Amanat Marga (Hu Hua Ling) Chapter 15

Kegelapan memang telah banyak menyembunyikan berbagai rahasia dan dosa manusia sehingga dunia ini kelihatan terlebih indah. Dalam pandangan Lamkiong Peng saat itu, dunia ini memang kelihatan indah dan penuh harapan. Ia merasa dunia ini ada orang jahat, tapi orang baik terlebih banyak lagi. Hasratnya ingin lekas menolong sahabatnya membuatnya lupa letih dan lapar. Dengan penuh semangat ia berlari dalam kegelapan malam.

Dengan hati-hati ia telah menyimpan pil merah itu dalam sebuah kantung sutera kecil. Kantung yang serupa dompet itu adalah pintalan sang ibu sebelum dia meninggalkan rumah. Pada waktu kesepian ia suka meraba kantung sutera itu. Dia seorang kastria muda, dia tidak pernah melupakan kasih ibunda.

Ia berlari dengan cepat. Tidak lama ia sudah berada di luar kota Se-an, suasana sunyi senyap. Ia coba memeriksa keadaan sekeliling, akan tetapi tidak terlihat bayangan Bwe Kim-soat. Ia menjadi kuatir, "Apakah dia sudah pergi?"

Ia coba memanggil, "Nona Bwe...! Nona Bwe...!"

Namun suasana tetap sunyi senyap. Di mana pun Bwe Kim-soat bersembunyi, seharusnya dapat mendengar suaranya.

Nafas Lamkiong Peng terasa sesak. Ia berpikir, "Kenapa dia tidak menunggu di sini? Kenapa dia ingkar janji? Tik Yang keracunan, apakah juga dibawanya pergi? Kan obat penawar yang kubawa ini menjadi sia-sia...."

Ia menghela napas dan tidak ingin berpikir lagi, ia melangkah ke sana dengan limbung. Awan tersibak, cahaya bulan menembus langsung menyinari sesosok bayangan manusia di balik semak sana. Ketika terlihat mukanya, siapa lagi dia kalau bukan Bwe Kim-soat.

Dengan girang Lamkiong Peng berseru, "Hei nona Bwe, kiranya engkau berada di sini!"

Selagi dia hendak memburu ke sana, dilihatnya muka Bwe Kim-soat yang pucat itu kaku dingin. Wanita cantik ini melenggong seperti orang linglung, sorot matanya buram, air mukanya kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, serupa orang yang hiat-tonya tertotok, seperti juga orang yang tersihir.

Tergetar hati Lamkiong Peng. Ia tahu pasti terjadi sesuatu. Cepat ia memburu maju sambil menegur dengan suara gemetar, "Kenapa...?"

Belum lanjut ucapannya, dilihatnya mata Bwe Kim-soat melirik ke samping depan sana tanpa bersuara. Tanpa terasa Lamkiong Peng ikut memandang ke sana. Di bawah pohon duduk sesosok bayangan orang sedang duduk kaku tanpa bergerak seperti patung, hanya sinar matanya kelihatan gemerdep dalam kegelapan. Waktu diperhatikan, kembali hati Lamkiong Peng berdebar.

Tanpa terasa Lamkiong Peng berseru, "Hei, nona Yap, kenapa engkau pun berada di sini?!"

Sungguh tak terpikir olehnya bahwa bayangan yang duduk di bawah pohon itu adalah murid Tan-hong Yap jiu-pek, Yap Man-jing yang cantik dan juga pongah itu. Siapa tahu, meski mendengar seruannya, namun Yap Man-jing tetap diam saja, seperti tidak mendengar dan juga tidak melihat. Ia masih duduk di tempatnya.

Tentu saja Lamkiong Peng terheran-heran. Ia menaruh Cian Tong-lai di tanah, lalu dihampirinya nona yang jelita dan seperti linglung itu.

"Nona Yap," tegurnya sesudah dekat, "Apakah terjadi sesuatu di sini?"

Terlihat senyuman Yap Man-jing yang hambar, namun tetap duduk saja tanpa menjawab.

Lamkiong Peng mengamat-amati lebih teliti. Dilihatnya si nona tetap memakai baju hijau, mata alisnya tetap menampilkan sikap angkuh, sama sekali tidak ada tanda hiat-to tertotok dan sebagainya. Lamkiong Peng tambah heran. Ia coba mendekati Bwe Kim-soat. Dilihatnya Kim-soat memelototinya sekejap, seperti tidak senang dia memperhatikan orang lain.

"Sesungguhnya apa yang terjadi?" tanya Lamkiong Peng dengan gelisah.

Namun Bwe Kim-soat juga tidak bergerak dan juga tidak menjawab, seperti orang bisu dan tuli saja.

"Bagaimana dengan Tik Yang? Di mana dia?!" serunya pula dengan nada kuatir sambil memandang kian ke mari.

Bwe Kim-soat cuma memandang Yap Man-jing tanpa berkedip, sebaliknya Yap Man-jing juga menatap Bwe Kim-soat. Kedua nona itu sama sekali tidak memandang lagi kepada Lamkiong Peng, seperti dia tidak hadir di situ.

Seketika Lamkiong Peng celingukan kian kemari dengan bingung. Sekilas pandang mendadak dilihatnya di semak rumput sana merayap ke luar seekor ular hijau sepanjang satu kaki. Dengan cepat ular itu merayap ke samping dengkul Yap Man-jing. Meski sorot mata Yap Man-jing menampilkan rasa ngeri, namun tubuhnya tetap tidak bergerak sama sekali. Biasanya di tengah semak rumput memang banyak ular berbisa.

Tentu saja Lamkiong Peng kuatir. Cepat ia melompat maju, sekali raih ekor ular itu segera dipegangnya. Ular itu lantas melingkar ke atas. Lidah ular yang merah terjulur secepat kilat hendak memagut urat nadi Lamkiong Peng. Meski mahir ilmu silat, namun Lamkiong Peng sama sekali asing terhadap ular. Ia terkejut dan membuang ular itu kebelakang. Tapi ketika ia berpaling mengikuti tempat jatuhnya ular, kembali ia terkejut, sebab ular itu dengan tepat terlempar ke atas tubuh Bwe Kim-soat. Lekas Lamkiong Peng memburu lagi ke sana.

Ular itu pun seperti terkejut. Hanya sejenak berhenti di atas tubuh Bwe Kim-soat, lalu ular itu merayap ke bagian lehernya. Air muka Bwe Kim-soat tampak pucat ketakutan, kulit dagingnya merinding dan berkerut-kerut. Dengan cemas ia memandang lidah ular yang sebentar-bentar terjulur itu. Butiran keringat dingin merembes ke luar di dahinya, namun tubuhnya tetap tidak bergeming.

Orang perempuan pada umumnya takut kepada tikus dan ular. Betapa tabah hati seorang perempuan juga akan menjerit kelabakan bila melihat makhluk melata tersebut. Apalagi sekarang tubuh Bwe Kim-soat dirayapi ular, betapa cemasnya sukar dilukiskan.

Ketika Lamkiong Peng memburu tiba, segera ia hendak mencengkeram kepala ular. Karena pengalaman tadi, ia pikir sekali pencet akan membinasakan binatang melata ini. Belum lagi tangannya bergerak, tanpa terduga tiba-tiba seorang membentak di belakangnya, "Jangan!"

Dengan terkejut Lamkiong Peng menoleh, dilihatnya Ban Tat berlari datang dari kejauhan sana. Dengan napas tersengal ia menatap ular hijau itu dengan was-was, berbareng ia menarik Lamkiong Peng mundur ke belakangnya.

Dengan heran Lamkiong Peng bertanya, "Apa...?"

Perlahan Ban Tat memberi tanda supaya jangan bicara, lalu ia melangkah maju dengan prihatin, serupa seorang jago dunia persilatan menghadapi lawan yang paling tangguh.

Melihat ketegangan orang tua ini, Lamkiong Peng tahu ular hiaju ini pasti bukan sembarangan ular berbisa. Bila-mana cengkeramannya tadi tidak berhasil sekali pegang, buka mustahil jiwa Bwe Kim-soat melayang. Suasana berubah sunyi mencekam, jantung sama berdebar.

Tubuh ular hijau yang jelek dan bersisik itu sudah mulai merayapi pundak Bwe Kim-soat
dengan lidahnya yang merah menjulur dan hampir menjilat wajah Bwe Kim-soat yang pucat. Sampai Yap Man-jing yang duduk di seberangnya juga menampilkan rasa kuatir dan ngeri.

Langkah Ban Tat sangat perlahan dan hati-hati sekali. Lamkiong Peng mengepal tinju dengan menahan napas, butiran keringat mengucur dari dahinya.

Mendadak terlihat lidah ular berkelebat lagi. Secepat kilat Ban Tat turun tangan. Dengan tiga jari ia cengkeram leher ular, beberapa senti dibawah kepala, menyusul dibantingnya dengan keras ke tanah. Kontan ular itu mati kaku dan tidak berkutik lagi. Sungguh gerak tangan yang cepat lagi jitu.

Baru sekarang Lamkiong menghela napas lega. Selagi dia hendak mengucapkan terima-kasih, dilihatnya Ban Tat masih prihatin. Mendadak orang ini melolos sebilah belati tajam, sekali injak dengan kaki kiri, kontan tubuh ular itu dipotongnya.

"Cret!" menyusul belati itu lantas ditancapnya di atas kepala ular, darah segar pun muncrat menyebarkan bau anyir busuk.

Sampai di sini baru Ban Tat menarik napas lega. Tanpa terasa Lamkiong Peng juga mengusap keringatnya. Namun Bwe Kim Soat dan Yap Man-jing masih tetap duduk kaku di tempatnya. Kejadian yang mendebarkan tadi seakan-akan terjadi atas diri mereka.

"Sungguh berbahaya...," gumam Ban Tat.

“Sebenarnya apa yang terjadi ini?” tanya Lamkiong Peng.

"Ular ini tidak terdapat di daerah Tionggoan, tapi jenis ular paling berbisa yang cuma terdapat di daerah gurun. Bisa ular ini sangat jahat, sekali tergigit dalam sekejap korbannya akan mati sesak napas. Sungguh tak terduga ular semacam ini bisa muncul di sini," tutur Ban Tat menjelaskan.

Diam-diam Lamkiong Peng bersyukur terhindar dari maut. Untung kedatangan penolong yang ahli, kalau tidak urusan ini bisa runyam.

"Yang kutanyakan bukan cuma soal ular, tapi mereka...?! Sesungguhnya apa yang terjadi?" katanya pula menunding Bwe dan Yap berdua. "Kenapa mereka begitu? Dan kemana perginya Tik-heng?"

Ban Tat mengeluarkan sepotong kain putih. Dengan hati-hati ia membungkus tangkai belati, lalu menggali sebuah liang di samping bangkai ular. Katanya dengan gegetun, "Aku dan nona Bwe menunggumu di sini. Lambat laun fajar pun menyingsing, sedangkan kedaan sahabat she Tik itu semakin parah dan menguatirkan. Berulang dia mengigau, tubuh pun mengejang. Mestinya nona Bwe hendak menotok hiat-to untuk mengurangi penderitaannya, tapi kuatir racun sudah masuk darahnya. Bila hiat-to ditotok bisa jadi racun akan mengumpul dan tidak dapat mengalir, hal ini tentu akan tambah bahaya."

Ia berhenti sejenak sambil melirik Bwe Kim-soat sekejap, lalu bertutur pula, "Waktu itu mestinya ingin kucari suatu tempat yang sejuk untuk bersembunyi dan menunggu kepulanganmu, tapi nona Bwe menolak. Ia bilang sudah berjanji menunggumu di sini, biar pun langit ambruk dan bumi ambles juga tetap akan menunggumu di sini."

Terharu sekali hati Lamkiong Peng. Tanpa terasa ia memandang Bwe Kim-soat sekejap, kebetulan Kim-soat juga lagi melirik ke arahnya. Bentrokan pandangan ini membuat jantung anak muda itu berdebur.

"Kemudian lantas bagaimana?" tanyanya kepada Ban Tat.

“Menjelang magrib, aku pergi mencari makanan dan air minum. Siapa tahu sedikit pun nona Bwe tidak mau makan, dia cuma minum dua ceguk air dingin sambil memandang ke arah kepergianmu dengan cemas. Meski dia tidak omong juga dapat kuselami betapa rasa kuatirnya bagimu. Setelah hari gelap ingin kucari lagi kayu bakar untuk membuat api unggun...."

Kembali ia merandek, kali ini sambil memandang ke arah Yap Man-jing. Sambungnya, "Pada saat itulah nona Yap ini mendengar suara igauan Tik Yang dan mencari ke arah suara sini...."

Mendadak Ban Tat memandang kian kemari sambil menahan suaranya, "Kedatangan nona Yap ini sepertinya juga lantaran dirimu. Sekali dia melihat nona Bwe, seketika air mukanya berubah dan bertanya, ‘Apakah Lamkiong Peng juga terluka?’ Agaknya dia dapat menerka siapa nona Bwe, juga orang yang berada bersama nona Bwe pasti dirimu."

Diam-diam Lamkiong Peng menghela napas, entah merasa hangat atau bingung. Sedapatnya ia menahan keinginannya memandang Yap Man-jing, akan tetapi toh tidak tahan dan akhirnya melirik juga sekejap. Kembali keduanya beradu pandang, jantung Lamkiong Peng berdebur lagi.

Cepat ia bertanya kepada Ban Tat, "Dan kemudian bagaimana?"

"Kemudian...," Ban Tat berdehem dulu, lalu menyambung, "Kemudian nona Bwe menjengek dan menegur siapakah nona Yap? Dan...dan keduanya lantas terlibat dalam
pertengkaran....”

Agaknya Ban Tat sungkan menceritakan pertengkaran kedua nona yang berpangkal atas diri Lamkiong Peng itu. Ia cuma berkata, "Pembicaraan kedua nona itu tentu saja tidak dapat kuikut campur, namun akhirnya kudengar... kudengar nona Bwe berkata, "Ya, usiaku sudah empat puluhan, dengan sendirinya memenuhi syarat untuk menjadi angkatan yang lebih tua. Maka sekarang hendak kuberi hajaran kepada kaum muda yang tidak sopan seperti kau ini’."

Kening Lamkiong Peng bekernyit. Ia berpikir," Jika demikian, jelas Yap Man-jing telah menyebut nona Bwe sebagai Locianpwe. Mengapa dia menganggap nona Yap tidak sopan?"

Betapa pintarnya Lamkiong Peng tetap tidak dapat memahami perasaaan anak perempuan. Ia tidak tahu bahwa Yap Man-jing sengaja menyebut usia Bwe Kim-soat untuk mengingatkan dia hanya sesuai menjadi ‘Locianpwe’, atau kaum tua bagi Lamkiong Peng, artinya tidak cocok untuk menjadi pacarnya. Dengan sendirinya hal ini membuat Bwe Kim-soat menjadi marah.

Didengarnya Ban Tat berkata pula, "Maka nona Yap lantas marah juga. Pada waktu itu Tik Yang lagi meronta-ronta, kudekati dia untuk merawatnya. Ketika keadaannya agak baikan, udengar kedua nona ini ribut mulut lagi. Akhirnya nona Yap menjengek, ‘Hm, orang kangouw sama menyebut dirimu sebagi Leng-hiat Huicu, tentu karena tabiatmu yang dingin dan tenang. Maka sekarang juga boleh kita beradu kesabaran berduduk semedi, tidak peduli menghadapi kejadian apa pun dilarang bergerak. Barang siapa bergerak lebih dulu dianggap kalah!’."

Tergerak hati Lamkiong Peng. Ia pikir nona Yap ini sungguh pintar. Dia hidup bersama Yap Jiu-pek di puncak Hoa-san yang dingin dan sepi itu selama berpuluh tahun. Dalam hal duduk menyepi dengan sabar, tentu jauh lebih tahan dari-pada orang lain.

Berpikir demikian, tanpa terasa ia memandang Bwe Kim-soat sekejap, lalu bertanya perlahan, "Dan dia menerima tantangan itu?"

"Masa dia menolak?" ujar Ban Tat.

Tapi segera teringat oleh Lamkiong Peng, Bwe Kim-soat pernah tersekap belasan tahun di dalam peti mati yang sempit dan gelap itu. Penderitaaan selama itu memerlukan kesabaran yang tak terhingga untuk mengatasinya, jika urusan duduk diam saja pasti tidak menajdi soal baginya.

Berpikir demikian, tanpa terasa ia menyapu pandang sekejap kepada Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing berdua. Ia pikir, pengalaman dan watak kedua orang perempuan ini memang lain dari-pada yang lain, tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti sanggup bertahan untuk tidak bergerak sama sekali.

Melihat perubahan air muka Lamkiong Peng yang sebentar kuatir dan sebentar girang, lain saat kagum, segera merasa sedih lagi, tentu saja Ban Tat juga terheran-heran.

"Pertandingan mereka ini entah akan berakhir kapan," gumam Lamkiong Peng dengan gegetun. Mendadak ia bertanya, "Dan ke mana perginya Tik-heng?"

"Racun yang digunakan Yim Hong-peng memang sangat lihai, selain bisa membunuh, juga dapat membuat pikiran sehat orang menjadi terbius. Sahabat she Tik itu selama seharian tampak seperti orang sinting, pada waktu malam bahkan kumat gilanya. Aku harus mengawasi keadaan nona Bwe, juga perlu menjaga dia. Memangnya aku sudah kerepotan, ditambah kedatangan nona Yap yang segera pula menantang bertanding lagi kepada nona Bwe. Selagi aku agak meleng, sahabat she Tik itu terus melepaskan peganganku dan berlari secepat terbang ke tempat gelap.”

"Dan tidak kalian susul?" tanya Lamkiong Peng kuatir.

"Nona Bwe dan nona Yap waktu itu sudah mulai bertanding berduduk dan tidak dapat bergerak lagi, dengan sendirinya tak dapat menyusulnya, " tutur Ban Tat.

"Dan kau sendiri?" tanya Lamkiong Peng .

"Aku sendiri segera mengejarnya,” ujar Ban Tat dengan gegetun. "Siapa tahu, meski sahabat Tik itu keracunan, tapi ginkang-nya tetap sangat mengejutkan. Meski sudah kususul dengan sekuat tenaga, namun tidak seberapa lama aku kehilangan jejaknya dalam kegelapan."

"Dan karena tidak dapat kau susul dia, lantas kembali lagi ke sini?" tanya Lamkiong Peng dengan mendongkol.

"Ya, aku memang tidak berdaya. Setiba kembaliku ke sini, kebetulan kulihat ular hijau tadi," tutur Ban Tat dengan menyesal.

"Dia lari ke arah mana?"

Ban Tat menuding ke arah barat.

"Coba bawa aku ke sana," seru Lamkiong Peng sambil menarik tangan Ban Tat dan diajak berlari pergi.

Tanpa kuasa Ban Tat terseret lari secepat terbang. Diam-diam ia membatin, "Berpisah belum ada setahun, tak tersangka kungfu-nya sudah maju secepat ini...."

********************

Malam semakin sunyi. Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing hanya sempat melirik ke arah menghilangnya bayangan Lamkiong Peng di kegelapan sana. Segera mereka kembali memusatkan perhatian dan saling tatap pula. Meski di luar kedua orang kelihatan tenang, tapi dalam hati sama bergejolak.

Angin meniup dingin. Di tanah kosong di antara kedua orang yang duduk saling pandang itu menggeletak Cian Tong-lai yang sejak tadi tak sadarkan diri. Mendadak anak muda ini mulai bergeliat dan membalik tubuh miring ke samping. Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing sama tidak tahu siapakah pemuda berbaju perlente ini. Apakah orang ini sakit atau terluka, apakah musuh Lamkiong Peng atau sahabatnya.

Tertampak anak muda itu membalik dua tiga kali. Mendadak ia melompat bangun serupa seekor kelinci yang terkejut terkena panah. Dengan tercengang ia kucek-kucek matanya, lalu memandang Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing dengan terbelalak.

"He, tempat apakah ini? Kenapa aku berada di sini?" tanyanya bingung.

Bahwa setelah siuman, mendadak diketahui dirinya berada di tempat sepi dan di sampingnya berduduk dua perempuan maha-cantik tanpa bergerak, betapa tabahnya Cian Tong-lai, tidak urung hatinya juga rada sangsi dan ngeri.

Setelah tercengang sejenak, mendadak ia berpaling, "Giok-ji...! Tan-ji...!”

Lalu ia menghadap lagi ke arah Bwe dan Yap berdua. Bentaknya, "Sesungguhnya tempat apakah ini?! Mengapa aku sampai di sini?!"

Namun kedua perempuan maha-cantik ini tetap tidak bergerak sedikit pun, bahkan meliriknya pun tidak.

Timbul juga rasa ngeri Cian Tong-lai, pikirnya, "Jangan-jangan aku ketemukan setan? Kalau tidak, mengapa tanpa sebab dari Boh-liong-ceng aku bisa berada di sini?" Mendadak ia melayang pergi secepat terbang.

Hati Bwe Kim-soat dan Yap berdua sama tergetar. Diam-diam mereka memuji kehebatan ginkang anak muda itu. Mereka pun geli teringat kepada kelakuan Cian Tong-lai yang bingung tadi.

Siapa tahu sejenak kemudian mendadak terdengar suara orang berdehem, pemuda berbaju perlente muncul kembali. Dengan langkah santai ia mendekati kedua perempuan cantik itu. Lebih dulu ia mengamat-amati Bwe Kim-soat beberapa kejap, lalu mengawasi Yap Man-jing dengan cermat, kemudian menuju ke samping Kim soat serta mendekatkan kepalanya ke muka orang.

"Hei! Hei, kau dengar ucapanku tidak?" Cian Tong-lai menegur.

Tapi Bwe Kim-soat tetap diam saja, tidak bergerak juga tidak berkedip.

Cian Tong-lai menggeleng kepala. Ia coba mendekati Yap Man-jing dan berjongkok di sampingnya serta menegur, "Hei! Hei...!"

Namun Yap Man-jing juga diam saja tanpa bergeming, malahan sorot mata mereka tampak menampilkan rasa gusar atas tingkah lakunya yang kasar itu.

Mendadak Cian Tong-lai membentak, "Hai...!!" Bentakan ini keras luar biasa, seakan-akan genta yang dibunyikan di tepi telinga.

Hati Bwe dan Yap tergetar. Betapa pun tenangnya mereka, tidak urung berkedip juga.

"Haha! Kiranya kalian bukan orang tuli," seru Cian Tong-lai dengan tertawa. "Semula kusangka kalian orang bisu tuli, eh kiranya kalian juga dengar suaraku. Padahal kalian masih muda dan jelita, jika benar bisu-tuli, kan sayang!"

Mendadak ia berhenti tertawa dan menarik muka. Jengeknya, "Hm, jika kalian bukan orang bisu-tuli, kenapa kalian tidak menggubris pertanyaanku tadi? Apakah kalian menghina diriku?”

Bwe dan Yap merasa selain kungfu anak muda ini sangat tinggi, orangnya juga cakap, cuma tutur katanya yang kelewat congkak dan menjemukan. Namun meski hati mendongkol, mereka tetap tidak bergerak.

Cian Tong-lai bersimpuh tangan dan berjalan mondar-mandir, dipandangnya Bwe Kim-soat, lalu memandang Yap Man-jing lagi. Sejenak kemudian kembali ia menengadah dan bergelak tertawa, "Hahaha! Bagus, tahulah aku! Mungkin Thian kasihan padaku karena kesepian, maka sengaja memberikan dua teman jelita kepadaku."

"Betul tidak?" demikian ia pandang Kim-soat dan bertanya, lalu berpaling dan tanya Yap Man-jing pula, "Betul tidak?"

Lalu ia terbahak-bahak dan menambahkan pula, "Aha, rasanya memang betul begitu! Bukankah kalian telah mengaku secara diam-diam?"

Sedapatnya Bwe Kim-soat menahan rasa gusar. Dia berharap Yap Man-jing tidak tahan oleh godaan anak muda itu dan mendahului bergerak, dengan begitu dia akan segera melompat bangun untuk memberi hajaran setimpal kepada pemuda sombong dan bangor ini.

Sebaliknya Yap Man-jing juga tetap diam saja. Ia pun berharap Bwe Kim-soat bergerak lebih dahulu. Jadinya kedua orang tetap saling pandang, dada serasa mau meledak saking gemasnya, namun tetap tidak ada yang bergerak lebih dulu.

Mendadak Cian Tong-lai menepuk dahi sendiri dan berhenti tertawa. Alisnya bekernyit, lalu dia berucap dengan masgul, "O, Thian, meski engkau memperlakukanku dengan amat baik, tapi rasanya juga keterlaluan. Kedua anak perempuan ini sama cantiknya, lantas cara bagaimana harus kuambil keputusan? Padahal aku cuma ada satu tubuh, terpaksa mereka harus kujadikan istri tua dan istri muda. Lantas siapakah di antara mereka yang berhak menjadi istri tua dan yang mana istri muda?"

Dia sengaja berlagak seperti seorang yang kebingungan. Ia mendekati Yap Man-jing dan meraba pipinya yang halus itu. Katanya dengan menyesal, "Ai, muda jelita seperti ini, mana sampai hati kujadikan dirimu sebagai istri muda?"

Lalu dengan lagak kasihan ia pun mendekati Bwe Kim-soat dan mencolek dagunya serta berkata, "Dan ini kan juga tidak kalah cantiknya, sungguh sayang bila disuruh antri dari belakang."

Mata Bwe dan Yap serasa mau menyemburkan api saking gusarnya. Tapi tiada seorang pun memandang Cian Tong-lai. Keduanya tetap saling pandang dengan melotot dan berharap semoga pihak lawan mau bergerak lebih dulu.

********************

Sementara itu Lamkiong Peng yang cemas dan gemas serta kuatir itu sedang berlari menyeret Ban Tat. Ia menggerundel, "Kenapa dia begitu ceroboh dan membiarkan Tik-heng pergi begitu saja? Padahal dia tahu jelas Tik-heng keracunan parah dan aku pergi mencari obat penawar dengan menyerempet bahaya. Ai, jika... jika Tik-heng tidak dapat kutemukan, bukankah... bukankah berarti jiwanya melayang akibat perbuatan mereka?" Dia berlari semakin cepat dan gelisah.

"Lamkiong-kongcu," kata Ban Tat. "Kedua nona itu berduduk diam di sana, bukan... bukan mustahil akan timbul bahaya."

Lari Lamkiong-peng agak diperlambat. Ucapnya dengan mendongkol, "Lantas bagaimana dengan jiwa Tik-heng?"

"Ai, alangkah bahagianya setiap orang yang dapat bersahabat denganmu," ucap Ban Tat dengan gegetun.

"Tik-heng keracunan lantaran membela diriku, tapi sekarang... Ai, sungguh aku...,” Lamkiong Peng tidak sanggup melanjutkan karena sejauh itu bayangan Tik Yang tetap tidak kelihatan. Segera ia berteriak, "Tik-heng! Tik Yang...! Dapatlah kau dengar suaraku?"

"Dia dalam keadaan tidak sadar, biar pun kau panggil di telinganya juga tidak dipahaminya," ujar Ban Tat. "Apalagi dalam keadaan gelap begitu, ke mana akan kau cari dia? Meski dia keracunan parah, tapi sudah kusalurkan tenaga murniku untuk memperkuat jantungnya. Kukira dalam sehari atau setengah hari saja takkan berhalangan bagi jiwanya. Akan lebih baik sekarang kita kembali ke sana untuk membujuk kedua nona itu agar berhenti bertanding. Mereka sebenarnya tidak bermusuhan, bujukanmu mungkin akan diturut mereka. Besok pagi setelah terang tanah barulah kita berempat mencari sahabat she Tik itu.”

Lamkiong Peng menjadi ragu dan mengendurkan langkahnya, "Tapi... tapi....”

Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong jauh dari belakang sana berkumandang suara bentakan orang yang tersiar terbawa angin. Jelas orang yang membentak itu memiliki tenaga dalam yang kuat.

"Siapa itu?" Lamkiong Peng melengak dan saling pandang dengan Ban Tat.

Tanpa pikir lagi segera kedua orang berlari kembali ke arah datangnya tadi. Tidak jauh mereka berlari, kembali terdengar suara gelak tertawa orang terbawa angin.

"Ternyata tidak salah dugaanmu, mereka mengalami sesuatu," kata Lamkiong Peng.

"Kedua nona itu sama menguasai kepandaian tinggi. Bila menghadapi kejadian di luar dugaan, mustahil mereka tetap duduk diam saja hanya untuk berebut kemenangan yang tidak ada artinya itu," ujar Ban Tat.

"Tapi watak kedua orang itu terkadang memang sukar dimengerti...."

Belum habis ucapan Lamkiong Peng, sekonyong-konyong berkumandang lagi suara tertawa keras orang.

"Biar aku pergi dulu!" seru Lamkiong Peng sambil mendahului berlari secepat terbang. Hanya sekejap saja ia sudah lari sampai di tempat duduk Bwe dan Yap berdua.

Dilihatnya pemuda perlente Cian Tong-lai yang dibawanya dari Boh-liong-ceng itu sekarang sudah berdiri di depan Bwe Kim-soat dan sedang membelai rambutnya dengan tertawa dan berkata, "Ehm, halus dan lemas benar rambutmu, selicin sutera rasanya. Sungguh beruntung aku...."

"Dari jauh segera Lamkiong Peng membentak, "Berhenti, Cian Tong-lai!"

Saat itu Cian Tong-lai lagi tergiur. Dirasakan sorot mata kedua nona yang gusar itu semakin menambah daya pikat mereka. Ia pikir bila-mana mereka benar benci kepadanya, mengapa mereka tidak segera melabraknya, tapi tetap duduk diam saja tanpa peduli mereka dicolek dan diraba.

Bentakan Lamkiong Peng membuatnya terkejut. Cepat ia berpaling, dilihatnya seorang pemuda tak dikenal sedang memburu tiba dengan cepat. Ia heran dan juga mendongkol. Segera ia balas membentak, "Siapa kau?! Dari mana kau kenal namaku?"

Lamkiong Peng berhenti di depannya. Dengan sorot mata tajam ia menjawab, "Aku yang membawamu ke sini dari Boh-liong-ceng, dengan sendirinya kutahu namamu."

Tentu saja Cian Tong-lai melengak. "Engkau yang membawaku ke sini?”

"Ya, kau tidak sadar karena terbius. Jika tidak ditolong oleh Wi Ki, saat ini nasibmu pun sukar diramalkan," tutur Lamkiong Peng.

"Aku tak sadar...? Terbius...? Wi Ki yang menolongku...?" demikian Cian Tong-lai bergumam dengan terheran-heran.

"Ya, baru saja kau bebas dari bahaya, kenapa lantas berlaku tidak senonoh terhadap kaum wanita?" damprat Lamkiong Peng.

"E-eh, nanti dulu!" ujar Cian Tong-lai sambil menggoyangkan tangannya. "Urusan ini rada membingungkan. Tampaknya kedua nona itu seperti kenalanmu, benar tidak?"

"Memang betul," jawab Lamkiong Peng.

"Haha, pantas kau kelihatan cemas begini," ujar Cian Tong-lai dengan tertawa. "Cuma, jangan kau kuatir. Biasanya aku pun tahu baik dan jelek. Kau bilang telah membantuku, kau pun mengatakan mereka adalah sahabatmu, maka bolehlah kita bagi rata saja seorang dapat satu, urusan lain boleh kita bicarakan nanti."

Mendongkol hati Lamkiong Peng oleh ucapan orang yang tidak pantas itu. Dengan menggereget ia mendamprat, "Kurang ajar! Sungguh tak tersangka kau dapat bicara seperti ini. Tampaknya perlu kuberi hajar adat padamu."

Cian Tong-lai mendelik, jengeknya,"Hajar adat padaku? Haha, bagus...!"

"Bagus apa?!" bentak Lamkiong Peng sambil menampar muka orang. Tamparannya ini tidak pakai jurus serangan, melainkan serupa orang-tua menghajar anak nakal saja.

Namun Cian Tong-lai menghadapinya dengan tertawa. Sikapnya pongah, tamparan orang dianggapnya sepele. Sekenanya ia hendak menangkis sambil mengejek, "Hm, hanya begini saja?"

Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong dirasakan tenaga tamparan orang sangat kuat, tangan sendiri yang menangkis terasa kaku kesemutan. Tanpa kuasa ia tergetar mundur beberapa tindak.

Sesuai dengan pesan si Gelang Terbang Wi Ki, mestinya Lamkiong Peng tidak bermaksud melukai Cian Tong-lai. Tapi sikap orang yang congkak dan ucapannya yang menghina membuatnya tidak tahan. Sambil membentak segera ia menubruk maju, sekaligus ia menghantam dua-tiga kali, selalu mengincar beberapa hiat-to penting di bagian iga lawan.

Meski lengan Cian Tong-lai masih terasa kemeng, namun gerakannya tidak kurang gesitnya. Dengan cepat ia mengindar dan balas menyerang beberapa kali. Keduanya sama terkesiap oleh ketangkasan lawan dan tidak berani lagi saling meremehkan lagi.

Dalam pada itu Ban Tat telah memburu tiba. Ia pun terkejut melihat pertarungan sengit kedua orang itu. Apalagi dilihatnya air muka Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing juga menunjuk rasa cemas, mau tak mau ia ikut prihatin.

Mendadak terdengar suitan Lamkiong Peng. Kedua tangannya menghantam susul menyusul dengan jurus ‘Ciam-liong-sing-thian’ atau Naga Sembunyi Melambung ke Langit. Diam-diam Ban Tat bergirang, ia pikir sekali anak muda itu mengeluarkan jurus serangan andalan perguruannya, kemenangan tentu tidak perlu diragukan lagi. Tak tersangka Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing justru sama menjerit kuatir, berbareng mereka pun menubruk maju.

Kiranya selama beberapa hari ini Lamkiong Peng sudah terlampau letih. Ia sudah kehabisan tenaga sehingga gerak-geriknya mulai lamban. Jurus Ciam-liong-sing-thian itu dilancarkannya dengan terpaksa, tujuannya hanya untuk gugur bersama musuh.

Namun Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing yang menyaksikan dari samping dapat melihat jauh lebih jelas. Mereka tahu tenaga murni Lamkiong Peng sudah habis, dengan melancarkan serangan maut itu keadaan anak muda itu justru lebih banyak celaka dari-pada selamatnya. Maka mereka terus menubruk maju untuk membantu.

Cian Tong-lai mendengus sembari menggeser ke samping. Ketika Lamkiong Peng yang melambung keatas itu mulai turun, segera ia pun bersuit dan bermaksud melompat untuk menyongsong lawan. Pada saat itulah tiba-tiba dari kanan-kiri menubruk tiba dua sosok bayangan orang dengan angin pukulan dasyat. Ia terkejut, cepat ia berputar melepaskan diri dari gencetan itu.

Sementara Lamkiong Peng sudah melayang turun. Karena sasarannya keburu menggeser, cepat ia gunakan gerakan ‘Sin-liong-hi-in’ atau Naga Sakti Memainkan Awan. Setelah berjumpalitan ia tancapkan kakinya di tanah dengan enteng. Sempat dilihatnya Bwe Kim-soat dan Yap Man-jing sama meliriknya sekejap, habis itu mereka terus menerjang lagi ke arah Cian Tong-lai.

Dari lirikan mereka itu jelas kelihatan perhatian mereka terhadap keselamatan Lamkiong Peng. Tergetar hati Lamkiong Peng. Ban Tat juga gegetun dan diam-diam ikut merasa bahagia bagi anak muda itu. Akan tetapi sebagai orang tua yang sudah kenyang asam garam kehidupan, rasanya di balik kebahagiaan itu seperti ada sesuatu yang mengkuatirkan.

"Haha! Tampaknya kedua nona benar-benar ingin belajar kenal dengan kepandaianku. Baiklah, kuperlihatkan sejurus dua jurus istimewa supaya kalian tahu siapa tahu diriku," seru Cian Tong-lai dengan tertawa. Akan tetapi, ketika selesai ucapannya dia tidak sanggup tertawa lagi.

Mendadak Bwe Kim-soat menotok empat kali ke beberapa hiat-to mematikan di tubuh Cian Tong-lai. Meski keempat hiat-to itu tersebar di bagian yang berbeda, namun gerak serangan Bwe Kim-soat itu seakan-akan dilancarkan secara serentak.

Terpaksa Cian Tong-lai melompat mundur dan tercengang oleh serangan maut lawan itu.

Tiba-tiba Bwe Kim-soat tersenyum kepada Yap Man-jing dan berkata, "Yap-moaymoay, boleh kau mundur saja, biar kulayani dia sendiri."

Akan tetapi alis Yap Man-jing seolah-olah menegak tanpa bersuara. Ia pun menubruk maju dan melancarkan beberapa kali serangan kilat sehingga terpaksa Cian Tong-lai melayani dengan sama cepatnya.

"Haha, serangan bagus, kungfu lihai!" seru Bwe Kim-soat dengan tertawa. "Adik yang baik, bukan maksudku bilang kepandaianmu rendah. Cuma, untuk mengalahkan kungfu Tiau-thian-kiong dari Kun-lun-san ini bagimu masih belum ukurannya, maka lebih baik kau turut kepada ucapanku dan mundur saja."

Akan tetapi Yap Man-jing tetap tidak menjawab, melainkan melancarkan serangan terlebih cepat. Diam-diam Cian Tong-lai juga terkesiap oleh serangan si nona, di samping heran asal usulnya dapat dikenali oleh Bwe Kim-soat.

"Adik yang baik, jika tidak mau kau turuti perkataanku, biarlah cici saja yang menyingkir," kata Kim-soat pula sembari menyurut mundur.

"He, apa maksudmu ini?" tanya Lamkiong Peng dengan bingung.

"Dua mengeroyok satu kan tidak pantas. Biarlah dia mencoba sendiri, masa kau kuatir?" sahut Kim-soat.

Air muka Lamkiong Peng tampak masam dan tidak menghirukannya lagi. Ia coba mengikuti gerakan Cian Tong-lai yang aneh itu. Dilihatnya Yap Man-jing sekarang berbalik telah terkurung di bawah pukulannya yang lihai. Namun Yap Man-jing masih dapat balas menyerang dengan sama gesitnya. Meski agak terdesak di bawah angin, tapi belum ada tanda-tanda akan kalah.

Dengan tertawa Bwe Kim-soat berolok pula. "Wah rupanya Yap Jiu-pek memang mengajarkan sejurus kungfu sakti kepada murid kesayangannya. Cuma tak diduganya kungfu ini tidak digunakannya untuk menghadapi murid Sin-liong, tapi murid Kun-lun-pai yang justru dilabraknya."

Lamkiong Peng mendengus saja. Sedang Ban Tat lantas mendekatinya dan berkata, "Tampaknya nona Yap tidak...."

"Meski dua mengerubut satu, terpaksa harus kubantu dia," kata Lamkiong Peng.

Tiba-tiba terdengar Bwe Kim-soat berucap dengan hampa, "Jangan kau kuatir, biar aku saja yang maju." Serentak ia melompat maju dan melancarkan pukulan dasyat.

Terpaksa Cian Tong-lai menarik serangannya terhadap Yap Man-jing untuk melayani Bwe Kim-soat, dengan demikian Yap Man-jing jadi bebas tekanan. Ia menghela napas dan menyingkir ke pinggir kalangan.

Ban Tat merasa lega. Ucapnya, "Pantas nama Kong-jiok Huicu termasyhur, ternyata benar...." Jelas dia sangat kagum terhadap kelihaian kungfu Bwe Kim-soat.

Setelah termenung sejenak memandang bayangan Cian Tong-lai, Yap Man-jing menghela napas. Ia menunduk dan perlahan membalik tubuh, lalu melangkah pergi.

"He, nona Yap...!" seru Lamkiong Peng sambil melompat ke samping gadis itu, "Masa engkau hendak pergi?"

Man-jing tetap menunduk. Ia menjawab perlahan, "Ya, aku pergi."

"Tapi guruku...."

Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, mendadak terdengar bentakan Bwe Kim-soat, "Berhenti dulu!"

Lamkiong Peng dan Yap Man-jing sama berpaling. Mereka melihat Cian Tong-lai sedang menyerang, dan karena bentakan Bwe Kim-soat itu ia lantas menahan serangan dan menegur, "Ada apa?"

Dengan lagak menggiurkan Bwe Kim-soat berucap dengan tersenyum, "Selamanya kita tidak ada permusuhan apa pun, untuk apa kita saling labrak mati-matian?"

Cian Tong-lai memandangnya dengan tercengang, kemudian dengan ragu ia menyahut, "Ya, memangnya tiada permusuhan apa pun antara kita, buat apa kita mengadu jiwa?"

"Malahan sebenarnya kita dapat saling tukar kepandaian sejurus dua, dengan begitu siapa pula tokoh kangouw jaman ini yang mampu menandingi kita?" kata Kim-soat pula.

Cian Tong-lai tertawa senang. "Benar! Bila-mana kita saling mengajar sejurus dua, haha! Bagus sekali.”

"Tutup mulut!" bentak Lamkiong Peng mendadak.

"Kau mau apa?" jengek Kim-soat dengan muka dingin.

"Aku...,” Lamkiong Peng gelagapan.

"Jangan urus dia," ucap Kim-soat kepada Cian Tong-lai. Lalu ia pandang Lamkiong Peng dengan tajam dan berkata pula, "Aku bukan sanak kadangmu, urusanku tidak perlu kau turut campur. Soal pesan tinggalan Liong Po-si juga tidak ada sangkut pautnya denganku. Boleh silakan kau bawa nona Yap itu untuk melaksanakan pesan tinggalan gurumu."

Seketika Lamkiong Peng berdiri terkesima.

Bwe Kim-soat tersenyum kepada Cian Tong-lai, katanya, "Marilah kita pergi dan mencari tempat bersantap, perutku lapar."

Dengan tersenyum Cian Tong-lai mengangguk. Serentak keduanya melayang ke sana. Cian Tong-lai sempat menoleh dan berteriak kepada Lamkiong Peng, "Jika kau ingin bertanding denganku, silakan pulang berlatih lagi tiga tahun dan boleh coba mencariku lagi." Habis berucap bayangannya pun sudah jauh, hanya suara tertawa pongahnya masih berkumandang dalam kegelapan.

Lamkiong Peng berdiri terpaku, suara tertawa orang terasa menusuk perasaan. Sambil mengepal erat tinjunya, ia membatin, "Bwe Kim-soat, Bwe Leng-hiat, sungguh memang berdarah dingin...."

Menyaksikan kepergian Bwe Kim-soat, mendadak Yap Man-jing mendengus, "Kenapa tidak kau susul dia?"

Lamkiong Peng menghela napas. "Kenapa harus kususul dia?" ia menjawab justru dengan pertanyaan.

"Hm, dasar tidak punya perasaan," jengek Man-jing sambil melengos.

Tentu saja Lamkiong Peng melenggong. "Masa aku tidak berperasaan? Dia bersikap begitu padaku, masa aku yang tidak berperasaan?" pikirnya.

Tiba-tiba Man-jing berpaling dan berkata padanya, "Dia sangat baik padamu, masa engkau tidak tahu dan tidak menghiraukannya?"

Lamkiong Peng tambah melengak. "Masa... masa dia bermaksud baik padaku?"

"Jika dia tidak baik padamu, mana bisa dia menaruh perhatian terhadap keselamatanmu?"

"Tapi... tapi dia... telah pergi bersama...."

"Dia berbuat begitu justru lantaran cemburunya ketika ada anak perempuan lain mencarimu, maka dia...," tiba-tiba Man-jing menambahkan dengan serius. "Ia tidak tahu maksudku mencarimu adalah untuk memenuhi janjiku terhadap gurumu."

Bingung juga Lamkiong Peng memikirkan perasaan anak perempuan yang sukar dimengerti itu. Katanya kemudian, "Meski nona Bwe telah pergi, hal itu disebabkan rasa gusar yang timbul seketika. Nanti dia pasti akan...," sampai di sini, mendadak dia teringat sesuatu. "Hei, di mana Yap-siang-jiu-loh?!" teriaknya.

"Yap-siang-jiu-loh apa?" tanya Ban Tat dengan bingung.

"Yaitu pedang pusaka tinggalan guruku. Senjata itu tadi kutaruh di samping Tik Yang," seru Lamkiong Peng.

Ban Tat melenggong. "Tapi pada waktu Tik Yang berlari pergi, tampaknya dia tidak membawa sesuatu."

"Ayo, aku harus....”

"Kau mau kemana?" tanya Man-jing, "Apakah engkau tidak ingin membaca dulu surat wasiat tinggalan gurumu?"

"Oh, apakah surat wasiat guruku berada pada nona?” tanya Lamkiong Peng.

Perlahan Man-jing mengeluarkan sepucuk surat sambil melirik sekejap, lalu surat itu disodorkannya.

Lamkiong Peng menerima surat itu dan berkata, "Tapi menurut perintah suhu, tiga hari kemudian...."

"Jika engkau tidak pulang ke Ji-hau-san-ceng, apa halangannya bila kau baca saja surat ini? Kalau tiga urusan yang ditentukan oleh gurumu memerlukan bantuanku, maka biarlah kita lekas menyelesaikannya, dengan begitu selekasnya aku pun cepat melepaskan diri dari persoalanmu."

Perlahan Lamkiong Peng membuka sampul surat. Tulisan tangan yang cukup dikenalnya segera terpajang di depan mata. Isi surat itu berbunyi:

Anak Peng,
Aku sudah tua dan mendahului pergi. Ji-hau-san-ceng bukanlah tempat kediamanmu yang abadi, perusahaan orang tuamu juga perlu pimpinanmu. Kau lahir dari keluarga ternama, bakatmu pun tidak terbatas, hari depanmu sungguh gilang gemilang dan tak terbatas. Seorang lelaki sejati memerlukan pembantu rumah tangga yang bijaksana, untuk ini perlu kau dapatkan istri yang baik. Nona Yap Man-jing pintar lagi cerdas, dia gadis pilihan yang cocok untuk mendampingi hidupmu, inilah pesanku yang pertama.

Sayang sekali Liong-hui tidak punya keturunan, karena itulah kuharap bila anakmu lebih dari satu, hendaknya seorang kau berikan she Liong untuk menyambung keturunan keluarga Liong. Inilah pesanku yang kedua....

Membaca sampai di sini, muka Lamkiong Peng menjadi merah. Sungguh tak terduga olehnya pesan tinggalan sang guru justru menyangkut perjodohan dengan Yap Man-jing. Ia membaca lagi,

Selain itu, selama ini di dunia persilatan tersiar berita misterius bahwa tempat suci dunia persilatan bukanlah Siong-san Siau-lim-si, juga bukan Kun-lun atau Bu-tong-san, melainkan terletak di suatu istana dan suatu pulau. Pulau itu bernama ‘Cu-sin’ (Para Dewa). Di mana letak tempatnya, sukar ditemukan. Konon Kun-Mo-To adalah pulau kediaman manusia jahat dan keji di dunia ini, sedangkan istana para dewata dihuni oleh manusia bajik dan bijak. Akan tetapi jika tidak menguasai ilmu silat maha tinggi, siapa pun sukar memasuki istana dan pulau itu selangkah pun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar