“Betapa pun juga, ternyata Kim-thouw Thian-li benar-benar jatuh hati kepada pemuda jago Kun-lun-pai ini. Melihat sikap Kwee Sin yang bersih dan jujur, yang selalu sopan dan tidak sekali-kali mau melanggar kesusilaan, wanita ini merasa malu dan takut sendiri untuk bersikap terlalu genit.
Namun dengan kepandaiannya membujuk rayu, ia berhasil juga mendatangkan rasa haru di dalam hati Kwee Sin. Mulailah di dalam hati pemuda ini timbul penyesalan, kenapa dia tidak diikatkan jodoh dengan seorang gadis seperti Coa Kim Li ini!
Pada hari ke tiga, Kwee Sin sudah sembuh kembali. Dia lalu menghaturkan terima kasih kepada Coa Kim Li atau yang sesungguhnya berjuluk Kim-thouw thian-li itu.
"Adik Kim Li," katanya terharu, "aku merasa berhutang budi kepadamu. Apa bila aku Kwee Sin tak mampu membalas budimu, biarlah Thian yang akan membalasnya. Sekarang kita harus berpisah, aku akan melanjutkan perjalananku dan aku tak berani mengganggu kau lagi."
Kim-thouw Thian-li tersenyum manis, akan tetapi sinar matanya menunjukkan kedukaan hatinya. "Kwee-koko, kenapa kita harus berpisah? Apakah salahnya jika kita melakukan perjalanan bersama-sama? Koko, aku... entah kenapa, selama hidupku belum pernah aku mempunyai seorang... sahabat seperti kau. Aku... agaknya akan sukar sekali bagiku untuk berpisah dari sampingmu."
Kwee Sin makin terharu, apa lagi ketika dia melihat dua butir air mata jernih turun dari sepasang mata yang indah itu. Dipegangnya kedua tangan Kim Li, dan dengan suaranya yang menggetar dia berkata, "Kim Li, percayalah, aku pun mempunyai perasaan seperti yang kau rasakan itu. Kau satu-satunya wanita yang selama hidupku amat baik kepadaku. Akan tetapi... kurasa tidak sepatutnya kalau kau seorang gadis gagah perkasa melakukan perjalanan bersama seorang laki-laki. Akan tercemar nama baikmu. Ke dua..."
"Kwee-koko, peduli apa dengan anggapan umum? Apakah kita orang-orang gagah masih perlu mendengarkan gonggongan anjing-anjing di tepi jalan?"
Kwee Sin tersenyum pahit. "Benar kata-katamu, akan tetapi mau tidak mau kita harus menghindarkan dugaan yang bukan-bukan. Selain itu, yang ke dua... aku harus berterus terang kepadamu. Kim Li moi-moi, aku... aku sebenarnya sudah... sudah bertunangan..."
Aneh, sama sekali wanita itu tidak nampak kaget atau pun kecewa. Memang, bagi orang seperti Kim-thouw Thian-li, laki-laki yang disukainya tetap laki-laki, tak peduli dia itu belum bertunangan mau pun sudah beristeri atau sudah menjadi ayah. Akan tetapi, dengan ilmu kepandaiannya, ia bisa membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.
"Siapa... siapa dia itu, Koko? Tentu gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa?"
"Tentang kecantikannya, aku tidak dapat bilang dia amat cantik, setidaknya... ehhh, tidak secantik engkau. Tentang kepandaiannya, tentu saja dia lihai karena dia itu adalah orang termuda dari Hoa-san Sie-eng."
"Ahhh, dia Kim-eng-cu Liem Sian Hwa...?"
"Kau sudah mengenalnya, Kim Li?"
"Siapa yang tidak tahu bahwa orang termuda dari Hoa-san Sie-eng adalah Kiam-eng-cu?" Bibir yang merah itu berjebi. "Hemmm, kukira bidadari dan kahyangan yang sakti!"
Merah muka Kwee Sin. Dia teringat bahwa Kim Li memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, mungkin tidak kalah oleh Liem Sian Hwa dan yang sudah jelas tidak kalah olehnya sendiri. Buktinya, Thio Sian yang lihai itu juga roboh oleh wanita ini. Menurut pengakuan Kim Li, Thio Sian dapat dibunuhnya di dalam hutan itu dan ditinggalkan begitu saja.
"Dia memang seorang gadis sederhana saja..." akhirnya dia berkata untuk mengusir rasa jengahnya.
“Jadi kau sekarang hendak pergi ke sana? Di mana sih rumah tunanganmu itu, Koko?"
"Di Lam-bi-chung. Terpaksa aku harus singgah ke sana memenuhi pesan suhu. Setelah singgah sebentar aku akan kembali ke Kun-lun."
"Bagus! Tujuan perjalananku juga melalui Lam-bi-chung. Kita bisa melakukan perjalanan bersama, Koko. Dekat sana ada Telaga Pok-yang, amat indah apa lagi pada awal musim chun (semi) seperti sekarang ini. Kwee-koko, kalau begitu, marilah kita berangkat. Aku tak akan mengganggumu, jika kau singgah di Lam-bi chung, aku akan menjauhkan diri!"
Sikap yang amat gembira dari Kim Li ini rnembuat Kwee Sin tak dapat menolak lagi. Apa lagi kalau diingat bahwa dia memang akan senang sekali melakukan perjalanan bersama gadis ini. Kalau tadi dia mengajukan keberatan, itu hanya karena dia hendak menjaga nama baik gadis itu. Maka, sekarang mendengar bahwa gadis itu pun hendak melakukan perjalanan sejurusan dengannya, dia menjadi girang bukan main.
"Li-moi, kau sebetulnya hendak pergi ke manakah?" tanyanya serius.
Akan tetapi gadis itu hanya tertawa saja, tertawa manis sambil menampar lengan Kwee Sin. "Banyak tanya mau apa sih? Lebih baik lekas berkemas dan segera berangkat!"
Kwee Sin tertawa senang melihat gadis itu berlari-lari ke belakang untuk mencari pelayan dan memberi tahu bahwa mereka hendak pergi meninggalkan losmen.
Dan memang benar dugaan Kwee Sin. Perjalanan yang dia lakukan bersama Coa Kim Li benar-benar sangat menggembirakan hatinya. Alangkah jauh bedanya dengan perjalanan yang dia lakukan seorang diri sebelum dia bertemu dengan gadis ini.
Sebelum mereka meninggalkan dusun itu, lebih dahulu Kwee Sin singgah di Sin-yang, ke rumah Bun Si Teng dan Bun Si Liong. Kim Li tidak mau turut dan hendak menanti di luar kampung. Hal ini malah dianggap suatu kebetulan oleh Kwee Sin, karena dia sendiri juga merasa sungkan dan malu terhadap kedua suheng-nya kalau mereka ini tahu bahwa dia hendak melanjutkan perjalanan bersama seorang gadis cantik.
Bun Si Teng dan Bun Si Liong yang sudah sembuh, merasa gembira dan lega melihat munculnya Kwee Sin. Tadinya dua orang suheng ini merasa amat khawatir karena sudah beberapa hari sute ini tidak muncul.
Bun Si Teng malah sudah menyusul ke dalam hutan dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika di tengah hutan itu dia mendapatkan mayat Thio Sian ditangisi oleh seorang anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun! Selagi dia terlongong dan heran karena tidak melihat sute-nya di dekat tempat itu, terdengar suara keras, disusul berkelebatnya bayangan tinggi besar dan di lain saat, mayat bersama gadis cilik itu telah lenyap dari situ.
Bun Sin Teng kaget dan berlari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan. Akan tetapi dia hanya melihat dari jauh seorang hwesio tinggi besar memondong gadis kecil itu sambil mengempit mayat Thio Sian, berjalan dengan langkah lebar akan tetapi cepat bagaikan terbang!
Melihat tangan kiri hwesio itu memanggul sebatang dayung, Bu Si Teng menjadi pucat karena dia pernah mendengar tentang seorang sakti yang menjadi orang nomor satu di dunia timur, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Apa betul pertapa yang puluhan tahun tak pernah turun gunung itu sekarang tiba-tiba muncul di situ?
Setelah mendengar cerita Kwee Sin yang sudah berhasil merobohkan Thio Sian dengan pertolongan seorang nona pendekar yang bernama Coa Kim Li, dua orang saudara Bun itu menarik napas lega.
"Sungguh sayang sekali bahwa kita dihadapkan dengan kenyataan yang mengecewakan dan amat pahit. Pek-lian-pai yang tadinya kita anggap sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang berjiwa patriotik, kini ternyata hanyalah merupakan perkumpulan orang-orang jahat belaka. Sute, kau harus memberi laporan yang jelas kepada suhu, agar orang tua itu tenang hatinya dan tidak akan menyalahkan kita kalau kita tidak membantu Pek lian-pai," kata Bun Si Teng kepada sute-nya.
Setelah menyatakan bahwa dia hendak lekas-lekas kembali Kun-lun-pai sesudah singgah di Lam-bi-chung seperti yang dipesankan suhu-nya, Kwee Sin pergi meninggalkan dusun Sin-yang, berjalan cepat sekali keluar kampung untuk menjumpai sahabat barunya, nona Coa Kim Li. Akan tetapi dia menjadi kaget dan kecewa, juga gelisah karena tidak melihat nona itu yang tadi duduk menantinya di bawah sebatang pohon.
"Aduh, celaka ke mana dia? Jangan-jangan aku sudah dia tinggalkan. Jangan-jangan dia kesal karena aku tadi terlalu lama di rumah suheng..."
la duduk di bawah pohon itu dengan kening berkerut. Mendadak terdengar suara ketawa dari belakang pohon. Kwee Sin cepat melompat dan menengok, wajahnya lantas berseri dan matanya bersinar-sinar.
“Kim Li...!" Saking girangnya melihat nona itu ternyata tidak pergi meninggalkannya, Kwee Sin memegang kedua lengannya dan hampir saja dia merangkulnya.
Kim Li tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
"Kwee-koko, kenapa kau tadi bermuram di bawah pohon?" Kim Li menggoda.
"Kukira kau telah pergi meninggalkan aku."
“Ehh, jadi kau sedih kalau kutinggalkan?”
"Sedih...? Tentu saja... ehh, aku... aku..." Kwee Sin baru merasa bahwa tanpa disadarinya dia telah kena umpan sehingga perasaan hatinya sudah dipancing keluar.
Kim Li tertawa, menarik lengan Kwee Sin dan berkata, "Sudahlah, hayo kita melanjutkan perjalanan."
Kwee Sin tersenyum-senyum, membiarkan saja tangannya digandeng sehingga mereka berdua berjalan sambil bergandengan tangan, bagai sepasang kekasih. Tanpa dia sadari, Kwee Sin sudah mulai roboh, masuk ke dalam perangkap yang dipasang gadis cantik itu. Terlalu pandai Kim-thouw Thian-li memikat dengan wajahnya yang cantik ataukah terlalu hijau Kwee Sin dalam menghadapi kelihaian siasat wanita cantik?
Dengan melalui perjalanan yang penuh kegembiraan bagi Kwee Sin, kegembiraan hidup yang baru kali ini dia rasakan, akhirnya mereka tiba di Telaga Pok-yang. Mereka berdua, seperti sepasang pengantin baru, berpesiar naik perahu di telaga ini.
Sering kali Kwee Sin terheran-heran melihat bahwa gadis ini ternyata memiliki pengaruh besar di mana-mana. Pada waktu hendak memasuki daerah telaga, tampak serombongan tentara yang mencegat para pelancong, lalu memeriksa dengan teliti. Memang daerah ini terkenal sebagai daerah para tokoh pemberontak, maka pemerintah Mongol mengadakan penjagaan yang teliti. Akan tetapi ketika mereka ini melihat Coa Kim Li, mereka memberi hormat dan tidak mengganggu gadis itu bersama Kwee Sin.
Dalam keheranannya, Kwee Sin bertanya apa sebabnya gadis ini seakan-akan memiliki kekuasaan. Namun Kim Li hanya tersenyum dan berkata, "Cacing-cacing tanah macam mereka masih dapat mengenal orang baik-baik, itu masih untung. Andai kata tadi mereka berani mengganggu kita berdua, apakah mereka akan dapat hidup terus dengan kepala menempel di leher?"
Karena pandainya Kim Li menjawab dan menyimpan pertanyaan, pandainya ia merayu, Kwee Sin tidak mendesak lebih jauh. Mereka berpesiar sampai puas di Telaga Pok-yang yang amat indah itu. Sama sekali Kwee Sin tidak tahu bahwa gerak-geriknya di telaga ini diketahui oleh calon mertuanya, Liem Ta ayah Liem Sian Hwa!
Dan seperti sudah dituturkan di bagian depan, Liem Ta pulang sambil marah-marah dan menyatakan di depan puterinya bahwa pertunangan dengan Kwee Sin diputuskan!
Pada saat Kwee Sin menyatakan keinginannya kepada Kim Li untuk menengok ke dusun Lam-bi-chung, ke rumah calon isterinya, Kim Li tersenyum pahit dan berkata, "Guru adalah setingkat dengan ayah, kata-katanya harus ditaati. Engkau hendak mentaati pesan gurumu, pergilah kau singgah ke rumah keluarga Liem. Akan tetapi aku tidak bisa ikut pergi ke sana. Selamat berpisah, Kwee-koko. Harap engkau tidak melupakan Coa Kim Li!" Setelah berkata demikian, sekali meloncat gadis itu lenyap dari depan Kwee Sin.
Pemuda ini menyesal sekali dan hendak mengejar, akan tetapi dia maklum bahwa tidak mungkin dia mengejar Coa Kim Li yang berkepandaian lebih tinggi dari padanya. Dengan kecewa, kehilangan kegembiraan dan malas-malasan, kemudian dia pergi seorang diri ke Lam-bi-chung.
Karena masih mengharapkan untuk dapat melihat Kim Li kembali ke Po-yang, dia tidak meninggalkan telaga itu sebelum menanti sampai tiga hari. Ia baru pergi ke Lam-bi-chung setelah pada hari ke empat dia masih belum melihat kembali Kim Li. Dengan hati berat dia berjalan ke dusun Lam-bi-chung untuk menengok rumah Liem Sian Hwa.
Akan tetapi, apa yang dia dapatkan di rumah itu? Rumah yang tertutup dan tidak ada penghuninya. Masih ada tanda-tanda berkabung di depan pintu rumah kosong itu. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika dia mendapat keterangan dari para tetangga bahwa calon mertuanya, Liem Ta, telah didatangi penjahat dan terbunuh ketika Liem Sian Hwa sedang pergi!
Sudah dituturkan di bagian depan bahwa Liem Sian Hwa menyusul ke Pok-yang untuk membuktikan dengan mata kepalanya sendiri penuturan ayahnya tentang Kwee Sin dan seorang wanita. Sayang bahwa dia tidak bertemu dengan dua orang itu dan ketika dia pulang, ayahnya sudah terluka dan tewas.
Kita kembali kepada Kwee Sin yang menjadi kaget dan berduka sekali. Dia mendapat keterangan lagi bahwa sesudah kematian ayahnya, Liem Sian Hwa lalu pergi bersama seorang laki-laki gagah perkasa yang disebut suheng-nya. Kwee Sin dapat menduga bahwa Liem Sian Hwa tentulah pergi bersama seorang di antara tiga orang suheng-nya, yakni orang-orang dari Hoa-san Sie-eng.
"Betapa pun juga, aku harus mencarinya," pikir Kwee Sin. "Kasihan sekali Sian Hwa, aku harus menyatakan penyesalanku dan menghiburnya."
Dalam berpikir demikian ini dia membayangkan wajah Sian Hwa. Akan tetapi heran sekali wajah gadis itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah Kim Li yang tersenyum-senyum dan membujuk rayu! Cepat dia mengerahkan tenaga mengusir wajah Kim Li dan pipinya menjadi kemerahan.
“Ahh, kalau saja tidak berlambat-lambat dengan Kim Li dalam perjalanan, kalau aku dapat datang di Lam-bi-chung beberapa pekan lebih dulu, kiranya aku akan dapat mencegah terjadinya pembunuhan atas diri calon mertuaku!” pikirnya.
Makin berat rasa hati Kwee Sin ketika dia melanjutkan perjalanan meninggalkan Lam-bi-chung. Tadinya dia sudah merasa kecewa dan murung karena Kim Li meninggalkannya secara demikian saja tanpa memberi tahu di mana dan kapan dia dapat bertemu kembali dengan gadis itu. Sekarang di tambah lagi dengan peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga calon isterinya, hati Kwee Sin menjadi sedih dan dia lalu mengambil keputusan untuk kembali saja ke Kun-lun-san.
Pada suatu senja dia sampai di luar kota Leng-ki. Di jalan itu sunyi sekali, tidak tampak seorang pun manusia. Kwee Sin berjalan dengan kepala tunduk. Dalam beberapa hari ini wajahnya nampak kurus dan agak pucat.
Tiba-tiba dia mendengar ada benda menyambar ke arahnya. Sebagai seorang jago muda yang berkepandaian tinggi, keadaan tubuh pemuda ini selalu dalam keadaan siap siaga. Cepat dia miringkan tubuhnya dan tangannya otomatis menangkis, menyampok sambaran benda itu.
Sebelum melihat ke arah benda yang dapat dia pukul jatuh, dia trengginas melompat ke arah dari mana benda tadi menyambar, matanya tajam mencari-cari. Akan tetapi tidak terlihat seorang pun manusia di sekitar tempat itu yang sudah mulai gelap itu.
Kini perhatiannya ditujukan ke arah benda yang menyambarnya tadi. Benda itu segumpal kertas. Ketika dia memungutnya, ternyata kertas yang digumpal-gumpal itu berisi tulisan singkat, tulisan tangan yang halus dan berbunyi:
PERGILAH KE LOSMEN KECIL MALAM INI.
Tak ada tanda-tanda yang dapat dia kenal pada kertas itu, entah siapa yang menulisnya. Akan tetapi ketika hidungnya mencium wangi harum pada kertas itu, hatinya berdebar penuh harapan. Harum kertas itu mengingatkan dia akan diri Coa Kim Li! Pergi ke losmen kecil? Losmen manakah?
Kwee Sin memandang ke depan. Di depan itu terdapat sebuah kota kecil, tentu di situlah yang dimaksudkan adanya losmen kecil. Mengapa ke situ? Menemui siapa? Timbul pula harapannya.
Tentu Coa Kim Li berada di losmen itu. Akan tetapi kenapa meninggalkan pesan supaya dia malam ini juga harus pergi ke sana? Kalau gadis itu betul-betul berada di sini, kenapa tidak langsung menemuinya?
Akan tetapi, jawaban atas semua pertanyaan ini yang merupakan kenyataan apa yang dia dapatkan di losmen kecil dalam kota Leng-ki, benar-benar di luar dari pada dugaannya semula. Dia mendengar bahwa tunangannya, Liem Sian Hwa, bersama Kwa Tin Siong orang tertua dari Hoa-san Sie-eng sedang berada di losmen itu!
Timbul juga kegembiraannya untuk menjumpai tunangannya dan pendekar Hoa-san-pai ini, akan tetapi diam-diam dia menaruh hati curiga. Apa maksudnya surat yang dia terima secara aneh di tengah jalan tadi? Siapakah si pengirim surat itu? Apakah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa? Kalau memang mereka ini, tidak aneh karena dia maklum bahwa jago-jago Hoa-san-pai memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi apa maksudnya? Dengan cara yang penuh rahasia itu tentu mereka bermaksud supaya dia mengunjungi mereka secara diam-diam dan rahasia pula.
Oleh karena pikiran ini, Kwee Sin menunggu sampai datangnya malam yang sunyi dan secara rahasia dia mendatangi losmen, langsung mencari jalan melalui taman bunganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya pada saat dia menyaksikan adegan yang membuat darahnya mendidih.
la melihat Liem Sian Hwa terisak-isak berada dalam pelukan Kwa Tin Siong. Api cemburu membakar jantung Kwee Sin. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung mengeluarkan sisir perak yang menjadi tanda pengikat perjodohannya dengan Liem Sian Hwa, kemudian dia melemparkan sisir perak itu ke arah dua orang yang sedang berpelukan di taman. Setelah itu dia meloncat dan pergi menghilang di dalam gelap.
Dengan hati makin berat dan penuh kedukaan, penuh kekecewaan, Kwee Sin pada saat itu juga meninggalkan kota Leng-ki, melanjutkan perjalanannya menuju ke Kun-lun-san. la tidak beristirahat malam itu, semalam penuh dia terus saja berjalan, dalam hatinya penuh penyesalan.
Selagi dia berjalan sambil melamun di atas jalan raya yang sunyi, di waktu malam mulai berganti fajar, dia mendengar suara kaki banyak kuda berlari cepat dari arah belakang. la cepat minggir dan berdiri memandang.
Tujuh ekor kuda dengan para penunggangnya berlari cepat sekali dan sebentar saja telah melewatinya. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan gagah, yang tiga orang berbaju putih. Seorang yang melarikan kuda paling depan adalah seorang wanita cantik dan juga gagah. Hanya sekejap saja mereka melewati jalan itu, akan tetapi di dalam cuaca yang remang-remang itu Kwee Sin masih dapat mengenal wanita tadi.
"Kim Li...!" teriaknya. Akan tetapi teriakannya tertelan oleh derap kaki kuda.
Betapa pun juga dia masih sempat melihat wanita itu menoleh dan tersenyum ke arahnya, lalu makin membalapkan kudanya tanpa memberi isyarat sesuatu.
Kwee Sin penasaran. Tidak mungkin salah lagi, wanita itu tentulah Kim Li. Tidak saja dia mengenal wajah yang cantik itu, mata yang tajam bersinar, akan tetapi ia pun mengenal baik-baik senyum manis Kim Li, senyum yang selama ini menjatuhkan hatinya. la lantas melupakan kelelahan dan kesedihannya, mempercepat larinya dan mengejar ke arah para penunggang kuda yang makin lama semakin jauh itu.
Sepertl telah dituturkan di bagian depan, Kwee Sin akhirnya memasuki dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce, dan dia sempat mencegah Coa Kim Li atau Kim-thouw Thian-li yang hendak membunuh Tan Hok.
Demikianlah keadaan Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun Sam-heng te, dan bagaimana dia sampai dapat berkenalan dengan Kim-thouw Thian-li yang dia kenal sebagai gadis Coa Kim Li yang gagah perkasa, cantik jelita, dan menarik hatinya…..
********************
Kita kembali ke warung arak Phang Kwi di mana Kwee Sin bertemu kembali dengan Kim Li. Setelah mencegah Kim Li membunuh Tan Hok, Kwee Sin bagai seekor kerbau menurut saja dituntun oleh Kim Li duduk menghadapi meja dan menerima hidangan dari Phang Kwi yang nampaknya takut sekali terhadap Kim Li.
"Minumlah, Koko, minumlah arak ini dan bergembiralah. Setelah aku kembali berada di sampingmu, tak perlu kau bermuram durja lagi. Wanita tidak setia seperti dia itu lebih baik kau lupakan saja." Kim Li membujuk sambil mengisi penuh cawan arak di depan Kwee Sin, lalu mengangkat cawan itu diberikannya kepada Kwee Sin. Sikapnya amat menarik, matanya memandang penuh kasih dan mulutnya tersenyum-senyum manis.
Kwee Sin melengak. “Kau sudah tahu...?”
Kim Li mengangguk dan baru ia melihat bahwa gadis itu sekarang membawa golok tipis kecil yang terselip di punggungnya, selendang merah yang harum indah itu tergantung di ikat pinggang. Bajunya berkembang terbuat dari sutera mahal yang indah dan mencetak tubuhnya. Rambutnya yang panjang hitam digelung rapi, dihiasi setangkai bunga teratai yang sangat aneh warnanya, karena ada merahnya, ada putihnya, ada biru, kuning dan kehijauan, terbuat dari mutiara-mutiara pilihan. Nampak cantik jelita dengan pipinya yang merah.
"Kalau begitu... kau pula agaknya yang mengirim surat kepadaku...?"
Kembali Kim Li mengangguk. "Melihat bahwa wanita pilihan gurumu itu tidak patut menjadi pendampingmu selama hidup, aku tidak tega mendiamkan begitu saja. Aku merasa kau perlu mengetahui dengan mata kepala sendiri."
"Kenapa kau berlaku secara rahasia, tidak langsung menjumpai aku?"
Kim Li memegang lengan Kwee Sin dengan sentuhan mesra. "Aku khawatir kalau aku muncul, kau mengira aku cemburu."
Kwee Sin menarik napas panjang dan Kim Li kembali membujuk, "Sudahlah, Koko, kau lupakan saja dia. Setelah kita berkumpul lagi, mengapa susah-susah? Mari minum!"
Karena hiburan serta sikap manis dari gadis ini, Kwee Sin terhibur juga dan tidak lama kemudian dua orang itu sudah minum sepuas-puasnya sambil bertukar pandang penuh cinta kasih, malah Kwee Sin telah bangkit kembali kegembiraannya, mau melayani senda gurau wanita itu.
Baik Kwee Sin mau pun Kim Li sama sekali tak pernah mengira bahwa semua perbuatan mereka semenjak tadi sudah diintai orang. Setelah mendapat pertolongan dari Kwee Sin, dan walau pun kelihatannya tadi sudah pergi, akan tetapi diam-diam Tan Hok merayap datang kembali secara diam-diam.
Dia amat sakit hati terhadap Kim-thouw Thian-li yang sudah membunuh Tan Sam, akan tetapi ia juga amat berterima kasih kepada Kwee Sin yang telah menolongnya. Alangkah kecewa, marah, dan menyesalnya ketika dia melihat betapa Kwee Sin yang sekarang dia tahu dari namanya ternyata seorang jago muda gagah perkasa dari Kun-lun-pai itu, jatuh hati kepada Kim-thouw Thian-li.
Pemandangan yang dia lihat di dalam warung arak itu membuat hatinya menjadi jemu dan kesedihannya timbul. Tadinya dia hendak mengharapkan bantuan dari Kwee Sin, kiranya pemuda Kun-lun-pai itu sudah bertekuk lutut di bawah kaki Kim-thouw Thian-li, tak kuasa menentang kecantikan wanita berbahaya itu! Dengan hati sedih Tan Hok malam-malam pergi dari tempat itu. Matanya yang biasanya sayu itu kini menjadi basah air mata.
Sejak kecil Tan Hok tidak pernah mengenal orang tuanya, hidup sebatang kara. Setelah Tan Sam memungutnya, barulah dia mengenal sedikit kesenangan hidup. Sekarang Tan Sam tewas dan dia tidak berdaya membalas dendam. Meski pun Tan Hok menjadi murid dan kawan Tan Sam yang menjadi tokoh Pek-lian-pai dan luas pengalamannya, namun pemuda ini memang pada dasarnya bodoh dan jujur, malah hatinya penuh oleh kedukaan yang dideritanya semenjak kecil.
Bagaikan sebuah layangan putus talinya, tanpa pegangan tanpa tujuan, Tan Hok berjalan ke mana saja kakinya bergerak. Kadang-kadang dia menangis tanpa suara, kadang kala dia menangis menggerung-gerung seperti anak kecil…..
********************
Di masa itu kehidupan rakyat jelata di Tiongkok amat sengsara. Keadaan pemerintahan kacau-balau, para pembesar hanya mementingkan isi sakunya sendiri tanpa peduli akan keadaan rakyat sama sekali. Pembesar-pembesar saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan dalam kehausan rnereka akan pangkat dan kemuliaan duniawi.
Pemerintah penjajah kurang memperhatikan keadaan rakyat. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya raya menggunakan harta kekayaannya untuk menghisap yang miskin, yang berkuasa mempergunakan kedudukannya untuk mencekik si kecil.
Rakyat yang terkekang oleh belenggu penjajahan bangsa Mongol mulai berteriak dan melakukan perlawanan. Di mana-mana timbul pemberontakan dan rakyat kecil pulalah yang menderita. Semua ini ditambah lagi dengan datangnya musim kering yang sangat hebat sehingga kelaparan merajalela.
Di sebelah utara Propinsi Shen-si rakyat amat menderita oleh panjangnya musim kering. Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah tidak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kecil kehilangan sumbernya, telaga-telaga kelihatan dasarnya, pohon-pohon kehilangan daunnya. Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan makanan, setiap hari banyak orang dan binatang mati kelaparan.
Rakyat pun menjerit, ratap tangisnya membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap hari orang bersembahyang, minta hujan, minta perlindungan, minta-minta dengan ratap tangis yang tak berdaya. Namun di lain tempat, di kota-kota besar, para pembesar dan hartawan berpesta pora. Mereka seakan-akan berlomba menghamburkan arak dan gandum, bersenang-senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat kepada Tuhan!
Sayang, Tuhan hanya dijadikan sebagai tempat pelarian bagi mereka yang menderita. Sayang, Tuhan hanya diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan pertolongan dari kesengsaraan duniawi. Lebih patut disayangkan pula, di dalam keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa sama sekali bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya manusialah yang meninggalkan Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan akhirnya mereka kehilangan Tuhan.
Bagaikan orang yang menyia-nyiakan obor dan membuang-buangnya di waktu hari masih terang, kemudian kebingungan meraba-raba, mencari-cari obor di kala malam gelap tiba.
Penduduk di daerah kering ini sudah banyak yang meninggalkan kampung halaman, dan berbondong-bondong mengungsi ke selatan di mana daerahnya lebih mendingan apa bila dibandingkan dengan daerah utara.
Akan tetapi sungguh patut dikasihani para petani miskin ini. Di daerah baru mereka justru dianggap sebagai pengganggu. Mereka itu baru bisa mendapatkan sekedar pengisi perut setelah tenaga mereka diperas melebihi tenaga kuda. Tidak heran apa bila dusun-dusun di utara ini banyak yang kosong ditinggalkan penduduknya sehingga merupakan daerah mati.
Pada suatu pagi, seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa memasuki sebuah dusun yang cukup besar. la merasa heran sekali melihat dusun ini sunyi senyap, banyak rumah-rumah kosong ditinggalkan penduduknya. Ia sudah merasa lapar sekali, akan tetapi tidak melihat sebuah pun rumah makan.
Pemuda ini bukan lain adalah Tan Hok. Dipikirnya bahwa penduduk sepagi itu agaknya sudah pergi ke sawah, maka dia lalu keluar lagi dari dusun itu menuju ke sawah untuk menemui penduduk dan minta diberi makan. Tetapi apa yang dia lihat di sawah membuat dia bergidik. Sawah mengering, sunyi senyap.
Tiba-tiba dia melihat benda-benda yang membuat dia makin bergidik. Benda-benda yang menggeletak di sepanjang jalan dusun itu bukan lain adalah mayat orang-orang yang mati kelaparan, bahkan ada yang sudah berbau busuk. Dengan hati cemas ketakutan Tan Hok menjauhkan diri. la segera berlari menuju ke tengah sawah di mana dia mendengar suara orang berteriak-teriak. Ketika sudah dekat, pemuda ini berdiri seperti patung, matanya terbelalak memandang penglihatan di tengah sawah yang tanahnya mengering itu.
Di sana, di tengah sawah, dia melihat seorang kakek berlutut, menangis dan tertawa-tawa tak karuan, jelas bahwa orang itu sudah berubah ingatannya. Kakek ini kurus bukan main, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya compang-camping, wajahnya seperti tengkorak hidup. Dengan dua tangannya kakek ini menggenggam tanah kering dan berteriak-teriak.
"Thian (Tuhan), kepada siapa aku harus mengeluh? Kepada siapa lagi aku dapat minta tolong kalau Kau sendiri sudah menutup telinga, menutup mata terhadap penderitaanku?" Dia menangis terguguk-guguk, kemudian matanya menjadi beringas dan tiba-tiba saja dia tertawa-tawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha! Ibu tanah... kau yang memberi kehidupan. Kau yang menghasilkan makanan, kau yang mengeluarkan air. Sekarang engkau tidak mau memberi air dan makanan, apa salahnya kalau aku memakan kau? Ha-ha-ha-ha, semua bahan makanan datangnya dari tanah, mustahil tanah tidak mengenyangkan perut!"
Sambil tertawa-tawa orang itu lalu makan tanah kering yang dia kepal tadi! Sungguh amat menyayat hati melihat orang ini. Makan tanah kering sambil tertawa dan kadang-kadang menangis tanpa mengeluarkan air mata.
Mulutnya sudah mengering karena dijejali tanah kering yang dimakan secara lahap itu, membuat dia tercekik, terengah-engah, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Dia memegangi leher, memekik-mekik, berputaran lalu jatuh berkelojotan!
Tan Hok cepat lari menghampiri dan... dia melihat kakek itu sudah putus nyawanya. Kakek itu mati dengan mata melotot lebar, dan mulut yang penuh tanah kering itu ternganga menyeringai. Tan Hok merasa ngeri dan menutupi mukanya, tak terasa air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.
"Thian Yang Maha Kuasa, mengapa aku yang sudah banyak menderita ini masih harus menyaksikan ini semua...?"
la berlutut dekat mayat kakek itu dan menangis. Kemudian dia dapat menguasai hatinya, lalu digalinya lubang di sawah itu dan dikuburnya mayat kakek tadi.
"Kakek, mudah-mudahan tubuhmu akan menyuburkan tanah ini...," doanya.
Kemudian pemuda raksasa ini mengubur pula empat mayat lainnya yang menggeletak di tepi jalan. Selagi dia mengubur mayat terakhir, tiba-tiba dia mendengar suara keras dan belasan orang dusun datang berlari-lari ke arahnya. Mereka itu membawa segala macam senjata tajam alat-alat pertanian. Dengan muka mengancam mereka datang menyerbu sambil berteriak-teriak.
"Siluman pemakan bangkai!"
"Bikin mampus iblis jahat ini!"
Belasan batang senjata bagai hujan datang menghantam ke arah Tan Hok yang menjadi terheran-heran. Akan tetapi, sekali sampok saja dengan lengannya yang besar dan penuh tenaga itu, semua senjata lalu terpental dan terlempar disusul teriakan-teriakan kaget dan kesakitan. Tan Hok tidak tega menggunakan kekerasan terhadap orang-orang ini, yang ternyata adalah orang-orang kurus pucat yang mirip setan-setan kelaparan.
"Kalian ini setan-setan gila datang-datang menyerangku apa sebabnya?" tanya Tan Hok dengan suaranya yang menggeledek.
"Kaulah setan pemakan bangkai!" seorang di antara mereka memberanikan diri memaki.
"Aku tak pernah makah bangkai!" jawab Tan Hok.
Orang-orang itu memandang penuh perhatian, agak ragu-ragu. "Habis, mayat-mayat tadi kau apakan?"
"Aku kubur mereka. Kalian lihat, ini yang terakhir." la menuding ke arah lubang yang dia gali di mana mayat terakhir telah dia masukkan.
Orang-orang itu lalu melongok ke dalam lubang. "Apa tubuhnya masih utuh? Apa tak ada bagian yang dimakannya?" Demikianlah mereka bertanya-tanya.
Ketika melihat bahwa mayat itu memang masih utuh badannya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, ada yang menangis dan ada pula yang minta ampun.
Seorang kakek yang mengepalai mereka lalu berkata, "Orang muda yang gagah, harap ampunkan kami sekalian. Kami telah salah sangka..."
”Kasihan kami orang-orang kelaparan...," kata orang ke dua.
Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengomel, "Kalian ini orang-orang gendeng, mengganggu saja!"
Dia lalu lanjutkan pekerjaannya, menguruk lubang dengan tanah galian. Orang-orang itu tanpa diperintah membantu. Akan tetapi tubuh mereka yang lemah itu memang tidak kuat untuk dipakai bekerja berat.
Kakek yang memimpin rombongan ini berkata, "Sudah banyak teman kami mati kelaparan dan sepekan yang lalu ada orang kelaparan gila yang suka makan bangkai saking tidak kuat menahan laparnya. Kami klra kau itulah orangnya..."
Tergerak juga hati Tan Hok mendengar ini, meski pun dia tidak dapat mengerti mengapa orang-orang itu sampai kelaparan dan mengapa ada orang sampai makan bangkai orang dan bahkan tadi dia melihat sendiri ada orang makan tanah.
"Kalau kalian kelaparan, kenapa tidak makan?”
Orang-orang itu saling pandang, kemudian mereka semua memandang kepada Tan Hok dengan heran. Melihat wajah Tan Hok membayangkan kebodohan, kakek tua itu menarik napas panjang dan berkata,
"Orang muda, kau menyuruh kami makan, tetapi apa yang dimakan? Musim kering terlalu hebat, tanah menjadi kering, semua tanaman habis. Yang mempunyai simpanan gandum hanyalah pembesar-pembesar dan orang-orang kaya. Orang-orang seperti kami ini mana ada simpanan? Semua orang terpaksa mengungsi ke selatan, hanya kami yang tak punya apa-apa terpaksa tinggal di sini."
"Jadi ada pembesar dan orang kaya di sini?"
"Pembesar sih tidak ada, orang-orang kaya juga tidak banyak. Tapi yang paling kaya dan paling kikir adalah Kwi-wangwe (hartawan Kwi), tuan tanah terkaya di sini."
"Kenapa tidak minta makan padanya?"
"Uuuhhh minta makan? Orang muda, dia itu amat kikir, jangankan dimintai, dipinjami saja tidak mau memberi. Kami bahkan diusir dan dikeroyok oleh anjing-anjingnya, anjing kaki empat dan kaki dua."
"Ada anjing kaki dua?" Tan Hok benar-benar terheran.
Kembali orang-orang itu saling pandang. Agaknya makin jelas bagi mereka bahwa orang muda yang tinggi besar seperti raksasa ini kelebihan tenaga akan tetapi kekurangan otak.
"Orang muda, Kwi-wangwe selain memelihara anjing-anjing kaki empat, juga dia dilindungi oleh tukang-tukang pukulnya. Malah semua pembesar di kota-kota yang berdekatan juga melindunginya. Siapa berani terhadapnya?"
"Hemmm, aku berani! Kalian lapar? Aku pun lapar. Hayo kita pergi ke rumah anjing she Kwi itu. Aku akan paksa dia keluarkan makanan untuk kita."
Bangkit semangat orang-orang itu. Mereka sudah tahu bahwa pemuda raksasa ini adalah seorang yang kuat dan pandai ilmu silat, hanya sayang wataknya aneh dan agak bodoh.
"Orang muda, penjagaan di rumah Kwi-wangwe kuat sekali. Apa kau tidak takut?" Kakek itu masih mencoba untuk menakutinya.
"Aku Tan Hok tak kenal takut. Mendiang suhu bilang bahwa orang tidak perlu takut kalau membela si lemah dan menegakkan keadilan. Orang she Kwi itu gandumnya berlebihan, kalian sebaliknya kelaparan, ini tidak adil namanya. Mari, antarkan aku!"
Sikap dan ucapan Tan Hok membangkitkan semangat orang-orang yang kelaparan itu, dan rombongan ini lalu menuju ke rumah Kwi-wangwe. Di sepanjang jalan yang sunyi rombongan ini terus bertambah besar dan akhirnya semua sisa penduduk dusun itu yang berjumlah dua puluh orang lebih berada di dalam rombongan.
Orang-orang yang tadinya berputus harapan ini timbul keberaniannya sesudah mereka dibela oleh pendekar muda Tan Hok. Betapa pun juga, setelah mereka sampai di depan gedung besar milik Kwi-wangwe, gedung dan pagar tembok yang tinggi tebal, dan melihat empat orang tukang pukul menjaga di depan pintu pagar tembok, keberanian mereka mendadak lenyap dan orang-orang ini bersembunyi di belakang Tan Hok.
Melihat sikap pengecut ini, lenyap kesabaran Tan Hok. "Hayo kalian maju dan nyatakan kehendak hati kalian. Takut apa?" serunya.
Kakek tadi bersama dua orang temannya lalu memberanikan diri mendekati pintu pagar tembok.
"Anjing-anjing kelaparan, mau apa kalian ribut-ribut di sini?!" bentak seorang tukang pukul sambil melintangkan toyanya, sikapnya mengancam dan sombong sekali.
"Kami hampir mati kelaparan...," kata kakek itu merendah, "Kami hendak mohon belas kasihan Kwi-wangwe, mohon bantuan sedikit gandum untuk penyambung nyawa..."
"Pengemis-pengemis kelaparan, pergi kalian! Kwi-wangwe mana ada waktu buat melayani kalian? Sedang ada tamu agung dan sibuk. Pergi!"
"Kasihanilah kami... biarlah kami diberi pinjaman gandum, kelak tentu kami bayar dengan tenaga...," kakek itu mendesak.
"Setan, tidak lekas pergi?!"
Empat orang tukang pukul itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menggerakkan toya menerjang maju. Segera terdengar suara bak-bik-buk disusul pekik kesakitan ketika para petani itu dipukul. Percuma saja mereka mencoba melawan karena mereka yang di waktu sehat saja tidak mampu melawan tukang-tukang pukul ini, apa lagi sekarang dalam keadaan hampir mati kelaparan.
"Kejam sekali! Anjing-anjing penjaga, jangan gigit orang."
Tan Hok melompat ke depan dan sekali dia menggerakkan kedua kaki tangannya, empat orang tukang pukul itu langsung roboh. Toya mereka ada yang patah dan ada pula yang terlempar jauh.
Bukan main kaget hati mereka. Apa lagi ketika mereka melihat bahwa yang merobohkan mereka begitu mudahnya hanyalah seorang pemuda yang tubuhnya seperti raksasa.
"Tolong... ada pengacau...!" Mereka berteriak-teriak ke dalam sambil merayap bangun.
Berbondong-bondong dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah di antara mereka ada yang berpakaian seperti serdadu pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa golok, toya, atau pedang dan dengan sikap mengancam mereka berlari menyerbu keluar.
Para petani yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan amat mudahnya Tan Hok merobohkan empat orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Tan Hok sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan suaranya yang keras, "Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing penjaga!"
Tentu saja para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok. Sambil berteriak-teriak memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh tinggi besar itu, namun segera terdengar teriakan-teriakan mengaduh-aduh dan keadaan menjadi kacau-balau.
Para pengeroyok sibuk menyerang Tan Hok dari empat penjuru, namun pemuda gagah perkasa ini selalu bisa melindungi tubuhnya dari ancaman senjata dengan jalan mengelak atau menangkis. Malah dia cepat secara kontan mengirim pukulan-pukulan balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat semakin banyak tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang toya dan mengamuk dengan senjata ini. Makin ramailah pertempuran di depan gedung Kwi-wangwe itu.
"Saudara-saudara, Tan-enghiong dikeroyok ketika membela kita. Bagaimana kita bisa tinggal diam saja? Hayo bantu!" Kakek petani berseru keras.
Memang keberanian para petani itu mulai timbul setelah melihat betapa gagahnya Tan Hok melawan para tukang pukul.
"Betul... betul... hayo bantu Tan-enghiong...!"
Puluhan orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para tukang pukul yang mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Yang dipukul jatuh, langsung bangkit lagi dan melawan penuh kenekatan.
Mendapat bantuan ini, tentu saja Tan Hok menjadi makin bersemangat. Toyanya lantas mengamuk dan satu demi satu para tukang pukul dapat dia robohkan.
Pada saat itu pula, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru, "Mundur semua, biarkan Giam-siauwya (Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!" Itulah suara Kwi-wangwe.
Mendengar perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh teman-teman mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok lalu memandang ke dalam.
Mereka melihat Kwi-wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang berpakaian mewah sekali, tangan kiri mengisap huncwe berujung emas, berdiri di anak tangga sambil memandang ke luar. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang aneh.
Muka pemuda ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang tampan ini nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada matanya. Pakaiannya serba kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling ular.
Pada saat itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa. "Kwi-wangwe, biarlah aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik hati."
Bocah laki-laki belasan tahun itu kemudian mengangkat sulingnya, ditiupnya suling itu. Terdengar suara melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring menusuk anak telinga. Tan Hok yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa suling itu ditiup dengan kekuatan khikang yang hebat!
"Ular...! Ular...!" Para petani berteriak-teriak ketakutan.
Tan Hok kaget dan cepat memutar tubuh memandang. Ia bergidik melihat banyak sekali ular merayap cepat menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan. Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin ular-ular yang terdekat di tempat itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan ekor ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi.
Pada saat ular-ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil menujukan mata ke arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah menjadi kacau balau dan... tiba-tiba saja ular-ular itu mendesis-desis dan nampak marah, lalu menyerang para petani.....