Raja Pedang Chapter 10

“Segera terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para petani mencoba melawan, namun sia-sia karena jumlah ular terlampau banyak.

Melihat ini Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka orang muda ini menyambar sebatang toya, kemudian menerjang rombongan ular itu. Dia menggebuk dan memukul, menghancurkan banyak kepala ular.

Akan tetapi ular itu terlampau banyak dan tidak mungkin dia dapat melindungi dua puluh lebih orang bernasib malang yang diserbu ular-ular itu. Apa lagi di antara ular-ular itu, juga banyak terdapat ular-ular kecil berbisa yang amat gesit. Sekali pagut saja ular-ular seperti ini mematikan korbannya.

Melihat betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah meluap-luap dia melihat betapa makin banyak dia membunuh ular, maka makin ganaslah ular-ular yang lain dan dalam sekejap mata saja para petani itu sudah roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.

"Iblis kecil berhati keji!"

Tan Hok membalik tubuh dan melompat dengan toya di tangan, menyerang bocah kecil penyuling yang aneh itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam Kin, murid Siauw-ong-kwi tokoh besar dari utara yang amat jahat.

Serangan dengan toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba Giam Kin menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka Tan Hok. Terkejut raksasa muda ini. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya dengan toya yang dipegang di tangan kanan.

Akan tetapi sebelum toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan sambil melempar toyanya, kemudian tangan kanannya merenggut ular kuning emas yang sudah menggigit tangan kirinya. Rasa sakit, panas dan gatal-gatal menyerang seluruh tubuhnya.

Sekali remas saja hancur luluhlah kepala dan tubuh ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit yang menguasai tubuhnya tak tertahankan lagi. Sambii memekik-mekik Tan Hok memutar tubuh dan pergi secepatnya dari tempat itu.

"Ha-ha-ha-ha, orang sombong itu tidak akan waras lagi otaknya, dia sudah terkena racun Kim-tok-coa (Ular Racun Emas)!" Giam Kin tertawa bergelak kemudian meniup sulingnya lagi.

Ular-ular yang tadinya sedang berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang lari ketakutan mendengar suara suling sehingga sebentar saja di situ tidak ada seekor pun ular, kecuali bangkai-bangkai ular yang dibunuh Tan Hok tadi dan mayat para petani yang malang melintang.

Kwi-wangwe beserta kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang amat menyeramkan ini. Dengan penuh hormat Kwi-wangwe mempersilakan Giam Kin masuk ke dalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk membersihkan halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai ular dan mayat para petani…..

********************

Tan Hok berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biar pun dia sudah terkena gigitan ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat berlari cepat sampai puluhan li jauhnya. Akan tetapi akhirnya dia terguling roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan.

Matahari dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak berdaya, seolah-olah hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun ular kuning keemasan itu mengandung hawa yang amat panas sehingga seluruh tubuh Tan Hok menjadi merah kehitaman, apa lagi di bagian tangan yang tergigit sampai menjadi hitam seperti hangus terbakar.

Pada saat itu, dari jurusan selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi, terdengar suara orang bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini.

Setelah kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan tahun usianya. Pakaiannya compang-camping, lebih patut menjadi pakaian seorang jembel yang terlantar. Akan tetapi lengan dan kakinya berkulit bersih.

Betapa pun juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang berkulit aneh, yaitu berwarna kehijauan seperti hijaunya daun muda. Sepasang matanya juga bukan mata manusia biasa karena mengandung sinar yang amat tajam, malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang berwarna kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik ketakutan dan mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia.

Apa lagi kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh! Nyanyiannya saja sudah tidak karuan, iramanya pun bukan nyanyian, lebih pantas disebut ocehan orang gila atau orang mengigau akibat sakit demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia bernyanyi,

Heh perut berhentilah merengek!
Tidak malukah kau kepada kaki?
Yang bekerja keras tak pernah mengeluh
Kau tiada guna, tak pernah bekerja,
Kerjamu hanya merengek minta diisi!

Kata-kata aneh ini dia nyanyikan di sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang kayu yang dipegang oleh kedua tangannya untuk membuat irama nyanyiannya yang tidak karuan. Selain warna mukanya yang kehijauan dan sepasang matanya yang luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan, tubuhnya pun padat berisi dan kuat. Bocah ini bukan lain adalah Beng San.

Seperti sudah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan sekali Beng San bocah korban banjir Sungai Huang-ho yang tak tahu akan nama keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan mendapat Ilmu-ilmu Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee yang oleh Hek-hwa Kui-bo dimaksudkan untuk memperbesar daya hawa ‘Yang’ dalam tubuh anak ini dan membunuhnya. Akan tetapi tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan malah menyelamatkan nyawa Beng San dari hawa pukulan Jing-tok-ciang dari Koai Atong.

Kemudian secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang kakek aneh ini menurunkan atau mewariskan dua macam ilmu silat yang hebat padanya. Dari Phoa Ti, dia mewarisi Khong-ji-ciang dan Im-sin-kiam, sedangkan dari The Bok Nam, dia mewarisi Pat-hong-ciang dan Yang-sin-kiam.

Ada pun Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu Im-yang Sin-kiam yang merupakan pecahan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, yaitu ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang dahulu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su di jaman pemberontakan An Lu Shan (tahun 755), kira-kira lima ratus tahun yang lalu.

Ilmu Im-yang Sin-kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira secara tidak disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng San yang sudah mempelajari ilmu ini dan melatihnya setiap hari sampai hafal betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah mempunyai ilmu yang hebat. Anak ini hanya tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi kuat dan ringan, malah dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi dari perasaan panas atau dingin di tubuhnya.

Setiap kali dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya akan mengeluarkan hawa dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa ‘Im’ secara otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya yang berubah menjadi kehijauan. Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah merah kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa ‘Yang’ di tubuhnya bekerja.

Hanya apa bila hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini, tanpa dia sadari, apa bila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis berubah merah kehitaman, sebaliknya apa bila dia merasa gembira, wajahnya menjadi hijau!

Pada saat itu hawa udara amat panasnya, maka tak heran kalau muka anak ini menjadi kehijauan, tanda bahwa hawa ‘Im’ otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa lapar sekali, sejak kemarin tidak kemasukan apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi, pepohonan gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.

"Ehh, mata yang sial. Di mana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat aku kubur, sekarang ada lagi di tengah sawah. Sialan benar!" Beng San mengomel ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di tengah sawah.

Memang, seperti halnya Tan Hok, bocah ini pun semenjak hari kemarin melihat banyak mayat menggeletak di pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan. Sejak kecil Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-filsafat kuno tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, hatinya merasa tidak tega dan dia pun mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur secara sederhana.

Dengan hati agak kesal karena perutnya lapar dan selalu bertemu mayat, Beng San lalu menyimpang dari jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok yang tak bergerak seperti sudah mati itu. Setelah memandang wajah dan tubuh Tan Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata,

"Sayang... sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati di sini. Anehnya, orang mati kelaparan mengapa badannya masih tegap dan besar seperti ini? Aneh...aneh..."

Namun Beng San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia lakukan dengan dua batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat. Orang tentu takkan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Dua batang kayu ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata berubah seperti dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu meter lebih dalamnya.

Melihat tubuh tinggi besar yang masih dalam keadaan baik itu, Beng San merasa kasihan apa bila menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalam. Ternyata bagian bawah tanah itu merupakan tanah lempung yang kering, akan tetapi halus dan berwarna kemerahan.

Setelah menggali cukup dalam, dia meletakkan sepasang rantingnya dan membungkuk, mengangkat tubuh itu. Badan Tan Hok besar sekali, beratnya takkan kurang dari seratus kilo, akan tetapi benar-benar mengherankan betapa anak kecil itu dapat memondongnya dengan mudah.

Beng San kaget sekali ketika merasakan betapa kulit tubuh Tan Hok amat panas. la masih kecil, belum dapat mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubuh itu kaku dan diam tak bernapas, dia menganggapnya sudah mati. Dia menganggap panas tubuh Tan Hok disebabkan terik sinar matahari.

Dengan perlahan dan hati-hati Beng San lalu meletakkan tubuh tinggi besar itu ke dalam lubang. Mulutnya berbisik-bisik "Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan damai."

Kata-kata ini dahulu pernah dia dengar dari seorang hwesio ketika melakukan upacara menguburkan mayat.

Mendadak dia kaget dan melompat mundur, matanya terbelalak. Kalau saja Beng San bukannya seorang anak luar biasa yang tidak mengenal rasa takut, tentu dia akan lari terbirit-birit menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. ‘Mayat’ tadi bergerak-gerak dan dengan gerakan liar lalu bangun duduk, matanya melotot merah, sedangkan mulutnya berteriak-teriak.

"Lapar... lapar...! Tanah menghasilkan segala macam tetumbuhan yang dapat dimakan, masa tanah sendiri tak boleh dimakan?"

Dan ‘mayat’ itu lalu mencengkeram tanah lempung merah dan... tanah itu dimakannya dengan amat lahapnya.

Untuk sejenak Beng San berdiri seperti patung, matanya terbelalak heran. Mula-mula dia merasa ngeri juga. Akan tetapi ketika melihat betapa ‘mayat’ itu makan tanah lempung merah dengan enaknya bagaikan orang makan daging panggang, air liurnya memenuhi mulutnya.

Perutnya memang amat lapar. Sekarang melihat orang makan demikian enaknya, meski pun yang dimakan hanya tanah lempung, timbul seleranya. la mulai menengok ke bawah, ke arah tanah lempung yang tadi dia gali dan sekarang bertimbun di luar lubang. Otomatis dia berjongkok, tangannya mengambil segumpal tanah lempung merah dan... membawa tanah itu ke mulutnya terus digigit.

"Wah, enak..."

Dengan terheran-heran Beng San terus makan tanah lempung itu. Rasanya sih tidak bisa dibilang enak, akan tetapi juga bukan tak enak, sebab tanah itu halus dan berbau harum. Dan yang jelas, setelah memasuki perut tanah itu mendatangkan rasa kenyang juga.

Sampai empat gumpal tanah memasuki perut Beng San yang menjadi girang sekali sebab sekarang dia dapat mengisi perutnya yang tadi merengek-rengek. Sama sekali dia tidak tahu bahwa memang tanah lempung itu adalah sejenis tanah lempung yang halus dan tak berbahaya kalau dimakan, malah mengandung khasiat menguatkan badan.

‘Mayat’ itu lalu makan tanah lempung banyak sekali, kemudian mayat yang duduk dalam lubang kubur itu mendongak dan memandang ke arah Beng San dengan sepasang mata merah. Beng San tersenyum kepadanya dan mengangguk.

"Twako, jadi kau sebetulnya belum matikah? Syukur kalau begitu!"

Tiba-tiba Tan Hok mengeluarkan suara menggereng, kemudian tubuhnya meloncat keluar lubang sambil berteriak geram, “Aku tidak mati, kaulah yang akan mampus!"

Serta merta pemuda raksasa ini mengirim serangan memukul ke arah kepala Beng San dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Beng San yang kehijauan.

Semenjak mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang suhu-nya, yaitu kedua kakek Phoa Ti dan The Bok Nam, belum pernah Beng San mempergunakan kepandaian ini dalam pertempuran. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa dia amat tekun melatih diri, mempelajar semua ilmu itu dengan teliti, namun tanpa diketahui apa khasiatnya semua ilmu itu. Sekarang menghadapi serangan bertubi-tubi dari pemuda raksasa yang seperti tidak waras otaknya ini, dia kaget juga. Namun otomatis gerak silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya bekerja.

"Husss, nanti dulu, Twako. Hidup atau mati bukanlah urusan kita. Bagaimana kau bisa tentukan?" Sambil mengeluarkan jawaban yang mengandung filsafat kebatinan ini, Beng San memiringkan kepalanya menghindarkan pukulan tangan kanan Tan Hok, sedangkan tangan kanannya dia angkat untuk menangkis cengkeraman tangan kiri lawannya yang tinggi besar itu.

"Plakkk!"

Tangan kiri Tan Hok yang berjari panjang besar itu berhasil mencengkeram tangan Beng San yang kecil sehingga lima pasang jari-jari tangan saling genggam. Beng San merasa betapa dari tangan Tan Hok mengalir hawa panas yang melebihi api. Otomatis tubuhnya menyambut hawa ini dengan hawa ‘Im’ yang luar biasa kuatnya, sehingga tangannya yang dicengkeram kini terasa dingin sejuk.

Hebat sekali akibatnya, Tan Hok seketika menjadi kaku tubuhnya. la masih tetap berdiri dengan tangan kiri mencengkeram tangan kanan Beng San, matanya melotot kemerahan dan kini sekujur tubuhnya menggigil bagaikan orang terserang demam. Tangannya yang mencengkeram tangan kanan Beng San seperti lengket dan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan dari tangan anak kecil itu mengalir hawa yang dinginnya melebihi bukit es.

Makin lama tubuh Tan Hok semakin menggigil, mukanya yang merah itu mulai berkurang warnanya. Tiba-tiba ia muntahkan darah menghitam, juga dari luka di tangan kirinya yang kini menempel pada tangan kanan Beng San keluar darah hitam.

Tiga kali dia muntahkan darah hitam, dan tubuh yang tadinya panas itu sekarang berubah dingin. Matanya yang kemerahan dan liar berubah tenang.

"Aduh... aduh... dingin...!"

Tubuh Tan Hok yang tadinya kaku itu sekarang dapat melompat mundur. Beng San juga melompat mundur sambil melepaskan tangannya. Mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak tiga empat meter, saling pandang.

Setelah tangannya terlepas dari tangan Beng San, lenyaplah rasa dingin yang menusuk jantung Tan Hok. Diam-diam Tan Hok merasa terheran-heran, apa lagi baru sekarang dia teringat mengapa dirinya bisa berada di situ.

Tiba-tiba dia celingukan memandang ke kanan kiri dengan rasa takut karena dia teringat akan ular-ular yang tadinya mengeroyoknya. Melihat bahwa dia berada di sawah, sedang berhadapan dengan seorang bocah bermuka hijau bermata tajam yang memiliki tangan mengandung hawa dingin luar biasa, Tan Hok kembali memandang Beng San, lalu melirik ke arah lubang kuburan di dekat situ.

"Adik kecil, kau siapakah? Setan atau manusia?"

Beng San tertawa, matanya yang tajam itu berkilat-kilat. "Ha-ha-ha, Twako, kalau satu di antara kita ini bukan manusia, kiranya kaulah orangnya. Aku manusia biasa, akan tetapi kau... apakah kau bukan siluman?"

Tan Hok yang mengerti akan ilmu silat tinggi, tadi mendapat kenyataan bahwa anak ini bukanlah anak biasa. Tangannya mengandung tenaga Im yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa tenaga inilah yang telah menolong nyawanya, yang mengusir racun hawa panas yang tadinya menyerang tubuhnya akibat gigitan ular Kim-tok-coa.

Tentu saja di pihak Beng San sama sekali tidak tahu akan hal ini. Jangankan mengenai penyembuhan yang tanpa sengaja dia lakukan, bahkan tentang tenaga-tenaga yang kini telah berada di dalam dirinya saja dia tidak tahu apa artinya.

"Adik yang aneh, kenapa kau menyangka aku seorang siluman?"

"Kau aneh sekali sih! Sejak kemarin aku mengubur mayat-mayat orang mati kelaparan yang bergelimpangan di pinggir jalan. Tadi aku mendapatkan kau menggeletak mati di sini, tidak bernapas lagi. Aku menggali lubang untuk menguburmu. Eh, tahu-tahu di dalam lubang kuburan kau hidup lagi, malah makan tanah, lalu meloncat dan menyerangku. Dan sekarang, setelah muntah-muntah, kau bicara seperti orang waras. Orang dengan tubuh raksasa seperti kau, bisa mati dan hidup lagi, benar-benar bukan seperti manusia."

Mendengar hal ini, Tan Hok bengong, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Melihat pemuda raksasa itu bengong terlongong mengurut-urut dagu, Beng San juga ikut duduk di depannya. Dua orang ini duduk tak berkata-kata seperti dua buah patung batu. Akhirnya Tan Hok yang menoleh dan bertanya.

"Adik yang baik, siapa namamu? Kau anak siapa, murid siapa dan kenapa bisa sampai di sini?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, Beng San tersenyum nakal, kemudian menjawab secara memberondong pula. "Namaku Beng San, bukan anak siapa-siapa. Guru-guruku sudah meninggal dan bisa sampai ke sini karena kedua kakiku berjalan."

Akan tetapi agaknya Tan Hok tidak melayani sendau-guraunya, malah kembali bertanya dengan sungguh-sungguh, "Kau tidak punya orang tua dan guru-gurumu sudah mati? Jadi kau hidup sebatang kara di dunia ini?"

Beng San mengangguk. "Sejak dulu aku hidup sebatang kara."

"Tidak punya tempat tinggal?"

Beng San menggelengkan kepala.

"Ah, adikku yang baik... sama benar nasib kita..." Tan Hok menubruk dan merangkul Beng San sambil menangis.

Beng San bingung, lalu karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun ikut-ikut menangis! Dua orang ini bertangis-tangisan di tengah sawah kering kerontang dan tetes-tetesan air mata mereka diisap cepat oleh tanah yang kehausan.

"Adik Beng San, aku Tan Hok, dan baru saja ditinggal mati guruku..." Tan Hok menangis sambil merangkul, "dan aku,... ehhh, celaka! Kau terkena racun!"

Tiba-tiba dia memegang tangan Beng San dan memandang tajam. "Mukamu kehijauan, badanmu mengeluarkan hawa dingin sekali. Tentu kau sudah terkena hawa pukulan yang mengandung racun dingin... celaka...!"

Beng San tersenyum. "Tidak, Tan-twako (Kakak Tan). Aku tidak apa-apa."

"Betulkah? Kau tidak merasa sakit?"

"Tidak."

"Aneh... aneh... kukira kau terkena racun, semacam racun ular atau..."

Tiba-tiba saja dia melompat dan mukanya berubah. "Ular! Ahh, sekarang aku ingat. Bocah siluman ular itu yang melukaiku. Dia harus dibunuh! Celaka para petani malang itu..."

Beng San benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran melihat sikap raksasa yang berubah-ubah dan aneh ini. "Siluman ular? Di mana dia?"

“Dia seorang anak sebaya denganmu. Aku sedang memimpin para petani yang kelaparan untuk minta bantuan makanan dari hartawan Kwi yang kaya raya. Akan tetapi para petani itu malah diserang oleh kaki tangannya. Aku lalu membantu dan muncullah siluman ular, mendatangkan ratusan ekor ular yang mengeroyok para petani, Banyak yang mati. Aku menyerang dan... aku terluka oleh seekor ular kuning emas. Hayo, kita harus pergi ke sana. Aku harus bunuh siluman itu!"

"Ratusan ekor ular! liihhhhh, menakutkan sekali!" Beng San bergidik dan kelihatan ngeri, lalu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau ratusan ekor ular itu datang ke situ.

"Jangan takut, ada aku di sini. Aku harus basmi ular-ular itu dan silumannya. Hayo, Adik Beng San, kau ikut atau tidak?" Tan Hok berdiri. "Kalau kau takut, kau tinggal saja di sini, aku harus segera kembali ke dusun itu."

Tan Hok sudah mulai lari.

"Nanti dulu, Twako. Aku ikut!" Beng San segera mengambil dua batang ranting yang tadi dia gunakan untuk menggali tanah, lalu ikut berlari di belakang Tan Hok.

Karena amat bernafsu untuk segera kembali ke dusun dan membantu para petani yang dikeroyok ular, Tan Hok mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali. Ia sampai lupa bahwa di belakangnya ada Beng San, lupa bahwa apa bila dia berlari secepat itu tentulah seorang anak kecil seperti Beng San akan tertinggal jauh.

Setelah berlari sampai di luar dusun barulah dia teringat dan cepat-cepat dia menengok. Alangkah herannya melihat anak itu berlari-lari kecil, seenaknya saja tapi masih berada di belakangnya.

“Ehh, kau masih di belakangku?"

"Tentu saja, bukankah kau mengajakku?"

Pada saat itu Tan Hok penuh ketegangan akan bertemu dengan siluman ular, maka dia kurang memperhatikan Beng San. Dia terus melanjutkan larinya memasuki dusun menuju ke gedung tempat tinggal Kwi-wangwe.

Di depan gedung Kwi-wangwe para tukang pukul sedang duduk dan sibuk membicarakan amukan para petani yang dibantu seorang pemuda raksasa. Tentu saja mereka menjadi amat kaget ketika melihat pemuda raksasa yang kemarin telah dilukai dan diusir pergi oleh ‘Giam-kongcu’ itu kini tiba-tiba muncul di depan mereka bersama seorang anak laki-laki bermuka hijau.

"Anjing-anjing keparat, hayo lekas suruh keluar Kwi-wangwe dan siluman ular itu!" Tan Hok memaki sambil memegang dua orang tukang pukul dan sekali lempar dua orang itu jatuh bergulingan tiga meter lebih jauhnya. Yang lain-lain segera mencabut senjata dan sebagian melapor ke dalam.

Sementara itu, pada waktu melihat para tukang pukul mencabut senjata, Tan Hok sudah bangkit amarahnya. "Di mana paman-paman tani semua? Sudah kalian bunuh, ya? Awas, rasakan pembalasanku!"

Tan Hok lalu mengamuk, menerjang para tukang pukul yang kini hanya membela diri, tidak berani menyerang karena maklum akan kelihaian Tan Hok. Sebentar saja Tan Hok sudah dikeroyok belasan orang tukang pukul dan di dalam gedung terdengar ramai-ramai karena semua orang tidak tahu bahwa pemuda raksasa itu telah datang lagi mengamuk.

Mendadak terdengar tiupan suara suling yang melengking. Suling yang ditiup oleh Giam Kin melengking tinggi dan mengalun dengan irama yang amat luar biasa. Jantung Tan Hok berdebar, maklum apa artinya tiupan suling itu.

Betul saja dugaannya. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan banyak sekali ular menggeleser datang. Biar pun Tan Hok tidak begitu cerdik, namun karena dia merasa jijik juga melihat banyak ular, Tan Hok kemudian berkelahi dengan cara menyerbu ke tengah-tengah para tukang pukul. Perbuatannya ini bukan berdasarkan kecerdikan, melainkan karena takut kepada ular-ular itu.

Akan tetapi untung baginya, Giam Kin menjadi bingung untuk memimpin pasukan ularnya. Bagaimana caranya ular-ularnya itu bisa disuruh menyerang seorang saja yang berada di tengah-tengah dan dikurung para tukang pukul? Baiknya setelah terjadi keributan, yaitu serbuan para petani, Kwi-wangwe mendatangkan lebih banyak tukang pukul yang pandai sehingga untuk sementara amukan Tan Hok dapat dibendung.

Sementara itu, melihat demikian banyak ular yang datang melenggang-lenggok mendekati dirinya, Beng San menjadi jijik dan takut bukan main. Dia tidak takut kalau menghadapi orang, akan tetapi menghadapi ular yang banyak serta amat menjijikkan dan mengerikan itu, dia takut juga.

Pada waktu ular-ular dengan mata merah dan lidah menjilat-jilat keluar itu menyerbu ke arahnya, Beng San segera lari sambil berteriak-teriak, "Ular...! Ular...!"

Mendadak tubuhnya mencelat ke atas, ke tengah-tengah orang yang sedang berkelahi. Bagaikan seekor burung terbang, kakinya menginjak kepala orang-orang yang sedang mengeroyok Tan Hok, dan begitu kakinya menginjak kepala orang, dia meloncat lagi ke sana ke mari, melalui kepala-kepala orang itu hingga akhirnya dia bisa meloncat ke atas genteng. Di situ dia berjongkok dengan tubuh gemetaran sambil memandang ke bawah.

Semua orang, terutama sekali Tan Hok, kaget dan heran bukan main melihat perbuatan Beng San ini. Melihat cara anak itu meloncat, jelas bahwa dia sama sekali tidak mengerti ilmu meloncat tinggi. Akan tetapi mengapa tubuhnya begitu ringan sehingga seakan-akan dia dapat beterbangan di atas kepala orang-orang?

Tan Hok tidak sempat lagi memperhatikan Beng San karena pengeroyokan para tukang pukul sudah cukup membuat dia kerepotan juga. Kali ini pun Tan Hok berhasil merampas sebatang toya dan langsung digunakannya untuk mengamuk. Sudah ada beberapa orang tukang pukul roboh oleh kemplangan toyanya.

Melihat sepak terjang Tan Hok ini, Giam Kin menjadi penasaran dan khawatir juga. Tidak mungkin dia dapat menyuruh ular-ularnya menyerbu, karena sekali ular-ular itu menyerbu maka para tukang pukul Kwi-wangwe tentu akan digigit pula. la lalu berseru.

"Paman-paman mundur semua, biar ular-ularku menghabiskannya!"

Tukang-tukang pukul itu memang sudah kewalahan menghadapi Tan Hok. Bukan ilmu silatnya yang hebat, melainkan tenaganya yang benar-benar sukar dihadapi. Setiap kali toya di tangan pemuda raksasa itu menangkis, tentu banyak senjata terpental atau rusak. Mendengar perintah ini, mereka lalu meloncat mundur meninggalkan Tan Hok.

Tan Hok maklum bahwa ia akan dikeroyok ular, maka ia hendak mendahului menyerang Giam Kin. Celakanya, anak aneh ini sudah meniup sulingnya yang mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga ular-ular itu sudah mulai menyerbu. Di lain saat Tan Hok telah dikelilingi ular-ular yang amat marah, mendesis desis dan siap menyerangnya.

Tan Hok bergidik. Dia melintangkan toyanya, bingung harus menyerang yang mana dulu karena dia telah dikurung dalam pagar ular.

"Ha-ha-ha-ha-ha, manusia sombong. Ternyata kau masih belum mampus! Sekarang aku akan melihat kau mampus digigit ularku. Ha-ha-ha-ha!" kata Giam Kin setelah melepaskan sulingnya. Kemudian dia mulai menyuling lagi, suara sulingnya melengking-lengking tinggi dan menyakitkan telinga.

Beng San yang berada di atas genteng melihat semua kejadian ini. Dialah yang merasa paling sakit telinganya mendengar suara suling itu. Saking marahnya dia berteriak-teriak, "Siluman jahat, siluman busuk. Suara sulingmu sungguh tidak enak. Dengarlah, aku lebih pandai menyuling dari pada suara sulingmu yang seperti angin kotor itu"

Beng San lalu meniru-nirukan bunyi suling dengan suaranya. Tanpa dia sadari, khikang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, maka ketika dia meniru bunyi melengking, suara suling itu kalah kuat dan kalah nyaring!

Sekarang terdengar bunyi yang luar biasa dan aneh, suara suling bercampuran dengan suara mulut Beng San yang meniru-nirukan suara suling. Ketika dia mendapat kenyataan betapa ssudlah dia menjerit-jerit telinganya tidak terganggu lagi oleh suara suling yang kalah nyaring, dia makin bersemangat dan teriakan-teriakannya makin kuat.

Kasihan sekali ular-ular itu. Suara suling merupakan perintah atau dorongan bagi mereka, dorongan yang tak mungkin terlawan lagi. Akan tetapi, sekarang binatang-binatang buas ini mendengar suara suling yang tidak karuan, campur aduk bising bukan main. Mereka mulai kacau, tidak tahu harus bagaimana, apa lagi perasaan mereka tidak karuan dengan ‘perintah’ yang kacau-balau ini.



Makin lama gerakan ular-ular itu semakin kacau. Mereka saling terjang sehingga akhirnya semua ular-ular itu menjadi marah dan saling terkam! Mereka sama sekali tak mau peduli lagi kepada Tan Hok, sibuk mengigiti kawan-kawan sendiri yang lebih dekat.

Melihat hal ini, Giam Kin marah sekali. Dibantu oleh Kwi-wangwe sendiri, ia pun memberi perintah kepada para tukang pukul untuk mengeroyok lagi Tan Hok. Sementara itu, Giam Kin sudah melangkah maju untuk melihat bocah yang telah meniru bunyi sulingnya dan telah mengacau komandonya atas ular-ular itu.

Akan tetapi, Tan Hok yang sudah marah sekali melihat adanya hartawan Kwi di situ. Dia lalu memberontak dan cepat meloncat ke arah hartawan itu dengan toya di tangannya.

"Kau hartawan pelit, rasakan ini!"

Toyanya mengemplang kepala hartawan itu yang cepat-cepat mundur ketakutan. Baiknya masih ada beberapa orang pengawal pribadinya yang menangkis toya sehingga toya itu menyeleweng, tidak mengenai kepalanya hanya menggebuk pundaknya. Namun gebukan ini cukup keras untuk membuat Kwi-wangwe meringis dan mengaduh-aduh. Dan sekejap kemudian, Tan Hok sudah dikeroyok lagi oleh para tukang pukul.

Giam Kin sekarang dapat melihat adanya Beng San di atas genteng. Marahnya bukan main.

"Ehh, bocah dusun busuk, kau berani main-main di depan kongcu-mu?" la memaki sambil menuding dengan sulingnya ke arah Beng San.

Beng San pada waktu itu sudah tidak hijau lagi mukanya, sudah biasa putih dan tampan karena hawa udara tidak begitu panas lagi. Sekarang dia cengar-cengir mentertawakan Giam Kin.

"Aku tidak main-main di depanmu, melainkan di atasmu. Kau mau apa sih?"

la tidak takut kepada Giam Kin. Anak bermuka pucat itu, apanya yang harus ditakuti?

"Jembel busuk, kau makanlah ini!"

Giam Kin menggerakkan tangannya dan sinar kuning emas menyambar ke atas, ke arah Beng San yang nongkrong di atas genteng.

Beng San yang sudah menyelipkan dua batang kayu ranting di ikat pinggangnya, sambil tertawa-tawa menerima sinar kuning emas ini dengan tangan kanan. Sinar itu mengenai tangannya dan Beng San merasa ibu jari tangan kanannya agak sakit seperti tertusuk jarum. Saat dia melihatnya, ternyata bahwa yang tadi dilemparkan adalah seekor ular kecil berwarna kuning keemasan yang sekarang menggigit ibu jarinya, sedangkan tubuh ular itu membelit tangannya.

Diam-diam dia kaget. Akan tetapi dasar dia nakal dan tak sudi memperlihatkan rasa takut atau sakit di depan Giam Kin. Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan teringatlah dia akan pengalamannya dahulu ketika bertemu dengan Kwa Tin Siong dan Kwa Hong yang dia maki ‘kuntilanak’, teringat dia betapa dia ikut makan daging ular bersama ayah dan anak itu.

Sekarang, melihat tangannya dibelit ular kuning emas bersih, untuk menggoda Giam Kin, Beng San tanpa ragu-ragu lagi lalu... menggigit leher ular itu. Hanya dengan sekali gigit saja maka putuslah leher ular.

”Kau kira aku tidak berani memakannya? Ha-ha-ha!" Beng San mentertawakan Giam Kin yang berdiri terlongong heran menyaksikan betapa bocah jembel itu benar-benar sudah menggigit mati ularnya.

Akan tetapi dia pun segera menjadi girang karena mendadak muka Beng San berubah menjadi kehijauan. Beng San sendiri tidak tahu akan hal ini. Dia hanya merasa betapa bekas gigitan ular itu amat panasnya, maka otomatis tubuhnya mengerahkan daya "Im" yarig kuat, sehingga membuat wajahnya yang putih berubah hijau.

Hal ini disalah artikan oleh Giam Kin. Biar pun anak ini maklum bahwa siapa yang tergigit Kim-tok-coa itu, tentu akan mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti terbakar, tetapi dia menganggap bahwa tanda kehijauan pada wajah anak jembel itu cukup membuktikan bahwa racun ularnya telah menjalar di tubuh anak aneh itu.

"Hi-hi-hi, kau sudah mau mampus masih banyak tingkah. Sekarang biar aku mempercepat kematianmu!" Setelah berkata demikian, Giam Kin pun menggenjotkan kedua kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas genteng. Suling ular di tangannya bergerak cepat menyerang ke arah Beng San, memukul kepalanya.

Beng San segera mencabut sepasang ranting kayu dari ikat pinggangnya, lalu dengan masih berjongkok dia menangkis dari kanan kiri. Sepasang ranting di tangannya membuat gerakan seperti menggunting ke arah suling.

"Krakkk!"

Suling di tangan Giam Kin patah menjadi dua dan tubuh anak ini terlempar kembali ke bawah!

Tanpa disadari, dalam kegemasannya ketika menangkis tadi Beng San menggunakan dua macam tenaga pada sepasang rantingnya, dengan pergerakan gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Jangankan baru suling di tangan seorang anak semacam Giam Kin, andai kata yang menyerangnya tadi adalah seorang ahli silat yang menggunakan pedang atau toya, kiranya akan patah juga.

"Jembel busuk, pengemis bau, kau mematahkan sulingku! Awas kau...! Suhu, suling teecu patah...!" Giam Kin lari sambil menangis.

Karena dimaki-maki, Beng San pun menjadi marah. Apa lagi dia melihat bahwa anak itu ternyata tidak becus apa-apa, demikian pikirnya, baru ditangkis satu kali saja suling itu sudah patah. Tanpa pikir panjang dia lalu meloncat turun dan mengejar Giam Kin.

Giam Kin memiliki kepandaian ilmu berlari berdasarkan ginkang yang tinggi, maka larinya cepat sekali. Beng San yang belum pernah mempelajari ilmu berlari cepat, akan tetapi karena di luar kesadarannya dia telah ditempati tenaga Im dan Yang, tenaga yang amat besar mukjijat, maka otomatis dia memiliki keringanan tubuh dan larinya pun cepat sekali.

Maka kejar-kejaran ini terjadi ramai sekali dan sebentar saja dua orang anak itu telah jauh meninggalkan dusun tadi. Beberapa kali Giam Kin yang amat marah dan penasaran itu sengaja berhenti dan menyerang dengan tiba-tiba, akan tetapi setiap serangannya selalu dapat ditangkis oleh Beng San, dan setiap kali lengan tangan mereka beradu, Giam Kin mengaduh dan kedua lengannya sudah bengkak-bengkak!

Giam Kin menjadi amat ketakutan dan lari makin cepat, dikejar terus oleh Beng San yang berteriak-teriak.

"Kau berlutut dulu minta ampun baru kulepas!"

"Jembel busuk, siapa sudi minta ampun? Guruku akan membikin remuk kepalamu!" jawab Giam Kin yang berlari terus.

Sampai dua puluh li mereka berkejaran. Akhirnya Giam Kin tidak kuat lagi dan dia kena dipegang pundaknya oleh Beng San dari belakang.

"Hendak lari ke mana engkau, siluman ular?"

Giam Kin melawan dan memukul, akan tetapi pukulannya ditangkis oleh Beng San yang langsung membalas menampar pipinya.

"Plakkk!"

Giam Kin roboh terguling, merasa betapa tamparan itu membuat matanya berkunang dan kepalanya pening.

"Hayo kau minta ampun dan berjanjilah lain kali tidak akan bermain-main dengan ular-ular jahat!" bentak Beng San sambil bertolak pinggang.

"Tidak sudi!"

"Kau memang layak dipukul!"

Beng San menjadi marah, kemudian dia memukuli kepala dan badan Giam Kin. Anak itu menjerit-jerit dan menangis.

"Suhu, tolong... suhu, tolong...!"

Tiba-tiba Giam Kin mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Akan tetapi, Beng San tak peduli dan memukuli terus.

"Kau siluman kejam! Dengan ular-ularmu itu kau telah membunuh banyak orang. Lekaslah berjanji tak akan main-main lagi dengan ular, atau... kupukul kepalamu sampai remuk!" Beng San membentak-bentaknya.

"Heh, bocah kasar, jangan main pukul kepada muridku!” Suara ini terdengar dari tempat jauh.

Beng San menengok ke kanan kiri, tapi tidak melihat orangnya yang berbicara.

"Setan," pikirnya. "Bocah siluman ular, gurunya juga iblis dan setan." Tapi dia tidak takut dan hendak memukul pula.

Angin bertiup di belakangnya dan ketika Beng San menoleh, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, tetapi pakaiannya terlampau besar hingga nampak lucu. Apa lagi lengan bajunya amat panjang menutupi kedua tangannya. Mukanya nampak sabar, alisnya tebal dan sepasang matanya tajam.

Beng San yang menduga bahwa orang ini tentulah guru lawannya, segera melangkah maju dan memukul. Namun orang itu menggerakkan lengan kirinya dan tahu-tahu kedua tangan Beng San sudah terlibat ujung lengan, seperti dibelenggu tak dapat terlepas pula.

Kakek yang luar biasa ini adalah seorang sakti, seorang di antara beberapa tokoh yang dianggap merajai dunia persilatan, disebut orang Siauw-ong-kwi (Raja Iblis Kecil). Untuk daerah utara nama ini amat ditakuti orang. Memang kepandaian Raja Iblis Kecil ini hebat sekali, terutama ilmunya menggunakan ujung tangan bajunya yang dapat menangkap, menusuk, menyabet, sungguh senjata yang lebih ampuh dari pada senjata-senjata pilihan.

Beng San masih kanak-kanak. Meski pun di dalam dirinya terkandung tenaga dahsyat dan ilmu silat tinggi sekali, namun dia memiliki semua itu di luar kesadarannya sehingga dia belum dapat mengatur dan menggunakannya sebagaimana mestinya. Bagaikan sebuah intan cemerlang, Beng San adalah intan yang masih mentah, belum digosok. Maka tentu saja berhadapan dengan seorang tokoh besar seperti Siauw-ong-kwi ini, dia tidak berdaya sama sekali.

Siauw-ong-kwi menoleh kepada muridnya. Ketika mendapat kenyataan bahwa Giam Kin tidak terluka apa-apa, hanya benjut-benjut saja dan benjol-benjol saja, dia bernapas lega. Dipandangnya Beng San sekali lagi, sekarang dengan mata membayangkan kekaguman dan keheranan.

Sudah sepatutnya kalau di dalam hati tokoh besar ini timbul kekaguman kepada bocah ini, bocah yang kini mukanya menjadi merah hangus kehitaman akibat kemarahan di dalam hatinya. Muridnya, Giam Kin, jika dibandingkan dengan bocah-bocah sepantarnya, sudah merupakan seorang anak yang luar biasa cerdik dan pandainya. Apa lagi sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi apa bila dibandingkan dengan anak-anak sepantarnya. Mengapa sekarang Giam Kin kalah dan dipukuli oleh bocah muka hitam ini?

"Kau siapa?" tanyanya tanpa melepas ujung tangan baju yang mengikat dua pergelangan tangan Beng San. Akan tetapi ikatan itu tidak terlalu erat sehingga Beng San juga tidak mengalami rasa sakit, hanya bocah ini amat marah saja.

"Beng San!" jawabnya berani sambil menatap muka kakek itu dengan mata melotot.

Memang menakutkan juga muka bocah ini kalau begitu. Biar pun raut wajahnya tampan, matanya lebar dan alisnya hitam berbentuk pedang, akan tetapi kalau wajah itu berwarna merah kehitaman dan matanya yang lebar dipelototkan, tentu mukanya ini akan membikin takut setiap orang di waktu malam gelap!

"Mukamu seperti iblis!" Siauw-ong-kwi tertawa mengejek.

"Memang aku iblis!" jawab Beng San, kini sambil menyeringai karena dia mengucapkan kata-kata itu bukan dengan marah, melainkan bermaksud menggoda kakek itu.

Akan tetapi Siauw-ong-kwi tidak marah, malah tertawa bergelak dan makin kagum kepada anak ini.

"Kau anak siapa?"

Tanpa ragu-ragu Beng San menjawab, "Aku anak Iblis Huang-ho."

Siauw-ong-kwi menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar bocah ini aneh sekali dan luar biasa keberaniannya.

"Siapa gurumu? Tentu bukan iblis juga, kan?" tanyanya.

Beng San memang belum pernah membohong, kecuali kalau dia sedang main-main. Dan sekarang dia hendak menghadapi kakek guru Giam Kin yang lihai ini dengan main-main. Diam-diam dia marah kepada kakek ini yang masih saja membelenggu kedua tangannya dengan ujung lengan baju. la menganggap kakek ini jahat, dan apa salahnya membohongi dan mempermainkan seorang jahat?

Ketika dahulu dididik di kelenteng, dia memang selalu diajarkan agar jangan membohong, jangan menipu dan merugikan orang lain. Sekarang dia, andai kata benar membohong, toh tak akan merugikan kakek ini, sebaliknya dia yang telah dibikin rugi, dibelenggu tanpa dapat melepaskan diri.

"Guruku lihai sekali. Kalau dia datang, sekali ketok kepalamu akan benjut-benjut!"

Siauw-ong-kwi tertawa bergelak. Tentu saja dia berani mengejek karena di dunia ini, siapa orangnya yang akan mampu sekali ketok membikin kepalanya benjut? Sedangkan yang kepandaiannya boleh disejajarkan dengan dia pun hanya beberapa gelintir manusia saja.

"Ha-ha-ha, kenapa kau bisa pastikan dia akan menang dari aku?"

"Guruku biar pun iblis, tapi amat lihai dan gagah, tidak seperti kau ini kakek tua beraninya hanya menyerang dan membelenggu seorang anak kecil!"

Merah wajah Siauw-ong-kwi disindir begini. Di dunia ini, jarang sekali ada orang berani membantah kata-katanya, apa lagi mengeluarkan ejekan dan sindiran seperti bocah ini!

"Bocah edan, siapa sih gurumu itu?"

"Kakek pikun!" Beng San balas memaki. "Lepaskan dulu kedua tanganku, baru aku mau memberi tahu."

"Kalau tidak kulepas?"

"Biar kau bunuh aku, takkan sudi aku mengenalkan nama besar guruku kepada seorang kakek pengecut yang beraninya hanya kepada anak-anak kecil."

"Suhu, kenapa melayani monyet gila itu? Gasak saja kepalanya, habis perkara!" tiba-tiba Giam Kin berseru melihat suhu-nya bercakap-cakap dengan Beng San.

Beng San tertawa mengejek. "Gurunya pengecut, muridnya lebih pengecut lagi. Kalau kau memang berani, hayo kita bocah sama bocah mengadu kepalan tangan, dan biar gurumu menandingi guruku."

Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja selain ilmunya tinggi, juga batinnya sudah amat kuat. Akan tetapi sekarang menghadapi Beng San dan mendengar sindiran-sindiran dan ejekan-ejekannya, perutnya terasa panas juga.

Beberapa kali dia disebut pengecut. Kalau yang mengucapkan kata-kata ini seorang tokoh kang-ouw, tentu dia takkan mau mengampuninya lagi. Aka tetapi terhadap Beng San dia kewalahan. Makin dia turun tangan, tentu pandangan bocah ini terhadapnya juga makin rendah. Apa bila dipikir-pikir memang memalukan sekali bahwa dia, seorang tokoh besar, membelenggu seorang bocah yang masih ingusan.

"Bocah keparat, siapa pengecut?" la menggerakkan tangannya dan sekaligus terlepaslah kedua tangan Beng San dari libatan ujung tangan baju. "Nah, kau sudah terlepas, hayo sekarang datangkanlah itu gurumu yang berbau tahi anjing! Siapa cecunguk yang menjadi gurumu itu?"

Semenjak tadi Beng San sudah berpikir mengenai ini. Sebetulnya dia mempunyai banyak guru, pikirnya. Pertama-tama tentu saja para hwesio di Kelenteng Hok-thian-si di Propinsi Shan-si yang menjadi gurunya karena telah mengajarkan tentang membaca dan menulis. Kemudian dia pernah pula belajar tiga macam ilmu dari Hek-hwa Kui-bo sehingga nenek itu boleh juga disebut gurunya. Setelah itu, yang terakhir dan yang sudah mengakuinya sebagai murid, adalah kedua orang suhu-nya yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam.

Akan tetapi, Beng San adalah seorang bocah yang cerdik.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar