Raja Pedang Chapter 14

Beng San yang mengintai dari atas batu karang merasa kagum bukan main. Benar-benar hebat. Hanya sembilan orang saja mampu membasmi puluhan musuh. Akan tetapi selain kekagumannya, juga dia merasa ngeri dan bergidik. Bagaimana sesama manusia dapat melakukan pembunuhan besar-besaran seperti ini?

Beng San cukup tahu bahwa para serdadu Mongol itu mempunyai kebiasaan yang jahat terhadap rakyat, seperti yang pernah dilihatnya baru-baru ini. Akan tetapi menghadapi perang bunuh-bunuhan seperti itu, melihat manusia terpanggang oleh anak panah, orang terbakar hidup-hidup, dan melihat orang ketakutan setengah mati, dia tak kuasa melihat lebih lama lagi dan Beng San membuang muka.

Hanya sebentar saja perang ini terjadi. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para anggota Pek-lian-pai benar hebat dan tak seorang pun di antara serdadu Mongol dapat meloloskan diri dari maut. Di pihak Pek-lian-pai, hanya tujuh orang termasuk Tan Hok dan Beng San yang masih hidup. Yang lain tewas terkena anak panah, bahkan ada yang ikut terbakar ketika dia sibuk membakari bambu untuk menjebak musuh. Tan Hok dan teman-temannya lalu berpencaran meninggalkan tempat itu.

"Kau hendak ke mana, Beng San?" tanya Tan Hok ketika melihat anak ini agak pucat dan nampak berduka.

"Aku hendak pergi ke Hoa-san," jawab Beng San singkat.

"Mari kau ikut saja denganku. Kau akan kumasukkan sebagai anggota Pek-lian-pai..."

"Tidak...! Tidak Aku tidak sudi menjadi pembunuh!"

Tan Hok memandang heran, tetapi hanya sebentar saja. la maklum bahwa anak ini tadi merasa ngeri menyaksikan pembunuhan terhadap musuh-musuh itu. Dia menggandeng tangan Beng San.

"Baiklah, kalau kau belum kuat perasaanmu untuk maju berperang. Mari kuantar kau ke Hoa-san. Setelah apa yang terjadi di sini, amat berbahaya melakukan perjalanan seorang diri di daerah ini. Kalau kau berjumpa dengan serdadu, kau akan ditangkap, dipukul dan dipaksa mengaku di mana adanya orang-orang Pek-lian-pai. Mari kau ikut aku, mengambil jalan rahasia untuk menuju ke Hoa-san."

Beng San menurut saja. Wajahnya yang cemberut dan muram dapat dimengerti oleh Tan Hok. Maka pemuda raksasa itu di sepanjang jalan lalu menceritakan keadaan dirinya, dan menceritakan keadaan Pek-lian-pai juga.

"Semenjak kecil, oleh guruku aku sudah diikut sertakan berkecimpung dalam perjuangan melawan pemerintah penjajah Mongol. Guruku yang sudah tidak ada lagi bernama Tan Sam. Dia adalah seorang tokoh terkenal di Pek-lian-pai. Kau tahu, Beng San, Pek-lian-pai merupakan perkumpulan kaum patriot yang anggotanya tersebar di seluruh negeri."

Dengan panjang lebar Tan Hok kemudian menceritakan sepak terjang Pek-lian-pai serta kegagahan para anggotanya yang pantang mundur dan rela mengorbankan nyawa untuk membela bangsa. Beng San yang telah banyak membaca kitab kuno, sudah banyak pula mendengar tentang riwayat para pahlawan, maka dia merasa kagum juga dan simpatinya terhadap Pek-lian-pai menjadi besar.

"Betapa pun juga, perang bunuh-membunuh itu menyakitkan hatiku," katanya sebagai komentar. "Jika membunuh seorang dua orang penjahat masih bisa kuterima. Akan tetapi puluhan orang itu, meski mereka semua orang-orang Mongol atau kaki tangan pemerintah Mongol, apakah mungkin orang sebegitu banyaknya itu jahat-jahat semua?"

Tan Hok tertawa lebar. "Di dalam perang, tidak ada istilah jahat ataukah tidak jahat. Tidak ada permusuhan pribadi. Tentu saja aku sendiri tidak membenci seorang pun serdadu Mongol atas dasar perasaan pribadi karena mengapa aku membenci seorang yang sama sekali tak kukenal? Tentu saja andai kata mereka tadi itu bukan serdadu-serdadu Mongol, aku tak akan sudi mengganggu mereka. Akan tetapi di dalam perang, mereka itu adalah musuh-musuh kita. Musuh rakyat yang harus dibasmi habis. Kalau tidak kita membunuh mereka, tentulah mereka yang akan membunuh kita."

Seorang anak sekecil Beng San yang belum pernah mendengar mengenai politik negara dan kebangsaan, mana bisa mengerti akan hal ini? Apa yang pernah dia pelajari hanyalah tentang peri kemanusiaan dan tentang filsafat-filsafat hidup yang pada umumnya mencela kekerasan dan tidak membenarkan tentang bunuh-membunuh.

Betapa pun juga, semangat Tan Hok saat bercerita membangkitkan rasa suka yang besar dalam hati Beng San, apa lagi setelah raksasa muda itu menjelaskan tentang penjajahan dan kesengsaraan rakyat karena diperas oleh kaum penjajah, yaitu bangsa Mongol.

"Sungguh menggemaskan bila kita pikirkan," demikian antara lain Tan Hok menceritakan, “bangsa kita adalah bangsa yang besar, yang memiliki rakyat banyak sekali. Sebaliknya bangsa Mongol adalah bangsa perantau yang tidak memiliki tempat tinggal yang tertentu, juga rakyatnya hanya sedikit. Akan tetapi bagaimana bisa bangsa kita malah dijajah dan diperbudak oleh bangsa Mongol? Padahal kalau rakyat kita semua bangkit dan melakukan perlawanan, setiap orang Mongol sedikitnya akan berhadapan dengan tiga puluh orang bangsa kita!"

"Kenapa tidak semua rakyat mau bangkit melakukan perlawanan?" tanya Beng San, mulai terbuka matanya dan dia pun merasa heran akan kenyataan ini.

Tan Hok menarik napas panjang. "Sayang di antara bangsa kita banyak yang mudah dan rela dipermainkan, masih banyak orang yang mabuk akan kesenangan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat jelata yang sengsara. Orang-orang kita yang pandai malah banyak yang menjadi kaki tangan Mongol, malah banyak pengkhianat-pengkhianat seperti ini sengaja memusuhi Pek-Lian-pai untuk membantu pemerintah penjajah. Perbuatan keji dan tidak tahu malu ini dilakukan hanya karena mengejar kesenangan duniawi untuk diri pribadi belaka. Mereka tidak malu menjual bangsa sendiri kepada penjajah. Benar-benar sikap yang memuakkan.”

Tan Hok lalu menceritakan pada Beng San tentang orang-orang dan golongan-golongan yang sengaja digunakan oieh pemenntah Mongol untuk menentang kaum pemberontak.

"Di antara mereka ini, yang paling menjemukan adalah kaum Ngo-lian-kauw. Ketuanya adalah Kim-thouw Thian-li. Dia itulah yang sudah membunuh guruku dan aku bersumpah demi tanah air dan keadilan, pada suatu hari aku pasti akan dapat membunuh siluman betina yang cabul itu!" Teringat akan perbuatan Kim-thouw Thian-li dahulu yaitu setelah membunuh gurunya, lalu hendak membunuhnya pula, dia menjadi merah mukanya dan kebenciannya mendalam.

"Aku telah mengumpulkan banyak keterangan tentang Ngo-lian-kauw, juga tentang semua perbuatan Kim-thouw Thian-li yang tak tahu malu. Perempuan cabul itu memang sengaja digunakan oleh pemerintah Mongol untuk melawan Pek-lian-pai. Dia benar-benar lihai dan jahat sekali, licin bagai belut dan banyak siasatnya."

"Mendengar namanya, Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas), tentulah dia seorang wanita yang baik. Sebutannya Thian-li (Bidadari), bagaimana bisa jahat? Pula, seorang wanita saja, apa dayanya terhadap Pek-lian-pai yang begitu banyak mempunyai anggota yang terdiri dari orang-orang gagah perkasa?"

Tan Hok tersenyum pahit. "Sebetulnya itu hanyalah nama yang dipilihnya sendiri, bagiku dia lebih patut disebut iblis betina dari pada bidadari. Tidak dapat dibantah bahwa dia memang cantik jelita. Kim-thouw Thian-li adalah murid tunggal dari Hek-hwa Kui-bo yang terkenal jahat dan kejam..."

"Ahhh...!"

"Kau sudah mendengar namanya?"

"Sudah... sudah...," jawab Beng San yang tentu saja sudah mengenal baik nenek itu.

"Meski Kim-thouw Thian-li adalah seorang wanita, jangan kau kira bahwa dia tak berdaya terhadap Pek-lian-pai. Dia licik, dan selain jumlah anggota Ngo-lian-kauw cukup banyak, juga di setiap tempat dia dibantu oleh para pembesar karena ia memiliki tanda kekuasaan dari kaisar sendiri. Sepak terjangnya sangat licin dan curang. Baru-baru ini dia berusaha keras untuk merusak nama baik Pek-lian-pai dengan perbuatan-perbuatan jahat yang dia sengaja lakukan sambil meninggalkan tanda-tanda Pek-lian-pai. Tentu saja perbuatannya ini dimaksudkan untuk merusak nama Pek-lian-pai, agar Pek-lian-pai dijauhi oleh rakyat dan bahkan dia sengaja hendak mengadu domba Pek-lian-pai dengan partai-partai besar lain. Pendeknya, segala usaha tak tahu malu dia jalankan untuk melemahkan perjuangan menentang pemerintah Mongol. Malah aku sudah mendapat keterangan dari penyelidik Pek-lian-pai bahwa dia sudah berhasil dalam usahanya mengacau hubungan baik antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai."

Beng San sangat kaget. Dia juga pernah mendengar tentang partai-partai besar di dunia persilatan dari Lo-tong Souw Lee, malah sekarang pun dia membawa surat Lo-tong Souw Lee untuk ketua Hoa-san-pai.

"Kenapa pula dia mengganggu Hoa-san-pai dan Kun-lunpai?"

"Sekarang ini di seluruh negeri, para orang gagah bangkit semangatnya untuk melawan penjajah dan banyak yang menggabungkan diri dengan Pek-lian-pai. Untuk mencegah hal inilah maka Kim-thouw Thian-li berusaha merusak hubungan antara partai-partai besar supaya bertengkar sendiri, terutama sekali agar mereka memusuhi Pek-lian-pai. Sayang sekali, seorang pendekar muda dari Kun-lun-pai sudah kena dipikat olehnya, dijatuhkan oleh kecantikannya."

Tan Hok yang sudah mendengar dari para penyelidik Pek-lian-pai, bahkan sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa penolongnya, yaitu Kwee Sin, terpikat oleh kecantikan Kim-thouw Thian-li, lalu menceritakan apa yang dia ketahui. Betapa Kim-thouw Thian-li dengan bantuan orang-orangnya menyamar sebagai orang-orang Pek-lian-pai, kemudian melakukan pelbagai kejahatan, di antaranya membunuh Liem Ta, ayah Liem Sian Hwa tunangan Kwee Sin.

"Tentu saja maksudnya untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai," dia menutup ceritanya, "malah bukan itu saja maksudnya. Ia pun hendak mengadu dombakan kedua partai besar itu dengan Pek-lian-pai. Pernah dia melakukan penyerangan kepada dua saudara, Bun, murid-murid Kun-lun-pai dengan menyamar sebagai orang-orang dari Pek-lian-pai."

Beng San tertarik sekali. "Alangkah kejam dan jahatnya wanita itu."

"Karena itulah aku dan teman-teman selalu memasang mata mencarinya. Awas dia kalau terjatuh ke dalam tangan Pek-lian-pai!"

Karena berjalan sambil bercakap-cakap, tidak terasa lagi mereka sudah sampai di lereng Hoa-san. Tan Hok lalu menyuruh anak itu melanjutkan perjalanannya.

"Kau terus saja mengikuti jalan kecil ini, dan di dekat puncak sana itulah bangunan dari Hoa-san-pai. Mulai dari sini tidak akan ada yang berani mengganggumu lagi. Aku harus kembali kepada teman-temanku. Adik Beng San, selamat berpisah dan mudah-mudahan kelak kita akan bertemu kembali."

Beng San memberi hormat. "Tan-twako, siapa tahu kelak aku pun akan dapat membantu perjuanganmu."

Mereka berpisah dan dengan cerita-cerita Tan Hok masih terbayang dalam benaknya, Beng San mendaki puncak Hoa-san. Akan tetapi segera bayangan ini lenyap ketika dia melihat pemandangan alam yang amat indah dari puncak Hoa-san itu. Hawa udara pun amat segarnya.

Dia menghirup hawa sebanyaknya dan merasa bahwa dia akan betah tinggal di daerah ini…..

********************

Sudah amat lama kita meninggalkan Kwa Hong, gadis cilik putera tunggal Kwa Tin Siong, bocah mungil yang lincah gembira itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwa Hong diantar oleh Koai Atong menuju ke Hoa-san-pai menyusul ayahnya.

Biar pun usia Koai Atong sudah sebaya dengan Kwa Tin Siong, kurang lebih empat puluh tahun, namun orang ini memang tidak normal jiwanya, dan wataknya kadang-kadang atau sering kali seperti seorang kanak-kanak sebaya Kwa Hong.

Oleh karena wataknya inilah maka Kwa Hong merasa amat senang melakukan perjalanan bersama seorang teman yang cocok dan baik lagi lucu. Di samping ini, juga kelihaian Koai Atong merupakan jaminan bagi keselamatannya.

Seperti juga di partai-partai persilatan besar seperti Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, juga puncak Hoa-san ini merupakan pusat Hoa-san-pai yang ditinggali oleh banyak anak murid Hoa-san-pai. Mereka adalah tosu-tosu yang selain mempelajari ilmu silat sekedarnya, juga terutama sekali mempelajari ilmu kebatinan yang diturunkan oleh Nabi Locu. Di bawah bimbingan Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai, para tosu ini rata-rata memiliki kesabaran besar dan bisa menjaga nama baik Hoa-san-pai sebagai orang-orang beribadat.

Kedatangan Kwa Hong menggirangkan para tosu yang menjaga di luar. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik puteri tunggal Kwa Tin Siong yang sering mengajak anaknya mengunjungi Hoa-san. Akan tetapi para tosu ini pun terheran-heran melihat orang yang datang bersama Kwa Hong, seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh tahun akan tetapi cengar-cengir dan ikut berlari-larian di samping Kwa Hong yang seorang anak kecil!

"Supek (Uwa Guru) sekalian! Aku datang menyusul ayah. Di mana ayah dan bibi guru?" Datang-datang Kwa Hong berteriak-teriak kepada para tosu itu.

Tiga orang tua menghampiri Kwa Hong sambil tersenyum, "Ayahmu dan bibi gurumu tidak berada di sini, belum kembali. Lebih baik segera pergi menghadap kakek gurumu, Hong Hong." Para tosu itu biasa memanggil Kwa Hong dengan sebutan Hong Hong dan mereka amat menyayang bocah yang mungil dan selalu gembira ini.

Memang, di antara para cucu murid Lian Bu Tojin, hanya Kwa Hong yang paling sering berdiam di puncak itu karena dia amat dimanja oleh ayahnya dan sering diajak ikut pergi mengembara bersama ayahnya. Kwa Hong berlari sambil tertawa-tawa hendak memasuki bangunan besar berbentuk kelenteng untuk menghadap sukong-nya (kakek gurunya).

"Enci Hong, jangan tinggalkan aku! Aku ikut!" Koai Atong juga lari mengejar.

"Hong Hong, kenapa kau bawa-bawa orang tolol ini? Ehh, orang gila, jangan kurang ajar kau. Tidak boleh masuk!" Tiga orang tosu itu tentu saja hendak melarang Koai Atong yang seenaknya saja hendak memasuki kelenteng itu. Mereka melangkah maju menghadang dan membentangkan kedua lengan menghalanginya.

"Aku mau ikut Enci Hong... melihat-lihat kelenteng!" Koai Atong membantah dan lari terus.

Tiga orang tosu itu menggerakkan tangan untuk memegangnya. Koai Atong bergerak aneh dan... tahu-tahu dia telah dapat menyelinap masuk, lolos dari tangkapan tiga orang tosu itu.

Tentu saja tiga orang tosu ini saling pandang dengan mulut melongo. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan Koai Atong, tidak tahu bagaimana orang itu dapat meluputkan diri dari cengkeraman tiga orang dan tahu-tahu sudah menyelonong masuk. Dari heran mereka menjadi malu dan marah.

"Otak miring, perlahan jalan. Kau tidak boleh masuk!" bentak mereka sambil lari mengejar.

Sekarang mereka mengambil keputusan untuk tidak bersikap lemah lagi, dan kalau perlu orang gila itu harus dipukul. Akan tetapi ketika mereka maju untuk mencengkeram dan memukul, tanpa menoleh Koai Atong menggerakkan kedua lengannya ke arah belakang. Sekaligus dia menangkis tangan tiga orang tosu itu dan... tiga orang tosu itu terjengkang dan roboh!

Hal ini terlihat oleh beberapa orang tosu lain. Mereka menjadi marah dan bersama tiga orang tosu pertama yang sudah bangun lagi, sekarang ada tujuh orang tosu mengejar Koai Atong dengan marah-marah. Baru tosu-tosu ini serentak berhenti mengejar ketika mendengar suara halus dari dalam kelenteng.

"Jangan ganggu dia. Biarkan Koai Atong masuk ke dalam!"

Itulah suara Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Tentu saja para tosu itu sama sekali tidak berani membantah, apa lagi sesudah mendengar bahwa orang tua yang seperti berotak miring itu adalah Koai Atong, seorang kang-ouw yang namanya sudah pernah mereka dengar sebagai seorang yang berilmu tinggi akan tetapi yang berwatak bagaikan bocah! Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas ketika Koai Atong yang mendengar suara Lian Bu Tojin itu kini menoleh kepada mereka, menyeringai dan meleletkan lidah seperti seorang anak nakal mengejek anak-anak lain!

Satu-satunya orang yang agak ditakuti Kwa Hong adalah Lian Bu Tojin. Kakek gurunya ini orangnya sabar sekali, bicaranya halus dan tidak pernah bersikap galak. Akan tetapi bagi Kwa Hong, pandang mata kakek gurunya itu amat tajam dan langsung menjenguk isi hati orang, kadang-kadang berkilat dan membuat hatinya mengkeret.

Maka sekarang ia berlutut dengan hormat di depan kakek gurunya yang duduk bersila di atas lantai bertilam kasur tipis. Koai Atong yang memasuki ruangan itu sambil celingukan dan pringas-pringis, setelah melihat kakek yang berjenggot panjang itu, segera pula turut menjatuhkan diri berlutut di sebelah Kwa Hong.

Lian Bu Tojin mengelus-elus jenggotnya yang panjang, tubuhnya yang tinggi dan kurus itu duduk bersila tegak, tongkat bambunya yang membuat namanya amat terkenal itu terletak di sebelah kirinya. Bibirnya tersenyum dan dia mengangguk-angguk senang.

"Bagus, Hong Hong, kau sudah datang. Ehh, Koai Atong, terima kasih atas jerih payahmu mengantar dia ke sini. Bagaimana dengan gurumu?"

Koai Atong mengangkat mukanya memandang. "Suhu... entah di mana sekarang. Teecu mohon Totiang suka mintakan maaf kepada suhu kalau kelak suhu marah dan menghajar teecu. Tidak mestinya teecu sampai ke Hoa-san."

Dengan sabar Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Tentu saja, kau tidak perlu khawatir. Gurumu Giam Kong Hwesio tak akan marah apa bila dia tahu bahwa kau mengantar cucu muridku ke sini. Kalau kau kembali dan bertemu padanya, harap kau sampaikan salamku kepadanya."

Koai Atong hanya mengangguk-angguk.

Kwa Hong ingin sekali bertanya tentang ayahnya kepada kakek gurunya itu, akan tetapi di depan kakek itu, entah mengapa, mulutnya sukar sekali dibuka. Tetapi kakek yang sudah kenyang makan asam garam penghidupan itu, sekali pandang saja telah dapat menduga apa yang dipikirkan Kwa Hong.

"Hong Hong, ayahmu bersama kedua susiok dan sukouw-mu pergi turun gunung. Kurasa tidak lama lagi, dalam beberapa hari ini mereka akan datang. Di belakang sana ada tiga orang saudara-saudaramu, anak-anak dari kedua susiok-mu. Kau pergilah ke sana dan bermain dengan mereka."

Wajah Kwa Hong tiba-tiba berseri gembira. "Enci Bwee di situ?"

Ketika kakek itu mengangguk. Kwa Hong lalu bangkit dan lari ke belakang melalui pintu samping.

Koai Atong yang masih berlutut, memandang ke arah larinya Kwa Hong, kemudian ia berkata. "Totiang, perkenankan teecu bermain-main di sini selama beberapa hari dengan Enci Hong."

Lian Bu Tojin tersenyum, akan tetapi suaranya tegas ketika berkata. "Atong, kau boleh bermain-main dengan anak-anak itu di sini selama tiga hari. Tak boleh lebih dari tiga hari. Suhu-mu tentu akan menanti-nanti kembalimu."

Sambil mengangguk-angguk Koai Atong lalu berlari gembira mengejar Kwa Hong yang pergi menuju ke taman bunga di belakang kelenteng. Setibanya di taman bunga yang luas dan indah itu, Koai Atong melihat Kwa Hong sedang bercakap-cakap gembira dengan tiga orang anak lain, yaitu dua orang anak laki-laki yang tampan dan seorang anak perempuan yang cantik seperti Kwa Hong.

Biar pun Kwa Hong tampak yang paling muda di antara mereka, namun jelas bahwa tiga orang anak-anak lain itu mengagumi dan menghormatnya, terlihat dari cara mereka itu mendengarkan kata-kata Kwa Hong yang sedang menyombongkan semua pengalaman dirinya yang hebat-hebat, tentu saja dengan tambahan di sana-sini, agar lebih seram dan menarik.

Seperti kita telah ketahui, tiga orang anak itu bukan lain adalah Thio Ki dan Thio Bwee, putera-puteri Thio Wan It, dan yang seorang lagi adalah Kui Lok putera tunggal Kui Teng. Tiga orang anak itu masih berada di Hoa-san, mereka menanti orang tua mereka sambil memperdalam ilmu silat di bawah asuhan Lian Bu Tojin sendiri. Oleh karena Kwa Hong adalah puteri dari orang pertama dari Hoa-san Sie-eng, apa lagi karena memang Kwa Hong lebih sering dan lebih banyak merantau dari pada mereka, ditambah lagi sifat yang lincah gembira, membuat tiga orang anak itu amat mengagumi Kwa Hong.

Tiba-tiba Kui Lok menudingkan telunjuknya ke arah seorang yang berlari-lari memasuki taman. "Ehh, dari mana datangnya orang gila?"

Semua anak menoleh dan melihat seorang laki-laki tinggi besar berlari datang sambil tertawa-tawa. Pakaian dan sepatu laki-laki tinggi besar ini berkembang-kembang seperti yang biasa dipakai wanita. Tentu saja dia ini adalah Koai Atong yang sangat gembira melihat taman bunga begitu indah dan di situ terdapat banyak teman bermain pula.

Kwa Hong tertawa. "Dia bukan orang gila. Dia itulah Koai Atong yang baru saja aku ceritakan tadi. Dia lihai bukan main, orangnya lucu dan pandai bermain-main. He, Koai Atong, ke sinilah. Banyak teman di sini!"

Sambil berloncat-loncatan Koai Atong mempercepat larinya, congklang seperti seekor kuda besar. "Wah, Enci Hong. Aku senang di sini, banyak bunga indah. Tosu tua itu sudah memberi ijin kepadaku untuk tinggal di sini selama tiga hari. Hore, kita bisa bermain-main sepuasnya!"

Thio Ki dan Kui Lok memandang Koai Atong dengan kening berkerut, sedangkan Thio Bwee memandang orang aneh itu dengan perasaan ngeri dan jijik. Bagaimana mereka bisa bermain-main dengan seorang gila seperti ini?

Tanpa mempedulikan sikap ketiga orang anak yang lain itu, Kwa Hong berkata gembira kepada Koai Atong, "Eh, Atong, kau berkenalan dulu dengan teman-teman ini yang semua adalah orang-orang sendiri."

Dia lalu menyebut nama ketiga orang anak itu seorang demi seorang. Dengan sepasang matanya yang berputaran, Koai Atong memandang tiga orang anak itu seorang demi seorang. Thio Bwee sampai melangkah mundur setindak saking ngerinya.

"Masa orang tua bermain-main dengan anak-anak?" Thio Ki mencela sambil memandang tajam kepada Koai Atong. Dia tidak percaya kepada orang tinggi besar ini yang menurut pandangannya tentu bukan orang baik-baik.

"Benar, Ki-ko (Kakak Ki). Aku pun tidak sudi bermain-main dengan dia. Ihhh, kakek-kakek mau bermain dengan anak kecil!" Thio Bwee memperkuat pendapat kakaknya.

Akan tetapi Kui Lok mendadak berkata sambil memandang Kwa Hong, "Kalau Adik Hong sudah menjadi temannya, mengapa kita tidak? Koai Atong, aku juga suka bermain-main denganmu, sama seperti Adik Hong."

Thio Bwee menoleh kepada Kui Lok. Sepasang matanya seperti berapi. Biasanya anak ini pendiam, akan tetapi entah mengapa, kini agaknya dia marah sekali kepada Kui Lok.

"Kau memang selalu lain dari pada orang lain. Tidak hanya tangan, juga pikiranmu!"

Wajah Kui Lok menjadi merah mendengar sindiran ini. la maklum bahwa Thio Bwee tadi menyindir tangannya yang kidal.

Kwa Hong tertawa, sama sekali tidak marah karena temannya dicela. "Dulu pun aku tidak suka, akan tetapi setelah melihat betapa lihainya Koai Atong, dan betapa dia baik hati dan penurut, aku lalu menjadi suka padanya. Hemmm, kalian ini bertiga menghadapi tangan kirinya saja tak akan mampu mengalahkannya. Dia lihai sekali, mungkin tidak kalah oleh ayah kalian."

"Bohong..,..!" seru Thio Bwee marah.

"Aku tidak percaya...!" kata Thio Ki penasaran.

Kui Lok juga terpukul oleh ucapan Kwa Hong itu. la ragu-ragu, mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. "Ahh, agaknya tak mungkin..." akhirnya dia berkata.

"Kalian tidak percaya? Kurasa, dua orang ayah kalian maju bersama masih tidak mampu melawan Koai Atong. Kalian tahu? Dia pernah menolong ayah dan bibi guru. Hebat sekali. Penjahat-penjahat lihai dia kalahkan hanya dengan memutar-mutar tangan kirinya seperti ini..."

Dengan lincah dan lucu Kwa Hong lalu memutar-mutar tangan kiri beberapa lama sambil menggigit bibir, kemudian sambil berseru, "mati...!" tangan kirinya itu mendorong ke depan ke arah batang pohon besar yang tumbuh di situ. Beberapa helai daun pohon gugur dari tangkainya.

"Ahh, Enci Hong, kurang tenaga... kurang tenaga...! Gerakanmu sudah cukup indah, tapi pukulan itu belum mengandung tenaga. Lihat begini Iho!"

Koai Atong lalu memutar-mutar tangan kirinya seperti yang dilakukan Kwa Hong barusan, menggerakkan tangan itu perlahan ke depan, ke arah pohon yang tadi. Hebat sekali akibatnya. Pohon yang jaraknya antara dua meter dari tempat dia berdiri, tidak kelihatan goyang akan tetapi tiba-tiba semua daunnya rontok dari atas seperti hujan. Ketika semua anak memandang, ternyata bahwa pohon itu tiba-tiba menjadi gundul tak berdaun lagi!

Kwa Hong tersenyum girang dan bangga ketika melihat betapa Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok memandang dengan muka pucat. Bahkan Kui Lok meleletkan lidahnya saking heran dan kagumnya!

"Nah, bukankah dia hebat dan sangat lucu?, Kalau kalian berbaik kepadanya, kalian juga bisa mempelajari ilmunya, seperti aku. Kelak kita akan menjadi orang-orang yang lebih lihai dari pada ayah. Bukankah hebat?" kata pula Kwa Hong.

"Heee, siapa bikin rontok semua daun pohon itu? Celaka, pohon itu akan mati!"

Seruan ini dibarengi munculnya tiga orang tosu dari pintu taman. Ketika tiga orang tosu itu melihat Koai Atong, mereka makin marah. Mereka ini bukan lain adalah tosu-tosu yang tadi telah dirobohkan Koai Atong.

Seorang di antara mereka, yang matanya juling, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya ke arah Koai Atong sambil membentak.

"Orang gila ini berada di sini? Hong Hong, jangan biarkan dia di sini. Tentu dialah yang merusak pohon itu. Ahh, celaka, Hoa-san-pai kedatangan iblis gila!"

Kwa Hong melihat Koai Atong cengar-cengir dan mengejek ke arah tiga orang tosu itu dengan mulut dan mata dimain-mainkan, matanya melotot plerak-plerok dan mulutnya kadang-kadang dipencas-penceskan atau lidahnya dikeluarkan dan diulur ke arah ketiga orang tosu itu.

Sambil menahan ketawanya melihat ‘kenakalan’ Koai Atong, Kwa Hong cepat berkata, "Sam-wi Supek (Uwa Guru Bertiga) harap jangan marah. Koai Atong sudah mendapat perkenan sukong (kakek guru) untuk bermain-main di sini selama tiga hari."

Tiga orang tosu itu cemberut dan bersungut-sungut, "Orang gila diperbolehkan mengacau taman, merusak bunga dan merusak watak anak-anak. Celaka...! Biarlah, pinto (aku) akan berdoa selama tiga hari kepada para dewa agar supaya dia dikutuk...!" kata tosu bermata juling sambil mengajak teman-temannya pergi.

Setelah menyaksikan ketihaian Koai Atong tadi, di dalam hati tiga orang anak itu timbul keinginan hendak mempelajari ilmu pukulan tadi.

"Koai Atong, kau memang lihai sekali. Ajarkan ilmu pukulan tadi kepadaku!" kata Kui Lok mendekati.

”Kami pun ingin mempelajarinya," kata Thio Ki dengan sikapnya yang masih angkuh. Thio Bwee diam saja akan tetapi diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kalau semua orang mempelajari, dia pun tak akan mau ketinggalan.

Melihat betapa anak-anak itu semua sekarang suka kepadanya, Koai Atong menjadi gembira sekali. Memang dia sudah tua, namun jiwanya memang tidak normal, sifatnya seperti kanak-kanak yang tentu saja merasa bangga dan suka apa bila anak-anak lain kagum kepadanya.

Ia tertawa-tawa dan berkata, "Mau belajar? Boleh, boleh, akan tetapi tidak mudah. Biarlah kita pergunakan pohon-pohon di taman ini sebagai lawan dalam latihan. Lihatlah baik-baik bagaimana kedudukannya kedua kaki, gerakan tangan kiri dan di mana letaknya tangan kanan. Begini."

Koai Atong lalu memberi petunjuk yang diturut oleh tiga orang anak itu. Mula-mula Thio Bwee masih malu-malu, akan tetapi kemudian melihat betapa Kwa Hong juga memberi petunjuk-petunjuk, ia menjadi tertarik dan ikut-ikut juga.

"Sudah bagus, sudah baik. Kalian cucu-cucu murid Hoa-san-pai memang berbakat," kata Koai Atong senang. "Sekarang mari coba memukul pohon-pohon itu. Kalian perhatikan baik-baik."

Koai Atong lalu menghampiri sebatang pohon besar, kemudian dengan sepenuh tenaga dia mendorong dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang. Akan tetapi pada saat itu, dari belakang pohon berkelebat bayangan orang dan di situ telah berdiri Lian Bu Tojin, tangan kiri memegang tongkat bambu sedangkan tangan kanannya diluruskan untuk menyambut dorongan tangan kiri Koai Atong.

"Atong, jangan merusak pohon...," kata tosu tua itu.

Koai Atong yang berwatak kanak-kanak itu pada dasarnya bukan dari kalangan baik-baik, maka setiap kali dilawan, dia tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Maka begitu dia merasa betapa pukulannya Jing-tok-ciang disambut oleh tangan kakek itu, dia mengerahkan tenaga dan melanjutkan pukulan itu dengan dorongan maut yang penuh hawa Jing-tok-ciang (Racun Hijau).

Kedua tangan itu bertemu dan lengket. Tangan kiri Koai Atong berubah kehijauan. Akan tetapi Lian Bu Tojin hanya berdiri tersenyum sambil memandang tajam. la maklum akan watak seorang seperti Koai Atong yang tentu tidak jauh dengan watak guru anak tua ini, teman baiknya, Ban-tok-sim Giam Kong. Dari julukannya saja, Ban-tok-sim berarti Hati Selaksa Racun. Dapat dibayangkan bagaimana watak guru Koai Atong.

Kwa Hong dan teman-temannya merupakan anak-anak dari para ahli silat Hoa-san-pai. Sebagai anak-anak yang semenjak kecil kenal akan seluk-beluk persilatan tingkat tinggi, tentu saja mereka tahu apa yang sedang terjadi antara Koai Atong dan sukong (kakek guru) mereka, yakni adu kepandaian atau lebih tepat adu tenaga dalam. Mereka semua memandang dengan muka berubah dan mata bersinar-sinar.

Ada dua menit Koai Atong dan ketua Hoa-san-pai itu berdiri tegak sambil meluruskan tangan. Akhirnya Lian Bu Tojin berkata perlahan.

"Koai Atong, kau sudah maju banyak."

Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuh Koai Atong terdorong ke belakang sampai lima langkah tanpa dapat dicegahnya lagi. Mukanya menjadi merah sekali dan tiba-tiba Koai Atong mengeluarkan anak panahnya yang berwarna hijau. Inilah senjatanya yang ampuh dan hebat.

Lian Bu Tojin melihat ini kemudian tertawa. Tentu saja dia tidak bisa menganggap murid temannya ini sebagai musuh atau lawan yang seimbang.

"Aha, Atong, kau hendak memperlihatkan Ilmu Silat anak panah? Silakan, silakan, biar kau nanti dapat melapor kepada gurumu bahwa ketua Hoa-san-pai meski pun sudah tua tetapi belum lemah benar..."

Ucapan ini merupakan perkenan bagi Koai Atong yang tadinya masih ragu-ragu untuk menyerang kakek itu. Mendadak dia berseru keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus anak panah di tangannya sudah melakukan serangan susul-menyusul sampai delapan kali banyaknya.



Anak panah itu berubah menjadi segulung sinar hijau menyambar-nyambar ke arah diri kakek itu. Kwa Hong dan teman-temannya memandang penuh kekhawatiran. Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan tenang menggerakkan tongkat bambunya.

Terdengar bunyi keras delapan kali ketika anak panah itu selalu terbentur tongkat bambu ke mana pun juga digerakkan. Memang ilmu pedang Hoa-san-pai luar biasa hebat. Jelas kelihatan oleh Kwa Hong dan teman-temannya bahwa kakek gurunya itu hanya mainkan jurus Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan) dari Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat. Tapi cara pergerakannya demikian sempurnanya sehingga delapan macam serangan dari Koai Atong dapat digagalkan!

Kemudian terdengar seruan perlahan dari kakek itu. "Koai Atong, sekarang jagalah jurus dari Hoa-san ini."

Tongkat bambu bergerak perlahan dan... anak panah itu terlepas dari tangan Koai Atong, terlempar ke atas. Akan tetapi Koai Atong lantas memperlihatkan kelihaiannya. la dapat menggulingkan tubuh melepaskan diri dari lingkaran tongkat bambu, kemudian tubuhnya melesat ke atas dan tahu-tahu anak panah itu sudah dipegangnya lagi. la mengeluarkan suara seperti orang menangis kemudian... dia lari tunggang-langgang dan meninggalkan taman seperti seorang anak kecil nakal melarikan diri karena takut mendapat hukuman.

Lian Bu Tojin tertawa, lantas mengerahkan khikang berkata ke arah larinya Koai Atong, "Atong, sampaikan salamku kepada gurumu Giam Kong!"

Setelah Koai Atong pergi, kakek ini berubah mukanya. Kini keren dan sungguh-sungguh. la menghadapi Kwa Hong dan teman-temannya, kemudian terdengar kakek ini berkata, suaranya menahan kemarahan.

"Kwa Hong, bagaimana bunyi larangan ke tiga dari Hoa-san-pai?"

Berubah wajah Kwa Hong, agak pucat. Kalau kakek gurunya sudah memanggil namanya dengan penuh, tidak Hong Hong seperti biasanya, itu bisa diartikan bahwa kakek gurunya benar-benar marah.

Setelah menjura ia pun berkata sambil menundukkan muka, "Larangan ke tiga berbunyi: Setiap orang murid Hoa-san-pai tidak boleh mempelajari ilmu silat dari luar Hoa-san-pai tanpa seijin gurunya.”

"Hemmm, baik kau masih ingat. Tapi, kenapa kau tadi mempelajari Jing-tok-ciang yang amat keji itu dari Koai Atong?"

Suara tosu tua itu kedengarannya makin marah, membuat Kwa Hong kaget dan takut sekali. la memang paling takut kepada kakek gurunya ini. Akan tetapi ia pun merasa heran mengapa orang tua ini marah-marah, padahal biasanya amat sabar.

"Saya... saya mengaku salah, Sukong. Siap menerima hukuman!"

Anak perempuan ini menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gurunya. Tiga orang anak yang lain melihat ini menjadi ketakutan pula dan mereka pun serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan berkata hampir berbareng.

”Teecu juga mengaku salah dan siap menerima hukuman”.

Melihat cucu-cucu muridnya berlutut siap menerima hukuman dan sikap anak-anak yang penuh ketaatan akan peraturan Hoa-san-pai, sikap yang memang sudah terkenal dari murid-murid Hoa-san-pai, kemarahan ketua Hoa-san-pai ini mereda.

"Kalian tahu," katanya, suaranya masih keren, "apa hukuman bagi murid yang melanggar larangan ke tiga itu?"

Empat orang anak itu mengangguk.

"Si pelanggar harus membuang ilmu yang dipelajarinya di luar Hoa-san-pai, kalau perlu badannya dirusak supaya ilmu itu tidak dapat dipergunakan. Baiknya kalian belum pandai mempergunakan Jing-tok-ciang, kalau sudah pandai, pinto (aku) tidak akan segan-segan mematahkan tangan kiri kalian!"

Jelas tampak betapa empat orang anak itu pucat dan gemetar mendengar ini.

"Hong Hong, kelancanganmu belajar dari Koai Atong masih belum seberapa bahaya jika dibandingkan dengan perbuatanmu membujuk saudara-saudara seperguruan untuk turut mempelajarinya pula. Perbuatan itu buruk sekali."

Biar pun ia dimarahi, namun Kwa Hong yang cerdik menjadi lega mendengar cara kakek itu menyebut namanya. Itu berarti bahwa kakek gurunya tidak marah lagi kepadanya.

"Teecu tidak membujuk, Sukong. Mereka memang suka mempelajari setelah melihat Koai Atong memukul pohon."

"Betul, Sukong. Teecu yang bersalah, ingin belajar, sama sekali tidak dibujuk oleh Adik Hong," kata Kui Lok cepat-cepat.

"Teecu juga tidak dibujuk," sambung Thio Ki. Thio Bwee diam saja, hanya melirik ke arah Kui Lok.

"Sudahlah," kata kakek itu. "Kalian anak-anak harus ingat baik-baik. Sebetulnya bagi aku sendiri yang menjadi ketua Hoa-san-pai, belajar ilmu silat dari golongan lain bukanlah hal yang amat buruk. Akan tetapi mengapa diadakan peraturan dan larangan di Hoa-san-pai? Bukan lain untuk menjaga dan mencegah anak-anak murid Hoa-san-pai menyeleweng mempelajari ilmu yang sesat. Kalau sampai terjadi demikian, apa bila sampai ada anak murid Hoa-san-pai mempelajari ilmu yang sesat kemudian menyeleweng dan melakukan perbuatan jahat, bukankah hal itu akan merusak nama baik Hoa-san-pai?"

"Sukong," kata Kwa Hong yang sekarang sudah timbul keberaniannya. "Apakah ilmu silat dari Koai Atong termasuk ilmu sesat?"

Kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. "Sesungguhnya, kalau mau berkata secara jujur, di dunia ini tak ada ilmu yang sesat. Semua ilmu itu baik, tergantung kepada si pemakai ilmu. Ilmu dapat menjadi baik kalau dipergunakan untuk kebajikan. Sebaliknya, biar pun ilmu yang amat bersih, apa bila dipergunakan untuk kejahatan, dapat menjadi ilmu yang kotor dan buruk."

Empat orang anak itu saling pandang tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh sukong mereka.

Kakek ini pun agaknya maklum, karena itu sambil tersenyum dia berkata lagi, "Biarlah aku jelaskan. Misalnya saja ilmu bun (kesusastraan), siapa bilang bahwa ilmu membaca dan menulis ini bersifat buruk? Akan tetapi tetap saja baik buruknya tergantung pada pemakai ilmu. Ilmu ini baik apa bila dipergunakan untuk membuat sajak-sajak indah, menuliskan ilmu-iimu yang tinggi dan sebagainya. Akan tetapi bukankah menjadi ilmu yang sangat buruk dan jahat apa bila dipergunakan orang untuk membuat surat-surat fitnah, membuat laporan-laporan palsu, dan lain-lain seperti yang sekarang ini sering kali dilakukan orang?"

Barulah Kwa Hong dan teman-temannya mengerti. Memang pada waktu itu, sebagian besar rakyat tidak pandai membaca dan menulis. Sepucuk surat fitnah saja cukup untuk mencabut nyawa seorang yang buta huruf. Apa lagi di kota-kota besar dan terutama di kota raja, kepandaian menulis menjadi senjata yang jauh lebih ampuh dari pada selaksa pedang dan lebih jahat dan keji dari pada ular-ular berbisa.

"Nah, jelaskah sekarang? Baru ilmu menulis saja sudah begitu jahat, apa lagi ilmu silat. Aku tidak mau bilang bahwa ilmu yang diajarkan oleh Koai Atong itu jahat, akan tetapi sifat dari Jing-tok-ciang amatlah berbahaya. Ilmu pukulan itu tidak ada ampunnya, sekali saja dipergunakan, kalau yang menerima kurang kuat, bisa merenggut nyawa. Kalau tadi aku tak kuat menahan pukulannya, apakah sekarang aku tidak sudah menggeletak mampus? Ha-ha-ha!"

Kwa Hong dan teman-temannya bergidik dan baru terbuka mata mereka akan perbedaan ilmu silat Hoa-san-pai dan Ilmu Jing-tok-ciang. Dari kata-kata kakek gurunya itu mereka tahu bahwa sebetulnya ilmu silat milik Hoa-san-pai tidak usah kalah oleh Jing-tok-ciang, sungguh pun Jing-tok-ciang kelihatan luar biasa dan mukjijat.

"Kalian yang tekun belajar ilmu silat kita sendiri, yang rajin berlatih, kalau ilmu silat kalian sudah mencapai tingkat setaraf dengan tingkat Koai Atong, kalian takkan kalah olehnya." Kakek ini menarik napas panjang dan berkata lagi, perlahan seperti pada diri sendiri, "Sayangnya... sampai sekarang tidak ada tulang yang cukup baik untuk menjadi ahli waris Hoa-san-pai... bahkan yang sebaik Koai Atong saja tak ada..." Setelah berkata demikian, dengan muka sedih kakek ini meninggalkan taman.

Terbangkit semangat Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok mendengar wejangan-wejangan Lian Bu Tojin tadi. Sejak saat itu, mereka lalu berlatih dengan giat, setiap saat mereka berempat dapat terlihat berlatih silat di dalam taman atau di lian-bu-thia (ruang berlatih silat) di bawah petunjuk Lian Bu Tojin sendiri.

Tentu saja dalam beberapa bulan saja mereka mendapatkan kemajuan yang luar biasa. Dengan adanya teman-teman berlatih, mereka seakan-akan berlomba untuk melebihi temannya dan hal ini pula yang mempercepat kemajuan mereka.

Akan tetapi, terjadi keganjilan yang menyolok. Hal ini hanya dapat diketahui oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Anak-anak perempuan tentu saja lebih halus perasaannya dan tahu membedakan sikap anak laki-laki. Baik Kwa Hong mau pun Thio Bwee dapat melihat bahwa selain berlomba dalam latihan, agaknya antara Thio Ki dan Kui Lok juga ada lain perlombaan lagi, yaitu berlomba menyenangkan atau merebut perhatian Kwa Hong, si gadis cilik yang lincah gembira, bermata bintang dan agak galak itu!

Kwa Hong menghadapi kenyataan ini dengan bangga dan sikapnya menjadi makin manja, tinggi hati, dan agaknya mempermainkan dua orang anak laki-laki itu. Sebaliknya, Thio Bwee yang pendiam, hanya sering nampak murung kalau melihat Kui Lok bermain-main dengan sikap bermuka-muka di depan Kwa Hong, mencarikan bunga, mernbuat mainan dari rumput dan lain-lain.

Waktu berlalu cepat. Anak-anak itu ditinggal orang tua mereka di puncak Hoa-san-pai sudah ada empat bulan lebih. Ketika Hoa-san Sie-eng datang ke puncak Hoa-san, semua anak-anak itu merasa gembira, akan tetapi ternyata bahwa orang tua mereka itu masih belum mau meninggalkan Hoa-san.

Kwa Tin Siong dan tiga orang adik seperguruannya menceritakan kepada Lian Bu Tojin tentang pertemuan mereka dengan dua orang saudara Bun, malah memberi tahukan pula bahwa Kun-lun Sam-hengte akan datang ke Hoa-san dalam waktu lima bulan lagi.

Lian Bu Tojin rnengelus jenggot dan menggeleng kepala. "Tidak disangka sama sekali akan terjadi hal yang begini tidak menyenangkan," katanya. "Selama puluhan tahun ini, hubunganku dengan Pek Gan Siansu ketua Kun-lun-pai adalah hubungan saudara. Malah kami ingin mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kami. Siapa tahu malah mala petaka timbul karena ini."

Dengan air mata berlinang Sian Hwa berkata, "Ampunkan teecu Suhu. Teecu sudah menimbulkan kedukaan dalam hati Suhu, akan tetapi... apakah daya teecu? Ayah teecu dibunuh oleh... oleh... keparat itu..."

Lian Bu Tojin mengangkat tangannya. "Kau tidak salah Sian Hwa, kau tidak salah. Malah pinto yang sesungguhnya merasa berdosa. Pinto yang menjodohkan kau dengan murid Kun-lun-pai, siapa tahu..." Kakek itu berulang kali menarik napas panjang.

"Persoalan ini tentu akan segera dibikin terang setelah Kun-lun Sam-hengte tiba di sini lima bulan lagi, Suhu.” Kwa Tin Siong menghibur. "Biarlah lima bulan lagi teecu bersama datang lagi dan berkumpul di sini untuk menghadapi murid-murid Kun-lunpai."

"Kalian pulanglah, akan tetapi anak-anak itu biarkan di sini saja. Bukankah lima bulan lagi kalian datang? Aku ingin melihat sendiri kemajuan mereka, terutama membimbing watak mereka. Tin Siong dan kau, Wan It dan Kui Keng, tentu rela meninggalkan anak-anak kalian di sini untuk lima bulan lagi, bukan?"

"Tentu saja, Suhu. Malah teecu menghaturkan banyak terima kasih bahwa Suhu sendiri berkenan membimbing mereka," jawab tiga orang murid itu serempak.

"Suheng sekalian, jangan khawatir, aku berada di sini menemani mereka," kata Sian Hwa.

Makin gembira hati mereka, juga Lian Bu Tojin girang sekali mendengar bahwa Sian Hwa yang sudah tidak ada keluarga lagi itu hendak ikut menanti di Hoa-san selama lima bulan.

Demikianlah, Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng turun dari Hoa-san untuk pulang ke rumah masing-masing sedangkan Sian Hwa tinggal di Hoa-san bersama murid-murid keponakannya. Gadis yang sedang menderita tekanan batin ini menghibur hatinya dengan melatih silat kepada keponakan-keponakannya. Sedikit banyak agak terhiburlah hatinya melihat anak-anak yang gembira dan lincah itu.

Apa-lagi terhadap Kwa Hong, Sian Hwa amat menyayangnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar