Seketika hati Lamkiong Peng tergetar. "Hei, kau... kau...," serunya.
Sungguh tak tersangka dan tak terduga nona berbaju ungu ini adalah Suci atau kakak seperguruannya, yaitu Koh Ih-hong alias Ong So-so. Dengan tersenyum manis dan kerlingan genit kembali Koh Ih-hong memotong lagi dengan kipasnya menurut irama musik.
"He, Sisuci, ken... kenapa engkau menyerangku?” seru Lamkiong Peng. "Masa engkau tidak... tidak kenal lagi padaku? Di mana Toako sekarang?"
Koh Ih-hong terkekeh. "Hehe, siapa kenal padamu? Siapa Toako-mu?"
Dalam pada itu kawanan penari telanjang lantas menerjang maju pula.
Dengan tercengang Lamkiong Peng menyurut mundur ke dalam ruangan. Kening Lamkiong Siang-ju bekernyit. "Ayah, gadis ini mungkin sudah terpengaruh oleh obat bius. Boleh kau menyingkir dulu!" serunya
Belum lenyap suaranya, mendadak cahaya pedang berkelebat. Kongsun Yan telah menusuk dari samping. Lamkiong Peng membentak, segera ia menendang pergelangan tangan lawan yang memegang senjata.
Di sebelah sana Lamkiong-hujin tampaknya juga serba susah menghadapi keempat penari telanjang tadi. Meski ia sendiri juga seorang perempuan, tidak urung mukanya menjadi merah melihat gerak cabul mereka.
"Awas obat bius mereka, Hujin!" seru Lamkiong Siang-ju mendadak.
Terkesiap Lamkiong-hujin. Benar juga, baru saja ia menahan napas, serentak keempat penari telanjang itu menaburkan kabut tipis. Dengan gusar Lamkiong-hujin mengibaskan lengan bajunya sehingga bubuk putih buyar, sekaligus ia kebut hiat-to tangan lawan.
Di sebelah sana Loh Ih-sian seorang diri melawan empat musuh dan sedang melancarkan pukulan dasyat.
"Blang! Blang!" mendadak ia menyikut ke belakang sehingga dua orang lawan menjerit kaget dan pedangnya terlepas. Kedua Tojin itu pun tumpah darah.
Dalam pada itu Lamkiong Peng telah menandingi Kongsun Yan dan dua pemudi berdandan ringkas. Ia terkejut, kuatir dan sangsi pula. Ia kuatir mengenai keadaan sang Toako, yaitu Liong Hui, juga sangsi mengapa Koh Ih-hong bisa berubah menjadi begitu.
"Jangan melukai dia ayah!" seru Lamkiong Peng mendadak.
Kiranya pada saat itu Koh Ih-hong kena ditotok oleh Lamkiong Siang-ju dan sempoyongan terjatuh ke bawah undakan batu. Pada saat itulah tiba-tiba dari kegelapan hutan sana muncul sesosok bayangan sambil membentak terus menerjang tiba. Sekali raih dapatlah dia merangkul tubuh Koh Ih-hong yang hampir roboh itu. Pendatang ini bertubuh tinggi besar dan berbaju mentereng, muka penuh berewok pendek kaku serupa dari landak. Nyata dia inilah Liong Hui.
"He, Toako...!" seru Lamkiong Peng setelah mengenali orang.
"Apakah orang ini Liong Hui?" tanya Lamkiong Siang-ju dengan melengak.
"Betul" jawab Lamkiong Peng. Segera ia berseru pula, "Toako, siaute Lamkiong Peng berada di sini!"
Siapa tahu air muka Liong Hui tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, serupa orang linglung saja. Sambil merangkul Koh Ih-hong segera ia pentang kelima jarinya mencakar muka Lamkiong Siang-ju. Baru saja Lamkiong Siang-ju mendak ke bawah, segera Liong Hui menendang lagi. Meski ganas serangannya, tapi sebenarnya banyak lubang kelemahannya. Namun Lamkiong Siang-ju tidak ingin melukainya, ia melompat mundur untuk menghindari tendangan lawan.
Tak terduga mendadak Liong Hui menaruh Koh Ih-hong, lalu membentak, "Biarlah aku mengadu jiwa dengan kawanan bangsat kalian ini!"
Sekali tendang ia bikin seorang penari telanjang hingga terjungkal, menyusul sebelah tangannya menghantam Lamkiong Siang-ju dengan dasyat.
“He, Toako, ke... kenapa kau...?!” jerit Lamkiong Peng keget. Tiba-tiba pundaknya terasa dingin, kiranya telah terserempet oleh pedang Kongsun Yan sehingga tergores luka.
"Layani saja lawanmu dengan tekun, biar kuselesaikan urusan Suheng-mu ini, " kata Lamkiong Siang-ju.
Tanpa menghiraukan luka sendiri, Lam kiong Peng berseru kuatir, "Ayah, apakah Toako terpengaruh juga oleh obat?"
"Tampaknya memang begitu," kata Lamkiong Siang-ju.
"Sungguh rendah Tiam-jong-pai, pakai obat bius segala?!" teriak Lamkiong Peng dengan murka.
Mendadak ia jepit batang pedang Kongsun Yan yang menyambar tiba, sekali tekuk pedang lawan lantas patah. Sebelah kaki digunakan menendang seorang jago pedang Tiam-jong-pai, menyusul pedang patah membalik dan digunakan untuk menusuk lawan. Jago pedang itu menjerit dan jatuh terguling dengan tangan memegang dada. Ia bergulingan di lantai yang penuh pecahan mangkuk dan piring sehingga sekujur badan berlumuran darah, akibatnya jago pedang ini tak sadarkan diri.
"Keji amat!" geram Kongsun Yan.
Selagi dia hendak menyerang pula dengan pedang patah, tak tersangka Lamkiong-hujin telah berhasil mengibas hiat-to keempat penari telanjang dan saat itu sedang melompat tiba. Sekali tepuk perlahan Ciang-tai-hiat di punggung Kongsun Yan tertotok. Pada saat itu juga pedang patah yang dirampas Lamkiong Peng juga ditusukkan ke bahu Kongsun Yan. Terdengar jeritan, darah pun mengucur.
"Jisuheng...!" seru Thian-go kuatir.
Dengan tumpah darah Kongsun Yan berseru, "Samte, le... lekas pergi!" Habis berkata ia pun jatuh terguling.
Tiba-tiba dalam kegelapan sana berkumandang suara kuda lari. Cepat terdengar suara seorang berteriak dari kejauhan. "Lamkiong-cengcu! Lamkiong-heng! Saudaramu Suma Tiong-thian datang terlambat!"
Hanya sekejap saja seekor kuda sudah mendekat. Thi-cian-ang-ki Suma Tiong-thian, si jago tua bertombak besi dan panji merah memutar tombaknya di bawah hujan. Langsung ia larikan kudanya ke atas undak-undakan sambil berteriak pula, "Jangan kuatir, Lamkiong-heng. Inilah Suma Tiong-thian!" Begitu tombak bergerak, secepat kilat ia tusuk Liong Hui.
Sekilas pandang Lamkiong Peng melihat kuda jago tua itu akan menginjak tubuh Koh Ih-hong yang menggeletak di undakan batu itu. ia berteriak kuatir dan melompat maju sambil mendorong dengan kuat sehingga Iari kuda tertolak ke samping. Tentu saja kuda itu meringkik kaget dan tusukan tombak Suma Tiong-thian juga meleset.
Liong Hui membentak gusar, sekali raih ujung tombak kena dipegangnya.
Baru sekarang Suma Tiong-thian dapat melihat jelas siapa orang yang diserangnya tadi.
"Hei, Liong... Liong-taihiap...," serunya.
Pada saat itu tiba-tiba dari hutan sana berkumandang suara orang tertawa seram, keempat jalur cahaya api serentak padam, suara musik juga lantas lenyap. Angin dan hujan kembali menderu lebat, bumi raya gelap gulita dan hampir tidak kelihatan jari sendiri.
Pada saat itulah terdengar Lamkiong-hujin menjerit kaget dan bentakan Liong Hui. Mendadak Liong Hui menarik sekuatnya sehingga Suma Tiong-thian terseret jatuh ke bawah kuda, berbareng itu Liong Hui juga berguling dan mengangkat Koh Ih-hong terus dibawa lari ke tengah kegelapan sana.
Lamkiong Peng tercengang. Sedang Thian-go Tojin pada saat yang sama melancarkan dua-tiga kali tusukan untuk mendesak mundur Loh Ih-sian, lalu ia mendobrak daun jendela dan melompat pergi. Loh Ih-sian tidak mengejar, ia kuatir di luar musuh akan menyergapnya.
Suma Tiong-thian ternyata sangat tangkas. Meski sudah berusia lanjut, sekali lompat ia berusaha menahan kudanya yang menjadi liar dan membedal ke dalam ruangan. Terdengar suara gemuruh akibat tumpukan peti diterjang roboh. Isi peti berserakan, semuanya berupa batu permata yang kemilauan dalam kegelapan.
Selagi Suma Tiong-thian hendak mengatasi kudanya, sekonyong-konyong sinar tajam menyambar dari luar, seorang jago pedang Tiam-jong-pai sudah menyambitkan pedangnya. Cepat jago tua itu mengelak hingga pedang hanya menyambar lewat dan menancap di perut kuda. Karuan kuda itu kesakitan dan tambah liar, terus membedal ke luar seperti kesetanan.
Jago pedang Tiam-jong-pai tadi tertendang jatuh dan belum sempat merangkak bangun, kontan dia terinjak mampus oleh lari kuda yang kesetanan itu. Habis menginjak orang, kuda itu pun keserimpet dan jatuh terjungkal ke bawah undak-undakan sambil meringkik, lalu tidak bergerak lagi. Suma Tiong-thian terkesima sebab kehilangan kuda kesayangannya.
Lamkiong Peng berteriak, "Toako...!"
Akan tetapi Lamkiong Siang-ju lantas membujuknya, "Tenang, anak Peng. Tampaknya kedua orang itu kehilangan kesadarannya dan saat ini entah sudah lari ke mana. Bukan mustahil...." Meski tldak lanjut ucapannya, namun dapat diduga dia pasti akan mengatakan keselamatan Liong Hui dan Koh Ih-hong sukar diramalkan.
Lamkiong Peng tertegun sejenak. Mendadak ia menjadi beringas, diseretnya bangun Kongsun Yan. "Coba katakan, dengan obat bius apa Tiam-jong-pai kalian mengerjai Toako kami sehingga dia lupa daratan?!” tanyanya dengan nada membentak.
Selain sang guru, orang yang paling dikasihi dan dihormatinya ialah Liong Hui, dengan sendirinya hatinya sekarang sangat sedih dan gusar.
Ujung mulut Kongsun Yan berlumuran darah. Setengah potong pedang masih menancap di bahunya, keadaannya teramat payah. "Orang Tiam-jong-pai tidak pernah menggunakan obat bius," ucapnya lemah.
“Omong kosong! Jika bukan perbuatan Tiam-jong-pai kalian, habis siapa?!" teriak Lamkiong Peng.
Kongsun Yan memejamkan mata dan tidak menanggapi.
"Sabar, anak Peng," ucap Lamkiong Siang-ju. "Aku yakin Tiam-jong-pai memang bukan golongan orang yang suka menggunakan obat bius. Apa yang diperbuatnya ini tentu karena terpaksa. Juga pakai perempuan cantik untuk memikat musuh, cara ini pun pasti tidak sudi dilakukan Tiam-jong-pai.” Lamkiong Siang-ju merandek sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke arah Kongsun Yan dan berkata lagi. “Totiang, seharusnya kau katakan terus terang apa yang terjadi. Kalau tidak, peristiwa hari ini telah disaksikan orang banyak. betapa pun kalian menyangkal juga sukar membuat orang percaya."
Tiam-jong-yan Kongsun Yan tersenyum sedih. “Di mana Samsute-ku Thian-go?" ucapnya.
Loh Ih-sian menjawab, “Meski Tiam-jong-pai kalian memusuhi kami, tapi kami tidak bertindak kejam. Thian-go sudah kami lepaskan.”
Kongsun Yan terdiam sejenak, akhirnya ia menghela napas dan bertutur, "Bila-mana kalian ingin keluar dari perkampungan ini dengan selamat, kukira teramat sulit."
"Apa maksudmu?” tanya Lamkiong Siang-ju.
"Kalau kalian ingin hidup, hendaknya kau serahkan harta bendamu ini kepada mereka, kalau tidak...."
"Memangnya kaum iblis Kun-mo-to sudah tiba? " tanya Lamkiong Siang-ju.
"Betul," Kongsun Yan mengangguk. "Agaknya Kun-mo-to terlalu meremehkan Lamkiong-san-ceng kalian. Mereka tidak mengirim jago kelas tinggi, melainkan cuma seorang pelayan rendahan saja dengan kawanan gadis dan binatang buas itu, katanya hendak membantu Tiam-jong-pai kami menduduki perkampungan ini. Siapa tahu Lamkiong-cengcu suami-istri yang selama ini dikenal sebagai orang awam ternyata menguasai kungfu setinggi ini. Sekarang pihak mereka untuk sementara menghentikan serangan, tentu sedang menyiapkan langkah selanjutnya yang lebih lihai." Bicara sampai di sini napasnya tampak tersengal dan sepertinya tidak tahan lagi.
Lamkiong Siang-ju tampak sedih, "Terima-kasih atas keterus-terangan Totiang. Bila-mana tidak menolak, padaku tersedia obat luka," ucapnya.
"Tiada gunanya," ucap Kongsun Yan dengan tersenyum pedih. “Urat nadiku sudah tergetar putus oleh pukulan nyonya, ditambah lagi tusukan pedang Lamkiong-kongcu tadi... Namun semua itu tidaklah menjadikan aku dendam kepada kalian. Aku hanya memohon bila-mana mungkin, kelak semoga kalian dapat membantu Sute-ku membangun kembali Tiam-jong-pai kami...." Sampai di sini suaranya hampir tak terdengar lagi, napas pun semakin lemah.
Tiba-tiba hati Lamkiong Peng tergerak. Ia berseru, "Jika benar kawanan iblis dari Kun-mo-to tadi harus menyusun kekuatan untuk menyerang lagi, saat ini kepungan tentu agak longgar. Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk menerjang ke luar dari-pada menunggu ajal di sini."
"BetuI," tukas Loh Ih-sian. "Setelah menerjang ke luar kita dapat berusaha mengadakan kontak dengan utusan dari Cu-sin-tian...."
"Usul yang baik," kata Suma Tiong-thian. “Saat ini di luar ada belasan orang kawanku dan...."
"Belasan Piauthau kawan Suma-cianpwee sekarang juga lagi istirahat di ruangan belakang, biar kupanggil keluar mereka," kata Lamkiong Peng tiba-tiba sambil lari ke belakang.
"Apakah Toako dan Toaso masih ingin berbenah sesuatu lagi?" tanya Loh Ih-sian.
"Selanjutnya kami takkan punya kediaman tetap lagi, mau bebenah apa pula?" ujar Lamkiong-hujin sambil menghela napas.
Selagi Loh Ih-sian hendak bicara pula, mendadak terdengar suara kaget Lamkiong Peng yang berlari ke luar.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Siang-ju.
"Semua... mati semua...,” ucap Lamkiong Peng dengan gugup.
Semua orang sama melenggong.
"Semuanya mati dengan urat nadi tergetar putus," tutur Lamkiong Peng. "Dada mereka terasa masih hangat, jelas mati belum lama. Tapi sudah kuperiksa dan tiada nampak bayangan seorang pun."
Semua orang saling pandang dengan tercengang. Bahwa di ruangan depan berkumpul tokoh kelas tinggi sebanyak ini dan tiada seorang pun mendengar sesuatu, tahu-tahu orang di belakang sama terbunuh, sungguh merupakan kejadian yang mengerikan.
Perlahan Kongsun Yan membuka matanya dan berucap dengan lemah, "Sudah... sudah terlambat. Kawanan... kawanan iblis sudah datang...." Mendadak matanya mendelik, napas tersumbat dan ia pun meninggal dunia.
Angin masih menderu, hujan tetap lebat. Di tengah suasana tegang itu perasaan semua orang sama tertekan.
Lamkiong-hujin menggunakan sapu-tangannya untuk membalut luka pada lengan Lamkiong Peng. “Coba angkat tanganmu, nak. Apakah melukai uratmu tidak?" katanya perlahan.
Lamkiong Peng menggerakkan tangannya dan menjawab, "Tidak apa-apa."
Dalam pada itu terdengar pula derap kaki kuda yang ramai dalam kegelapan, kedengarannya tidak cuma satu-dua penunggang kuda saja.
"Suma-heng," kata Lamkiong Siang-ju, "yang datang itu mungkinkah anak buahmu?" tanyanya.
Suma Tiong-thian berlari ke depan, dilihatnya empat ekor kuda berlari datang dengan cepat di bawah hujan lebat. Waktu diamati, ternyata tiada seorang penunggang pun, hanya pada kuda yang terakhir terikat miring sebuah panji merah dan berkibar tertiup angin. Mendadak panji itu tertiup jatuh ke tanah dan terinjak kuda sehingga sukar dikenali lagi.
Tergetar hati Suma Tiong-thian dan ia menyurut mundur. "Wah, habis... habis sudah...," gumamnya.
“Apakah para saudaramu di luar perkampungan sana juga mengalami sesuatu?” tanya Lamkiong Siang-ju.
"Ada kuda tanpa penunggangnya, dengan sendirinya lebih banyak celaka dari-pada selamatnya," ucap Suma Tiong-thian. Mendadak ia berteriak lantang, "Wahai kawanan tikus Kun-mo-to! Jika berani ayolah keluar untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kenapa main sembunyi dan sergap, terhitung orang gagah macam apa?!" Sambil berteriak ia jemput tombaknya yang terlempar ke undakan batu tadi, terus berlari dengan tombak terhunus.
Mendadak dari kegelapan hutan sana melayang ke luar tiga gulung bayangan hitam. Cepat tombak Suma Tiong-thian menyampuk dan menusuk. Dua gulung bayangan hitam terpukul jatuh, sedang bayangan ketiga tertusuk oleh ujung tombak.
Lamkiong Siang-ju memburu maju dan berseru, "Sabar dulu, Suma-heng. Jangan terburu nafsu dan terpancing muslihat musuh!"
Tanpa terasa Suma Tiong-thian diseret kembali ke dalam ruangan, waktu ia memeriksa ujung tombaknya, ternyata yang tersunduk di situ adalah sebuah kepala manusia dan segera dikenali sebagai anak buah sendiri. Karuan air muka Suma Tiong-thian berubah hebat, tangan pun terasa lemas dan tombak terjatuh ke lantai.
"Sungguh keji kawanan iblis Kun-mo-to," geram Loh Ih-sian. "Toako, dengan kemampuan kita, memangnya kita tidak dapat menerjang ke luar?"
"Jite," kata Lamkiong Siang-ju, "musuh dalam keadaan gelap dan kita di pihak terang, betapapun kita sudah berada dalam posisi yang lemah. Jika kita tidak sabar dan menghadapi persoalan dengan tenang, bisa jadi urusan akan runyam."
“Tapi... tapi kalau mesti menunggu dan menunggu lagi, sampai kapan baru akan berakhir?"
Dengan beringas Suma Tiong-thian berseru, "Aku Iebih suka menerjang ke kegelapan sana dan bertempur mati-matian dari-pada menunggu dengan tersiksa cara begini!"
Lamkiong Peng juga memandang sang ayah dengan semangat menyala. Anak muda ini pun ingin bertempur saja dari-pada menunggu secara tidak menentu.
Perlahan Lamkiong Siang-ju menghela napas. "Soal mati atau hidup adalah urusan kecil, tapi menepati janji adalah soal lebih besar. Sejak dulu hingga kini keluarga Lamkiong tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar janji. Meski sekarang keluarga Lamkiong kita menghadapi kerutuhan juga tetap tidak boleh melanggar janji. Apa pun juga kita harus menunggu kedatangan utusan Cu-sin-tian dan menyerah-terimakan harta benda ini. Kalau tidak, mati pun aku tidak tenteram."
Pada saat itulah tiba-tiba di bawah hujan terdengar suara gemersik, suara orang yang berjalan semakin mendekat. Seketika hati semua orang menjadi tegang. Sekali lompat Loh Ih-sian menuju ke depan pintu. Di atas undak-undakan akhirnya muncul tiga sosok bayangan orang, selangkah demi selangkah naik ke atas, kedatangannya seperti tidak bermaksud jahat.
"Siapa itu?!" bentak Loh Ih-sian.
Tiba-tiba orang yang di tengah berdehem perlahan. Dalam kegelapan kelihatan kepalanya yang gundul kelimis seperti seorang Hwesio. Sekali mengangkat kaki, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Loh Ih-sian. Karuan Ih-sian terkejut.
Terdengar pendatang itu berkata, "Paderi tua tidak sering berkecimpung di dunia kangouw, umpama kuberi-tahukan namaku juga Sicu takkan kenal."
Waktu Loh Ih-sian memandang ke sana, dilihatnya sekujur badan orang basah kuyup, jenggot dan alisnya sama putih, sikapnya kereng berwibawa, tanpa terasa timbul rasa hormat dan segan Koh Ih-sian.
Kedua orang yang lain juga menyusul naik ke atas undakan. Seorang memakai tudung sebangsa caping dan memakai mantel ijuk, tangan memegang sebuah karung goni yang basah. Karena tudungnya yang lebar sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Orang ketiga berjubah biru, ternyata seorang Tojin. Meski dandanan ketiga orang ini tidak sama, tapi semuanya sudah berusia lanjut.
“Dalam keadaan tidak biasa ini, entah ada keperluan apa kunjungan kalian bertiga?" tegur Loh Ih-sian.
Hwesio pertama memberi salam dengan tersenyum. "Kedatangan kami justru menyangkut kejadian di Lamkiong-san-ceng ini. Apabila Sicu tidak keberatan, biarlah kututurkan setelah berada di dalam," jawabnya.
Loh Ih-sian agak ragu, tapi ketiga orang itu lantas melangkah ke dalam ruangan.
Tergerak hati Larnkiong Peng, Ia berpikir, "Kepungan di luar perkampungan cukup ketat, entah cara bagaimana ketiga orang ini dapat masuk ke sini dengan leluasa?" Waktu ia melirik sang ayah, orang tua itu kelihatan tetap tenang saja, maka ia pun tidak kuatir lagi.
Begitu masuk ke dalam dan melihat mayat yang bergelimpangan itu, si Hwesio lantas berkata, "Ai, hanya persoalan sedikit harta benda dan harus jatuh korban jiwa sebanyak ini, apakah para Sicu tidak merasa berdosa?"
"Kejadian ini bukanlah kehendak kami dan terjadi karena terpaksa, biarlah kelak kami akan mengadakan selamatan bagi arwah para korban ini," kata Lamkiong Siang-ju.
"Jika benar Sicu mempunyai nazar begini, hal ini menandakan Sicu masih mempunyai nurani yang baik," kata si Hwesio. "Tapi akan Iebih baik lagi bila-mana Sicu sudi mendermakan barang-barang yang mengakibatkan bencana ini untuk amal bagi anak-cucumu."
Air muka semua orang sama berubah, baru sekarang kelihatan belangnya maksud tujuan kedatangan ketiga orang ini.
Dengan tenang Lamkiong Siang-ju menjawab, "Meski Cayhe ada maksud demikian, cuma sayang, harta benda ini sudah bukan miiikku lagi."
"Ah, masa? Harta benda ini masih berada di tempat Sicu, kenapa bukan lagi milikmu?" kata si Hwesio dengan tersenyum.
Mendadak Suma Tiong-thian membentak, “Umpama benar miliknya, jika tidak didermakan padamu, memangnya akan kau paksa?!"
Si Hwesio tua tetap tersenyum tanpa gusar. Ia menjawab sambil tergelak. "Haha! Bila para Sicu tidak sudi beramal, maka urusan di sini pun tidak ada sangkut-pautnya dengan kami."
“Memangnya apa sangkut-pautnya urusan ini dengan kalian?!" bentak Suma Tiong-thian dengan gusar. "Lekas kalian enyah dari sini!"
“Eh, Sicu ini ternyata seorang pemberang!" seru si Tojin berjubah biru dengan tertawa. "Wah, air muka Sicu kelihatan gelap, ini tanda tidak baik. Hendaknya jangan suka marah, kalau tidak, pssti akan mengalami mala-petaka. Ingat itu dan camkan!"
Saking gusarnya sampai Suma Tiong-thian tidak sanggup bersuara, hanya dadanya yang tampak naik turun.
Si kakek bermantel ijuk lantas mendekati Suma Tiong-thian. Mendadak ia menyingkap tudungnya dan mendengus. "Hm, apakah kau tidak percaya ucapannya?"
"Memang tidak...." belum lanjut perkataan Suma Tiong-thian, mendadak dilihatnya wajah orang yang luar biasa.
Ternyata muka orang tua ini sangat menyeramkan. Bagian di atas hidung penuh goresan bekas luka serupa sebuah semangka yang diiris kian kemari, rambut dan alisnya juga terkerik licin, kedua matanya bersinar galak. Sungguh wajahnya sangat menakutkan! Semua orang juga terkesiap menyaksikan wajah yang seram ini.
Si kakek tertawa. “Hahaha, jangan takut! Biar mukaku jelek, tapi hatiku sangat baik, seorang pedagang sejati. Jika mereka datang dengan bertangan kosong untuk menderma, kedatanganku justru membawa barang dagangan dan ingin jual-beli secara adil."
"Memangnya barang dagangan apa yang kau bawa? Bolehkah diperlihatkan kepada hadirin di sini?" ujar Lamkiong Siang-ju dengan tersenyum.
"Wah, tampaknya Lamkiong-cengcu juga seorang pedagang," kata kakek itu sembari menuang semua isi karungnya. Ternyata isinya adalah buah kepala manusia yang sudah terguyur air hujan sehingga putih pucat. "Semua barangku ini masih segar dan baru. Sebuah kepala bertukar dengan sebuah peti, jual-beli ini tentu cukup adil bukan?"
"Satu kepala tukar sebuah peti! Hm, jual-beli ini memang pantas, cuma kukira barang daganganmu sudah tidak segar lagi," jengek Siang-ju.
"Oo, apakah kau minta barang yang lebih segar?” tanya si kakek.
Mendadak Lamkiong Siang-ju melompat ke sana dan mengangkat sebuah peti. "Jika sekarang juga kupotong kepalamu sendiri, maka aku berani menukarnya dengan peti ini!" serunya.
"Eh, jadi atau tidak bisnis kita, kenapa Cengcu mesti mengincar jiwaku?" sahut si kakek dengan tertawa sambil melangkah maju.
Selagi semua orang melenggong, mendadak sebelah kaki si kakek menyampar sebuah kepala manusia yang dituangnya dari karung tadi. Langsung kepala itu menyambar ke muka Suma Tiong-thian. Berbareng itu sebelah tangan si kakek terus meraih peti yang dipegang Lamkiong Siang-ju, tangan lain juga memotong pundak Lamkiong-hujin, sedangkan kaki kanan terus menyampar pula sehingga sebuah kepala kembali mencelat menuju ke muka Loh Ih-sian dengan keras.
Beberapa gerakan itu seakan-akan dilakukannya secara bersamaan. Karuan semua orang melengak.
Dalam pada itu Suma Tiong-thian juga kaget ketika mendadak sebuah kepala manusia menyambar ke arahnya. Seketika ia tak sempat mengelak, cepat ia mengibas dengan tangan sehingga kepala itu mencelat jauh ke luar ruangan. Habis itu baru mendadak teringat olehnya wajah kepala tadi seperti sudah dikenalnya, yaitu salah seorang anak buahnya sendiri. Karuan hati terkesiap, rasanya mual, isi perut hampir tertumpah ke luar seluruhnya. Ia membentak dan menghantam pula dengan dahsyat.
Dalam pada itu Loh Ih-sian menggeser ke samping sehingga kepala manusia tadi menyambar Iewat di sampingnya dan....
"Bluk!" kepala itu akhirnya membentur dinding.
Sedang Lamkiong Siang-ju berusaha mempertahankan petinya. Tiba-tiba dirasakan tenaga dahsyat menyodok tiba, sekuatnya ia bertahan. Pada saat yang hampir sama Lamkiong-hujin lantas menebas. Ia balas memotong pergelangan tangan si kakek. Sambil bergelak kakek itu meluncur ke samping sehingga peti Lamkiong Siang-ju ikut tertolak ke depan karena kehilangan imbangan. Saat itu juga Suma Tiong-thian lagi menghantam dan tepat mengenai peti.
"Braak!" seketika peti jatuh terbuka dan isinya berhamburan.
Diam-diam Lamkiong Peng terkejut. Sekaligus kakek itu menggunakan tangan dan kakinya untuk menyerang empat orang dengan cara yang berbeda, tapi dalam waktu yang nyaris bersamaan. Sungguh kungfu-nya sangat lihai, mengapa selama ini tidak terdengar asal-usul seorang tokoh kosen seperti-ini?
Si Hwesio tua tadi tersenyum dan berkata, "Tenaga dalam Lamkiong-sicu sungguh hebat, pukulan Lamkiong-hujin juga sangat gesit, bicara sejujurnya kalian sudah terhitung lumayan. Mengenai Sicu yang ini...." Ia melirik Suma Tiong-thian sekejap, lalu menyambung, "Dia tidak lebih serupa anak yang baru masuk sekolah dasar, bila ingin maju masih harus belajar lebih giat lagi."
"Dan bagaimana dengan diriku?" tanya Loh Ih-sian sambil melompat maju dan menyerang si Hwesio.
´Akulah pengujinya, jangan salah sasaran!" seru si kakek kelimis tadi sambil menghadang di depan Loh Ih-sian.
Tangan si kakek terangkat, kontan ia colok kedua mata Loh Ih-sian. Dalam keadaan demikian, Loh Ih-sian tidak sempat menarik kembali pukulannya untuk menangkis. Tak terduga mendadak ia mendongak sedikit, ia pentang mulut terus hendak menggigit jari lawan. Karuan kakek kelimis itu terkesiap dan cepat menarik kembali tangannya.
"Haha, boleh juga! Dengan cara menggigit ini sudah terhitung lulusan kelas menengah,” seru si Hwesio.
"Huh, terhitung jurus serangan macam apa ini?" jengek si kakek kelimis.
"Oo, belum pernah kau lihat? Hehe, tampaknya engkau perlu banyak menambah pengalaman," ejek Loh Ih-sian.
Sembari bicara kedua orang sudah saling gebrak lagi, hanya sekejap saja belasan jurus sudah berlalu. Meski cara bertempur Loh Ih-sian tampak serabutan, tapi serangannya justru sangat berbahaya, sama sekali si kakek kelimis tidak mampu mengatasinya. Suma Tiong-thian sampai melongo menyaksikan pertarungan mereka.
"Tak tersangka di dunia persilatan sekarang masih ada beberapa jago lumayan seperti ini. Bila-mana harus kubinasakan mereka sungguh rasanya tidak tega," ucap si Tojin berjubah biru tadi.
Mendadak Lamkiong Peng mendengus. "Hm, jika setiap penghuni Kun-mo-to cuma punya kepandaian seperti mereka ini, maka ketakutan orang kangouw terhadap kawanan iblis dari pulau hantu itu sebenarnya agak berlebihan."
"Eh, kau tahu kami datang dari Kun-mo-to, anak muda?" tanya si Tojin dengan mata melotot.
"Lahiriah bajik, hati ternyata kejam dan keji, ucapan licin, kungfu tidak lemah, usia pun rata-rata sudah mendekati waktunya masuk peti mati. Orang begini jika tidak datang dari Kun-mo-to, masakah mungkin datang dari tempat lain?" jengek Lamkiong Peng.
"Hahaha, bagus!" seru Tojin berjubah biru dengan terbahak. “Anak muda memang lebih cepat berpikir...."
Belum lanjut ucapannya, Lamkiong Peng telah jemput sebatang pedang di lantai, terus menusuk. Tojin itu tidak mengelak, melainkan cuma mengibaskan lengan jubahnya. Kontan pedang terbelit oleh lengan jubah yang longgar itu. Tak terduga tusukan pedang Lamkiong Peng yang kelihatan keras itu sebenarnya cuma serangan pancingan belaka.
Mendadak ujung pedang bergetar, terus menyambar ke samping, Ialu secepat kilat menusuk lagi dari arah lain. Lengan jubah si Tojin membelit tempat kosong, tahu-tahu ujung pedang lawan menyambar lagi ke tenggorokannya. Sungguh tak terpikir olehnya anak muda belia ini menguasai ilmu pedang sehebat ini. Cepat ia menyurut mundur dua-tiga langkah.
Si Hwesio tua berkerut kening, nyata dia terkesiap. "Aha! Sicu cilik ini sungguh anak berbakat. Apabila kau mau ikut kami ke lautan sana, tanggung dalam waktu sepuluh tahun pasti akan menonjol dan menjagoi dunia kangouw," ucapnya.
"Huh! Lamkiong Peng adalah seorang lelaki sejati, mati pun tidak sudi berkomplot dengan kawanan iblis!" seru Lamkiong Peng.
"Lamkiong Peng?!" si Hwesio menegas. "Jadi dirimu inilah putera sulung Lamkiong-san-ceng sekarang ini?"
"Betul!" teriak Lamkiong Peng, berbareng itu pedangnya menyabet sambil kakinya menggeser ke samping.
Si Hwesio tua mengelak dengan ringan. "Lamkiong-sicu, rasanya paderi tua menjadi terpikat oleh bakat puteramu ini dan ingin memboyong segenap anggota keluarga Lamkiong ke pulau sana untuk menikmati hidup bahagia bersama. Tapi bila Sicu sendiri berkeras pada pendirianmu, kami juga tidak boleh membiarkan harta benda ini digunakan sebagai dana kejahatan kawanan tua bangka di Cu-sin-to sana. Apalagi kalau puteramu yang berbakat ini sampai diperalat oleh mereka, tentu urusan akan tambah runyam. Maka terpaksa hari ini kami mesti melanggar pantangan membunuh," berkata si Hwesio tua.
Tiba-tiba pikiran Lamkiong Siang-ju ter-gerak. Cepat ia berseru, "Jite dan anak Peng, berhenti dulu semuanya!"
Lamkiong Peng segera melompat mundur. Sedangkan Loh Ih-sian melancarkan pukulan dahsyat untuk memaksa mundur si kakek kelimis, habis itu ia pun melompat ke samping Lamkiong Siang-ju.
Loh Ih-sian segera berkata, "Toako, jangan kau percaya pada ocehan Hwesio ini. Penghuni Kun-mo-to kebanyakan adalah manusia jahat dan orang buangan, sebaliknya penghuni Cu-sin-to adalah kaum kesatria dunia per-silatan yang mengasingkan diri. Tidak perlu bicara urusan lain, melulu nama Kun-mo dan Cu-sin saja sudah merupakan pembedaan yang menyolok. Urusan sekarang sudah telanjur begini, biarlah kita hadapi kawanan iblis ini sekuatnya."
Segera Suma Tiong-thian menyatakan setuju, "Betul, gempur saja!"
Segera Lamkiong Siang-ju berkata pula, "Antara keluarga Lamkiong sudah ada perjanjian dengau Cu-sin-to yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Tentang siapa baik dan siapa jahat bukan urusan kita, yang jelas tidak mungkin kurusak perjanjian leluhur yang sudah ada. Urusan hari ini biarlah kuselesaikan langsung dengan Taysu saja."
"Jika begitu, jadi Sicu bermaksud menantang bertarung denganku satu lawan satu?" tanya si Hwesio dengan sinar mata gemerdep.
"Begitulah maksudku," jawab Siang-ju.
"Dan bagaimana pula jika hasil pertandingan kita sudah jelas?" tanya si Hwesio tua.
"Bila aku kalah, maka segala urusan keluarga Lamkiong kuserahkan kepada semua kehendakmu," jawab Siang-ju dengan tegas dan mantap.
Loh Ih-sian dan lain-lain yakin ilmu silat Hwesio tua ini pasti sangat tinggi dan sukar diukur, tapi mereka pun tahu watak Lamkiong Siang-ju yang pendiam dan cermat, tidak nanti berbuat sesuatu yang tidak yakin berhasil. Sebab itulah meski merasa ragu, namun tidak ada yang bersuara.
Si Hwesio tua tersenyum. Ia berkata sambil mengerling ke arah kedua kawannya, "Sebenarnya aku tidak keberatan atas tantangan Lamkiong-sicu ini. Cuma sayang, kedua kawanku ini jelas tidak dapat meluluskan."
Serentak si jubah biru dan si kakek kelimis berseru, "Ya, tidak bisa!"
Loh lh-sian dan Iain-lain menjadi heran. Jelas pertarungan ini menguntungkan pihak mereka, mengapa kedua orang ini menolak dengan tegas?
Lamkiong Siang-ju tertawa. "Haha, rupanya tidak meleset dugaanku...."
"Dugaan apa?" tanya si Hwesio.
Tertawa Lamkiong Siang-ju terhenti. "Orang bilang Teh-ih Hujin mahir ilmu rias yang tidak ada bandingannya di dunia ini, setelah bertemu sekarang memang harus kupuji ternyata tidak bernama kosong. Cuma sayang, betapa cermat tindakanmu tetap melupakan sesuatu," ucapnya perlahan.
Hati semua orang sama tergetar, sama heran atas ucapan Siang-ju ini.
Perlahan si Hwesio menjawab, "Melupakan apa?"
"Meski Hujin bicara dengan alim serupa seorang paderi saleh, tapi engkau lupa bahwa seorang Hwesio harus menjalani penbaptisan dengan kepala diselomoti api dupa. Engkau tidak membawa tasbih pula, meski memakai kasa (jubah kaum Hwesio), tapi kaki memakai sandal orang awam. Yang lebih kentara lagi adalah wajah Hujin yang dibuat kereng, namun kerlingan matamu tidak berubah. Mana mungkin seorang paderi saleh selalu main mata?"
Hwesio tua itu terdiam sejenak. Mendadak ia tertawa ngekek, lalu berkata, "Ah, rupanya aku terlalu menilai rendah kecerdasan kalian, sebab itulah aku telah bertindak ceroboh. Sungguh hebat juga dapat kau lihat samaranku. Tadi aku pun tidak seharusnya menggunakan ‘Gema Irama Iblis dan Tari Pembetot Sukma’ sehingga dapat kau terka Tek-ih Hujin pasti berada di sekitar sini. Yang lebih tidak pantas Iagi adalah aku menyamar sebagai Hwesio, padahal di dunia ini mana ada Hwesio yang punya mata jeli serupa diriku?"
Waktu semua orang memandangnya, meski wajahnya kelihatan kereng, namun kerlingan matanya memang jalang. Mau tak mau semua orang sama gegetun, di samping memuji kemahiran penyamaran Tek-ih Hujin yang luar biasa, berbareng juga mengagumi ketajaman mata Lamkiong Siang-ju. Orang lain tidak tahu samarannya, tapi dia ternyata dapat mengetahui Hwesio tua ini adalah samaran Tek-ih Hujin.
Di tengah tertawa merdunya, perlahan tangan si ‘Hwesio’ mengusap dan menarik muka sendiri. Ketika ia membuka tangan, tahu-tahu Hwesio tua yang saleh tadi telah berubah menjadi seorang perempuan setengah baya dan masih sangat cantik mempesona.
"Setelah jejak Hujin ketahuan, kenapa tidak lekas pergi saja? Memangnya perlu mengalirkan darah di sini?" kata Siang-ju.
Tek-ih Hujin mengerling genit. “Kami bertiga melawan kalian berlima memang terasa kalah kuat. Cuma sayang, betapa pun cerdik Lamkiong-cengcu tetap melupakan sesuatu." Nyata suaranya sekarang telah berubah menjadi halus merdu.
"Melupakan apa?" tanya Siang-ju.
Tek-ih Hujin tertawa ngikik. "Kau lupa bahwa selain mahir merias dan mengubah suara, Tek-ih Hujin masih menguasai sejenis kepandaian yang tidak ada bandingannya di dunia...."
Tergerak hati Lamkiong Siang-ju. "Hah menggunakan racun maksudmu?!” serunya mendadak.
"Betul, kembali dapat kau terka dengan jitu," ujar Tek-ih Hujin. "Cuma sayang kini sudah terlambat."
Serentak Lamkiong Siang-ju menyurut mundur sambil membentak, "Lekas tahan napas! Semua tahan napas!"
"Sudah kukatakan terlambat, masa engkau tak percaya?" ujar Tek-ih Hujin dengan tertawa. "Saat ini kalian sudah menghisap hawa racun yang tak berwujud dan tak berbau. Dalam setengah jam kalian akan mati dengan tubuh membusuk, apa gunanya sekarang kalian mau menahan napas? Selama hidupku senantiasa ´tek-ih´ (senang), jika lebih sering tidak senang tak mungkin orang kangouw memberi nama julukan Tek-ih Hujin padaku."
Ia meraba rambut pada pelipisnya, lalu berucap pula dengan tersenyum manis, "Jika saat ini kalian mengaku kalah dan mau menurut kepada perkataanku, bisa jadi akan kuberi ampun kepada kalian dan menawarkan racun yang kalian isap. Kalau tidak, selang setengah jam Iagi, biar pun tabib sakti Hoa To lahir kembali juga tidak mampu menyelamatkan kalian."
Muka Lamkiong Siang-ju tampak pucat. "Huh, ngaco-belo! Betapa pun kau putar lidah tetap takkan kupercaya!" dampratnya.
Tek-ih Hujin tertawa senang. "Hihi, meski mulutmu keras, padahal dalam hatimu sudah percaya, betul tidak? Soalnya engkau tentu sudah pernah mendengar cerita orang kangouw bahwa kabut wangi pencabut nyawa Tek-ih Hujin tidak berbau dan tidak berwujud, kalau tidak segera minum obat penawar, dalam jarak seluas tiga tombak baik manusia mau pun hewan, asalkan keciprat setitik saja kabut beracun itu, tidak ada yang dapat hidup lebih dari satu jam....”
“Cuma sayang kabut ini tak dapat mencapai jarak jauh. Dengan susah payah aku menyaru sebagai Hwesio tua dan menuju ke sini di bawah hujan, tujuanku adalah membuat kalian tidak berjaga-jaga, dengan begitulah baru dapat kumasuk ke ruangan ini dengan leluasa dan dapat meracun mati kalian dengan mudah." Dia bicara dengan berlenggak-lenggok dan main mata dengan genit.
Tiba-tiba pikiran Lamkiong Peng melayang-layang, tanpa terasa teringat olehnya akan diri Kwe Giok-he. Diam-diam ia membatin, "Mengapa perempuan yang berhati keji dan jahat sama berbentuk cantik molek?"
Pada saat itulah terdengar Loh Ih-sian membentak, "Perempuan keji, biar aku mengadu jiwa denganmu!"
Serentak Suma Tiong-thian juga jemput kembali tombaknya. Tapi si kakek kelimis dan Tojin jubah biru lantas menghadang di depan mereka.
Tek-ih Hujin juga lantas mendengus. "Hm, kalian tidak lekas minta ampun padaku, memangnya kalian tidak ingin hidup lagi?”
Seketika Suma Tiong-thian merandek, sebab mendadak teringat olehnya akan anak-istri dan keluarganya.
"Aku memang sudah bosan hidup!" teriak Loh Ih-sian, berbareng ia menghantam dengan kalap.
"Kau sendiri bosan hidup, apakah orang lain juga bosan hidup?" ucap Tek-ih Hujin.
Seketika Loh Ih-sian melengak dan berhenti menyerang. Waktu ia memandang ke sana, Suma Tiong-thian kelihatan lesu, sedangkan Lamkiong Siang-ju tampak sedih. Lamkiong-hujin memandang putera kesayangannya dengan cemas.