti dengan penuh perhatian. Pada gerobak ke tiga dia berhenti dan tiba-tiba dia menyambar sebuah karung gandum. Begitu dia mengangkat karung gandum ini, jelas kelihatan bahwa yang di dalam karung bukanlah gandum, melainkan seorang manusia yang bergerak-gerak!

"Ha-ha-ha-hi-hi! Beng San bocah setan, kau hendak lari ke mana?" Sambil tertawa-tawa gembira Song-bun-kwi menggendong karung berisi manusia itu dan berlari cepat sekali seperti terbang meninggalkan rombongan itu.

Para pengawal ini saling pandang dengan heran. Bagaimana di antara berkarung-karung gandum itu terdapat manusianya? Dengan tergesa-gesa mereka melanjutkan perjalanan dan sebentar-sebentar para pengawal menengok ke belakang dengan perasaan ngeri dan takut. Nama besar Song-bun-kwi memang membikin takut semua orang dari golongan mana pun juga.

Tiba-tiba gerobak ke tiga menyeleweng dari iring-iringan. Kudanya membelok ke kiri dan melintang di tengah jalan.

"Keparat, kusirnya tertidur agaknya!" bentak kepala pengawal sambil berlari menghampiri dan menahan kuda yang hendak binal ini.

Ketika dia memandang, dia kaget sekali melihat bahwa gerobak ke tiga ini memang tidak ada kusirnya! Ke mana perginya kusir yang masih muda itu? Tadi dia masih nampak melengut, melindungi mukanya dari sinar matahari.

Semua pengawal menjadi bingung dan bertanya-tanya, kemudian mereka menjadi pucat ketika kepala pengawal berseru, "Celaka, jangan-jangan yang dibawa pergi Song-bun-kwi adalah dia!"

Kekhawatiran mereka segera terbukti. Pada saat itu terdengar lengking panjang. Sebelum mereka sempat berunding apa yang harus mereka lakukan, Song-bun-kwi sudah datang membawa karung yang tadi, dilemparkannya karung yang sekarang berisi mayat manusia itu ke arah para pengawal, kemudian tubuh Song-bun-kwi berkelebatan ke sana ke mari.

Beberapa belas menit kemudian pada waktu kakek ini pergi, di situ sudah tidak ada lagi manusia hidup. Semua pengawal dan kusir, bahkan semua kuda yang menarik gerobak, rebah tak bernyawa lagi. Beginilah kejamnya hati Song-bun-kwi si Iblis Berkabung!

Apakah yang terjadi? Ke mana perginya Beng San? Kalau saja Beng San tahu apa lagi melihat apa yang menjadi akibat dari perbuatannya, kiranya dia tak akan suka melakukan akalnya itu.

Tadi setelah selamat dan tidak dapat ditemukan Song-bun-kwi ketika dia bersembunyi di dalam karung gandum, dia merasa pasti bahwa kakek iblis itu akan kembali. Maka cepat dia mengambil keputusan menggunakan siasat ini. Dari dalam gerobak dia merayap ke depan dan sekali terkam dia dapat menangkap kusir gerobak yang masih muda itu, lalu menyumpal mulutnya dan mengikat kaki tangannya.

Kemudian dia memasukkan kusir ini ke dalam karung dan dia sendiri duduk di tempat kusir, memakai topi caping lebar menutupi mukanya. Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San menyaksikan sendiri dari balik topinya ketika Song-bun-kwi datang lagi dan membawa pergi karung gandum berisi kusir tadi.

la merasa beruntung sekali bahwa kakek iblis itu tidak membuka karung di tempat itu. Setelah kakek itu pergi, cepat Beng San mencari kesempatan dan diam-diam menyelinap turun dari gerobak, lalu lari memasuki sebuah hutan yang lebat dan liar di pinggir Sungai Huang-ho.

Karena takut kalau-kalau dapat dikejar dan ditangkap Song-bun-kwi, Beng San berlari terus menyusup-nyusup hutan liar itu. Setelah hari menjadi sore, barulah dia berhenti. la telah sekali, lelah dan lapar. Agaknya mala petaka masih banyak mengelilingi dirinya.

Baru saja dia terlelap hendak tidur, dia mendengar suara berisik dan ketika dia membuka matanya, dia telah dikurung oleh belasan orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan bengis dan jahat. Semua orang itu memegang golok yang besar dan tajam berkilau!

"Eh, eh... ada apa... mau apa...?" Beng San berseru gagap dan merayap hendak bangun.

"He-he-heh!" Seorang di antara mereka yang bermulut lebar dan berkumis lebat, tertawa bergelak, dari mulutnya menitik keluar air liur, menjijikkan sekali. "Kawan-kawan, daging bocah kurus ini kiranya lumayan juga untuk teman gandum dan arak. He-heh-heh!"

"Apa...?!" Beng San meloncat ke belakang, mukanya pucat. "Kalian ini manusia hendak makan daging manusia? Apakah kalian ini iblis?"

"Sekarang ini jamannya orang makan orang, He-he-heh, apa anehnya kalau kami hendak makan engkau, bocah? Setiap hari baik di kota atau di dusun kau melihat orang makan orang, Ha-ha-ha, orang digerogoti habis dagingnya oleh orang lain. He-heh-heh!"

Para pengurung yang wajahnya amat liar dan bengis-bengis itu merapat maju. Beng San menengok ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya sudah terkurung betul-betul, tidak ada jalan keluar atau lari lagi. la menjadi bingung dan akhirnya timbul amarahnya. Masa dia harus menyerah mentah-mentah saja untuk dijadikan mangsa orang-orang liar ini?

Tidak, dia harus melawan! Latihannya ilmu silat sudah banyak maju, setiap saat terluang tidak pernah dia lupa untuk melatih diri. Kiranya sekarang inilah ujian baginya apakah dia selama ini melatih diri cukup keras atau tidak.

Mendadak terdengar bentakan-bentakan keras. Sinar putih berkelebatan dari kanan kiri. Di antara orang-orang liar itu ada beberapa orang terjungkal dan beberapa batang senjata rahasia menancap pada batang pohon.

"Ahh, Pek-lian-pai yang datang...! Kawan-kawan, lari...!" seru kepala gerombolan liar itu.

Mereka lari cerai-berai sambil menyeret teman-teman mereka yang tadi terjungkal roboh. Sebentar saja di sana tidak kelihatan lagi seorang pun orang jahat, hanya di sana-sini kelihatan paku-paku yang kepalanya berbentuk bunga teratai putih. Itulah Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), senjata rahasia dan tanda anggota perkumpulan Pek-lian-pai.

Beng San girang sekali. Tentu Tan Hok dan teman-temannya yang datang menolongnya. la celingukan ke kanan kiri, lalu memanggil.

"Tan-twako..., aku Beng San di sini...!"

Dari dalam hutan yang sudah mulai gelap itu bermunculan belasan orang. Ada laki-laki, ada pula wanita dan pakaian mereka serba ringkas. Yang laki-laki kelihatan gagah, ada juga yang menakutkan. Tiga orang wanita di antara mereka kelihatan cantik dan gagah, sudah setengah tua akan tetapi masih cantik dan gesit gerak-geriknya. Mereka ini segera mendekati Beng San, seorang di antaranya bertanya ramah.

"Kau tadi memanggil Tan-twako, siapakah yang kau maksudkan?"

Beng San melihat bahwa penanyanya seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, gagah dan keren.

"Aku maksudkan pemimpin rombongan Pek-lian-pai yang bernama Tan Hok, dia adalah sahabat baikku."

Terdengarlah seruan-seruan heran dan kaget di antara belasan orang Pek-lian-pai itu. Si pemimpin sendiri segera mengeluarkan seruan girang.

"Aha, kiranya kau yang bernama Beng San? Tentu saja kami mengenal baik Tan Hok yang memimpin rombongan Pek-lian-pai dari selatan itu. Sudah kuduga bahwa kau tentu Beng San seperti yang pernah diceritakan oleh saudara Tan Hok, maka tadi kami tidak ragu-ragu untuk mengusir perampok-perampok pemakan manusia itu.”

Beng San segera memberi hormat dan berkata, "Banyak terima kasih kuucapkan kepada kakak-kakak yang gagah perkasa. Semakin yakinlah hatiku sekarang bahwa Pek-lian-pai memang perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi, Twako, kenapa kalian yang belum mengenalku telah menolongku dan begini baik kepadaku?"

Beng San merasa sungkan bukan main karena beberapa orang Pek-lian-pai itu sudah mengeluarkan roti dan air minum untuknya.

"Kau makanlah dahulu, nanti akan kami ceritakan sejelasnya. Bukan hanya karena kau adalah kenalan saudara Tan Hok saja maka kami menolongmu, akan tetapi ada hal yang lebih penting lagi. Makanlah dulu, Adik Beng San."

Karena perutnya memang lapar sekali, tanpa malu-malu lagi Beng San kemudian makan hidangan itu dengan lahapnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka ini, orang-orang gagah Pek-lian-pai, dia merasa aman dan tidak takut akan ancaman Song-bun-kwi.

Akan tetapi setelah mengumpulkan paku-paku Pek-lian-pai dari tempat itu, para anggota Pek-lian-pai itu seorang demi seorang lalu pergi dari tempat itu seperti setan-setan saja. Gerakan mereka cepat dan tidak mengeluarkan suara sehingga rombongan seperti ini dalam pertempuran dapat melayani musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kini hanya tinggal pemimpin pasukan yang tadi berbicara dengan Beng San, yang masih duduk dan menghadapi anak itu.

"Ke mana perginya teman-teman tadi?" Beng San bertanya sehabis makan, oleh karena kesunyian tempat itu betul-betul menyeramkan, apa lagi setelah keadaan menjadi makin gelap.

"Ahh, sudah menjadi kebiasaan klta tidak berkelompok, selalu siap untuk menggempur musuh, pasukan-pasukan Mongol yang lewat dekat daerah ini," pemimpin Pek-Lian-pai itu berkata.

Beng San mengangguk-angguk dan mengangsurkan kembali tempat air dan tempat roti yang sudah kosong. "Sekali lagi terima kasih, Twako... ehh, siapakah nama Twako?"

"Namaku Ciu Tek," jawab orang itu singkat.

"She Ciu...? Kalau begitu Twako ini tentunya masih terhitung keluarga dengan pemimpin yang terkenal Ciu Goan Ciang?"

Orang itu nampak gugup, akan tetapi karena keadaan gelap, sukar bagi Beng San untuk memperhatikan mukanya.

"Aaahhh... orang seperti aku ini, mana bisa disejajarkan dengan Ciu Goan Ciang? Ehh, Adik Beng San, kau sudah tahu akan Ciu Goan Ciang, apakah kau juga pernah bertemu dengannya dan di mana dia sekarang?"

"Semua orang, dari pedagang sampai petani, memuji-muji nama besar Ciu Goan Ciang. Tentu saja aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang. Akan tetapi aku belum pernah bertemu muka dengannya dan tentu saja aku juga tidak tahu di mana tempatnya. Ciu-twako, kau tadi bilang bahwa ada hal yang amat penting yang menjadi alasan kau dan teman-teman tadi menolongku. Hal apakah yang amat penting itu?"

"Amat penting bagimu, Adik Beng San. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku ingin mendapat kepastian terlebih dahulu agar jangan mengecewakan dua orang sakti itu. Adikku yang baik, coba kau buka baju atasmu, ingin aku melihat pundak dan dadamu,” kata Ciu Tek.

Beng San membiarkan saja pemimpin orang-orang Pek-lian-pai itu membantu ia melepas bajunya yang sudah rombeng itu, yang dilakukannya karena dia ingin segera mendengar apa yang akan diceritakan oleh pemimpin Pek-lian-pai itu.

Dengan sebatang obor yang baru dinyalakannya, Ciu Tek menerangi dada dan pundak Beng San. Tiba-tiba dia nampak gembira, tertawa-tawa dan menudingkan telunjuknya ke arah pundak Beng San.

"Bagus, kaulah anak mereka! Ha-ha-ha, tak mungkin salah lagi sekarang. Tanda tahi lalat di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isteri yang sakti itu!"

Beng San menjadi bengong, lalu memakai kembali bajunya. "Ciu-twako, apa kau bilang? Aku anak siapa? Harap kau jelaskan, jangan main-main."

Suara Beng San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia adalah anak mereka! Mereka siapa?

"Adik Beng San, jawablah dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir Sungai Huang-ho dan tidak tahu lagi siapa ayah bundamu?"

Beng San mengangguk, membasahi, bibirnya dengan lidah. "Aku... aku sudah lupa akan segala... aku terdampar oleh ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di kelenteng... aku tidak ingat lagi siapa ayah bundaku. Ciu-twako yang baik, lekas kau beri penjelasan, apa artinya semua ini?"

Ciu Tek memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira, "Adik Beng San, kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan ayah bundamu kembali. Mereka sudah lama mencari-carimu ke mana-mana. Tak nyana aku yang menemukan kau di sini. Ahh, girang sekali hatiku!"

Beng San hampir pingsan saking kagetnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu dengan ayah bundanya kembali? Bagaimanakah wajah ayah bundanya itu? Ia sudah lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk. Bahkan she-nya sendiri saja dia sampai lupa.

"Ciu-twako... di mana... di mana... adanya mereka itu...?" Dengan sukar sekali Beng San mengajukan pertaryaan ini, dengan suara terputus-putus dan mata berlinangan air mata.

"Sabarlah, Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan ayah bundamu itu."

Ciu Tek memberi isyarat dengan suitan. Muncullah seorang temannya, seorang anggota Pek-lian-pai wanita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa pedang.

"Kui-moi, kau antarkan suratku kepada Ouw-taihiap suami isteri, malam ini juga," kata Ciu Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada wanita itu. Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.

"Ciu-twako, jadi aku she... she Ouw? Ciu-twako, ceritakanlah tentang ayah bundaku, aku sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-ho? Ahhh, Twako yang baik, ceritakanlah, aku sudah tidak sabar menanti." Seperti anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan memandang terharu.

"Adikku yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang pendekar yang sukar dicari bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk Bi-sin-kiam (Pedang Sakti Cantik)."

Beng San mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah pendekar-pendekar gagah, terkenal di kalangan Pek-lian-pai pula. Alangkah akan kaget dan herannya kalau kelak Tan-twako mendengar akan hal ini, pikirnya.

Hemmm, orang tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua anak-anak Hoa-san-pai itu. Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadap Thio Ki, Kui Lok, dan dua orang gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!

"Ciu-twako," katanya dengan suara gemetar, "jika ayah bundaku begitu terkenal dan lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?"

"Ketika itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-ho, ayah bundamu sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan kau yang masih kecil bermain-main di dekat sungai lalu terseret banjir dan lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah lenyap..."

Beng San termenung. Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama sekali akan hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-thian-tong. Baginya, hidup ini dimulai dari lantai Hok-thian-tong yang dia pel (cuci) setiap hari.

Ingatannya hanya bisa dia putar kembali sampai saat itu, ketika dia menjadi kacung di kelenteng dan diperlakukan dengan amat baik oleh para hwesio di kelenteng itu. Ia tidak dapat mengingat lagi waktu sebelum itu.

Dan sekarang kelenteng itu sudah habis di makan api, tak seorang pun hwesio dapat dia temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak disangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ayah bundanya! Tak tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.

"Tidurlah, Adik Beng San. Tidurlah yang nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan ayah bundamu."

Akan tetapi mana Beng San mau tidur? la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Malah sekarang pun telah berkali-kali dia mencubit kulit lengan sendiri untuk menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur. Kadang-kadang dia hampir tak dapat percaya.

Dia akan bertemu dengan ayah bundanya? Ahhh, terlalu baik, terlampau luar biasa baik nasibnya, sampai-sampai sukar untuk bisa mempercayainya. Tak sabar lagi dia menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa artinya menunggu.

Malam itu terasa amat panjang olehnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar