Raja Pedang Chapter 03

“Kwa Tin Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat dengan amat lincahnya. Seperti terbang melayang keduanya meloncat keluar dan melihat sebuah Pek-lian-ting (paku teratai putih) seperti yang dipergunakan orang untuk melukai ayah Sian Hwa sudah tertancap pada daun pintu depan!

Kwa Hong sudah tidak tampak lagi di situ. Hanya terdengar derap kaki kuda berlari cepat menjauhi tempat itu.

“Cepat, twa-suheng, kejar....!”

Kwa Tin Siong melompat ke atas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Pada lain saat kedua kakak beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran. Sebentar saja Kwa Tin Siong tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa, seekor kuda tunggang yang amat baik dan pilihan.

Dua orang pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa-san Sie-eng. Selain ilmu silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah ahli-ahli yang jarang bandingannya. Apa lagi Sian Hwa yang memang sejak kecil telah diajak merantau ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali menunggang kuda.

Sesudah melewati kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu semakin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.

“Sumoi, kau kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan.”

Biar pun masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia kang-ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata twa-suheng-nya ini cukup ia ketahui maksudnya.

Ia tahu bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman menggunakan siasat, yaitu disergap dari belakang. Jika secara berterang, mungkin akan gagal karena si penculik bisa menggunakan anak yang diculik untuk mengancam. Ia hanya mengangguk.

Kwa Tin Siong lantas membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan. Baiknya ia sudah mengenal betul jalan di daerah tempat tinggal sumoi-nya ini, maka tanpa ragu-ragu, dia tahu ke mana arah jalan yang diambil oleh si penjahat di depan itu. Jalan itu menikung ke kanan dan agak memutar, maka kalau dia memotongnya melalui kebun dan hutan kecil, dia akan dapat mendahului si penjahat.

Tidak lama kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apa lagi ditunggangi dua orang, biar pun salah satunya adalah anak kecil seperti Kwa Hong. Anak perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.

“Bangsat rendah, hendak lari ke mana kau!” Sian Hwa mencabut siang-kiam (sepasang pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda.

Penculik itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil bermata lebar, ketika mendengar suara wanita lalu menoleh. Dia tercengang melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih sangat muda. Tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.

“Aha, kiranya ada seorang nona manis ingin main-main dengan aku,” katanya dengan senyum mengejek. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari utara.

Dengan gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan Kwa Hong yang dia gulingkan ke atas tanah. Jalan darah gadis cilik itu agaknya tertotok, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.

“Penculik hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka,” Sian Hwa berseru.

Tiba-tiba tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagai seekor burung walet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar!

Hebat benar sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan pedang) ini. Tidak mengecewakan dia berjulukan demikian karena sepasang pedangnya betul-betul merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat sambil menyerang.

“Bagus....!”

Laki-laki itu mau tak mau memuji melihat ketangkasan gerakan gadis ini. Cepat-cepat dia menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.

“Trangg... trangg...!”

Bunga api muncrat ke sana ke mari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok. Dari getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biar pun bertubuh kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebat ke sebelah kiri orang itu, pedangnya kembali berkelebat.

Sian Hwa sudah sengaja menggunakan ginkang-nya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan gerakannya. Akan tetapi siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat memutar tubuhnya sambil membabatkan goloknya ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, sedangkan pedang kanan menusuk ke arah dada lawan dengan gerak tipu Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu).

Sekarang kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini sangat hebat ilmu pedangnya. Cepat, gesit dan serangannya tidak terduga. Ia cepat cepat menjengkangkan diri ke belakang sambil berjungkir balik kemudian menghadapi lawannya dengan hati-hati. Pertempuran seru segera terjadi.

Pada saat itu muncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati pendekar ini melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan. Maka dia pun cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dahulu, karena dia melihat bahwa sepasang pedang sumoi-nya ternyata dapat menahan gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik.

Setelah Kwa Hong dibebaskan dari totokan serta menyuruh anaknya ini duduk bersila dan mengatur napas untuk membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat ke medan pertempuran sambil berseru,

“Sumoi serahkan penjahat ini kepadaku!”

Sebetulnya Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya. Akan tetapi maklum betapa twa-suheng-nya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat keluar dan membiarkan twa-suheng-nya menghadapi penculik itu.

“Tahan, sobat!”

Kwa Tin Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Dia mengerahkan tenaganya sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya kaget sekali dan menatap tajam.

“Kau ini siapakah dan seingatku, di antara aku Kwa Tin Siong dan kau tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Mengapa kau datang dan menculik anakku?” tanya pendekar itu yang tidak mau menurutkan nafsu amarah.

Orang itu tertawa mengejek. “Aku... aku hanya ingin menguji sampai di mana nama besar Hoa-san Sie-eng!”

Kwa Tin Siong mengeryitkan keningnya. “Kau yang sudah mengenal nama kami tentulah seorang kang-ouw. Kulihat engkau menggunakan Pek-lian-ting, apa hubunganmu dengan Pek-lian-pai? Sobat, harap engkau jangan main-main dan mengakulah terus terang, apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar.”

Tiba-tiba saja terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang Kwa Tin Siong. Tentu saja pedekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan menghormat.

“Bagus, kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!” serunya.

Dengan sekali tangkisan dia dapat membikin golok orang itu terpental, kemudian desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang.

Memang hebat ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari Hoa-san Sie-eng. Gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga lweekang-nya juga sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus meloncat ke sana ke mari dan menangkis sedapatnya.

Kembali ia bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah timur hutan terdengar suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi.

Mendengar ini Kwa Tin Siong berseru, “Awas, sumoi, kawanan penculik datang!”

Sian Hwa memang sudah siap. Dia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga di situ dengan sepasang pedang di kedua tangan.

Terdengar seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak yang berdarah. Ternyata pundaknya sudah kena disambar pedang sehingga terbabat kulit dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih belum juga dapat merobohkannya.

Pada waktu itu terdengar suara banyak orang menunggang kuda. Mereka adalah empat orang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Gerakan mereka tangkas dan begitu sampai di situ, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok mereka.

Tanpa banyak cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan dua yang lainnya sekarang sudah membantu si penculik tadi, mengeroyok Kwa Tin Siong. Diam-diam dua orang anak murid Hoa-san-pai ini terkejut sekali. Ternyata empat orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok utara. Keras dan bertenaga, gerak-geriknya juga cepat.

Sian Hwa dan Tin Siong memang mewarisi Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang ampuh. Keduanya patut diberi julukan pendekar pedang Hoa-san dan mereka dalam pertempuran keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan.

Akan tetapi, lawan-lawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, tapi memiliki kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit. Namun, dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan perlahan-lahan mulai mendesak.

Lima puluh jurus telah lewat. Kwa Tin Siong masih mampu bertahan dan dapat membalas serangan. Akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya. Dia lebih banyak menangkis dan meloncat ke sana-kemari.

Gadis itu hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam-eng-cu karena tubuhnya lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya di antara dua batang golok lawan yang terus menyambar-nyambar mengitari dirinya.

Kwa Tin Siong mengeluh di dalam hatinya. “Celaka,” pikirnya. “Sekali ini aku dan sumoi menghadapi bencana.”

Hal ini masih belum hebat. Lebih celakanya, anaknya pun ikut menghadapi bencana yang hebat pula. Siapa yang akan melindungi anaknya? Berpikir sampai di sini dia mencoba untuk menggunakan daya lain.

Tiba-tiba ia berseru keras. “Bukankah cuwi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota dari Pek-lian-pai? Ketahuilah, siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa-san-pai tidak ada permusuhan dengan Pek-lian-pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri.”

Akan tetapi tiga orang lawannya tertawa dan seorang di antara mereka berkata mengejek, “Anak murid Hoa-san-pai mana ada harga masuk Pek-lian-pai? Kalau mau mengaku kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah pandai baru boleh masuk Pek-lian-pai!” tiga orang itu tertawa-tawa dan menyerang.

Kwa Tin Siong adalah seorang pendekar sejati, mana dia sudi untuk menuruti kehendak tiga orang lawannya itu? Pendirian seorang pendekar, lebih baik mati dari pada bertekuk lutut menerima hinaan. Dengan gemas ia pun mempercepat gerakan-gerakan pedangnya sehingga lawan-lawannya terpaksa berlaku hati-hati dan mundur, lalu dia berkata.

“Melihat sikap cuwi, tak patut menjadi patriot-patriot yang anti penjajah bangsa Mongol!”

Tiga orang itu hanya tertawa lagi, dan si penculik yang sudah dilukai pundaknya berkata, “Jangan banyak cerewet mengenai urusan perjuangan. Hoa-san Sie-eng bernama besar, perlihatkan kebesaran itu. Ha-ha-ha!”

Sekarang Kwa Tin Siong betul-betul terdesak. Apa lagi setelah dia mendengar sumoi-nya berseru marah karena pedang kirinya terlepas dan terlempar, ia makin gelisah. Sumoi-nya kini hanya melawan dengan sebatang pedang, sedangkan dua orang lawannya itu makin mendesak sambil mengeluarkan ucapan-ucapan kotor.

Memang Sian Hwa sedang terdesak hebat dan lebih lagi gadis ini merasa marah bukan main karena selain pedangnya yang kiri terlepas, juga dua orang pengeroyoknya itu terus menggodanya dengan kata-kata yang tidak sopan. Ia berlaku nekat dan mati-matian dan hal ini mendatangkan celaka baginya.

Karena terlalu bernafsu untuk menyerang, dia menjadi lengah dan pada suatu saat, lutut kanannya kena ditendang seorang lawan. Sian Hwa menjerit dan roboh terduduk, namun dia masih terus memutar-mutar pedangnya sambil duduk bersimpuh sehingga dua orang lawannya tidak mampu mendekatinya.

Kwa Tin Siong yang kaget mendengar jeritan sumoi-nya, juga menjadi lengah dan sebuah babatan golok ke arah pinggangnya hampir saja membuat tubuhnya putus menjadi dua. Baiknya dia telah mengelak dan meloncat sehingga hanya paha kirinya saja yang terluka, cukup parah namun tidak cukup untuk merobohkannya.

Betapa pun juga, keadaan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah amat terancam dan sewaktu-waktu, perlahan tetapi pasti, dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan menjadi korban keganasan musuh-musuh mereka ini.

Pada saat itu terdengar orang tertawa dan bernyanyi-nyanyi.

“Ha-ha-ha-ho-ho…” orang itu tertawa-tawa ketika tiba di dekat tempat pertempuran, “Ada anjing-anjing berebut tulang! Anjing-anjing penjilat Mongol mengeroyok... heh-he-heh, aku tak dapat tinggal diam saja. Heiiii! Biarkan aku ikut main-main, waah, gembira benar nih!”

Muncullah seorang lelaki tinggi besar yang pakaiannya tak karuan, berkembang-kembang seperti pakaian wanita dengan potongan pakaian bocah. Sikapnya juga seperti seorang anak kecil, padahal wajahnya menunjukkan bahwa usianya tentu sudah empat puluhan. Koai Atong, memang tokoh yang sudah kita kenal inilah yang muncul.

Dengan anak panah di tangannya kemudian dia menyerbu pertempuran. Pertama-tama dia menyerbu dua orang yang mengeroyok Sian Hwa. Begitu anak panah di tangannya ditangkis dua golok orang yang mencoba untuk membabat patah pedang Sian Hwa, dua orang itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja golok mereka terlepas.

“He-he-he, terimalah pukulanku, kau dua hidung kerbau!” Tangan kirinya lalu diputar-putar secara aneh dan mendorong ke depan.

Kedua orang itu merasa ada angin menyambar yang berbau seperti daun busuk. Mereka adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman, maka segera mereka menghindar, namun tetap saja angin pukulan orang aneh itu membuat mereka terhuyung ke belakang sampai empat lima langkah!

Tetapi Koai Atong tidak mendesak terus. Melihat dua orang lawannya itu mundur-mundur ketakutan, sambil bernyanyi-nyanyi ia melangkah lebar menghampiri medan pertempuran Kwa Tin Siong.

Juga di sini dia memutar anak panahnya, beberapa kali menangkis golok ketiga orang itu, lalu tangan kirinya mendorong-dorong dan robohlah salah seorang di antara mereka, yaitu si penculik tadi. Dua orang yang lain terhuyung-huyung ke belakang dengan muka pucat karena merasa isi perut mereka hendak muntah keluar.

Melihat gelagat buruk ini, empat orang itu lalu menceplak kuda dan kabur dari situ sambil membawa tubuh si penculik yang pingsan dengan mata mendelik dan muka kehijauan. Terdengar suara mereka dari jauh, “Koai Atong...! Koai Atong…!”

Kwa Tin Siong menarik napas lega. Luka di pahanya tidak dipedulikannya. Ia terlampau tegang mendengar nama ‘Koai Atong’ tadi. Nama ini sudah tentu saja pernah didengarnya sebagai nama seorang di antara iblis dunia persilatan.

Dia segera menjura dengan hormat kepada orang aneh itu dan berkata, “Nama besar... Koai... enghiong... sudah lama siauwte mendengarnya. Hari ini enghiong menolong nyawa siauwte berdua dengan sumoi dan anakku, sungguh budi besar sekali...”

Kwa Tin Siong tidak berani menyebut orang itu Koai Atong yang berarti anak setan, maka diubahnya menjadi Koai-enghiong (orang gagah Koai).

Akan tetapi Koai Atong yang diberi hormat itu longang-longong, memandang ke kanan kiri
dan berbalik dia bertanya. “Ehh, kau ini bicara kepada siapa?”

Kwa Tin Siong melengak. “Kepadamu, Koai-enghiong...”

“Namaku adalah Koai Atong, mana ada enghiong-enghiong segala, enghiong itu apa sih? Sayang, main-main sedang ramai-ramainya, mereka pergi. Licik benar. Ehhh, dia apamu? Anakmukah?” Koai Atong menuding ke arah Sian Hwa yang masih duduk bersimpuh dan sedang berusaha membetulkan sambungan lututnya yang kena tendang tadi.

“Bukan, dia sumoi-ku, dan anakku...”

Tiba-tiba muncul Kwa Hong berlari-lari. Anak ini gembira sekali nampaknya.

“Akulah anaknya! Orang aneh, kau jempol sekali!” Kwa Hong memandang kagum sambil mengacungkan jempol tangannya ke atas. “Hanya dengan memutar-mutar tangan kiri dan menggertak sudah dapat mengusir anjing-anjing itu. Jempol!” Dia lalu meniru-niru gerakan tangan kiri Koai Atong tadi yang diputar-putar dan dipakai mendorong-dorong.

“Ha-ha-ha-ha!” Koai Atong tertawa terpingkal-pingkal. “Kau pintar menari, ya? Bagus, ya?” Ia pun kemudian menari-nari serta memutar-mutar tangannya sambil tersenyum-senyum dan melirik-lirik sehingga seperti seorang yang sedang pandai melagak dan manja. Tentu saja ini hanya sikapnya dan melihat keadaannya dia lebih pantas disebut orang gila yang segila-gilanya.

Melihat orang itu menari-nari lucu, Kwa Hong tertawa mengikik sambil menutupi mulutnya. Sian Hwa dan Kwa Tin Siong tidak berani tertawa karena mereka maklum akan kelihaian dan keanehan orang kang-ouw ini. Akhirnya Koai Atong pun berhenti menari.

“Orang aneh, kau benar-benar hebat. Engkau telah menolong Bibiku dan ayahku. Terima kasih, ya ?” kata Kwa Hong.

“Aku tidak senang kepada mereka,” kata Koai Atong merengut. “Mereka itu anjing-anjing Mongol.”

“Koai enghiong...” bantah Kwa Tin Siong. “mereka itu adalah orang Pek-lian-pai, apa betul penjilat Mongol?”

“Tak peduli Pek-lian-pai atau Hek-lian-pai, aku tak suka penjilat-penjilat Mongol.”

“Koai Atong, kau betul!” Kwa Hong berseru girang. “Aku pun tidak suka kepada mereka.”

Koai Atong kelihatan girang sekali, bagai seorang anak-anak yang bertemu dengan kawan baik. “Bagus, kita cocok. Mari ikut aku pergi bermain-main. Aku banyak mengenal tempat yang bagus-bagus!”

Koai Atong menyambar tangan Kwa Hong. Sebelum Kwa Tin Siong dan Sian Hwa sempat mencegah, orang aneh itu sudah berlari cepat sekali dengan langkah-langkah yang lebar sambil menggandeng Kwa Hong.

“Koai enghiong, tunggu... ! Jangan bawa pergi anakku!” Kwa Tin Siong berseru sambil mengejar.

Juga Sian Hwa turut mengejar. Akan tetapi, karena paha Kwa Tin Siong sudah terluka sedangkan lutut Sian Hwa masih membengkak, keduanya tidak mampu berlari cepat dan sebentar saja bayangan orang tinggi besar itu bersama Kwa Hong sudah tidak kelihatan lagi.

“Celaka...!” Kwa Tin Siong membanting-banting kakinya dan nampak berduka sekali.

“Jangan berduka, twa-suheng. Biar pun amat aneh, kurasa orang itu takkan mengganggu Hong-ji. Dia seperti seorang anak-anak mendapatkan teman dan ingin mengajak Hong-ji bermain-main. Dia lihai sekali, pasti mampu menjaga Hong-ji baik-baik.”

Kwa Tin Siong menarik napas panjang. “Aku tidak khawatir dia mengganggu Hong-ji. Juga tentang penjagaan, kiranya dia akan lebih baik dari padaku karena kepandaiannya lebih tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Ban-tok-sim Giam Kong dan muridnya itu, Koai Atong. Siapa yang tidak ngeri mendengar nama mereka? Mereka itu memang bukan tergolong orang-orang jahat, akan tetapi watak mereka sangat aneh dan kadang-kadang melakukan perbuatan yang tidak terduga-duga. Bagaimana hatiku tidak akan khawatir? Kapan aku dapat bertemu kembali dengan anakku?” Ketika mengucapkan kalimat terakhir ini, wajah Kwa Tin Siong nampak berduka sekali, membuat sumoi-nya terharu.

“Suheng, kalau begitu, mari kutemani kau mengejarnya. Mustahil takkan tersusul, dia kan sering kali berhenti untuk bermain-main. Kalau kita tidak berhasil membujuknya, kita bisa menggunakan kekerasan.”

Kwa Tin Siong menggelengkan kepala. “Percuma, sumoi. Kita masih menderita luka. Lagi pula agaknya Hong ji juga senang bermain-main dengan orang itu. Buktinya ketika dibawa pergi tadi ia diam saja. Sudahlah, biar hitung-hitung menambah pengalaman anak itu. Kita mempunyai persoalan yang sangat penting sekarang. Aku merasa ragu-ragu dan kecewa sekali menyaksikan sepak terjang orang-orang Pek-lian-pai.”

Sian Hwa yang tadi pikirannya penuh oleh keadaan Kwa Tin Siong, sekarang jadi kembali teringat akan urusannya sendiri. Ia mengertak gigi.

“Memang betul, suheng. Baru saja kita sendiri pun hampir juga menjadi korban keganasan Pek-lian-pai. Sekarang telah jelas bahwa Pek-lian-pai sengaja memusuhi aku dan suheng, pendeknya memusuhi Hoa-san-pai.”

Kwa Tin Siong mengangguk-angguk. “Kupikir juga begitu. Tak mungkin secara kebetulan saja mereka mengganggu kau dan aku. Hemmm, anehnya, mereka itu beranggota banyak sekali, memiliki banyak mata-mata, apakah tidak tahu bahwa murid Hoa-san-pai tadinya bersimpati kepada mereka dan berniat membantu? Sumoi, kita tidak boleh berlaku secara sembrono. Lebih baik kita berunding dengan dua orang suheng-mu lebih dulu, kemudian kita minta nasehat suhu.”

Sian Hwa setuju. “Kalau begitu, mari kita kembali ke Hoa-san, suheng, aku pun tak betah tinggal di rumah, ingin bertemu para suheng dan minta bantuan untuk membalaskan sakit hatiku.”

Kakak beradik seperguruan itu kemudian meninggalkan tempat tadi dan langsung mereka berdua melakukan perjalanan ke Hoa-san. Andai kata mereka itu bukan kakak beradik seperguruan, juga tidak sedang berada dalam keadaan berduka sehubungan dengan urusan masing-masing, tentu mereka akan merasa sungkan juga melakukan perjalanan berdua saja.

Seorang laki-laki dan seorang gadis, biar pun yang pria sudah berusia empat puluh tahun sedangkan yang wanita baru dua puluh tahun, namun si pria cukup tampan sehingga mereka merupakan pasangan yang cocok. Tentu saja bagi mereka sendiri tidak apa-apa karena memang semenjak Sian Hwa masih kecil, baru berusia sepuluh tahun, dia sudah menjadi adik seperguruan Kwa Tin Siong.

Mereka melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Hoa-san…..

********************

“Aduh...! Aduh, berhenti... berhenti aku tidak bisa bernapas...! Kui-bo, berhenti...!”

Beng San berteriak-teriak dengan napas sengal-sengal. Bukan main cepatnya tubuhnya dibawa pergi sampai angin menyesakkan pernapasannya dan tangannya yang terbelit ujung sapu tangan juga amat sakitnya.

Mendadak Hek-hwa Kui-bo berhenti dan begitu melepas sapu tangannya, ia menangkap tangan kanan Beng San dan membentak. “Kau pernah belajar silat kepada siapa?”

Aneh sekali, kalau tadi ia bersikap manis dan genit di depan Beng San, kini dia berubah menjadi galak dan suara serta pandang matanya penuh ancaman.

Beng San seorang bocah tabah dan ndugal (nakal) mana ia kenal takut? Ia mengerahkan tenaga dan berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil, malah cekalan wanita itu makin erat.

“Aku tak pernah belajar silat,” jawab Beng San akhirnya karena tangannya yang dipegang terasa sakit.

“Bohong! Kalau tidak mengaku akan kupatahkan tanganmu!”

Ia memijat makin keras sehingga terdengar bunyi ‘Kretekk…’ pada tangan Beng San.

Anak itu meringis kesakitan. Baiknya wanita itu tidak sampai mematahkan tulang-tulang tangannya, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali. Anehnya wanita itu nampak sangat terheran-heran dan memandang tajam.

“Iblis cilik, kalau tak pernah belajar silat, kau tentu sudah mampus. Di tubuhmu ada hawa panas, dari mana kau peroleh?”

Diam-diam Beng San terheran-heran. Wanita ini aneh sekali, juga kepandaiannya seperti iblis. Mungkin betul-betul kuntilanak, bukan manusia. Kalau manusia, bagaimana agaknya bisa tahu segala hal?

“Aku pernah disiksa makan sebuah pil oleh seorang tosu bau bernama Siok Tin Cu…”

Wanita itu melepaskan pegangannya dan dengan terheran-heran ia menatap wajah Beng San, kemudian kembali ia memegang tangan yang tadi dicengkeram dan kini tangan itu diperiksanya baik-baik.

“Aneh... aneh… kau dipaksa makan pil oleh Siok Tin Cu? Lalu bagaimana?”

“Badanku terasa panas seperti dibakar, selanjutnya aku pingsan dan ketika sadar kembali, aku merasa tubuhku dingin sekali seperti direndam dalam es!”

“Bohong....!” Hek-hwa Kui-bo menampar dan Beng San terjungkal.

Akan tetapi anak itu bangun lagi, membuat Hek-hwa Kui-bo makin heran. Kenapa anak ini
memiliki daya tahan yang begini luar biasa?

“Kau bilang badanmu panas sampai pingsan, bagaimana setelah sadar menjadi dingin?”

Sekarang Beng San marah-marah. Perempuan atau siluman ini keterlaluan sekali. Sambil bertolak pinggang dia berdiri dan membentak, “Kau ini jahat benar! Mau bertanya atau mau tak percaya? Kalau tidak percaya, jangan bertanya. Pukul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh, mengapa membuat capai mulut? Buat apa tanya-tanya segala, kalau tidak percaya?!”

Hek-hwa Kui-bo makin terheran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang bocah seaneh ini. Dia sendiri seorang tokoh besar yang sering kali diherani dan dikagumi orang, akan tetapi sekarang ia malah heran dan kagum kepada seorang bocah!

Hal ini memang ada sebab-sebabnya. Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh besar yang jarang mau berurusan dengan dunia ramai, apa lagi mempedulikan seorang bocah seperti Beng San ini. Hanya saja, ketika tadi melihat Beng San ia menyaksikan hawa kemerahan yang terang sekali terbit dari hawa Yang-kang yang amat kuat dari tubuh bocah ini, maka ia pun mengerti bahwa anak ini adalah seorang ahli Yang-kang atau setidaknya di dalam tubuh anak ini terkandung sesuatu yang mengeluarkan hawa itu.

Oleh karena sudah menjadi wataknya tidak suka melihat orang-orang lihai di dunia ini di samping dia sendiri dan muridnya, maka timbul maksud hatinya untuk membunuh Beng San. Maka tadi ia sengaja membawa lari Beng San dengan cepat untuk membunuhnya, karena pegangannya tadi mengandung saluran tenaga mematikan.

Alangkah herannya ketika melihat Beng San hanya tersengal-sengal saja dan tidak mati. Lebih-lebih lagi herannya ketika ia meremas tangan Beng San, ada daya tahan yang luar biasa yang mencegah tulang-tulang anak itu remuk. Inilah luar biasa! Dia sendiri seorang ahli Yang-kang, masa tak dapat menguasai hawa di tubuh anak ini? Demikianlah, maka Hek-hwa Kui-bo jadi ingin sekali mengetahui keadaan Beng San.

Di samping ini, ada juga rasa sukanya kepada bocah ini. Bocah aneh yang pemberani sekali, bahkan yang suara cegahannya sudah membuat ia menurut, yaitu ketika ia hendak membunuh Kwa Tin Siong dan puterinya. Ada pengaruh yang amat ganjil dalam suara anak ini ketika mencegahnya tadi.

“Anak baik, mau bunuh kau apa sukarnya? Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, kau ini murid siapa?”

“Aku bukan murid siapa-siapa,” jawab Beng San tak acuh.

“Siapa namamu?”

“Beng San.”

“Siapa orang tuamu?”

“Orang tuaku...? Orang tuaku adalah... Huang-ho (sungai Kuning).”

Kembali Hek-hwa Kui-bo melengak. Siapa tak akan heran mendengar jawaban aneh ini. “Jangan main-main! Di mana kedua orang tuamu? She apa?”

“Orang tuaku dimakan banjir Huang-ho, siapa she-nya aku tak tahu. Ehh, kuntilanak, mau apa kau main tanya-tanya terus? Pergilah!”

Makin kagum Hek-hwa Kui-bo. Ia melihat muka Beng San kotor sekali sehingga agak sulit baginya untuk melihat cahaya muka anak ini yang agak kehijauan dan agak kemerahan.

“Kau kotor sekali. Pergilah mencuci muka.”

“Tidak mau!”

Akan tetapi, kembali ujung sapu tangan panjang di tangan Hek-hwa Kui-bo bergerak dan tahu-tahu tubuh Beng San terlempar jauh dan... jatuh ke dalam sebuah anak sungai tak jauh dari situ.

Beng San gelagapan dan meronta-ronta. Akan tetapi kemudian dia mendapat kenyataan bahwa air anak sungai itu amat jernih, maka timbul kegembiraannya dan dia malah mandi tanpa membuka pakaian! Dia tidak mempedulikan lagi kepada Hek-hwa Kui-bo.

Tak lama kemudian ia merasa tubuhnya dingin bukan main. Beng San menjadi ketakutan, khawatir kalau-kalau penyakit kedinginan seperti kemarin menyerangnya lagi. Cepat-cepat dia merayap naik dari anak sungai itu. Ternyata Kui-bo masih menunggu di situ sambil memandang kepadanya dengan mata tak berkedip.

Setelah muka dan tubuh Beng San bersih dari debu dan kotoran, apa lagi akibat dinginnya air membuat hawa Im-kang menyerangnya kembali dan kulit mukanya menjadi kehijauan, Hek-hwa Kui-bo menjadi bingung. Sama sekali itu bukan tanda bahwa di dalam tubuh anak ini terkandung hawa Yang, melainkan sebaliknya, kini penuh hawa Im yang aneh! Bukan main, luar biasa sekali ini! Tanpa terasa Hek-hwa Kui-bo menggaruk-garuk rambut di kepalanya.

Beng San masih merasa dongkol. Tubuhnya dingin betul dan pakaiannya semua basah kuyup. Semua ini adalah karena perbuatan kuntilanak itu. Maka dia lalu menghampiri dan memaki.

“Kuntilanak galak, kau pun harus mandi!”

Merah muka Hek-hwa Kui-bo, merah karena malu! Memang orang aneh, disuruh mandi begitu saja timbul pikiran bahwa alangkah memalukan kalau ia harus mandi di depan anak laki-laki ini.

“Kurang ajar, aku sudah cukup bersih. Tak perlu mandi.”

Tiba-tiba Beng San tertawa bergelak. Ia merasa mendapat kesempatan untuk membalas menghina orang atau siluman ini. “Bersih katamu? Ha-ha-ha-ha! Rambutmu penuh kutu busuk, masih berani bilang bersih?”

Merupakan pantangan bagi Hek-hwa Kui-bo kalau dia dicela orang, apa lagi kalau yang dicela tentang kebersihan atau kecantikannya. Entah sudah berapa banyaknya orang mati di tangannya hanya karena kesalahan mulut menyatakan bahwa ia sudah tua, tidak cantik dan lain celaan lagi. Sekarang ia pun amat marah, akan tetapi karena pribadi Beng San menimbulkan keheranan dan kekaguman, ia tidak segera turun tangan, hanya bertanya dengan suara dingin.

“Kau bilang rambutku penuh kutu busuk? Apa buktinya?”

Beng San masih tertawa-tawa. “Kau tadi menggaruk-garuk kepalamu, itulah tanda bahwa rambutmu banyak mengandung kutu busuk! Aku berani bertaruh bahwa di situ bersarang banyak kutu busuk dengan telur-telurnya...”

Sapu tangan di tangan Hek-hwa Kui-bo bergerak dan tahu-tahu ujungnya sudah melibat leher Beng San! Baiknya wanita aneh ini hanya menakut-nakuti saja, jika ia menggunakan tenaga, dalam sedetik leher itu akan putus!

Namun Beng San maklum bahwa nyawanya terancam, maka cepat dia pun mengerahkan tenaga dan berseru.

“Membunuh anak kecil, huh, mana bisa dibilang gagah? Mengalahkan musuh tangguh baru bisa dibilang gagah, akan tetapi mengalahkan diri sendiri lebih gagah lagi!” saking takutnya dia mengeluarkan ujar-ujar Khong Hu Cu yang dicampur dengan kata-katanya sendiri.

Ujung sapu tangan itu mengendur dan Hek-hwa Kui-bo tertawa. “Siapa sudi mengambil nyawa tikusmu? Hayo buktikan omonganmu, kau carilah kutu busuk itu di rambutku. Kalau tidak ada seekor pun, hidungmu akan kupotong, tak perlu kuambil nyawamu!”

Bukan main kagetnya hati Beng San. Dipotong hidungnya lebih celaka dari pada diambil nyawanya. Apa nanti jadinya apa bila dia seterusnya harus hidup tanpa hidung, menjadi manusia yang menakutkan dan menjijikkan? Dan biar pun dia masih kecil, dia tahu bahwa wanita kuntilanak ini pasti akan membuktikan omongannya.

“Hayo cepat!” Hek-hwa Kui-bo membentak sambil duduk di atas rumput.

Terpaksa Beng San lalu berlutut di belakangnya dan mulai mencari kutu busuk di antara rambut yang hitam, halus dan bersih serta berbau harum kembang itu. Mana ada kutu busuk di antara rambut yang begitu terpelihara rapi dan bersih?

“Enak saja,” ia menggerutu, “Taruhan yang tidak adil. Kalau tidak ada kutu busuknya, kau akan memotong hidungku. Bagaimana jika ada kutu busuknya? Aku tidak punya apa-apa, hidungku adalah barang yang paling kusayang, kalau itu kupertaruhkan, habis apa yang menjadi taruhanmu? Apakah kau juga mempertaruhkan hidungmu?”

Hek-hwa Kui-bo tak terasa lagi meraba hidungnya yang mancung. Tak mungkin ia hendak mengorbankan hidungnya. Ia berpikir-pikir, lalu berkata sambil tertawa mengejek, “Yang paling berharga padaku adalah kepandaianku. Aku pertaruhkan kepandaianku. Setiap kali kau memperoleh kutu busuk, kuhadiahkan sebuah ilmu silat kepadamu.”

“Hah, untuk apa ilmu silat?” Beng San berkata.

Perempuan aneh itu menengok dan matanya berapi. “Anak tolol! Kalau kau menerima satu macam saja ilmu silatku, apa kau kira orang-orang macam ayah anak Hoa-san-pai itu mampu mengganggu dan menghinamu?”

Beng San memutar otaknya. Betul juga. Wanita ini lihai bukan main. Alangkah baiknya kalau dia bisa memiliki kelihaian seperti wanita ini. Dia sebatang kara di dunia ini, sudah sering kali dihina orang. Jangan kata lagi orang-orang kota yang sering kali mengusirnya seperti anjing, padahal dia tidak mengganggu mereka. Dan bukti yang baru saja terjadi, tosu bau Siok Tin Cu itu menghinanya, kemudian Kwa Hong...

“Baik,” katanya, dan tidak lama kemudian jari-jari tangannya mencabut sesuatu di antara rambut Hek-hwa Kui-bo.

“dapat seekor...!” katanya gembira setengah bersorak.

Hek-hwa Kui-bo tersentak kaget, cepat memutar tubuh. Ia melihat di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan Beng San terjepit seekor kutu hitam kemerahan yang amat menjijikan. Kakinya banyak dan jalannya miring-miring. Meremang bulu tengkuk Hek-hwa Kui-bo.

Seorang perempuan seperti dia, yang sejak kecil jangan kata mempunyai kutu rambut, melihat pun belum, mana bisa dia membedakan antara kutu rambut dan kutu baju? Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa ia kena ditipu oleh anak nakal ini.

Beng San yang tadi merasa tidak berdaya dan putus asa melihat rambut yang bersih itu, diam-diam mendapatkan akal. Pada bajunya banyak terdapat kutu, hal ini dia tahu betul, dan dia tahu pula di mana kutu-kutu itu paling senang bersembunyi. Oleh karena bajunya memang hanya sebuah, tak pernah dicuci, maka banyak kutunya. Dan karena kebiasaan, dengan sangat mudahnya dia mengambil seekor kutu baju, lalu pura-pura mengambil itu dari rambut Hek-hwa Kui-bo.

Walau pun perempuan ini adalah seorang yang sakti dalam ilmu silat, tetapi karena dia duduk membelakangi Beng San dan tidak menduga sama sekali akan tipu muslihat ini, ia percaya penuh. Wajahnya agak pucat dan matanya melebar ketika ia melihat kutu kecil itu dijepit jari tangan Beng San.

“Celaka, dari mana datangnya kutu busuk? Memalukan sekali. Hayo lekas bunuh dan cari lagi!”

Beng San tertawa dan memasukkan kutu busuk itu ke mulutnya. Ketika giginya menggigit terdengar suara,

“Tesss!” dan dia meludahkan bangkai kutu busuk itu.

Hek-hwa Kui-bo mengkirik penuh kengerian.

“Jahanam benar, dari mana dia bisa datang ke rambutku?” tiba-tiba ia merasa kepalanya gatal-gatal sekali dan terpaksa ia menggaruk-garuk lagi, “Hayo cari terus, sampai bersih betul. Jahanam...”

“Ehhh, nanti dulu, jangan lupa taruhannya. Sudah dapat seekor.”

Hek-hwa Kui-bo melotot. “Siapa lupa? Cerewet benar. Aku hutang kepadamu sebuah ilmu silat. Hayo teruskan sampai bersih rambutku. Nanti berapa dapatnya tinggal hitung berapa hutangku kepadamu.”

Beng San mencari lagi dan seperti tadi, dia mengambil kutu baju dan berseru girang lagi.

Hek-hwa Kui-bo makin mengkirik. “Bagaimana bisa begini banyak? Celaka, jangan-jangan sudah bertelur!”

Beng San tertawa. Anak cerdik ini cepat berkata. “Aku belum melihat telurnya, mungkin sudah menetas semua. Sudah dua ekor, Kui-bo. Jangan lupa.”

“Siapa lupa? Hayo lekas cari lagi!”

“Kui-bo, aku tidak khawatir kau lupa, hanya khawatir kau melanggar janji. Ada yang bilang bahwa mengikat kerbau adalah di hidungnya, akan tetapi manusia diikat pada bicaranya. Sekali mengeluarkan ludah tidak akan dijilat kembali, sekali mengeluarkan sepatah kata, sampai mati tak akan dipungkiri. Itulah manusia gagah dan…!”

“Cerewet! Bocah ingusan macammu mau memberi pelajaran padaku? Aku tak akan lupa, juga tak akan melanggar janji. Hayo lekas habiskan kutu-kutu itu, gatal semua kepalaku!” Dan melihat kutu busuk kedua itu, terasa makin gatal kepala Hek-hwa Kui-bo.

Tadinya Beng San hendak mengeluarkan kutu sebanyak-banyaknya. Akan tetapi ketika ia ingat bahwa belum tentu ilmu-ilmu silat yang akan diajarkan padanya itu menyenangkan, dia berbalik khawatir kalau-kalau malah akan menyusahkan saja.

Maka setelah mendapatkan tiga ekor kutu busuk, dia berhenti dan berkata. “Sudah habis, sudah bersih. Sekarang aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa di rambutmu sama sekali tidak ada kutunya seekor pun.”

Hek-hwa Kui-bo menarik napas lega, lalu membetulkan rambutnya yang tadi diawut-awut oleh anak itu. Kemudian ia memandang kepada Beng San dan tiba-tiba tertawa mengikik. Beng San sudah khawatir kalau-kalau perempuan kuntilanak ini hendak menipunya.

“Hi-hi-hi-hi-hi, aku berhutang tiga ilmu silat kepadamu? Bocah siapa namamu tadi?”

“Namaku Beng San.”

“Bocah, aku akan mengajarkan tiga macam ilmu silat kepadamu dan andai kata kau dapat mewarisi tiga ilmu silat ini, sepuluh orang anak murid Hoa-san-pai juga tak akan mampu menangkan kau. Ehhh, tadi kau bilang kau dijejali obat oleh seorang tosu yang membuat tubuhmu panas semua? Apa betul kau belum pernah belajar silat?”

“Belum pernah selama hidupku.”

“Coba kau pukul telapak tanganku ini, di waktu memukul meniupkan hawa dari mulut.”

Beng San menurut karena mengira bahwa demikian memang caranya belajar silat. Ia lalu memukul telapak tangan wanita itu dengan tangan kanannya sambil meniupkan hawa dari mulutnya.

“Plakkk!”

Hek-hwa Kui-bo merasa telapak tangannya dijalari hawa panas. Terang yang keluar dari kepalan Beng San adalah tenaga Yang-kang.

“Hemmm, sekarang kau pukul lagi dengan tangan kiri sambil menahan napas.”

Beng San menurut, memukulkan kepalan tangan kiri ke arah telapak tangan itu sambil dia menahan napas. Hek-hwa Kui-bo merasa telapak tangannya menerima hawa dingin yang lebih kuat dari pada hawa panas tadi. Diam-diam ia terheran-heran.

Bagaimana di dalam tubuh anak ini terdapat dua macam hawa Yang-kang dan Im-kang tanpa diketahui oleh anak itu sendiri. Dan kenapa seorang anak yang tidak pernah belajar silat bisa mempunyai dua macam hawa ini dan tidak mati karenanya?

Hek-hwa Kui-bo semakin bingung, apa lagi karena harus pindah jilid.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar